![]() Sekitar 25 orang yang tergabung dalam komunitas Jejer Wadon, Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (JPPAS) dan elemen mahasiswa melakukan longmarch dan orasi dari Sriwedari menuju Gladag pada Rabu (25/11). Dilatarbelakangi oleh meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dari tahun ke tahun baik yang terjadi di ruang privat maupun publik. Longmarch dan orasi tersebut merupakan salah satu rangkaian acara peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang akan berakhir pada 10 Desember 2015. Perbandingan jumlah kasus kekerasan di ruang privat jauh lebih tinggi dibanding dengan yang terjadi di ruang publik, yakni tiga berbanding satu. Menurut data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2014, jumlah kekerasan di ranah privat 8.626 kasus (sebagian besar korbannya adalah perempuan) dan di ruang publik sebanyak 3.860 kasus dan paling banyak adalah kasus kekerasan seksual. Dalam orasinya, Jejer Wadon, JPPAS dan elemen mahasiswa menyerukan keprihatinan atas kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, khususnya kekerasan seksual yang merupakan kejahatan kemanusiaan. Aksi tersebut menyuarakan beberapa tuntutan yakni, 1) Usut tuntas kasus kekerasan seksual, 2) Tegakkan supremasi hukum dan keberpihakan pada korban, 3) Desak pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan dan layanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan seksual, 4) Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Seruan juga disampaikan oleh Haryati Panca Putri, Ketua JPPAS, terkait dengan pasangan calon walikota dan wakil walikota, pemimpin daerah yang akan terpilih, untuk memenuhi hak-hak perempuan—termasuk dengan mengusut tuntas kasus kekerasan seksual terduga Raja Solo. Dalam wawancaranya kepada Jurnal Perempuan, Fitri Junanto yang tergabung dalam JPPAS mengatakan bahwa saat ini lembaganya, SPEK-HAM, telah berjejaring dengan lembaga lain melakukan advokasi agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan—yang saat ini masuk di Prolegnas DPR RI—agar segera disahkan. (Astuti Parengkuh) ![]() Jumat, 13 November 2015, Jurnal Perempuan bersama kelompok Pekka kecamatan Cikidang kabupaten Sukabumi menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang mengangkat tema “Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan?” di Kantor Desa Cikidang. Diskusi ini dihadiri oleh 12 peserta yang merupakan stakeholder di Kecamatan Cikidang, yaitu Kades, perwakilan KUA, Pelaksana Tugas BKKBD, tokoh masyarakat, tokoh agama, aktivis perempuan, dan kader kesehatan. FGD ini diselenggarakan untuk memetakan persoalan, kendala, dan tantangan kondisi anak perempuan di Kecamatan Cikidang perihal pernikahan di bawah umur. Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan Anita Dhewy sebagai fasilitator mengungkapkan bahwa FGD ini adalah upaya bersama untuk melihat bagaimana status anak perempuan perihal pernikahan di Kecamatan Cikidang. Bukan hanya soal pernikahan yang didiskusikan dalam forum ini, namun juga membahas persoalan-persoalan pendidikan, kultur, agama dan kesehatan reproduksi yang semuanya saling berkaitan satu sama lain. “Jadi kami ingin tahu dari bapak dan ibu bagaimana sebenarnya pernikahan di bawah umur di Kecamatan Cikidang ini dan kami tentu ingin juga mendengar cerita dan pengalaman bapak dan ibu sekalian”, papar Anita untuk membuka FGD ini. Pola diskusi ini adalah memaparkan beberapa data, kasus serta solusi mengenai fenomena pernikahan anak dari perspektif masing-masing lembaga. Diskusi berjalan dinamis, pernyataan dari satu dan lainnya ada yang kontradiktif dan ada yang yang saling terkait. “Selama saya menjabat hanya 1 kasus pernikahan di bawah umur, Itu pun terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan”, tutur Kades Cikidang. Pernyataan lain dituturkan oleh kader Posyandu yang juga anggota kelompok Pekka (Perempuan Kepala Keluarga), “Pernikahan di bawah umur ini akan berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan dan jika hamil di usia muda akan berisiko tinggi”, ungkap Iis. Mengenai Kespro juga diungkapkan oleh Pelaksana Tugas BKKBD Cikidang yang mengatakan bahwa kematangan usia pernikahan yaitu pada usia 20 tahun dan untuk kematangan usia kehamilan adalah 21 tahun. Salah satu aktivis perempuan juga mengungkapkan bahwa pernikahan di usia dini itu sebenarnya banyak tapi tidak terdata, karena biasanya pernikahan di bawah umur dilakukan secara ‘bawah tangan’ atau nikah siri dan tidak dicatat KUA. Pernikahan seperti itu menurutnya akan merugikan perempuan dalam berbagai aspek termasuk dalam pengurusan akta kelahiran anak. Faktor lainnya yang diungkapkan ialah mengenai rendahnya tingkat pendidikan, faktor ekonomi dan budaya yang juga turut memengaruhi terjadinya pernikahan di usia anak. “KUA laksanakan pencatatan pernikahan sesuai dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Jika masih berusia di bawah 16 tahun harus ke Pengadilan Agama untuk meminta dispensasi nikah”, tutur Cecep sebagai perwakilan dari KUA Cikidang. Pernyataan tersebut dilanjutkan oleh tokoh agama yang mengatakan bahwa selain UU Perkawinan, mereka juga mempertimbangkan tentang kehamilan yang tidak diinginkan—hal yang tabu—sehingga harus segera dinikahkan untuk menutupi rasa malu. Meskipun data yang diungkapkan dalam FGD ini masih belum tergambar jelas namun Jurnal Perempuan akan menggali lagi kasus pernikahan di bawah umur, terutama persoalan pencatatan pernikahan melalui metode wawancara terhadap anak yang telah melaksanakan pernikahan di bawah umur. Di akhir diskusi Anita melontarkan satu pertanyaan penutup yaitu tentang harapan para peserta sebagai orang tua terhadap anak mereka. Semua peserta setuju terhadap pertimbangan mengenai Kespro dan usia yang matang untuk menikah. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Apakah karena saya gay maka saya tidak bisa berbuat baik? Apa karena saya ditolak masyarakat maka Tuhan tidak mau menerima saya? Yang saya tahu, tanpa kejujuran tak akan kau temukan kebenaran”, kata-kata tersebut dilontarkan oleh seorang aktivis gereja, Mamoto Gultom, pada acara LGBTIQ International Symposium di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Jumat kemarin. Simposium yang berlangsung pada tanggal 6 hingga 8 November 2015 ini terdiri dari 18 sesi yang membahas LGBTIQ dari berbagai sudut pandang, terutama pandangan teologi. Simposium ini dibuka dan ditutup menggunakan bahsaa inggris namun semua pemateri pada hari pertama ini nampaknya lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia karena hampir seluruh peserta yang hadir adalah orang Indonesia. Simposium ini menghadirkan tamu undangan dari berbagai negara seperti Filipina dan Uganda. Terlihat juga kehadiran Dede Oetomo, seorang peneliti, aktivis gay Indonesia, serta penulis buku Memberi Suara Pada Yang Bisu. Di hari pertama, acara dimulai pukul 13.00 wib dengan diskusi pertama berjudul, “Queer Enough To Be Queer”, diskusi tersebut mengundang 3 pembicara yaitu, Rebecca Acacia (SWARA), Mamoto Gulton (Aktivis LGBT), dan Lini Zurlia (Arus Pelangi). Pada hari pertama terdapat empat sesi yang ditampilkan berurutan yakni, "Queer Enough To Be Queer", "LGBTIQ from Pyschological Prespective", "History of Indonesian Gay Movement", dan yang terakhir "LGBTIQ in Phillipines and Singapore: How Love Wins". Ada hal yang serupa yang dilontarkan ketiga pembicara dalam sesi pertama "Queer Enough To Be Queer", Ketiga pembicara adalah pemeluk agama yang aktif. Mamoto Gultom berupaya mengampanyekan isu-isu tentang kesehatan reproduksi di gereja dan Rebecca Acacia tidak hanya bisa mengaji, tapi juga pandai mengaji, sedangkan Lini, lulusan Universitas Islam dan juga aktivis HMI. Identitas mereka sebagai LGBT tidak bertentangan dengan religiositasnya. Argumen bahwa LGBTIQ tidak bermoral karena tidak religius, dipatahkan dalam sesi ini. (Nadya Karima Melati) ![]() Kamis, 5 November 2015, Departemen Kriminologi Universitas Indonesia bekerjasama dengan Komnas Perempuan menggelar diskusi publik dengan tema “Hukuman Kebiri Pelaku Kekerasan Seksual: Menambah atau Menyelesaikan Masalah?” di Auditorium Juwono Sudarsono, UI Depok. Acara ini menghadirkan Edi Suharto., Ph.D (Departemen Perlindungan Anak, Kementerian Sosial RI), Ir. Agustina Erni., M.Sc (Perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Susanto., MA (Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Mariana Amiruddin., M.Hum (Komisioner Komnas Perempuan), dan Prof. Dr. Muhammad Mustofa., MA (Guru Besar Kriminologi UI) sebagai pembicara serta Dr. Ida Ruwaida (Ketua Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI) sebagai moderator. Diskusi publik ini juga merupakan rangkaian acara Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K 16HAKtP). Ida sebagai moderator memberikan paparan singkat mengenai latar belakang terselenggaranya diskusi ini. Ida mengungkapkan bahwa acara ini merupakan wadah diskusi untuk menemukan solusi dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak. “Diskusi ini akan berjalan pada tataran solusi, karena jika berbicara data tentu sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak terindikasi meningkat setiap tahunnya”, papar Ida diawal diskusi. Lebih jauh Ida mengungkapkan bahwa kita akan berdiskusi mengenai intervensi struktural yang setidaknya bisa mengurangi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Selanjutnya Ida menyilakan pembicara untuk memaparkan rekomendasi kebijakan terkait dengan bagaimana negara menyikapi persoalan ini. Edi Suharto, perwakilan dari Kemensos, memaparkan data-data temuan hasil survei Kemensos pada tahun 2013 yang menurutnya cukup komprehensif untuk menjadi awal pijakan mendiskusikan persoalan kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan data temuan Kemensos bahwa 1 dari 19 anak perempuan Indonesia dalam rentang umur 13-17 tahun telah mengalami kekerasan seksual, sekitar 600.000 anak. Ia melanjutkan bahwa berdasarkan data, kekerasan seksual terhadap anak paling banyak terjadi di dalam rumah dan sekolah serta mayoritas dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban. “Kastrasi tidak bisa menyelesaikan masalah kekerasan seksual, tidak ada kebijakan yang tunggal dalam pemecahan persoalan sosial”, ungkap Edi. Kemudian Agustina Erni, perwakilan dari KPPPA, lebih menekankan pada pola perlindungan anak yang berbasis masyarakat, yaitu masyarakat ikut terlibat dalam perlindungan anak di wilayahnya masing-masing. Ia juga mengatakan bahwa KPPPA bekerjasama dengan Kominfo untuk melakukan pemetaan terhadap akses pornografi melalui internet di Indonesia. Hasilnya temuan tersebut menunjukkan bahwa pornografi banyak tersebar di media sosial dan yang mempunyai angka penyebaran tertinggi adalah twitter. Hal ini juga diduga menjadi salah satu faktor yang mendorong pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap anak selain dari faktor gangguan mental, gaya hidup, lingkungan dll. Setelah paparan dari Agustina, diskusi berlanjut dengan paparan dari Wakil Ketua KPAI, Susanto. Berbeda dari kedua panelis sebelumnya yang kurang setuju dengan hukuman kebiri pada pelaku kekerasan seksual, Susanto menjelaskan bahwa hukuman kebiri dirasa perlu diterapkan untuk menimbulkan efek jera, dengan beberapa catatan yakni pelaku melakukan kekerasan seksual dengan penis secara terus-menerus, adiksi, memiliki libido seks yang tidak bisa dikendalikan, dll. Susanto menyebutkan bahwa beberapa negara yang menerapkan hukuman kebiri juga memiliki motif yang berbeda, misalnya di Amerika hukuman kebiri dilakukan dengan spirit rehabilitasi atau pengobatan bagi mereka yang memiliki libido seks yang tinggi dan tidak bisa dikontrol. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa ada juga negara-negara yang memang sengaja menerapkan hukuman kebiri ini dengan motif sebagai penghukuman. “Akhirnya tinggal bagaimana Indonesia menerapkan hukuman kebiri ini, sebagai rehabilitasi atau penghukuman?”, ungkap Susanto di akhir paparanya. Setelah 3 pembicara memberikan paparannya, Ida Ruwaida, moderator menyilakan Prof. Muhammad Mustofa, Guru Besar Kriminologi UI, untuk memberikan paparanya dari perspektif akademis mengenai persoalan kekerasan seksual terhadap anak. “Kebiri tidak menyelesaikan masalah. Bahkan itu adalah kebijakan yang paradoksal karena kekerasan dibalas dengan kekerasan”, ungkap Prof. Mustofa. Ia melanjutkan bahwa secara empiris tidak akan ada hukuman apapun untuk kasus kekerasan seksual yang membuat efek jera pada pelaku atau membuat takut seseorang yang belum menjadi pelaku. Prof. Mustofa menjelaskan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual di masyarakat adalah karena melemahnya pengendalian sosial masyarakat mengenai tingkah laku seksual. Ia mengungkapkan bahwa negara gagal melakukan kontrol sosial, contohnya yang paling dekat adalah televisi, televisi banyak memuat konten-konten yang sama sekali tidak mengajarkan norma sosial yang baik pada anak. Kemudian seksualitas juga masih dianggap tabu dan orang tua enggan mendiskusikannya secara benar pada anak, jadi tidak heran jika ada kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak pada anak. Paparan terakhir disampaikan oleh Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan dan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. Mariana menjelaskan bahwa hampir 100 persen pelaku perkosaan bukan didasari karena mereka hypersex ataupun memiliki libido yang berlebihan, melainkan karena fantasi untuk menaklukkan tubuh seseorang secara seksual. Kemudian ia menceritakan bahwa pada tahun 1998 perkosaan yang terjadi pada perempuan etnis Cina secara masif adalah simbol penaklukan dan penghinaan yang mendalam terhadap etnis Cina, lagi-lagi menurutnya hal tersebut bukan sekadar soal seks. “Masalah kekerasan seksual bukan pada sesuatu yang diantara paha kita, yaitu kelamin, tapi persoalannya ada di antara kedua telinga kita, yaitu otak. Tentu tidak mungkin bagi kita mengambil otak manusia, karena setiap manusia punya hak untuk itu”. Mariana juga mengungkapkan bahwa Komnas perempuan telah membuat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan berharap pemerintah, parlemen dan masyarakat ikut mendorong agar RUU tersebut dapat masuk dalam daftar Prolegnas Tambahan 2015-2019. Setelah lima narasumber tersebut memaparkan materi dan solusi, Ida selaku moderator membuka sesi tanya jawab. Ida mengungkapkan bahwa dikusi ini bukan forum debat melainkan forum bertukar informasi yang nantinya diharapkan akan melahirkan solusi-solusi dan dapat membantu penyelesaian masalah kekerasan seksual. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, hingga LSM yang berfokus pada perlindungan perempuan dan anak, selain itu puluhan mahasiswa juga turut hadir menyimak paparan dari para pembicara. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bersama Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi (YLSKAR) menggelar peluncuran buku puisi To Whom It May Concern karya Yacinta Kurniasih di Joglo Celong, Salatiga pada Sabtu (31/10). Kumpulan puisi yang diterbitkan YJP Press ini merupakan buku puisi pertama Yacinta dan dilengkapi dengan sejumlah lukisan karya Dewi Candraningrum, sehingga oleh Yacinta disebut sebagai kolaborasi cinta, dukungan dan dedikasi. Perempuan yang sehari-hari menjadi staf pengajar di Universitas Monash, Australia ini dikenal suka menulis puisi tentang isu gender, seksualitas dan politik baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Puisinya sudah tersebar di sejumlah media seperti Jurnal Perempuan, Majalah Bhinneka dan Jembatan Poetry Society. Acara peluncuran dan pembacaan puisi malam itu dibuka oleh Ahmad Badawi, Ketua YLSKAR yang dilanjutkan dengan sambutan dari penulis. Yacinta mengungkapkan dia merasa sangat senang peluncuran buku puisinya dapat diselenggarakan di Indonesia karena baginya bagaimanapun separuh jiwanya tetap berada di Indonesia. Yacinta kemudian membacakan empat puisinya diantaranya Looking for Pakdhe dan The Boat and Water. Pembacaan puisi dilanjutkan oleh para hadirin diantaranya Dewi Candraningrum (Jurnal Perempuan), Ina Hunga (Universitas Kristen Satya Wacana), Tracy Wright Webster (University of Western Australia), Claudia Derichs (Universität Marburg), Eric Wilson (Monash University), dan lain-lain. Acara malam itu dihadiri oleh sejumlah mahasiswa, seniman, dan akademisi. Pembacaan puisi malam itu yang dihadiri sekitar 50 orang tersebut terasa sangat syahdu mengingat puisi-puisi Yacinta berbicara tentang peristiwa 1965, selain juga tentang pengalaman-pengalaman perempuan, seperti pengalaman perempuan sebagai objek seksual laki-laki, misalnya. Puisi Yacinta seperti diungkapkan Gadis Arivia dalam Kata Pengantar mengekspresikan protes yang kuat yang diungkapkan dalam kata-kata yang lugas. Seperti pernyataan Audre Lorde yang dikutip Gadis Arivia di kata pengantar, “For women, poetry is not a luxury. It is a vital necessity of our existence”, (“Bagi perempuan, puisi bukanlah sebuah kemewahan. Ia adalah kebutuhan yang sangat penting bagi eksistensi kami”). (Anita Dhewy) ![]() Setelah menggelar peluncuran dan diskusi novel The Crocodile Hole di Jakarta pada Selasa (27/10), Jurnal Perempuan kembali menggelar diskusi dan launching novel karya Saskia Wieringa tersebut pada Kamis (29/7) di Ubud, Bali. Acara yang berlangsung di Warung Nuri di kawasan Ubud tersebut diawali dengan penyerahan novel The Crocodile Hole versi bahasa Indonesia dari Saskia kepada ibu-ibu penyintas yang pernah ditahan di kamp Plantungan. Saskia menyebut pemberian novel tersebut sebagai “kado untuk ibu”—yang juga merupakan judul sebuah dokumenter pendek tentang tahanan politik di kamp Plantungan—dan merupakan versi novel yang diterbitkan pada tahun 2003 yang mana ketika itu tidak ada pelarangan atas novel tersebut, namun ketika novel yang sama diterbitkan kembali pada tahun 2015 dalam versi bahasa Inggris, peluncurannya di Bali justru dilarang. Sebelum acara diskusi dimulai empat orang intel mendatangi tempat kegiatan dan mengajukan sejumlah pertanyaan terkait acara diskusi dan peluncuran novel. Gadis Arivia, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan menjelaskan dengan sangat tenang kepada keempat lelaki tersebut bahwa kegiatan yang akan diselenggarakan pada siang hari itu merupakan acara kumpul dan makan bersama yang sangat dimungkinkan terjadi diskusi dan pembicaraan dan tidak terkait dengan sesi acara dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang sebelumnya dilarang. Lalu Nursyahbani Katjasungkana, koordinator International People Tribunal (IPT) 1965 memberikan kartu nama dan nomor teleponnya. Para intel tersebut kemudian mengatakan bahwa mereka perlu mengklarifikasi kegiatan peluncuran buku tersebut lalu mereka pun meminta maaf karena telah mengganggu dan kemudian meninggalkan tempat kegiatan. ![]() Sejumlah peserta sudah datang ke acara bahkan satu jam sebelum dimulai. Gadis Arivia yang bertindak sebagai moderator membuka acara dan mempersilakan Saskia untuk memaparkan novelnya termasuk kaitan antara fakta dan fiksi dalam novel tersebut. Saskia mengatakan bahwa peluncuran novelnya siang itu merupakan momen bersejarah mengingat sebagai orang asing dia bisa meluncurkan novelnya di sini dan para peserta dapat mengambil foto para intel yang mendatangi dan memotret kegiatan peluncuran bukunya, yang nantinya foto tersebut dapat dikirim ke Pengadilan Rakyat Internasional untuk peristiwa 1965 sekaligus memperlihatkan bahwa ancaman masih terus berlangsung dari tahun 1965 hingga hari ini. Saskia kemudian menjelaskan cerita dalam novelnya secara singkat, yakni kisah Tommy, seorang jurnalis muda dari Belanda yang bertemu dengan para perempuan penyintas dari anggota organisasi perempuan yang dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan para jenderal dengan melakukan tarian dan kastrasi. Sebuah fitnah seksual yang kemudian mengakibatkan pembantaian terhadap anggota Gerwani dan PKI dan yang dianggap PKI. Saskia juga memaparkan aspek fakta dan fiksi yang terdapat dalam novelnya yang didasari oleh penelitian ilmiah yang dilakukannya ketika menyusun disertasi. Usai paparan tersebut, Saskia kemudian membacakan nukilan novelnya. Sekitar 15 menit setelah acara dimulai, polisi kembali mendatangi tempat kegiatan, kali ini dalam jumlah yang lebih banyak. Negosiasi pun kembali terjadi antara Gadis Arivia, Nursyahbani Katjasungkana dan Todung Mulya Lubis—pengacara senior sekaligus aktivis yang datang ke diskusi buku dan mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut—dengan aparat polisi. Mereka bertiga berkukuh bahwa polisi tidak mempunyai hak dan dasar hukum untuk membubarkan kegiatan tersebut. Maka sepanjang acara polisi berada di lokasi dan terus mengawasi serta masuk ke dalam ruangan. Tak hanya itu, polisi juga melakukan intimidasi dengan menanyakan izin usaha Warung Nuri, yang dikenal dengan nama Nuri Nacho’s Mama tersebut, kepada pemiliknya. ![]() Namun keberadaan polisi selama acara berlangsung sama sekali tidak menyurutkan antusiasme peserta untuk mengikuti diskusi. Usai paparan dari Saskia, sejumlah peserta mengajukan pertanyaan. Salah satunya seorang cucu korban tragedi 65, Dini Rachmawati, yang membagikan cerita tentang pengalaman keluarganya menanggung diskriminasi, stigma dan tekanan, mulai dari kakeknya yang ditangkap paksa, orang tuanya yang juga merasakan kehidupan dan penghidupannya dirampas, bahkan dirinya pun sempat harus menjalani pemulihan akibat tekanan psikologis yang dialami. Gadis mengungkapkan bahwa berbagi cerita dan pengalaman juga merupakan salah satu upaya healing. Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Nursyahbani Katjasungkana yang membahas tentang Pengadilan Rakyat Internasional (International People Tribunal) tentang peristiwa 1965. Nur menjelaskan tentang latar belakang dan pentingnya penyelenggaraan IPT 1965. Sejumlah pertanyaan juga dilontarkan peserta. Usai tanya jawab, acara dilanjutkan dengan penandatanganan novel oleh Saskia dan bincang-bincang. Para peserta baik dari Indonesia maupun luar negeri tak ingin kehilangan momen dengan meminta Saskia membubuhkan tanda tangannya dan berfoto bersama. Acara siang itu juga diikuti dengan pameran foto para perempuan penyintas 1965 oleh AJAR (Asia Justice and Rights) yang juga batal tampil dalam ajang UWRF. Sejumlah aktivis perempuan juga tampak hadir dalam acara tersebut. Bahkan ada yang khusus datang untuk mengikuti peluncuran dan diskusi buku ini sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap pelarangan yang dilakukan polisi, seperti misalnya Sita Aripurnami dan Edriana Noerdin dari Women Research Institute (WRI). Tak ketinggalan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dari Bali dan kota lain juga ikut bergabung termasuk juga sejumlah figur publik. Seperti diketahui, sedianya peluncuran dan diskusi The Crocodile Hole menjadi salah satu sesi dalam ajang Ubud Writers and Readers Festival, namun kemudian dibatalkan karena panitia dilarang menampilkan sesi acara yang berkaitan dengan peristiwa 1965 oleh polisi. (Anita Dhewy) ![]() Pada acara peluncuran novel The Crocodile Hole dan Indonesia Feminist Journal di Chasakhasa, Kemang (27/10/2015), Nursyahbani Katjasungkana, koordinator International People’s Tribunal 1965 angkat bicara mengenai kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965. “Tragedi 1965 adalah pelanggaran atas kemanusiaan”, ujar Nursyahbani. Menurut paparan Nursyahbani, Kejaksaan Agung menolak laporan dari Komnas HAM mengenai insiden pelanggaran HAM tahun 1965 sebanyak tiga kali pada tahun 2012. Akibatnya laporan tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut ke tingkat DPR untuk menetapkan peristiwa tersebut sebagai kasus pelanggaran HAM dan apakah harus ada pembentukan sebuah pengadilan HAM. Komnas HAM kemudian melaporkan penolakan Kejaksaan Agung tersebut pada Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia pada tahun 2013, dan akhirnya Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia di Jenewa memberikan rekomendasi untuk dibentuknya joined team investigation agar tidak ada lagi alasan dari Kejaksaan Agung untuk menolak dengan berbagai alasan teknis. Sayangnya saran tersebut belum terlaksana sampai sekarang. Hal lainnya yang dipaparkan oleh Nursyahbani adalah mengenai film Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing” atau “Jagal” yang memuat pengakuan dari para pelaku pembunuhan telah membuka mata dunia tentang peristiwa 1965. Kemudian pada tahun 2014 Joshua Oppenheimer, sang sutradara “The Act of Killing”, kembali meluncurkan film “The Look of Silence” atau “Senyap” yang juga memperlihatkan pada dunia dan masyarakat Indonesia mengenai kekejaman peristiwa pembantaian yang memakan korban hingga jutaan orang tersebut. Nursyahbani juga menerangkan bahwa proses pembuatan sinema tersebut memakan waktu 12 tahun dan menghasilkan lebih dari 1000 jam, berdasarkan pemaparan Joshua pada sebuah diskusi. “Joshua mengatakan bahwa ia sudah melakukan apa yang ia bisa sebagai seorang peneliti dan seorang pembuat film, kemudian mengenai apakah orang-orang Indonesia akan membela harga diri mereka itu kembali pada keputusan mereka”, Nursyahbani menceritakan. Nursyahbani juga menceritakan bahwa pengalamannya ketika turut berpartisipasi dalam International People’s Tribunal Tokyo terkait masalah jugun ianfu, ia pernah bertemu dengan para exiled yang berharap agar ia bersedia mengadvokasi permasalahan 1965 dalam forum internasional. Agenda ini juga merupakan momentum yang tepat karena keterbukaan informasi mengenai peristiwa 1965 semakin luas dan juga didukung oleh lahirnya narasi visualnya dalam bentuk film “The Act of Killing”. Akhirnya Nursyahbani menyanggupi untuk mengambil mandat tersebut dan penelitian serta upaya advokasi pun dimulai setelahnya. Dalam perjalanannya, Nursyahbani menyadari bahwa hingga sekarang diskusi atau acara yang berkaitan dengan tragedi 1965 seringkali dipersulit atau tidak diizinkan karena isu ini masih dipandang seakan-akan hanya merupakan isu ideologi semata bukan dipandang sebagai isu kemanusiaan. Dilatarbelakangi hal ini, Nursyahbani bersama para aktivis dan orang-orang yang peduli dari berbagai kalangan dan profesi memutuskan untuk membentuk International People’s Tribunal untuk peristiwa 1965. “Konsep People’s Tribunal sendiri sebenarnya sudah dipraktikkan sekitar tahun 1966 ketika Bertrand Russell dan Sartre menyelenggarakan People’s Tribunal untuk kasus perang Vietnam”, Nursyahbani menerangkan. International People’s Tribunal untuk kasus 1965 akan diadakan pada tanggal 10 hingga 13 November mendatang di Den Haag dan diharapkan agar rekomendasi yang disusun oleh Hakim bagi Indonesia pada akhirnya dapat mendorong negara untuk memberikan pertanggungjawaban bagi para korban atas tragedi tahun 1965. (Johanna Poerba) ![]() Dalam acara Peluncuran novel The Crocodile Hole dan Indonesian Feminist Journal pada Selasa (27/10/2015) di Casakhasa Garden Bistro, Kemang, Jakarta, Saskia Wieringa, profesor dari Universitas Amsterdam, memaparkan mengenai apa yang melatarbelakangi penulisan The Crocodile Hole dan seperti apa perjalanannya kala melakukan riset dan penelitian mengenai Gerwani dan mitos-mitos 1965 yang melingkupinya. Menurut Saskia, ketika ia berada di Indonesia pada akhir tahun 70-an, tidak ada lagi kelompok perempuan yang dengan tegas dan berani memperjuangkan hak-hak perempuan. Beberapa organisasi perempuan yang ada, seperti Dharma Wanita atau Bhayangkari yang beranggotakan istri-istri polisi, lebih menaruh perhaatian pada kegiatan yang sifatnya domestik seperti memasak dan mendampingi suami mereka di kala menyambut tamu dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas semacam ini dipandang kosong maknanya oleh Saskia. Ia menceritakan bahwa ia merasa marah dan terkejut akan hilangnya gerakan perempuan yang kuat seperti Gerwani. Menyadari bahwa masa-masa Orde Baru sarat akan propaganda yang pada akhirnya mengamputasi PKI dan Gerwani (PKI dituduh ateis, anti Pancasila, sementara anggota Gerwani dituduh sebagai perempuan yang menjual tubuh), Saskia tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana propaganda dan perubahan mental yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dapat menekan gerakan perempuan. Dalam proses penelitiannya, Saskia bertemu dengan beberapa perempuan pemimpin dan anggota Gerwani yang dulu dipenjarakan atas tuduhan terlibat dalam insiden pembunuhan Lubang Buaya. Salah satunya menceritakan tentang seorang gadis berumur 13 tahun yang dituduh menari telanjang sembari menggoda para jenderal, kemungkinan berumur sekitar 40-50 tahun, lalu memutilasi mereka. Sebuah cerita yang tentunya terdengar ganjil. Gadis Arivia, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, yang bertindak sebagai moderator dalam diskusi novel ini menambahkan bahwa poin lain yang menarik dari novel The Crocodile Hole adalah diangkatnya tema seksualitas di dalamnya. Tema ini dimunculkan melalui tokoh utama dalam novel yang bernama Tommy, seorang jurnalis perempuan yang menjalin hubungan dengan sesama perempuan. Sehingga ketika kita membaca novel ini kita juga akan mendapat pengetahuan tentang seksualitas. The Crocodile Hole sesungguhnya mengungkapkan genosida mengerikan yang dilakukan oleh pemerintah namun berusaha untuk dikubur dalam-dalam oleh pemerintah maupun masyarakat. Novel ini juga sekaligus menjadi sebuah “obat” bagi para perempuan anggota Gerwani yang mencari pembelaan dan permintaan maaf dari negara. Pada akhirnya mengutip sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Saskia yang juga menjadi sebuah pengingat bagi Indonesia: “Bagaimana sebuah negara dapat membangun perdamaian di atas begitu banyak kebohongan?” (Johanna Poerba) ![]() Selasa (27/10/2015) Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) ke-12 sekaligus peluncuran serta diskusi novel The Crocodile Hole dan Indonesian Feminist Journal (IFJ) terbitan YJP Press di Casakhasa Garden Bistro, Kemang, Jakarta Selatan. Acara gathering SJP merupakan acara silaturahmi 3 bulanan sekaligus yang dilaksanakan guna sharing pendapat dan menambah pengetahuan tentang masalah perempuan di Indonesia melalui diskusi. Diskusi gathering SJP ke-12 ini menghadirkan Prof. Saskia Wieringa (Penulis novel The Crocodile Hole), Nursyahbani Katjasungkana (Koordinator International People’s Tribunal (IPT) 1965), dan Lea Simek (Executive Editor IFJ) sebagai pembicara dengan host Gadis Arivia (Pendiri dan Acting Direktur Yayasan Jurnal Perempuan). Gadis Arivia sebagai host mengucapkan terima kasih kepada Sahabat Jurnal Perempuan (SJP), teman-teman aktivis dan akademisi yang telah hadir dalam acara gathering ini. Gadis juga mengumumkan bahwa novel The Crocodile Hole yang gagal launching pada acara "Ubud Writers and Readers Festival 2015" akan tetap didiskusikan pada tanggal yang sama, 29 Oktober 2015, pukul 13.00 hingga 16.00 wib di Nuri's Nacho Mama, jalan raya Campuhan, Ubud, bersama dengan Sahabat Jurnal Perempuan Bali dan aktivis HAM lainnya. Gathering SJP ke-12 ini juga sangat menarik karena Jurnal Perempuan mengundang penyair perempuan dari Aceh, Zubaidah Djohar untuk membacakan puisi-puisinya. Zubaidah membawakan 4 puisi yang berjudul “Inikah Damai Mu, Tuan?”, “Karena Engkau Perempuan”, “Ajari Saya Untuk Melupakan” dan “Luka Rahim”. Puisi-puisi tersebut dibawakan dengan khidmat oleh Zubaidah sehingga peserta gathering ikut hanyut dalam kesedihan makna-makna syair tersebut. Dalam acara gathering SJP ke-12 yang dihadiri oleh 80 peserta ini, Prof. Saskia Wieringa menjelaskan tentang novel The Crocodile Hole yang didasarkan oleh tesisnya, yaitu penelitian terhadap gerakan perempuan di Indonesia, khususnya fitnah yang ditujukan pada Gerwani sebagai organisasi perempuan paling progresif pada waktu itu. Kemudian diskusi disambung oleh paparan dari Nursyahbani Katjasungkana selaku Koordinator IPT 1965 mengenai pengadilan rakyat internasional atas tragedi tahun 1965 yang menurutnya adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan dan akan diselenggarkan pada 10 November mendatang di Den Haag. Di sesi akhir Lea Simek, Executive Editor IFJ, menjelaskan tentang Indonesian Feminist Journal Vol.3 yang berjudul “The Remaking of Tradition: Sex, Lies & Politics”. Lea memaparkan bahwa didalam Indonesian Feminist Journal Vol.3 ada beragam tulisan dari para feminis lintas negara tentang praktik-praktik budaya, tradisi dan politik di Indonesia yang masih meninggalkan jejak ketidakadilan seperti kawin paksa, tes keperawanan, mutilasi alat kelamin perempuan atau sunat, dll. Lea juga mengungkapkan bahwa IFJ nantinya diharapkan dapat merambah pembaca internasional sebagai rujukan tentang kajian gender. Diskusi ini disambut baik oleh para peserta dan banyak dari mereka yang melontarkan pertanyaan atas isu-isu yang dibahas. Di penghujung acara, peserta gathering menunjukkan kebahagiaan mereka atas lahirnya Indonesian Feminist Journal Vol.3 dan novel The Crocodile Hole terbitan YJP Press dengan saling bercengkerama dan berfoto bersama. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Kekerasan seksual bukan pelanggaran asusila melainkan kejahatan seksual. Pernyataan ini diungkapkan Mariana Amiruddin, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan dan Komisioner Komnas Perempuan, pada acara workshop “Pencegahan Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” yang diselenggarakan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Universitas Indonesia pada Jumat (16/10/2015) di Auditorium Juwono Sudarsono, kampus UI Depok. Mariana memaparkan mengenai perkosaan dan bagaimana kaitannya dengan kekuasaan. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa perkosaan terjadi seiiring dengan kejahatan lain, misalnya pencurian, pembunuhan dan sebagainya. Sehingga perkosaan bukan hanya soal seks tapi kekuasaan. Di hadapan 25 peserta workshop ini, Mariana menjelaskan bahwa anggapan-anggapan yang selama ini diyakini oleh masyarakat adalah sebuah kebohongan, melalui tulisannya ia membongkar mitos-mitos perkosaan tersebut. “Penyebab perkosaan bukan pada pakaian perempuan”, Mariana menegaskan. Berdasarkan data Komnas Perempuan 90% perkosaan terjadi di dalam rumah dan jika pun terjadi di ruang publik pasti diiringi dengan tindak kriminal lainnya. Mariana menganalisa bahwa perkosaan yang terjadi ruang publik itu jelas sudah direncanakan, karena pertimbangan pemerkosa terhadap korban adalah bukan pada pakaiannya melainkan pada kondisi fisik dan psikis korban. Apakah korban sedang dalam kondisi lemah, tidak bisa melawan, sendirian dan tidak mungkin untuk melarikan diri, itulah beberapa faktor yang menjadi pertimbangan. Perkosaan adalah relasi kuasa antara pemerkosa dan korban, sehingga pengetahuan akan tubuh dan keberanian untuk bersuara menjadi sangat penting dalam kasus perkosaan. Mariana memberikan contoh, di lingkungan kampus sering terjadi pelecehan seksual oleh dosen (yang memiliki kuasa) pada mahasiswa (tidak memiliki kuasa), kemudian perkosaan yang dilakukan oleh relasi saudara di dalam rumah, keduanya akan akan melahirkan trauma yang mendalam bagi korban. Akhirnya korban hanya bisa bungkam dan kengerian tersebut secara psikologis harus segera dipulihkan. Kemudian tahun 1998 perkosaan yang terjadi pada perempuan etnis Cina secara masif, menurut Mariana itu merupakan simbol penaklukan dan penghinaan yang mendalam terhadap etnis Cina, lagi-lagi bukan soal seks. Hal lain yang diungkapkan Mariana adalah mengenai fantasi seksual yang menurutnya tidak pernah ada. “Perkosaan adalah keji, perkosaan adalah kengerian, tidak ada fantasi seksual disana”, ungkap Mariana menutup materinya. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |