Kamis, 27 Maret 2019, Peluncuran JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia diselenggarakan di JS. Luwansa Hotel. Pada acara ini, Jurnal Perempuan mengundang berbagai pihak yang telah mendukung JP sehingga dapat mencapai terbitan yang ke-100. Acara ini dimulai dengan sambutan dari Esther Parapak mewakili Ford Foundation. Lembaga donor yang telah mendukung JP sejak tahun 1997. Ford Foundation telah mendukung berbagai kegiatan Jurnal Perempuan mulai dari penerbitan, penelitian, diskusi, diseminasi pengetahuan, hingga dukungan penerbitan secara digital. “Keberadan JP masih sangat dibutuhkan untuk mendukung gerakan perempuan. Saya mengapresiasi edisi khusus JP ini”, tutur Esther. Penerbitan JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia didukung oleh Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan). Pada edisi ini terdapat hasil penelitian MAMPU yang diterbitkan. Kemudian, acara dilanjutkan dengan sambutan dari perwakilan Program MAMPU, Fransisca Indarsiyani. “Keberlanjutan JP perlu dikagumi, ini sudah 23 tahun dan masih tetap ada hingga saat ini. JP menyediakan ruang publik untuk menulis hal-hal kritis dan mengekspresikan gagasan mereka untuk Indonesia lebih maju”, tutur Fransisca Indarsiyani. Ia juga melanjutkan bahwa isu yang telah diangkat JP sangat beragam dan substantif, sehingga sangat bermanfaat bagi penguatan aksi kolektif gerakan perempuan. Prof. Mari Elka Pangestu, yang merupakan Dewan Pembina Yayasan Jurnal Perempuan juga turut menyampaikan sambutannya dalam momen penting ini. Ia mengungkapkan bahwa konsistensi Jurnal Perempuan dalam menerbitkan jurnal selama dua decade patut diapresiasi dan didukung, sebab hal ini merupakan prestasi yang luar biasa. Ia melanjutkan bahwa dalam konteks kebijakan publik sudah ada beberapa kemajuan pasca reformasi antara lain hadirnya kebijakan afirmatif Pemilu, UU PKDRT, politik anggaran atau Anggaran Responsif Gender (ARG). Meski demikian menurutnya masih banyak catatan penting terkait perempuan dalam ekonomi, baik mikro maupun makro. Prof. Maril Elka Pangestu menekankan bahwa sudut pandang ekonomi penting untuk mendorong perjuangan kesetaraan gender. “Ketimpangan gender adalah juga masalah ekonomi, karena artinya kita tidak bisa memaksimalkan 50% dari penduduk kita, yaitu perempuan”, tegasnya. Ia menjelaskan bahwa partisipasi kerja perempuan masih rendah, hal ini menurutnya tidak terlepas dari faktor perkawinan anak, akses terhadap pendidikan, kesenjangan upah dan praktik budaya yang diskriminatif. Kemudian, menyoal terbitan JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia, mantan Menteri Perdagangan Indonesia itu pun membenarkan temuan dari riset anggaran pada JP 100, yaitu terkait Anggaran Responsif Gender (ARG) yang belum menjadi arus utama. Menurutnya selama ini persoalan gender masih dianggap persoalan yang berada pada kementerian atau dinas-dinas yang spesifik dengan urusan perempuan saja sehingga politik anggaran belum menyeluruh diimplementasikan di setiap kementerian, dinas dan lembaga. Setelah berbagai sambutan, acara dilanjutkan dengan penyampaian pidato kunci oleh Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Dr. Atnike Nova Sigiro. “Kita sering mendengar kalau feminisme itu kerap indentik dengan pemikiran barat, ide-ide asing, karena alasan itu feminisme ditolak dan dikecam. Kalau kita melacak dalam sejarah bangsa, feminsime telah tumbuh dalam masa pra kemerdekaan Indonesia. Siti Sundari dan Sukaptinah adalah beberapa nama perempuan yang memiliki kontribusi dalam perjuangan isu-isu perempuan dan nasionalisme pada masa kolonial”, tutur Atnike dalam pidatonya. Atnike melanjutkan bahwa feminisme sebagai pemikiran dan gerakan juga mendapatkan tantangan pada periode 1965-1966 dan rezim orde baru, dimana gerakan perempuan dihancurkan dan dikontrol. Setelah itu Indonesia sebagai sebuah negara mengalami fase baru yaitu reformasi, dimana gerakan perempuan ikut tumbuh dan berkembang dalam memperjuangkan ide-idenya. “Di masa orde baru, gerakan perempuan hadir, salah satunya adalah Marsinah. Di era reformasi yang kian genting, gerakan perempuan hadir salah satunya ialah Suara Ibu Peduli, dimana Jurnal Perempuan juga terlibat”, jelas Atnike. Pada masa reformasi, menurut Atnike gerakan perempuan tidak berhenti menyumbangkan pemikirannya di berbagai isu, mulai dari pendidikan, seksualitas, keadilan sosial, hingga keadilan ekologi. Atnike menegaskan bahwa pada pemikiran dan gerakan perempuan di Indonesia memiliki identitasnya sendiri dengan ragam konteks dan opresi yang dihadapinya. “Itulah ide-ide feminisme di Indonesia yang tumbuh dan berkembang, tentu kita tidak tumbuh sendirian tapi juga terkait dengan pemikiran global, Barat dan Asia”, tutur Atnike. Atnike melanjutkan bahwa JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan memotret refleksi gerakan perempuan di Indonesia setelah 20 tahun reformasi. “Di era reformasi ini, kita melihat narasi besar gerakan perempuan memengaruhi reformasi, yaitu adanya institusionalisasi pemikiran feminis dalam kebijakan, makanya kita melihat adanya kebijakan ARG, kebijakan afirmatif Pemilu, UU PKDRT. Kita juga melihat adanya lembaga-lembaga institusi yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan”, jelas Atnike. Menyoal gerakan perempuan dalam mengadvokasi kebijakan publik, Atnike juga mengingatkan kita bahwa masih ada pekerjaan rumah yang berat, salah satunya ialah mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurutnya perjuangan tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya #GerakBersama. Hal ini juga terkait dengan konsep aksi kolektif yang disebut dalam JP 100. Menurut Atnike konsep aksi kolektif sangatlah penting, karena bukan hanya sekadar bersama-sama dalam perjuangan, tetapi juga tanpa malu-malu menyebut diri sebagai gerakan yang memiliki identitas gender. Lebih jauh, gerakan perempuan juga mengalami tantangan pasca 20 tahun reformasi. Menurut Atnike, perempuan kembali direnggut dari ruang publiknya, kontrol perempuan atas tubuhnya juga direbut melalui berbagai bentuk kebijakan diskriminatif yang muncul. “Di tingkat lokal, ada usaha untuk mendorong perempuan berpartisipasi dalam unit-unit kebijakan di level desa, tetapi masih banyak anggapan perempuan tidak boleh memimpin itu masih ada. Ini adalah tantangan yang kita hadapi”, pungkasnya. Atnike mengungkapkan bahwa di setiap zaman, kaum perempuan Indonesia telah membawa berbagai kebaruan tidak hanya bagi kaumnya, tetapi kebaruan yang universal. Ia melanjutkan bahwa sejarah perempuan Indonesia telah membawa feminisme sebagai kesatuan gerak dan pikiran. Menurutnya perempuan Indonesia membuktikan bahwa feminisme adalah sebuah jalan keadilan bagi yang terpinggirkan, tak hanya kelompok perempuan itu sendiri, tetapi juga kelompok yang lain seperti masyarakat perdesaan, kaum miskin kota, dan minoritas gender. “Feminisme adalah kesatuan gerak dan pikiran yang dibangun melalui sikap kritis terhadap praktik dan pandangan dominan yang tidak adil”, tegas Atnike. Setelah pidato kunci dari Dr. Atnike Nova Sigiro, acara dilanjutkan dengan peluncuran JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia dengan memberikan JP 100 secara simbolik kepada stakeholders Jurnal Perempuan. Kemudian setelah itu acara dilanjutkan dengan diskusi JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia menghadirkan Dr. Titiek Kartika Hendrastiti (Dosen FISIP Univ. Bengkulu), Samsidar (Forum Pengada Layanan) dan Anita Dhewy (Pemred Jurnal Perempuan) sebagai pembicara. Acara ini dihadiri oleh 200 peserta dari berbagai elemen, akademisi, pemangku kebijakan, mahasiswa hingga ibu rumah tangga. Jurnal Perempuan kini juga telah tersedia secara digital di www.indonesianfeministjournal.org. (Andi Misbahul Pratiwi) Pada peluncuran JP100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia di Jakarta (27/3), Samsidar mewakili Forum Pengada Layanan (FPL), memaparkan hasil risetnya, yaitu penilaian terhadap Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 16 provinsi di Indonesia. Risetnya diterbitkan di JP100 dengan judul “Keterpaduan Layanan yang Memberdayakan: Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi”. Dalam pemaparannya, Samsidar menjelaskan bahwa lahirnya P2TP2A merupakan inisiatif dan perpaduan antara gerakan perempuan dan pemerintah yang bertujuan untuk menyikapi kekerasan terhadap perempuan. Pada tahun 2002 terbit surat keputusan bersama tiga menteri (Meneg PPPA, Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan) dan Kapolri tentang Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, yang merupakan awal mula pengukuhan komitmen pemerintah tentang penanganan yang komprehensif dan terintegrasi bagi perempuan korban. Samsidar menjelaskan bahwa dampak kekerasan terhadap perempuan tidaklah tunggal melainkan berlapis, mulai dari fisik, psikologis, sosial, budaya hingga ekonomi. Sehingga menurutnya perempuan korban kekerasan tidak bisa ditangani oleh satu pihak atau hanya menyasar pada salah satu aspek dampak yang dialami. “Berlapisnya dampak yang dialami korban, bukan saja menuntut penanganan dan pemenuhan hak korban yang tidak tunggal, tetapi membutuhkan keterpaduan antara satu penanganan dengan penanganan lainnya”, jelas Samsidar. Fakta tersebutlah yang mendorong munculnya konsep layanan yang terpadu. Lebih jauh, Samsidar menjelaskan bahwa pendekatan layanan terpadu ini bukanlah konsep satu atap atau satu lembaga. Menurutnya konsep keterpaduan layanan adalah upaya menyediakan kesempatan dan ruang bagi korban kekerasan agar dapat menerima layanan yang utuh. “Pilot project saat itu melalui One Stop Crisis Center di RSCM, kemudian ada Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di Rumah Sakit Bhayangkara Jawa Timur. Kalangan masyarakat sipil memakai nama Women Crisis Center (WCC)”, jelas Samsidar. Samsidar menceritakan bahwa karya Dolorosa berjudul “Avante” yang digunakan sebagai sampul JP edisi 100 merupakan hadiah dari Dolorosa untuk donasi gerakan perempuan. Pda waktu itu Komnas Perempuan menggagas “Karya untuk Kawan”, yaitu program donasi dari perupa untuk keberlanjutan gerakan—yang merupakan cikal bakal program Pundi Perempuan. Dana yang terkumpul kemudian disalurkan untuk membiayai WCC di daerah agar dapat tetap hidup dan membantu perempuan korban. Menyoal kelembagaan dan sumber daya P2TP2A, Samsidar menjelaskan bahwa pada mulanya ada personil dari masyarakat sipil yang melakukan kerja-kerja layanan di P2TP2A, hal ini dikarenakan model P2TP2A yang dikembangkan merupakan inisiatif dan perpaduan kerja pemerintah dan masyarakat sipil. Namun setelah adanya Peraturan Meneg PPPA No. 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan UPTD, dimana P2TP2A berada di bawah Dinas atau Badan Pemberdayaan Perempuan ada perubahan teknis kelembagaan dan sumber daya. Samsidar menyatakan kekhawatirannya terhadap formalisasi kelembagaan P2TP2A yang dapat menjadi upaya penyeragaman terhadap P2TP2A, yang pada gilirannya berpotensi memengaruhi kualitas layanan terhadap korban. Lebih jauh, Samsidar menjelaskan bahwa formalitas kelembagaan P2TP2A tersebut cenderung menghambat munculnya inisiatif-inisiatif yang berasal dari masyarakat, dikarenakan rumitnya persyaratan formal dan kebutuhan sumber daya yang besar--padahal inisiatif masyarakat sipil sangat membantu dalam upaya penanganan korban kekerasan. Selain itu, menurutnya penyelenggaraan layanan oleh P2TP2A juga akan problematik karena tidak semua pegawai (PNS atau ASN) yang ditugaskan di UPTD tersebut memiliki kualitas dan pengetahuan terkait kerja-kerja lembaga layanan. Standar Pelayanan Minimal (SPM) penanganan korban KTP (Kekerasan terhadap Perempuan) yang dikeluarkan oleh KPPPA akan sulit dipenuhi jika fungsi layanan hanya diadakan oleh UPTD. Samsidar juga menyatakan bahwa layanan dalam bentuk UPTD berpotensi menghilangkan kontribusi masyarakat. Terkait hasil temuan dari riset penilaian atau assessment yang dilakukannya, Samsidar berefleksi bahwa P2TP2A sebagai lembaga layanan perlu melihat kembali filosofi, misi dan tujuannya. Samsidar sendiri menjelaskan bahwa dirinya memaknai P2TP2A sebagai mekanisme pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan. Sehingga dalam melihat P2TP2A, jangan dilihat lembaganya secara an sich, tetapi juga fungsinya. Dari riset penilaiannya tersebut, ia juga menemukan bahwa P2TP2A yang kuat adalah yang berjejaring dengan masyarakat sipil. Demi mewujudkan layanan yang memberdayakan korban, Samsidar menekankan perlunya membongkar perspektif mengenai KTP itu sendiri. “Layanan korban yang baik perlu merujuk pada Resolusi PBB No. 1325 dan Rekomendasi Umum CEDAW No. 30, yang dimungkinkan jika keberadaan layanan oleh masyarakat sipil didukung oleh negara, dan bukan diambil alih”, tutur Samsidar. Menurut Samsidar, keberadaan lembaga layanan yang digagas oleh masyarakat perlu dipastikan mendapat dukungan negara karena menjadi mata rantai layanan pemenuhan hak sehingga terbangunnya budaya dan gerakan dukungan bagi pemenuhan hak korban yang lebih luas. Samsidar berharap, pola kemitraan antara pemerintah dan masyarakat terus berjalan, yang memungkinkan negara tetap mendukung keberlanjutan lembaga layanan masyarakat dan tetap terjaga independensinya sebagai penyeimbang. Sementara P2TP2A (apapun namanya) memainkan peran koordinasi, mendukung peningkatan kapasitas-kapabalitas, monitoring dan penyediaan regulasi dan sumber daya. “Keterpaduan layanan bukan disikapi dengan menempatkan layanan dalam satu atap tetapi memastikan seluruh mata rantai layanan (jejaring layanan) memiliki kapasitas dalam menjalankan layanan dan korban terjamin pemenuhan hak-haknya”, simpulnya. (Dewi Komalasari) Rabu (27/3) dalam Peluncuran JP100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia, Anita Dhewy (Pemred Jurnal Perempuan) memaparkan hasil risetnya yang berjudul “Kebaruan Politik dan Hukum Sebagai Sumbangan Gerakan Perempuan dalam Advokasi Kebijakan Afirmatif Pemilu dan UU PKDRT”. Riset tersebut berfokus pada gerakan perempuan dalam melakukan advokasi kebijakan dan juga sebagai refleksi pemikiran dan gerakan perempuan. Pada pemaparannya, Anita menjelaskan bahwa gerakan perempuan menggunakan strategi yang berbeda-beda dalam penerapan advokasi keterwakilan perempuan melalui kebijakan afirmatif Pemilu. Hal ini disebabkan oleh beragam konteks permasalahan yang dihadapi dalam setiap periode Pemilu. Ia menceritakan bahwa setelah reformasi 1998, gerakan perempuan belum bisa memasukkan kebijakan terkait kepentingan perempuan yaitu pada Pemilu tahun 1999. Lebih jauh Anita menjelaskan bahwa minimnya jumlah perempuan di Parlemen dan momentum reformasi, menjadi faktor pendorong gerakan perempuan dalam memperjuangkan kebijakan afirmatif Pemilu. “Hal ini kemudian menyadarkan aktivis perempuan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen perlu ditingkatkan, karena hadirnya perempuan di parlemen dapat berimplikasi pada lahirnya kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan perempuan”, jelas Anita. Kemudian, Anita menjelaskan bahwa selain adanya kesadaran akan pentingnya politik representasi, gerakan perempuan dalam advokasi kebijakan juga didukung oleh gerakan perempuan yang berasal dari kalangan akademisi. Salah satu bentuk dukungan perempuan akademisi ialah melakukan kajian-kajian komprasi terhadap sistem Pemilu dan sistem politik Indonesia dan negara-negara lain. Kajian-kajian tersebut kemudian menghasilkan dua alternatif terhadap sistem keterwakilan yang akan diadopsi. Pertama, sistem keterwakilan berdasarkan reserved sit atau jatah kursi. Kedua, sistem keterwakilan berdasarkan candidacy atau pencalonan. Namun, sistem reserved seat dipandang kurang sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, sehingga gerakan perempuan mendorong sistem keterwakilan pencalonan. Dalam paparannya, Anita menjelaskan tentang proses dan kemajuan advokasi kebijakan afirmatif Pemilu yaitu di pada rentang tahun 2003 hingga 2014. Pertama, gerakan perempuan berhasil memasukkan sistem kandisasi dalam UU Pemilu Pasal 65 No. 13 Tahun 2003--yang menyebutkan bahwa Partai politik dapat menyalonkan anggota DPR di Provinsi, Kabupaten Kota, dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan sekitar 30 persen. Hal ini menghasilkan peningkatan jumlah perempuan di DPR dari dari 8,8 % menjadi 11,32% pada pemilu 2004. Namun demikian, saaat dilakukan evaluasi terungkap bahwa UU Pemilu Pasal 65 tersebut masih belum efektif berlaku dan tidak ada sanksi bagi partai yang tidak memenuhi kuota perempuan yang telah ditetapkan. Kedua, proses dan kemajuan advokasi ialah di tahun 2007 menjelang pemilu tahun 2009, gerakan perempuan mengupayakan hadirnya sistem zipper, yaitu urutan pencalonan yang selang antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, pada akhirnya ada kesepakatan penomoran bahwa setiap dari tiga calon laki-laki terdapat satu calon perempuan. Sistem ini pun berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan dari 11,32% menjadi 17,82% di Pemilu 2009. Ketiga, menuju ke Pemilu 2014, gerakan perempuan melihat bahwa tidak perlu ada perubahan terkait dengan sistem Pemilu, melainkan perlu mendorong keterwakilan perempuan dalam UU Partai Politik, dengan lebih memperhatikan apakah setiap pengurus partai politik sudah menerapkan kebijakan afirmatif dan sistem 30% perempuan dalam partai politik. Lebih jauh, menurut Anita, proses dan kemajuan advokasi kebijakan afirmatif Pemilu berangkat dari gagasan bahwa politik representasi dibutuhkan karena diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan perempuan, bukan hanya sekadar ukurang angka maupun jumlah. “Keberadaan perempuan di lembaga-lembaga politik pengambil kebijakan itu menjadi hal penting untuk melakukan perubahan, karena diharapkan kehadiran mereka tidak hanya ada saja secara statistik atau angka, tapi juga memberikan warna dan perubahan. Itu pentingnya mereka yang ada dalam posisi-posisi pengambil kebijakan memiliki perspektif perempuan”, ungkap Anita Dhewy. Kemudian Anita menjelaskan gagasan, proses dan kemajuan advokasi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). “Gagasan tentang UU PKDRT sudah hadir sejak tahun 1997 melalui data-data yang dikumpulkan oleh LBH APIK yang mencatat adanya peningkatan kasus-kasus kekerasan terhadap istri dan momen reformasi semakin membentuk kesadaran masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan memang nyata terjadi”, jelas Anita. Menurut Anita, data dan berbagai hasil kajian tentang kekerasan terhadap perempuan mendorong gerakan perempuan memperjuangkan UU PKDRT. Advokasi payung hukum pidana yang spesifik ini juga tidak terlepas dari kolaborasi dan dukungan antar organisasi perempuan sehingga membentuk kekuatan yang besar. Anita menjelaskan bahwa salah satrategi yang digunakan ialah membentuk sebuah forum parlemen yang kemudian menjadi penghubung antara gerakan perempuan dengan anggota DPR Komisi 7 yang menangani RUU ini. “Dalam upaya mendorong pemerintah untuk mengesahkan UU PKDRT, gerakan perempuan juga melakukan gerakan massa seribu payung. Presiden Megawati pun akhirnya mengeluarkan Amanat Presiden terkait RUU PKDRT, sehingga bisa diproses dan UU PKDRT bisa disahkan”, jelas Anita. Menurut Anita, selama ini selalu ada pemisahan antara publik dan privat sehingga gerakan perempuan berupaya merumuskan agenda politik perempuan yang membongkar pemisahan tersebut melalui UU PKDRT. “Kebijakan itu hanya mengatur urusan-urusan di ranah publik, sementara persoalan-persoalan yang terjadi di ranah privat itu tidak dianggap urusan negara. Tetapi dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, maka seharusnya negara ikut hadir dan memberi perlindungan pada perempuan”, tegas Anita Dhewy. Anita Dhewy menutup pemaparannya dengan pernyataan yang reflektif bahwa advokasi kebijakan tidak hanya membawa isu terkait identitas sebagai perempuan, tetapi identitas perempuan dari berbagai latar belakang yang termarginalkan secara politik dan yang mengalami kekerasan. (Rahel Narda Chaterine) Titiek Kartika Hendrastiti: Perempuan Sumba Melawan Tambang dan Memperjuangkan Kedaulatan Pangan29/3/2019
Dalam acara Peluncuran JP100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia yang diselenggarakan pada 27 Maret 2018 di Hotel JS Luwansa-Jakarta, Titiek Kartika Hendrastiti (Dosen FISIP Universitas Bengkulu & Penulis JP100) memamparkan hasil risetnya yang berjudul “Tutur Perempuan Komunitas Anti Tambang di Sumba: Sebuah Narasi Gerakan Subaltern untuk Kedaulatan Pangan”. Kawasan tambang emas di perbukitan Paleti Alira, Desa Praikaroku Jingga, Kecamatan Umbu Ratu Nggay, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur dipilih Titiek Kartika sebagai lokasi penelitian. Perbukitan yang memancarkan sinar saat bulan purnama, atau biasa dikenal sebagai bukit emas, merupakan wilayah konflik antara masyarakat setempat dengan korporasi tambang. Perlawanan kontra tambang ini dilakukan oleh seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok perempuan, dimana peran kelompok perempuan tidak hanya sekadar menguatkan semangat untuk melindungi warisan leluhur dan lingkungan, tetapi juga merumuskan identitas atas pembebasan tubuh serta spiritnya. Bertujuan untuk menganalisis makna tutur komunitas anti tambang emas pada desa tersebut, Titiek Kartika menggunakan metode etnografi feminis pascakolonial dengan pisau analisis feminis pascakolonial. “Metode ini dapat mengungkapkan banyak hal, mulai dari adanya kelas yang berbeda, yakni hamba dan bangsawan, hubungan kedua kelas tersebut, kekerasan seksual, dan permasalahan kesehatan reproduksi. Tulisan dalam JP100 dikhususkan mengenai kedaulatan pangan”, tutur Titiek Kartika. Lebih jauh, Titiek megungkapkan bahwa ada keterkaitan antara tambang dan kedaulatan pangan. Ia menjelaskan bahwa keberadaan korporasi tambang di desa tersebut telah mengakibatkan kemerosotan bahan pangan lokal. Hal tersebut membuka peluang bagi pasokan pangan lain untuk memenuhi pasar dan permintaan lokal. Akibatnya keluarga yang biasa berswadaya pangan, kini bergantung pada pasokan pangan pendatang. “Pasar tidak berjalan di daerah tersebut, namun beberapa masyarakat membuka warung. Saya bertanya mengenai kapan adanya warung-warung ini, jawabannya sejak tahun 2016 dan 2017, yang berarti sejak mereka mendapat kesulitan dari aktivitas tambang", tutur Titiek Kartika. Kemudian, hasil penelitian Titiek menunjukkan bahwa ada inisiatif lokal untuk merebut ruang kelola sumber daya alam. “Mereka tidak pernah menamakan diri sebagai gerakan, namun menggunakan kata-kata ‘protes’ atau ‘melawan’ yang dimulai atas pemikiran kritis perempuan”, jelas Titiek Kartika. Perlawanan ini dimulai atas pemikiran kritis perempuan atau ‘mama-mama’ yang menyadari bahwa korporasi tambang kian memakan ruang kehidupan, juga kesadaran bahwa uang yang dihasilkan dengan bekerja di korporat tidak setimpal dengan kerugian sumber daya alam yang mereka miliki. Titiek menjelaskan bahwa perasaan akan situasi terpinggir dan juga tertindas menjadi alasan penguat lain bagi perubahan inisiasi lokal gerakan perempuan. Menurut Titiek, ada beberapa kasus yang menjadi pertimbangan, diantaranya kesadaran akan keberadaan korporasi tambang yang tidak membawa dampak terhadap kehidupan masyarakatnya dimana akses layanan masyarakat seperti klinik dan sekolah tetap sulit. “Perlahan, gerakan perempuan lokal ini menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya lebih dari sekadar mengusir korporasi tambang, namun juga mewujudkan transformasi”, jelas Titiek. Lebih jauh Titiek menganalisa bahwa rumusan identitas masyarakat desa tersebut mirip sekali dengan apa yang disebut kelompok subaltern (Spivak 2008), yakni komunitas yang secara geografi tersembunyi, berkelas semu, “bisu” atau tidak punya akses ruang bersuara, teropresi dari kekuasaan ekonomi sosial dan politik, terlupakan dari ruang publik, dan kelompok yang tidak berkelindan dengan diskursus besar gerakan perempuan untuk isu kritis. “Yang dimaksud semu ialah, meskipun terdapat dua kelas dalam struktur masyarakat, yakni bangsawan dan hamba, namun keduanya kurang bisa menunjukkan kelas tersebut”, jelas Titiek. Dalam proses penelitian, Titiek menemukan hal menarik lainnya terkait gerakan subaltern perempuan anti tambang, yaitu saat perempuan atau ‘mama’ bangsawan turut mengundang para hambanya dalam Forum Group Discussion (FGD), tidak ada keraguan para hamba untuk berbicara di depan tuannya, bahkan mereka tidak takut untuk berdebat. Titiek menjelaskan bahwa penelitiannya menemukan adanya proses tutur gerakan perempuan yang menjadi HerStory, adanya kesadaran sebagai subyek, adanya framing insiasi lokal, pengoraganisasian, dan gerakan, adanya interkoneksi dengan kekuatan masyarakat sipil lain, kesadaran sebagai agen kemandirian pangan, hingga produksi ruang untuk memperluas akses, publik, dan kesejahteraan. Bagi Titiek pengetahuan dan pengalaman perempuan tersebut telah berkontribusi terhadap pembentukan identitas baru bagi gerakan perempuan di Indonesia. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Rabu (6/3) bertempat di Hotel Bidakara, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) 2019. Setiap tahun Komnas Perempuan memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh di tanggal 8 Maret dengan meluncurkan Catahu. Tahun ini Catahu diluncurkan dengan judul “Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara” sebagai dokumentasi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga pengadalayanan. Dalam acara tersebut Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan) menyebutkan bahwa di tahun 2019 ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu sejumlah 406.178 kasus. Data tersebut dihimpun dari tiga sumber yakni Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama (PA), lembaga layanan mitra komnas perempuan, dan Unit Pelayanan Rujukan (UPR). Mariana menjelaskan bahwa pada Catahu 2019 ditemukan fakta baru tentang kekerasan terhadap perempuan yakni perkosaan dalam pernikahan (marital rape), incest, kekerasan dalam pacaran (KDP), cybercrime, dan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas. Kendati beberapa darinya adalah jenis kasus lama, namun jenisnya semakin beragam. Sementara itu Adriana Venny (Komisioner Komnas Perempuan) menyampaikan bahwa dalam Catahu Komnas Perempuan memetakan jenis-jenis kekerasan seksual yang dilaporkan oleh korban yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, pemaksaan melakukan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Berdasarkan pengaduan korban banyak kasus yang terjadi di luar nalar kemanusiaan juga, misalnya tentang penelanjangan perempuan di bandara atas nama keamanan dan ancaman mengedarkan video porno (revenge porn). Yuniyanti Chuzaifah (Wakil Ketua Komnas Perempuan) menyatakan bahwa saat ini Komnas Perempuan dikejutkan dengan fakta meningkatnya kasus kekerasan di ranah personal. Komnas Perempuan mencatat setidaknya terdapat 9637 kasus yang dilaporkan dengan jenis kekerasan yang menonjol adalah kekerasan fisik sebanyak 3927 kasus. Yuniyanti menyayangkan bahwa selama ini kasus kekerasan berakhir pada perceraian tanpa tindakan lanjut yang mendukung hak korban. Selain itu, Yuniyanti mengingatkan bahwa negara perlu terlibat langsung dalam kasus femisida atau kasus pembunuhan perempuan dengan alasan misoginis. Menurutnya, negara juga perlu bergerak cepat dalam menangani perlindungan korban pasca melaporkan. “Kita dikejutkan dengan kasus seorang dokter yang dibunuh suaminya, padahal ia sudah mengadukan kasus kekerasan yang terjadi sebelumnya, ini menjadi catatan bagi pemerintah bahwa korban membutuhkan perlindungan pasca pengaduan”, tutur Yuniyanti. Thaufiek Zulbahary (Komisioner Komnas Perempuan) menyatakan bahwa pemerintah perlu mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera karena pengesahan tersebut merupakan wujud komitmen negara. Komnas Perempuan juga memberikan rekomendasi kepada semua elemen negara untuk menciptakan situasi kondusif mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak korban. (Iqraa Runi) Jumat (1/3) bertempat di LBH Jakarta, Komite International Women’s Day (IWD) Indonesia mengadakan konferensi pers. Komite IWD yang terdiri dari berbagai organisasi kemasyarakatan di Indonesia tersebut berinisiatif mengadakan aksi #GerakBersama untuk menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok rentan. Acara akan diadakan pada tanggal 8 Maret 2019 bertepatan dengan International Women’s Day/Hari Perempuan Internasional (HPI), tema yang diusung ialah “Panggung Politik Perempuan Independen”. Di tengah maraknya kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan terhadap perempuan di berbagai lini, komite IWD akan mengajukan tuntutan di berbagai bidang yakni ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, media dan teknologi, hukum dan kebijakan, ruang hidup dan agraria, kekerasan seksual, dan persoalan identitas dan ekspresi. Komite IWD berupaya mengemas tuntutan sejalan dengan momentum politik elektoral Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pemilingan Anggota Legislatif (Pileg) di level nasional dan daerah. Sehingga, isu perempuan dapat masuk menjadi salah satu agenda politik. Dalam konferensi pers tersebut ada Riska (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) yang menjadi salah satu pembicara menyatakan bahwa negara harus menaruh perhatian yang serius pada persoalan kesehatan reproduksi. Menurutnya selama ini, pemerintah tidak benar-benar serius dalam memberi akses layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi bagi perempuan dan anak. Ia mencontohkan, dalam kasus kehamilan tidak diinginkan perempuan tidak memiliki otoritas tubuhnya sendiri, perempuan harus meminta izin pasangannya terlebih dahulu sebelum melakukan aborsi. Riska juga menjelaskan bahwa kebijakan kontrasepsi memiliki problem tersendiri karena hanya bisa diakses oleh perempuan yang memiliki status “menikah”. “Kontrasepsi tidak diperbolehkan jika seorang perempuan belum menikah, apabila kita lihat maka seorang perempuan usia 10 tahun diperbolehkan mengakses kontrasepsi dengan catatan jika sudah menikah dan perempuan usia 70 tahun sekalipun tidak diperbolehkan mengakses kontrasepsi jika berstatus belum menikah”, pungkas Riska. Permasalahan ini menurutnya tidak menyelesaikan hak kesehatan reproduksi perempuan sekaligus melanggengkan pernikahan anak secara bersamaan. Sementara itu Naomi (Aliansi Jurnalis Independen) yang juga hadir sebagai pembicara menyatakan bahwa media perlu meningkatkan kualitas pemberitaan terhadap perempuan, khususnya dalam penyebutan identitas perempuan korban kekerasan seksual. Pada sejumlah pemberitaan media elektronik, tubuh dan seksualitas perempuan sering dijadikan komoditas, sehingga kerap kali perempuan menjadi korban kembali (reviktimisasi). Misalnya pemberitaan tentang korban kekerasan seksual disajikan dalam bentuk berita yang bias dan seksis. “Jurnalis perlu melindungi indentitas korban, karena itu adalah salah satu kode etik jurnalistik” tutur Naomi. Prili (Lembaga Bantuan Hukum Jakarta) menyatakan bahwa saat ini marak kasus peraturan daerah diskriminatif terhadap permepuan dan kaum minoritas lainnya. Sedangkan kebijakan yang pro perempuan seperti Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) justru tidak disahkan. “Persoalan tentang kebijakan diskriminatif sangatlah kompleks, bisa jadi permasalahan tersebut terjadi karena struktur hukum di Indonesia melanggengkan hal tersebut” tutur Prili. Selain itu, pejabat publik yang tidak memiliki perspektif gender dan keberpihakan menjadi salah satu hambatan pengalaman perempuan tidak dapat diakomodasi dalam kebijakan publik. “Isu perempuan sangatlah krusial, tetapi dalam debat calon presiden (capres) persoalan perempuan sama sekali tidak diangkat, bisa diartikan bahwa kepentingan perempuan tidak masuk dalam agenda politik mereka” tutur Prili. Komite IWD berupaya mengajukan tuntutan sesuai dengan permasalahan perempuan dan kaum minoritas di Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 2019 Komite IWD akan mengemukakan tuntutannya kepada pemerintah. (Iqraa Runi) Dalam rangka merayakan Hari Internasional Perempuan dalam Sains yang jatuh pada tanggal 11 Februari, UNDP Indonesia mengadakan seminar bertajuk “SDGs Talk 1: Women and Girls in Science, Technology, Engineering, Mathemathics”. Acara yang digelar di Jakarta Creative Hub pada 26 Februari 2019 ini mengundang para perempuan inspirasional yang bergelut dalam bidang STEM (Sains, Teknologi, Engineering, Matematika). Acara ini dibuka oleh Sophie Kemkhadze, Phd (UNDP Indonesia Deputy Resident Representative) yang menyampaikan dukungannya kepada para perempuan yang bergelut dalam dunia STEM. Menurut Sophie, partisipasi perempuan dalam bidang STEM menunjukkan adanya kesetaraan gender. Hal ini sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 5, yakni “Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan”. SDGs juga memiliki motto yang berbunyi “Leaving No One Behind”, mengartikan bahwa semua orang dapat membawa perubahan yang positif kepada dunia dan semua orang dapat menjadi agen perubahan, termasuk perempuan. Selain itu, ketimpangan gender pada kenyataannya telah merugikan komunitas global secara ekonomi. “Studi terdahulu mengatakan, jika perempuan memiliki akses dalam semua kesempatan, layaknya laki-laki, dan jika tidak ada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, maka keuntungan yang akan diperoleh secara ekonomi dapat mencapai USD 1063”, tutur Sophie. Ia menekankan bahwa kesetaraan gender di bidang ekonomi melalui akses perempuan terhadap teknologi inovasi adalah hal yang penting. Stereotip peran perempuan yang “tabu” dalam dunia STEM menjadi salah satu faktor menciutkan nyali perempuan untuk berkecimpung di dalamnya. Hal ini dibuktikan dengan perbedaan signifikan peraih penghargaan nobel yang mayoritas laki-laki, yakni sebanyak 853 laki-laki dan 56 perempuan. Menurut Sophie, kehidupan di era revolusi 4.0 dan masa depan akan berdampingan dengan ekologi dan sains karenanya, penting bagi perempuan untuk fokus edukasi berbasis teknologi dan sains, serta membangun standar kompetitif yang lebih tinggi. Melalui inovasi teknologi, perempuan dapat melibatkan diri dalam perubahan, diskusi, bahkan menciptakan solusi. “Perempuan harus berani untuk mengambil bagian dalam dunia STEM, karena STEM membawa dunia ini kepada perubahan yang lebih baik”, tuturnya. Kemudian, acara dilanjutkan dengan sesi berbagi pengalaman yang diisi oleh Verania Andria, PhD (Renewable Energy Advisor, UNDP Indonesia), Tengku Alia Sandra (Signal Engineer, MRT Indonesia), dan Three Maskerteens (pemenang 2017 L’Oreal Girls in Science). Yenny Widjaja (Gender Specialist, UNDP Indonesia), selaku moderator, turut menyampaikan data mengani ketimpangan gender dalam STEM. Ia menyebutkan bahwa berdasarkan data UNESCO tahun 2018, dua dari sepuluh orang perempuan memilih berkarier secara profesional dalam industri STEM dan tiga dari sepuluh perempuan menjadi peneliti di bidang STEM. Badan Pusat Statistik (BPS) juga menemukan bahwa perbandingan gender dalam tingkat partisipasi pasar kerja masih didominasi oleh laki-laki sebanyak 83% dan perempuan sebanyak 55%. Selain itu, hanya sekitar 30% pekerja perempuan memiliki pekerjaan dalam industri STEM. Setelah penyampaian data tersebut, Yenny mempersilakan Verania Andria untuk berbagi pengalaman bekerja dalam bidang STEM. Memiliki latar belakang sains dengan pendidikan sarjana biologi dan pascasarjana dalam bidang mikrobiologi dan genetika, Verania kini menjadi ahli energi terbarukan. Dalam kesehariannya, ia bekerja untuk memberikan saran agar UNDP dapat berkontribusi dan meningkatkan dampak kepada masyarakat melalui pemanfaatan potensi alam. Salah satu program yang ia kerjakan adalah meningkatkan akses listrik pada desa-desa terpencil. Sebagai minoritas dalam bidang pekerjaanya, seringkali ia merasa dipandang sebelah mata. “Bekerja dalam berbagai tim proyek dan terlibat dengan kementrian, seringkali kami mengadakan meeting tersebut. Dalam meeting tersebut, saya perempuan sendiri”, ujarnya. Tak jarang pula ia dianggap sebelah mata karena ia bekerja dalam bidang sains. Tetapi, Verania terus membuktikan kemampuannya dan melawan untuk tunduk pada stereotip yang ada. Lain halnya dengan Tengku Alia Sandra. Pasalnya, menjadi engineer bukan cita-citanya sejak awal. Ketika kecil, ia bermimpi untuk menjadi dokter, namun kegagalan dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri mengantarkan dia untuk bersekolah di Jurusan Sistem Informasi. Selepas sarjana, ia kemudian bekerja sebagai telco engineer di perusahaan Nokia Siemens selama dua tahun, kemudian pindah ke Australia. Namun sayangnya prospek kerja sebagai telco engineer di Australia, tidak mudah seperti di negara Asia. Kemudian, Alia bekerja menjadi signal engineer di sebuah perusahaan Australia bernama Jacob Engineering. Setelah pulang ke Indonesia di tahun 2017, ia mempertahankan idealisme untuk tetap menjadi signal engineer dan bekerja untuk MRT Jakarta. Saat ini, Alia mengelola departemen raw Engineering yang memiliki 6 disiplin ilmu, track, signalling, rolling stock (kereta), tempo, power, dan overheat regulation system. Ia juga menyampaikan bahwa permasalahan ketimpangan gender dalam dunia STEM bukan karena perbedaan laki-laki dan perempuan, “Satu hal yang saya ambil dari pengalaman saya, isu dari permasalahan perempuan dalam STEM bukan lah masalah gender, namun masalah mampu atau tidak. Melalui bekerja dengan ekstra keras, respek akan muncul dengan sendirinya”, ucapnya. Selanjutnya, kelompok perempuan muda bernama Three Maskerteens mendapatkan giliran untuk bercerita mengenai prestasinya. Ketiga siswi kelas 12 SMA Plus Pembangunan Jaya ini merupakan pemenang dari kompetisi L’Oreal Girls in Science di tahun 2017. Beranggotakan Ayu Sekar, Ashilla Maitsa, dan Alia Reiza, mereka berbagi pengalaman mengenai keiikutsertaan dalam pengembangan sains. Dengan tema “Social Impact”, Three Maskerteens berhasil menciptakan inovasi baru dengan membuat produk masker anti polusi. “Masker ini dibuat karena masker yang dijual dipasaran kebanyakan hanya menggunakan karbon aktif sebagai pelindungnya. Kami menawarkan masker dengan proteksi ganda, dengan pelindung dari lidah mertua, yang berfungsi untuk menyerap polutan-polutan yang ada, aromaterapi jeruk, dan arang aktif dari buah bintaro”, tutur Ashilla. Selain itu, alasan lain dari pembuatan masker ini ialah data yang menunjukkan bahwa salah satu penyebab angka kematian di tahun 2014 adalah tuberculosis (TBC), yang dapat dipicu oleh polusi, dan kecelakaan berkendara karena mengantuk. Aromaterapi jeruk yang digunakan dalam masker ini akan membantu para penggunanya menghilangkan rasa ngantuk. Desain yang dimiliki oleh masker ini pun sangat unik, selain terbuat dari kain yang dapat dicuci ulang, terdapat pula resleting di bagian depan dan sampingnya sebagai akses untuk mengganti isi dari proteksi ganda tersebut. “Ruang ini diisi dengan 3 lapisan, pertama, yang paling depan atau yang jauh dari mulut, adalah arang aktif dai buah bintaro. Kedua, ekstrak lidah mertua, dan ketiga, aromateriapi jeruk yang paling dekat denan mulut”, jelas Ayu lebih lanjut. Selain itu, nama tim yang dipilih pun menggambarkan keunikan masker ini. “Kita cari nama yang mampu mendeskripsikan kita bertiga, tapi nama itu harus juga mudah masuk ke telinga orang, catchy, dan mudah diingat. Nama Three Maskerteens diambil dari cerita anak-anak, The Three Musketeers. “Three” mengartikan 3 desain yang dibuat untuk masker ini. Kemudian, teens dipilih karena corak yang dipakai pada masker ini sesuai dengan anak muda dan tidak ketinggalan jaman,” jelas Alia. Acara ini kemudian ditutup dengan motivasi yang diberikan oleh setiap pembicara. Alia dari Three Maskerteens memotivasi para peserta yang hadir agar tidak pernah ragu dalam menjalankan setiap rencana, setiap orang harus yakin akan kemampuan dirinya. Ayu mengatakan bahwa anak-anak muda harus berani untuk memulai inovasi, “Bukan hanya untuk yang ada di sini, tetapi juga mereka yang ada di luar sana, terutama untuk anak-anak yang seumuran dengan kita, atau pun yang masih kecil. Apapun yang kita pikirin, yakini saja kalau kita bisa dan jangan pernah takut sebelum kita memulai”, ujarnya. Kemudian, Verania menyampaikan bahwa dengan jumlah laki-laki dan perempuan yang hampir sama, ia percaya potensi yang dimiliki laki-laki dan perempuan setara, “Sudah bukan zamannya lagi kalo laki-laki dan perempuan itu tidak bisa beriringan. Kita semua capable, mari kita jadikan 100% potensi laki-laki dan perempuan bisa terwujud”, tuturnya. Terakhir, Tengku menjelaskan bahwa ada dua hal yang membawa kita kepada kemajuan. “Bagi saya, ada dua hal. Kerja keras, karena saya yakin kerja keras itu tidak akan membohongi hasil. Kalau kita benar-benar menunjukkan kita siapa, dan kita mampu, pasti orang akan melihat kita. Kedua, berani akan kesempatan yang ada. Satu kesempatan yang muncul akan membawa kita kepada kesempatan lain yang mungkin dapat membawa kita menjadi lebih baik lagi”, tutup Tengku. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Perbedaan pendapat terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih menjadi isu besar yang diperdebatkan oleh masyarakat, khususnya di tahun politik 2019 ini. Sabtu (23/2) Jurnal Perempuan mengangkat isu ini dalam Gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dalam diskusi terbuka. Diskusi diawali dengan pemaparan tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh Mariana Amiruddin, M.Si (Komisioner Komnas Perempuan). Dalam kesempatan tersebut, banyak anggota SJP yang antusias mengutarakan pendapat dan memberikan saran mereka tentang isu undang-undang tersebut. Dalam diskusi tersebut, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Guru Besar UI) menyampaikan bahwa masih banyak dari pihak-pihak yang kontra terhadap RUU PKS karena menganggap bahwa undang-undang tersebut akan memperbolehkan zina atau seks bebas dalam masyarkat. Menurut Sulis, sebagai aktivis perempuan kita harus bisa membuat mereka yang kontra dapat memahami bahwa RUU PKS ini berpihak kepada korban dan bertujuan untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Merespons pendapat tersebut, Mariana Amirudin mengungkapkan bahwa diskusi-diskusi tentang RUU PKS lebih banyak terjadi di sosial media, sehingga menimbulkan banyak salah paham, bias, dan konflik. Mariana menambahkan bahwa permasalahan pada RUU ini adalah ketiadaan ruang-ruang diskusi dan dialog untuk membahas isu ini. “Dialog itu ini tidak pernah ada. Tidak pernah ada konfirmasi kepada Komnas Perempuan atau kelompok-kelompok yang menjadi tim perancang undang-undang ini. Menurut kami, DPR seharusnya memfasilitasi kedua pihak ini, yang pro dan kontra.” tambah Mariana. Setuju dengan Mariana, Sonya (Jurnalis Harian Kompas) menyarankan agar ruang-ruang diskusi dan dialog harus diperbanyak. Berdasarkan pengalaman Sonya saat menjadi moderataor di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang RUU PKS, dia menyampaikan bahwa di dalam pemerintahan pun masih banyak orang yang belum benar-benar memahami pentingnya RUU PKS. Untuk itu, sebaiknya ruang-ruang diskusi dan dialog tentang pemahaman RUU PKS semakin diperbanyak, baik ke ranah pemerintahan dan juga ke masyarakat. Dea Basori (Dokter Gigi dan Aktivis Perempuan) memerhatikan bahwa salah satu cara yang dilakukan oleh pihak yang kontra terhadap RUU PKS adalah melakukan diskusi online di Whatsapp. Diskusi grup online tersebut bersifat tertutup dan satu arah, sehingga apabila ada orang lain memberikan argumen pro RUU PKS maka akan langsung dikeluarkan dari grup Whatsapp. Berdasarkan pengamatannya, Dea pun menyarakan agar para aktivis Perempuan juga melakukan hal serupa, yaitu membuat ruang diskusi online yang terbuka dan dua arah untuk mengedukasi warganet tentang pentingnya RUU PKS. Dalam diskusi tersebut Melli Darsa, S.H., LL.M. (Pendiri & Mitra Senior, PwC Indonesia) menyatakan bahwa dibutuhkan kesabaran dalam membuat peraturan, apalagi bila peraturan tersebut mengandung gagasan yang dianggap berbenturan dengan pandangan-pandangan budaya dan norma-norma agama. Dia juga menegaskan bahwa pembuatan peraturan undang-undang membutuhkan waktu yang tidak singkat, namun sebagai aktivis perempuan, kita tetap harus optimis dalam mengadvokasi undang-undang tersebut. Dr. Atnike Nova Sigiro selaku Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan mengakhiri diskusi dengan menyimpulkan beberapa hal penting dalam diskusi. Pertama, diingatkan lagi bahwa sebagai aktivis perempuan kita harus sabar dan tetap optimis untuk memperjuangkan RUU PKS. Kedua, aktivis pemberdayaan perempuan harus fokus menakankan bahwa RUU PKS bertujuan melindungi korban. Ketiga, strategi penggunaan media sosial juga perlu diperhatikan dan dimanfaatkan sebaik mungkin agar dapat menjadi media advokasi RUU PKS dan tidak menjadi senjata yang berbalik. Terakhir, perlu membuka ruang-ruang diskusi dan dialog. Selain itu kita sebagai aktivis perempuan harus memperlengkapi diri agar memiliki argumen yang kuat dan dapat bisa berdialog dengan orang-orang yang belum paham terhadap RUU PKS. (Rahel Narda Chaterine) Sabtu (23/2), Jurnal Perempuan menggelar gathering perdana Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) di tahun 2019. Bertempat di kediaman Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, acara ini bukan hanya sekadar pertemuan rutin belaka, namun juga wadah untuk berdiskusi mengenai isu-isu perempuan dan keadilan gender di Indonesia saat ini. Pada gathering kali ini, Jurnal Perempuan mengajak para SJP untuk mendiskusikan perjuangan dan pro-kontra pengesahan “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” bersama Mariana Amiruddin, M.Si (Komisioner Komnas Perempuan). Gathering SJP dimulai dengan sambutan oleh Prof. Sulistyowati Irianto selaku tuan rumah. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan dukungan serta harapan untuk Jurnal Perempuan agar terus hidup dan giat memproduksi ilmu pengetahuan. Prof. Sulis, yang juga merupakan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan, mengungkapkan bahwa penting bagi generasi muda untuk turut merawat kualitas dan menjaga keberlangsungan JP sebagai satu-satunya jurnal feminis di Indonesia. “Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua staff dan penulis Jurnal Perempuan yang berkontribusi dalam memproduksi pengetahuan melalui tulisan-tulisannya,” tutur Prof. Sulis. Kemudian, acara dilanjutkan dengan pemaparan program dan penerbitan oleh Dr. Atnike Nova Sigiro, Diretur Eksekutif Jurnal Perempuan. “SJP tidak hanya komunitas berlangganan jurnal, namun juga komunitas yang bergerak bersama untuk mendukung cita-cita pemajuan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender,” tutur Atnike. Atnike juga menginformasikan bahwa JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan, akan segera terbit di bulan Maret sebagai upaya untuk menghadirkan suasana reflektif terhadap pemikiran serta gerakan perempuan di Indonesia dalam 20 tahun terakhir, khususnya semenjak reformasi 1998. Atnike juga menjelaskan beragamnya tema atau isu yang diangkat dalam terbitan Jurnal Perempuan bukan hanya sebagai bukti bahwa persoalan gender di Indonesia masih banyak, tetapi juga merupakan upaya pengembangan teoritik dan advokasi guna menghadirkan perspektif feminisme yang dapat menjawab tantangan persoalan kontemporer. Ia menyebutkan judul terbitan JP selama tahun 2017, yaitu JP 96 Feminisme dan Cinta, JP 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender, JP 98 Perempuan dan Kebangsaan, dan JP 99 Perempuan dan Ekonomi. Perawatan. “Misalnya pada JP 97, kami mengangkat isu hukum pidana dan ketimpangan gender, mengingat pada waktu itu ada urgensi untuk menjelaskan dan menghadirkan pada publik tentang pasal-pasal yang diskriminatif dalam rancangan kitab hukum pidana,” tutur Atnike. Setelah paparan program dari Atnike, acara dilanjutkan dengan mendengar pendapat maupun kritik dari Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) sebagai bagian dari JP. Sjamsiah Achmad, seorang aktivis perempuan, memberikan saran kepada JP agar dapat hadir dan memberikan pendidikan kesetaraan gender kepada instansi pemerintah, mengingat masih banyaknya kebijakan diskriminatif dalam berbagai aspek. Selaras dengan kritik tersebut, Riris W. Widati turut memberikan masukan agar Jurnal Perempuan melakukan kerjasama dan pelatihan kepada anggota DPR, sehingga lembaga negara tersebut dapat memahami kondisi perempuan dan ketimpangan gender di Indonesia. Selain itu, beliau juga menyampaikan usulan agar program Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) dapat diakses secara daring. Terakhir, masukan kepada Jurnal Perempuan juga diberikan oleh Subeti Makdriani, pustakawan utama Perpustakaan RI, untuk memanfaatkan ruang dan fasilitas teknologi di Perpustakaan Nasional sehingga Jurnal Perempuan dapat memberikan sosialisasi terkait dengan isu-isu kesetaraan gender kepada publik. Acara ini disambung dengan pemaparan data dan perkembangan SJP oleh Himah Sholihah, selaku koordinator SJP. Himah melaporkan bahwa Januari 2019, tercatat ada 487 orang anggota aktif SJP, yang terdiri dari 107 orang laki-laki dan 380 orang perempuan. “SJP juga telah berhasil merangkul hampir seluruh bagian di Indonesia, kecuali Kalimantan Utara, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara, serta mancanegara, seperti Norwegia dan Australia”, jelas Himah. Ia melanjutkan bahwa ragam pembaca Jurnal Perempuan masih didominasi oleh akademisi, LSM dan pegawai pemerintah. Himah juga menjelaskan bahwa Jurnal Perempuan juga terus mencoba mengenalkan jurnalnya ke daerah-daerah terpencil. Setelah pemaparan tentang program dan SJP, acara dilanjutkan dengan diskusi mengenai perkembangan dan pro kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Atnike Nova Sigiro. Diskusi ini dilatar belakangi oleh ramainya perbincangan dan kesalahpahaman tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Mariana sebagai pemantik diskusi menekankan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual murni bertujuan untuk melindungi korban kekerasan. Ia juga menyayangkan banyaknya informasi yang salah dan kurang tepat terkait perjuangan perempuan dalam mendorong lahirnya payung hukum bagi korban kekerasan seksual. Menurutnya, kurangnya ruang dialog dengan berbagai pihak dan masyarakat menjadi salah satu faktor banyaknya kesalahpahaman akan isi kandungan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Merespons isu ini, SJP yang hadir juga secara aktif menyuarakan pandangan, pendapat, dan pengalaman mereka. Di penghujung acara, Atnike menutup Gathering SJP dengan harapan agar SJP terus mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan menyebarkan pengetahuan berkeadilan gender. Selepas acara, antusiasme SJP tak kujung padam, berbagai dialog bernafaskan isu sosial dan keadilan gender terus dirajut oleh SJP dalam diskusi-diskusi informal. (Nadya Nariswari Nayadheyu) RUU Masyarakat adat telah dua kali masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Sejak tahun 2013 hingga saat ini pengesahan RUU tersebut masih belum jelas. Pada periode pemerintahan SBY, RUU Masyarakat Adat gagal menjadi undang-undang karena dianggap masih terdapat sejumlah persoalan dalam perumusan pasal-pasalnya. Dalam periode pemerintahan Jokowi-JK, komitmen politik terkait masyarakat adat telah tertuang dalam Nawacita. Salah satu dari enam komitmen politik Jokowi-Jk terkait masyarakat adat adalah mendorong pengesahan RUU masyarakat adat. Namun sayangnya hingga jelang akhir periode pemerintahan Jokowi-JK, tanda-tanda akan disahkannya RUU tersebut belum juga nampak. Hal ini memperlihatkan rendahnya prioritas negara dalam perlindungan masyarakat adat. Dalam diskusi yang diselenggarakan di YLBHI, Jakarta (10/2), Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan. Muntaza, Direktur Program dan Komunikasi Perempuan AMAN mempertanyakan komitmen negara pada masyarakat adat khususnya perempuan adat. Ia menuturkan bahwa komitmen politik pemerintah melalui Nawacita seharusnya membawa semangat pemulihan relasi negara dengan masyarakat adat dan bukan sebagai alat politik belaka. “Bila kita mengingat sejarah Indonesia, masyarakat adat telah berkali-kali menjadi korban dari kebijakan yang tidak adil. Komitmen pemerintahan Jokowi tahun 2014 perlu dipahami sebagai keinginan negara untuk memperbaiki relasi dengan masyarakat adat. Artinya ada sebuah upaya untuk mengembalikan harkat dan martabat masyarakat adat”, tutur Muntaza. Menurut Muntaza, kehadiran UU Masyarakat adat akan membawa semangat perlindungan dan pengakuan terhadap Masyarakat Adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan. “Kami di Perempuan AMAN menyadari bahwa di dalam komunitas adat masih terdapat praktik-praktik adat yang diskriminatif dan membenarkan tindak kekerasan terhadap perempuan adat. Misalnya hukum adat yang menyelesaikan kasus perkosaan dengan menikahkan korban dengan pelaku perkosaan dan tradisi potong jari. Ini adalah praktik kekerasan yang dilindungi oleh hukum adat”, kata Muntaza. Muntaza juga menyatakan bahwa RUU Masyarakat Adat akan menjadi sebuah instrumen hukum yang memasukkan masyarakat adat ke dalam kehidupan bernegara dan mengikat masyarakat adat terlibat aktif dalam mengeliminasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat. RUU Masyarakat Adat memandatkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Artinya disahkannya RUU tersebut tidak sekadar mempersoalkan hak tetapi mempersoalkan pula tentang kewajiban dari masyarakat adat sebagai warga negara untuk mendistribusikan keadilan bagi seluruh masyarakat termasuk perempuan adat. Selain itu, menurut Muntaza disahkannya RUU Masyarakat Adat menjadi UU amatlah penting karena RUU ini akan menjadi media untuk mengenali dan melindungi hak kolektif perempuan adat. Aturan hukum yang ada selama ini, termasuk CEDAW hanya mengatur hak individual perempuan, padahal di dalam komunitas Masyarakat Adat terdapat hak-hak kolektif perempuan. Muntaza menegaskan bahwa kehadiran UU Masyarakat Adat dapat menjadi ruang hukum yang kuat untuk melindungi hak kolektif perempuan adat. “RUU Masyarakat Adat merupakan satu-satunya kebijakan yang mampu melindungi hak-hak kolektif perempuan adat serta menjamin partisipasi perempuan adat di dalam pembangunan berbangsa dan bernegara”, sambung Muntaza. Keberadaan UU Masyarakat Adat akan berguna untuk mengenali pengetahuan, peran dan kontribusi perempuan adat dalam keberlangsungan masyarakat adat. Hak kolektif perempuan terkait dengan pengetahuan mereka seperti pengelolaan danau, pewarnaan tenun dan berbagai pengetahuan kolektif lainnya yang selama ini belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum menjadi diakui. Perempuan adat memiliki peran besar dalam keberlangsungan bangsa ini, ungkap Muntaza. Perempuan adat berkontribusi dalam pengetahuan, pangan, etika dan berperan pula sebagai pembawa keberlangsungan masyarakat adat. Artinya tanpa perlindungan hukum yang jelas pengetahuan-pengetahuan perempuan adat perlahan akan menghilang. Oleh karena itu, RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan demi melindungi hak-hak perempuan adat dan jaminan keberlangsungan masyarakat adat. (Abby Gina) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |