![]() “Agama dan perempuan tidak pernah bersahabat meskipun perempuan adalah pihak yang seringkali paling menjaga kemurnian dan perintah agama”. Kalimat ini membuka paparan Siti Musdah Mulia dalam Konferensi “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia” yang diadakan Jurnal Perempuan dan Kedutaan Kanada pada Kamis, 5 Maret 2015 di Jakarta. Musdah yang merupakan ketua Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menambahkan Islam membawa perubahan dalam masyarakat yaitu memperkenalkan perayaan kelahiran bagi anak perempuan. Tradisi ini yang dikenal dengan hukum Akikah (perayaan sebagai bentuk ungkapan syukur dan kebahagiaan atas lahirnya hidup baru di dunia), awalnya hanya dijalankan untuk anak lelaki pada masa pra-Islam (jahiliyah). Ketika Islam masuk, tradisi Akikah kemudian dilaksanakan bagi bayi-bayi perempuan yang awalnya dianggap sebagai beban bagi sebuah keluarga. Sayangnya patriarki bertumbuh dengan sangat kuat. Anggapan bahwa perempuan adalah beban masih sering melekat dalam keluarga-keluarga yang melestarikan nilai-nilai tradisi yang salah. Oleh karena itulah pernikahan anak, salah satu akibat dari anggapan tersebut, banyak dilaksanakan untuk “membebaskan” keluarga yang bersangkutan dari anak perempuannya. Padahal perkawinan anak ini yang menyebabkan traffiking, AKI, HIV/AIDS, dan sebagainya. Musdah menceritakan bahwa salah satu anak didiknya pernah dinikahkan oleh orang tuanya walaupun saat ijab kabul dilakukan, yang bersangkutan tidak berada di lokasi ijab kabul. Ketika ia pulang ke kampung, ia mendapati ada lelaki asing di dalam kamarnya yang dinyatakan oleh ayahnya sebagai suami dari mahasisiwi tersebut. Di sinilah ijab kabul dimaknai secara keliru. Dalam prosesnya, ijab kabul biasanya dilaksanakan oleh penghulu dan wali sebagai partisipan aktif. Kedua posisi ini diisi oleh mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Di sisi lain, perempuan hanyalah berperan pasif. Padahal ijab kabul sebenarnya adalah sebuah kontrak yang seharusnya diikuti dan disepakati oleh hanya kedua pihak yang akan mengikatkan diri pada satu sama lain yakni mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Sayangnya persoalan ini tak diatur dalam agama Islam. Posisi perempuan dalam pernikahan bahkan diatur dalam undang-undang sebagai posisi subordinat. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga, yang seringkali diartikan sebagai penguasa ataupun yang memiliki hak untuk memerintah sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga. Hal lain dalam prosesi pernikahan yang timpang secara gender adalah ketika perempuan seringkali di-setting terlihat “mengenaskan”, bersimbah air mata sembari memohon ampun pada orang tua sementara pihak mempelai lelaki hanya berperan seadanya, tidak turut dalam adegan dramatis semacam itu. Jadi, seharusnya kita mulai memisahkan antara agama dan tradisi dalam suatu prosesi pernikahan meskipun pada kenyataannya nilai-nilai tradisi masih lebih kuat ketimbang agama. Menurut perempuan yang menjadi dosen pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, selama ia mendalami Alquran, ia tidak pernah menemukan ayat yang memerintahkan perempuan untuk taat kepada suami mereka. Kata “taat” dilanggengkan oleh masyarakat dalam prosesi pernikahan yang pada akhirnya dimaksudkan untuk menanamkan pada pihak istri bahwa istri harus patuh sepenuhnya pada suami mereka. Musdah menyatakan bahwa ia hanya menemukan perintah bagi lelaki dan perempuan untuk menaati Allah dalam Alquran. Dengan menaati Allah berarti sudah sepantasnya seorang istri menghormati suaminya dan begitu pula sebaliknya. Lembaga pernikahan di Indonesia yang sarat akan nilai-nilai patriarki dapat terlihat melalui contoh sederhana. Para perempuan yang sudah menikah umumnya disibukkan dengan tanggung jawab akan segala kebutuhan suami dan anak-anak mereka sementara seringkali kebutuhannya sebagai perempuan sekaligus manusia terlupakan. Tekanan pada perempuan tak hanya berhenti dalam lingkup keluarga. Masyarakat seolah turut berperan aktif menekan perempuan. Seringkali perempuan harus bertahan dalam suatu pernikahan meskipun pernikahan tersebut tidak membawa kebahagiaan baginya. Persepsi masyarakatlah yang membuat mereka harus mengambil keputusan tersebut. Kita semua sebagai manusia dilimpahi sebuah tanggung jawab untuk bertransformasi, memeriksa diri, tidak statis dan memanusiakan manusia. Dalam Islam, visi dan misi kita seharusnya sudah jelas. Ketidakadilan adalah hal yang harus dilawan. Inilah jihad. (Johanna G.S.D. Poerba) ![]() Pada hari Kamis (5/3) Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Kedutaan Kanada mengadakan konferensi yang bertema “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia”. Acara yang bertempat di Mezzanine Ballroom, Hotel Aryaduta, Jakarta ini mengundang pembicara dari McGill Institute of Islamic Studies, Montreal, Profesor Ahmed Fekry Ibrahim. Profesor Ibrahim memberikan penjelasan mengenai hukum Islam dan diskursus Hak Asasi Manusia (HAM) yang berkaitan dengan isu gender dan anak. Diskursus HAM menjadi basis kajian Prof. Ibrahim terhadap hukum Islam. Di dalam Islam dikenal konsep Taqlid, yaitu legal conformism atau kompromi hukum-hukum Islam. Taqlid sangat jarang terjadi dan ditemukan lebih mudah pada abad ke-13. Ibrahim menjelaskan perubahan tafsir hukum Islam yang pro-Islam ditemukan lebih kaya saat sebelum abad ke-13 atau disebut sebagai masa Islam pra-modern. Saat itu wajah hukum Islam lebih mengenal kesetaraan dibandingkan Eropa. Setelah abad ke-13 ortodoksi berkembang. Dinasti saat itu mempersulit jalan untuk menghasilkan tafsir hukum Islam yang ramah gender. Selanjutnya pada abad ke-19 pembaharuan terjadi dengan munculnya tafsir-tafsir yang ramah pada kesetaraan. Berdasarkan penelitian Prof. Ibrahim, Islam sebelum abad ke-13 bahkan lebih setara dibanding Eropa. Pada abad ke-16 s.d. abad ke-18, penjajahan Eropa ke Timur Tengah mempertemukan modernitas Eropa dengan tradisi Timur Tengah. Masyarakat Timur Tengah (terutama Mesir) mengadopsi sekaligus membenci modernitas Eropa. Hal itu dimaknai sebagai destabilisasi Timur Tengah yang menimbulkan ketakutan-ketakutan tertentu di dalam masyarakat. Meski begitu banyak pemikir Mesir yang mengenyam pendidikan di Eropa. Dari situ muncul pertanyaan-pertanyaan apakah hukum Islam dapat mengakomodasi modernisme hukum Eropa dan kenyataan hukum-hukum baru dalam masyarakat global. Pada abad ke-19 pertanyaan itu masih berbentuk, “is it possible or Islamic for Moslem to wear European hat? Or eat the meat killed by Christian or Jewish person?”. Pada abad selanjutnya sampai sekarang pertanyaan bergeser dan mengerucut berkenaan dengan feminisme dan hak-hak anak. Ketika para pemikir tersebut kemudian kembali ke Mesir, mereka menjadi reformis. Ibrahim mengatakan, “People would go back to the scripture and say, well this verse really means that”. Misalnya dalam hal poligami. Beberapa negara yang berpenduduk Muslim melarang poligami berdasarkan tafsir ayat tertentu dan tertuang di dalam hukum positif seperti Tunisia. Sebagai contoh ayat yang mengatakan, “you’re allowed to have two, three or four wives if you treat them justly. But you will not treat them justly”. Dari sana mereka menginterpretasi bahwa poligami sesungguhnya tidak diperbolehkan. Bergeser pada abad ke-21, Ibrahim memberikan contoh kasus mengenai hukum perwalian anak. Bagi Ibrahim, “it is important because it is overlaps with gender issues and minority rights”. Di samping itu isu itu juga terkait dengan ras, etnisitas serta afiliasi agama seseorang. Di dalam hukum-hukum tersebut Ibrahim mengatakan, “There are several rules of where the gender of the child determines how you gonna deal with the child.” Jenis kelamin anak sangat menentukan bagaimana masa depan mereka nantinya dalam perwalian. Hal itu akan menjadi isu karena mengakibatkan ketidakadilan gender. Ada banyak sekali posisi legal anak-anak dalam hukum perwalian dalam mazhab berbeda-beda. Reformasi hukum Islam terjadi dengan mengenali adanya pluralisme tafsir diantara mazhab-mazhab yang ada. Salah satu upaya progresivitas hukum adalah dengan melakukan seleksi mazhab di dalam Islam. Ibrahim meneliti teks-teks lama dan pada abad ke-15 saat Turki Usmani atau Ottoman berkuasa ditemukan kontrak-kontrak akan perwalian. Di saat yang bersamaan, di Eropa, perempuan tidak mendapatkan hak sebanyak itu. Di Inggris pada tahun 1839 baru dibicarakan mengenai hak perempuan di dalam perwalian. Padahal di dalam Islam hal tersebut sudah ada jauh sebelumnya. Bagi Ibrahim kita harus melihat praktik-praktik bagaimana masyarakat menegosiasikan hukum-hukum tersebut karena apa yang terjadi di dalam praktik berbeda dengan apa yang termaktub di dalam hukum. Sejauh ini menurut penelitian Prof. Ibrahim, di antara kekayaan pluralitas hukum Islam, yang paling progresif yaitu ketika kerajaan Ottoman berkuasa, karena pertimbangan hukum saat itu didasarkan rekomendasi akan kepentingan terbaik terutama pada anak-anak. Hal itu bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita atas praktik yang terjadi sekarang. Ibrahim menawarkan alternatif forum seleksi serta normativitas dari praktik, yaitu mempertimbangkan praktik yang ada di samping menghormati hukum-hukum Islam. Kita bisa mengupayakannya dengan ijtihad dan penelusuran praktik-praktik tersebut untuk membawa perubahan yang lebih adil pada hari ini. (Lola Loveita) ![]() Dalam rangka Peringatan Hari Perempuan Internasional dan Peluncuran Jurnal Perempuan Edisi 84, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kanada menggelar Konferensi dengan tema “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia” pada Kamis, 5 Maret 2015 bertempat di Mezzanine Ballroom, Hotel Aryaduta, Jakarta. Acara yang dihadiri oleh sejumlah kalangan baik akademisi, mahasiswa, kalangan profesional, jaringan NGO dan media dari sejumlah daerah seperti Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta ini bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan kepada khalayak luas atas kajian-kajian yang dilakukan Jurnal Perempuan sekaligus mengampanyekan kesetaraan gender dalam praktik budaya, tradisi, tafsir agama dan adat. Agenda rutin Pendidikan Publik Jurnal Perempuan ini dibagi dalam dua sesi dengan menghadirkan pembicara Ahmed Fekry Ibrahim (McGill Institute of Islamic Studies, Montreal), Alissa Wahid (Nahdlatul Ulama-NU), Musdah Mulia (Indonesian Conference on Religion and Peace -ICRP) dan Syafiq Hasyim (international Center for Islam and Pluralism-ICIP) dengan moderator Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum. Acara dibuka dengan sambutan dari Dewan Pembina Jurnal Perempuan Melli Darsa yang menyampaikan apresiasi atas dukungan yang diberikan Kedutaan Kanada dalam mempromosikan dan mengampanyekan kesetaraan gender. Sementara Duta Besar Kanada Donald Bobiash dalam sambutannya menyatakan Kedutaan Kanada percaya bahwa hak-hak perempuan dan kebebasan beragama saling terkait. Ia melihat keduanya sebagai isu hak asasi manusia yang lebih luas dan karenanya butuh promosi dan dukungan. Lebih lanjut Donald mengatakan tema yang diangkat pemerintah Kanada dalam peringatan HPI tahun ini adalah “Perempuan Kuat, Dunia Kuat, Perbaikan Kesempatan Ekonomi bagi Semua”. Tema ini merujuk pada kontribusi penting keterlibatan perempuan dalam ekonomi baik di tingkat rumah tangga maupun global. Tema tersebut juga menggarisbawahi pentingnya memastikan bahwa setiap perempuan memiliki kesempatan untuk menciptakan kesejahteraan baik sebagai seorang pekerja, profesional, pemimpin bisnis atau pengusaha. Donald menambahkan bahwa pemerintah Kanada mendukung gagasan bahwa kesetaraan gender bukan hanya semata-mata merupakan isu hak asasi manusia, tetapi juga komponen penting dari pembangunan berkelanjutan, keadilan sosial, kedamaian dan keamanan. Ketika perempuan bebas dari kekerasan, diskriminasi dan intoleransi, perempuan dapat menjadi agen perubahan yang kuat. Pihaknya juga percaya bahwa kebebasan beragama bukan hanya hak asasi manusia, tetapi juga merupakan isu tentang martabat manusia. Usai sambutan dari Jurnal Perempuan dan Kedutaan Kanada, acara dilanjutkan dengan pidato dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Agama. Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Sri Danti Anwar, dalam ceramahnya mengungkapkan sejak tahun 2000 pemerintah khususnya KPPPA telah mengintegrasikan gender dalam berbagai kebijakan baik di level nasional maupun daerah. Upaya percepatan pengarusutamaan gender dilakukan pada 2009 lewat kebijakan penganggaran responsif gender. Danti juga mengungkapkan sejauh ini sudah lahir sejumlah kebijakan yang pro perempuan dan anak, seperti UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, UU Peradilan Anak, dll. Namun demikian, menurutnya sejumlah tantangan masih dihadapi, seperti interpretasi pemahaman agama yang merugikan perempuan dan pemahaman tentang kesetaraan yang masih berbeda. Dampak dari interpretasi ajaran agama yang tidak mendukung kesetaraan gender mewujud dalam pernikahan dini dan KDRT. Sehingga perlu untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang tidak mendukung kesetaraan perempuan dan melakukan interpretasi ulang. Danti juga mengatakan bahwa selama ini publikasi Jurnal Perempuan menjadi referensi bagi KPPPA dalam menyusun kebijakan. Karena itu pihaknya mendukung konferensi ini. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia Abdurahman Mas'ud dalam pidatonya mengutarakan Kementerian Agama merupakan lembaga yang memfasilitasi kehidupan beragama yang dinamis dan harmonis. Konsep dan kebijakan agama cukup berdampak pada status perempuan. Menurutnya saat ini Badan Litbang Kementerian Agama sedang menyiapkan RUU Perlindungan Umat Beragama untuk melindungi semua umat beragama termasuk di luar ke-6 agama yang diakui negara. Mas’ud menambahkan pihaknya melihat tradisi sebagai hal yang melekat dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan keragaman tradisi yang hidup dalam masyarakat dan interpretasi yang sangat kaya atas tradisi tersebut juga bagaimana komunitas masyarakat menggunakan kearifan lokal untuk mengatasi persoalan yang ada dalam masyarakat. Dalam konflik misalnya, perempuan bisa tetap menjalin komunikasi dengan pihak-pihak yang berseberangan bahkan menjadi aktor dalam proses perdamaian. Kearifan lokal pada taraf tertentu telah mendamaikan masyarakat dalam bidang agama. Mas’ud juga mengajak semua pihak mengeliminir kebijakan-kebijakan yang merugikan perempuan. Ia menambahkan Kementerian Agama mengapresiasi upaya Jurnal Perempuan mewujudkan kesetaraan baik lewat penerbitan maupun pendidikan publik. (Anita Dhewy) ![]() Rabu (25/2) Jurnal Perempuan (JP) menerima kunjungan dari Mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang juga menyandang gelar sebagai Miss UMN 2014. Kunjungan ini dimaksudkan untuk menimba ilmu dan berdiskusi tentang isu perempuan khususnya terkait dengan topik Kekerasan Dalam Pacaran (KDP). Acara diawali dengan perkenalan dan pembukaan yang dipandu oleh Direktur Pengembangan Jurnal Perempuan, Deedee Achriani, yang memaparkan tentang perjalanan sejarah dan aktivitas Jurnal Perempuan. Deedee menjelaskan tentang isu-isu yang diangkat JP dan keterlibatan JP dalam upaya perlindungan dan pemajuan hak-hak perempuan di Indonesia. Ia juga menceritakan keberadaan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) Kampus yakni program JP untuk melibatkan generasi muda khususnya mahasiswa dalam mempromosikan isu kesetaraan dan keadilan gender dan menggalang donasi dari kalangan kampus/akademisi untuk mendukung upaya JP merawat pengetahuan perempuan. Usai perkenalan dan pembukaan, acara diselingi dengan makan siang bersama. Acara kemudian dilanjutkan dengan diskusi tentang Kekerasan Dalam Pacaran yang difasilitasi oleh Sekretaris Redaksi JP, Anita Dhewy. Pada sesi diskusi ini sebanyak 16 finalis Miss UMN 2014 yang terdiri dari para mahasiswi Jurusan Public Relations, Desain Grafis, Jurnalistik dan Teknik Informatika angkatan 2012 dan 2013 ini diajak untuk menonton film dokumenter tentang KDP berjudul Love Then Leave yang dilanjutkan dengan diskusi. Mereka sangat antusias menyampaikan pandangan, pertanyaan dan komentar terkait pesan dan isu yang terdapat dalam film. Hampir semua menyampaikan pendapatnya dan terlibat dalam diskusi. Bahkan ada diantara mereka yang berbagi kisah dan pengalamannya, salah satunya Michelle Lawrencia, peraih gelar Miss UMN 2014. Diskusi mengupas tentang mengapa KDP bisa terjadi, bagaimana menghindari hal tersebut, bagaimana jika kita berada dalam situasi tersebut, bagaimana jika teman kita mengalami KDP, bagaimana pacaran yang sehat, dsb. Diskusi dilanjutkan dengan menonton film kedua yakni dokumenter produksi YJP berjudul VTalks yang mengupas tema tentang seksualitas anak muda perempuan di tiga wilayah di Indonesia. Isu tentang minimnya akses layanan kesehatan, konsep keperawanan yang mendiskriminasi perempuan dan persoalan orgasme menjadi pembahasan. Dalam diskusi yang berlangsung sekitar 2,5 jam tersebut, Anita mengingatkan tentang pentingnya perempuan bersuara, mengatakan tidak pada kekerasan dan membekali diri dengan pengetahuan. Menurut Fifiani Lugito, Mahasiswi Desain Grafis yang mendampingi Miss UMN 2014, diskusi ini juga menjadi bekal bagi Miss UMN 2014 untuk menjalankan program kerja mereka yakni salah satunya mengadakan kampanye sosial tentang KDP bagi anak-anak SMU. Kunjungan ini juga dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari perjumpaan Jurnal Perempuan dengan Miss UMN. Sebelumnya pada Agustus 2014, Jurnal Perempuan diundang oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UMN—sebagai penyelenggara kegiatan Miss UMN—untuk memberikan materi dalam Kelas Sosial Politik dalam proses pembekalan bagi para finalis Miss UMN 2014 yang juga menjadi bagian dari proses seleksi. (redaksi JP) ![]() Pada hari Kamis (12/2) Jurnal Perempuan menghadiri Prize Awarding Ceremony yang diadakan oleh ISRSF (The Indonesian Scholarship and Research Support Foundation). Acara yang diselenggarakan di kantor ISRSF, Graha Iskandarsyah ini diadakan dalam rangka pengumuman pemenang dan pemberian hadiah atas 2014 Indonesian History Essay Competition and Essay Competition for Indonesian Women yang dibuat oleh ISRSF. Dalam acara itu, dewan juri Indonesian History Essay Competition, yang terdiri dari Prof. Peter Carey (Universitas Indonesia dan Oxford University), Prof. Bambang Purwanto (Universitas Gadjah Mada) dan Dr. Baskara Wardaya (Universitas Sanata Dharma), berhasil memutuskan tiga pemenang dan tiga Honorable Mention dari 36 esai yang masuk. Ketiga pemenang itu adalah Sammy Kanadi dengan tulisan berjudul “The Ethical Policy and Indonesian Nationalism”, Norman Joshua Soelias dengan esai berjudul “The Price of Containment: Marshall Plan and the Mutual Security Program in Indonesia, 1948-1952. Terakhir, Hendri Yulius Wijaya dengan tulisan berjudul “Women, Islam, and National Building Examining Transnational Frictions of Indonesia’s Early Feminism.” Hendri mengatakan,”Awalnya saya ingin mengikuti kompetisi esai tentang gender, namun ternyata ditujukan untuk perempuan. Akhirnya saya mencari alternatif lain. Saya membaca kembali tulisan Soekarno dan Kartini dan menelusuri jejak feminisme di sana”. Di samping ketiga nama itu, ada tiga nama lain penerima Honorable Mention, yaitu karya tulis yang patut diapresiasi. Ketiga nama tersebut adalah Maiza Elvira dengan esai berjudul “A Comparative Dutch and British Comparative Methods to Control Epidemics in the East Indies from 1880-1940”, Irfan Nugraha dengan esai berjudul “How the History of Religious Conflict Should be Written? A Role of History in Peace-Building Agenda by ‘Voiceless Victim’ Participation in Writing Process” dan Muzayin Nazaruddin dengan esai berjudul “Disaster and Landscape Rhythm, A Case Study of Mount Merapi in Indonesia.” Dewan Juri essay Competition for Indonesian Women yang terdiri dari Maria Hartiningsih (Harian Kompas), Antarini Pratiwi (Universitas Indonesia) dan Dr. Francisia Seda (Universitas Indonesia) juga telah berhasil menentukan tiga pemenang serta tiga Honorable Mention dari tiga puluh esai yang masuk. Kompetisi esai ini hanya boleh diikuti oleh perempuan di seluruh Indonesia. Nama-nama yang berhasil menjadi pemenang antara lain Sari Damar Ratri, dengan esai berjudul “When Harm Reduction has not been Accommodating Drug Users’ Needs.”, Ana Wijayanti Purnomo, dengan esai berjudul “Eco-Friendly Technology Innovation for Women as Invisible Home Workers” dan Hana Hanifa, dengan esai berjudul “Care Drain from South to North: Feminization of Migration and Nanny-Maid Dilemma”. Ketiga nama Honorable Mention adalah Nurhadianty Rahayu, dengan esai berjudul “Reconctructing and Reviving Gerwani’s Identity through the Act of Writing Back”, Savitry Nurhayati dengan esai berjudul “Gender Equality in Indonesia: An Analysis”, Nafisah dengan esai berjudul “One Dimensional Man: Skin Whitening Series, One Dimensional Beauty Product Selection by Indonesian Women.” Para juri yang turut hadir seperti Maria Hartiningsih dan Peter Carey merasa bahagia dapat menemukan pemenang dengan esai-esai yang sangat berkualitas. Maria mengatakan, ”Rasanya seperti menemukan permata.” Peter juga mengatakan bahwa bahasa menjadi salah satu hambatan dalam penulisan esai ini. Tujuan dari kompetisi esai yang diadakan ISRSF ini adalah untuk mempermudah seleksi penerimaan Arryman Fellowship tahun ini. Dr. Jonathan R. Pincus, Board of Trustees ISRSF yang ikut menghadiri acara ini mengatakan, “Our goal is to support scholarship and stimulating research in Indonesian social sciences. Our dream is the next Indonesian social scientist will be based here teaching and writing books about Indonesia’s social issues”. Arryman Fellowship membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada semua perempuan Indonesia untuk menjadi penerima beasiswa. Saat ini, dari sembilan orang penerima Arryman Fellow di Northwestern University, tiga orang adalah perempuan, alias lebih dari tiga puluh persen. Benny Subianto, Executive Director ISRSF yang menjadi moderator di acara ini mengatakan, “Kami lebih menginginkan pelamar perempuan”. (Lola Loveita dan Naura Nabila) ![]() Belasan anggota komunitas Jejer Wadon yang terdiri dari gabungan perempuan aktivis di Solo membaca puisi di Museum Radya Pustaka, Selasa (17/2/2015). Pembacaan puisi ini adalah bagian dari acara pagelaran seni untuk memperingati hari jadi kota Solo 24 Jam Taman Perdikan Gede Sala yang dimeriahkan oleh 75 seniman. Dimulai dengan pembacaan puisi oleh Puitri Hati Ningsih dengan judul “Salam Terakhir” buah karya Hartoyo Andangjaya, kemudian disusul Nuning Woro yang membaca dan melagukan dua judul puisi karya Wiji Thukul yakni “Pernyataan” dan “Bunga dan Tembok”. Beberapa aktivis lainnya seperti Arini, Elizabeth Yulianti Raharjo dan Saifuddin Hafiz membacakan puisi-puisi yang diambil dari Antologi terbitan Jejer Wadon yakni Merawat Ingatan Rahim, Puisi Tragedi Mei 1998. Pembacaan puisi juga diiringi oleh performa tarian tubuh oleh tiga perempuan seniman berasal dari Serbia, Spanyol dan Polandia di bawah asuhan budayawan Suprapto Suryodarmo. Kepada Jurnal Perempuan, Suprapto Suryodarmo sebagai penyelenggara acara menyatakan alasannya menggandeng para perempuan aktivis yang tergabung dalam komunitas Jejer Wadon,”Kita itu sampai kadang-kadang, yang aktivitas budaya laki-laki lupa untuk mengajak aktivis perempuan. Maka kemudian saya menghubungi Nunung Purwanti atau biasa dipanggil Mak’e untuk Jejer Wadon berperan serta dalam acara ini,” tutur Suprapto Suryodarmo. Pada acara pembacaan puisi yang berdurasi dua jam tersebut juga dimeriahkan oleh penampilan Pin Wiyatno atau biasa disapa Mbah Pin, seniman asal Sragen dengan membaca puisi panjang karya WS. Rendra yang berjudul “Namaku Suto”. Di sesi terakhir, Nurul Sutarti dari Jejer Wadon membaca puisi yang ditulis oleh Nunung Purwanti dengan judul “Namaku Sarah”. Puisi “Namaku Sarah” ditulis dengan singkat di tengah acara oleh Nunung Purwanti dan mampu membuat penonton terkesima, sebelum akhirnya seorang dalang yang tengah memegang wayang tokoh seorang Ibu menyanyikan lagu daerah “Wiwit Aku Isih Bayi”. Puisi “Namaku Sarah” bercerita tentang tragedi kekerasan dalam rumah tangga di tengah budaya patriarki. “Sesuai dengan kampanye kita untuk menyuarakan stop kekerasan pada perempuan dan anak, puisi ini serasa mewakili,” pungkas Nurul Sutarti. (Astuti Parengkuh) ![]() Rabu, 18 Februari 2015 Jurnal Perempuan bekerja sama dengan GIZ (Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit) mengadakan Training Pemahaman Gender Dasar yang diikuti gender focal point Timor Leste (12 orang) dan Indonesia (6 orang) yang bekerja untuk sejumlah isu seperti penguatan hak-hak perempuan, perdamaian dan program pembangunan desa. Training yang berlangsung di hotel Morrissey, Jakarta ini difasilitasi oleh Manneke Budiman, pengajar FIB Universitas Indonesia sekaligus Dewan Redaksi Jurnal Perempuan dan Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan. Pada sesi pertama, Manneke Budiman menyampaikan materi tentang patriarki. Ia memaparkan bahwa laki-laki adalah bagian dari masalah sehingga perempuan harus memiliki “sistem peringatan dini” untuk melindungi dirinya dan mempunyai kesadaran atas kondisi tersebut. Pendidikan harus mempersiapkan perempuan untuk secara efektif mampu berjuang dan bertahan hidup dalam pertempuran jenis kelamin. Menurutnya, kesetaraan gender tidak datang dari toleransi atau pengakuan yang diberikan oleh laki-laki, tetapi dari tanggung jawab perempuan atas tubuh dan keselamatan mereka sendiri. Sementara pada sesi kedua Dewi Candraningrum mengajak peserta untuk berdiskusi dalam kelompok dan melakukan analisis gender atas kasus-kasus aktual yang terjadi di masyarakat, seperti kasus gangguan kesehatan terutama kanker dan tumor yang dialami masyarakat desa Grujugan Banyumas, Jawa Tengah karena air yang tercemar, kasus krisis air yang dialami warga Solo akibat pembangunan sejumlah hotel, kasus pernikahan dini yang terjadi di daerah Rembang dan kasus punahnya tanaman-tanaman obat yang biasa digunakan bidan tradisional akibat pembangunan bendungan di Kedungombo. Mereka mendiskusikan aspek-aspek gender yang ada di dalam kasus tersebut dan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dan CSO (Civil Society Organization) dan dilanjutkan dengan presentasi kelompok. Dari pembahasan tentang analisis gender, peserta kemudian diajak untuk kembali berdiskusi dalam kelompok masing-masing untuk membahas langkah-langkah gender mainstreaming dan gender budgeting dengan berangkat dari kasus yang dianalisis sebelumnya. Dewi menegaskan bahwa penting bagi pemerintah untuk menerjemahkan komitmen politik mereka atas kesetaraan gender lewat komitmen atas budget jika perubahan benar-benar ingin diwujudkan. (Anita Dhewy) ![]() Lena, Batik dan Galeri “Saya menyukai batik, terlebih aromanya, itu seperti candu bagi saya, baunya itu enak sekali, nggak tahu kenapa”. Kalimat ini diucapkan Lenawati Pudjoastuti ketika membagi kisah tentang bisnis batik yang digelutinya di suatu siang di penghujung 2014. Sebagai seorang pengusaha, Lena kerap harus bolak-balik Jakarta-Semarang dan beberapa kota lain untuk mengurus usahanya. Di sela-sela jadwalnya yang padat, Jurnal Perempuan menemuinya di kantor sekaligus galeri yang beralamat di Jalan Bungur No. 20, Bangka, Jakarta Selatan. Di ruangan yang didominasi warna putih dengan dinding kaca di dua sisi, Lena menyambut Jurnal Perempuan dengan senyum ramah. Ruangan kerja tersebut bersebelahan dengan galeri batik yang menyediakan batik tulis yang diproduksi secara ramah lingkungan dengan menggunakan pewarna alam oleh kelompok perempuan di Salatiga dan Sragen. Rencananya galeri batik ini akan segera dibuka dalam waktu dekat. Menurut perempuan yang lahir di Temanggung dan besar di Semarang ini dari dulu ia senang mengenakan batik, terlebih ketika hamil, karena membuat baju hamil dari kain batik sangat mudah. Perkenalannya dengan Arianti Ina Restiani Hunga, Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender Universitas Kristen Satya Wacana (PPSG-UKSW) membuka jalan bagi Lena untuk mengenal batik lebih jauh. Ina Hunga yang juga menjadi dosen Sosiologi di UKSW, memiliki kelompok dampingan, salah satunya kelompok perempuan pembatik. Perkenalan tersebut mendorong Lena untuk terjun ke lapangan, melihat dari dekat proses pembuatan batik, mengenal langsung siapa yang membatik, siapa yang menjual, dan mengetahui darimana kain juga ubo rampe lain untuk pembuatan batik diperoleh. Pengalaman ini menggerakkan Lena untuk berbuat lebih, hingga akhirnya terjalin kerjasama. Lena dan Ina sepakat untuk membuka Galeri Batik di kota Sragen guna memasarkan batik hasil kerajinan para pembatik tersebut. Lena menuturkan kebetulan Bupati Sragen memiliki rumah yang tidak terpakai dan bisa dijadikan galeri. Rumah yang tadinya digunakan sebagai klinik tersebut kemudian dirombak hingga menjadi sebuah galeri. Namun dalam perkembangannya galeri tersebut tidak terurus dengan baik sementara di sisi lain Lena pun sibuk dengan aktivitasnya yang lain sehingga akhirnya galeri tersebut ditutup. Ia menyayangkan hal tersebut, namun ia juga tidak memiliki banyak pilihan ketika itu. Akhirnya mimpi untuk membuka galeri ini perlahan terwujud seiring dengan pengembangan bisnisnya di Jakarta. Sebuah galeri kini telah berdiri dan siap dibuka di atas lahan yang luas dan teduh dalam sebuah bangunan yang menyatu dengan garden bistro. Kecintaan pada batik pulalah yang menggerakkan Lena untuk mendokumentasikan jejak perkembangan batik. Dengan bantuan seorang wartawan, ia mendukung penulisan buku tentang sejarah batik. Rencananya buku ini akan diluncurkan bersamaan dengan pembukaan Galeri Batiknya. Secara garis besar buku ini antara lain menjelaskan mengapa batik menjadi sesuatu yang istimewa. Lena bercerita bahwa motif, warna dan ornamen yang menghiasi kain batik memiliki makna tertentu. Bahkan dahulu motif batik terkait erat dengan pemakaiannya, dimana motif tertentu hanya dapat digunakan dalam acara tertentu pula, semisal pada saat pernikahan, upacara midodareni, sungkeman, dlsb. Begitu juga dengan pemakainya, dimana jenis batik tertentu hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu, seperti keluarga raja. Lebih lanjut Lena menuturkan saat ini batik mengalami perkembangan yang sangat dinamis, dengan modifikasi yang beragam yang disebut sebagai batik kontemporer. Ia mengapresiasi perkembangan tersebut, namun menurut ibu dari enam orang anak ini, perkembangan tersebut hendaknya tidak melupakan motif-motif lama. Lena menambahkan adanya pengakuan dari UNESCO bahwa batik merupakan warisan budaya dari Indonesia semestinya mendorong kita semua untuk serius merawat dan menjaga kelestarian batik. Hal ini juga yang mendorongnya untuk berupaya membuat buku tentang sejarah batik, meskipun ia tidak turun langsung. Bisnis dan Aktivitas Sosial Sebelum membuka Galeri Batik, Lena dikenal sebagai seorang pengusaha kecap. Sukasari adalah merek kecap bikinannya. Usaha ini berawal dari industri rumahan yang dirintis oleh ayah mertuanya Hoo Hian Loang dengan memproduksi kecap manis di rumahnya di Semarang, Jawa Tengah pada 1930. Bersama suaminya, Hadisiswanto, ia meneruskan dan mengembangkan usaha keluarga tersebut, dari yang awalnya industri rumahan hingga kemudian menjadi industri pabrikan. Semula kecap yang diproduksi menggunakan merek Piring Lombok. Merek ini menguasai pasar Semarang. Bahkan Piring Lombok disebut sebagai salah satu merek lokal yang mampu bersaing dengan merek nasional di pasar setempat. Pada tahun 1990, Lena dan keluarga bekerja sama dengan Salim Group, perusahaan milik Liem Sioe Liong dengan niatan untuk ekspansi usaha. Namun ternyata dalam perjalanannya langkah kerjasama dengan konglomerat tersebut tidaklah mudah. Lena mengatakan cara berpikir antara usaha tradisional dengan usaha modern berbeda, sehingga pihaknya memutuskan “bercerai” dengan Salim Group pada 1991. Kecap Piring Lombok menjadi milik Indofood. Lena dan keluarga tetap melanjutkan usaha, dengan bendera PT Sukasari Mitra Mandiri memproduksi kecap dengan merek Sukasari. Dengan merek baru ini, perusahaan Lena tidak hanya memproduksi kecap saja, namun juga sirup, saos dan cuka. Kini perusahaan kecapnya sudah berjalan sekitar 13 tahun, sudah runway, demikian Lena menyebut. Semua ini dilalui dengan naik turun dan babak belur, namun dari proses tersebut Lena mengaku memperoleh pengalaman hidup yang berharga karenanya ia merasa sangat bersyukur. Dalam menjalankan bisnisnya Lena melibatkan anak-anaknya. “Kalau dari keluarga keturunan Chinese biasanya begitu,” jelas Lena. Jadi bagaimana caranya supaya bisa bekerja sama di dalam lingkungan keluarga, supaya keluarga mempunyai bisnis yang sama, walaupun nanti berdiri sendiri-sendiri, supaya tidak kehilangan persaudaraannya, demikian urainya. Di satu sisi bisnis keluarga dapat menyatukan, meskipun di sisi lain kadang bisnis keluarga juga bisa membuat pecah. Karena itu Lena mengaku sangat berhati-hati, sehingga untuk pengelolaan usaha diserahkan pada anak-anak yang memang bisa mengelola, sedang yang tidak bisa, menyetorkan modal. Jadi, masing-masing mempunyai bagian sendiri-sendiri. Lena mengungkapkan bisnisnya merambah pelan-pelan. Di Jakarta ia mengembangkan bisnis furnitur. Untuk keperluan display produk dan pemasaran, ia membutuhkan galeri sehingga para calon pembeli tidak perlu datang ke Semarang ke tempat workshop untuk melihat mebel-mebel produksinya. Galeri furniturnya ada di jalan Wijaya 1 dan di daerah Kemang. Dari yang awalnya menyewa tempat untuk membuka galeri, mendorong Lena untuk terjun ke bisnis properti mengingat harga sewa tempat untuk galeri dan biaya operasional lebih mahal dibandingkan jika dirinya membeli tanah dan membangun sendiri galerinya. Dari situ usaha propertinya berkembang, ia pun mulai membangun town house. Tanah dan bangunan dimana Galeri Batik saat ini berdiri awalnya dibeli untuk dikembangkan menjadi townhouse. Namun setelah melalui sejumlah pertimbangan rencana awal tersebut dibatalkan hingga akhirnya berdirilah Galeri Batik yang diikuti dengan restoran/garden bistro dan homestay. Setelah bisnisnya berjalan, Lena mengaku ia sempat berpikir bahwa dirinya bisa menjadi seperti sekarang ini karena pertolongan masyarakat atau orang kebanyakan yakni kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah karena mereka adalah pengguna kecap, sirup dan sambel terbesar. Hingga akhirnya Lena berpikir untuk terjun ke bidang sosial. “Jadi apa yang saya dapat dari masyarakat, saya ingin mengembalikannya”. Lena pun tercatat mendirikan LSM KPPS (Kelompok Pengusaha Peduli Sosial) yang kegiatannya menolong sesama secara spontan dan tidak formal. Ia juga sempat duduk sebagai Dewan Pendidikan Kota Semarang (DPKS), Sekretaris Persatuan Organisasi Tionghoa Semarang (Porinti), Sekretaris Perkumpulan Etnis Fu Qing Semarang, anggota Dewan Pengawas Yayasan Sekolah Nusaputera Semarang. Ia juga tercatat menjadi anggota LSM IFC Semarang, Interfaith Semarang, dan Bendahara Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat Beragama (Forkhagama). Lena juga menjadi pengurus di Yayasan Parahita yang menaungi kelompok dampingan perempuan pembatik. Ia juga tidak keberatan meeting room di kantornya digunakan untuk kegiatan LSM. Lena menuturkan bahwa yang penting rasa sosial untuk mengembalikan sesuatu kepada orang lain terutama untuk perempuan itu terlaksana. Karena baginya hal ini seperti nazar, bahwa ia harus mengembalikan itu pada masyarakat, dengan ikhlas dan tanpa pamrih. ”Itu membuat hati rasanya plong,” ucap Lena. ![]() Kesuksesan di Mata Lena Lantas bagaimana Lena menghadapi kendala dalam menjalankan bisnisnya? Ia mengaku baginya kendala itu ada, tetapi tidak dipikirnya sebagai sebuah kendala. Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai sesuatu yang harus dipelajari dan dikalahkan untuk bisa menang. Menurutnya hal itu adalah patokan yang selalu ia pegang. Lebih jauh Lena menambahkan bahwa kuncinya adalah tidak usah melihat kanan kiri. Boleh saja mendengar omongan atau nasihat dari orang lain, namun sebaiknya ditimbang baik-baik karena kita yang menjalani sehingga kita yang lebih tahu. Lalu bagaimana pendapatnya terhadap para perempuan yang berminat terjun ke dunia bisnis? Lena melihat selama ini banyak perempuan yang masih terjajah, baik terjajah oleh pikiran maupun perasaannya sendiri karena merasa sungkan, entah sungkan kepada suami atau sungkan kepada mertua. Hal ini menurutnya perlu dipahami dan dipelajari sehingga budaya semacam ini tidak terus-menerus dipegang, agar pada akhirnya perempuan dapat berkembang. Ia menambahkan bahwa memang dibutuhkan pengorbanan untuk mencapai suatu hal, dan pengorbanan setiap orang tidaklah sama. Ketika ditanya bagaimana relasinya dengan keluarga, dengan anak-anak, Lena menjelaskan bahwa yang namanya masalah tetap ada, karena semua orang mempunyai masalah. Namun poinnya adalah bagaimana menanggapi masalah tersebut. Jika bisa diperbaiki, maka sebaiknya diperbaiki, namun jika tidak bisa, maka diperlukan sikap tegas. Karena menurutnya kita tidak selalu harus menggunakan perasaan kita untuk menyiksa diri sendiri. Sementara dengan anak-anak karena selisih usianya tidak jauh—dengan anak pertama hanya berselisih 20 tahun—maka relasinya menjadi seperti layaknya teman. Bagaimana Lena memandang kesuksesan? Menurut perempuan yang memiliki sejumlah cucu ini apa yang dijalaninya bukanlah sebuah kesuksesan karena hidup seharusnya seperti itu. Baginya kesuksesan tidak dapat dihitung dengan uang, dengan harta yang ia punya. Tidak dapat dilihat dari bangunan yang ia miliki, karena bangunan itu baginya adalah pinjaman yang diberikan Tuhan. Kesuksesan menurut Lena adalah keseluruhan pribadi, bahwa dirinya sehat, menikmati hidup, menjalaninya dengan mengalir karena baginya sukses itu dari Tuhan, bukan dari manusia. Yang penting menurutnya setiap pagi kita berdoa, setiap melangkah keluar bismillah, supaya apa yang kita lakukan berkenan. Jika berkenan pada Tuhan, maka apa yang ada di dalam hati, di lidah dan di pikiran akan menjadi enak. Ia menambahkan kalau kita keluar sudah merasa dengki dengan orang, sudah jengkel dengan orang, maka hari yang kita jalani akan menjadi kusut, melakukan apapun jadi nggak benar. Karena itu Lena mengaku dirinya selalu menjaga supaya bagaimana ia tetap berbahagia dengan diri sendiri, mencintai diri sendiri. Karena menurutnya jika kita tidak bisa mencintai diri sendiri, maka bagaimana kita hendak mencintai orang lain. (Anita Dhewy) ![]() Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch sekaligus Sahabat Jurnal Perempuan memberikan masukan dalam Stakeholder Meeting yang dihelat Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) pada Kamis (22/1) terkait aspek keredaksian dan manajemen YJP. Ia menawarkan sejumlah isu yang bisa diangkat redaksi Jurnal Perempuan, seperti isu tes keperawanan, sunat perempuan, pelurusan rambut bagi polisi perempuan di Papua, juga isu pekerja rumah tangga dan buruh perempuan. Menurutnya isu-isu tersebut masih tetap urgen untuk diangkat ke depan. Selain itu menurut Andreas JP perlu melakukan digitalisasi konten, misalnya berupa video-video pendek dan e-book sehingga JP lebih menjangkau banyak kalangan. Menurutnya dengan bertambahnya jumlah pembaca JP, tentu mereka menginginkan kemudahan dalam mengakses dimana saja dan kapan saja dengan konten yang menarik dan tidak monoton. Sementara terkait website, Andreas menyarankan agar tampilan website JP lebih reader friendly. Lebih lanjut Andreas mengatakan Jurnal Perempuan perlu memanfaatkan sistem bulk order dan bekerja sama dengan kalangan industri untuk mendukung. Pembelian lewat bulk order ini dapat diperuntukkan bagi para pengambil kebijakan seperti misalnya anggota legislatif. Dengan cara ini isu-isu yang diangkat Jurnal Perempuan dapat lebih dikenal publik dan di sisi lain dapat meningkatkan pemasukan JP. Andreas mengungkapkan cara seperti ini pernah dipraktikkan majalah Pantau yang pernah dipimpinnya. (Johanna Poerba dan Andi Misbahul Pratiwi) ![]() “Jurnal Perempuan adalah ‘dunia sunyi’ namun berisi hal-hal bermanfaat,” ungkap Nina Armando, dosen Departemen Komunikasi FISIP UI sekaligus Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dalam Stakeholders Meeting yang digelar Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) pada Kamis, 22 Januari 2015 di kantor YJP. Acara yang dapat disebut sebagai ajang “konsultasi publik” ini dimaksudkan untuk menerima masukan dan perbaikan terkait kinerja Jurnal Perempuan untuk pencapaian yang lebih baik ke depan. Nina mengatakan dengan posisi Jurnal Perempuan tersebut, maka gagasan-gagasan yang disuarakan Jurnal Perempuan penting untuk diketahui para pengambil kebijakan. Sayangnya, menurut Nina, para decision maker ini banyak yang kurang suka membaca. Lalu bagaimana menyiasatinya? Nina berpendapat bahwa Jurnal Perempuan dapat menggunakan metode yang lebih modern untuk menyampaikan isu-isu yang diangkat seperti dengan merilis fact sheet yaitu lembaran yang berisikan data-data penting. Selain itu dapat pula disebarkan melalui media mainstream, seperti televisi dan berbagai media social. Karena itu menjadi penting bagi Jurnal Perempuan untuk mengenal karakter industri media. Selanjutnya Nina berharap Jurnal Perempuan dapat masuk dan menggeser tayangan televisi yang masih banyak mengeksploitasi tubuh perempuan. Untuk itu Nina menyarankan agar Jurnal Perempuan menjadi lebih high profile dan melakukan pendekatan serta menjalin relasi dengan para pengambil kebijakan di industri media agar isu-isu yang diangkat JP dapat masuk. Ia juga mengungkapkan bahwa ada stasiun televisi yang memiliki program dengan perspektif perempuan dan didukung oleh perusahaan tertentu, menurutnya ini bisa dilakukan juga oleh JP. Sebagai tambahan, Nina juga berharap isu-isu yang digulirkan Jurnal Perempuan dapat tersebar di berbagai media lain. Untuk itu selain mengangkat isu-isu yang menarik, menurut Nina ada baiknya muatan Jurnal Perempuan dapat dicetak dalam bentuk yang lebih mudah dicerna bagi mereka yang sulit membaca. (Johanna Poerba) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |