![]() Senin, 14 September 2015, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Gender (P3KG) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menyelenggarakan pendidikan publik JP 86 SRHR & Perubahan Iklim di Gedung Pertemuan Ilmiah Universitas Hasanuddin. Pendidikan publik ini menghadirkan Prof. Dr. dr Veni Hadju, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Meisy Papayungan, Kepala Sub Bidang Kualitas Hidup Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Sulawesi Selatan, dan Wahidah Rustam, aktivis perempuan, sebagai pembicara serta Anita Dhewy, Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan sebagai moderator. Pendidikan Publik JP 86 SRHR & Perubahan Iklim dihadiri oleh mahasiswa, dosen, birokrat, aktivis perempuan dan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) Makassar. Kegiatan yang diadakan di kota Makassar ini juga mendapat perhatian baik dari publik. Beberapa LSM juga turut hadir dalam diskusi ini seperti LBH APIK kota Makassar dan Komunitas Peduli Kanker Makassar. Acara pendidikan publik ini dimulai dengan pidato dari Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Gadis Arivia. Dilanjutkan dengan sambutan dari Rektor Universitas Hasanuddin yang diwakili oleh Direktur Rumah Sakit Pendidikan Unhas Dr. dr. Siti Maisuri Chalid, SpOG. Setelah itu dilanjutkan ke acara diskusi yang dipandu oleh moderator. Anita Dhewy selaku moderator memaparkan informasi-informasi kunci sebagai pendahuluan. Informasi kunci yang disampaikan berkaitan dengan terminologi SRHR dan persoalan perubahan iklim yang menjadi perbincangan di dunia internasional dalam dekade terakhir ini. Anita juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada peserta dan SJP Makassar yang telah hadir dalam acara ini. Setelah pemaparan singkat dari moderator, sesi diskusi dimulai oleh Veni Hadju sebagai pembicara pertama. Kemudian dilanjutkan oleh Wahidah Rustam yang menjelaskan tentang perubahan iklim dan dampak langsung terhadap mobilitas perempuan serta hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual perempuan. Wahidah Rustam adalah seorang aktivis perempuan yang memiliki banyak pengalaman dalam memperjuangkan hak-hak perempuan adat, perempuan nelayan, dan perempuan di pesisir pantai. Setelah Veni Hadju dan Wahidah Rustam memaparkan materinya, materi selanjutnya disampaikan oleh Meisy Papayungan yang berbicara tentang perkembangan program Pengarusutamaan Gender (PUG) di Provinsi Sulawesi Selatan dan kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan di kabupaten dan kota. Setelah ketiga materi selesai dipaparkan, moderator menyilakan peserta untuk mengajukan pertanyaan. Peserta dari beberapa kalangan juga turut berpartisipasi aktif dalam diskusi ini. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Pengarusutamaan gender (PUG) dilakukan pemerintah dengan mengintegrasikan perspektif (sudut pandang) gender ke dalam proses pembangunan di setiap bidang, termasuk dalam hal peningkatan akses kesehatan dan hak reproduksi dan seksual, demikian pernyataan Meisy Papayungan, Kepala SubBidang Kualitas Hidup Perlindungan Perempuan & Anak pada Badan Pemberdayaan Perempuan & KB Provinsi Sulawesi Selatan dalam acara Pendidikan Publik “SRHR dan Perubahan Iklim” yang diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Gender (P3KG) Universitas Hasanuddin pada Senin (14/9) di Gedung Pertemuan Ilmiah, Unhas. Lebih jauh Meisy menjelaskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang saat ini sedang disusun akan memasukkan indikator perubahan iklim, kesetaraan gender dan SRHR. Sementara di level daerah, Pemerintah Provinsi Sulsel telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Sulsel Nomor 62 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang salah satu pasalnya mewajibkan Pemprov untuk menyusun kebijakan program dan kegiatan pembangunan berperspektif gender yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Renstra SKPD dan Rencana Kerja SKPD. Selain itu menurut Meisy, Gubernur Sulsel juga sudah mengeluarkan sejumlah surat edaran sebagai implementasi PUG, seperti Surat Edaran Gubernur Sulsel tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak yang mengatur agar SKPD Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun data terpilah gender dan anak. Surat Edaran Gubernur Sulsel perihal Penyusunan RKA-SKPD Responsif Gender Tahun Anggaran 2013. Yang dilanjutkan dengan Surat Edaran serupa untuk Tahun Anggaran 2014. Di luar itu telah dibentuk pula Forum Data Gender dan Anak yang melibatkan berbagai sektor serta Tim Teknis Anggaran Responsif Gender yang terdiri dari 4 SKPD penggerak yaitu Bappeda, BPPKB, BPKD dan melibatkan Inspektorat dalam pengawasannya. Menurut Meisy kemajuan yang dicapai dari berbagai kebijakan tersebut adalah meskipun secara teknis praktik ini dilakukan tetapi ketika dilakukan telaah dokumen, maka didapat temuan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan baru menyentuh level gender awareness dan gender sensitive, dan baru sebagain yang sudah mengintegrasikan perspektif gender. Misalnya pada kegiatan pelatihan untuk UKM, maka baru sebatas membedakan berapa banyak pengusaha perempuan yang menjadi target pelayanan program tersebut. Pada kasus penanganan bencana misalnya, rencana kerja anggarannya juga belum banyak menyentuh kepada program yang terkait pemenuhan hak reproduksi atau kebutuhan-kebutuhan perempuan, laki-laki dan anak. Ini adalah persoalan yang dihadapi di level provinsi. Sementara pada tataran kabupaten/kota persoalan yang dihadapi lebih berat, terutama terkait dengan siklus pergantian pejabat daerah. Meisy menambahkan bahwa PUG hanya dapat tercapai jika seluruh pemerintah kabupaten/kota mengerti dan berupaya melakukan pengintegrasian gender dalam seluruh aspek pembangunan. (Anita Dhewy) ![]() Senin, 14 September 2015, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Gender (P3KG) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menyelenggarakan pendidikan publik JP 86 SRHR & Perubahan Iklim di Gedung Pertemuan Ilmiah Universitas Hasanuddin. Pendidikan publik ini menghadirkan Prof. Dr. dr Veni Hadju, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Meisy Papayungan, Kepala Sub Bidang Kualitas Hidup Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Sulawesi Selatan, Wahidah Rustam, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan sebagai pembicara dan Anita Dhewy, Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan sebagai moderator. Sesi diskusi pertama dimulai oleh Prof. Veni Hadju yang memaparkan tentang pentingnya pendidikan serta pemenuhan SRHR bagi perempuan. Veni Hadju menyampaikan bahwa perlu untuk memberikan kesempatan yang sama dalam akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan dalam upaya mempromosikan hak-hak reproduksi. Kehamilan yang tidak direncanakan, tingginya angka kematian ibu, dan HIV/AIDS, menurut Veni Hadju merupakan beberapa hal yang menjadi perhatian utama dalam upaya pemenuhan SRHR perempuan. Indonesia memiliki AKI yang cukup tinggi yaitu 359, itu merupakan 10 kali lipatnya dibandingkan Malaysia. Menurutnya instrumen gender internasional sudah memiliki sejarah panjang. Instrumen internasional dimulai dari United Nations Charter pada tahun 1945, kemudian pada tahun 1948 Universal Declaration of Human Rights, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination (CEDAW) di tahun 1982, International Conference on Population and Development (ICPD) di tahun 1994 dan pada tahun 1995 ada Fourth World Conference on Women. Konvensi internasional tersebut merupakan bukti perjalanan panjang dari upaya pemenuhan hak-hak asasi dan hak kesehatan reproduksi. “Hak kesehatan reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia”, papar Veni Hadju. Ia juga menyampaikan bahwa menurut penelitian, perempuan hamil di Sulawesi Selatan kurang mendapat perhatian dari pengambil kebijakan atau stakeholders. “Banyak ibu-ibu hamil yang masih bekerja di sawah dan angkat barang di pasar”, ungkap Veni. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Gadis Arivia, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal (YJP) Perempuan memberikan pidato dalam acara pendidikan publik JP 86 SRHR & Perubahan Iklim kerjasama YJP dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Gender (P3KG) Universitas Hasanuddin Makassar pada Senin 14 September 2015 di Gedung Pertemuan Ilmiah Universitas Hasanuddin. Gadis Arivia dalam pembicaraannya mengajak peserta untuk mempertanyakan kembali apakah kaitan antara gender dengan alam, dengan lingkungan, dengan perubahan iklim. Gadis memaparkan bahwa pada abad ke-20 isu lingkungan belum dikaitkan dengan persoalan gender, namun di abad ke-21 isu perempuan ialah juga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang nantinya bisa melahirkan environment justice. Instrumen internasional sudah banyak yang mendorong pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi dalam pembangunan. International Conference on Population and Development (ICPD) pada tahun 1994 menyepakati bahwa kesehatan reproduksi adalah persoalan populasi dan pembangunan. Kemudian instrumen internasional lainnya adalah International Planned Parenthood Federation (IPPF) di tahun 1996 yang menuliskan secara detail 12 poin hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual. “Keberhasilan pemenuhan SRHR adalah salah satu indikator kemajuan pembangunan”, Gadis menambahkan. Instrumen internasional sudah tersedia namun informasi tersebut belum sampai dengan jelas sehingga masih banyak yang belum memahaminya. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hak reproduksi, pembangunan dan perubahan iklim juga masih banyak karena kita belum menganggap hal tersebut penting untuk diperjuangkan. Selama pembicaraannya Gadis juga menjelaskan mengenai JP 86 SRHR dan Perubahan Iklim yang berisi hasil riset dan pengalaman-pengalaman perempuan merawat alam. Misalnya pada tulisan Desintha D. Asriani, Gadis menjelaskan bahwa Desintha menuliskan tentang bagaimana perempuan Molo berjuang untuk mempertahankan tanah adatnya dan bagaimana penambangan bisa berakibat pada kelangkaan air dan kesehatan reproduksi perempuan. Kemudian ada juga tulisan Sri Yuliana tentang kisah perempuan Sumatera Selatan yang harus bertahan hidup dengan kondisi tanah yang sulit ditanami tumbuhan. Dalam persoalan lingkungan seringkali bahkan banyak perempuan yang menjadi aktor karena mereka mempunyai kepentingan yang besar untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga. Jadi tidak heran jika akibat dari perusakan lingkungan banyak dirasakan oleh perempuan. Hal lain yang perlu menjadi perhatian juga ialah megenai pendidikan seksualitas, di dalam JP 86 SRHR & Perubahan Iklim ada tulisan Masthuriyah mengenai SRHR di pesantren. Bagi Gadis seksualitas yang ditabukan akan menjadi persoalan bagi anak-anak perempuan, karena nantinya mereka kurang pengetahuan akan Kespro. Selain memuat artikel, JP 86 juga memuat riset mengenai penolakan RUU KKG. Gadis juga turut menyayangkan tidak lolosnya RUU KKG dalam Prolegnas. Menurutnya UU KKG sangat dibutuhkan sebagai payung hukum untuk semua urusan yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan gender. “Kajian-kajian tersebut telah didokumentasikan dalam JP 86 dan diharapkan bisa menjadi acuan dalam pembuatan keputusan maupun kebijakan yang berperspektif gender”, Gadis memaparkan. Gadis Arivia juga mengungkapkan bahwa 19 tahun yang lalu sangat sulit untuk mencari peneliti dan penulis kajian gender untuk menulis di Jurnal Perempuan. Bahkan juga sulit untuk menjelaskan kesetaraan dan keadilan gender ke masyarakat dan kalangan akademisi di universitas. Namun seiring dengan berkembangnya pendidikan gender di universitas, kini persoalan kesetaraan dan keadilan gender menjadi lebih diketahui dan dipahami oleh banyak orang. Kita juga perlu berafiliasi dengan laki-laki karena pada akhirnya kemajuan perempuan juga menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bergerak di bidang penerbitan, penelitian dan pendidikan untuk memajukan kesetaraan gender di Indonesia. Sampai Agustus 2015, JP telah menerbitkan 86 edisi dengan meraih pembaca yang luas seperti akademisi, anggota parlemen, aparatur pemerintah, profesional dan kalangan umum. Menjadi hal penting bagi YJP untuk melakukan pembaharuan atau upgrade pengetahuan soal isu-isu perempuan. Pembaharuan-pembaharuan ini tentunya tidak boleh hanya terjadi didalam ruang-ruang redaksi saja. Penting bagi YJP untuk juga melibatkan seluruh elemen tim, dalam hal ini staf redaksi maupun marketing bahkan hingga level management dalam proses upgrading. Peningkatan kapasitas ini dirasa cukup penting bagi sebuah organisasi dalam hal ini YJP agar pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan staf berjalan beriringan dengan kualitas produk pengetahun YJP. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan proses kontinu yang akan berdampak pada peningkatan kualitas organisasi. Jumat, 11 September 2015, YJP melaksanakan kegiatan peningkatan kapasitas pengetahuan kepada staf yang difasilitasi oleh Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy. Kegiatan peningkatan kapasitas ini dimaksudkan agar staf YJP memahami produk-produk yang telah diterbitkan. Capacity building staf ini diadakan setiap jurnal, buku, maupun novel diterbitkan. Agenda capacity building kali ini adalah membedah JP 86 SRHR & Perubahan Iklim. Model diskusi dua arah yang dimplementasikan menjadikan kegiatan capacity building dan proses diskusi didalamnya lebih dinamis. Setiap staf diharuskan membaca minimal satu artikel kemudian menjelaskannya kepada staf lainnya. Anita Dhewy selaku Sekretaris Redaksi JP memimpin kegiatan ini, dimulai dengan pemaparan atas tema besar yang diangkat pada JP 86 yaitu SRHR dan Perubahan Iklim. Anita Dhewy membahas mengenai terminologi dipakai dan alasan mengapa penting untuk mengangkat isu tentang Hak & Kesehatan Reproduksi dan Seksual (HKRS) dan Perubahan Iklim. Pegantar mengenai tema besar ini sangat penting diketahui oleh Staf YJP lainnya karena merupakan informasi kunci dalam memahami keseluruhan isi jurnal tersebut. “Penggunaan terminolgi ‘hak’ dalam kesehatan reproduksi & seksual menjadi penting karena seringkali hak kesehatan perempuan diabaikan, begitu juga dengan perubahan iklim yang menjadi isu krusial yang mulai disorot dunia”, Anita Dhewy menjelaskan. Setelah penjelasan mengenai tema besar JP 86 SRHR & Perubahan Iklim dilanjutkan dengan pemaparan masing-masing staf YJP yang berupa ulasan, pendapat, maupun kritik terhadap salah satu tulisan di dalam JP 86 yang telah mereka baca sebelumnya. Andi Misbahul Pratiwi Asisten Redaksi memaparkan poin-poin kunci dari tulisan Desintha D. Asriani yang berjudul “Perempuan Molo Merawat Tubuh & Alam: Aleta Baun, Paham Nifu & Pegunungan Mutis”. Penggunaan kaca mata ekofeminisme dalam tulisan Desintha tentu sangat terkait dengan tulisan Tommy Apriando yang berjudul “Perempuan Rembang Merawat Mata Air Kendeng: Kajian Dampak Tambang pada SRHR”, sehingga pemaparan berikutnya dilanjutkan oleh Anita Dhewy yang membahas tulisan Tommy. Selanjutnya Hasan Ramadhan bagian Administrasi Umum dan anggota tim Marketing YJP membedah tulisan Ahmad Badawi, “Gap SRHR dalam Kebijakan Perubahan Iklim: Studi Kasus Kapubaten Jepara dan Banyumas”. Andri Wibowo kepala tim Marketing membahas tentang tulisan Sri Yuliana “Perempuan Merawat Air, Tanah dan Keluarga: Kajian Kedaulatan Pangan di Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan”. Theresia Massang bagian Keuangan YJP menjelaskan tentang tulisan Tiyas Nur Haryani yang berjudul “Kerentanan Ibu Rumah Tangga: Responsivitas Gender dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Surakarta. Kegiatan ini berlangsung interaktif dan berakhir dengan diskusi mengenai ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia yang lagi-lagi perempuan menjadi aktor dalam isu lingkungan. Seperti yang dilakukan mama Aleta untuk mempertahankan tanah leluhurnya yang mempunyai filosofi mendalam bagi masyarakat Molo. Mengutip dari mama Aleta bahwa alam tempat mereka (masyarakat Molo) tinggal adalah simbol Identitas mereka, maka diharapkan capacity building ini dapat mengakomodir semua bidang pekerjaan di YJP sehingga tim YJP tidak kehilangan identitas sebagai pejuang kesetaraan yang mumpuni dalam hal pengetahuan. Salam Pencerahan dan Kesetaraan. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Pada hari Sabtu (5/9) di bawah dua pohon mangga rindang, tepatnya di Casakhasa Garden Bistro, Kemang, Jakarta Selatan, Jurnal Perempuan bersama Ardhanary Institute dan didukung oleh Hivos-Rosea meluncurkan Modul Pelatihan Media Meliput LGBT disertai dengan diskusi Modul tersebut. Hartoyo, Aktivis LGBT dari Suara kita menjadi salah satu dari empat pembicara lainnya yakni Gadis Arivia dari Jurnal Perempuan, Ade Armando, dosen komunikasi FISIP UI, dan Luviana dari Aliansi Jurnalis Independen. "LGBT terinspirasi dari aktivis pluralisme yang menggunakan media alternatif seperti website, walaupun saya juga tidak anti media mainstream, media mainstream harus dirangkul", ujar Hartoyo menceritakan bagaimana pengalaman organisasinya menyuarakan isu LGBT. Menurutnya, tidak semua media mainstream memberitakan LGBT dengan buruk. Ia menceritakan pengalamannya ketika diwawancarai oleh salah satu media islam. Ia ikut merekam dan mentranskrip verbatim wawancara serta mengirimkannya kepada si wartawan sehingga kemudian berita yang dituliskan bebas dari asumsi. Hartoyo melanjutkan media yang digunakan organisasi Suara kita adalah website. Website dianggap sebagai media alternatif yang murah dan efektif dengan jumlah pengunjung per hari mencapai 800. Alamat website www.suarakita.org adalah website kedua dari organisasinya karena sebelumnya sempat diblok oleh Kemeninfo. Website www.suarakita.or.id dianggap tidak mendidik, namun pemblokiran tersebut tanpa terlebih dahulu didasari suatu kajian. (Nadya Karima Melati) ![]() Berbicara tentang media massa hal pertama yang harus kita ingat adalah bahwa media massa sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga dalam konteks isu LGBT terutama terkait dengan advokasi dan kampanye media, kita tidak boleh hanya berhenti pada media cetak. Lebih jauh kita juga harus memahami bahwa soal media massa tidak hanya mencakup perihal peliputan tentang LGBT, tetapi juga menyangkut bagaimana LGBT tampil dalam konstruksi media. Dengan demikian kita tidak hanya bicara tentang berita, tetapi bagaimana LGBT ditampilkan dalam talkshow, film, lagu, sinetron, pertunjukkan musik, dst. Kita harus ingat bahwa media massa itu jauh lebih luas daripada sekadar jurnalistik. Hal ini memiliki implikasi bagi perjuangan LGBT. Pernyataan ini disampaikan Ade Armando, Dosen Komunikasi FISIP UI saat menjadi pembicara dalam acara diskusi yang mengiringi Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT yang diselenggarakan Jurnal Perempuan dan Ardhanary Institute dengan didukung Hivos-Rosea pada Sabtu (5/9) di Casakhasa, Jakarta. Hal kedua yang harus diingat menurut Ade adalah bahwa media massa mempunyai banyak komponen. Sehingga membayangkan bahwa para jurnalis atau para pembuat film atau penulis naskah atau perancang talkshow atau sinetron itu bekerja independen adalah sebuah mitos dan salah, karena mereka semua hidup dalam sebuah sistem. Walau demikian harus dibedakan antara media yang komersial dan yang non komersial. Pertama-tama yang harus diingat mereka berada dalam sebuah struktur dan di dalam struktur ini penulis atau wartawan mempunyai pemimpin redaksi atau atasan. Di luar kebijakan redaksional, ada faktor pemilik media yang bisa juga memiliki kepentingan. Karena itu media yang besar yang mempunyai khalayak yang juga besar, akan berbicara dengan pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih luas. Begitu juga dengan para pembuat film, pembuat sinetron, dsb. Faktor lain adalah soal pengiklan. Karena itu Ade sangat menyadari bahwa tidak mudah untuk menjangkau wartawan, penulis naskah, pembuat film, dsb agar mereka tergerak untuk bersimpati atau bahkan memperjuangkan isu LGBT dalam karya-karya yang mereka hasilkan. Karena itu Ade mengerti jika Jurnal Perempuan lebih berupaya untuk membangun sensitivitas.Agar ketika seorang wartawan menulis tentang persoalan LGBT, paling tidak dia menuliskannya dengan benar. Akan tetapi untuk masuk pada tahap membangun kesadaran, membuat orang menjadi lebih paham persoalan LGBT bukanlah persoalan mudah. Selain faktor media sebagai sebuah sistem, ketidakmudahan yang kedua terkait dengan fakta bahwa orang-orang yang menulis berita, membuat film, menulis karya, membuat talkshow dan program-program TV adalah seorang manusia dan sebagai manusia, seseorang mempunyai preferensi, mempunyai pikiran, memiliki initial attitude terkait dengan isu LGBT. Di luar aspek internal tersebut, terdapat juga pandangan masyarakat umum mengenai LGBT. Kombinasi kedua aspek inilah yang menghasilkan pandangan yang dimiliki seseorang terkait isu LGBT. Dalam hal ini Ade berpandangan bahwa barangkali upaya yang penting adalah mengajar mereka yang bergerak dalam bidang media karena ia sangat percaya media massa merupakan pembentuk konstruksi masyarakat atas dunia. Orang-orang yang bekerja di media perlu diberi pengetahuan yang cukup mengenai isu yang sesungguhnya. Namun kita juga harus menyadari bahwa mereka memiliki initial attitude mengenai LGBT. Ade menduga pada umumnya orang-orang yang bergerak dalam media massa pun mempunyai prasangka, stereotip tentang LGBT. Karenanya dibutuhkan proses yang panjang agar seseorang bergerak dari prasangka menjadi bersimpati lalu berempati dan kemudian menganggap kita semua sama. (Anita Dhewy) ![]() Pada tanggal 5 September 2015, Yayasan Jurnal Perempuan dan Ardhanary Institute mengadakan acara Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT yang didukung oleh Hivos-Rosea. Peluncuran modul tersebut mengambil tempat di CasaKhasa, Kemang, Jakarta. Dalam kesempatan diskusi ini, salah seorang pembicara yaitu Luviana dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyampaikan pandangannya mengenai sikap media dalam meliput kasus-kasus mengenai, ataupun yang meyinggung LGBT. Luviana mengatakan bahwa AJI menyambut positif peluncuran modul ini. Sebelumnya, AJI sempat melakukan sebuah riset kecil dan diskusi mengenai bagaimana media di Indonesia men-cover isu LGBT. Dari data Dewan Pers, jumlah media Indonesia mencapai 2.338 media. Sebuah peningkatan pesat dari jumlah 300 media pada masa sebelum reformasi. Jumlah ini belum termasuk media komunitas dan media lainnya yang belum mendaftarkan media mereka. Menurut Luviana, peningkatan ini merupakan dampak dari perubahan teknologi. Kemajuan dari perubahan teknologi pada masa ini adalah terjadinya perubahan besar dalam arus informasi. Sekarang ini semua orang bisa menjadi sumber berita. Media sosial menjadi ruang publik sehingga semua orang bisa menuliskan opini, menjadi narasumber, membuat petisi, dan sebagainya. Oleh karenanya Luviana berpendapat bahwa modul panduan ini menarik karena membahas bagaimana konten LGBT dalam media dan memberikan panduan tentang bagaimana menuliskannya. Melalui riset tersebut AJI menyimpulkan bahwa semakin banyak media yang muncul membahas isu LGBT. Namun harus dilihat apakah karena jumlah media semakin banyak atau apakah karena memang isu LGBT menjadi isu yang menarik untuk digarap. Terlepas dari itu, AJI mencatat bahwa isu LGBT mencuat ke permukaan ketika terjadi momentum seperti ketika IDAHOT atau hari HIV/AIDS. Isu LGBT sebenarnya merupakan isu yang menarik tetapi umumnya terdapat beberapa perspektif yang digunakan dalam memandang kasus LGBT. AJI melihat ada empat perspektif dalam liputan media mengenai LGBT. Perspektif agama, informatif (hanya sekadar memberi informasi), pasar (sensasional), dan kritis. Sayangnya liputan dengan perspektif pasar dan informatif masih mendominasi. Luviana menambahkan bahwa pemetaan media adalah persoalan konten, buruh media (apakah jurnalis bebas menuliskan LGBT), kepemilikan media, dan regulasi. Misalnya konten media memang dipengaruhi oleh rating share, terutama media online. Jika banyak yang meng-klik maka berarti isu tersebut menarik. Isu LGBT sekarang ini, oleh teman-teman media, dianggap menarik tetapi masih selalu dikaitkan dengan persoalan agama, moralitas, dan lain-lain. Permasalahan lainnya adalah terkait diksi. Masih banyak wartawan yang belum mengenal istilah LGBT. Dalam isu LGBT, Luviana menyatakan bahwa AJI mengambil posisi mendukung kaum minoritas yang berarti AJI membela isu LGBT yang minoritas dan tabu dalam ruang redaksi. Luviana menceritakan pengalamannya ketika ingin mengangkat sebuah isu LGBT di Papua namun ditentang karena isu tersebut dipandang tidak mendidik. Pada akhirnya berita tersebut muncul namun sifatnya hanya informatif. Luviana menutup pembahasannya dengan mengapresiasi kemajuan dalam draft P3SPS yang memasukkan larangan kekerasan dan stereotip (termasuk LGBT) dalam media. (Johanna Poerba) ![]() Pada acara Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT hasil kerja sama antara Yayasan Jurnal Perempuan dan Ardhanary Institute dengan didukung oleh Hivos-Rosea yang diadakan di CasaKhasa, Kemang, Jakarta pada tanggal 5 September 2015, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Gadis Arivia membuka pembahasannya dengan pernyataan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir. Sebagai contoh, Gadis mengatakan bahwa penggunaan kata panggilan seperti mas dan mbak sebenarnya memberikan sebuah label orientasi seksual pada seseorang. Contoh lainnya, Gadis mengatakan bahwa, bisa saja misalnya ia dinamakan Gadis namun memiliki gairah untuk mencintai perempuan, bukannya lelaki. Melihat pentingnya sensitivitas dalam penggunaan bahasa maka tema inilah yang menjadi pokok bahasan pertama dalam Modul Panduan Media Meliput LGBT. Lebih lanjut Gadis mengatakan dalam pengantar modul, Agustine menceritakan bahwa di Museum Nasional terdapat bukti bahwa sejak berabad-abad lamanya keragaman gender dan orientasi seksual telah dikenal oleh masyarakat. Adanya patung Ardhanary adalah salah satu contoh bukti tersebut. Lebih jauh lagi, Plato dalam bukunya Simposium juga pernah membahas mengenai cinta di antara orang-orang dengan gender yang sama. Begitu juga Sappho, seorang penyair yang berasal dari Pulau Lesbos, yang menulis 12 ribu puisi tentang percintaan sesama jenis dengan indah. Tetapi kemudian tiba-tiba datanglah sebuah institusi perkawinan yang mengatakan bahwa tidak boleh bila perempuan menikahi perempuan atau lelaki menikahi lelaki. Dibuatlah undang-undang, dimulai dari Barat, yang menyatakan bahwa pernikahan dikatakan resmi bila dilakukan di antara seorang laki-laki dan perempuan. Aturan ini pun ada dalam undang-undang pernikahan Indonesia. Bukan hanya undang-undang, para ilmuwan juga bersikap diam pada keragaman gender dan orientasi seksual. Ketika akhirnya ilmuwan membuka mulut mayoritas dari mereka menentang keragaman tersebut. Setelahnya, media pun ikut-ikutan masuk dalam gembong homophobia. Menjadi sebuah kemunduran ketika masyarakat justru bergeser dari menghargai keragaman ke mendiskriminasi keragaman. Diskriminasi disertai kekerasan budaya, kekerasan institusi, dan kekerasan media melahirkan kekerasan fisik dan mental yang berdampak pada kaum LGBT. Gadis menyatakan bahwa kesadaran akan adanya kekerasan pada kaum LGBT mengawali kerja sama di antara Jurnal Perempuan, Ardhanary Institute, dan Hivos untuk mengadakan training media pada tanggal 30 Mei 2015 mengenai peliputan LGBT. Melalui training tersebut, Gadis mengatakan bahwa begitu banyak pengetahuan baru mengenai term-term orientasi seksual yang dikenalkan. Ia pun menghimbau para aktivis perempuan dan HAM agar tidak menutup mata pada kasus-kasus diskriminasi LGBT. Menurutnya jika para aktivis hanya memperjuangkan nasib perempuan dan HAM tanpa memperjuangkan hak-hak LGBT, maka mereka tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah berjuang demi HAM. Sebagai penutup, Gadis Arivia mengatakan bahwa media dan wartawan harus kembali lagi pada hal-hal yang mendasar seperti akuntabilitas, fakta, dan kejujuran bukannya sensasi. Dengan demikian maka seharusnya diskriminasi pada LGBT dapat dihindari. (Johanna Poerba) ![]() Sebuah modul bagi kalangan media dalam meliput LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) diluncurkan pada Sabtu (5/9) di Casakhasa Garden Bistro, Jakarta. Modul yang diterbitkan oleh Jurnal Perempuan (JP) bersama Ardhanary Institute (AI) dan didukung oleh Hivos-Rosea ini merupakan respons atas pemberitaan media mainstream yang cenderung masih terjebak antara “menertawakan” kecirian LGBT atau “mengeksotiskan” dan bahkan kadang menggambarkan LGBT sebagai predator. Peluncuran modul dihadiri oleh sekitar 70 orang dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, LSM, media dan profesional. Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT diisi dengan diskusi yang menghadirkan sejumlah pembicara yakni Hartoyo dari Suara Kita, Luviana dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ade Armando, Dosen Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, dan Gadis Arivia dari Jurnal Perempuan dengan moderator RR. Sri Agustine dari Ardhanary Institute. Acara dibuka dengan sambutan dari Jurnal Perempuan, Ardhanary Institute dan Hivos-Rosea. Dalam pembukaannya Dewan Redaksi Jurnal Perempuan Nur Iman Subono yang biasa disapa Boni mengatakan LGBT tidak banyak dibicarakan, bahkan media dalam pemberitaannya seringkali justru melecehkan. Menurutnya ada tiga upaya yang dapat dilakukan, pertama advokasi, dengan memengaruhi pengambil kebijakan, kedua edukasi dan ketiga pemberdayaan. Namun selama ini seringkali ketiga upaya tersebut berjalan sendiri-sendiri. Padahal yang dibutuhkan ketiganya harus berjalan seiring. Karena itu kehadiran modul ini diharapkan tidak berhenti sebatas pada penerbitan namun menjadi awal untuk kerjasama dalam bentuk lain. Sementara Sri Agustine dari Ardhanary Institute menjelaskan penerbitan Modul Panduan Media Meliput LGBT berawal dari penelitian AI tentang bagaimana media meliput isu LGBT melalui wawancara terhadap wartawan media elektronik dan cetak. Selain itu dari pengamatan terhadap liputan-liputan media tentang LGBT selama tiga tahun didapat temuan sebanyak 90% isi pemberitaan media penuh dengan stereotip, stigma, label, dll. Pada pemberitaan kasus kriminal murni yang tidak terkait dengan orientasi seksual dan yang dapat dilakukan siapa saja, ketika dilakukan LGBT, maka yang disorot media justru isu SOGIEB (Sexual Orientation, Gender Indentity, Expression and Bodies). Rekomendasi dari responden yang terdiri dari para jurnalis mengungkapkan bahwa mereka kekurangan informasi yang faktual mengenai LGBT, karena itu menurut mereka diperlukan suatu pandauan yang bisa digunakan jurnalis sehingga mereka dapat meliput LGBT secara maksimal. Ketika modul sudah terbit, para jurnalis merekomendasikan untuk mengundang jurnalis dari media mainstream yang bisa dilatih dengan menggunakan modul tersebut. Maka AI dan JP menggelar pelatihan bagi para jurnalis pada bulan Mei 2015. Karena itu menurut Agustine penerbitan Modul ini merupakan hal yang membanggakan. Bahkan menurutnya ketika sampul Modul dipublikasikan di laman medsos AI, banyak pihak seperti kalangan akademisi memberikan respons positif dan tertarik dengan modul tersebut. Tunggal Pawestri, perwakilan Hivos-Rosea mengungkapkan apresiasinya atas kerja keras AI dan JP untuk menerbitkan modul yang sederhana namun diharapkan bermanfaat bagi kalangan media tersebut. Menurutnya modul ini merupakan kontribusi AI, JP dan Hivos bagi teman-teman media yang mungkin sudah memiliki sentivitas namun tidak tahu bagaimana cara memberitakan dengan istilah-istilah yang tepat atau bagaimana memahami isu orientasi seksual dan identitas gender. Lebih lanjut Tunggal mengatakan penerbitan modul ini merupakan langkah awal bagi Hivos, AI dan JP karena diharapkan keberadaan modul ini tidak hanya menjadi buku yang dipajang di perpustakaan milik media, tetapi diharapkan teman-teman media akan menghubungi Ardhanary Institute atau Jurnal Perempuan dan menggali informasi lebih dalam. Tunggal menyatakan homophobia akan terus terjadi jika pemberitaaan media terus-menerus memojokkan teman-teman LGBT. Karena itu ia berharap modul tersebut dapat menjadi rujukan media. Selain itu ia juga berharap agar teman-teman LGBT selalu mengingatkan kalangan pers untuk meliput LGBT dengan lebih baik. Usai sambutan, acara dilanjutkan dengan penampilan lip-sync dari Dekhap. Dekhap adalah singkatan dari nama keempat personilnya. Juru bicara Dekhap, Dizz menjelaskan penampilan mereka bertujuan untuk menunjukkan bahwa gender terutama ekspresi gender adalah sesuatu yang kita tampilkan dengan kekhasan kita sendiri untuk tujuan yang berbeda-beda. Penampilan ini juga sekaligus merupakan kritik terhadap pandangan masyarakat yang cenderung melihat seks, gender dan ekspresi gender sebagai satu paket, seolah-olah jika seseorang berjenis kelamin perempuan maka ia harus feminin, harus mencintai laki-laki dsb, padahal ini membuat kita cenderung menilai seseorang hanya dari penampilannya. Sementara tak ada seseorang yang dapat mengetahui dengan pasti orientasi seksual dan identitas gender orang lain. Acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Agustine. Hartoyo dalam paparannya mengungkapkan pengalaman organisasi yang dipimpinnya, Suara Kita, dalam menyuarakan kepentingan LGBT. Ia mengungkapkan Suara Kita memilih website yang dinilai murah dan mudah diakses. Pedoman yang digunakan medianya adalah menuliskan pengalaman teman-teman LGBT, sehingga website Suara Kita dapat dikatakan sebagai media komunitas. Sementara itu Luviana mengungkapkan seiring dengan peningkatan jumlah media terjadi juga peningkatan pemberitaan LGBT. Liputan tentang isu LGBT dianggap menarik oleh media namun seringkali dikaitkan dengan persoalan agama dan moral. Menurutnya ada empat perspektif yang digunakan media dalam meliput LGBT yaitu perspektif agama, perspektif informatif, perspektif pasar (menonjolkan aspek sensasi) dan perspektif kritis. Ade Armando dalam paparannya menegaskan dalam industri media massa, bekerja dengan independensi adalah sebuah mitos. Ada kebijakan redaksi, ada faktor pemilik media, ada aspek initial attitude dan pandangan masyarakat umum yang ikut membentuk pemahaman dan memengaruhi seorang wartawan, sutradara, penulis naskah film/sinetron, penulis lirik lagu, perancang talkshow, dsb dalam bekerja. Sementara Gadis Arivia menjelaskan bahwa bahasa membentuk konstruksi berpikir, karena itu Modul Panduan Media Meliput LGBT memulai paparannya dengan pembahasan istilah kata dan bahasa. Lebih lanjut Gadis mengungkapkan bahwa negara—melalui peraturan/undang-undang yang dibuat—akademisi—yang memilih membisu terhadap LGBT—dan media telah berkongkalikong untuk mengucilkan LGBT dan menjadi gembong homophobia. Setelah keempat pembicara menyampaikan paparan, diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab. Usai sesi diskusi, acara dilanjutkan dengan peluncuran modul yang ditandai dengan penyerahan modul kepada perwakilan wartawan yang hadir, yakni dari harian Kompas dan Republika oleh perwakilan Hivos, Tunggal Pawestri. Selanjutnya duet kakak-beradik Rika dan Fani menghibur undangan lewat lantunan lagu yang diiringi dengan permainan gitar. Acara berlanjut dengan pemotongan kue yang menandai ulang tahun Jurnal Perempuan ke-19 pada bulan Agustus lalu. Acara sore itu ditutup dengan makan malam bersama dan ramah tamah. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |