![]() Pada hari Sabtu (30/5/2015) di acara Pelatihan Media Meliput LGBT, Rocky Gerung berbicara mengenai jurnalisme yang adil. Dalam acara yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, Hivos dan Ardhanary Institute di Casakhasa Bistro Garden, Kemang Utara, Rocky mengatakan bahwa tulisan merupakan alat untuk melakukan konfrontasi terhadap isme-isme hari ini. “Oleh karena itu melalui tulisannya, jurnalis bertugas menemukan apa yang disembunyikan oleh peradaban”, papar Rocky. Rocky memaparkan bahwa di dalam sejarah panjang peradaban Yunani sampai hari ini, advokasi Feminisme yang diiringi dengan eksplorasi teoretis telah menghasilkan perubahan di dalam demokrasi, yaitu diakuinya pengalaman dan hak pilih perempuan. Demokrasi dianggap bekerja sejauh adanya rasionalitas, sementara rasionalitas dianggap hanya dimiliki oleh laki-laki. Perempuan tereksklusi, menjadi non-existent dan tidak memiliki hak. Perubahan terhadap hal itu terjadi melalui evolusi pikiran, meski sampai hari ini misoginisme masih hidup. Pada hari ini konfrontasi yang ada adalah konfrontasi gagasan melalui tulisan. Bagi Rocky harus ada affirmative action di dalam jurnalisme melalui subversi di dalam penulisan dan menyelundupkan justice di dalam reportase. Pemberitaan yang berimbang harus mengangkat apa yang dipinggirkan sehingga masyarakat memahami bahwa ada diskriminasi ketika kita mencoba menyingkirkan yang satu di dalam oposisi biner. Seringkali kita bereaksi terhadap sesuatu tanpa melihat persoalannya, seperti kebijakan-kebijakan tentang “darurat minuman keras” atau “darurat pornografi” padahal sesungguhnya yang darurat itu terdapat pada cara berpikir masyarakat. Ketika ada perbedaan pengalaman, masyarakat menganggap hal itu sebagai “darurat”, sama halnya pada “darurat lesbian”. Peran jurnalisme adalah memberitakan secara berimbang melalui pemberitaan yang menggunakan perspektif ketertindasan. Pada hari ini kita sudah bisa menemukan mata kuliah Queer Theory yang meminta kita untuk menghormati perbedaan. Penghormatan itu juga harus dilakukan oleh negara. Selama ini kita melihat bahwa etika mengalami evolusi, dahulu perempuan, buruh, anak-anak tidak memiliki hak, dan pada hari ini queer. Negara harus menghormati adanya perbedaan pengalaman itu. Jika negara masih merasa terganggu, artinya negara masih patriarkis. Bagi Rocky, “Dunia tidak sesempit tajuk rencana koran, oleh karena itu jurnalis harus think the unthinkable.” (Lola Loveita) ![]() Sabtu 30 Mei 2015, bertempat di Casakhasa Bistro Garden pelatihan meliput LGBT diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Ardhanary Institute dan HIVOS. Pelatihan ini dihadiri oleh 25 peserta yang berlatar belakang wartawan media (elektronik, cetak, online, dan kampus) dari berbagai daerah antara lain Jakarta, Cirebon, Tuban dan Bandung. Pelatihan ini membahas mengenai bagaimana cara wartawan meliput LGBT sehingga berita yang disuguhkan pada masyarakat berimbang dan adil. Pelatihan ini terdiri dari 4 materi pokok yang sangat menarik dan interaktif. Materi sesi pertama adalah “Queer dan Demokrasi Radikal” yang disampaikan oleh Rocky Gerung dosen departemen Filsafat Universitas Indonesia. Sesi kedua pelatihan ini diisi oleh materi “Kesetaraan dan Keberagaman” oleh Gadis Arivia, pendiri Junal Perempuan. Sesi ketiga akan diisi oleh pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, Dewi Candraningrum, dengan materi “Penulisan Berperspektif Gender/ LGBT”. Sesi terakhir ditutup dengan pemamparan mengenai “SOGIEB” oleh Sri Agustine dari Ardhanary Institute. Materi dalam pelatihan ini juga tidak disuguhkan dalam satu arah. Setiap pembicara menggunakan berbagai metode dalam penyampaian materi. Gadis Arivia dalam pemaparannya mengenai “Kesetaraan dan Keberagaman” membagi peserta dalam beberapa kelompok kemudian memulai dengan diskusi kelompok untuk menganalisis berbagai isu terkait etika dalam pemberitaan. Kemudian setelah itu Dewi Candraningrum mengambil metode praktik menulis untuk melatih perspektif gender/ LGBT peserta. Selain mendapat materi secara tatap muka, peserta juga mendapatkan modul “Panduan Media Meliput LGBT” yang berisi mengenai rules menulis berita yang berpihak dan tidak bias. Modul ini juga dilengkapi dengan daftar kata yang sebaiknya digunakan jurnalis untuk mengangkat berita LGBT. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Gadis Arivia dalam acara pelatihan meliput LGBT yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Ardhanary Institute dan HIVOS menyampaikan materi “Kesetaraan dan Keragaman” dalam sesi kedua. Acara ini dilaksanakan pada Sabtu 30 Mei 2015, bertempat di Casakhasa Bistro Garden. “Menghargai keragaman harus dimulai dari keragaman berpikir” ungkap Gadis dalam pengantar materinya. Gadis menambahakan bahwa keragaman itu selalu ada disekeliling kita, mulai dari keragaman etnis, ras, gender, agama hingga struktur keluarga. Pada sesi ini peserta dibagi dalam 4 kelompok dengan maksud agar peserta dapat berdiskusi intens satu sama lain. Ada beberapa hal yang didiskusikan antara lain mengenai perspektif peserta terhadap bahasa dan gambar yang mainstream, kemudian berdiskusi mengenai Cerpen karya Adri Basuki dengan judul “Kenikmatan Terlarang”. Dari Cerpen Adri Basuki peserta diminta untuk menganalisis nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Setelah berdiskusi peserta diberi kesempatan untuk mengungkapkan hasil diskusi kelompok. Materi kedua ini sangat interaktif karena 25 peserta yang berlatar belakang wartawan media (elektronik, cetak, online, dan kampus) dari berbagai daerah antara lain Jakarta, Cirebon, Tuban dan Bandung akan berlatih mengubah cara pandang kemudian menulis berita yang adil. Gadis Arivia menggunakan pendekatan etika untuk menganalisis prinsip-prinsip dalam menulis berita yang berpihak. Teori yang digunakan antara lain Rawls, Aristoteles, dan Kant. Peserta sangat antusias dalam sesi kedua ini terbukti dengan diskusi dua arah yang terjadi dan banyaknya pertanyaan yang diajukan. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Persepsi masyarakat terhadap homoseksual bukan pada orientasi seksualnya, tetapi seperti kaum Nabi Luth. Homoseksual bukan sodom. Orang heteroseksual bisa melakukan sodomi. Isu ini ada sepanjang sejarah manusia, termasuk dalam sejarah islam. Homoseksual adalah orientasi seksual , kehendak seksual. Bukan hanya urusan tubuh, namun ketertarikan sesama jenis. Istilah homoseksual ada di dalam Al-Qur’an. Demikian penuturan K.H. Husein Muhammad dari Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, anggota komisioner Komnas Perempuan (2007-2014) dalam diskusi publik “Membedah tabu perempuan seksualitas non-mainstream dalam perspektif agama” yang dihelat Talita Kum, Program Studi S2 Sosiologi Pascasarjana UNS Sebelas Maret, Himasos dan didukung oleh HIVOS, Kamis (23/4/2015). Acara yang berlangsung di aula FISIP UNS Sebelas Maret dipenuhi hampir seluruh kapasitas gedung, setelah sebelumnya panitia sempat mendapat ancaman pembubaran acara oleh Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS). Reny Kistiyanti, direktur eksekutif Talita Kum Solo menjelaskan tentang sejarah terbentuknya komunitas yang didirikannya bersama teman-teman pada tahun 2009. Talita Kum adalah organisasi perempuan muda yang memiliki keberpihakan terhadap pencegahan dan pembelaan terhadap perempuan, terutama perempuan dengan seksualitas non-mainstream atau Lesbian, Biseksual, Transgender (LBT). Reny juga memaparkan tentang Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, And Body atau disebut dengan SOGIEB. Mengutip Deklarasi PBB tentang Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, tahun 1983, “Kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk kekerasan berbasis gender yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan kepada perempuan secara fisik, seksual, atau psikologi, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan, secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.” Sementara itu Pdt. Hendri Wijayatsih dosen dan Ketua Pusat Studi Theologi Feminis Universitas Kristen Duta Wacana menyatakan bahwa tidak ada teologi yang “mandek”. Teologi harus terus berubah. “Ke-kristen-an ikut andil dalam mendiskriminasi orang dengan orientasi seksual berbeda”, jelasnya sambil menyitir Alkitab Kejadian 1:27. Senada dengan Husein Muhammmad, Hendri Wijayatsih mengatakan hal yang sama bahwa homoseksual, orang dengan orientasi seksual berbeda bukanlah suatu penyakit. “Kita mengenal Dorce sebagai transgender. Jika ada pernyataan dari peserta diskusi bahwa perlu reorientasi pada orang dengan orientasi seksual berbeda, apa yang diorientasi? Saya sependapat bahwa orang yang melakukan kejahatanlah yang memerlukan orientasi”, jawab Hendri Wijayatsih dalam sesi diskusi. Diskusi ini juga menyinggung tentang homoseksual dan kaitannya dengan orientasi seksual yang berbeda, apakah itu sebagai kodrat, terberi (given) atau sebuah konstruksi sosial. Satu per satu para narasumber menjawab pertanyaan dari peserta diskusi tentang kasus seorang homoseksual, bahwa tidak ada standar, patron, ukuran yang pasti untuk menentukan apakah seseorang dengan orientasi seksual berbeda itu given atau bukan. Namun penekanan ada pada proses kemanusiaan yang paling penting yaitu mencari jati diri atau penerimaan. Sedangkan tindakan justifikasi, menghukum, dan stigma negatif tanpa paham adalah sesat, karena kita harus memahami persoalan terlebih dahulu. Menutup diskusi publik yang dimoderatori oleh Rahayu Purwaningsih, para pembicara sepakat bahwa untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan seksual non-mainstream adalah membangun jaringan dan menghadapi konseling secara bersama-sama dengan cara memahami, tekun mendengarkan korban stigmatisasi. (Astuti Parengkuh) Latar Belakang, Kemiskinan dan KDRT
![]() Pada Jumat malam (17/4/2015) bertempat di Jl. Mawar 221 Badran Surakarta diselenggarakan pemutaran dan diskusi film R.A Kartini yang dibintangi Yenny Rahman besutan sutradara Sjumandjaja dan diproduksi tahun 1984. Acara yang diselenggarakan oleh Sinemain dan Jejer Wadon ini dihadiri oleh puluhan aktivis dan mahasiswa. Vera Kartika Giantari, narasumber diskusi mengatakan bahwa Kartini mampu mengungkapkan, mengejawantahkan apa yang menjadi keinginannya dan di usia 12 tahun sudah mulai bergerak. “Kartini secara lahir adalah genuine alami. Kartini bekerja bukan untuk mencari pangkat dan kedudukan”, tutur Vera Kartika Giantari. Sedangkan dalam sesi diskusi Haryati Panca Putri mengatakan bahwa Kartini memiliki kepedulian terhadap ketidakadilan dan kaum marginal. Proses perlawanannya terhadap budaya dan etika digambarkan dalam satu adegan ketika dia mengetahui suaminya dipijit oleh ketiga garwa selir, sampai kemudian ada tekanan psikologis. “Kartini menyampaikan kritikan dengan sangat etis. Dia memiliki jiwa pemberontak, tetapi masih pada jalur sebagai perempuan Jawa”, ujar Haryati Panca Putri. Dini, seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyatakan kesamaan pendapat bahwa Kartini adalah genuine. Sesuatu yang muncul darinya membuatnya bergerak. “Hal itu berbanding terbalik dengan keadaan saya sebagai mahasiswa. Saya hari ini berpikir besok saya akan bisa melakukan apa kepada masyarakat. Kita dijauhkan dari masyarakat apalagi kampus saya tidak ada Kuliah Kerja Nyata (KKN). Artinya hari ini pemikiran mahasiswa adaptif. Zaman sekarang dengan dulu berbeda karena media sedikit cuma dengan mata telinga. Media sekarang banyak dan kita terlalu reaktif”, ungkap Dini. Dia menambahkan bahwa di zaman dulu Kartini memperjuangkan bagaimana rakyat berjuang di ruang formal. Peserta diskusi lain Indah Darmastuti membuat perbandingan dengan novel roman yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Jejak Langkah dan Gadis Pantai, “Di film ini ditekankan bahwa Kartini menikah karena tindakan politis. Bahkan di Jejak Langkah disebut Minke susah mencari taksi untuk di sewa karena pernikahan Kartini banyak memerlukan sewa mobil”, jelas Indah. Dan yang perlu dicatat menurutnya adalah Kartini menafikan kultur stelsel dan feodalisme. Dewi Candraningrum memberi kalimat penegasan sebagai penutup diskusi bahwa dilihat dari kekinian perempuan pintar itu penting. Perempuan harus pintar dalam segi apapun. Dalam teori Leadership The Winner of Love, banyak sekali perempuan memenangkan cinta sesungguhnya. Pemimpin perempuan dianggap berbahaya, karena kalau dia cinta rakyatnya maka dia lebih ditakuti. Kedua, perempuan secara ginekologi sosial pantai utara Jawa: Rembang dan Jepara sekarang ini ada Sukinah. Ini membuktikan bahwa kepemimpinan itu kuat. “Belum pernah Sukinah kita kenal sampai kasus pegunungan Kendeng merebak. Inilah secara genetik dan psikologi perempuan sanggup menyandang The Winner of Love”, pungkas Dewi Candraningrum. (Astuti Parengkuh) ![]() Kesenian apapun bentuk perannya mampu menyelesaikan makna. Keterlibatan Dewi Candraningrum dalam seni rupa adalah kebetulan. Tidak ada aturan “saklek” seseorang untuk berkesenian, jika bisa dikatakan 1persen adalah konsistensi dan 99 persen ada dalam banyak pendidikan, persoalannya berbeda ketika kita menoleh pada peran Dewi Candraningrum, Hal itu yang menjadi perhatian perupa Solo Saifuddin Hafiz. “Satu sisi dia adalah seorang ibu, dan satu sisi dia seorang pelaku. Dari lelaku dia mendapat pengalaman ide yang merupakan bukti empiris. Keterlibatan Dewi sebagai aktivis adalah sumber gagasan”, tutur perupa yang juga dikenal sebagai aktivis saat menjadi pembicara dalam diskusi dalam acara “Artist Talk” Womb Document Dewi Candranigrum. Acara yang dipandu oleh Shinta Maharani dihadiri sekitar 50 peserta terdiri dari akademisi, perupa, aktivis dan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta berlangsung pada Selasa (24/3/2015) di Sangkring Art Space, Bantul Yogyakarta. Saifuddin Hafiz juga menambahkan jika dirinya lebih cenderung memerhatiakan kepada esensi karya. “Ibaratkan seperti Wiji Thukul dalam karya-karyanya, karya Dewi berupa kegelisahan dan kemarahan. Contoh penggambaran tokoh Gerwani dalam lukisannya bukan sebentuk perjuangan, tetapi apa yang ada dibalik guratan-guratan. Ini adalah catatan hidup” jelas Saifuddin Hafiz. BJD Gayatri, seorang feminis yang juga menjadi pembicara menganalisis tentang warna yang dipilih dalam lukisan-lukisan Dewi Candraningrum. “Warna-warna yang saya lihat identik dengan sifat extrovert dan warna menggambarkan emosi. Lukisan bisa juga dipakai sebagai terapi. Saya melihat bagaimana Dewi bisa meraba survivor terhadap perasaan yang dialaminya. Lihatlah, mereka tidak simetris. Warna ‘blontang-blonteng’ adalah ekspresi yang galak, marah tetapi kosong. Bukan sekadar sapuan, ada kadar emosi yang bisa saya tangkap melalui warna. Dan apa yang direkam oleh Dewi adalah keberpihakan”, ujarnya. Aktivis yang pernah menjadi kurator di Biennale tahun 1996 itu juga mengatakan bahwa karya-karya yang dipamerkan sejak 13 Maret lalu 2015 semacam retropeksi atas diri Dewi Candraningrum. Ratna Noviani (Dosen UGM dan Dewan Etik AJI) menjelaskan bahwa lukisan Dewi menarasikan tentang subyek-subyek perempuan yang selama ini tidak berada dalam "space of representation", sebagai (P)erempuan. Subyek-subyek yang ada di margin narasi "the master" selama ini berada di ruang "space off" (pinggiran). Perempuan yang berada dalam "space of representation" adalah "the Woman" --dengan W besar, yang merupakan subyek ideal yang diimajinasikan & menjadi fantasi laki-laki. Dalam lukisannya, Dewi bisa "moving back and forth", mencoba melihat di "space of representation" tersebut. Hal ini membantu melihat bagaimana perempuan diposisikan dalam wacana dominan, tetapi juga perempuan dalam wacana pinggiran untuk melihat dan mendengar suara-suara yang ada di "space off". Untuk kemudian membawa suara mereka ke dalam ruang representasi. Dewi Candraningrum menanggapi bahwa dirinya sudah lama terjun dalam narasi verbal, sedang pada narasi visual baru saja dilakukan sejak Juli 2012. “Jika sedang melukis, karena anak saya autis mendekat itu artinya takdir melukis saya selesai. Saya tidak ingin memiliki kesanggupan untuk bertanggung jawab secara akademik. Ketika saya sedang menulis maka saya pesimis. Berbeda ketika bertemu dengan korban maka ada perasaan riang dan ini tanggung jawab estetika. Ketika saya hanya menulis itu saya kurang bertanggung jawab”, ungkap Dewi. Guntur, seorang peserta diskusi memberi pernyataan bahwa lukisan-lukisan yang dipamerkan adalah perjalanan Dewi Candraningrum untuk keluar dari ‘penjara’. “Dewi sangat detail. Dan ini bagian dari katarsis, ungkapan yang tak tertuang dalam narasi verbal”. Putu Sutawijaya, pemilik Sangkring Art yang aktif mengikuti acara diskusi hingga selesai dan turut menanggapi bagaimana karya-karya Dewi Candraningrum bisa lolos dari perhitungannya dan bagaimana kurator Kris Budiman ‘menemukan’ Dewi Candraningrum. Dia mengatakan bahwa ruangan pameran yang sudah ada sejak 8 tahun lalu pernah diapresiasi oleh majalah TIME. Menurutnya justru media lokal tidak pernah menganggap. Pihaknya pernah menyediakan fasilitas diskusi yang bisa dikatakan sebagai kantong-kantong kebudayaan, namun kini surut. “Saya suka karena berbagi ruang”, ujar perupa yang karya-karyanya pernah dipamerkan diberbagai kota di Indonesia. (Astuti Parengkuh) ![]() Selasa, 24 Maret 2015 ruangan pameran lukisan “Dokumen Rahim” tidak seperti biasanya. Sekitar kurang lebih 40 orang berkumpul dari berbagai kalangan mulai dari perupa, akademisi maupun mahasiswa. Kehadiran mereka tidak lain adalah untuk menghadiri acara Artist talk yang merupakan rangkaian dari pameran lukisan Dewi Candraningrum yang bertajuk “Dokumen Rahim”. Acara yang dimulai pukul 19.30 tersebut dimoderatori oleh Shinta Maharani dari divisi Gender AJI. Sementara itu terdapat tiga pengulas dalam acara ini yaitu BJD Gayatri seorang feminis yang juga pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta, perupa dari Solo yaitu Saifuddin Hafiz dan Dr. Phil Ratna Noviani dari FISIPOL UGM. Saifudin Hafiz sebagai pengulas pertama mengungkapkan bahwa bila kita bica mengenai seni rupa, kita bicara akan tanggung jawab. Menurutnya, ada harapan-harapan yang ingin dicapai dalam karya-karya Dewi yang dipamerkan, salah satunya yaitu kebebasan. Dewi yang sering mengungkapkan bahwa kecintaannya pada dunia melukis merupakan sebuah kebetulan, namun sesungguhnya tidak ada aturan tertentu untuk menjadi seorang perupa. Yang menjadi ketertarikannya adalah sosok Dewi sebagai seniman juga menempatkan dirinya sebagai pelaku. Melalui lelakunya dia menemukan ide-ide, pengalaman dan keterlibatan dalam isu-isu perempuan yang menjadikan karya-karya luar biasa ini. Sementara itu, BJD Gayatri sebagai pengulas kedua tertarik bagaimana Dewi menemukan warna-warna. Dia mengungkapkan bahwa perkembangan warna pada lukisan-lukisan Dewi sungguh diluar dugaan. Dia sangat berani memainkan warna, sehingga muncul emosi-emosi dari pilihan warna dalam lukisannya. Bila Dewi Candraningrum mengatakan baru-baru saja ia mulai belajar melukis, lain dengan cerita Dr. Phil Ratna Novianti yang juga sahabat Dewi ketika menempuh S3 di Jerman. Menurut Ratna, dari dulu Dewi sudah senang “corat-coret” diatas kertas dan menghasilkan gambar-gambar. Mengenai karya-karya Dewi, Ratna berpendapat bahwa Dewi ingin menggunakan lukisan-lukisannya untuk bicara. Terlihat pada subjek-subjek yang dihadirkan dalam lukisan-lukisan Dewi, yaitu mereka-mereka yang disisihkan dan jarang terrepresentasikan semisal Widji Thukul, anak-anak perempuan di Zambia juga para penyintas kasus perkosaan. Namun ungkapan berbeda datang dari salah seorang peserta dalam sesi diskusi. Menurutnya memang benar bahwa subjek-subjek yang dimunculkan adalah mereka yang tersisih, namun ada juga beberapa tokoh-tokoh besar yang dihadirkan seperti lukisan Mother Teresa, Jesus, dll. Wiwin, salah satu peserta memberikan tangapannya bahwa lukisan bertema After the Rape adalah lukisan yang paling menonjol dari lukisan lainnya. Dia mengagumi bagaimana Dewi melukiskan wajah para penyintas dengan karnival warna namun dengan tatapan mata yang kosong, dalam dan terluka. Ditemani kacang, pisang rebus dan serabi solo, selama diskusi berlangsung banyak peserta yang bertanya atau hanya mengungkapkan pendapatnya. Pada akhirnya sesi ditutup pada pukul 22.00. (Indriyani Sugiharto) ![]() Dalam acara Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-X, salah satu acara rutin Yayasan Jurnal Perempuan, pada tanggal 21 Maret 2015 di rumah Prof. Mayling Oey-Gardiner, Sapariah Saturi dari Mongabay Indonesia menyampaikan bahwa pada awalnya ia hanya melihat keterkaitan antara perempuan dan tradisi melalui acara-acara adat yang umumnya sarat akan kemeriahan. Tetapi ketika ia turun langsung ke lapangan dan memelajari lebih jauh, ia akhirnya mengetahui bahwa keadaan perempuan dalam kungkungan adat tidaklah sebaik yang terlihat. Pada kenyataannya, kondisi perempuan yang terpinggirkan ini sudah berlangsung lama. Menurut Sapariah, hal ini dapat terlihat terutama pada masa Orde Baru. Pemerintah yang merumuskan kebijakan tanpa memikirkan rakyat kecil, terutama perempuan, membuat undang-undang pertambangan dan semacamnya yang telah merampas alam dari perempuan. Perempuan ditekan. Bukan hanya dari dalam melainkan juga dari luar. Ketika alam dirampas dan “dibersihkan” oleh para pembuat kebijakan, perempuan dirampas dari penghidupan mereka dan tradisi mereka karena pada dasarnya “ruh” perempuan berada dalam hutan, sungai, dan pada seluruh elemen bumi. Ketika pemerintah memberikan ganti rugi, penggantian tersebut tidak selalu bersifat adil. Lahan pemukiman penduduk bisa diberikan tetapi lahan yang subur untuk bertani dan berladang tidak bisa tergantikan. Tidak dapat hidup di sektor agraris lagi, para perempuan yang menanggung beban ganda akibat digusurnya lahan pertanian mereka, harus beralih pekerjaan menjadi tenaga buruh di pabrik. Di samping kisah-kisah memilukan antara tradisi, alam, dan perempuan, terdapat juga kisah-kisah heroik yang tidak boleh kita lupakan. Perjuangan para perempuan dari masyarakat adat seperti kasus Mama Aletta yang berjuang bersama perempuan desa untuk melawan perusahaan tambang Pegunungan Molo, Nusa Tenggara Timur. Perjuangan itu berbuah hasil yang baik. Oleh karena itu perempuan pun harus berdaya memerjuangkan posisi mereka di tengah tradisi dan alam. (Johanna G.S.D. Poerba) ![]() “Ketika kita membicarakan tentang perempuan di wilayah Asia Tenggara, maka kita dapat melihat bahwa mereka tidak mendapatkan banyak akses pada berbagai bidang seperti kesehatan, ekonomi, dan politik. terutama dalam bidang politik, perempuan kurang memiliki kesempatan atau kekuasaan yang sama” Demikianlah kalimat pembuka dari Prof. Patrick Ziegenhain, Dosen di Goethe-Frankfurt University ketika menjadi pemateri dalam Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-X di kediaman Prof. Mayling Oey-Gardiner, Sabtu 21 Maret 2015. Menurut Ziegenhain, Negara-negara di Asia Tenggara memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup banyak seperti bahasa, budaya, tradisi, ekonomi, politik, dan sebagainya. Sebagai contoh, ia menekankan perbedaan pada negara-negara di Asia Tenggara yang sudah lebih maju seperti Singapura dan Filipina dengan negara-negara yang masih berkembang seperti Myanmar dan Indonesia. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari data-data mengenai tingkat partisipasi politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. World Economic Forum mencatat berdasarkan partisipasi ekonomi perempuan, Filipina terletak pada posisi yang sangat baik yaitu pada peringkat ke-9, Singapura disisi lain tercatat pada posisi nomor 60 sekian dan Indonesia pada nomor ke-108. Di Filipina komposisi jumlah perempuan dan laki-laki di bidang ekonomi pun sudah dapat dikatakan hampir seimbang. Kemudian dari bidang pendidikan, rata-rata penduduk negara-negara maju di Asia Tenggara telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi sedangkan di negara berkembang masih ada penduduk yang hanya merupakan lulusan dari sekolah menengah (dan tidak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi) dalam jumlah besar. Mengenai angka kelahiran anak, keluarga negara berkembang cenderung memiliki anak yang lebih banyak dibandingkan negara maju. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa perbedaan antara Filipina dan Indonesia tentunya sangat jauh dalam ekonomi, politik, maupun pemberdayaan perempuan. Kedepannya, Ziegenhain menyarankan agar pemerintah lebih memerhatikan peran perempuan dalam upaya peningkatan ekonomi. Begitu juga dalam hukum, baik itu perumusan kebijakan ataupun pribadi-pribadi para penegak hukum, serta perlu dilakukan pendekatan hukum pada perempuan dan isu-isu gender di Indonesia. Terakhir, pemerintah dan masyarakat juga harus sama-sama berupaya mengurangi (sebisa mungkin hingga menghilangkan) desakan dari ajaran agama yang bersifat diskriminatif gender. (Johanna G.S.D. Poerba) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |