Koalisi Perempuan Indonesia Mendesak DPR Percepat Pembahasan Perubahan Terbatas UU Perkawinan16/7/2019
Senin (15/7), Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) mengadakan kegiatan seminar nasional berjudul “Percepatan Pembahasan Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Perubahan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974”. Kegiatan ini ditujukan untuk mendukung percepatan pembahasan perubahan terbatas atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2017 Mahkamah Konstitusi menerima sebagian permohonan Judicial Review yang diajukan oleh pemohon dalam perkara Nomor 22/PUU-XV/2017 tentang permohonan untuk mengubah pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1874 tentang Perkawinan. Adapun isi permohonan berkaitan dengan batas minimal usia perkawinan yang berbeda bagi perempuan (16 tahun) dan laki-laki (19 tahun) serta dispensasi kawin bagi mereka yang berada di bawah usia minimal tersebut. Pemohon meminta agar batas minimal usia tersebut dinaikkan dan disesuaikan dengan UU Pelindungan Anak. Judicial Review ini merupakan upaya kedua setelah upaya serupa pada tahun 2014 diputuskan ditolak oleh majelis hakim. Sebagai upaya advokasi tindak lanjut terhadap putusan tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia bersama jaringannya mendorong DPR untuk segera melakukan pembahasan perubahan terbatas terhadap UU No. 1 Tahun 1974 khusunya Pasal 1 ayat (1). Perubahan terbatas pada UU Perkawinan didorong untuk dibahas dan masuk dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka. Dalam kegiatan ini hadir Eva Kusuma Sundari (anggota Badan Legislasi) dan Rahayu Saraswati (anggota Komisi VIII) mewakili DPR RI. Eva mengungkapkan optimismenya bahwa pembahasan revisi bisa selesai pada periode ini meskipun waktu efektif yang tersisa hanya dua bulan. Menurutnya perlu menyusun workplan mundur, bukan maju, dengan menetapkan batas waktunya yaitu saat terakhir sidang penutupan. “Harapan saya Supres (surat presiden) segera keluar. Kita (DPR) standby menyiapkan Panja di Baleg karena tidak perlu RDPU, tidak perlu NA, karena ini hanya melaksanakan putusan MK”, jelas Eva. Ditambahkan oleh Rahayu Saraswati, “penting juga untuk konsisten mengawal substansi karena menurutnya ada pihak-pihak yang mau mendompleng dengan mengubah aturan soal poligami (agar tak perlu ijin dari istri pertama)”. Menurut politisi Gerindra tersebut putusan MK sudah sangat baik karena menyasar pada diskriminasi dalam UU Perkawinan. UU Perkawinan sudah berusia lebih dari 45 tahun. Undang-undang yang problematik dan diskriminatif ini termasuk salah satu kebijakan peninggalan orde baru dan sudah beberapa kali diusulkan untuk direvisi, khususnya pada batas usia minimal perkawinan. Akan tetapi berbagai upaya tersebut selalu menghadapi penolakan dengan kekhawatiran akan mengubah pasal-pasal yang lain. Putusan MK yang menerima permohonan untuk mengubah pasal 7 ayat (1) dalam UU Perkawinan adalah langkah strategi dalam mendorong reformasi hukum perkawinan dan keluarga. Namun upaya mengakhiri perkawinan anak tidak akan berhenti dengan diubahnya pasal terkait batas minimal usia kawin karena perubahan tersebut baru menyasar aspek substansi hukum. Menurut Dian Kartikasari (Sekjen KPI), untuk suatu kebijakan hukum dapat berjalan, perlu dukungan dari struktur yang menjalankan dan budaya yang menerimanya sebagai aturan bersama. “Harus ada sinkronisasi elemen pelaksana/penegakan hukum. Setelah (perubahan) UU disahkan, pekerjaan rumah kita adalah bagaimana KUA dibekali untuk mengoperasionalkan aturan yang baru. Perlu advokasi ke Kemenag untuk mengubah cara pandang KUA”, ujar Dian. Sementara penerimaan terhadap aturan yang baru, menurut Dian, merupakan pekerjaan rumah yang butuh gerakan yang luas dan melibatkan banyak pihak dengan memanfaatkan berbagai kanal media. (Dewi Komalasari) Senin (8/7), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan konferensi pers dalam rangka merespons putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan BN. Mariana Amiruddin, Budi Wahyuni, dan Sri Nurherwati (Komisioner Komnas Perempuan) dan Livia Iskandar (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK) hadir untuk memberikan pernyataan dalam konferensi pers. BN merupakan korban pelecehan seksual yang merekam tindak pelecehan yang ia alami sebagai bukti untuk mencari keadilan. Namun BN justru dilaporkan oleh pelaku dan dijerat dengan UU ITE karena membuat rekaman tersebut. Nurherwati menjelaskan bahwa BN dijerat pasal dalam UU ITE yang mengatur tentang transmisi yang memiliki muatan atau konten yang melanggar kesusilaan (pasal 27 ayat 1). Padahal menurutnya, di zaman era digital saat ini, banyak perempuan korban pelecehan seksual yang belum terlindungi oleh hukum dan kerap kali menggunakan media elektronik untuk menyimpan bukti-bukti. Namun disayangkan, menurut Nurherawati pasal UU ITE tersebut, tindakan ini (jika tersebar) dapat dikategorikan sebagai penyebaran konten-konten yang melanggar kesusilaan. “Kalau nanti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini disahkan dan salah satunya adalah memuat soal elektronika sebagai salah satu alat bukti maka itu bagian dari kesetaraan perlindungan sehingga tidak dengan mudah perempuan korban kemudian dikriminalkan dengan menggunakan UU ITE,” jelas Nurherwati. Dengan demikian menurutnya, penegak hukum juga akan lebih mudah melihat bagaimana sebenarnya posisi korban dan bagaimana sebenarnya posisi sebagai pelaku yang sesungguhnya (terdakwa sebagai pelaku sesungguhnya) dalam penegakan hukum. Nurher menegaskan bahwa kasus ini menunjukkan bagaimana pada akhirnya perempuan korban yang berupaya membuktikan dirinya sendiri tapi kemudian tidak mendapatkan kesetaraan di depan hukum, dihadapkan dengan hukum yang pada akhirnya dia harus dipidanakan. Dalam pernyataan persnya, Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA 3/2017) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan Kembali kasus BN. Disampaikan oleh Nurherwati betapa biasnya penanganan perkara kasus BN. Hakim memandang bahwa (tindakan) pencabulan harus melalui kontak fisik sementara alat bukti yang ada berupa rekaman telepon, yang membuktikan tidak ada kontak fisik. Terdapat bias cara pandang dalam hal ini, pertama, bias di dalam cara membaca perbuatan cabulnya sendiri, dan yang kedua bias dalam cara membaca UU ITE-nya sendiri, karena itu ada frasa “tanpa hak” di sana. Kalau hakim melihatnya sebagai korban, maka tidak akan ada lagi frasa “tanpa hak” yang terpenuhi. Hakim tidak melihat latarbelakang BN sebagai korban dalam mempertimbangkan dan memutuskan. Menyinggung hal tersebut, Mariana menyebutkan “banyak pihak yang masih belum paham terhadap kekerasan seksual”, namun menurutnya jika banyak pihak, termasuk wartawan dan media banyak mengangkat soal hal ini, maka akan dapat mempengaruhi opini publik bahwa tidak hanya BN yang mengalami hal ini tapi juga kita. Mengenai langkah hukum yang akan ditempuh berikutnya, Komnas Perempuan dan LPSK menyatakan mendukung upaya dalam mengajukan permohonan amnesti kepada presiden. Disampaikan juga oleh Livia Iskandar bahwa wakil Ketua Komisi III DPR Erma Ranik sudah menyatakan akan memberikan dukungan dan akan memberikan dukungan pertimbangan kepada presiden dalam memberikan amnesti kepada BN. Mereka optimis jika anggota DPR melihat bagaimana proses ketidaksetaraan di depan hukum ini terjadi maka amnesti akan dikabulkan. “Alat bukti sudah cukup, tinggal bagaimana cara membaca situasi dan kondisinya, proses hukumnya, kemudian kasusnya sendiri maka kita akan melihat bahwa dia (BN) benar adalah korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan” ujar Nurherwati. (Dewi Komalasari). Pada hari Senin (17/6), MAMPU mengadakan diskusi Brown Bag Lunch yang berjudul “Health For All: Isu dan Tantangan Peningkatan Akses dan Kualitas Layanan Kesehatan Bagi Perempuan Indonesia”. Diskusi yang diadakan di Kantor MAMPU, Jakarta Selatan ini dihadiri oleh tiga orang pembicara, yakni Tety Rachmawati (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan), Prof. Dr. Ascobat Gani MPH, Dr.PH (Guru Besar FKM UI), dan Timboel Siregar (Koordinator Advokasi BPJS Watch). Tety Rachmawati pada kesempatannya memaparkan materi berjudul “Isu Kesehatan Perempuan dan Hasil Analisa Beban Penyakit Indonesia Tahun 2017”. Dalam paparannya, ia menyebutkan bahwa beban penyakit (burden of disease) yang dialami perempuan adalah kanker payudara, kanker serviks, penyakit kesehatan reproduksi (seperti pada masa menstruasi, kehamilan, menyusui dll), penyakit menular seksual, HIV/AIDS, dan stres/depresi. “Sejalan dengan data WHO, kanker payudara merupakan beban penyakit perempuan tertinggi di tahun 2018, disusul dengan kanker serviks, kanker paru, kematian akibat kanker payudara, dan kematian akibat kanker serviks,” jelasnya. Lebih jauh, dr. Tety juga menjelaskan beberapa kasus penyakit kesehatan reproduksi, yang diderita perempuan. Ia menjelaskan bahwa di beberapa daerah perdesaan dan wilayah tertinggal masih melakukan proses persalinan tradisional, salah satunya metode persalinan Sukam di Papua. Proses persalinan ini melibatkan ibu yang melahirkan dalam posisi jongkok dengan tangan menggantung pada seutas tali yang dikaitkan pada atap langit-langit Sukam. Beralaskan daun-daun, seorang perempuan akan berdiri di belakang untuk menopang Ibu, sedangkan Dukun berada di depan untuk menangkap Bayi. Sukam ini merupakan sebuah rumah khusus yang bertempat jauh dari rumah si Ibu dikarenakan adanya kepercayaan untuk tidak melahirkan di dalam rumah karena dianggap kotor. “Beberapa permasalahan ditemukan pula di daerah Aceh dimana bayi yang baru lahir langsung dimandikan di sungai. Adapula bayi yang dipanasi sambil digendong ibunya di daerah Nusa Tenggara Timur dan Aceh. Selain itu, selama masa nifas, si ibu juga menggunakan ramuan tradisional dan rempah-rempah termasuk kapur barus yang dimasukan ke dalam vagina karena dianggap dapat mempercepat masa penyembuhan,” jelas dr. Tety. Ia menjelaskan bahwa hasil penelitian yang dilakukannya ini menunjukkan bahwa kesehatan neonatal dan maternal masih menjadi beban penyakit utama di Indonesia wilayah Timur. Sementara itu, Prof. Dr. Ascobat Gani menyampaikan paparan berjudul “Overview dan Isu Strategis Pembiayaan JKN”. Menurutnya, akses pelayanan kesehatan yang dijalankan dalam program JKN belum tepat sasaran. Ia menjelaskan bahwa Universal Health Coverage (UHC) menurut definisi WHO merupakan akses terhadap pelayanan kesehatan meliputi promotif, preventif, dan rehabilitatif yang diterapkan pada pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan publik. “Konsep UHC yang diutamakan oleh pemerintah hanya lah rehabilitatif atau pengobatan. Padahal, yang perlu diubah adalah perilaku masyarakat sebagai langkah preventif kesehatan,” jelas Ascobat. Kemudian, Ascobat membahas isu strategis yang krusial mengenai JKN/BPJS adalah defisit pembayaran yang menunjukkan jumlah uang yang masuk (cash inflow) lebih kecil dibandingkan uang yang dikeluarkan (cash outflow). Cash inflow ini meliputi permasalahan bahwa premi Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditetapkan berada dibawah nilai akturia yang semestinya Rp 33.000/bulan namun ditetapkan menjadi Rp 25.500/bulan. Adapula, kolekibilitas premi dari Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang diketahui meningkat pada tahun 2018, yakni sebanyak 14,2 juta peserta non-PBI menunggak iuran setelah dilayani. Permasalahan terakhir adalah tunggakan pembayaran Pemerintah Daerah (Pemda) karena anggaran yang baru bisa turun jika sudah memiliki ketetapan anggaran dan persetujuan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Sedangkan, beberapa kasus cash outflow disebabkan oleh meningkatnya kasus katastrofik dengan penggunaan JKN akses yang menyebabkan utilisasi meningkat, rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang tidak efektif sehingga rujukan non-spesialistik meningkat, penemuan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh pihak pelayanan kesehatan seperti readmisi, upcoding, dan phantom billing, serta tawaran paket dengan keuntungan yang sangat komprehensif, menyebabkan tidak adanya cost sharing. Menurutnya, strategi yang harus dilakukan untuk menghadapi permasalahan tersebut adalah mempercepat pemerataan FKTP dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Lanjutan (FKRL) khususnya di daerah-daerah terpencil yang masih bergantung pada pemerintah. “Pemerataan FKRL dapat dilakukan dengan memberikan kemudahan lahan bagi investasi swasta, serta menyediakan tenaga spesialis melalui program Wajib Kerja Dokter Spesialis,” tutur Ascobat. Pemaparan terakhir disampaikan oleh Timboel Siregar dengan judul bahasan “Isu dan Tantangan Peningkatan Akses dan Kualitas Layanan Kesehatan”. Ia menyampaikan tiga isu terkait program JKN dalam pelaksanaan UHC, yakni melalui kepesertaan, pelayanan, dan pembiayaan. “Pemerintah tidak tepat memfokuskan pelaksanaan UHC hanya pada kepesertaan. Ada tiga dimensi UHC yang harus dilakukan, ketiganya tidak boleh jomplang,” ucap Timboel. Selanjutnya, Timboel juga memaparkan data terkait kepesertaan. Tercatat sebanyak 49 persen perempuan dan 51 persen laki-laki terdata sebagai peserta JKN. Pemerintah juga merencanakan untuk meningkatkan target per 31 Desember 2019 dengan menaikan jumlah PBI APBN dan menurunkan PBI APBD sehingga peserta rakyat miskin dapat terakomodir secara maksimal. Namun, permasalahan utama yang ditemukan dalam JKN adalah kurangnya sosialisasi JKN atas perubahan peraturan dalam Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018. Lebih lanjut, perubahan pasal tersebut juga memuat pasal yang merugikan masyarakat, seperti Pasal 54 ayat (1r) yang tidak menjamin korban akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan korban perdagangan orang. Adapula, kasus ibu hamil yang dijadikan sebagai obyek bisnis Rumah Sakit, pasien ibu hamil seringkali diarahkan untuk menjalani operasi Caesar demi keuntungan. Dengan demikian, masih banyak tantangan yang harus diselesaikan oleh pemerintah dalam memperbaiki layanan kesehatan. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) mengadakan konferensi pers di LBH Jakarta, Jakarta Pusat pada hari Rabu (29/05) untuk mendiskusikan proses pembahasan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dirasa tidak partisipatif dan berpotensi melanggar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ratna Batara Munti, Koordinator JKP3, menyampaikan bahwa Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) yang telah ditunjuk sebagai leading sector dan bertugas memperkuat Daftar Inventatis Masalah (DIM) tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil dalam proses perbaikan DIM, khususnya kelompok perempuan yang memiliki kepentingan dalam RUU PKS. “Kami mencatat, setidaknya dalam tiga kali pertemuan antara pemerintah dan masyarakat sipil pada akhir tahun 2018 dan awal 2019, KPPPA belum memberi ruang untuk menyampaikan masukan atas DIM yang disusun pemerintah. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut, pihak KPPPA selalu menjanjikan adanya ruang diskusi bersama antara masyarakat sipil dan pemerintah, namun hingga kini belum terlaksana,” tegasnya. Siti Aminah, Anggota Tim Substansi JKP3, turut menjelaskan bahwa DIM versi pemerintah belum mengakomodir tujuan dan harapan pembentukan Undang-Undang PKS. Menurutnya, DIM yang disusun telah mereduksi beberapa poin penting dalam RUU PKS. “RUU PKS akan memenuhi kepentingan korban kekerasan seksual, jika enam elemen didalam RUU PKS tetap dipertahankan, yakni pencegahan, 9 bentuk kekerasan seksual, hukum acara pidana khusus kekerasan seksual, ketentuan pidana kekerasan seksual, pemulihan korban, dan pemantauan korban,” tuturnya. Lebih jauh, Aminah menjelaskan bahwa terdapat 17 isu yang dihapus dalam DIM versi Pemerintah merespons draft RUU PKS yang telah dibentuk oleh DPR. Beberapa diantaranya adalah memangkas 9 tindak pidana kekerasan seksual menjadi 4 tindak pidana kekerasan seksual, “Pemerintah hanya menyorot 4 tindak pidana kekerasan seksual, yakni pencabulan, eksploitasi seksual, persetubuhan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, dan penyiksaan seksual,” jelasnya. Selain itu, ditemukan pula penyempitan rumusan perkosaan yang sudah diperluas dalam draft RUU PKS serta penggunaan istilah persetubuhan dan pencabulan yang selama ini problematis dan mendiskualifikasi pengalaman korban perempuan. DIM ini juga menghilangkan hukum acara khusus untuk kekerasan seksual dan ketentuan terkait hak-hak korban meliputi penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan, yang justru merupakan alasan mendasar pembentukan UU PKS. Pentingnya UU PKS bagi korban kekerasan seksual dijelaskan pula oleh Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazumah. Ia mengatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku bagi korban kekerasan seksual saat ini hanya memuat pencabulan dan perkosaan, sementara angka korban terus meningkat setiap tahunnya. Selain itu, permasalahan proses hukum kasus kekerasan seksual seringkali terkendala oleh reviktimisasi, tidak adanya saksi, dan rasa trauma yang memperlukan hukum acara khusus bagi korban. Namun, hak-hak korban tersebut justru dihilangkan dalam DIM versi Pemerintah. Lebih jauh, Aprilia, perwakilan LBH Jakarta, menekankan bahwa proses penyusunan DIM RUU PKS ini tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 yang membahas Pemenuhan Peraturan Perundang-Undangan. Seperti pada Bab XI yang mengatur Partisipasi Masyarakat, disebutkan pada Pasal 98 Ayat 1 bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam proses pembentukan perundang-undangan. Bertolak belakang dengan hukum yang berlaku, KPPPA justru membatasi keterlibatan masyarakat sipil dan terkesan menutup ruang diskusi untuk memperbaiki DIM. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka JKP3 menolak DIM versi Pemerintah karena tidak partisipatif dan tidak mempertimbangkan kepentingan dan pengalaman perempuan yang menjadi sasaran utama dari RUU PKS. JKP3 mendesak KPPPA untuk melibatkan masyarakat sipil yang berkepentingan atas RUU PKS dalam diskusi-diskusi substansi RUU sesuai dengan amanat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. JKP3 juga menuntut Pemerintah dan DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU PKS menjadi UU tanpa mengorbankan prinsip partisipasi masyarakat dalam rangka mengawal mutu kualitas pembahasan dan muatan RUU menjadi lebih baik, sesuai dengan tujuan keberadaan RUU yakni sebagai terobosan untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia terkait isu kekerasan seksual secara komprehensif. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Senin (27/5), Biro Pemberdayaan Perempuan BEM Fakultas Hukum Universitas Trisakti menyelenggarakan Kelas Feminisme bertema “Darurat Pelecehan Seksual di Ruang Publik” dengan menghadirkan Dr. Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan sebagai pembicara. Kegiatan ini merupakan kelas perdana yang diharapkan akan diikuti dengan sesi kelas feminisme berikutnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Biro Pemberdayaan Perempuan BEM FH Trisakti, Fitria Anggi, “saya sadar tentang feminisme tidak cukup hanya dibahas dalam satu kali pertemuan karena tema yang harus dibahas sangat banyak dan terlalu luas”. Terkait pemilihan tema, Fitria menjelaskan bahwa isu kekerasan seksual menjadi keresahan rekan-rekan mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya topik seputar pelecehan seksual yang muncul dalam kotak aspirasi—sebuah ide awal mengumpulkan pemikiran, keresahan dan pergulatan mahasiswa Trisakti untuk dibawa di acara Women’s March 27 April lalu. Fitria melanjutkan bahwa isu kekerasan seksual dan feminisme juga penting untuk dibicarakan di dalam kampus agar para mahasiswa baik laki-laki dan perempuan tercerahkan. “Dari curhat yang masuk ke kotak memang banyak yang menyinggung soal pelecehan seksual dan di luar (kampus Trisakti) juga sedang marak kasus seperti itu,” ujar Fitria. Kegiatan Kelas Feminisme ini disambut baik oleh para mahasiswa, dihadiri oleh kurang lebih 40 peserta perempuan dan laki-laki. “Di luar dugaan, minat dan antusiasme mahasiswa ternyata cukup tinggi menurutnya karena dari yang semula ditargetkan hanya sekitar 15-20 orang namun menjelang pelaksanaan sudah hampir 50 orang yang mendaftar untuk menghadiri kelas feminisme ini,” jelas Fitria. Dr. Atnike Nova Sigiro sebagai narasumber mengawali paparannya dengan menggali pengetahuan serta pengalaman peserta terkait pelecehan seksual. Paparan dilanjutkan dengan menguraikan bahwa pelecehan seksual merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender dan mengapa pelecehan seksual tidak boleh didiamkan. “Pelecehan seksual tidak boleh diterima sebagai kebiasaan yang wajar di dalam masyarakat, pertama karena jika didiamkan dapat berlanjut eskalasinya kepada tindak kekerasan seksual seperti perkosaan, kedua, budaya pelecehan seksual melanggengkan dominasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas dan anak,” jelas Atnike. Lebih lanjut Atnike juga menjelaskan mitos-mitos seputar pelecehan seksual, salah satunya ialah mitos tentang pakaian perempuan yaitu perempuan berpakaian terbuka mengundang orang untuk melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Menurutnya, “pelecehan dan kekerasan seksual terjadi bukan karena pakaian yang dikenakan perempuan, tetapi karena objektifikasi terhadap perempuan". Kesimpulan yang dapat diambil dari Kelas Feminisme sesi ini adalah bahwa pelecehan seksual dapat terjadi kepada siapa saja kapan saja di mana saja. Untuk itu diperlukan peran serta semua pihak untuk mencegah dan aktif melindungi orang yang berpotensi menjadi korban. Di sisi lain, perguruan tinggi juga perlu melakukan upaya-upaya aktif untuk mendukung terbangunnya budaya anti kekerasan dan kesetaraan gender. (Dewi Komalasari) Yayasan Museum Hak Asasi Manusia Omah Munir bekerja sama dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Yayasan Tifa menyelenggarakan Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik Omah Munir dengan tema “Hak Atas Kehidupan Yang Layak”. Suciwati, Dewan Pembina Yayasan Museum HAM Omah Munir, menyampaikan bahwa tema ini merupakan sebuah ajakan dukungan dan kepedulian kalangan seniman untuk mengampanyekan pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia. Antusiasme dalam kompetisi ini pun tercermin dengan 80 lebih karya yang diterima, 77 karya diantaranya memenuhi kualifikasi untuk dinilai Dewan Juri. Pencarian pemenang berlanjut dengan memilih 10 karya terbaik, hingga pemilihan 3 karya finalis pemenang. Pengumuman pemenang dan pembukaan pameran karya Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik Omah Munir ini dilaksanakan pada hari Senin (27/5) bertempat di Perpustakan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat. Lebih jauh, Suciwati mengatakan bahwa keikutsertaan kalangan seniman dalam kompetisi ini membuktikan isu hak asasi manusia, khususnya hak atas kehidupan layak, adalah sebuah persoalan yang sedang dihadapi saat ini. Beberapa karya yang dihasilkan oleh para seniman memotret persoalan spesifik, seperti hilangnya keadilan, diskriminasi minimnya layanan publik, serta sulitnya mendapat kehidupan yang nyata. Karya-karya tersebut juga menunjukkan tuntutan bagi negara untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati HAM sesuai dengan konstitusi dan undang-undang yang berlaku. Selain itu juga membuktikan bahwa seni sesungguhnya berpihak pada nilai dan semangat HAM yang menolak segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. “Ketika media advokasi HAM lainnya terbelenggu, diabaikan oleh negara, maka saat itulah seni bicara. Sebab HAM adalah jantung seni, sebab seni adalah nurani,” tuturnya. Debra Yatim, perwakilan Yayasan Tifa, mengatakan bahwa seni rupa merupakan medium yang untuk mengekspresikan nurani manusia yang tidak dapat diurai dengan kata-kata. “Ketika kita tidak dapat berkata-kata dan berpendapat, marilah kita gunakan kreativitas kita untuk mengampanyekan hak hidup yang layak dan keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia,” ucapnya. Mengutip pada Albert Einsten, “creativity is contagious, pass it on!”, Debra berharap bahwa karya-karya yang dihasilkan kompetisi ini mampu memberikan inspirasi dan mendorong untuk menyampaikan pesan yang sama, yakni pesan yang menolak ketidakadilan dan penindasan HAM. Suzen HR. Tobing, Wakil Rektor Bidang Kerjasama, turut membacakan sambutan mewakili Seno Gumira Ajidarma, Rektor Institut Kesenian Jakarta dan Dewan Juri yang berhalangan hadir. Dalam tulisan Seno, seni bukan hanya sekadar pengetahuan namun juga literasi yang dihasilkan oleh perjumpaan dengan manusia dan pembaca benda seni sebagai teks yang dapat ditafsirkan kembali, “hubungan benda seni dan manusia yang semula personal dijadikan sosial, tempat kepentingan pribadi mengalami kontestasi kepentingan bersama. Lomba seni ini bukan hanya mendorong kerja seni berkualitas, melainkan juga kesadaran atas hak asasi manusia.” Karya-karya yang terpilih merupakan hasil penilaian dan diskusi lima orang dewan juri dengan beragam perspektif dan latar belakang. Kelima juri tersebut adalah Andi Achdian, Debra Yatim, Dolorosa Sinaga, Seno Gumira Ajidarma, dan Wardah Hafidz. Lebih jauh, Andi Achdian, selaku ketua dewan juri, menjelaskan bahwa kriteria yang digunakan diantaranya adalah relevansi karya dengan tema, aspek ekstetika, dan skill kreativitas. Menurutnya, inovasi atau kebaruan serta pengalaman dari karya yang dihasilkan merupakan poin terpenting dalam penilaian. Berdasarkan kriteria tersebut, terpilih 7 karya terbaik, yakni “Taksa” karya Gusti Raynaldi Cakramurti, “Ampun Pemerintah” karya Herdy Aswarudi, “Sentuhan HAM” karya Koko Sondaka, “Kesetaraan Gender” karya M. Farid, “Mbludak” karya Munir, “Menggapai Realita” karya Ndaru Ranuhandoko, dan “HaMunir” karya Rangga Samiaji Rinjani. Alfiah Rahdini dengan karyanya “Touch Me If You Dare” berhasil menempati juara kedua. Karya seni rupa Alfiah berupa patung yang menampilkan figur seorang perempuan yang sedang duduk, menggambarkan gestur angkuh. Di depan patung itu terukir pula tulisan, “you’ll be single forever if you touch this statue, but destiny is not in our hands.” Pasalnya, patung ini merupakan sebuah respons dan rekonstruksi atas patung Dewi Sunti Sunyaragi, sebuah patung sakral di Babad Cirebon yang ditakuti karena memiliki kisah sebagai seorang perawan tua hingga akhir hidupnya. Konon, siapapun yang memegang patung Dewi, akan mendapatkan kutukan yang sama. Melalui patung bergaya satir ini, Alfiah mencoba melawan mitos, persepsi, agama, dan budaya yang seringkali mengucilkan keberadaan dan keberanian seorang perempuan. Pemenang utama diraih oleh dua orang peserta, yakni Dessy Wahyuni dengan “Perjuangkan, Tumbuh, dan Berkembang” dan Raymond Gandayuwana dengan “For The Burnt Flower, I Race”. Menggunakan pictogram, karya Dessy menampilkan orang-orang yang terkurung dalam kotak. Kotak tersebut merupakan simbolisasi dari keterbatasan, keterkurungan, dan ketidakbebasan. Gestur orang-orang didalamnya mencerminkan perjuangan HAM, seperti perjuangan hak keadilan hukum, hak sandang pangan papan, hak pengobatan, dan lainnya. Dalam karya tersebut, ia menggambarkan perjuangan HAM yang terus tumbuh dan berkembang. Sementara, Raymond menghasilkan karya dengan merekonstruksi obyek keseharian. Menurutnya, salah satu pemenuhan hak atas kehidupan yang layak dapat diwujudkan melalui penyediaan sarana dan fasilitas umum, seperti fasilitas tenaga listrik. Karyanya mengajak pengunjung untuk menjadi bagian melalui gerakan mengayuh sepeda yang akan menghasilkan corak kelopak-kelopak bunga yang mengeluarkan panas dan nyala api. Karya seni rupa kesepuluh seniman ini dapat dinikmati di Area Pameran, Lantai 4, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat pada tanggal 23-29 Mei 2019. Selanjutnya, karya-karya pemenang tersebut akan pula dihadirkan dalam Museum HAM Omah Munir di Kota Batu, Jawa Timur. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Gerakan sosial merupakan tulang punggung dalam proses demokratisasi Indonesia. Sebab melalui gerakan sosial kritik terhadap kehidupan bernegara diproduksi dan tuntutan atas perubahan dilahirkan. Gerakan sosial sebelum reformasi hingga saat ini tidak dapat dipisahkan dari peran penting gerakan perempuan. Namun hari-hari ini gerakan sosial—gerakan perempuan mendapat sejumlah tantangan baik dari dalam dan luar dirinya sendiri. Hal ini perlu mendapat perhatian, sebab melemahnya gerakan sosial mengancam keberlangsungan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Jakarta (16/05), dalam rangka memperingati 21 tahun Peristiwa Mei 98, Komnas Perempuan mengadakan diskusi publik dengan tema “Perempuan dan Gerakan Sosial di Indonesia”. Diskusi ini adalah penyajian awal dari proses dokumentasi yang telah dilakukan oleh penulis buku komnas perempuan yaitu Ruth Indah Rahayu (Peneliti Inkrispena), Sri Palupi (Peneliti Ecosoc Institute), Iswanti (Peneliti). Mariana Amirudin (Komisioner Komnas Perempuan) selaku moderator membuka diskusi dengan melontarkan pertanyaan: Mau ke mana gerakan sosial kita? Ruth dalam kesempatan tersebut mempersoalkan tentang tantangan otoritarianisme terhadap gerakan perempuan. Menurut Ruth gerakan perempuan adalah momentum terjadinya konsolidasi berbagai organisasi perempuan untuk mendorong agenda politik bersama. Setidaknya ada dua hal yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan yaitu agenda politik perempuan dan agenda politik yang bersifat umum sebagai warga negara. Menurut Ruth gerakan perempuan di Indonesia tidak sekadar bicara soal kekerasan terhadap perempuan tapi juga kritik terhadap otoritarianisme. Baginya agenda politik melawan kekerasan terhadap perempuan telah berhasil menjadi simpul yang mengonsolidasi gerakan perempuan sebelum reformasi. Setelah reformasi konsolidasi beralih pada isu peningakatan keterwakilan perempuan di parlemen. Ruth juga menjelaskan bahwa setelah tahun 2004 gerakan perempuan mengalami divergensi. Pada periode ini tumbuh serikat-serikat berbasis sektoral di lokal. Dalam paparannya, Ruth menyadari sejumlah capaian gerakan perempuan pascareformasi, akan tetapi setelah 21 tahun reformasi 98, gerakan perempuan menghadapi tantangan serius yaitu tumbuhnya kekuatan yang berupaya membalikkan isu-isu yang diperjuangkan perempuan. “Kekuatan ini mengatasnamakan agama dan melancarkan wacana pro poligami, anti feminis, kesetaraan gender yang syariah, menfitnah feminis anti keluarga, pernikahan muda YES, RUU PKS dituding sebagai pro-zina dan lainnya” begitu ungkapnya. Menurut Ruth munculnya kekuatan anti feminis kerap kali ditujukan sebagai usaha melemahkan dan menjinakkan perempuan. Modus ini perlu dikritisi sebab pelemahan gerakan perempuan adalah pelemahan terhadap demokrasi. Bagi Ruth penjinakan perempuan adalah modus politik otoritarian dan atau politik fasis. Sebab bila gerakan perempuan dilemahkan maka mereka akan mudah dimobilisasi ke berbagai kepentingan massa yang seringkali jauh dari agenda perempuan. Dalam diskusi tersebut Iswanti juga memaparkan keprihatinannya pada tantangan gerakan perempuan di Indonesia dalam kaitannya dengan lembaga donor. Bagi Iswanti, LSM memiliki peran penting dalam demokratisasi Indonesia. Sementara saat ini keberlangsungan LSM di Indonesia sedang rentan terkait relasinya dengan lembaga donor. Iswanti menyatakan bahwa banyak lembaga donor memberikan dukungan pada organisasi masyarakat sipil, artinya lembaga donor berkontribusi pada tumbuh dan berkembangnya organisasi masyarakt sipil dan menyumbang pada sejumlah kemajuan pada isu perempuan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh LSM dalam kerjasamanya dengan donor. Sebab menurut Iswanti agenda lembaga donor sedikit-banyak memengaruhi gerak LSM. “Lembaga donor memiliki peran dan pengaruh bagi LSM, hampir tidak ada LSM yang tidak terkait dengan lembaga donor. Meskipun LSM-LSM kita bukan didirikan oleh para lembaga donor tetapi bagaimana agenda mereka memengaruhi bagaimana metode dan kegiatan LSM,” tutur Iswanti. Iswanti menyadari bahwa lembaga donor telah berkontribusi pada gerakan perempuan, namun ia melihat pula bahwa mekanisme kerjasama LSM dan donor telah menghilangkan semangat gerakan sosial yang berlandaskan nilai-nilai gotong-royong, kerelawanan dan lain sebagainya. Ia menyayangkan bahwa pelembagaan gerakan sosial telah menghasilkan kondisi ketergantungan, tidak mampu mengkritik lembaga donor dan gagal dalam pendidikan kritis masyarakat. Iswanti menyarankan tentang pentingnya memikirkan alternatif pendanaan, karena jika tidak Indonesia mengalami sebuah krisis demokrasi. Kondisi dimana negara beroperasi tanpa kritik dari masyarakat yang selama ini kebanyakan dilakukan oleh LSM, padahal di sisi lain kekuatan-kekuatan berbasis agama anti demokrasi, anti feminis saat ini menguat dan mulai menggeser peran-peran masyarakat sipil. Diskusi mengenai kondisi gerakan sosial di Indonesia ini merupakan sebuah refleksi atas 21 tahun reformasi. Penting agar kita menoleh ke belakang agar kita mampu tentukan apa saja yang mampu kita lakukan untuk menjaga demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia. (Abby Gina) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama dengan Amnesty Internasional Indonesia (AII), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), serta komunitas Paguyuban Mei 1998 kembali memperingati 21 tahun Tragedi Mei 1998 di kompleks pemakaman massal korban Tragedi Mei 1998, TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, pada hari Senin (13/05). Dengan tajuk “Mei Sebagai Bulan Perjuangan”, peringatan tahunan Tragedi Mei 1998 ini merupakan upaya merawat ingatan dengan harapan agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan) dalam sambutannya menceritakan peran Komnas Perempuan dalam tragedi Mei 1998. “Kami punya latar belakang yang lahir dari gerakan perempuan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Ada tiga hal yang perlu diingat oleh masyarakat maupun negara, yakni kerusuhan, penculikan atau penghilangan paksa, dan perkosaan. Komnas Perempuan lahir dari tangis dan jerit perempuan dan keluarga yang menjadi korban perkosaan tersebut. Pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pun dilakukan untuk mencari keadilan, namun sampai sekarang masih mengalami penyangkalan karena dianggap tidak ada bukti-bukti,” tuturnya. Lebih jauh, Mariana juga menceritakan peringatan ini sempat pula menjadi perhatian pemerintah. Selain memorial yang dibangun dan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2015, Basuki Tjahaja Purnama, peringatan ini pun pernah dihadiri oleh presiden RI ke-3, B.J. Habibie di tahun 2017. Beliau juga pernah berjanji untuk membawa suara-suara pencari keadilan ini kepada Presiden Joko Widodo. Namun, dua tahun terakhir tidak ada lagi lembaga negara selain Komnas Perempuan dan Komnas Hak Asasi Manusia yang terlibat, akan tetapi Mariana berjanji untuk terus berjuang dalam mencari keadilan Tragedi Mei 98. “Komnas Perempuan harus terus berjalan sebaga lembaga negara hak asasi manusia yang memiliki tugas, amanat, dan kewajiban untuk terus membantu, mendampingi, dan memberi semangat kepada masyarakat sipil dan korban. Apabila ini adalah sebuah kebenaran, mari sama-sama kita perjuangkan,” ujarnya. Sementara, Darwin selaku perwakilan Paguyuban Mei 1998 menyampaikan rasa syukur sekaligus optimismenya, “saya sangat bersyukur masih ada perhatian yang diberikan kepada kasus ini. Saya berterima kasih kepada lembaga-lembaga yang terus mendukung, juga atas kehadiran anak-anak muda hari ini. Saya melihat banyak rekan-rekan baru yang memiliki rasa inisiatif yang tinggi, mudah-mudahan di kemudian hari akan semakin banyak yang hadir dan semoga tidak pernah lelah untuk mendampingi kami, korban dan keluarga korban. Teruslah kita berjuang bersama-sama, jangan sampai terulang lagi tragedi Mei 1998”. Perwakilan IKOHI, Sri Hidayah, turut mengajak untuk terus memperjuangkan keadilan. Menurutnya, perjuangan selama 21 tahun ini mengisyaratkan perjalanan yang panjang. Oleh karena itu, semangat dan harapan perlu terus dikobarkan untuk mencapai keadilan yang dicita-citakan. “Tuntutan selalu kita kumandangkan, teman-teman media turut membantu menyuarakan, semoga generasi-generasi muda akan lebih bersemengat dan giat untuk mencari kebenaran,” tuturnya. Kemudian, Manajer Kampanye AII, Puri Kencana Putri menyampaikan harapan untuk pemerintahan baru agar dapat memberikan penyelesaian terhadap tragedi Mei 1998, “AII ingin terus meneguhkan kekuatan para keluarga korban dan korban untuk tetap semangat dan untuk tetap menagih janji pemerintah dan negara Indonesia. Kelak, nama yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden memiliki agenda untuk mengungkap dan memberikan penyelesaian terhadap kasus-kasus di masa lampau, salah satunya adalah peristiwa Mei 1998. Sudah menjadi kewajiban bagi negara Indonesia untuk memberikan jaminan negara hukum, termasuk memulihkan kembali hak-hak keluarga korban dan korban. Peristiwa ini penting diingat sebagai memori yang kelam, agar jangan sampai terjadi lagi pada generasi-generasi berikutnya” tuturnya. Refleksi terakhir disampaikan oleh Feri Kusuma, Wakil Koordinator KontraS. Menurutnya, proses pencarian keadilan untuk mengungkap peristiwa ini terus terhambat karena adanya kekuasaan. Pihak yang diduga terlibat atau bertanggung jawab menduduki posis-posisi strategis di pemerintahan. “Seharusnya tidak boleh ada ruang bagi mereka di dalam pemerintahan maupun ruang publik lain sebagai sanksi sosial. Tapi, yang terjadi pada hari ini adalah orang-orang ini semakin berkuasa yang pada akhirnya menekan dan menghambat proses penanganan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu. Tidak ada masa depan yang lebih cerah kalau kita meninggalkan masa lalu dalam kegelapan,” tegasnya. Pernyataan bersama kemudian dibacakan oleh masing-masing perwakilan koalisi lembaga dan komunitas korban Tragedi Mei 1998 melalui beberapa tuntutan, yakni: 1) Memutus belenggu impunitas dalam upaya penuntasan kasus tragedi Mei 1998. Hal ini bisa dilakukan oleh Presiden terpilih nantinya dengan tidak menempatkan terduga pelaku pelanggaran HAM dalam kekuasaan pemerintahan guna mempermudah penegakan hukum dan juga menjamin good governance yang harusnya bersih dari individu-individu yang mempunyai rekam jejak negatif dalam isu HAM; 2) Menjadikan tragedi Mei 1998 sebagai sebuah penanda dan titik tolak demokratisasi di Indonesia. Perjuangan menggerus otoritarianisme yang mengorbankan ribuan nyawa ini harus menjadi upaya reflektif bersama bagi para elite politik dan juga masyarakat Indonesia untuk menyudahi budaya kekerasan di Indonesia. Untuk melenyapkan budaya kekerasan, pemerintah harus menghindari laku diskriminatif maupun menjamin hak warga negara seperti berorganisasi, berekspresi, dan jaminan perlindungan hukum, serta kepastian hukum yang setara bagi semua lapisan masyarakat; dan; 3) Menjadikan memorialisasi seperti yang telah dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam mengenang peristiwa kekerasan Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, agar dilakukan juga terhadap situs atau tempat-tempat pelanggaran HAM di seluruh Indonesia. Hal ini bisa menjadi sebuah rambu-rambu di masa depan agar tidak pernah terjadi lagi peristiwa keji yang mengorbankan nyawa manusia Indonesia. Langkah ini adalah juga langkah minimalis yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia seluruh warga negara. Doa bersama dan penaburan bunga di atas makam korban menjadi agenda terakhir dalam peringatan Tragedi Mei 1998 ini. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Dalam rangka memperingati Hari Kartini, Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) mengadakan diskusi berjudul “Kita Kartini: Mengenal Bagaimana Perempuan Berjuang Bersama Saat Ini” pada 25 April 2019 di Kantor MAMPU, Jakarta Selatan. Diskusi ini dihadiri oleh Lies Marcoes (Ahli Kajian Islam dan Gender), Muhayati (Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia), Sri Mulyati (Sekolah Perempuan), serta para perempuan gerakan akar rumput. Diskusi ini dibuka dengan pemaparan dari Lies Marcoes yang menjelaskan tentang aksi kolektif perempuan dalam konteks sejarah berjudul “Membaca Aksi Kolektif Perempuan dalam Konteks Perempuan Indonesia”. Lies menjelaskan bahwa aksi kolektif perempuan bermula pada era pergerakan perempuan melalui fraksi-fraksi feminisme. “Di zaman masa pergerakan bangsa, ideologi yang menggerakan perempuan salah satunya adalah feminisme, yang berangkat dari gelombang feminisme liberal. Feminisme ini ingin menyamakan perempuan di ruang publik dan memperjuangkan hak politik. Begitu pula Kartini, ia merupakan feminis liberal karena percaya bahwa perempuan tidak bisa maju tanpa adanya pendidikan. Pendidikan berperan dalam menyamakan perempuan dengan laki-laki, atau emansipasi”, jelas Lies. Lebih jauh, Lies mengatakan bahwa pada masa Kartini, pelibatan perempuan dalam persoalan politik sudah terbentuk melalui pendidikan yang menghadirkan diskusi terkait perdagangan perempuan (trafficking) dan pergundikan. Kemudian, pada era orde lama, pelibatan perempuan semakin intensif dimana perempuan terlibat dalam aktivitas politik di bawah naungan partai-partai politik. Aksi kolektif perempuan pada masa ini mampu menjangkau tingkat nasional hingga akar rumput, seperti oganisasi Gerwani yang memberikan pendidikan politik sebagai bagian dari proyek buta huruf. Namun, orde baru menutup ruang kebebasan tersebut. Rezim tersebut tidak menyediakan ruang perbedaan. Aksi kolektif perempuan yang kritis dibatasi, kemudian rezim oder baru membentuk organisasi perempuan seperti PKK, Dharma Wanita, dan kegiatan-kegiatan yang mengikutsertakan perempuan lainnya dalam rangka melanggengkan ideologi ibuisme. “Adanya permasalahan penyeragaman dan kaki tangan partai politik ini memunculkan banyak LSM perempuan. Pada tahun 1980an, setelah Konferensi Internasional Perempuan, LSM berbasis penelitian, dengan latar belakang universitas, dengan sumber bacaan Bahasa Inggris, yang tentunya berasal dari kelas elite-menengah, berusaha masuk ke akar rumput melalui dua aktivitas, yakni gerakan buruh dan pekerja rumahan”, tutur Lies. Lebih jauh, Lies menjelaskan bahwa ada usaha lain yang dilakukan gerakan perempuan untuk mendapatkan kebebasan ialah melalui konvergensi LSM feminis sekuler dengan feminis Islam. Menurutnya, aksi ini berhasil menciptakan watak baru, perempuan-perempuan Islam yang bekerja di akar rumput mampu melakukan kajian kritis gender. Namun, jika melihat pada kondisi saat ini, ruang kebebasan berpendapat justru dijadikan sebagai ruang kontestasi isu perempuan yang melihat kebebasan perempuan dan feminisme sebagai ancaman. Lies menyatakan pemikiran kritisnya terkait persoalan ini, “kelompok perempuan terlalu sibuk menulis sendiri, berasal dari kaum elite, sehingga ideologi kanan tidak memiliki tandingan. Selain itu, fakta bahwa belum ada aksi kolektif perempuan yang memiliki ideologi feminis dan bersifat masif membuat aksi kolektif perempuan terbatas atau justru tidak memberikan kebebasan bagi perempuan,” tutur Lies. Setelah paparan dari Lies Marcoes, hadir seorang penggerak akar rumput, Muhayati mewakili Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI). Ia berbagi kisah mengenai kegiatan perempuan di daerahnya yaitu di Penjaringan, Jakarta Utara. Berangkat dari persoalan pribadi mengurus akta kelahiran untuk keluarganya, Muhayati terpilih menjadi koordinator pelengkapan dokumen kewarganegaraan. Salah satu pekerjaanya adalah menangani Muhayati pengurusan BPJS Kesehatan untuk warga setempat. Bekerja sama dengan Trade Union Rights Center (TURC), ia melakukan sosialisasi BPJS untuk warga. Melalui aktivitas tersebut, ia menemukan bahwa rumitnya prosedur persyaratan pembuatan BPJS Kesehatan menciutkan nyali para warga. Atas bantuan TURC, Muhayati mencoba untuk menyuarakan permasalahan tersebut dan berhasil menembus dinding lapisan birokrasi. Usahanya berdampak besar, kini prosedur pengurusan BPJS jauh lebih mudah. Di balik itu, banyak pula rintangan yang harus Muhayati hadapi ketika ia memutuskan untuk aktif berorganisasi. Bekerja sebagai pekerja rumahan tanpa ada batasan waktu kerja telah menuntutnya untuk pandai membagi waktu. “Ikut berorganisasi sambil membereskan rumah dan pekerjaan, disitu banyak belajar bahwa perempuan harus maju dan harus bisa terlibat di masyarakat sendiri, jangan cuma laki-laki yang berorganisasi,” ceritanya. Saat ini, Muhayati sedang memperjuangkan hak pekerja rumahan agar diakui keberadaannya oleh negara sekaligus memberdayakan masyarakat melalui pembentukan kelompok belajar dan bermain anak yang inklusif. Begitu pula dengan Sri Mulyati yang tergabung dalam organisasi Sekolah Perempuan berbasis di Jatinegara Kaum. Sekolah Perempuan telah membuat Sri percaya diri dan menyadari bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin. Ia pun berbagi cerita mengenai keaktifannya melalui Sekolah Perempuan dalam memberdayakan masyarakat. Salah satu capaiannya, ia berhasil membuka Posko Pengaduan Lansia di rumahnya sendiri. Meskipun sempat dilihat sebelah mata, semangat Sri tak surut dalam mensosialisasikan Sekolah Perempuan. “Masyarakat luar menyepelekan Sekolah Perempuan, namun kami terus melakukan sosialisasi kepada badan pemerintah, dalam kasus kami lurah ya, sehingga akhirnya mampu membangun kesadaran bahwa perempuan dapat memimpin,” tutur Sri. Pada akhir diskusi, ia menekankan bahwa gerakan perempuan akar rumput tidak dapat berdiri sendiri, diperlukan dukungan untuk organisasi-organisasi perempuan tersebut, khususnya dari pemeritah. “Saya ingin pemerintah untuk lebih menerima aspirasi perempuan,” tutupnya. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Senin (15/4), Amnesty International (AI) meluncurkan dokumen yang berisi sembilan isu utama hak asasi manusia (HAM) yang harus diprioritaskan oleh para kandidat presiden dan legislatif yang akan terpilih pada pemilu mendatang. Sembilan agenda HAM tersebut meliputi hak atas kebebasan berekspresi; hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, beragama dan berkepercayaan; pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM masa lalu; kekerasan oleh aparat keamanan; hak perempuan; kondisi HAM di Papua; akuntabilitas atas pelanggaran HAM oleh perusahaan sawit; penghapusan hukuman mati; dan perlindungan terhadap hak-hak LGBTI. Dalam jumpa pers di kantor AI, Papang Hidayat, peneliti senior Amnesty International mengatakan penyampaian agenda HAM untuk kandidat yang berkampanye merupakan tradisi AI yang sudah berlangsung sejak 2009 di Indonesia. Bidang-bidang prioritas tersebut didasarkan pada penelitian dan kegiatan AI di Indonesia dan temuannya sudah pernah dilaporkan sebelumnya. “Sembilan isu yang dimunculkan dalam dokumen merupakan kompilasi dari kerja-kerja AI sejak tahun 1960-an. Dari kompilasi tersebut, ada isu yang terus-menerus muncul dan tidak pernah menghilang,” ujar Papang. Acara peluncuran dihadiri Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik serta perwakilan dari masing-masing tim sukses kandidat presiden, Kyai Maman Imanulhaq dari Tim Kampanye Nasional Jokowi Amin (TKN) dan Ferry Mursyidan Baldan dari Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi (BPN). Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komnas HAM menyambut baik dan mengapresiasi AI atas agenda yang disampaikan. “Perspektif HAM masih belum menjadi kerangka berpikir umum dalam membangun politik negara. Contohnya pada debat kandidat capres-cawapres dimana isu HAM tidak menjadi kerangka utuh dalam debat namun hanya sekadar box kecil saja dalam keseluruhan debat,” ujar Taufan Damanik. Ia menambahkan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sangat krusial. Penuntasan kasus tersebut merupakan bukti bahwa keadilan bisa ditegakkan di Indonesia. Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia menyampaikan pemerintah terpilih diharapkan bisa memperbaiki kondisi HAM di Indonesia. “Agenda HAM yang kami ajukan ini mengedepankan rencana aksi konkret yang harus dikerjakan oleh pemerintah dan parlemen berikutnya untuk memperbaiki situasi HAM di Indonesia setelah keadaan yang memburuk dialami oleh begitu banyak individu dalam empat setengah tahun terakhir, terutama kaum minoritas dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya,” kata Usman dalam siaran persnya. Dalam dokumen berjudul “Prioritaskan HAM: 9 Agenda untuk Pemerintah dan Parlemen Terpilih”, AI juga menyoroti isu-isu yang berkaitan dengan hak perempuan seperti penerapan qanun jinayat di Aceh, sunat perempuan (female genital mutilation), minimya perlindungan hukum bagi PRT, ketiadaan payung hukum terkait kekerasan seksual dan belum optimalnya perlindungan bagi pekerja migran yang tidak terdokumentasi. Selain itu, AI juga menegaskan kegagalan pemerintah dalam mengambil langkah-langkah efektif untuk memberikan keadilan, kebenaran dan reparasi bagi perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban pelanggaran HAM di masa lalu. Magdalena Sitorus, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang hadir dalam acara tersebut mengungkapkan pentingnya pengesahan RUU Penghapusan kekerasan Seksual. “Secara substansi RUU PKS berbicara mengenai penghapusan kekerasan seksual, siapapun yang menjadi korban dan apapun latar belakangnya. Yang dibutuhkan saat ini adalah payung hukumnya tetapi pembahasan bergeser ke isu-isu lain,” tegasnya. Berkaitan dengan pelecehan, intimidasi, serangan dan diskriminasi yang dialami kelompok LGBTI, Taufan mengungkapkan adanya langkah sistematik untuk membalikkan diskursus yang ditunjukkan munculnya perda-perda yang mendiskriminasi LGBTI dan adanya bias aparat pemerintah dan penegak hukum. “Siapapun yang menang dalam pemilu nantinya akan terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, maka dari itu perlu dilakukan legal review terhadap kebijakan yang ada. UU yang tidak sejalan dengan prinsip HAM perlu direvisi,” ujarnya. Ia berharap kebijakan negara di masa mendatang lebih sesuai dengan standar HAM. (Dewi Komalasari) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |