![]() Rabu (6/2) Komnas Perempuan mengadakan “Media Briefing” guna menjelaskan berita bohong atau hoax yang menimbulkan kesalahpahaman tentang isi dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). “Media Briefing” yang diselenggarakan di kantor Komnas Perempuan tersebut bertujuan untuk meluruskan pemberitaan dan informasi keliru tentang RUU PKS yang beredar di masyarakat. Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan adanya informasi yang salah terkait RUU PKS tersebar di media sosial, sehingga publik dibuat bingung. Informasi yang salah tersebut tersebut antara lain, RUU PKS melindungi dan melegalkan perzinaan, aborsi dan LGBT. “Penting bagi kita untuk membaca terlebih dahulu isi dari RUU PKS, sebab semua yang dituduhkan tidak tertulis di dalam RUU PKS”, tutur Mariana. Ia juga meminta agar rekan media dapat menuliskan berita sesuai fakta. Mariana menegaskan bahwa pengesahan RUU PKS dibutuhkan untuk menjawab kegelisahan atas meningkatnya korban kekerasan seksual. Selain itu Azriana Rambe Manalu (Ketua Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa RUU PKS dibentuk pada tahun 2012 dengan pertimbangan laporan kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat setiap tahunnya. Di tahun yang sama kekerasan terhadap perempuan berada di tanda darurat, sebab setiap dua jam ada tiga perempuan mengalami kekerasan seksual. Azriana menjelaskan bahwa perjuangan mendorong RUU PKS juga diikuti sejumlah perlawanan, salah satunya ialah argumen bahwa persoalan kekerasan seksual telah diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Azriana, RUU PKS berguna untuk mengisi kekurangan KUHAP dalam menyelesaikan urusan kekerasan terhadap perempuan yang selama ini belum memperhatikan hak korban untuk dilindungi dan dipulihkan. Azriana juga memberikan catatan penting pada model diskusi dengar pendapat yang dilakukan Komisi 8 DPR RI selama ini. Menurutnya, penting untuk mengajak diskusi korban dan keluarga korban kekerasan seksual, selain diskusi dengan ahli gizi dan agama. Dengan pembuat UU dapat melihat pokok persoalan dengan lebih jelas. Sementara itu, Sri Nurherwati (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa dalam upaya pengesahan RUU PKS ada enam elemen kunci yang perlu dipertahankan yaitu, pencegahan kekerasan seksual, hukum acara yang ramah terhadap korban kekerasan seksual, kritik atas pemidanaan yang tidak memunculkan efek jera, 9 bentuk kekerasan yang tercantum di dalam pasal 11 RUU PKS, pemulihan korban dan keluarga korban, dan mencerahkan masyarakat. Dengan begitu substansi RUU PKS tetap fokus pada pemulihan dan hak korban. Pada acara tersebut Masruchah (Komisioner Komnas Perempuan) juga mengemukakan pandangannya. Menurutnya selama ini banyak orang keliru memandang bahwa RUU PKS adalah inisiatif Komnas Perempuan semata. “Sejak RUU PKS diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hingga RUU PKS masuk dalam Program Legislasi Nasional Komnas perempuan telah melakukan diskusi dengan seluruh partai, fraksi, dan elemen kementerian”, tutur Masruchah. Ia juga menyayangkan bahwa banyak isu tersebar tentang RUU PKS yang bertolak dari ajaran Islam, sehingga terdapat pertentangan dari sejumlah kelompok. Padahal menurutnya Komnas Perempuan telah berdiskusi dengan sejumlah mitra strategis seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Ijtihad Ulama untuk membicarakan persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam perspektif Islam. Para mitra mendukung pengesahan RUU PKS karena memiliki tujuan untuk melindungi martabat kemanusiaan korban kekerasan seksual. (Iqraa Runi) ![]() Kemiskinan merupakan salah satu penyebab perkawinan anak. Anak perempuan perdesaan dari keluarga miskin yang tidak mendapat pendidikan kesehatan reproduksi, rentan menjadi korban perkawinan anak dan melahirkan anak stunting. Perkawinan anak merupakan faktor utama penyebab angka bayi stunting di Indonesia masih tinggi. Persoalan stunting dan perkawinan anak ini menjadi fokus kajian organisasi-organisasi perempuan di Indonesia, salah satunya Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). YKP sebagai organisasi non-profit yang fokus pada isu kesehatan reproduksi perempuan melihat permasalahan stunting sebagai dampak dari perkawinan anak yang harus disoroti. Melalui acara Local Meeting: Stunting Sebagai Dampak Perkawinan Anak yang diadakan pada hari Senin, 7 Januari 2019, YKP mengajak organisasi masyarakat yang peduli pada isu perempuan untuk mendiskusikan permasalahan stunting. Pada acara tersebut hadir Dr. Ir. Subandi, M.Sc (Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan) dan Iing Mursalin (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia) sebagai narasumber, dan Zumrotin K. Susilo (Aktivis Perempuan) sebagai moderator. Subandi dalam paparannya menjelaskan bahwa stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kurangnya gizi dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun (1000 hari pertama kehidupan). Ia menyebutkan, berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, 1 dari 3 bayi di bawah usia dua tahun (baduta) dan bayi di bawah usia lima tahun (balita) menderita stunting. Menurutnya, stunting merupakan masalah besar yang dapat menghambat produktivitas negara di beberapa aspek, seperti aspek kesehatan, pertumbuhan penduduk, dan ekonomi. Dalam aspek kesehatan, Subandi menjelaskan, bahwa anak-anak yang menderita stunting akan mengalami gagal tumbuh seperti berat saat lahir rendah, kecil, pendek, dan kurus. Selain itu anak dengan stunting juga akan mengalami hambatan perkembangan kognitif dan motorik. “Pada usia dewasa anak dengan stunting akan mengalami gangguan metabolisme seperti risiko penyakit diabetes, obesitas, strok, dan penyakit jantung”, jelas Subandi. Sedangkan dampak stunting bagi pertumbuhan penduduk tidak langsung terjadi dalam jangka pendek melainkan jangka panjang. Subandi menjelaskan bahwa Balita dengan stunting menurunkan produktivitas sumber daya manusia ketika berada pada usia produktif. Akibat hal tersebut, menurut Subandi, bonus demografi tidak termanfaatkan dengan baik dan akan berdampak pada perekonomian Negara. Subandi menyampaikan berdasarkan data Bank Dunia, dampak stunting berpotensi memberikan kerugian ekonomi sekitar 2% hingga 3% dari GDP setiap tahunnya. Solusi yang ditawarkan Subandi untuk mengakhiri dan mencegah stunting ialah dengan mengakhiri perkawinan anak. Kemudian, Iing Mursalin memaparkan tentang respons masyarakat mengenai stunting. “Masyarakat kita lebih waswas ketika dijelaskan bahwa stunting itu berpengaruh pada pertumbuhan otak dan produktivitas anak”, ujar Iing. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh tim TNP2K pada tahun 2014, 75% responden masih meyakini bahwa persoalan gizi merupakan tanggung jawab perempuan. Sedangkan responden laki-laki melihat bahwa mereka tidak perlu terlibat dalam urusan gizi keluarga. Iing juga menyampaikan hasil utama Riskesdas tahun 2018 terkait status gizi baduta dan balita, prevalensi baduta stunting mengalami penurunan dari 32,8% pada tahun 2013 menjadi 29,9% pada tahun 2018. Sedangkan prevalensi balita stunting menurun dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,8% pada tahun 2018. Meski demikian, tantangan percepatan penurunan stunting masih cukup besar karena data menunjukkan bahwa proporsi berat badan lahir rendah dan panjang badan lahir kurang dari 48 cm mengalami kenaikan. Kedua narasumber menyampaikan bahwa pencegahan stunting tercakup dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Subandi menyampaikan bahwa perkawinan anak sebagai penyebab stunting perlu dihentikan. Dalam kesempatan tersebut, Subandi menyampaikan usaha pemerintah dalam menghentikan perkawinan anak yakni dengan melakukan penguatan kerangka hukum dan kelembagaaan terkait isu perkawinan anak. Usaha tersebut dilakukan dengan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan terkait perkawinan anak, penguatan kapasitas dan wewenang peradilan agama untuk dapat menolak dispensasi perkawinan usia anak walau telah ada izin orang tua, memasukkan materi mengenai kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, serta risiko perkawinan anak dalam kurikulum pendidikan nasional sesuai dengan tingkatan pendidikan. Dari aspek pendidikan, perlu adanya peningkatan akses dan kualitas pendidikan bagi perempuan melalui program wajib belajar 12 tahun. (Bella Sandiata) ![]() Jumat (14/12) bertempat di Gedung YTKI, Gatot Subroto, Jakarta Selatan, organisasi Solidaritas Perempuan memperingati hari jadi yang ke-28. Acara yang diberi tema “Rembug Perempuan: Perempuan Bangkit, Bersolidaritas, Berdaulat” turut dihadiri oleh para perempuan pejuang dampingan Solidaritas Perempuan, serta staf Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Acara yang dimoderatori oleh Dinda Nuurannisaa Yura (Koordinator Program Solidaritas Perempuan) bertujuan untuk memberitahu publik tentang aktivisme dan perjuangan para perempuan dampingan Solidaritas Perempuan. Dinda menyatakan bahwa selama ini perempuan di daerah tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Kemudian, ia menjelaskan bahwa pengrusakan alam demi mewujudkan cita-cita investor tambang dan perkebunan sawit berimplikasi pada kesejahteraan perempuan yang menggantungkan hidupnya pada hutan tempat mereka tinggal. “Hilangnya mata pencaharian perempuan membuat mereka beralih profesi menjadi buruh migran, alih-alih sejahtera justru menjadikan mereka celaka”, tutur Dinda. Selain isu tentang ruang hidup, Dinda juga menekankan soal isu kekerasan seksual di ruang kerja selalu dihadapi oleh perempuan yang masih belum menjadi prioritas kebijakan. Ratna (Buruh Migran) dalam forum ini mengungkapkan alasan kepergiannya menjadi buruh migran yaitu karena tidak tersedianya lapangan kerja di daerahnya. Ratna menuturkan bahwa selama ia menjadi buruh migran, ia mengalami berbagai jenis kekerasan bahkan sejak berada di Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Kekerasan tersebut antara lain, ketidaksesuaian kontrak kerja, penyiksaan majikan, bekerja di bawah tekanan, dan disitanya surat tanah oleh PJTKI. Berbeda dengan apa yang dijanjikan oleh Perseroan Terbatas (PT), Ratna harus tidur di gudang dan membersihkan jendela bagian luar apartemen di lantai 13 tanpa pengaman. Dalam menanggapi testimoni Ratna, Dinda selaku moderator menekankan bahwa kekerasan di ruang kerja terjadi akibat adanya relasi kuasa antara majikan, penyalur kerja dan pekerja perempuan. Sementara itu, Baiq Nuril (Guru) memiliki kisah yang sempat viral pada beberapa bulan belakangan. Baiq mengungkapkan bahwa pelecehan seksual sering ia alami, bukan hanya dalam bentuk sentuhan tetapi pembicaraan yang tidak pantas dari rekan kerjanya. Baiqi pun merekam kejadian tersebut untuk meminta pembelaan, alih-alih dilindungi, Baiq justru dipenjara karena melawan atasan. Akan tetapi, Baiq terus melakukan perlawanan hingga akhirnya ia terbebas dari hukuman tersebut. Baiq mengaku menyayangkan karena pelaku tidak diberikan sanksi sama sekali. “Perempuan harus menyuarakan pelecehan yang dialaminya, saya tahu ini berat untuk dilakukan, tetapi kita harus terus menyuarakan pelecehan yang terjadi kepada kita”, tutur Baiq. Berbeda dengan Baiq yang menyuarakan pelecehan seksual, Ramlah (Perempuan Pesisir Makassar) bersuara untuk menolak reklamasi. Ia menuturkan bahwa saat ini pemerintah hanya peduli dengan pembangunan infrastruktur padahal banyak manusia yang tersakiti atas pembangunan infrastruktur yang tidak berkeadilan. Lebih jauh, Ramlah berpendapat bahwa pembenahan infrastruktur itu baik, tetapi perlu adanya perhatian atas manusia yang hidup di wilayah sekitarnya. “Kemana rakyat kecil seperti kami harus mengadu? Jika tanah diambil, laut diambil, lalu mengusir kami, mengapa pemerintah tidak membunuh kami saja agar tidak kesulitan melakukan reklamasi”, tutur Ramlah. Selama ini perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas tanahnya. Padahal perempuan adalah kelompok yang paling berdampak pada lokasi pembangunan infrastruktur. Kerusakan terjadi pada lingkungan, lapangan pekerjaan untuk perempuan pun hilang. Hal tersebut menyebabkan perempuan harus beralih profesi menjadi buruh migran yang terpapar langsung pada kekerasan fisik, mental maupun seksual. (Iqraa Runi) Mahkamah Konstitusi Perintahkan DPR Ubah Batas Usia Minimal Perempuan Dalam UU Perkawinan14/12/2018
![]() Pada Kamis, 13 Desember 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan. Fokus dari gugatan tersebut adalah untuk menaikkan usia minimum menikah perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Gugatan tersebut diajukan oleh para pemohon yang merupakan korban perkawinan anak. Para hakim MK yang hadir di persidangan, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Suhartoyo, dan Manahan M.P Sitompul secara bergantian membacakan amar putusan di ruang sidang MK. Para hakim MK juga membacakan pertimbangan putusan yang menyatakan bahwa perbedaan batas usia perkawinan antara perempuan dan laki-laki merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan merugikan perempuan. MK juga menilai bahwa batas usia perkawinan bagi perempuan yang ada dalam UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan juga Undang-Undang Perlindungan Anak yang di dalamnya jelas tertulis bahwa yang disebut sebagai anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Dalam pembacaan pertimbangan, para hakim MK menyampaikan bahwa usia minimum batas perkawinan bagi perempuan dalam UU Perkawinan masih masuk dalam kategori usia anak, sehingga perkawinan yang dilakukan oleh perempuan dalam batas usia tersebut hanya akan menghilangkan hak mereka sebagai anak. Hal tersebut bertentangan dengan batas usia laki-laki yang diatur dalam UU Perkawinan, laki-laki masih memiliki kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan hingga SMA sedangkan perempuan tidak. Hilangnya akses pendidikan dalam pertimbangan putusan MK dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Undang-Undang Dasar 1945 karena hak pendidikan merupakan hak konstitusional. MK juga mempertimbangkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh perempuan dengan batas usia minimum yang diatur dalam UU Perkawinan juga hanya akan memberikan ruang bagi kekerasan terhadap anak perempuan. Meski demikian, MK menyatakan bahwa mereka secara institusional tidak memiliki wewenang untuk melakukan perubahan batas minimum usia perkawinan dalam UU Perkawinan karena wewenang tersebut adalah milik pembuat undang-undang. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, MK memutus untuk mengabulkan permohonan untuk sebagian dan menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “usia 16 (enam belas) tahun” dalam UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki ketentuan hukum yang mengikat, serta ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perubahan sesuai tenggang waktu yang diputuskan dalam putusan MK tersebut. Dalam putusan tersebut, MK memerintahkan kepada pembuat Undang-Undang untuk melakukan perubahan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dalam UU Perkawinan dalam jangka waktu 3 tahun. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun pembuat Undang-Undang tidak melakukan perubahan maka batas minimal usia perkawinan akan diharmonisasikan dengan UU Perlindungan Anak yakni 18 tahun dan diberlakukan sama bagi perempuan dan laki-laki. (Bella Sandiata) ![]() Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kurangnya akses layanan merupakan permasalahan yang masih terjadi di wilayah Indonesia Timur. Tingginya kemiskinan dan kesenjangan di bagian Timur, secara langsung meningkatkan kerentanan perempuan terhadap beragam bentuk kekerasan seperti: kekerasan seksual, eksploitasi, perkawinan anak, kematian pada persalinan, gizi buruk, putus sekolah, migrasi, dan perdagangan anak. Selain itu terdapat permasalahan yang harus dihadapi oleh perempuan di wilayah Indonesia timur antara lain kekerasan seksual dan perdagangan orang (trafficking). Berfokus pada dua masalah yang masih harus dihadapi oleh perempuan timur, Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan (FPL), dan Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) menyelenggarakan Konferensi Perempuan Timur 2018 (KPT2018) dengan tema “Perempuan Timur untuk Pemenuhan Hak Korban Kekerasan”. Konferensi tersebut akan digelar di Kupang, 10-11 Desember 2018 diikuti oleh 500 peserta yang berasal dari 12 Provinsi di kawasan Indonesia Timur, yaitu NTT, NTB, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Pada konferensi pers yang berlangsung pada hari Kamis, 6 November 2018 di Hongkong Cafe, Maria Filiana Tahu (Ketua Panitia Bersama KPT 2018) dan Rambu Mella (Forum Pengada Layanan Bagian Timur) beserta Yanti Ratna (Komnas Perempuan) menyampaikan beberapa hal terkait Konferensi Perempuan Timur yang didukung oleh Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU). Mengapa Konferensi Perempuan Timur? Rambu Mella, mewakili FPL bagian Timur, menyampaikan bahwa konferensi ini diselenggarakan karena permasalahan perempuan timur yang tidak terekspos oleh media. KPT 2018 ini diharapkan menjadi ruang bagi para FPL yang berada di Indonesia Timur untuk dapat berbagi pengalaman gerakan, kekuatan, dan juga energi untuk mendorong gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, konferensi ini juga terselenggara sebagai wujud keterlibatan Pemerintah Daerah untuk mendukung gerakan penghapusan kekerasan seksual. Rambu juga menjelaskan bahwa bahwa KPT 2018 ini merupakan kali ketiga yang diselenggarakan oleh MAMPU. KPT 2018 merupakan perluasan dari Konferensi Perempuan Timor I dan II yang dilaksanakan pada 2016 dan 2017. Pada dua konferensi sebelumnya, fokus permasalahan yang diangkat adalah pada permasalahan perempuan yang terjadi di wilayah perbatasan Timor Leste, di Pulau Timor. Maria Filiana Tahu (Ketua Panitia Bersama KPT 2018 dan Anggota DPRD Kabupaten Timor Tengah Utara) menyampaikan bahwa perluasan KPT tahun ini dari Timor menjadi Timur dimaksudkan untuk memperluas keterlibatan seluruh pihak dari 12 provinsi di kawasan Timur Indonesia dalam melawan kekerasan terhadap perempuan. KPT 2018 juga memiliki tujuan untuk memberikan dorongan bagi Pemerintah Daerah agar lebih serius lagi dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual juga perlindungan bagi para korban di wilayah Indonesia Timur. Selain membahas mengenai KPT 2018, Rambu Mella dan Maria Filiana Tahu juga menyampaikan kerja berjejaring yang didukung oleh MAMPU. Rambu menyampaikan, beberapa pencapaian para perempuan Timur bersama dengan MAMPU, antara lain: keberhasilan kepemimpinan perempuan di wilayah Indonesia Timur, mulai berkembangnya layanan berbasis komunitas dalam hal ini peranan gereja yang sangat aktif dalam membantu gerakan penghapusan kekerasan seksual, serta sejumlah daerah di wilayah Indonesia Timur telah berhasil mendorong Pemerintah Daerahnya untuk mengeluarkan peraturan daerah yang peduli pada perempuan dan anak. Melalui konferensi ini pula, Rambu berharap dapat diekspos bagaimana model kerja berjejaring yang telah dilakukan oleh para gerakan perempuan di wilayah Indonesia Timur merupakan model kerja strategis yang dapat dilakukan dan dicontoh untuk wilayah lain dalam melawan kekerasan seksual. Maria Filiana menyampaikan bahwa hasil dari KPT 2018 ini nantinya akan berbentuk rekomendasi yang akan ditujukan kepada pemerintah baik pusat maupun daerah, FPL, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, dan masyarakat sipil. (Bella Sandiata) ![]() "Mahkamah Agung harus membuat pembaruan dalam pemeriksaan Judicial Review (JR)", ujar Prof. Dr. Mahfud. M.D membuka acara diskusi terbatas dengan judul "Mendorong Judicial Review Terbuka di Mahkamah Agung" pada hari Senin, 3 Desember 2018 bertempat di Kantor Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN). Mahfud menjelaskan bahwa pembaruan tersebut diperlukan karena saat ini masyarakat dihadapkan tantangan besar yakni banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang harus dibatalkan oleh pemerintah karena banyak merugikan masyarakat. Pada acara tersebut, selain menghadirkan Prof. Dr. Mahfud M.D sebagai pengantar diskusi, juga hadir Azriana (Komisioner Komnas Perempuan), Bivitri Susanti (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan/PSHK), Bayu Dwi Anggono (APHTN-HAN) sebagai narasumber dan Riri Khariroh (Komnas Perempuan) sebagai moderator. Azriana menyampaikan bahwa persoalan kebijakan diskriminatif telah ditemukan oleh Komnas Perempuan sejak sepuluh tahun lalu. Azriana mengungkapkan bahwa diskriminasi yang terdapat pada kebijakan dapat dilihat dari proses perumusan dan implementasinya. Menurutnya, banyak kebijakan yang bermuatan netral, namun dampaknya diskriminatif terhadap perempuan. Komnas Perempuan telah mencatat sebanyak 421 kebijakan diskriminatif sepanjang tahun 2009 hingga 2016, 262 diantaranya berbentuk Perda. Salah satu alasan penting yang didorong Komnas Perempuan untuk keterbukaan Judicial Review di MA adalah karena pengujian peraturan perundang-undangan di MA kerap kali tidak menghadirkan para pihak yang berperkara, keterangan dari para pihak hanya disampaikan secara tertulis. Hal tersebut dianggap bertentangan dengan asas Audi Alteram et Partem (pihak-pihak yang berperkara harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan menyampaikan pendapatnya). Bayu Dwi Anggono menyampaikan bahwa putusan MA selama ini sesungguhnya telah batal demi hukum. Dikatakan batal demi hukum karena proses persidangan di MA selama ini telah melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48/Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa seluruh pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum dan putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Bayu mengungkapkan bahwa jika MA tetap melakukan proses pemeriksaan secara tertutup dan mengabaikan UU Kekuasaan Kehakiman, maka putusan MA pun tidak perlu diikuti. Tertutupnya proses pemeriksaan di tingkat MA hanya akan mempersulit proses pengajuan JR Perda diskriminatif yang ingin diajukan oleh kalangan masyarakat. Bivitri menyampaikan bahwa proses pengujian yang selama ini dilakukan di MA telah melanggar asas independensi dan partial juga asas peradilan cepat dan biaya ringan. Menurut Bivitri, putusan MA yang tidak langsung berlaku akan berdampak pada tidak adanya kepastian hukum sehingga hanya akan menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. Selain itu, beban biaya proses pengujian yang harus ditanggung oleh pemohon juga sangat tidak tepat untuk dilaksanakan. Menurutnya, biaya perkara yang dibebankan kepada masyarakat hanya akan membatasi ruang keadilan bagi masyarakat tidak mampu. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi yaitu perihal asas keterbukaan yaitu dapat disaksikan oleh semua pihak. Keterbukaan ini juga dimaksudkan untuk keadilan bagi masyarakat. Sedangkan rekomendasi yang harus dilakukan adalah mengirimkan surat kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai permasalahan JR di MA. (Bella Sandiata) ![]() Dalam rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) Komnas Perempuan bekerja sama dengan UN Women menyelenggarakan acara bertajuk Come Together To End Violence Against Women: Memanusiakan Perempuan pada hari Selasa, 27 November 2018 bertempat di @America. Acara ini dibuka dengan sambutan dari Manu Bhalla, Deputy Director of EAP Maritime Asia Bureau dan Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni. Acara ini menghadirkan Lily Puspasari (Programme Specialist UN Women), Siti Ma'zuma (Direktur Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta), dan Velove Vexia (Artis dan penulis) sebagai narasumber, dan dipandu oleh Mariana Amiruddin sebagai moderator "16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan merupakan perjuangan para perempuan", ujar Lily Puspasari sesaat setelah acara diskusi dimulai. Mewakili UN Women, Lily Puspasari menyampaikan tema global dari 16HAKTP tahun ini yaitu #HearMeToo. Dalam upaya menghentikan kekerasan terhadap perempuan, Lily menyampaikan bahwa kekerasan merupakan suatu hal yang tidak wajar dan merupakan utang peradaban. Lily menegaskan bahwa sudah sepatutnya perempuan tidak mendapatkan kekerasan dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Kampanye tahun ini menegaskan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan perlu didengar dan mendapatkan dukungan dari setiap elemen. Siti Ma'zuma, Direktur LBH Apik Jakarta, membagikan pengalamannya sebagai pendamping hukum dari para korban kasus kekerasan terhadap perempuan. LBH Apik sendiri merupakan lembaga yang memiliki fokus kerja untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Perempuan yang akrab dipanggil Zuma ini menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2017 hingga 2018, LBH Apik telah menerima 648 beragan kasus kekerasan terhadap perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan kekerasan dalam pacaran. Berdasarkan pengalamannya sebagai pendamping hukum para korban kasus kekerasan terhadap perempuan, Zuma menjelaskan bahwa orang-orang di sekitar korban dan lingkungan sangat memiliki peranan penting bagi korban dalam menghadapi kasus yang dialaminya. Apabila orang-orang sekitar dan lingkungan korban tidak memberikan dukungan bagi korban maka korban akan semakin terpuruk dan enggan untuk memproses kasusnya lebih lanjut di ranah hukum. Menyambung dua narasumber sebelumnya, Velove Vexia, menceritakan bahwa dirinya mulai tertarik tentang isu kekerasan terhadap perempuan pada usia remaja saat dirinya sering mendengar pelecehan yang dialami oleh teman-temannya. Sejak saat itu, Velove menjadi lebih peka terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan juga berupaya membantu gerakan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan melalui media sosial yang dimilikinya. Velove menyatakan bahwa media sosial memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Sebagai publik figur, Velove mengatakan bahwa dirinya tidak hanya mengampanyekan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan di media sosialnya tetapi juga berupaya menjadi contoh bagi masyarakat. Ketiga narasumber pun sepakat bahwa menjadi pendengar bagi para perempuan korban kekerasan merupakan elemen penting untuk membantu. Memberikan dukungan dalam bentuk apapun juga sangat berarti dan akan membantu proses pemulihan korban. Zuma mengatakan bahwa ketika korban didengar dan didukung oleh orang-orang sekitarnya, maka korban pun akan bersemangat untuk melanjutkan proses hukum kasusnya untuk mencari keadilan. Pada acara ini juga ditayangkan video yang menampilkan Velove membacakan puisi karyanya untuk para korban kekerasan terhadap perempuan, serta video kampanye dari UN Women yang di dalamnya menampilkan para aktor dan artis Indonesia untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan. (Bella Sandiata) ![]() Senin (26/11) bertempat di Ruang Soemadipradja dan Taher, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengadakan acara peluncuran buku Marrying Young in Indonesia. Acara ini mengahadirkan Musdah Mulia (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Afwah Mumtazah (Rektor Institut Studi Islam Fahmina) sebagai pembicara dan Pinky Saptandari (Dosen Antropologi Universitas Airlangga) sebagai moderator. Acara tersebut terlaksana atas kerjasama berbagai pihak diantaranya, Fakultas Hukum Universitas Leiden, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste. Pada acara tersebut, Pinky Saptandari mengungkapkan bahwa pernikahan anak seharusnya menjadi isu yang dibahas oleh anak muda. Menurutnya, pernikahan anak lebih sering disuarakan oleh orang yang sudah tua, sedangkan suara anak muda jarang terdengar pada isu tersebut. Menurut Pinky penting bagi anak muda untuk menyuarakan penolakkan pernikahan anak. “Buku ini menarik karena kita akan menemukan anak muda justru berlomba membahas dan meneliti tentang pernikahan anak, buku ini juga terdiri dari berbagai tulisan terbaik dari yang terbaik yang telah kami pilih melalui proses blind review”, tutur Pinky. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia ini merupakan kumpulan karya ilmiah yang berupaya menghadirkan pembahasan pernikahan anak dengan perspektif yang berkeadilan terhadap hak anak. Sementara itu, Afwah Mumtazah menjelaskan perspektif Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dalam melihat persoalan pernikahan anak. “Pada awal diresmikannya KUPI, kami sepakat bahwa ulama perempuan tidak memiliki posisi strategis dalam mengatur kebijakan, karena setiap ada persoalan terutama di daerah, yang memiliki peran penting adalah ulama laki-laki sedangkan yang perempuan terpinggirkan menjadi pelengkap”, tutur Afwah. Selanjutnya Afwah menekankan bahwa tidak adanya ulama permepuan pada posisi strategis membuat persoalan perempuan yang terjadi di daerah seperti KDRT, migrasi, dan pernikahan anak terus berlanjut. Di awal KUPI terbentuk terdapat tiga fokus utama yaitu menyelesaikan persoalan KDRT, buruh migran, dan pernikahan anak. Hanya saja selama perjalanan KUPI menemukan bahwa pernikahan anak adalah sumber masalah dari KDRT, kehamilan tidak diinginkan, feminisasi buruh migran, dan kemiskinan perempuan. Menurut Afwah, KUPI memiliki posisi yang strategis untuk mengubah tradisi pernikahan anak yang terjadi di daerah-daerah. Oleh karena itu, KUPI terus melatih dan melakukan kaderisasi bagi ulama-ulama perempuan untuk menyuarakan keadilan, kesetaraan, dan paham resiprokal. Kemudian, Mudah Mulia menyatakan bahwa isu pernikahan anak sebenarnya telah tuntas pada tahun 1998. Namun, ia menyayangkan jika sampai hari ini masih banyak yang menyuarakan pernikahan anak. “Jika kita berbicara tentang pernikahan muda, saat ini ada gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP), gerakan tersebut membuat saya bingung karena mengapa untuk menghindari zina seseorang harus menolak pacaran, padahal untuk menolak zina, kehamilan tidak diinginkan kita cukup mengajarkan seorang anak untuk memahami kesehatan reproduksi, moral, dan edukasi seksual agar mereka bertangungjawab”, tutur Musdah. Menurut Musdah dalil agama sering dijadikan alasan untuk melegitimasi pernikahan anak. Oleh karena itu, perlu adanya reinterpretasi ajaran agama agar muatannya bisa menjadi humanis dan relevan untuk kehidupan saat ini. Musdah juga menekankan bahwa melakukan reinterpretasi bukan berarti mengubah ajaran suatu agama, namun mengisi pemahaman pada nilai yang diinterpretasi. Musdah juga menyayangkan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di beberapa daerah cenderung mengajarkan ajaran-ajaran konservatif dengan pemahaman jenis-jenis perbuatan yang haram dan halal, tidak jarang pernikahan anak dianggap sebagai sebuah perbuatan yang halal. Menurut Musdah, ajaran seperti itu yang kemudian membentuk perspektif seorang anak terisi oleh hal yang konservatif. “Pernikahan anak pada dasarnya adalah sebuah tradisi yang sangat tradisional, kemudian dipertahankan dengan alasan-alasan tidak masuk akal, padahal apabila kita kritis, pernikahan anak merupakan kejahatan kemanusiaan, sehingga orang-orang yang kritis harus terus bersuara dan melakukan rekonstruksi budaya”, tutur Musdah. (Iqraa Runi) Kriminologi Universitas Indonesia diskusikan Pemenuhan Hak atas Reparasi Bagi Korban Kejahatan27/11/2018
![]() Rabu (21/11) Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia mengadakan acara seminar nasional dan lokakarya viktimologi “Mendorong Negara Memenuhi Hak atas Reparasi bagi Korban Kejahatan” bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono, Depok. Acara ini dihadiri oleh Azriana Rambe Manalu (Ketua Komnas Perempuan), Muhammad Joni (Tenaga Ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Muhammad Mustofa (Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia), Abdul Haris Semendawai (Ketua Perlindungan Saksi dan Korban), dan Amirudin Al Rahab (Komisioner Komnas HAM). Pada acara tersebut Abdul Haris Semendawai menyampaikan bahwa status korban sering kali dikeluarkan pada hukum pidana, mereka difungsikan sebagai saksi. Padahal menurut Haris korban harus menerima perlakuan yang baik. Apalagi korban dirugikan secara fisik, materi, psikologi dan sosial. Hilangnya perhatian atas korban, membuat disiplin viktimologi memberi perhatian khusus dalam pembahasan hak korban. Menurut Haris selama ini korban tidak jelas definisinya, baik definisi kekerasan yang dialami maupun ukuran kerugian yang dialami. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan deklarasi yang secara spesifik membahas status korban. “Di PBB korban bukan hanya dimaknai sebagai perorangan tetapi juga kelompok. Korban bukan hanya mendapatkan reparasi tetapi juga hak korban mendapatkan keadilan, informasi dan pelakuan yang manusiawi. Hak korban pelanggaran HAM berat untuk Indonesia diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002. Hak korban pelanggaran HAM berat meliputi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Namun, menurut Haris pada praktiknya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban membutuhkan prasyarat yang menyulitkan korban mendapatkan haknya” tutur Haris. Sementara itu, Azriana Rambe Manalu menyampaikan persoalan yang dihadapi jika korban adalah perempuan. Menurutnya selama ini masyarakat telah lupa tentang konstruksi sosial, padahal konstruksi sosial yang membentuk posisi perempuan tersubordinasi. Ia menjelaskan bahwa pada kasus kekerasan, perempuan sering kali menjadi korban yang tertindas dua kali lebih parah daripada laki-laki karena adanya stigma tentang perempuan. Fungsi reproduksi yang dilekatkan kepada perempuan membentuk pemahaman bahwa perempuan adalah objek seksual. Azriana menambahkan bahwa perempuan dianggap simbol harga diri suatu kelompok tertentu, sehingga pada saat konflik penaklukan suatu kelompok dapat dilakukan dengan menyerang baik secara fisik maupun seksual perempuan pada kelompok tersebut. “Kekerasan yang diadalami oleh perempuan biasanya meliputi kekerasan, fisik, emosional, dan seksual, kekerasan tersebut terjadi hampir setiap hari dan di manapun baik di ruang publik maupun privat” tutur Azriana. Azriana juga menekankan bahwa peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan kebijakan diskriminatif yang mengatur tubuh perempuan. Lebih jauh, menurut Azriana Indonesia perlu memiliki hukum dan skema pemulihan korban yang sesuai dengan kebutuhan perempuan. “Skema pemulihan harus bersifat komprehensif dan holistik, reparasi korban tidak perlu persetujuan pengadilan, sebab perlu diingat bahwa bagian yang paling kuat dari reparasi adalah tanggungjawab negara untuk memulihkan, sehingga, untuk melakukan reparasi korban sejatinya tidak membutuhkan prasyarat terlebih dahulu”, tutur Azriana. Berbeda dengan Azriana, Muhammad Joni justru banyak bicara menyoal hak anak sebagai korban. Menurut Joni, semua manusia pernah menjalani fase sebagai anak-anak. Dengan begitu, sebenarnya orang dewasa lebih memahami kebutuhan anak-anak. Joni juga mengingatkan bahwa hak atas reparasi korban seharusnya tidak diurus oleh warga negara, melainkan menjadi urusan dan tanggungjawab negara untuk memenuhi hal tersebut. “Ketika berbicara mengenai anak maka berbeda dengan orang dewasa, sebab ada perbedaan kebutuhan dan kemampuan, untuk itu negara perlu mengatur penguatan sistem hukum dan kelembagaan untuk perlindungan yang spesifik untuk anak”, tutur Joni. Sementara itu, Amirudin Al Rahab menekankan pada aspek budgeting. Menurut Amirudin Kementerian Keuangan tidak pernah menganggarkan dana untuk reparasi korban. “Reparasi korban masih menjadi persoalan, karena Undang-Undang tidak secara literal menyebutkan bahwa korban adalah tanggungjawab negara, hanya Undang-Undang terorisme yang menyebutkan bahwa korban adalah sepenuhnya tanggungjawab negara”, tutur Amirudin. Menurut Amirudin adanya ketidakjelasan status korban membuat hak kompensasi, reparasi, dan rehabilitasi digantungkan pada keputusan pengadilan. Kemudian, Muhammad Mustofa selaku penanggap lebih menekankan bahwa perlu adanya perumusan perundang-undangan yang mengatur hak korban secara jelas. Mustofa juga menjelaskan bahwa perlu ada penyebarluasan, sosialisasi, dan mekanisme dalam menuntut hak korban. Hal ini berguna untuk mengupayakan pemahaman korban atas hak yang dimiliki. (Iqraa Runi) ![]() Kamis, 22 November 2018, pertemuan ketiga kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) Jurnal Perempuan diselenggarakan di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta Selatan. Pada pertemuan ketiga ini, kelas diampu oleh Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan. Topik yang disampaikan ialah menyoal feminisme dan moral politik. Atnike menjelaskan bahwa tradisi filsafat politik klasik dipenuhi oleh pemikiran laki-laki, sehingga menurutnya pemikiran yang muncul menyoal politik adalah pikiran laki-laki. Ia mengungkapkan bahwa para filsuf yang mayoritas laki-laki membangun tembok ilmu yang berangkat dari konsep manusia homogen dan cenderung melupakan keragaman identitas manusia, khususnya manusia perempuan. “Filsafat politik dikritik oleh feminisme karena dianggap tidak mewakili kepentingan dan suara perempuan”, tutur Atnike. Lebih jauh, ia menyampaikan argumen bahwa politik abai terhadap kepentingan perempuan yang diungkapkan juga oleh Alison Jagar. Atnike menjelaskan bahwa Alison Jagar mengkritik dikotomi dan konstruksi ruang privat dan publik yang kerap memandang rendah kerja-kerja atau aktivitas di ruang privat. Lebih jauh, pemikiran Alison Jagar juga sampai pada pernyataan bahwa politik kerap mengutamakan rasionalitas laki-laki daripada rasionalitas perempuan. Dengan demikian, menurut Atnike, pengalaman perempuan tidak hadir dalam kajian filsafat politik. Lebih jauh, Atnike menjelaskan pandangan dari feminis gelombang pertama yaitu Mary Wollstonecraft. “Mary Wollstonecraft menolak pelabelan perempuan itu emosional dan laki-laki itu rasional, menurut Mary ketidakmampuan perempuan dalam pendidikan dan politik karena tidak ada kesempatan yang untuk perempuan”, jelas Atnike. Mengutip Mary Wollstonecraft, Atnike menjelaskan bahwa perempuan akan memiliki rasionalitas yang sama dengan laki-laki jika perempuan mendapat akses dan kesempatan yang sama. Kesamaan yang dimaksud itu disebut Atnike sebagai sameness. Selain kritik dari feminis gelombang pertama, Atnike juga menyebutkan kritik yang datang dari Simone de Beauvoir, feminis gelombang kedua. “Simone de Beauvoir menganggap bahwa perempuan telah lama dikonstruksikan sebagai yang liyan atau the others, sehingga perempuan perlu menjadi subjek yang utuh agar dapat keluar dari ketertindasan”, jelas Atnike. Menurut Atnike, kritik Simone terhadap dunia patriarki tersebut mengandaikan sesuatu yang lebih dari kesamaan (sameness) karena menghendaki perempuan sebagai subjek yang berkesadaran. Kritik Beauvoir ini kemudian disebut Atnike sebagai kehendak akan kesetaraan (equality), kesetaraan yang dimaksud bahkan dimulai sejak dalam pikiran atau kesadaran. Mewakili periode feminisme gelombang ketiga, Atnike meminjam pemikiran Seyla Benhabib yang juga mengkritik tentang dikotomi publik dan privat. Atnike menjelaskan bahwa Seyla Benhabib justru mendorong publik untuk meredefinisi yang publik dan yang privat tersebut. Atnike mengungkapkan bahwa pada pemikiran feminisme gelombang ketiga sudah tidak terjebak lagi pada dikotomi yang dibuat patriarki tetapi justru hendak meredefinisi ulang pemaknaan atas dikotomi tersebut. “Seyla Benhabib menghendaki ruang publik sebagai arena pertarungan feminis. Artinya ada dekonstruksi terhadap apa yang disebut ruang publik dan rasional. Hal ini mengandaikan difference yaitu mengakui dan menghargai perbedaan”, jelas Atnike. Atnike menjelaskan bahwa feminisme gelombang ketiga melihat kesetaraan justru pada pengakuan terhadap keberbedaan/difference. “Perempuan memiliki pengalaman biologis dan sosial yang beragam, sehingga kesetaraan bukan hanya memberikan kesempatan yang tetapi juga pengakuan terhadap eksistensi keragaman dan persepsi keragaman tersebut”, Atnike menjelaskan. Masih mengutip Seyla Benhabib, Atnike menjelaskan bahwa ada dua tipe perlawanan yang muncul dalam mengkritik universalitas, beberapa contohnya yaitu adanya pertarungan ide rasional dan adanya gerakan etno-nasionalisme untuk mendefinisikan ulang ranah publik. Lebih jauh, menurut Atnike, filsafat politik tak hanya pernah abai terhadap kepentingan dan eksistensi perempuan, tetapi juga terhadap ras kulit hitam bahkan kultur afro-amerika. Dalam konteks Indonesia, Atnike memberikan contoh bahwa kelompok LGBT masih terkekslusi dalam ruang publik. Hal tersebut menurut Atnike belum memenuhi nilai-nilai politics of difference yaitu memperjuangkan pengakuan terhadap eksistensi keberbedaan individu atau kelompok. “Salah satu contoh politics of difference dalam kebijakan publik adalah lahirnya UU PKDRT. Artinya persoalan perempuan di ruang domestik menjadi urusan publik. Ada kepentingan perempuan yang diperjuangkan”, jelas Atnike. Mengutip pemikiran Iris Young, Atnike menjelaskan bahwa politics of difference mendorong adanya kesetaraan diantara kelompok sosial maupun budaya yang berbeda, yang saling menghargai dan mengakui keberagaman dengan tidak meniadakan perbedaan berbagai kelompok. Sebagai penutup Atnike mengungkapkan bahwa gerakan dan pemikiran feminisme tidak hanya memperjuangkan kepentingan perempuan sebagai identitas kolektif tetapi juga membaca ketertindasan kelompok lain dengan membangun ethics yang mengakui keberbedaan. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |