![]() “Selama ini hanya dilakukan pendekatan pada aspek keamanan moral atas konflik dan permasalahan di Papua,” demikian pendapat Sejarawan Institut Sosial Sejarah Indonesia, Hilmar Farid ketika berbicara tentang topik “Perang yang Terlupakan: HIV/AIDS di Papua” dalam acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015 pada Kamis, 15 Oktober 2015 di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia. Hilmar membagikan data bahwa jumlah penduduk di Papua hanya 1,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia namun Papua memiliki tingkat penyebaran HIV/AIDS dan angka kematian karena HIV/AIDS tertinggi. Setiap 25 menit, satu orang terpapar HIV di Indonesia dan seperlimanya adalah anak-anak muda. Menurut Hilmar, selama ini upaya untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS masih hanya berupa penyadaran dari perspektif moral yang seringnya dilandasi oleh asumsi. Contohnya, seringkali kultur di Papua dipandang lebih promiscuous, mereka dipandang seringkali berganti-ganti pasangan. Maka sering pula tindakan preventif yang diterapkan adalah berupa nasihat-nasihat untuk menjauhi hubungan seksual. Hilmar menceritakan mengenai salah satu penelitian koleganya yang membahas mengenai perbandingan penyebaran HIV di Papua dengan penyebaran HIV di Jakarta. Penyebaran HIV di Papua, sekitar 98,7 persennya disebabkan oleh hubungan seksual bukan karena transfusi darah dan jarum suntik seperti yang terjadi di Jakarta. Di Jakarta, tingkat penggunaan kondom rendah dan ini menunjukkan bahwa tingkat negosiasi perempuan rendah serta menjadi contoh nyata dari adanya ketimpangan kekuasaan. Hubungan seksual yang tidak aman seperti yang terjadi di Papua sesungguhnya bukan berpangkal pada moral melainkan pada power atau kekuasaan. UNICEF pernah mengadakan kampanye HIV/AIDS di Papua. UNICEF membuat riset mengenai seberapa jauh kampanye ini masuk ke masyarakat. Hasilnya cukup menakjubkan, hampir semua orang tahu mengenai adanya kampanye HIV/AIDS dan sebagian besar dari mereka memahami penyebab serta dampak dari HIV/AIDS. Menurut Hilmar, jelas persoalannya bukan karena kurangnya penyebaran informasi tetapi justru karena adanya ketimpangan power atau kekuasaan. Hilmar memberikan tiga solusi dasar untuk masalah HIV/AIDS di Papua. Pertama dan yang paling utama adalah HIV/AIDS harus dipandang sebagai masalah kesehatan seperti halnya penyakit pada umumnya (meskipun obat bagi HIV/AIDS belum ditemukan). Flu adalah penyakit mematikan pada tahun 1918 ketika orang-orang belum menemukan solusi bagi epidemik tersebut. Kedua, kita harus menyadari pentingnya bukti dan pengetahuan. Ketika masalah sudah jelas, baru dapat dipikirkan apa solusinya. Seperti yang telah ditekankan berulang kali oleh Hilmar, paradigma moral jelas tidak dan gagal menyelesaikan masalah HIV/AIDS di Papua. Terakhir adalah apa yang disebut dengan kategori care. Care dalam bahasa Indonesia sering diasosiasikan dengan perhatian, kasih sayang, dan sebagainya. Di masa seperti ini ketika manusia mudah gelisah dan takut akan banyak hal, kategori care adalah kategori yang penting namun justru sering diabaikan. Jika kategori ini menjadi dasar manusia untuk memahami masalah politik ekonomi maka kiranya manusia akan mendapatkan bayangan tentang masalah yang dihadapi dengan lebih jelas dan dapat menemukan solusi yang konkret, demikian menurut Hilmar. (Johanna Poerba) ![]() Dalam acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015 yang diadakan di Auditorium Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia (15/10/2015), Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan memaparkan materi berjudul “Negara, Seksualitas dan Pembajakan Narasi Ibu”. Adapun tema besar yang diangkat dalam seminar yang diadakan oleh Forum Kajian Antropologi Indonesia ini adalah “Narkoba, Seksualitas dan Politik”. Dewi menyoroti keterkaitan antara teori Michel Foucault mengenai biopower, biopolitics dengan konsep Narasi Agung Ibu. Michel Foucault, Bapak teori kritis, tidak membahas secara mendalam mengenai biopolitik. Hal itu dibahas dengan lebih mendalam oleh Jean Francois Bayart. Namun yang perlu diperhatikan dari penjelasan Foucault mengenai biopolitik adalah bagaimana biopolitik kemudian menggunakan tubuh sebagai instrumen kekuasaan. Tubuh di sini dilihat sebagai instrumen kekuasaan dan bahkan sebagai sebuah mekanisme disiplin dari suatu negara. Contoh nyata dalam praktik biopolitik adalah bagaimana Presiden Rusia, Vladimir Putin merayu perempuan-perempuan Rusia untuk memiliki lebih banyak anak. Lebih lanjut Dewi mengungkapkan Jean Francois Bayart mengembangkan teori Foucault dan mengeluarkan teori tentang politik perut. Ia menyatakan bahwa kunci dari bagaimana mengontrol sebuah negara adalah dengan mengontrol perempuan atau lebih tepatnya: rahim perempuan yang dipandang sebagai metafora perut. Apa yang terjadi di Rusia, terjadi pula di Indonesia. Rahim perempuan difitnah demi kepentingan dan kebijakan negara. Gerwani, sebagai contoh, lewat fitnah seksual disingkirkan oleh negara karena sifat organisasinya yang politis dan karenanya tidak sesuai dengan konsep perempuan pada masa Orde Baru (pendamping dan asisten bagi laki-laki, pengurus rumah tangga atau urusan domestik, dan sebagainya). Dewi menjelaskan bahwa konsep perempuan pada masa Orde Baru merupakan contoh dari bagaimana negara mengkonstruksikan apa yang disebut dengan narasi agung tentang ibu. Hampir setiap negara memiliki narasi agung ibu masing-masing dan sesungguhnya konsep-konsep ini berbahaya. Freud, contohnya, merumuskan definisi Ibu yang menurutnya istilah ibu hanya diperuntukkan bagi perempuan yang memiliki rahim, memiliki tugas prokreasi dan memiliki fungsi pengasuhan. Dalam konsep Ibu yang dirumuskan Freud ini, Ibu mengalami kastrasi berkali-kali. Nama, ego dan seksualitas perempuan disunat oleh konsep-konsep narasi agung ibu semacam ini. Pada masa ini, narasi agung ibu tidak lagi dianggap layak oleh negara-negara maju karena tidak sesuai dengan fakta sosial. Pada faktanya konsep pengibuan semakin beragam dengan adanya peran single mother, single father, ataupun teman-teman LGBT dengan konsep pengibuan tersendiri. Ketika seorang perempuan memasuki usia lanjut pun, peran ibu yang tadinya ia jalankan dapat diambil alih oleh anak ataupun orang-orang di sekelilingnya. Bahkan dalam prosesnya, konsep ibu tidak lagi terbatas dalam hubungan personal (individu dengan individu) tetapi juga dalam hubungan yang lebih luas yaitu negara dengan warga negaranya. Dewi menutup paparannya dengan penyataan bahwa kenyataan sosial ini menunjukkan bahwa narasi agung ibu yang kaku dan mendiskreditkan tubuh serta peran perempuan sudah tidak sesuai lagi dan tidak layak untuk terus dipaksakan oleh negara. (Johanna Poerba) ![]() Manneke Budiman, Ph.D., Dewan Redaksi Jurnal Perempuan dalam acara diskusi “Citra Dharma Wanita dalam Konstruksi Sosial” di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Selasa (06/10/2015), memaparkan materi mengenai Dharma Wanita dan warisannya dalam seni pasca Orba. Sebelum memulai materinya Manneke menyampaikan bahwa kosep wani ditata telah mengalami rezimentasi secara masif, negara telah mengintervensi perempuan mulai dari perihal moral hingga sosial. Ia ingin meluruskan bahwa wani ditata bukanlah karena ketiadaan pilihan namun merupakan simbol keberanian karena mereka mampu masuk dalam situasi sangat keras dengan segala bentuk keharusaan dan ketaatan yang mereka jalankan. Pengalaman subjektif orang-orang tersebut tentunya tidak didapatkan oleh mereka yang di luar, yaitu laki-laki. Setelah menginterpretasi ulang makna wani ditata, Manneke Budiman mulai menjelaskan Dharma Wanita dalam pendekatan struktural, subjektif, historis. Dalam pendekatan struktural Manneke membedah penelitian Julia Suryakusuma bahwa perempuan sebagai istri di rumah adalah sebuah bentuk pengendalian negara atas warganya. Hal tersebut adalah sebuah bentuk objektifikasi perempuan, penghilangan subjek seseorang. Kemudian objek tersebut diberikan label yang ambigu yaitu perempuan sebagai penyangga negara. Struktur Dharma Wanita sendiri sama atau duplikasi dari struktur negara, bahkan seperti struktur komando militer dimana hanya ada kepatuhan di dalamnya. Kemudian selanjutnya Manneke melakukan analisa pendekatan subjektif dengan membedah penelitian yang telah dilakukan oleh Buchori & Soenarto. Dalam pendekatan subjektif bisa ditemukan bahwa kontrol negara pada perempuan untuk dijadikan alat tidak akan bisa berhasil 100 persen karena masih ada dimensi subjektif. Dimensi subjektif yang dimaksud ialah tersedianya ruang bagi anggota Dharma Wanita untuk belajar berorganisasi, menambah keterampilan dan pengetahuan mengelola koperasi dan memberantas buta huruf. Terakhir adalah pendekatan historis yang membedah penelitian Suryochondro (2000) dan Rusiyati (1990). Manneke mengatakan bahwa pada tahun 1928 dimana kongres perempuan pertama diselenggarakan, perempuan memiliki misi tidak hanya emansipasi namun juga membebaskan semua dari jeratan kolonialisme. Hal ini menurut Manneke bentuk peran ganda perempuan, karena pada saat yang sama perempuan harus memperjuangkan dirinya dan negaranya. “Bagian mana yang harus didahulukan? ketika membebaskan kaumnya mereka dianggap egois dan tidak nasionalis. Ketika memperjuangkan negara ternyata negara tidak berpihak pada perempuan”, papar Manneke. Setelah menganalisis Dharma Wanita dalam tiga pendekatan di atas, Manneke menjelaskan bagaimana warisan seni dan sastra yang ditinggalkan Orba. “Seni dan sastra perempuan zaman Orba didominasi oleh romantika dan domestisitas” Manneke menjelaskan. Manneke menerangkan bahwa pasca Orba eksplorasi atas tubuh dan seksualitas dalam seni rupa, visual, dan sastra secara ambivalen berbenturan dengan dosa dan norma. Meskipun ekspresi tersebut mulai banyak muncul, namun perempuan masih dihantui oleh dogma dosa dan stigma moral baik-buruk. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Julia Suryakusuma, seorang aktivis perempuan dan penulis buku Sex, Power, Nations yang menjadi bacaan wajib bagi peminat studi gender di Asia Tenggara, berbicara mengenai konstruksi sosial perempuan pada acara diskusi “Citra Dharma Wanita dalam Konstruksi Sosial” di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Selasa (06/10/2015). Diskusi ini merupakan rangkaian acara Wani Ditata Project , proyek seni perupa perempuan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dengan kurator Angga Wijaya. Julia Suryakusuma membuka pembicaraannya dengan mengungkapkan bahwa Ibuisme negara adalah perkawinan antara feodalisme dan kapitalisme. Julia melanjutkan dengan mangatakan bahwa Ibuisme negara terjadi karena negara mengkonstruksikan perempuan sebagai pelaku pekerjaan domestik sehingga perempuan pada saat itu menjadi angkatan kerja kapitalisme yang tidak dibayar. Lebih lanjut, Julia memaparkan bahwa perempuan yang merupakan separuh dari warga negara juga tidak dimasukkan dalam analisis politik sehingga negara bisa mengontrol masyarakat melalui kontrolnya terhadap perempuan. Gerwani misalnya dikonstruksikan sebagai perempuan jalang yang menyilet-nyilet kemaluan para jenderal. Kemudian Dharma Wanita organisasi perempuan yang menurut Julia adalah replika negara, karena hierarkinya mengikuti struktur negara. Istri menteri akan menjadi ketua Dharma Wanita dalam level menteri, begitu seterusnya hingga level desa. Ini menunjukkan bahwa posisi perempuan bukan karena prestasinya tapi karena posisi penting suaminya dalam ranah politik. Hal lain yang menurut Julia sangat menekan perempuan adalah Panca Dharma Wanita pada zaman Orba yang berisi butir-butir pokok untuk menjadi perempuan ideal. Lebih jauh lagi Julia mengungkapkan bahwa pada zaman Orba karier suami ditentukan oleh sejauh mana istrinya aktif dan turut serta dalam Dharma Wanita, sehingga efek samping yang muncul adalah suami akan memaksa istri untuk berkiprah di organisasi tersebut, pada titik inilah perempuan memiliki peran ganda tanpa kontribusi laki-laki di ranah domestik. Meskipun Orde Baru sudah berakhir namun menurut Julia konstruksi sosial terhadap perempuan masih tetap terjadi, hal ini disebabkan karena ideologi dan kultur tersebut masih tertanam di dalam alam bawah sadar kita. Ia mengilustrasikan bahwa perbedaan yang mendasar dari perubahan zaman Orde Baru ke zaman Reformasi adalah seperti sebuah segitiga, jika pada zaman Orba segitiga tersebut berbentuk hierarki dan kita tahu bahwa perempuan berada pada tingakatan paling bawah, namun sekarang segitiga tersebut menjadi bentuk segitiga sama sisi. Segitiga sama sisi yang dimaksud Julia adalah kalangan prodemokrasi, anti demokrasi, dan kekuatan pasar ada di ketiga sudut tersebut, kemudian di tengahnya adalah negara. Ilustrasi ini menandakan bahwa negara sedang ditarik oleh ketiga sisi tersebut. Marginalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi karena sistem desentralisasi yang pada akhirnya mengukuhkan devolusi kekuatan politik yang tersebar. “Dahulu rajanya hanya satu, sekarang setiap daerah punya rajanya masing-masing” papar Julia. Kontrol terhadap perempuan semakin beragam bentuk dan melahirkan Perda-Perda diskriminatif yang kontradiktif dengan UU dan Konstitusi. “Konstruksi sosial masih sangat signifikan”, ungkap Julia Suryakusuma sebagai penutup materinya. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Wani Ditata Project menampilkan berbagai medium karya seni, seperti, video, foto, objek temuan, dan instalasi yang merupakan proyek seni perupa perempuan Dewan Kesenian Jakarta. Wani Ditata Project melibatkan 8 orang perempuan seniman dan berlangsung dari 4 Oktober hingga 19 Oktober 2015 di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mengutip dari pengantar yang ditulis Kurator pameran ini, Angga Wijaya, bahwa Wani Ditata Project merupakan upaya pembacaan ulang sejarah dalam birokrasi politik yang dibuat oleh negara dalam perspektif kebudayaan tentang bagaimana konstruksi wanita dalam kepentingan politik. Praktik kerja proyek seni ini melalui dua jenis penelitian, yakni melalui arsip-arsip tentang Dharma Wanita di masa Orba dan observasi langsung terhadap organisasi Dharma Wanita Persatuan saat ini. Proyek seni ini menampilkan delapan karya perupa perempuan yang sangat beragam. Aprilia Apsari menggambarkan betapa sulitnya membuat sanggul yang merupakan ciri identik Dharma Wanita dan disajikan dalam sebuah video dengan judul “Diumbul No”. Julia Sarisetiati menyuguhkan video yang berjudul “Wanita Berkepribadian Unggul”. Kemudian Keke Tumbuan menampilkan video instalasi “Poco-Poco dan Bernyanyi Bersama Selain Menyenangkan Juga Bisa Mencegah Alzheimer”. Marisha Soekarna menampilkan karya yang berjudul “Perempuan yang Harus”, karya tersebut menggambarkan beban yang harus dipikul perempuan semenjak kakinya kecil hingga besar, semenjak usia anak hingga beranak, dari super daughter, super women, super wife, super social, super mom sampai pada akhirnya menjadi super tired. Otty Widasari menampilkan lukisan akrilik di atas kertas dan video arsip yang ia beri judul “Wanita dalam Pembangunan”. Kemudian Tita Salina mempersembahkan hasil temuannya dalam pameran ini, yaitu minyak wangi dengan 5 jenis aroma. Tita memberikan judul temuannya “Smells Like Tien’s Spirit”. Yaya Sung menampilkan karyanya melalui medium fotografi yang ia beri judul “Seratan Cerita”, salah satu karyanya ialah foto kain bedong, kain yang digunakan untuk membalut bayi. Kemudian karya menarik lainnya datang dari Kartika Jahja yang berjudul “Titik Titik Titiek”. Kartika mengambil konsep ruang tidur dimana ada banyak bantal bertuliskan nama perempuan yang seiring berjalannya waktu nama perempuan di bantal tersebut luntur, terganti dan semakin hilang. Perubahan nama tersebut ditunjukkan secara jelas oleh Kartika, mulai dari Nn. Titiek Soenardi, Ny. Titiek Bachtiar hingga menjadi Ny. Agoes Bachtiar. Menjadi sebuah ironi karena identitas asal perempuan luntur setelah menikah sedangkan di sisi lain nama suami tidak berubah dan relatif tetap. Selain acara pameran seni, Wani Ditata Project juga menggelar diskusi publik pada Selasa (06/10/2015) dengan tema “Citra Dharma Wanita dalam Konstruksi Sosial” di lokasi yang sama. Diskusi ini merupakan rangkaian acara Wani Ditata Project , proyek seni perupa perempuan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dengan kurator Angga Wijaya. Acara diskusi ini menghadirkan Julia Suryakusuma dan Manneke Budiman, Ph.D., sebagai pembicara dengan moderator Maulida Raviola dan dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai kalangan, seniman, akademisi, LSM, hingga media. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Politik bangsa dalam dokumentasi pengetahuan punya konsekuensi yang sangat serius pada peradaban. Apa yang kita tulis mempunyai konsekuensi yang serius pada peradaban. Pernyataan ini disampaikan Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan dalam diskusi bertema “Perempuan dan Eksploitasi Alam: Perspektif Ekofeminisme” dalam rangka Lustrum III Pusat Kajian Wanita dan Gender (PKWG) UI pada Kamis (17/9) di Auditorium Juwono Sudarsono, kampus UI Depok. Dewi memaparkan tentang penerbitan buku-buku seri ekofeminisme yang disuntingnya bersama Ina Hunga dan diterbitkan baik oleh penerbit Jalasutra maupun Yayasan Jurnal Perempuan Press. Karena itu menurut Dewi proses penerbitan tersebut bukan sekadar soal menulis, bukan sekadar soal publikasi dan bukan sekadar soal buku baru, tetapi bahwa kita sedang berjuang dengan sangat serius terhadap kehidupan kita, terhadap peradaban. Oleh karena itu buku-buku yang diterbitkan coba diciptakan agar dia bisa menari, dari jauh dia sudah bisa menyakiti mata pembacanya. Dewi menjelaskan hampir seluruh wajah-wajah yang ia lukis sebagai sampul buku tidak sedang menggambarkan berita gembira tapi wajah-wajah tersebut sedang menggambarkan bahwa kita sekarat dan kesekaratan itu serius. Maka bagi Dewi, lukisan mempunyai narasi visual sendiri. Dengan demikian dokumentasi pengetahuan dapat dilakukan tidak hanya dalam bentuk verbal tetapi juga visual. Dan siapapun dapat melakukan pelurusan-pelurusan sejarah. Kita bisa melakukan penyelamatan-penyelamatan dengan cara apapun. Kebenaran yang tidak bisa dinarasikan dalam narasi normal dapat dinarasikan dalam puisi atau novel. Karena itu Dewi mengajak kita semua untuk melakukan dokumentasi pengetahuan salah satunya melalui buku, lukisan dan lain-lain. Sementara itu Ina Hunga, Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender (PPSG) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) mengatakan tulisan harus memiliki roh, ia harus mampu menggugah pembacanya. Pendekatan feminis menawarkan proses penulisan dengan berefleksi. Ia menjelaskan bahwa ekofeminisme tidak anti laki-laki tetapi menawarkan pada kita untuk membalik konstruksi yang ada menjadi energi baru. (Anita Dhewy) Sulistyowati Irianto: Suara Perempuan harus Mengisi Ruang dan Proses Pengambilan Keputusan21/9/2015
![]() “Kemiskinan dan keterbelakangan ibarat benang-benang yang menyelinap terpintal di selembar kain tenun Republik Indonesia,” kalimat ini membuka orasi kebudayaan yang disampaikan Ketua Program Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto dalam perayaan Lustrum III Pusat Kajian Wanita dan Gender (PKWG) UI pada Kamis (17/9) di Auditorium Juwono Sudarsono, UI Depok. Dalam pidato budaya tersebut Sulistyowati yang juga Dewan Redaksi Jurnal Perempuan menyoroti pemiskinan dan eksploitasi alam di Papua yang berdampak terutama pada perempuan. Sulistyowati mengungkapkan bahwa perempuan kehilangan ruang hidupnya ketika sumberdaya alam, terutama tanah dan bahan kekayaan yang terkandung di dalam dan di atasnya, diperebutkan oleh banyak pihak. Bagi perempuan, bumi adalah sumber pengetahuan sekaligus penghasil sumber makanan, karenanya bumi harus dirawat. Celakanya para pejabat, birokrat dan pemilik modal melihat hutan hanya sebagai pepohonan dan uang tanpa mengindahkan orang-orang yang sudah ratusan tahun tinggal dan hidup di dalamnya, orang-orang yang berkelindan dengan alam dalam siklus pengetahuan lokal dan perawatan bumi, seperti halnya yang terjadi di Papua. Maka tidak mengherankan jika kemudian orang-orang miskin di sekitar hutan mendekam di penjara dengan tuduhan sebagai “perambah hutan” sementara korporasi pembabat hutan dibiarkan. Situasi ini mengakibatkan proses pemiskinan dan mempersempit ruang hidup perempuan. Lebih jauh Ia menilai hukum dan kebijakan publik yang mengatur soal pemerintahan daerah, pengelolaan sumber alam, agrarian dan bidang-bidang kesejahteraan seperti kesehatan dan pendidikan kurang memperhitungkan kebutuhan perempuan Papua. Di sisi lain, hukum adat sama seperti hukum negara, tidak ramah kepada perempuan. Hukum adat pada umumnya tidak memberi ruang bagi perempuan kepada akses keadilan sumberdaya alam dan harta milik. Menurutnya jika ada hukum negara dan kebijakan, adat, kebiasaan yang merugikan perempuan, maka sebaiknya dilakukan reformasi, penghapusan atau pembentukan hukum baru. Lebih dari itu, suara perempuan harus mengisi ruang dan proses pengambilan keputusan dari tingkat bawah hingga atas. Partisipasi publik akar rumput harus menjadi bahan bagi berbagai rumusan hukum dan kebijakan. (Anita Dhewy) ![]() Kamis, 17 September 2015, Women Research Institute (WRI) menggelar seminar bertajuk “Menguatnya Kepemimpinan Perempuan di Tengah Keterbukaan Politik” dengan menghadirkan narasumber Irma Suryani Chaniago, Sekjen KPPRI (Kaukus Perempuan ParlemenRepublik Indonesia), Gunarti dari JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng), Lena Maryana Mukti, Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Helda Khasmy, aktivis lingkungan dari LSM Seruni Riau. Irma dalam makalahnya yang berjudul “Mendorong Partisipasi Kepemimpinan Perempuan di Parlemen Guna Melahirkan Kebijakan yang Responsif Gender” menjelaskan dengan menurunnya keterwakilan perempuan di parlemen, dibutuhkan intervensi dari gerakan perempuan di ranah kultur dan struktur. Karena itu dirinya bersama KPPRI terus-menerus melakukan intervensi di parlemen. Gunarti dalam paparannya yang berjudul “Partisipasi Perempuan untuk Keadilan Lingkungan Pengalaman Kelompok Perempuan Tani Gunung Kendeng” membagi pengalamannya sebagai perempuan petani yang terkena dampak kebijakan politik pemerintah yang mengizinkan pembangunan pabrik semendan mengakibatkan pencemaran air serta terganggunya kesehatan warga di Rembang. Sementara Lena membahas makalah tentang “Membangun Partisipasi Perempuan dalam Politik untuk Mendorong Lahirnya Perempuan Pemimpin”. Ia menyarankan agar gerakan perempuan memahami sistem pemilu, dan merekomendasikan sistem pemilu daftar calon semi terbuka. Helda dengan paparannya berjudul ”Perjuangan Melawan Asap di Riau adalah Perjuanggan Melawan Monopoli Tanah”, mengatakan bahwa masalah asap muncul sejak adanya ekspansi PT. Sinar Mas tahun 1980 dan April Group pada tahun 1993, di Kabupaten Pelalawan, Riau, dan terus berlangsung hingga hari ini. Helda bersama perempuan di Kabupatennya terus berjuang melawan bencana asap, dengan cara melakukan aksi demonstrasi, karena permasalahan asap di Riau sudah menjadi bencana nasional. Selain itu persoalan ini juga mengakibatkan banyak anak dan bayi terkena ISPA (infeksi saluran pernafasan) dan menyebabkan kemiskinan karena tanah masyarakat dimonopoli. Seminar ini cukup menarik dengan kehadiran Gunarti yang berasal dari Pegunungan Kendeng, yang menyatakan bahwa keluarganya memilih bertani untuk menjaga alam dan lingkungan. Ia begitu lugas menyampaikan paparannya dalam bahasa Jawa. Beruntung salah satu peserta diskusi dapat menerjemahkan, sehingga seluruh peserta dapat memahami apa yang disampaikan Gunarti. Dalam seminar yang digelar dari pukul 10.00 hingga 13.00 di hotel Grand Kemang ini, diluncurkan pula modul Kepemimpinan Perempuan, dan seluruh peserta mendapatkan softcopy modul dalam USB yang dibagikan satu-satu. Selamat kepada Women Research Institute, teruslah bekerja melakukan penelitian-penelitian hak-hak perempuan dan keadilan gender. (Deedee) Kepada para demonstran yang mengenakan pakaian dalam perempuan, beha dan topeng wajah presiden dan wakil presiden kita, Jokowi dan Yusuf Kalla. Perkenalkan, nama saya Nadya Karima Melati, saya adalah mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Melalui surat terbuka ini saya ingin mengungkapkan bahwa saya sangat marah kepada kalian. Saya marah karena kalian berdemonstrasi mengkritik pemerintah yang kalian anggap tidak memenuhi janji politiknya dengan memakai beha sebagai simbol kepengecutan. Saya tersinggung, amat tersinggung. Saya tersinggung sebagai mahasiswa dan juga sebagai perempuan.
Saya pertama kali melihat berita kalian di koran Tempo pada tanggal 11 September 2015. Saya mengerti jika kalian ingin demonstrasi dan demonstrasi tersebut menjadi sarana kalian berekspresi dan mengungkapkan pendapat. Sebagai sesama mahasiswa saya tidak melarang kalian melakukan aksi demo atau berekspresi menunjukkan kekecewaan kalian terhadap pemerintah. Kalian boleh mengkritik pemerintah, kalian boleh marah pada pemerintah, kalian boleh menganggap pemerintah tidak becus tapi saya sungguh keberatan karena kalian harus menunjukkannya dengan menjadikan kelompok lain (perempuan dan transgender) sebagai kelompok yang hina dan tidak lebih baik daripada maskulinitas kalian. Surat ini tidak menunjukkan kebencian aktivis perempuan terhadap laki-laki, tetapi surat ini menunjukkan bahwa kami perempuan sudah cukup lama ditindas dan dilecehkan, kini harus pula menjadi simbol dari kepengecutan. Begitu pula para transgender, mereka sudah cukup di diskriminasi hampir sepanjang hidup demi memperjuangkan identitas dirinya. Dan kalian malah menganggap kami kelompok yang pantas untuk dijadikan hinaan. Menggunakan pakaian perempuan sebagai simbol kepengecutan pemerintah hanya membuat kalian terlihat dungu karena kalian bukan memancing simpati, sebaliknya justru amarah dari para aktivis perempuan dan pejuang kesetaraan gender. Apakah kalian tidak malu kepada rahim tempat kalian dulu bersemayam dan payudara tempat kalian menyusu pada ibu atau pacar-pacar kalian karena kalian telah dengan sengaja menganggap mereka adalah makhluk yang lemah dan pengecut seperti yang kalian asosiasikan pada pemimpin negara kita ini? Apakah amarah dan kebencian kalian pada pemerintah menutup mata kalian pada buku dan bacaan-bacaan sehingga kalian bahkan tidak paham arti dari kata misoginis? Apapun yang menjadi ketidaktahuan kalian sehingga kalian melakukan aksi yang tolol itu, saya dan banyak orang yang melihatnya sudah terlanjur emosi. Saya harap dengan munculnya banyak kritik dari berbagai pihak yang marah terhadap aksi yang kalian lakukan, kalian mau meminta maaf dan mau belajar tentang diskriminasi dan sensitivitas gender, bukan hanya berkoar-koar menjelekkan kelompok lain dan membuat jalanan macet. Terlebih kalian mahasiswa, pergunakanlah akses terhadap buku dan pengetahuan, biasakan membaca dan tidak hanya mengkritik tanpa dasar dan berdasarkan asumsi kosong saja, agar otak kalian tidak kopong ketika kelak menjabat di pemerintahan. Tumbuhkan rasa keadilan bagi seluruh manusia, bukan hanya kelompok penis kalian yang layak mendapatkan perilaku yang adil, karena kami, perempuan dan transgender juga warga negara Indonesia punya hak yang sama seperti kalian. ![]() Perubahan iklim memiliki dampak yang dirasakan langsung oleh perempuan. Dalam rentang waktu lima bulan, dari Januari hingga Mei 2015 telah terjadi 881 bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia. Terdapat keterkaitan yang erat antara bencana alam dan situasi ekonomi perempuan. Ketika bencana alam terjadi, banjir misalnya, maka perempuan petani juga perempuan nelayan akan kehilangan sumber ekonomi mereka. Jadi perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap persoalan ekonomi sosial perempuan. Pernyataan ini diungkapkan aktivis perempuan, Wahidah Rustam, dalam acara Pendidikan Publik yang digelar Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Gender (P3KG) Universitas Hasanuddin pada Senin (14/9) di Gedung Pertemuan Ilmiah, Unhas. Dalam acara yang mengambil tema “SRHR dan Perubahan Iklim” tersebut Ida juga memaparkan bahwa bencana alam berakibat pada penurunan angka harapan hidup perempuan dan peningkatan gender gap dalam masyarakat. Menurut Ida hal ini terjadi karena perempuan tidak dibiasakan untuk menolong dirinya sendiri, memikirkan dirinya dan kebutuhannya, sebaliknya perempuan dibiasakan untuk memikirkan orang lain. Maka setiap terjadi bencana dapat dipastikan yang menjadi korban terbesar adalah perempuan. Karena mereka tidak diberi kapasitas yang memadai untuk menghadapi bencana. Lebih lanjut Ida mengungkapkan bahwa BNPD (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)sudah cukup melakukan upaya. Akan tetapi masih kurang memberikan perhatian dan kapasitas bagi perempuan hamil, perempuan lansia, juga perempuan dengan disabilitas, sehingga perempuanlah yang kemudian banyak menjadi korban. Tidak banyak perempuan yang diajar berenang. Maka ketika terjadi banjir, walaupun perempuan dan laki-laki terbawa banjir, akan tetapi laki-laki dapat selamat, sedang perempuan akan tenggelam karena tidak dibiasakan untuk mempunyai kemampuan, kapasitas untuk bisa menolong diri mereka. Persoalan berikutnya yang dihadapi perempuan terkait perubahan iklim selain bencana adalah pemenuhan air bersih dan pangan. Perubahan iklim mengakibatkan kekeringan dimana-mana. Mengingat air banyak digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan domestik, maka tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan air dan pemenuhan pengelolaan pangan dibebankan pada perempuan karena peran gender yang dilekatkan pada diri mereka. Perempuan juga harus bekerja dua kali lebih keras dari biasanya di lahan pertanian. Selain itu meningkatnya gagal panen juga menyebabkan perempuan kesulitan menyediakan bahan pangan yang berkualitas bagi dirinya dan keluarganya. Meskipun demikian, perempuan tidak hanya menjadi kelompok rentan/korban tetapi perempuan juga mempunyai inisiatif untuk berkontribusi dalam proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan keberlanjutan sumberdaya alam/agraria. Ida mencontohkan gerakan yang dilakukan Mama Aleta Baun di Molo, NTT. Juga Ibu Talo di Sulawesi Tengah yang berjuang agar tanah dia tidak diambil oleh galian C, agar gunung tidak dijadikan tempat galian C karena di sana terdapat hutan adat yang dianggap sangat sakral oleh masyarakat adat di sana. Perempuan adalah perawat, pengelola, penjaga alamnya ketika alam dicerabut dari kehidupan mereka, artinya sama dengan mematikan kehidupan mereka. Dengan kata lain perempuan juga dapat menjadi subjek atau aktor yang berperan untuk mencegah dan mengatasi dampak sosial ekonomi dan berkontribusi dalam pembangunan. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |