![]() Dalam rangkaian acara pameran lukisan “Perempuan-Perempuan Menggugat”, diselenggarakan diskusi interaktif pertama pada 22 Agustus dengan tema “Perjuangan Perempuan dalam Berbagai Dimensi”. Hadir sebagai narasumber adalah Toeti Heraty, Thamrin Amal Tomagola, dan Saparinah Sadli, dengan Eka Budianta sebagai moderator. Diskusi ini membahas kiprah para perempuan pemimpin Indonesia dalam berbagai dimensi, mulai dari Rainha Boki Raja (Ratu Ternate) hingga perempuan lansia pada masa sekarang ini. “Kisahnya berawal karena pala dan cengkih,” ujar Toeti yang akan memulai ceritanya tentang Rainha Boki Raja, putri Sultan Tidore yang berani melawan Portugis yang datang ke tanah mereka demi eksploitasi rempah. Menurutnya, Rainha Boki Raja (yang bernama asli Nyai Cili Nukila) adalah salah satu sosok perempuan Indonesia yang hebat, bahkan mungkin paling hebat di antara yang lainnya ketika itu. Perjuangannnya dimulai ketika ia berusia 15 tahun. Atas nama politik, ia dinikahkan oleh sang ayah dengan Bayanullah (Sultan Ternate) yang usianya 35 tahun lebih tua darinya. Banyak intrik rumah tangga dan politik yang dihadapinya. Singkat cerita, pada akhir masa hidupnya, Rainha Boki Raja berhasil memenangkan pertempuran melawan Portugis dengan merebut benteng mereka, lalu menyelamatkan dua anaknya yang ditawan. Hingga kemudian ia pun mendapat gelar Boki Raja, yang artinya Putri (princess) yang menjadi Raja. Tragisnya, kisah hidup Rainha Boki Raja terlupakan sama sekali dalam sejarah Indonesia. Toeti menyayangkan hal ini. Namun, Seruni menghidupkannya kembali dalam karya lukisannya yang diberi judul “Balada Ratu Tanah Rempah”. Lanjut ke pembicara kedua, Thamrin mengisahkan perjuangan perempuan dari pulau yang sama, yaitu Ternate, dalam periode setelah 1900-an. Berdasarkan pengalamannya sebagai putra Ternate dan sosiolog, ia membenarkan bahwa perempuan-perempuan Ternate memang cenderung lebih kuat. Menurutnya, ada sisi kultural yang menyebabkan hal tersebut, salah satunya adalah kegiatan melaut untuk mencari ikan dipimpin oleh perempuan sebagai nahkoda. Perempuan-perempuan Ternate sejak kecil sudah dididik untuk kuat dan bisa memimpin. Tanah-tanah di sana pun harus dimiliki atas nama perempuan, bukan laki-laki. “Karena itu, tak heran secara kultural memang perempuan Ternate ‘dikonstruksi’ untuk menjadi kuat dan berkuasa,” imbuhnya. Lintas zaman, Saparinah memaparkan kisahnya mewakili perempuan lansia. Menurutnya, lansia bukan berarti tak berdaya, bukan berarti menjadi beban keluarga, bukan berarti tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ia menjelaskan bahwa, kita sebagai lansia masih bisa beraktivitas secara aktif dan berkarya. “Bahkan seharusnya, produktivitas para lansia ini didukung oleh pemerintah.” Di akhir, ia pun membagikan slogan yang dianutnya sebagai lansia, bahwa menjadi lansia itu harus SMART (Sehat, Mandiri, Aktif, Rajin, Teliti). Dedikasinya terhadap gerakan perempuan hingga kini terus dilakukannya dalam berbagai cara dan bentuk. Pendiri program studi Kajian Gender Universitas Indonesia ini bersama dengan teman dan koleganya mendirikan komunitas Sahabat Lansia Tangguh. (Shera Ferrawati) ![]() Guna mengisi kekosongan narasi perempuan dalam diskursus sejarah seni rupa Indonesia, Cemara 6 Galeri-Museum bersama SEA Junction menyelenggarakan Pameran Tunggal Seruni Bodjawati dan Peluncuran Buku Esthi Susanti Hudiono yang bertempat di Cemara 6 Galeri-Museum. Pembukaan acara yang dilaksanakan pada 21 Agustus 2019, dimulai dengan sambutan dari Inda C. Noerhadi (Direktur Cemara 6 Galeri-Museum), Dr. Rosalia Sciortino (Pendiri dan Direktur SEA Junction), dan Kamala Chandrakirana (aktivis hak asasi perempuan). Setelah itu acara dilanjutkan dengan pembubuhan tanda tangan di poster acara sebagai bentuk peresmian pameran secara simbolis. Dialog intens antara Esthi Susanti Hudiono (penulis dan aktivis intelektual) dengan Seruni Bodjawati (pelukis) melahirkan kolaborasi yang apik, LITERASI RUPA. “Buku Esthi yang menitikberatkan pada kemerdekaan-aktualisasi diri sebagai perempuan untuk menjadi diri yang seutuhnya telah menginspirasi Seruni untuk memvisualisasikan para perempuan pemimpin dalam wujud lukisan yang identik dengan guratan, garis, serta atribut-atribut simbolis,” ujar Inda. “Ide Ibu Esthi mengenai pameran tentang tokoh-tokoh perempuan Indonesia langsung saya sambut dengan semangat,” ungkap Seruni. Karya lukisan Seruni yang dipamerkan terdiri dari 29 tokoh sejarah perempuan lintas zaman, yang hidup pada tahun 833 sampai 2019, yang dikategorikan dalam 9 zaman (Prakolonial, VOC, Hindia Belanda, Jepang, Masa Perang Kemerdekaan, Liberal, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan Reformasi). Kesemua tokoh ini dilukis Seruni Bodjawati dalam semangat Menghidupkan yang Terlupakan. Beberapa tokoh yang dilukisnya antara lain Martha Christina Tiahahu (remaja putri yang bersama ayahnya memilih perang melawan kolonial) dan Marsinah (perempuan buruh pabrik yang berjuang memperbaiki nasib buruh perempuan, yang juga menjadi simbol perjuangan buruh perempuan di Indonesia). Buku Perempuan-Perempuan Menggugat, Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonesia, Esthi menulisnya melalui studi literatur dan dialog dengan mereka yang paham tentang tokoh perempuan Indonesia sejak Oktober 2017 lalu. Buku ini mengangkat semangat perjuangan perempuan-perempuan lintas zaman dalam melawan penindasan dan ketidakadilan yang ada di keluarga, masyarakat, dan negara. Melalui studinya tersebut, Esthi pun menemukan banyak hal-hal reflektif, salah satunya adalah bahwa feminisme justru ada di tatanan lama Nusantara. Lia menambahkan, “Ada risiko perempuan ‘dihilangkan’ dari peradaban sosial, dan oleh karenanya lebih penting lagi mempresentasikan para tokoh perempuan dan kiprahnya di ruang publik (di samping ruang domestik) dengan media visual”. Menurutnya, “Perempuan-Perempuan Menggugat” adalah legitimasi dan proklamasi untuk para tokoh perempuan masa lalu. Lebih dari itu, adalah penuntutan masa depan yang adil dan setara. Melalui LITERASI RUPA, semangat feminisme diharapkan masih terus bergulir. Seiring perkembangan dan kemajuan zaman, perempuan Indonesia semakin disebut namanya dan menunjukkan daya cipta kreativitasnya serta mendapat ruang yang patut diperhitungkan. Diharapkan pula acara ini menjadi pengenalan diri sebagai bangsa (khususnya kepada generasi muda) agar bisa membangun diri dan masa depan. Selama masa pameran (21–31 Agustus 2019) ini ada lima kegiatan yang akan berlangsung, yang terdiri dari tiga diskusi interaktif, bedah buku, serta pemutaran film dan diskusi tokoh yang difilmkan. (Shera Ferrawati) ![]() Sebagai bentuk dukungan untuk pembahasan lebih lanjut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Panja dan Pemerintah, Jaringan Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) pada Rabu (07/08) mengadakan acara bertema “Fakta Kekerasan Seksual adalah Urgensi Disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di Gedung LBH Indonesia. Acara ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Umi Lasminah (Warta Feminis), Dewi Astuti (Rumah Faye), Oki Wiratama (LBH Jakarta), dan perwakilan dari LBH APIK. Sesuai dengan temanya, acara ini membahas urgensi disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didukung fakta-fakta lapangan dan kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan, khususnya lansia. Seperti yang diungkap Umi Lasminah, pihaknya menerima banyak laporan kasus kekerasan seksual yang dialami lansia. “Juli kemarin, di Aceh ada seorang nenek berumur 74 tahun yang diperkosa,” ungkapnya. Ia menambahkan, “Parahnya, si pelaku menyatakan akan bertanggung jawab bila korban hamil”. Ia menilai hal ini tentu suatu penghinaan yang luar biasa pada perempuan lansia, karena mereka yang telah menopause tentu sedikit kemungkinan akan hamil. Kasus kekerasan seksual yang dialami lansia seperti ini jelas menjadi fakta yang harus menjadi pertimbang serius. Kasus ini juga mematahkan stigma yang melekat selama ini bahwa korban kekerasan seksual hanyalah mereka yang masih muda dan kekerasan seksual terjadi diakibatkan perilaku atau pakaian seseorang. Dewi Astuti kemudian menambahkan fakta lainnya. “Dari kasus-kasus yang dilaporkan dan diterima oleh Rumah Faye, 80% adalah kasus kekerasan seksual,” ujarnya. Ia menggarisbawahi bahwa perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual karena perempuan dianggap lemah, terlebih mereka yang lansia. Hal ini juga tentu berkaitan dengan relasi kuasa. Contoh lain yang ia paparkan adalah relasi antara orangtua (ayah) dan anak. Rumah Faye pernah menangani kasus anak perempuan berumur 12 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh sang ayah kandung dan ayah angkat. Dengan adanya relasi kuasa ini, mereka merasa memiliki hak dan kuasa lebih untuk melakukan kekerasan seksual kepada sang anak, sebaliknya sang anak tak kuasa melawan relasi kuasa tersebut. Di lain sisi, Oki Wiratama menjelaskan kasus yang pernah ditanganinya, yaitu kasus lansia yang diperkosa bahkan hingga meninggal. Kilas balik ke belakang berdasarkan kasus-kasus yang ditanganinya itu, ia menekankan bahwa sudah saatnya kita harus menghilangkan stigma kepada korban, berhenti melakukan viktimisasi kepada korban. “Hilangkan stereotipe ‘Oh, dianya saja kali yang centil’, ‘Pakai baju seksi sih’, ‘Kayaknya dia yang kegatelan’, dan lainnya”. Hal ini membuat beban yang ditanggung korban semakin berat, dan karena sudah terbukti pula kasus kekerasan seksual tidak hanya dialami para perempuan muda, melainkan juga menimpa mereka yang lansia. Dengan adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, diharapkan pula akan mengatur beban pembuktian yang tidak lagi diberatkan kepada korban. Oki Wiratama menuturkan, “Kalau di dalam KUHAP, minimal dibutuhkan dua alat bukti yang sah. Ini sudah pasti memberatkan. Lain halnya dengan di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengatur cukup satu saja alat bukti yang sah”. Kemudian, ia menyayangkan belum ada secara menyeluruhnya struktur Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di setiap Polsek. Hal ini tentu akan menyulitkan dan meribetkan korban karena harus melapor ke Polda. Selain itu, hal lain yang meresahkan adalah masih banyaknya penyidik yang tidak berperspektif pada korban, mereka justru sering kali menyudutkan korban. Perwakilan dari LBH APIK pun sependapat dengan paparan Oki bahwa perspektif penegak hukum harus lebih mengarah pada korban. Ia menambahkan, “Terkadang laporan mengenai kekerasan seksual yang dialami lansia ini tidak percaya, mereka memandangnya sebelah mata”. Sulitnya pembuktian secara non-fisik pun menjadi hambatan tersendiri bagi korban. Padahal, kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik. Dengan terus meningkatnya kasus kekerasan seksual ini, bahkan menimpa pada lansia, tentu mengindikasikan keurgensian disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar tidak muncul perempuan korban lainnya. Tapi, perlu diperhatikan pula dan dikaji secara komprehensif setiap pasal-pasalnya agar tidak menjadi pasal karet, bahkan sampai merugikan korban. Supaya dengan begitu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu mengakomodasi kebutuhan para korban. (Shera Ferrawati) ![]()
Jumat (01/08), MAMPU mengadakan diskusi berjudul âThe Individual Deprivation Measureâ atau IDM. Diskusi yang menghadirkan Prof. Sharon Bessell (Ketua Tim IDM) dan Dr. Angie Bexley dari Crawford School of Public Policy, Australian National University sebagai narasumber ini bisa dibilang merupakan kegiatan pemaparan hasil penelitian dari Tim IDM mengenai pengukuran kemiskinan suatu negara. Sebanyak 2.883 responden dari enam negara (salah satunya Indonesia) menjadi objek kajian dalam penelitian ini.
Prof. Sharon Bessell memulai paparannya dengan menyampaikan aspek kebaruan dari penelitian ini. Menurutnya, ukuran utama tingkat kemiskinan yang dipakai oleh suatu negara sekarang ini tidak lengkap dan tidak mengenal gender. Padahal, penting untuk mengkaji bagaimana kemiskinan itu membentuk, membatasi, dan seringkali menghancurkan kehidupan bukan hanya laki-laki, melainkan juga perempuan secara berbeda. Lebih jauh, aspek terkait dimensi gender, usia, disabilitas, dan suku memengaruhi kemiskinan secara individu. IDM menawarkan alternatif guna memperkaya pengukuran tingkat kemiskinan yang dipakai suatu negara. Sharon Bessell menekankan bahwa IDM bersifat individual, sensitif gender, multidimensi, interseksional, dan skalarâberbeda dengan pengukuran kemiskinan yang sudah ada sebelumnya. Kemudian, Angie Bexley menambahkan, âIDM melihat lebih detail dari berbagai kelompok yang tertinggal dalam pembangunanâ. Maka dari itu, unit analisis IDM adalah individu, bukan rumah tangga. IDM juga mempertimbangkan 15 dimensi kehidupan masing-masing individu yang saling berhubungan sebagai alat ukur. Kelima belas dimensi tersebut adalah makanan, air, tempat bernaung, kesehatan, pendidikan, energi atau bahan bakar, sanitasi, relasi sosial, pakaian, kekerasan, keluarga berencana, lingkungan, suara atau pendapat, penggunaan waktu, dan pekerjaan. Menurutnya, kelima belas dimensi tersebut mampu mengukur perbedaan pengalaman kemiskinan untuk laki-laki dan perempuan. â IDM tidak hanya mengukur permukaan, tetapi juga mengukur secara mendalam. Seperti yang diungkapkan Prof. Sharon Bessell, âDalam aspek pekerjaan, kami tidak hanya mengukur status pekerjaannya, melainkan juga mengukur lama waktu dan kondisi kerja, serta perlakuan yang diterima ketika sedang bekerja. Dalam aspek kesehatan, tidak hanya mengukur akses ke layanan kesehatan, kami juga mengukur kualitas dan perlakuan yang diterima ketika proses pelayanan kesehatan tersebutâ. Sebagai alat ukur kemiskinan dengan perspektif dan pandangan yang baru, IDM diharapkan mampu mengatasi kemiskinan dengan lebih efektif, dan mampu melihat faktor mana yang menyebabkan seseorang miskin dan sejauh mana kemiskinannya. Bahkan, perbedaan antara perempuan dan laki-laki pada setiap aspek kehidupan bisa digunakan untuk menghasilkan alat ukur persamaan gender yang baru dan relevan untuk masyarakat miskin. (Shera Ferrawati) ![]()
Dalam rangka Hari Keadilan Internasional, pada Kamis (25/07) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil menyelenggarakan diskusi publik bertema âPerempuan dan Akses Keadilanâ di Sari Pasific Jakarta. Pada awal diskusi, Azriana Manalu selaku moderator menyampaikan bahwa akses keadilan perempuan terhadap hukum masih belum maksimal. Hal ini dilihat karena hingga kini (setelah 21 tahun Reformasi), salah satu hambatan utama yang dihadapi perempuan adalah supremasi hukum pada keadilan dan perlindungan hak perempuan. Komnas Perempuan mencatat masih banyak persoalan-persoalan penting yang menjadi hambatan bagi perempuan dalam mendapatkan keadilan, seperti impunitas, tidak dijalankannya putusan pengadilan, dan kriminalisasi undang-undang yang diskriminatif dan multitafsir.
â Diskusi dimulai dengan penyampaian testimoni oleh kaum ibu dari Gereja HKBP Filadelfia Bekasi. âSudah sejak 19 tahun lalu kami beribadah secara berpindah-pindah,â ungkap Erry Sinaga. Meskipun semua berkas dan persyaratan secara hukum pendirian rumah ibadah telah dilengkapi dan telah pula diperoleh izin secara legal, penolakan justru tetap datang dari oknum-oknum setempat dimana gereja akan didirikan. Ketika akan beribadah di tempat tersebut, para jemaat mendapatkan perlakuan yang tidak patut, antara lain dilempari telur busuk dan air kencing. Namun, dengan lantang Erry Sinaga menuturkan bahwa hal ini tidak menyurutkan semangat mereka yang sebagian besarnya perempuan dalam memperjuangkan hak mendirikan rumah ibadah. Setiap dua minggu sekali mereka beribadah di depan Istana Merdeka, Jakarta, sebagai bentuk protes dari tidak dijalankannya putusan pengadilan oleh negara yang berdampak pada pelanggaran hak kebebasan beragama. Hingga kini, belum ada kejelasan respons dari negara. âBesar harapan kami untuk negara bisa membuka segel Gereja HKBP Filadelfia, supaya kami bisa beribadah dengan damai dan aman,â tutur Erry Sinaga, seorang jemaat Gereja HKBP Filadelfia. Paparan selanjutnya dikemukakan Nani Nurani, sang survivor 65. Ia adalah seorang penyanyi istana yang dituduh simpatisan PKI. Ia menceritakan bahwa pada 1968 (ketika usianya masih 27 tahun), ia dimasukkan ke penjara Bukit Duri tanpa adanya proses hukum terlebih dulu, dan baru dikeluarkan pada 1975 dengan alasan keadaan kesehatan. Pada saat keluar dari penjara bukan berarti bebas lepas begitu saja dari bayang-bayang PKI, karena ia masih harus wajib lapor setiap bulan ke Kelurahan Rawa Badak Utara dan setiap 3 bulan sekali ke Kecamatan Koja, dan puncaknya ia tidak mendapatkan KTP seumur hidup. Kemudian pada 2003, ia berupaya âmelawanâ dengan mengajukan kasus ini ke PTUN Jakarta. âPutusannya, saya bukan anggota organisasi terlarang, tidak terlibat G30S, dan tidak pernah dinyatakan bersalah karena tidak pernah diadili,â, tuturnya. Kemudian, pada 2011 Nani mengajukan rehabilitasi nama dan ganti rugi. Namun, hingga kini belum ada kejelasan status dan perkembangan kasusnya. âJangan sampai kasus ini (Peristiwa 1965) ditutup nantinya karena kami (para korban) telah meninggal,â ujar Nani Nurani. Kemudian, diskusi dilanjutkan dengan mendengarkan pendapat dari para narasumber, yaitu Nirwana (Anggota Pokja Perempuan dan Anak, Mahkamah Agung), AKBP Ayi Supardan, Sri Bhayangkari (Penyidik Unit PPA Bareskrim POLRI), Latifah Setyawati (Asisten Hakim Agung pada Kamar Perdata Agama, Mahkamah Agung), dan Sri Nurherawati (Komisioner Komnas Perempuan). Mereka sepakat bahwa langkah peradilan dalam meningkatkan akar keadilan terhadap perempuan perlu ditingkatkan. Perlu ada sinergi antara Mahkamah Agung, POLRI, lembaga lainnya, dan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut. Pada bagian kesimpulan dan penutup, Azriana Manalu mengemukakan bahwa kasus-kasus tersebut menjadi potret masih adanya pengabaian pengalaman dan suara perempuan ketika berhadapan dengan hukum, yang terjadi dari hulu hingga hilir. Mulai dari pra adjudikasi (pemeriksaan laporan kasus sebelum persidangan), adjudikasi (persidangan), hingga pos adjudikasi (putusan). Komnas Perempuan seringkali mendapatkan laporan dan pengaduan mengenai pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan hakim, jaksa, atau penasehat hukum terkadang menyudutkan perempuan, bahkan tak jarang perempuan korban justru berujung menjadi terpidana. Karena itu, Komnas Perempuan menilai penting untuk melakukan pendampingan kepada perempuan yang menghadapi proses hukum, dan mensosialisasikan tahapan-tahapan yang bisa ditempuh perempuan dalam memperoleh keadilan hukum. Selain itu, undang-undang yang sudah ada pun perlu dikaji kembali supaya mengarah pada menjawab kebutuhan korban. Dan hal ini tentunya membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak dan organisasi masyarakat sipil. (Shera Ferrawati) ![]() Empat perupa menggelar pameran bertajuk Kintsugi di Galeri Tugu Kunstkring Paleis, Menteng, Jakarta. Pameran dibuka pada Rabu (17/7) dan akan berlangsung hingga 15 Agustus mendatang. Pameran ini merupakan eksplorasi teknis dan estetis dari keempat perupa dengan menggali pengalaman personal mereka hingga memunculkan potensi-potensi yang mereka miliki. Keempat ilustrator tersebut adalah Elle Dhita, Dinan Hadyan, Jessie Tjoe, dan Sol Cai. Mereka berempat dipertemukan lewat program inkubasi ilustrasi Mixed Feelings 04 yang diselenggarakan oleh Atreyu Moniaga Project, sebuah kolektif seniman yang mengelola dan mendidik seniman muda sejak tahun 2013. Kintsugi merupakan proses menyatukan kembali keramik-keramik yang pecah dengan menggunakan pernis emas sehingga meski bekas retakannya tetap terlihat namun memberi kesan keindahan. Filosofi ini yang mendasari proses kreatif keempat perupa. Keterlibatan mereka dalam program Mixed Feelings 04 menjadi sebuah proses pembaruan, bahwa mereka telah melalui sejumlah proses yang tidak mengenakkan sebagai seorang ilustrator tetapi hal tersebut justru membuat mereka menjadi lebih baik. Karya-karya yang dipamerkan Dinan Hadyan, Sol Cai, Jessie Tjoe dan Elle Dhita terasa sangat personal. Karya-karya mereka bicara tentang kekhawatiran, ketakutan, juga kegelisahan yang mengungkap pergulatan dan pengalaman hidup yang mereka jalani. Karya-karya tersebut merupakan hasil refleksi sekaligus menyuarakan perasaan dan pikiran mereka. Dinan Hadyan yang sebelumnya berkecimpung di dunia fandom k-pop menampilkan karya dengan menggunakan material yang cukup beragam, mulai dari cat air, tinta, kertas kalkir, selotip atau pita perekat transparan dan kertas. Karya-karya yang ia tampilkan merupakan hasil eksplorasi sekaligus respons atas karya-karya yang ia buat sebelumnya. Dinan terbiasa dan terkondisikan menghasilkan karya yang rapi dan tanpa noda. Kali ini dia mempertanyakan dan mendobrak batasan-batasan dalam berkarya dan menghasilkan sepuluh karya yang menampilkan sosok-sosok dengan wajah, tubuh dan bentuk yang tak selalu “mulus”. Meski demikian ciri khas karyanya yang rapi dan halus tetap tampak. Dinan juga melakukan eksplorasi lewat materi yang digunakan. Ia biasa menggunakan cat air untuk pewarnaan dan senang dengan teknik layering (lapisan). Dalam proyek ini Dinan mengawinkan cat air dengan kertas kalkir dan selotip, dua material yang memiliki sifat yang serupa dengan cat air, transparan dan berlapis. Di sini Dinan berupaya untuk menunjukkan keseimbangan teknis dalam karyanya, ada eksplorasi yang dilakukan dengan penggunaan material baru namun tanpa meninggalkan ciri khas yang telah melekat pada karyanya. Yang menarik aspek keseimbangan ini juga muncul pada tokoh dalam lukisannya yang menunjukkan karakter androgini. ![]() Sol Cai, seorang ilustrator komersial yang bekerja untuk berbagai proyek game menampilkan karya yang menggambarkan pergulatannya dengan bipolar. Sol Cai biasa bekerja secara digital, namun kali ini dia menggunakan medium tradisional yakni cat air, akrilik, dan cat minyak. Hal ini kemudian membuatnya lebih menyukai medium tradisional. Penggunaan kanvas besar sebagai medium karyanya pada pameran ini menurut Sol Cai membuatnya menemukan kebebasan. Lewat sosok perempuan berambut putih, Sol Cai menggambarkan relasinya dengan bipolar. Karyanya menjadi media untuk berkomunikasi kepada publik tentang bipolar berdasarkan pengalamannya. Sepuluh karya yang ditampilkan dalam pameran ini bertutur mulai dari proses sebelum, saat dan sesudah diagnosis bipolar. Dengan latar lukisan berwarna biru tua, Sol Cai mendeskripsikan suasana kesedihan yang ia rasakan. Gangguan bipolar tipe dua membuatnya menjadi depresif, situasi kelam ini ia munculkan lewat pilihan warna latar lukisan. Selain itu ada pertimbangan estetis juga bahwa biru tua tidak membuat warna lain menjadi mati. Ia sekaligus sebagai penghormatan terhadap orang dengan gangguan bipolar yang kondisinya lebih buruk. Pada lukisan berjudul Obsession, Sol Cai membicarakan obsesinya pada obat. Gangguan bipolar membuatnya harus mengonsumsi obat secara rutin. Dalam lukisan tersebut si tokoh mendekap bunga-bunga opium berwarna merah muda. Warnanya yang lembut mengesankan sesuatu yang tak berbahaya, meski sebenarnya ia bisa membuat ketagihan. Sementara dalam Backbone, tokoh perempuan digambarkan dengan punggung terburai hingga tulang punggungnya yang terbuat dari besi tampak. Namun sebagian serpihan tubuhnya telah menyatu kembali dengan direkatkan oleh tinta emas dan bunga-bunga yang menjadi mahkota di kepalanya tampak bermekaran. Lukisan ini merupakan lukisan kesepuluh yang bertutur tentang kekhawatiran dan ketaknyamanan, namun sang perempuan merasa ia dapat mengatasinya karena memiliki tulang punggung dari besi. ![]() Jessie Tjoe yang sebelumnya merupakan seorang desainer grafis biasa membuat karya-karya yang indah dipandang mata. Pada pameran ini ia menampilkan subjek-subjek yang lebih “gelap” atau ganjil. Jessie menggali sisi-sisi rentan dalam dirinya, ketakutan-ketakutan yang selama ini dipendam ia keluarkan lewat sosok-sosok semacam monster dalam karya-karyanya. Lukisannya menjadi semacam potret diri, visualisasi atas emosinya. Pada lukisan berjudul Pampeliska misalnya, Jessie menggambarkan tokohnya seorang perempuan yang membawa beban emosi dalam hidupnya berupa rasa bersalah yang menghantui dalam wujud pertanyaan-pertanyaan seperti apakah dirinya sudah melukai seseorang, menyinggung perasaan seseorang, apakah dirinya sudah berbakti, dan seterusnya. Ia menggambarkannya dengan simbol kepala-kepala yang menggayuti tubuh si perempuan sementara kedua tangannya memegang sebilah pedang. Dalam Isabelle, Jessie menggambarkan sisi diri yang merasa tidak nyaman dan puas dengan bentuk tubuh dan penampilan fisiknya yang disimbolkan dengan sosok Perempuan yang memotong bagian-bagian yang cantik dari seekor burung untuk dijadikan bagian dari tubuhnya. Jessie menggunakan banyak simbol dan terinspirasi oleh karya seni gotik dan eksentrik. Ia memakai gouache dan tinda dalam karyanya. Gouache menjadi pilihan karena menurut Jessie dengan latar belakang studi desain komunikasi visual, ia terbiasa menggunakan cat poster dan gouache memiliki konsistensi yang mirip dengan cat poster sehingga memudahkannya untuk beradaptasi. Sementara penggunaan tinta hitam yang bisa menghasilkan gradasi warna mulai dari hitam, kebiruan, keunguan, juga kekuningan menurut Jessie menjadi hal yang menarik karena hasilnya tak selalu bisa diprediksi. ![]() Elle Dhita sebelumnya merupakan seorang seniman digital yang terinspirasi dengan estetika animasi disney dan ilustrasi Jepang pada pameran ini bereksperimen melalui medium tradisional dengan menggunakan cat air. Warna-warna pastel seperti merah muda dan biru mendominasi karya-karyanya. Sepuluh karyanya bertutur tentang pengalaman hidupnya tinggal seorang diri jauh dari keluarga di San Fransisco, Amerika. Hal yang menarik meski bicara tentang tema kesendirian, Elle tak menggunakan warna-warna monokrom dan gelap. Sebaliknya ia memilih warna-warna pastel yang cerah. Selain karena preferensinya pada warna-warna lembut, pilihan warna ini juga menyiratkan bahwa pengalaman kesendirian tak melulu berarti hal yang menyedihkan, tetapi ia bisa menjadi sesuatu yang indah bahkan pengalaman yang menarik. Dalam karyanya Elle menggambarkan tokoh perempuan yang selalu ditemani oleh binatang-binatang dengan tampilan unik dan imajinatif yang merupakan perpaduan dari beberapa jenis binatang. Mereka merepresentasikan sosok-sosok entah teman atau orang asing yang membantunya menghadapi kesulitan. Naga dalam lukisan Elle diwujudkan dalam dua macam bentuk dengan wajah yang bersahabat dan tak menyeramkan. Elle ingin menyampaikan pesan bahwa naga tak selalu punya konotasi negatif bahkan dalam kultur Asia naga berarti makhluk yang membawa peruntungan. Ini berbeda dengan kultur Barat yang menggambarkannya sebagai makhluk yang menyeramkan. (Anita Dhewy) ![]() Pada Jumat (19/7), Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera bekerjasama dengan Lokataru Foundation dan Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan kegiatan diskusi publik mengangkat tema “Ketimpangan Gender dalam Kasus-kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Indonesia”. Kegiatan yang menghadirkan tiga narasumber, Anugerah Rizki Akbari (Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan) dan Haris Azhar (Direktur Eksekutif Lokataru Foundation) ini dihadiri diantaranya oleh mahasiswa fakultas hukum, akademisi dan pegiat hukum serta media. Dalam paparannya, Atnike menyampaikan bahwa pada umumnya perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah korban. Namun dari sekian banyak kasus yang dialami perempuan yang berhadapan dengan hukum, sedikit diantaranya yang diselesaikan melalui jalur hukum. “Hukum kita belum mampu menangkap esensi keadilan khususnya yang melibatkan perempuan yang berhadapan dengan hukum,” ujar Atnike. Lebih jauh, Atnike menjelaskan bahwa perempuan berhadapan dengan hukum seringkali memperoleh berbagai tantangan seperti, 1) aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif gender, 2) perempuan korban kerap mengalami reviktimisasi, 3) norma hukum acara yang masih berorientasi pada hak-hak pelaku/tersangka, 4) identitas korban yang dipublikasikan di media massa sehingga menimbulkan stigma bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum, 5) perempuan korban yang diperiksa secara bersamaan dengan tersangka/terdakwa, 6) perempuan yang berhadapan dengan hukum juga seringkali tidak mendapat pendampingan yang cukup dari pengacara;, 7) praktik korupsi dan rekayasa bukti dalam proses penegakan hukum yang masih terjadi. Selain itu, persoalan yang juga dihadapi korban ialah minimnya kepekaan atau senstivitas gender para pendamping hukum. Reformasi hukum yang sudah dilakukan lebih banyak menyasar pada mereka yang sudah menjadi aparat penegak hukum. Padahal, kepekaan gender tidak bisa dilatih melalui pelatihan ketrampilan semata tetapi juga menyangkut pada nilai-nilai di dalam hukum itu sendiri. Dengan demikian menurut Atnike, perubahan dalam hukum pidana harus dimulai sejak pendidikan tinggi hukum. Sementara itu Haris dalam paparannya memberikan contoh kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum secara umum dengan latar belakang dan karakteristik yang berbeda-beda. Dari berbagai kasus tersebut, ada yang berhasil memenangkan kasus maupun gugatannya di pengadilan, ada juga yang kasusnya tidak direspons oleh hakim dan tidak dilanjutkan. Contoh-contoh yang disampaikannya memperkuat apa yang disebutkan sebelumnya terkait tantangan yang harus dihadapi perempuan berhadapan dengan hukum. Perempuan berhadapan dengan hukum juga sering menghadapi penghakiman oleh publik. Haris menyampaikan, “dalam kasus RA, misalnya, selain mendapat penghakiman oleh publik, dia juga terancam mengalami apa yang menimpa BN. Dirinya terancam akan dilaporkan karena melanggar UU ITE”. Selain itu, Haris menambahkan dalam hal perempuan berhadapan dengan hukum yang memenangkan kasus, pihak tergugat kerap kali tidak melaksanakan putusan pengadilan, terutama jika Negara yang menjadi tergugat. Melengkapi paparan dua pembicara sebelumnya, Anugerah Rizki Akbari yang sering disapa Eky, dengan menggunakan kasus BN sebagai contoh menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang perlu diperbaiki terkait kasus perempuan berhadapan dengan hukum. Ketiga hal tersebut ialah konteks penanganan kasusnya, legislasi dan emosi/opini masyarakat yang “dimainkan” seiring kasus berjalan. “Saya melihat dalam hukum pidana terdapat dua problem. Satu, perspektif gendernya kurang atau malah tidak ada; dan yang kedua, pemahaman mendasar tentang asas-asas hukum pidana juga tidak ada,” ujarnya. Eky juga mempersoalan rumusan dan interpretasi dalam legislasi yang juga problematik dan menimbulkan masalah dalam konteks penanganan kasus, khususnya dalam kasus perempuan berhadapan dengan hukum seperti dalam rumusan perkosaan di KUHP. Itulah menurutnya yang menyebabkan hampir 76% kasus perkosaan jauh di bawah tuntutan, karena tidak terpenuhinya definisi yang sesuai rumusan dalam KUHP. Dalam peradilan hukum pidana saat ini, korban masih bekum mendapat perhatian penting dan banyak pihak yang masih memfokuskan pada penghukuman seberat-beratnya bagi pelaku. Sehingga menurut Eky, “Advokasi harus diperluas. Mengharapkan penegak hukum untuk tiba-tiba berubah memiliki perspektif gender yang baik, tidak feasible. Yang harus dikunci adalah bagaimana rumusan UU ini agar tidak terlalu berbahaya, punya tujuan kriminalisasi yang jelas, dan hukuman yang sesuai. Dan yang peling penting dengan tidak melupakan pemulihan bagi korban”. Atnike menambahkan bahwa agenda keadilan gender di dalam hukum pidana, tidak bisa hanya menjadi agenda kaum perempuan, kelompok perempuan atau organisasi perempuan semata karena persoalannya melibatkan seluruh elemen dalam masyarakat dan dimensi hukum baik dari substansi hukum maupun pelaku hukum. Diskusi dan pembelajaran seperti ini perlu diadakan di tempat-tempat seperti Jentera dan bukan hanya di ruang pengadilan atau di pelatihan hakim dan jaksa. (Dewi Komalasari) ![]() Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional, pada Selasa (24/07) bertempat di Bakoel Koffie Cikini, Koalisi Perempuan Indonesia mengadakan konferensi pers berjudul “Anak Muda Bicara Perkawinan Anak”. Acara ini menghadirkan Mega Puspitasari (Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia Cabang Kabupaten Bogor), Ramdan Setiawan (Sahabat KPI Desa Banjarsari), Deviana (Jaringan Forum Anak Wahana Visi Indonesia), dan Lia Anggiasih (Staf POKJA Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia) sebagai pembicara, dan moderator Ria Yulianti, yang juga staf POKJA Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia. “Berikan anak ijazah, bukan buku nikah. Biarkan anak bermain, bukan kawin. Tunjang pendidikan anak, jangan rampas hak anak.” Adalah tagline dari kampanye #STOPPERKAWINANANAK, yang juga menjadi kalimat pembuka dalam slide yang dipaparkan pada awal acara. Perkawinan anak adalah isu global, yang sebagian besar korbannya adalah anak perempuan. PBB melansir bahwa di seluruh dunia setiap hari sekitar 37.000–39.000 anak perempuan di bawah usia 18 tahun menjadi korban perkawinan anak. Indonesia sendiri berada di urutan tujuh dunia dan urutan dua di Asia Tenggara dalam kategori perkawinan anak. Perkawinan anak merampas hak anak. Seperti disebutkan Mega, salah satu hak anak itu adalah hak atas pendidikan, hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik maupun mental, hak atas pencapaian kesehatan yang tertinggi, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas istirahat dan waktu luang, hak untuk tidak dipisahkan dari orang tua, hak atas perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, dan hak atas keberlangsungan hidup dan berkembang. Menyadari akan hal itu, ketiga pembicara muda—Mega, Ramdan, dan Deviana—tergerak untuk turut serta menjadi agen perubahan. Mereka terlibat aksi nyata untuk memerangi perkawinan anak di daerahnya masing-masing. Mulai dari mengadakan diskusi dan workshop guna memperkuat kapasitas diri anak muda, melakukan sosialisasi dampak dari perkawinan anak, hingga memproduksi film pendek bertemakan “Stop Perkawinan Anak”. Di samping ekonomi, budaya dan stigma yang mengakar pada perempuan (yang notabenenya menjadi korban yang lebih banyak dibanding laki-laki) turut melanggengkan praktik ini. “Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi?”, “Sudah nikah saja, urusanmu nanti hanya sumur, dapur, dan kasur”, “Perempuan itu tempatnya di rumah” adalah konstruksi yang melekat pada perempuan. Upaya sosialisasi kepada orang tua, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama menjadi salah satu kunci dalam mengubah konstruksi sosial ini. Dalam hal kebijakan, Koalisi Perempuan Indonesia mendorong pemerintah dan legislatif mengesahkan perubahan terbatas UU Perkawinan Pasal 7 dengan menaikkan usia batas minimal usia perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun (sama dengan usia minimal laki-laki), sebelumnya untuk laki-laki sekurangnya 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Adapun prosesnya telah sampai pada tahap penyerahan naskah akademik dan draft RUU Perubahan UU No. 1/1974 kepada pemerintah dan Badan Legislatif pada 25 Juni 2019 lalu. Baleg berjanji akan membahasnya dan mengusahakan untuk disahkan pada September ini (sebelum pergantian anggota parlemen periode berikutnya). Selain mengenai kematangan reproduksi perempuan, pengajuan menaikkan usia batas minimal usia perkawinan bagi perempuan ini juga untuk menghilangkan diskriminasi gender. Seseorang yang berusia 16 tahun, meskipun laki-laki atau perempuan, mereka masih tergolong kategori anak. Meminjam semangat Ramdan yang juga mewakili anak Indonesia lainnya, “Jangan rampas hak kami, karena kami masih ingin bermain, belajar, tumbuh, dan berkembang bersama teman-teman kami agar bisa menggapai harapan dan cita-cita kami untuk ikut membangun negeri.” Mari gerak bersama hentikan perkawinan anak. (Shera Ferrawati) ![]() ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), PKBI, dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP bekerja sama dengan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila dan Ikatan Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila mengadakan seminar dengan tema besar “Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia: Menggali Pemikiran Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia” pada Rabu (17/7). Diskusi sesi kedua seminar ini mengangkat topik “Mencegah Korban Berulang: Melihat Aspek Kesehatan Masyarakat dalam RKUHP”. Diskusi sesi kedua ini menghadirkan Sundoyo, S.H., M.K.M., M.Hum. (Kepala Biro Hukum Dan Organisasi Kementerian Kesehatan), Dr. Santi Kusumaningrum (Direktur PUSKAPA), Dr. Yusuf Shofie, S.H., M.H. (Akademisi Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila), dan Aditia Taslim (Direktur Eksekutif Rumah Cemara) sebagai pembicara, dan Dr. Atnike Nova Sigiro (Direktur Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Diskusi dimulai dengan pemaparan Sundoyo mengenai pembentukan regulasi dalam perspektif kesehatan. Menurutnya, pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan gender dan nondiskriminatif, dan norma-norma agama. Ia juga memaparkan bahwa regulasi mengenai kesehatan perlu memperhatikan beberapa aspek, yaitu (1) kebutuhan masyarakat akan tenaga kesehatan; (2) pendayagunaan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; (3) perlindungan kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan upaya kesehatan; (4) mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan upaya kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan; dan (5) memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan tenaga kesehatan. Dilanjut Aditia Taslim sebagai pembicara kedua, ia memaparkan pengalamannya mengenai HIV/AIDS dan akses kesehatan. Ia menyayangkan kegagalan negara dalam menyediakan perlindungan kesehatan terhadap warga negaranya. Berdasarkan laporan yang Rumah Cemara terima dari anggota komunitas dan masyarakat—bahwa ada waria yang meninggal setiap minggunya karena HIV/AIDS, lebih tepatnya disebabkan akses kesehatan bagi mereka yang belum memadai. Padahal, kesehatan yang merupakan hak warga negara harusnya bisa diakses oleh semua kalangan, tapi nyatanya tidak. “Berdasarkan pengalaman saya, mereka yang rentan (terkena HIV/AIDS) justru adalah mereka yang sering dikucilkan, dikriminalkan, dan dipinggirkan sehingga sulit mendapatkan akses layanan kesehatan yang berkeadilan,” ungkapnya saat membahas sulitnya akses kesehatan HIV/AIDS bagi kelompok marginal. Begitu banyak waria, pengguna narkoba, pekerja seks komersial, gay, dan kelompok lainnya yang enggan datang melakukan pemeriksaan HIV/AIDS ke puskesmas atau rumah sakit karena alasan eksternal. Salah satunya tak lain karena stigma yang melekat pada mereka membuat mereka selalu “dihakimi” di awal proses pemeriksaan kesehatan. Kesehatan adalah hak asasi manusia, sangat penting untuk bisa diakses oleh semua kalangan. Namun, karena kebijakan yang diambil menerapkan asas mayoritas yang mana apa yang dianggap baik oleh banyak orang, hal ini tentu menyebabkan ketimpangan dimana kepentingan kelompok rentan (minoritas) selalu terpinggirkan. Kelompok minoritas inilah yang seharusnya juga difasilitasi. Santi menekankan, “Bukan hanya niat baik yang perlu diperhatikan dalam membuat hukum, tapi juga dampak yang akan ditimbulkan ke depannya”. Sebagai pembicara terakhir, Yusuf Shofie membahas bagaimana menjamin prinsip kesetaraan dalam proses pembaruan hukum pidana di Indonesia dengan fokus perlindungan terhadap perempuan konsumen. Pengalamannya dalam bidang advokasi perempuan konsumen membuatnya mengerti betapa pentingnya perlindungan terhadap mereka. Kepentingan konsumen yang perlu dikedepankan adalah perlindungan dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanan serta tersedianya upaya ganti yang efektif (right to redress). Ia pun menambahkan bahwa diperlukan pemahaman mengenai keadilan gender untuk bisa menganalisisnya dalam hukum yang akan diterapkan. (Shera Ferrawati) ![]() Pada Rabu (17/7), ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), PKBI, dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP bekerja sama dengan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila dan Ikatan Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila mengadakan Seminar Nasional bertajuk “Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia: Menggali Pemikiran Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”. Sesi pertama diskusi ini dimulai pukul 10 pagi dengan tema “Menyiapkan Ruang Keadilan bagi Korban Kejahatan dengan Paradigma Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”, dengan pembicara Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A. (Tim Perumus RKUHP), H. Arsul Sani, S.H., M.Si. (Anggota Panja RKUHP), Prahesti Pandanwangi, S.H., Sp.N, LL.M. (Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas), Dr. Rocky Marbun S.H., M.H. (Akademisi Universitas Pancasila), dan Zainal Abidin, S.H., M.Law&Dev. (Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP). Diskusi yang dipandu oleh Dr. iur. Asmin Fransiska (Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta) ini diawali dengan keynote speech dari Mardjono Reksodiputro yang menyampaikan makalah pengarah berjudul “Mendorong Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”. Dalam sambutan kuncinya, Mardjono melontarkan pertanyaan tentang; apa itu restorative justice atau keadilan restoratif? Ia melanjutkan bahwa keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. Menurutnya, keadilan restoratif penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya. Lebih jauh, Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan bahwa pendekatan keadilan restoratif ini penting untuk menjadi salah satu unsur dalam pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia. Pendekatan tersebut bertujuan untuk memulihkan korban, pelaku, dan masyarakat. Salah satu Tim Perumus RKUHP ini menekankan bahwa sistem hukum pidana di Indonesia belum spesifik memperhitungkan suara, pengalaman dan perspektif korban. “Padahal, kerugian yang dialami korban (yang bisa berujung pada ganti rugi) dan unsur ‘pemaafan’ dari korban adalah dua hal yang harus diperhitungkan dalam proses perkara,” ujarnya. Di lain sisi, proses perumusan RKHUP itu sendiri sudah berjalan sejak lama dari 1945. Saat ini, proses pembahasan RKUHP sudah memasuki tahap akhir. DPR dan Pemerintah menargetkan pembahasan RKUHP sekaligus pengesahannya tuntas pada pertengahan Juli 2019. Arsul Sani mengungkapkan bahwa RKUHP telah mengadopsi pendekatan keadilan restoratif. RKUHP telah mengatur tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, dan pertimbangan yang diwajibkan dalam pemidanaan yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP, dan juga menghapus pidana mati dari pidana pokok. Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana ini pun menjadi salah satu agenda dalam RPJMN 2020–2024. “Perbaikan peradilan pidana dengan keadilan restoratif menjadi salah satu agenda kami,” ujar Prahesti Pandanwangi. Urgensi itu semakin menyeruak setelah Prahesti dan tim melihat Lembaga Pemasyarakatan yang terlampau penuh (over-crowded), yang justru menurutnya tak lagi relevan karena lebih mengarah pada “penjagaan”, bukan pemidanaan. Mengenai peran korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Rocky Marbun, meminjam istilah Heidegger untuk menggambarkan kondisi peradilan pidana di Indonesia sebagai suatu keterlemparan (gowerfen-sein) dalam mitos modernitas. Mitos modern ini merupakan common sense tanpa kritik, yang sejak dulu sudah ada dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Mitos ini sudah mengental dan memiliki kekuasaan sejak dulu. “Masyarakat saja tidak masuk dalam komponen sistem peradilan pidana, apalagi korban,” ungkapnya. Zainal Abidin juga menambahkan soal urgensi pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pendekatan tersebut menurutnya mengubah konsep dari sekadar menghukum dan mengisolasi pelaku. Ia menjelaskan bahwa pendekatan tersebut berperan sebagai healing justice, yaitu suatu cara dalam mendekati masalah kejahatan dengan menangani kerusakan dengan tujuan mengurangi kerusakan, dengan proses yang holistik, penghormatan pada para pihak, memperbaiki kerusakan dan menciptakan perubahan. Pendekatan keadilan restoratif ini sesungguhnya sangat dekat dan erat kaitannya dengan peradilan kasus pidana anak dan perempuan. Di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan sebagai langkah awal menuju pemenuhan HAM anak dan perempuan. Salah satunya dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan Perma No 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. (Shera Ferrawati) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |