![]() Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-X pada hari Sabtu, 21 Maret 2015 dengan tema bertema “Tradisi, Adat dan Politik Kesetaraan” diselenggarakan di rumah kediaman Prof. Mayling Oey-Gardiner. Acara gathering ini mengangkat diskusi menarik tentang praktik budaya, tradisi, dan adat. Dalam diskusi ini Jurnal Perempuan mengundang Prof. Patrick Ziegenhain dari Goethe-Frankfurt University dan Sapariah Saturi dari Mongabay Indonesia sebagai pembicara dan Dewi Cadarningrum sebagai moderator. Gathering kali ini sangat spesial karena turut hadir Toeti Heraty salah satu pendiri Jurnal Perempuan dan Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Periode 2004-2009, Linda Amalia Sari. Gathering ini dibuka oleh Deedee Achriani selaku pemimpin perusahaan Jurnal Perempuan. Deedee menyampaikan bahwa Ini merupakan kesempatan bagi Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) untuk saling berkenalan dan saling bertukar informasi seputar permasalahan gender di Indonesia khususnya seputar tema dalam gathering ini yaitu “Tradisi, Adat dan Politik Kesetaraan”. Kemudian Ima selaku kordinator SJP juga menyampaikan bahwa gathering ini dimaksudkan untuk silaturahmi antar SJP sehingga dapat membentuk jejaring yang kuat . Setelah itu Prof. Mayling Oey memberikan sambutan sekaligus sharing tentang pengalaman hidupnya. Beliau mengatakan bahwa tradisi dibangun oleh laki-laki dan tidak pernah ramah terhadap perempuan sehingga kerap kali perempuan terkurung dalam tradisi yang sangat patriarki. Dalam kesempatan yang baik ini Toeti Heraty juga memberikan beberapa pandangannya mengenai konsep kesetaraan. “Fanatisme terhadap kesetaraan pasti mengalami pasang surut dalam hidup” tuturnya. Sehingga menurutnya perlu ada formulasi untuk menanggulangi transisi pandangan mengenai konsep kesetaraan. Acara gathering ini terus berjalan dengan hangat. Dewi Candraingrum selaku moderator mempersilakan Patrick Ziegenhain untuk menyampaikan materinya mengenai “Politik Perempuan Asia Tenggara: Tantangan & Masa Depan”. Dalam materinya Patrick menjelaskan bahwa status perempuan di Asia Tenggara menduduki angka yang sangat variatif. Filipina yang memiliki komposisi jumlah perempuan dan laki-laki di bidang ekonomi hampir seimbang dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia. Perempuan Indonesia masih memiliki permasalahan di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan, untuk itu perlu dilakukan pendekatan hukum pada isu-isu gender di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat juga harus berupaya mengurangi desakan dari ajaran agama, hukum adat dan tradisi yang bersifat diskriminatif gender. Kemudian Dewi mempersilakan pembicara kedua yaitu Sapariah Saturi untuk menyampaikan materinya yang berkaitan dengan kesetaraan perempuan adat. Sapariah mengatakan bahwa perempuan adat mulai menjadi pemimpin adat sebagai bentuk perjuangan untuk mempertahankan tanah, lingkungan dan kearifan lokal mereka. Acara ini berlangsung santai namun tetap fokus pada materi yang akan didiskusikan. Banyak diantara SJP yang mengajukan pertanyaan, pandangan dan pengalamanya mengenai ketidakadilan yang mereka temukan dalam ranah birokrasi, kelompok sosial maupun individu. Linda Gumelar juga turut mengisi ruang diskusi ini dengan sharing pengalamannya sebagai Menteri PPPA. diberbagai kesempatan dalam forum diskusi dewi juga memberikan review Jurnal Perempuan edisi 84 sebagai bentuk usaha merawat pengetahuan perempuan, terakhir Dewi mengutip dari Julia Kristeva bahwa ketika kita mencintai maka kita ada. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-X pada hari Sabtu, 21 Maret 2015 dengan tema “Tradisi, Adat dan Politik Kesetaraan” diselenggarakan di rumah kediaman Prof. Mayling Oey-Gardiner. Acara Gathering kali ini akan mengangkat diskusi tentang praktik budaya, tradisi, dan adat. Dalam diskusi ini Jurnal Perempuan mengundang Prof. Patrick Ziegenhain dari Goethe-Frankfurt University dan Sapariah Saturi dari Mongabay Indonesia. Pada Gathering ini turut hadir Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Periode 2004-2009, Linda Amalia Sari. Linda membuka pembicaraanya dengan menyampaikan bahwa sejarah telah membuktikan kehebatan perempuan Indonesia. “Perempuan Indonesia terlahir sebagai pejuang, kemerdekaan ini juga diraih oleh perempuan” tuturnya. Dengan demikian menurutnya kita telah bersama-sama untuk berjuang. Linda menjelaskan bahwa diskriminasi yang dialami oleh saudara-saudara kita adalah persoalan yang sangat rumit. Permasalahan tersebut perlu diselesaikan secara menyeluruh di semua lini. Bagi Linda, kegiatan-kegiatan yang dibuat oleh LSM, organisasi dan para pemerhati perempuan merupakan kekuatan untuk mengentaskan diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia telah memiliki payung hukum yang jelas untuk persoalan diskriminasi ini yaitu UU dan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Selain itu ada INPRES No. 9 Th. 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan yang bisa menjadi sumber kekuatan kita untuk dapat mengentaskan persoalan ketidaksetaraan pembangunan secara inklusif. Dalam INPRES No.9 Th. 2000 ada peraturan anggaran yang responsif gender. Perjuangan perempuan tidak akan mudah tanpa adanya payung hukum yang jelas. Di samping itu upaya pemberdayaan perempuan harus terus dilakukan oleh semua kementerian dan lembaga yang sudah di advokasi. “Kesulitannya adalah jumlah ahli gender Indonesia yang masih sedikit, yaitu tidak lebih dari 60 orang” Linda melanjutkan. Menurutnya itu adalah jumlah yang sangat sedikit untuk membicarakan persoalan penduduk yang sebanyak ini. Universitas harus membuka ruang untuk pendidikan dan penelitian gender. Linda juga menyetujui adanya perubahan mindset masyarakat terkait pemahaman gender, bukan dengan cara yang kontroversi, tetapi memberikan pemahaman dengan bahasa yang lebih mudah diterima dan menarik. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah data. Penguatan data juga hal yang harus dilakukan. Data adalah amunisi yang baik untuk memperjuangkan keadilan untuk perempuan. Terkait hal itu, Linda menambahkan bahwa pemerintah harus memfasilitasi masyarakat adat agar implementasi kesetaraan dapat dirasakan oleh semua masyarakat termasuk perempuan ada. Jumlah LSM harus ditambahkan agar dapat menjadi ujung tombak langkah-langkah perjuangan perempuan di daerah. Masyarakat adat juga harus diberikan pemahaman tentang perubahan sikap dan mindset dengan tetap mempertahankan kearifan lokal mereka. Menurut Linda, secara nyata perlu dibuatkan modul yang jelas untuk menghindari adanya benturan. Semua itu harus kita upayakan agar anak perempuan dan laki-laki kita tidak lagi mengalami diskriminasi. (Lola Loveita) ![]() Pameran lukisan rupa Dewi Candraningrum yang menampilkan 128 Lukisan serta Sketsa resmi dibuka oleh Saras Dewi pada 13 Maret 2015 pukul 20.00 WIB. Pameran ini berlangsung selama 13 Hari di Sangkring Art Project, Bantul. Dalam acara pembukaan turut hadir Kris Budiman, Putu Sutawijaya, Yuniyanti Chuzaifah, Naomi Srikandi, dan Joko Pinurbo. Acara Pembukaan Pameran Lukisan ini diawali dengan welcoming speech oleh Putu Sutawijaya selaku pemilik sekaligus pengelola Sangkring Art Space. Kemudian Kris Budiman sebagai Kurator memberikan sambutan dalam acara pembukaan ini. Setelah itu Joko Pinurbo membacakan tiga Puisi yang berjudul “Minggu Pagi”, “Mei” dan “Anak Seorang Perempuan”. Kemudian disambung oleh Toto Suryo Nuggroho dengan Puisinya yang berjudul “Surat Pulang”. Acara Pembukaan Pameran Lukisan yang bertema Dokumen Rahim berlangsung sangat intim. Pemutaran film yang digarap oleh Espees Pictures dengan judul “Mom and Me” telah mengambil perhatian pengunjung. Film “Mom and Me” adalah sebuah film dokumenter Dewi Candraningrum dengan anaknya Ivan Ufuq Isfahan yang menggambarkan sebuah kedekatan sangat hangat antara seorang Ibu dan Anak (yang dihantarkan oleh Fanny Chotimah). Setelah film dokumenter selesai diputar acara dilanjutkan dengan penampilan dari Naomi Srikandi (putri almarhum Rendra) yang sangat menghibur dan filosofis. Saras Dewi dalam sambutannya menyampaikan bahwa Dokumen Rahim adalah sebuah akta keindahan yang digambarkan oleh Dewi Candraningrum dengan penuh cinta, penuh kasih, dan penuh getir. Dokumen rahim adalah sebuah pengalaman yang bercampur dalam warna-warna yang tak teratur dan buramnya arang. Seperti hal nya rahim bumi, rahim perempuan juga sering kali diinjak-injak oleh tubuh patriarki. Kepercayaan bahwa rahim bumi telah menghasilkan kehidupan, emas, dan cinta begitu juga dengan rahim perempuan bahkan rahim laki-laki yang digambarkan secara metafor oleh Dewi Candraningrum dalam senggama warna-warna yang indah. Dokumen Rahim dibuat dengan penuh suka cita dan cinta . Dokumen Rahim adalah kumpulan 128 Lukisan dan Sketsa Arang dan Dewi Candraningrum memberikan 14 wajah yang indah. Wajah-wajah tersebut bagi Dewi Candraningrum adalah sebuah perjalanan panjang cinta-nya dengan anak, dengan laki-laki, dengan tubuh. Dokumen Rahim memilih narasi Kemben Jawa, Rahim Raksasi, Daughters From Zambia, Sketsa Tubuh Ekologi, Sketsa Wiji Tukul, Plight of Gerwani, Senggama, Black Dance, River of Hair, dan Monalisa, Girl with Pearl Earrings, Frida Kahlo yang merupakan Serial Arang, Kemudian wajah yang berjudul After The Rape, Lelaki Rahim, Sidang Susila dan Bitches merupakan percumbuan warna-warna yang melahirkan keindahan dari rahim. (Andi Misbahul Pratiwi) Audiensi Komnas Perempuan dengan Wali Kota Surakarta: Setujui Memorialisasi Tragedi Mei 199816/3/2015
![]() Pada tahun 2013 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama Pemerintah Kota Surakarta dan jejaring masyarakat sipil telah mengupayalan kegiatan mendukung pemulihan korban Tragedi Mei 1998 melalui memorialisasi. Sejumlah aktifitas telah berjalan pada peringatan Mei 2013, salah satunya penerbitan buku Kumpulan Puisi Merawat Ingatan Rahim Tragedi Mei 1998. Ada beberapa hal yang perlu ditinjau lagi secara bersama terkait pemugaran, pembangunan dan perawatan makam korban Tragedi Mei 98 di TPU Purwoloyo, serta mengintegrasikan Tragedi Mei 1998 dalam agenda peristiwa bersejarah kota Surakarta dan mengembangkan program dukungan terhadap keluarga korban serta mendorong dialog bersama dari seluruh elemen masyarakat. Bertempat di rumah dinas Loji Gandrung pada Jumat (13/3/2015) Komnas Perempuan yang diketuai oleh Yuniyanti Chuzaifah bersama dua anggota lainnya, Indriyati Suparno dan Soraya Ramli melakukan audiensi dengan wali kota Surakarta, FX. Hadi Rudyatmo. Audiensi juga melibatkan unsur masyarakat sipil yakni dari komunitas Jejer Wadon yang para anggotanya adalah aktivis lintas lembaga yang menyuarakan tentang isu-isu perempuan dan HAM. Perwakilan dari elemen pemangku kebijakan turut hadir tiga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yakni Etty Retnowati kepala Dinas Dikpora, Hasta Gunawan kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan serta Nuning Sri Sulistyaningsih dari Bapermas. “Kami dari Komnas Perempuan melihat wilayah-wilayah yang keliatannya responsif untuk kerja sama. Komnas perempuan mendorong sebuah kegiatan atau bagaimana negara hadir dalam peristiwa Tragedi Mei 1998, agar generasi muda dan anak-anak kita itu mengetahui bahwa peristiwa itu ada sehingga tragedi tersebut tidak terulang lagi” tutur Yuniyanti Chuzaifah. Penjelasan Yuniyanti dipaparkan bersamaan dengan gambaran kegiatan yang telah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta pada tahun 2014 lalu. “Seperti yang terjadi di Jakarta, yakni makam massal Pondok Rangon, ada penanda dan dibuatkan prasasti, seperti marka di beberapa titik sebagai tanda bahwa ada makam massal korban Tragedi Mei 1998 di depan gerbang, lalu di titik 500m-1km menjelang tempat pemakaman. Juga prasasti berupa tangan berkain putih yang memegang jarum. Sekarang yang masuk proses adalah desain prasasti tulisan yang ditandatangani oleh Ahok, bahwa di tempat itu telah dimakamkan korban Tragedi Mei 1998,” Soraya Ramli menjelaskan. Setelah mendengar penjelasan tentang rencana tindak lanjut memorialisasi, FX. Hadi Rudyatmo kemudian mengatakan bahwa pihaknya siap melakukan pembangunan monumen peringatan di pemakaman TPU Purwoloyo. “Tujuannya untuk memperingati bahwa hal ini pernah terjadi dan menjadi pelajaran bagi kita supaya tidak mengulanginya lagi. Ini pekerjaan mudah yang bisa segera kita lakukan. Dulu saya mengertinya itu membuat maket yang akan dipajang di Balai Kota. Kalau hanya prasasti, dan hanya perlu satu saja di TPU Purwoloyo, maka bisa dibuat empat titik atau delapan titik di slup (cakar ayam) saja sebagai penanda. Saya minta surat permohonannya segera dikirim” jawab FX. Hadi Rudyatmo. Menanggapi data jumlah korban Tragedi Mei 98 di Surakarta, FX. Hadi Rudyatmo sangat yakin jika perhitungan 23 orang adalah mendekati kebenaran, meskipun dirinya tidak menolak kemungkinan ada makam lain selain TPU Purwoloyo. “Jika jumlahnya lebih dari puluhan itu tidak mungkin, karena saya pelaku langsung Tragedi Mei 1998” jelas Rudy. Mengenai rencana Napak Reformasi, FX. Hadi Rudyatmo mengatakan bahwa jika telah ada proses dan bentuk prasasti, maka pendidikan sejarah untuk bahan ajar bisa masuk lewat hal tersebut. “Nanti kita bisa membawa anak-anak sekolah dan mengingatkan bahwa pernah ada peristiwa Tragedi Mei 1998” lanjut Rudy. (Astuti Parengkuh) ![]() Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya (JPPAS) yang diketuai oleh Haryati Panca Putri bersama 9 anggota lainnya pada Senin (9/3/2015) beraudiensi dengan Ipda Suparno, Kabag Operasi Reskrim Kepolisian Resort Sukoharjo mewakili Kasatserse Iptu Fran D. Kembaren yang berhalangan hadir. Terkait dengan kasus trafficking dan kekerasan seksual yang indikasi tersangkanya adalah Raja Solo (PB XIII Hangabehi), audiensi bertujuan untuk mencari tahu sejauh mana kasus yang dilaporkan pada 2 Desember 2014 oleh ayah korban, Suwarsono (41) dan dikenai pasal persetubuhan anak di bawah umur tersebut tertangani oleh Polres Sukoharjo. Iptu Suparno menyambut baik kedatangan rombongan dan menjelaskan bahwa kepolisian memiliki respon yang baik dan beritikad akan mengembangkan kasus ini. Dirinya juga menjelaskan bahwa kasus yang sebelumnya melibatkan tersangka lain sudah pada putusan hukum yakni 3 tahun subsider 6 bulan atau denda 10 juta. Terhukum sebagai perantara atas kasus trafficking tersebut. Haryati Panca Putri mempertanyakan tentang pemberitaan media, di antaranya dari The Jakarta Globe, bahwa ada pencabutan pelaporan pada kasus Raja Solo. Pertanyaan yang langsung dijawab oleh Ipda Suparno bahwa sampai saat ini kasus tersebut tetap berlangsung. Haryati Panca Putri juga menyampaikan bahwa telah ada dukungan dari Kombespol Irawati Sudarsono yang juga anggota Komnas Perempuan agar kasus ini terus berjalan. Salah satu anggota JPPAS Endang Listiyani menyampaikan bahwa pihaknya pada Desember 2014 bersama dengan Komnas Perempuan juga beraudiensi dengan Polres Sukoharjo dan waktu itu mendapat respon yang baik dan ada itikad baik dari Polres bahwa pihaknya akan mengembangkan kasus tersebut. Ipda Suparno menjelaskan bahwa kendala yang dihadapi dalam kasus ini adalah tidak adanya saksi. Sedangkan saksi korban, menurut penyelidikan oleh salah seorang anggota Polres Sukoharjo belum memiliki kepastian jawaban siapa pelaku sesungguhnya saat diinterogasi. Kalau perkara sudah jelas dan sudah bisa disidik, maka kami akan melanjutkan ke tingkat penyidikan. Apalagi beberapa kali kami telah mendatangi terlapor untuk kami mintai keterangan namun terlapor sedang sakit dan hal itu dibuktikan dengan surat keterangan dokter,ujar Ipda Suparno. Menanggapi tentang keterangan saksi korban, Elizabeth Yulianti Raharjo memberikan pernyataan apakah sebaiknya keterangan saksi korban di persidangan sebelumnya bisa dijadikan alat bukti. Elizabeth Yulianti Raharjo turut mendampingi saksi korban saat persidangan dengan tersangka WT. Di penghujung pertemuan, Haryati Panca Putri menyerahkan selembar kain berupa dukungan terhadap Polres Sukoharjo dengan ratusan tanda tangan untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual yang melibatkan Raja Solo. Dukungan digalang pada malam keprihatinan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional oleh JPPAS di Bundaran Gladag pada Jumat 6 Maret 2015. (Astuti Parengkuh) ![]() Sylvia Walby dalam bukunya Teorisasi Patriarki terbitan Jalasutra, Yogyakarta (2014), mencoba memberikan tafsir baru terhadap kesetaraan gender dalam ruang publik. Sylvia menemukan kesalahan analisis kesetaraan gender yang selama ini diperjuangkan yang disebabkan oleh perspektif tradisional yang masih mereka gunakan sebagai pisau analisis utama. Kesalahan tersebut oleh Sylvia disinyalir sebagai absennya analisis yang lebih luas terhadap struktur sosial yang terus mengalami perubahan. Sylvia menemukan bahwa eksploitasi terhadap perempuan tidak hanya terjadi di dalam ruang privat atau salah satu objek di mana perempuan bertindak dan berpartisipasi di dalamnya, melainkan juga di ruang publik. Sebuah ruang di mana relasi antar struktur saling berkaitan sehingga menimbulkan penindasan terhadap perempuan yang lebih luas. Perspektif tersebut adalah feminisme radikal, feminisme Marxis, liberalisme dan teori sistem-ganda. Keempat perspektif tersebut oleh Sylvia dinilai sangat kaku karena membatasi analisisnya. Misalnya dalam perspektif feminisme radikal yang mengatakan bahwa laki-laki adalah kelompok yang mendominasi perempuan sebagai sebuah kelompok dan sebagai kelompok utama yang memperoleh keuntungan dari eksploitasi terhadap perempuan. Sistem dominasi ini, dinamai patriarki, tidak diturunkan dari sistem ketidaksetaraan sosial lainnya; seperti sistem ini bukan produk kapitalisme. Hubungan antara patriarki dengan ketidaksetaraan kelas dan rasisme dibahas dengan pendekatan yang berbeda-beda oleh berbagai penulis feminisme radikal (hal: 4). Permasalahan utama dalam feminisme radikal dalam menganalisis ketidaksetaraan gender adalah, hanya terfokus pada esensialisme, pada reduksionisme biologis, dan pada kecenderungan universal palsu yang tidak dapat memahami perubahan historis atau menjelasakan secara memadai atas perbedaan perempuan berdasarkan suku dan kelas. Penjelasan lainnya, yakni feminisme Marxis, Liberalisme dan teori sistem-ganda juga menemukan permasalahan utama. Fokus yang teramat sempit pada kapitalisme (feminsme marxis), absennya penjelasan tentang struktur sosial secara keseluruhan dari ketidaksetaraan gender memunculkan berbagai penjelasan yang kurang memadai (liberalisme), dan sebagaimana dikatakan Young (1981) adalah tidak ada kemungkinan para penulis teori sistem ganda dalam mempertahankan dualitas kapitalisme dan patriaki. Dari Patriarki Privat ke Publik Meskipun terdapat kekurangan analisis dalam empat perspektif di atas, oleh Sylvia Walby juga dikatakan sebagai sebuah hasil analisis yang luar biasa sebagai upaya peningkatan partisipasi perempuan. Dari sinilah, bentuk perlawanan perempuan terhadap penindasan yang dilakukan oleh kelompok laki-laki mulai tumbuh dalam kesadaran perempuan. Sehingga kelompok perempuan mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki, yang pada awalnya akses dalam ruang privat (keluarga), sekarang perempuan bisa berpartisipasi dalam ruan publik yang lebih luas. Tetapi sebagaimana Sylvia mengatakan bahwa terdapatnya akses dan hak bagi perempuan di ruang publik juga menambah masalah baru bagi perempuan. Perempuan dihadapakan pada sebuah penindasan yang lebih luas lagi, yakni sebuah struktur sosial patriarkis. Di dalam ruang publik yang diisi oleh perempuan ternyata tidak lepas dari penindasan terhadap perempuan. Terutama adalah struktur kapitalis yang mapan, yang memiliki relasi kuat dengan bentuk patriarki. Kesenjangan sosial bagi perempuan adalah ketika industri kapitalisme memiliki kepentingan mengerahkan dan mengeksploitasi buruh perempuan, yang jelas lebih murah daripada laki-laki karena struktur patriarki. Di sisi lain, terdapat resistensi oleh strategi patriarki yang berusaha memelihara eksploitasi perempuan di rumah tangga (hal: 278) Bentuk pertama industrialisasi kapitalis memandang perekrutan perempuan yang sukses ke pabrik-pabrik ketimbang laki-laki, perekrutan perempuan di bidang admistratif negara serta lainnya, semisal seksualitas, yang lebih banyak diisi oleh perempuan ketimbang laki-laki tetapi jutru menguntungkan laki-laki dapat dilihat dari berbagai bentuk undang-undang yang menjadikan laki-laki spesial daripada perempuan. Di sisi yang lain semakin majunya mesin teknologi juga mampu menyingkirkan perempuan dari keterampilan yang dimilikinya. Patriarki publik juga tidak semata-mata menyingkirkan patriarki privat, terutama yang terjadi terhadap perempuan. Laki-laki di dalam ruang publik tidak melepaskan secara utuh bagi perempuan untuk silang bakat maupun keterampilan. Maka dari itu, ruang privat yang patriarki yang terjadi dalam ruang publik adalah cara bagaimana laki-laki mempertahankan dominasinya terhadap perempuan melalui bentuk undang-undang atau penempatan perempuan di bidang pekerjaannya yang patriarkis. Impilkasi dari keadaan tersebut membuat ketegangan antara kapital dan patriarki atas eksploitasi pekerja perempuan. Meskipun di sisi lain, perempuan dalam ruang publik mendapatkan posisi atau upah dari pekerjaannya, tetapi perempuan juga mengalami eksploitasi yang diakibatkan oleh strategi patriarki. Jika kita amati, analisis Sylvia tentang penindasan kapitalisme terhadap perempuan masih menemukan kemiripan dengan analisis yang dilakukan perspektif Marxis, yakni analisis ketidaksetaraan yang disebabkan oleh pertentangan produksi industri dan upah pekerja perempuan. Tetapi oleh Sylvia, ketidaksetaraan yang diakibatkan oleh nilai produksi dan upah pekerja adalah model tradisional yang mengakibatkan ketidaksetaraan bagi perempuan. Sylvia menambahkan, bahwa ketidaksetaraan gender dalam industri kapitalis dalam masyarakat kontemporer menemukan bentuk baru, semisal dengan adanya iklan dalam masyarakat kapitalis yang menmpatkan perempuan sebagai objek komoditas dari hal tersebut. Jadi, perempuan tidak hanya semata ditindas karena ketimpangan antara nilai produksi dan upah, melainkan dijadikan sebagai lokomotif kapitalis untuk menarik untung sebesar-besarnya yang merugikan perempuan. Inilah yang menjadi catatan penting bagi perspektif terdahulu yang mengklaim kemajuan bagi perempuan dalam mendapatkan akses dan hak sama dengan laki-laki di ruang publik. Tetapi di sisi lain melupakan, bahwa relasi patriarki dengan kapitalisme sangat mendukung adanya eksploitasi terhadap perempuan dalam ruang publik. Karya Sylvia Walby tentang ketidaksetaraan gender dalam ruang publik setidaknya memberikan pencerahan bagi kaum perempuan khususnya, dan para penulis gender untuk lebih memahami dan menganilisis ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat kontemporer. Tidak hanya strukur kapitalis dan patriarkis, melainkan juga relasi antara patriarki dengan ras, suku, kelas, budaya dan wacana sehingga menimbulkan ketidaksetaraan gender terhadap perempuan. Termasuk juga dalam masyarakat Indonesia, meskipun perempuan dalam hak politik, mendapatkan akses yang lebar dan luas, tetapi di sisi yang lain juga menghadapai struktur sosial dalam bentuk patriarki. Di sisi lain, akses perempuan dalam politik tidak diiringi dengan unsur anti rasialisme atau kesukuan. Dalam hal ini kita bisa ambil contoh, bagaimana kaum perempuan yang berada di kota atau berpendidikan tinggi yang mendapatkan akses tersebut, sementara mereka yang berada dalam desa dan tidak berpendidikan tinggi masih mengalami eksploitasi. (Ahmad Riyadi) Setiap hari, ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Dan setiap 3 jam, setidaknya ada 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Inilah mengapa kita sebut “Darurat Kekerasan Seksual”. Perempuan dan anak terancam, Negara lambat bertindak.
Kasus kekerasan seksual sudah ada di dekat kita, bahkan mengancam kita! Kita mendengar, melihat, menangani, bahkan ada yang sudah menjadi korban. Berderet kasus kekerasan seksual telah terjadi di bumi pertiwi. Kasus pernikahan anak di bawah umur oleh Pujiono di Semarang, kasus pernikahan siri oleh Bupati Garut, kasus pelecehan seksual oleh Gubernur Riau, kasus KDRT oleh Wakil Walikota Magelang, kasus kekerasan seksual di Jakarta International School, kasus pedofilia oleh Emon Sukabumi, kasus trafiking dan kekerasan seksual yang indikasi tersangkanya adalah Raja Solo PB XIII Hangabehi, serta sederet kasus kekerasan seksual lainnya yang tidak terekspose oleh publik. Seperti fenomena gunung es, fakta dan bentuk yang sesungguhnya jauh lebih besar dan beragam, namun banyak korban belum berani melapor. Di Negeri Indonesia tercinta ini, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak belum menjadi perhatian serius. Dari tahun ke tahun, makin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini tercermin dari fakta-fakta yang dihimpun oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam waktu tiga belas tahun terakhir, kasus kekerasan seksual berjumlah 93.960 kasus dari total 400.939 kasus kekerasan yang dilaporkan (Januari 2013). Artinya, setiap hari ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Disebutkan lebih lanjut bahwa pada tahun 2013 kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus dari 4.336 kasus di tahun 2012. Ini artinya setiap 3 jam setidaknya ada 2 perempuan menjadi korban kekerasan Seksual (berdasarkan data Komnas Perempuan). Kekerasan terhadap anak juga mengalami peningkatan. Komnas Perlindungan Anak menyebut Indonesia gawat darurat. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas PA, mengatakan meski Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak anak dari PBB selama 24 tahun, kekerasan anak terus meningkat. Laporan soal kekerasan anak pada Januari-September 2014 mencapai 2.726 kasus. Kasus-kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak tersebut terjadi di dalam rumah/keluarga, tempat kerja, institusi pendidikan, transportasi publik, dan dalam berbagai konteks seperti konflik, migrasi, kekerasan atas nama agama, moralitas, dan budaya. Sedangkan pelakunya adalah pihak yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan korban (ayah, kakak, adik, paman, kakek), perkawinan (suami) dan relasi intim (pacaran), maupun pejabat publik (TNI/POLRI, bupati, gubernur, bahkan raja). Dalam kasus-kasus dimana pejabat publik menjadi pelaku kekerasan seksual, proses hukumnya menjadi lebih sulit bagi korban. Di Solo Raya, aparat penegak hukum terkesan lamban dalam menangani kasus kekerasan seksual yang indikasi pelakunya adalah Raja Solo. Polres Sukoharjo belum memiliki terobosan untuk bisa berhasil memeriksa Raja Solo. Raja Solo selalu beralasan sakit setiap ada pemanggilan pemeriksaan dari kepolisian, namun mendadak sehat dan mampu bersuara lantang saat bicara kompensasi uang untuk pasar sementara bagi para pedagang Pasar Klewer. Di tengah keprihatinan pada angka kekerasan seksual yang tinggi, kami menangkap kelambatan dan ketidakseriusan aparat negara dalam menyelesaikan setiap kasus kekerasan seksual yang ada. Tidak sedikit pihak aparat yang justru menyalahkan dan menghakimi perempuan korban, bahkan menjadikannya sebagai lelucon. Pernyataan dan sikap tersebut menempatkan korban kembali menjadi korban (reviktimisasi), dan menyebabkan rasa sakit tak terperihkan bagi korban, keluarga korban, komunitas, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perilaku ini juga menyebabkan putusan pengadilan yang beragam dan mengerdilkan rasa keadilan korban. Ketiadaan payung hukum yang mumpuni juga menyebabkan sejumlah kasus tidak diproses karena dipandang tidak memiliki bukti yang cukup. Sebaliknya, justru bermunculan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang berangkat dari penilaian yang menghakimi moralitas perempuan dalam persoalan kekerasan seksual. Terkait dengan situasi darurat ini, maka dalam momentum Hari Perempuan Internasional, kami dari Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya (JPPAS) yang terdiri dari berbagai lembaga masyarakat sipil (SPEKHAM, YAPHI, ATMA LSK Bina Bakat, YKPS, Ekasita, Gergatin, LK3, Pertuni, WKRI Cabang Surakarta, dan Jejer Wadon) beserta masyarakat dampingannya menuntut 3 hal: 1. Usut tuntas kasus kekerasan seksual yang dilakukan Raja Solo, berikan hukuman yang berat pada setiap pelaku kekerasan seksual. 2. Lindungi perempuan dan anak, berikan hak dan keadilan bagi korban kekerasan seksual. 3. Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, akhiri impunitas (kekebalan) pelaku kekerasan seksual. Kekekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan. Hentikan kekerasan seksual sekarang juga. Berani, Bersuara, Lawan! Surakarta, 7 Maret 2015 Koordinator Umum Hari Perempuan Internasional Solo Raya Endang Listiani (Eliest - 08156720819) ![]() “Setiap hari, ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Dan setiap 3 jam, setidaknya ada 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual (data Komnas Perempuan). Inilah mengapa kita sebut “Darurat kekerasan Seksual”. Perempuan dan anak terancam, Negara lambat bertindak” Demikian lead yang tertulis pada selebaran yang dibagi lalu dibacakan oleh anggota Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya (JPPAS) yang terdiri dari beberapa lembaga seperti LPH YAPHI, SPEKHAM, ATMA, Yayasan Krida Paramita Surakarta (YKPS), Ekasita, LSK Bina Bakat, Forum Gerak Difabel dan Jejer Wadon serta segenap masyarakat pada Sabtu, 7 Maret 2015, di Bundaran Gladag. Pada malam keprihatinan untuk memperingati hari Perempuan Internasional tersebut juga dibacakan orasi oleh Haryati Panca Putri, ketua JPPAS yang juga direktur LPH YAPHI serta dukungan terhadap pengusutan kasus kekerasan seksual dan segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berupa pembubuhan tanda tangan bersama. Dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan pejabat publik menjadi pelaku, proses hukum menjadi sulit bagi korban. Di ranah kebijakan, ketiadaan payung hukum menyebabkan sejumlah kasus tidak diproses karena dipandang tidak memiliki bukti yang cukup. “Kita melihat kekerasan seksual menjadi satu keprihatinan terkait kasus-kasus yang ada di Solo Raya, satu kasus yang kita hadapi saat ini adalah kasus kekerasan seksual yang indikasi tersangkanya adalah Raja Solo, PB XIII Hangabehi” tutur Haryati Panca Putri. Selain pembacaan puisi, orasi serta nyanyian, para anggota JPPAS bersama masyarakat melakukan flashmob. Sebuah representasi tari berupa gerakan tubuh disertai alunan musik dan para penari berpayung menyiratkan adanya simbol bahwa perlunya payung hukum dan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Sementara itu NR.Kurnia Sari, anggota DPRD Surakarta menyoroti perempuan yang kerap dijadikan obyek. Perempuan memiliki beban ganda sebagai istri dan seorang ibu yang juga berperan ketika mencari nafkah serta di ranah publik. “Di beberapa kasus di tempat kerja, perempuan harus memiliki hak-hak di tempat kerja. Selalu kekerasan terjadi identik dengan korban perempuan. Ada stereotype di masyarakat tentang perempuan yang bekerja larut malam di luar rumah,” tutur NR.Kurnia Sari. Di ranah politik kuota 30 persen anggota legislatif perempuan belum terealisasi untuk memperjuangkan hak-haknya. Di Surakarta 45 kursi anggota DPRD baru terisi 8 perempuan. Sedangkan payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) yang berpihak kepada perempuan baru ada 2 yakni Perda AIDS dan Perda Seks Komersil. Pada acara yang dipandu oleh Elizabeth Yulianti Raharjo dan Muladiyanto, JPPAS beserta masyarakat dampingan menuntut 3 hal , yaitu 1) Usut tuntas kasus kekerasan seksual yang dilakukan Raja Solo, dan berikan hukuman yang berat pada setiap pelaku kekerasan seksual. 2) Lindungi perempuan dan anak, berikan hak dan keadilan bagi korban kekerasan seksual. 3) Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, akhiri impunitas (kekebalan) pelaku kekerasan seksual. (Astuti Parengkuh) ![]() Modernisasi yang terjadi di Indonesia di satu sisi membawa kemajuan bagi status perempuan. Mengacu pada laporan pemerintah tentang pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) tentang status perempuan misalnya, terdapat peningkatan kontribusi perempuan dalam pekerjaan terutama di sektor nonpertanian. Akan tetapi di sisi yang lain, muncul pula sejumlah fenomena yang terkait dengan praktik tradisi dan agama yang merugikan perempuan. Alissa Wahid, Pendiri Jaringan Gusdurian, dalam Konferensi “Agama, Tradisi, Hak & Status Perempuan” yang diselenggarakan Jurnal Perempuan dan Kedutaan Besar Kanada di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (25/3), lebih lanjut memaparkan sejumlah contoh terkait fenomena tersebut. Dalam dekade terakhir, laju pertumbuhan penduduk di Indonesia mengalami peningkatan, yang kerapkali disebut sebagai potensi bonus demografi, meski sesungguhnya menunjukkan kegagalan program KB. Pada tahun 2000 laju pertumbuhan penduduk di Indonesia sebesar 1,45%, tetapi pada 2010 meningkat menjadi 1,49%. Selain itu Angka Kematian Ibu (AKI) juga menunjukkan peningkatan. Jika pada tahun 2007 angka kematian ibu berjumlah 228 atau turun dibandingkan tahun 1991 yang mencapai 390 per 100 ribu kelahiran hidup, namun berdasarkan data SDKI (Survei Dasar Kesehatan Indonesia) pada 2012 AKI berjumlah 359. Fenomena lain adalah angka usia pertama kali menikah untuk perempuan berdasarkan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2010 ada lebih dari 46% yang menikah sebelum usia 19 tahun. Ini menunjukkan bahwa lamanya pendidikan perempuan di sekolah ternyata tidak berdampak cukup signifikan terhadap kapan mereka menikah. Alissa menambahkan, mengacu pada gagasan Seth Godin, fenomena ini merupakan dampak dari globalisasi dimana suku tidak lagi dibentuk berdasarkan kedekatan geografis dan etnisitas, tetapi oleh kesamaan ideologi dan minat. Ini yang membuat ideologi berkembang ke segala arah dan semua orang bisa menjadi sumber penyebaran ideologi. Pada satu sisi kita melihat global village tetapi pada saat yang sama kita melihat pengelompokan berdasarkan ideologi. Kondisi ini menciptakan pertentangan, ketegangan dan kemudian kontestasi ideologi yang terjadi tidak hanya di level agama, tetapi juga pada level negara. Dalam praktik keseharian Alissa mencontohkan kampanye “nikah aja yuk” atau “udah putusin aja” lewat media sosial, yang pada kenyataannya sudah mampu mengubah tradisi. Contoh lain soal poligami, dimana praktik poligami justru semakin terbuka dibandingkan dulu bahkan kini juga dipromosikan selain dilakukan. Lebih jauh Alissa menjelaskan ketika arus besar publik sudah menjadi lebih abu-abu dan justru mengikuti arus yang menentang keadilan gender dengan berbasis teologis, maka kita mempunyai persoalan besar. Sementara sebagian besar dari kita cenderung memperkuat keyakinan (faith based) tetapi kurang dalam hal penguatan kultur (respect axis). Jadi kita tidak secara sistematis menginfiltrasi tradisi yang ada atau mengkapitalisasi tradisi yang ada untuk penguatan keadilan gender. Kondisi inilah yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Sebelum itu Indonesia justru dikenal sebagai negara yang menjadi salah satu model untuk keberhasilan melakukan mainstreaming gender. Alissa mengingatkan jika kita tidak mengambil respons yang cukup layak, maka kondisinya akan semakin memburuk. Jadi trennya justru semakin memburam kalau kita bicara agama dan tradisi dalam konteks perempuan. Lebih lanjut Alissa membagi pengalamannya dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Ia menuturkan kita harus mengakui bahwa masih banyak praktik-praktik yang tidak adil gender dan tidak berpihak pada perempuan terutama dikluster-kluster yang lebih konservatif seperti Madura. Tetapi jika kita melihat lebih panjang ke belakang, banyak juga praktik-praktik yang sebetulnya menunjukkan bahwa di kalangan Nahdliyin ada kesetaraan. Misalnya di musala-musala atau masjid-masjid NU, perempuan tidak ditempatkan di luar atau di belakang, tetapi setara, berada di samping dengan hijab ditengahnya. Selain itu dalam pertemuan-pertemuan formal di pesantren, laki-laki dan perempuan berada di dua lajur saling berhadapan. Bahkan di kalangan yang lebih modern sudah tidak ada lagi pemisahan semacam itu, tetapi sudah berbaur, seperti dalam forum pertemuan alim ulama misalnya. Jadi ada tradisi-tradisi semacam ini tetapi tidak kita kapitalisasi. Hal lain, lembaga-lembaga pelayanan masyarakat, rata-rata dikelola oleh Muslimat dan Fatayat dan pengakuan yang diberikan pada lembaga-lembaga ini sangat tinggi. Sehingga pengakuan atas perempuan di ruang publik sudah ada. Kita mempunyai tradisi ini, tetapi tidak kita kapitalisasi dan kalah kontestasi di ranah publik. Karena itu menurut Alissa tantangan yang kita hadapi saat ini adalah memperkuat basis teologis untuk keadilan gender, menggali tradisi aktual yang mendukung penguatan perempuan dan membangun gerakan yang lebih strategis dan komprehensif untuk memenangi kontestasi. (Anita Dhewy) ![]() “Apakah agama dan tradisi adalah dua hal yang berbeda atau salah satunya lebih kuat dari lainnya, yakni agama lebih kuat dari tradisi atau tradisi lebih kuat dari agama?”, Syafiq Hasyim, Direktur Senior ICIP (International Center for Islam and Pluralism) mempertanyakan kedudukan antara agama dan tradisi dalam Konferensi “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia” yang diadakan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kanada pada Kamis, 5 Maret 2015 di Hotel Aryaduta, Jakarta. Dalam konferensi ini, Syafiq menekankan bahwa membedakan antara agama dan tradisi merupakan persoalan yang harus dicari jawabannya. Selanjutnya, Syafiq menggarisbawahi apa yang disampaikan Musdah Mulia—yang juga menjadi pembicara dalam konferensi tersebut—bahwa orang lebih cenderung melihat “kembang-kembang” dalam agama daripada inti ajaran agama. Misalnya mengenai khotbah setelah pernikahan yang cenderung membatasi perempuan. Di mana tradisi menjadikan posisi perempuan berada dalam posisi yang tidak diinginkan. Menurut Syafiq dalam menyikapi posisi antara agama dan tradisi, pandangan Ulama dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, Islam sebagai produsen dari tradisi, karena itu jika ada perempuan diperlakukan tidak adil atau subordinat, hal itu semata-mata dari agama yang merembes ke tradisi. Kedua, Tradisi sebagai produsen dari Islam, di mana agama dipengaruhi tradisi itu sendiri. Sehingga jika tradisinya baik akan menjadi empowering, sementara jika tradisinya cenderung patriarkis tentu menghasilkan the rules of father. Lebih lanjut, Syafiq memandang ada kalanya agama memengaruhi tradisi dan begitupun sebaliknya dengan menekankan pada equal dan justice dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki. Syafiq melihat cara pandang Islam yang secara tekstual meletakkan perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan. Misalnya pada surat An-Nisa ayat 34 yang cenderung dilihat secara tekstual bahwa perempuan adalah sebagian dari laki-laki. Hal ini juga terjadi pada ayat penciptaan manusia serta ayat poligami. Syafiq menekankan, “Ini merupakan problem kita karena kita belum dapat menemukan jawaban yang krusial dan mantap, di mana ayat membela baik perempuan maupun laki-laki.” Sejauh penelitian yang dilakukan Syafiq mengenai sudut pandang ulama dalam persoalan perempuan, hampir sebagian besar bias gender. Bahkan banyak sejarawan muslim yang memandang bahwa peranan perempuan pascaRasulullah mengalami stagnasi. Sehingga menghasilkan produk-produk yang dalam istilah sekarang dikatakan tidak sensitif gender. Hal ini dapat dilihat dari pandangan ulama mengenai penciptaan manusia dan poligami. “Kita menemukan ribuan kitab yang membuat kita akan menangis melihat ulama terdahulu menggambarkan perempuan sebagai the secondary class,” tegas Syafiq. Mengenai penciptaan manusia, ulama terdahulu berpendapat bahwa perempuan diciptakan dari diri laki-laki. Ulama terdahulu menyandarkan argumennya bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk Adam dan pembuktiannya dengan memeriksa perbedaan tulang rusuk laki-laki dan perempuan. Mereka menegaskan bahwa tulang rusuk laki-laki sebelah kanan delapan belas dan sebelah kiri tujuh belas, dengan salah satu tulang rusuknya diambil perempuan. Padahal ulama terdahulu belum dapat membuktikannya secara medis, hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan akademisi saat ini, di mana ulama terdahulu mengambil pengetahuan yang bersumber dari tradisi pengetahuan pada masa itu sebagai taken for granted. Syafiq manyatakan hanya Muhammad Abduh yang menegaskan bahwa makhluk yang diciptakan pertama bukanlah laki-laki, sebagai mana yang diceritakan dalam the rib story. Dalam tafsir Al-Manar, Abduh mengatakan jika the rib story tidak diceritakan dalam Alquran dimana Adam dipandang sebagai sebab asal-usul penciptaan hawa. Menurut dia hal ini merupakan hasil tradisi Israiliyyat. Tradisi Israiliyyat berkembang pada masyarakat Judeo-Chrstian. Untuk itu, Syafiq mempertanyakan pada kaum nasrani mengenai tradisi biblistik dalam menggambarkan penciptaan manusia sebagai mana pada the rib story. Akan tetapi, kaum Kristen tidak membenarkan mengenai hal itu. Menelisik khazanah pandangan ulama di Indonesia pun masih terdapat bias gender. Pandangan Buya Hamka dalam buku Kedudukan Perempuan dalam Islam, sama seperti ulama terdahulu, sehingga tidak mengulas aspek-aspek penting bagi perempuan hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat normatif. Ulama saat ini pun kerap menyandarkan pada argumen ulama terdahulu yang tidak sensitif gender, misalnya Syeikh Nawawi Al-Bantani yang menjadi rujukan perihal persoalan perempuan. Padahal dalam diktum-diktumnya, terkhusus pada kitab ‘uquduz zain fi ‘uqudiz zaujain cenderung bias gender. “Lantas di mana posisi kita?”, Syafiq kembali mempertanyakan bagaimana kita memandang antara agama dan tradisi dalam mengatasi persoalan perempuan. Penerjemahan-penerjemahan pun dilakukan untuk mengatasi persoalan perempuan dengan menerjemahkan literatur-literatur berbahasa Inggris yang lebih banyak daripada literatur berbahasa Arab. Aksi nyata untuk mengatasi persoalan perempuan pun dilakukan Yayasan Kalyanamitra dan Yayasan Solidaritas Perempuan namun mereka mengalami kesulitan karena tidak mampu menjawab dari aspek agama. Padahal kecenderungan masyarakat ingin selalu menggunakan agama dalam segala aktivitasnya. Untuk itu Musdah Mulia serta Nasaruddin Umar berada dalam garis terdepan dalam mengatasi persoalan perempuan dengan pendekatan maqashidul syariah dan menghadirkan fiqhul nisa. (Agidia Oktavia) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |