![]() Salam pencerahan dan kesetaraan! Setelah terbit sejak tahun 1996, tahun 2019 Jurnal Perempuan telah mencapai edisi ke-100 (JP 100). JP 100 yang berjudul Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia, berusaha merefleksikan pemikiran dan gerakan perempuan di Indonesia selama duapuluh tahun terakhir, khususnya pasca Reformasi 1998. Beberapa kebaruan telah dicapai gerakan perempuan Indonesia, salah satunya adalah pengakuan negara atas kekerasan dalam rumah tangga sebagai sebuah kejahatan, yang diatur dalam Undang-undang No. 2003 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kebaruan lain yang dicatat dalam JP 100 adalah pengakuan terhadap hak-hak politik perempuan, melalui kuota pencalonan legislatif perempuan dalam undang-undang Pemilihan Umum sejak tahun 2003. Tahun 2019 merupakan tahun politik, tahun dimana prinsip-prinsip sebuah negara demokrasi dijalankan melalui penyelenggaraan pemilihan umum. JP 101 mengangkat judul Perempuan dan Demokrasi. Meski Pemilu di Indonesia telah mengatur kuota pencalonan perempuan dalam Pemilu legislatif, namun gerakan perempuan dalam demokrasi elektoral masih menghadapi tantangan. Pemilu yang berbiaya tinggi, serta pragmatisme/ oportunisme politik yang oligarkis, baik di tingkat nasional maupun daerah, menyebabkan terabaikannya agenda keadilan gender dalam sistem kepartaian, selain sebatas keperluan memenuhi kuota administratif dalam Pemilu. Politisi perempuan masih menghadapi kultur politik yang maskulin, baik di dalam partai maupun badan legislatif. Tahun 2019 juga perlu dicatat sebagai tahun perjuangan kaum perempuan Indonesia, khususnya dalam mendorong pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Tahun 2019 juga diisi dengan gerakan perempuan, bersama dengan mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil, dalam mengkritik RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang di dalamnya memasukkan pasal-pasal yang berpotensi merentankan perempuan, salah satunya terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi. Untunglah RUU KUHP ini kemudian ditunda pengesahannya. Kesehatan perempuan secara khusus diangkat dalam JP 102 Perempuan dan Kesehatan. Berbagai isu terkait kesehatan perempuan, mulai dari persoalan kesehatan reproduksi, kematian ibu, hingga kanker payudara diangkat dalam edisi ke-102 ini. Hingga kini, nilai dan unsur budaya di dalam masyarakat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sikap masyarakat dan kebijakan pemerintah terhadap kesehatan perempuan. Pemahaman pembuat dan pelaksana kebijakan terkait kesehatan perempuan masih kurang memahami keragam konteks budaya, ekonomi, sosial, dan geografis yang dihadapi oleh perempuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Meski gerakan perempuan di Indonesia telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, namun perlu disadari bahwa diskursus seputar hak-hak perempuan dan keadilan gender masih lebih banyak berfokus pada isu perempuan urban dan berpusat pada Jakarta, atau sedikit lebih luas terfokus pada pulau Jawa. JP 103 tentang Agensi Perempuan Pedesaan, mengangkat pengalaman kaum perempuan di wilayah pedesaan di berbagai wilayah, seperti Aceh, Bengkulu, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Perempuan di berbagai wilayah Indonesia, menghadapi persoalan yang berbeda-beda. Namun, di setiap wilayah tersebut, perempuan masih menghadapi persoalan yang sama, yaitu ketimpangan gender, kemiskinan, dan eksklusi sosial. Tim Redaksi Jurnal Perempuan mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung kami di tahun 2019 ini. Terimakasih kami sampaikan kepada MAMPU (Kemitraan Australia – Indonesia untuk Kesetaraan Gender), Ford Foundation, Kemitraan, dan The Asia Foundation. Secara khusus kami berterimakasih kepada para penulis/ peneliti yang telah menyumbangkan karyanya bagi Jurnal Perempuan, kepada para Mitra Bestari dan Dewan Redaksi. Kami juga berterimakasih sebesar-sebesarnya kepada para Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) yang mempercayai dan mendukung kami melalui dukungan publik. Demikian juga terimakasih kami kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu demi satu. Tahun 2019 penuh dengan tantangan bagi perempuan Indonesia. Masih terlalu banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang belum memperoleh keadilan. Feminisasi kemiskinan masih membayangi kaum perempuan. Sistem dan budaya politik pun masih menjadi tembok besar bagi partisipasi penuh perempuan. Namun, posisi subordinat perempuan, tidak serta merta mematikan agensi perempuan. Keempat edisi Jurnal Perempuan di tahun 2019 ini memperlihatkan tidak hanya resiliensi perempuan, tetapi juga bentuk agensi perempuan. Melalui agensinya, kaum perempuan di Indonesia dapat melampaui subordinasi melalui strategi-strategi yang bersifat lokal dan kontekstual. Tahun 2019 telah diisi oleh berbagai agensi perempuan, perempuan korban kekerasan seksual, perempuan pejuang HAM, perempuan petani dan nelayan, politisi perempuan, dan lainnya, yang berusaha mendobrak sistim dan budaya kekerasan dan ketimpangan berbasis gender, sistim patriarki. Tahun 2019 adalah tahun agensi perempuan Indonesia! Jakarta, 31 Desember 2019 Atnike Nova Sigiro Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan ![]() Jumat, 13 Desember 2019, dalam rangka memperingati hari jadi ke-29, Solidaritas Perempuan merefleksikan dan memproyeksikan agenda politik gerakan perempuan di Indonesia dalam acara media brieifing bersama dengan JKP3 (Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan), Kalyanamitra, Sanggar Swara, Perempuan Mahardika, Koalisi Perempuan Indonesia, Jurnal Perempuan, dan Kapal Perempuan. Dinda Nur Annisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, dalam acara yang dilaksanakan di kantor Solidaritas Perempuan tersebut mengatakan bahwa agenda politik perempuan melampaui agenda politik elektoral, meskipun menurutnya turut penting juga melihat momen politik di tahun 2019 dan 2020. Menurutnya, merefleksikan agenda politik perempuan harus dan penting dilakukan, sehingga ke depan gerakan perempuan mampu menyusun strategi agar isu keadilan gender bisa menjadi agenda gerakan sosial dan prioritas pemerintah. Ratna Batara Munti (JKP3) menyatakan bahwa setelah otonomi daerah mulai bermunculan peraturan daerah/perda diskriminatif yang menyasar tubuh perempuan dan kelompok minoritas seperti LGBT. “Apa yang terjadi di daerah ini juga tidak terlepas dari konteks nasional. RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) juga kencang ditolak,” ungkapnya. Menurut Ratna, gagal disahkannya kebijakan pro gender juga dipengaruhi oleh menguatnya radikalisme di Indonesia. Koordinator JKP3 itu melanjutkan, bahwa sosialisasi dan advokasi RUU PKS secara substantif terhambat sebab selalu diserang dengan fitnah dan hoax. “Di tahun 2020 ada semangat baru, kita berhasil memasukkan RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam Prolegnas. Perlu ada kerjasama lintas sektor termasuk menggerakan kelompok muda,” jelas Ratna. Menurutnya, ke depan masih ada harapan terkait kebijakan pro gender. Ia menyarankan agar gerakan perempuan berfokus pada hal-hal yang bersifat substansi seperti memperbaiki naskah akademis maupun pasal-pasal dalam RUU dan saling berkolaborasi. Yohana Tantria Wardani (Kalyanamitra) menyatakan bahwa kultur di masyarakat masih bias terhadap perempuan. Dari pengalaman pengorganisiran, pendampingan, dan advokasi perempuan di berbagai daerah, Kalayanmitra menemukan bahwa dalam kasus kekerasan seksual anak perempuan dan perempuan dari keluarga miskin, mereka kerap kali tidak mendapatkan pelayanan dan hak yang semestinya sebagai korban. “Di Kulonprogo, ada kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah perempuan dengan disabilitas, komunitas justru menikahkan paksa, korban tidak memiliki hak untuk bersuara,” ujarnya. Lebih jauh ia menegaskan bahwa hukum harus berjalan lebih maju dalam melihat kompleksitas situasi perempuan korban. Dian Kartika (Koalisi Perempuan Indonesia) menyebutkan bahwa setelah 20 tahun reformasi Indonesia telah banyak kemajuan terkait kebijakan pro gender. Dian juga mengakui meski gerakan perempuan telah mencapai banyak hal tetapi juga kini semakin semakin besar tantangannya. Serupa dengan Ratna Batara Munti, Dian juga menyebutkan menguatnya radikalisme yang mendomestifikasi perempuan dan mengkriminalisasi kelompok minoritas adalah tantangan yang perlu dihadapi gerakan perempuan hari-hari ini. “Semua isu adalah isu perempuan adalah isu politik. Tidak banyak organisasi perempuan yang bekerja di isu sumber daya alam, padahal perubahan iklim berdampak pada semua bentuk kekerasan terhadap perempuan,” tutur Dian. Menurutnya, selain berfokus pada isu pemberdayaan perempuan, gerakan perempuan juga perlu terlibat pada isu arus utama seperti isu lingkungan dan pemerintahan. Isu pemerintahan yang perlu menjadi perhatian ialah soal ancaman pemilu kembali ke parlemen atau tidak lagi dipilih oleh raykat secara langsung. Ia mengungkapkan bila #ReformasiDikorupsi akan berdampak pada representasi, agenda politik, dan kehidupan perempuan. “Politik elektoral akan sebatas politik transaksional, izin tambang dan privatisasi air akan marak terjadi, semuanya berdampak pada perempuan,” pungkasnya. Lebih jauh, Dinda Nur Annisaa Yura (Solidaritas Perempuan) memandang bahwa fundamentalisme agama dan pasar menjadi ancaman bagi kehidupan perempuan. Fundamentaslime agama mengontrol tubuh dan diri perempuan, sedangkan fundamentalisme pasar mengancam pengetahuan dan kehidupan perempuan. Menurut Dinda fundamentaslime pasar terjadi ketika argumen investasi selalu dijadikan satu-satunya jalan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang mana hal tersebut justru menghilangkan pengetahuan lokal, pengetahuan perempuan, dan kehidupan perempuan. “Solidaritas perempuan yang selama ini berkerja dan mendampingi perempuan miskin kota, nelayan, petani menemukan bahwa pengetahuan perempuan dalam mengolah benih, hutan, rumah, komunitas sanga luar biasa,” jelas Dinda. Lebih jauh, menurutnya solidaritas dan aksi kolektif perempuan hanya bisa terwujud bila ada pengharagaan terhadap keberagaman pengetahuan dan identitas. Ulfah Kasim (Kapal Perempuan) memaparkan bahwa di bidang pendidikan formal dan non-formal, perempuan masih tertinggal daripada laki-laki. “Masih ada ketimpangan akses pendidikan. Angka rata-rata lama sekolah perempuan 7,5 tahun, sedangkan laki-laki 8,4 tahun. Di pedesaan gap pendidikan anak perempuan dan laki-laki lebih besar,” jelas Ulfah. Ia melanjutkan bahwa wajah pendidikan Indonesia masih bias gender, terbukti dengan konten pembelajaran yang masih melanggengkan peran gender. Sedangkan menyoal pendidikan non-formal, menurut Ulfah hal ini mendapatkan ancaman dari radikalisme. Sebab, menurutnya Direktorat Paud dan Pendidikan masyarakat yang mengelola program pendidikan perempuan kini diganti menjadi pendidikan keluarga. Konten pendidikan keluarga tersebut melanggengkan ketimpangan gender dan hanya memuat pola pengasuhan anak secara islam. Kanza Vina (Sanggar Swara) menuturkan pentingnya aksi kolaboratif antar gerakan perempuan untuk mewujudkan agenda politik perempuan. Mewakili kelompok transpuan, Kanza menceritakan bahwa penggunaan isu LGBT untuk melemahkan gerakan perempuan oleh negara dan masyarakat berdampak serius pada kondisi hidup kelompok LGBT sendiri. “Dalam 5 tahun terakhir, isu LGBT digunakan untuk menutupi atau mengalihkan isu tertentu. Ini isu sendiri, bukan hanya bumbu, dibalik itu banyak teman2 yang mengalami kekerasan. Ada 1.800 lebih kekerasan terhadap LGBT di indonesia, mereka dipersekusi, diusir, dan kehilangan pekerjaan,” pungkasnya. Lebih jauh, Kanza menjelaskan bahwa narasi kebencian tersebut diadopsi negara melalui kebijakan dan perda yang secara eksplisit menyebutkan bahwa LGBT bentuk ancaman negara. Kanza mendorong gerakan perempuan juga turut melawan dan bergerak bersama untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan yang adil bagi semua identitas. Mutiara Ika (Perempuan Marhadika) pada gilirannya menjelaskan bahwa logika investasi yang digadang-gadang pemerintah sesungguhnya tidak pernah sejalan dengan pemenuhan hak dan kesejahteraan pekerja, khususnya pekerja perempuan. Iklim investasi pro kapital yang dilegitimasi oleh negara menciptakan sistem kerja fleksibel, dimana perempuan banyak dipekerjakan secara kontrak dan borongan. Sehingga menurutnya, melawan patriarki ialah juga melawan oligarki. “Dalam 5 tahun terakhir kebijakan investasi kawasan industri terutama garmen itu sangat massif di daera luar Jakarta, misalnya semarang. Di Kendal dibangun kawasan industri utnuk menarik investasi, masyarakat yang sebelumnya bertani kehilangan tanahnya dan harus bergantung hidup dengan pabrik,” jelas Ika. Di tengah-tengah masifnya investasi, relokasi pabrik garmen ke areal lokasi yang memiliki upah minimum lebih rendah pun terjadi. Menurut Ika, ada fenomena pabrik-pabrik yang sebelumnya di Jakarta, Bekasi, Karawang kini pindah ke daerah jawa tengah demi menekan biaya upah untuk buruh. Atnike Nova Sigiro (Jurnal Perempuan) merefleksikan bahwa telah ada capaian penting dalam gerakan perempuan yakni terciptanya ruang publik bagi perempuan melalui berbagai UU pro perempuan seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Pemilu yang mengafirmasi keterwakilan perempuan di politik. Atnike menegaskan bahwa adanya perlindungan bagi perempuan di dalam rumah dan afirmasi perempuan di politik bukanlah hadiah dari negara melainkan perjuangan politik perempuan. Meskipun demikian, ia juga tidak menyangkal bahwa di level daerah perda diskriminatif juga menjamur. “Sudah ada semangat pengarusutamaan gender secara umum, namun semangat itu tidak berlanjut pada hal-hal yang lebih positif sekarang, tapi justru kontradiktif khususnya di daerah. Ancaman di nasional misalnya RKUHP itu juga menjadi catatan,” jelasnya. Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan tersebut mengatakan bahwa negara memiliki peran dalam membiarkan keberlangsungan radikalisme—yang berusaha menghancurkan nilai-nilai kesetaraan dan keberagaman. Pembiaran negara juga terlihat dari banyaknya kasus kriminalisasi kelompok minoritas, masyarakat adat, aktivis lingkungan, petani dan pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan. Menurutnya, ada suasana yang dibangun di tengah-tengah masyarakat bahwa musuh gerakan perempuan dan HAM adalah radikalisme, sementara publik lupa bahwa negara tidak pernah sungguh-sungguh melindungi dan menjalankan amanat reformasi. “Kita juga lupa mengkritik negara agar konsisten setelah reformasi dan menegakkan prinsip HAM dan kesetaraan gender di dalam konstitusi kita. Kedua prinsip tersebut tidak diterapkan dalam konteks investasi juga. Akhrinya pembangunan justru mengeksploitasi desa, sementara perputaran ekonomi tetap masif terjadi di Jawa. Kita perlu mengawal negara agar segera melaksanakan pekerjaan rumah mereka,” jelas Atnike. (Andi Misbahul Pratiwi) Summit on Girls 2019: Memotret Peran Media di Indonesia Dalam Mempromosikan Kesetaraan Gender12/12/2019
![]() “Dalam penelitian Rewrite Her Story Plan Internasional pada tahun 2018 yang melibatkan 10.000 anak perempuan di 20 negara ditemukan bahwa perempuan masih termarginalkan perannya dalam media. Hal ini memengaruhi cara bertutur mereka di media audio visual termasuk bagaimana perempuan digambarkan di media,” ujar Nazla, Influencing Director Plan Indonesia. Nazla melanjutkan bahwa dari penelitian lain terkait representasi perempuan di dalam film, ditemukan bahwa film-film paling populer di dunia mengirimkan pesan kepada anak perempuan dan perempuan muda bahwa kepemimpinan lebih banyak untuk laki-laki. Pemimpin perempuan dalam film-film layar lebar--baik itu sebagai presiden, CEO atau pemilik bisnis--jauh lebih mungkin digambarkan sebagai objek seks yang ditampilkan dalam pakaian terbuka atau bahkan telanjang. Riset tersebut juga menemukan karakter pemimpin perempuan di dalam film yang diperlakukan tidak sebaik karakter laki-laki dan narasi cerita yang masih didominasi laki-laki. Paparan Nazla tersebut mengawali diskusi paralel bertema “The Media Darlings” dalam rangkaian kegiatan Summit on Girls 2019 yang diselenggarakan Yayasan Plan Indonesia (10/12/2019) di Balai Kartini. Diskusi tersebut tersebut juga menghadirkan Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Dr. Atnike Nova Sigiro, Fitria Sofyani (Chief of Kumparan Woman), Rachel Amanda (Youth Advisory Panel UNFPA & Aktris), Arief Suditomo (Deputy CEO Metro TV) sebagai pembicara. Nazla melanjutkan bahwa media memiliki peran besar bagi anak khususnya anak perempuan, sebab melalui film anak dapat melihat karakter positif yang dapat menginspirasi mereka. Untuk itu menurutnya perempuan perlu menuliskan kisah-kisah anak perempuan dari sudut pandang mereka sendiri. Menanggapi hal tersebut, Atnike Nova Sigiro menyampaikan dalam konteks Indonesia bahwa film layar lebar yang ditayangkan di bioskop yang hanya bisa diakses kalangan tertentu. Di sisi lain, perempuan dan anak perempuan dari kelas menengah bawah mengonsumsi tayangan sinetron di televisi yang menggambarkan perempuan perempuan sebagai objek, perempuan tidak berdaya, perempuan sebagai korban. Lebih jauh, menurut Atnike, dalam membahas media dan ketimpangan gender, khususnya diskriminasi terhadap anak perempuan, tidak cukup hanya bicara soal film atau sinetron. Iklan di televisi pun pada umumnya mengobjektifikasi tubuh perempuan. “Kebanyakan iklan yang diperankan oleh perempuan menampilkan perempuan cantik namun sesuai dengan mitos kecantikan,” ujar Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan itu. Selain film dan iklan, berita di media massa maupun daring pun belum berpihak pada suara perempuan, anak perempuan, dan korban. “Judul berita seringkali dibuat bombastis dan sensasional namun tidak sesuai dengan isinya,” lanjut Atnike. Menurutnya media seharusnya memproduksi hal-hal yang mendukung keseteraan bukan malah menyerah pada kompetisi pasar yang cenderung bias gender. Menurutnya harus ada kehendak dari media untuk memproduksi konten yang mendukung kesetaraan dan pendidikan bagi media tentang kesetaraan gender. Hal senada disampaikan oleh Rachel Amanda yang akrab dipanggil Manda. Ia menuturkan bahwa dalam dunia film, yang memiliki kuasa untuk menentukan cerita adalah produser dan sutradara, yang mana masih didominasi laki-laki. Pelaku film yang tertarik untuk mengangkat isu perempuan masih sedikit karena indsutrinya masih mengikuti selera pasar. Fitria dari Kumparan mengutarakan bahwa di industri media tempat ia bekerja memiliki komitmen untuk menyampaikan berita yang mengutamakan substansi, meskipun menurutnya masih banyak tantangan yang ditemui. Di Kumparan, dari 11 kanal hanya terdapat 4 editor perempuan. Fitria menyampaikan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mengelola media yang mendukung kesetaraan gender. Dari ratusan jurnalis yang dikelola, masih sangat sedikit yang paham isu gender. Secara internal juga sudah ada aturan (guideline) untuk isu perempuan dan anak, hanya saja isu spesifik anak memang belum digarap. Fitria mengungkapkan dari pengalamannya bekerja di media daring, memang masih banyak yang belum memahami perspektif gender. Maka tidak mengejutkan jika banyak berita dengan judul dan isi yang tidak mendukung kesetaraan. Menurut Fitria perspektif gender harus dibangun sejak awal kepada tim redaksi atau jurnalis. “Tantangan dari luar kadang muncul dari pembaca yang mematahkan semangat penulis melalui komentar, bahkanketika penulis menuliskan berita atau artikel yang menginspirasi sekalipun. Saya berharap ke depan ada mekanisme umpan balik dari netizen, untuk memberikan tanggapan yang sehat agar konten yang menginspirasi dapat terus diproduksi,” pesan Fitria. Arief Suditomo, Deputy CEO Metro TV, menyampaikan bahwa sensitivitas gender di media perlu terus dikawal oleh pembaca maupun pemirsa. Di media tempatnya bekerja sendiri tidak ada formula atau aturan spesifik untuk menuliskan pemberitaan yang adil gender, tetapi sumber daya manusia (SDM) sudah memiliki sensitivitas tersebut sehingga dapat saling mengoreksi satu sama lain. “Dalam konteks industri media yang tergantung pada selera pasar, revenue dan rating merupakan target dari setiap media dan kadang yang terjadi adalah seberapa jauh satu media rela berkorban demi menghasilkan berita yang berkualitas,” ungkap Arief. Iaoptimis bahwa masih ada harapan untuk siaran televisi berita untuk dapat menjadi media yang menginspirasi. Siaran televisi berita sebab mampu memotret kondisi sosial sebagai referensi atau potret riil situasi sosial di masyarakat,tidak seperti sinetron yang sekadar menunjukkan fantasi. Summit on Girls adalah bagian dari kampanye Girls Get Equal yang diluncurkan Plan Internasional pada tahun 2018. Girls Get Equal sendiri adalah kampanye perubahan sosial yang dipimpin oleh anak muda. Pesan utama gerakan kampanye tersebut bertujuan memastikan setiap anak perempuan dan perempuan muda memiliki kuasa terhadap hidupnya dan bisa mempengaruhi dunia di sekitarnya. Dengan tajuk Getting Equal: Let’s Invest in Girls, Summit on Girls tahun 2019 bertujuan untuk memfasilitasi dialog antara figur pemimpin, tokokh berpengaruh, pegiat kesetaraan gender, anggota komunitas, cendekiawan dan kaum muda dari berbagai latar belakang untuk saling menginspirasi dan memberdayakan diri mereka sendiri demi terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia. Tema Invest in Girls diangkat karena investasi pada anak perempuan dapat memperluas akses mereka pada pendidikan dan lapangan pekerjaan yang beragam. Dalam acara ini berbagai sesi diskusi paralel diselenggarakan dengan topik yang beragam mulai dari isu politik dan kepemimpinan perempuan, perempuan dan pekerjaan, aktivisme di era digital, perempuan dan media, perubahan iklim dan membongkar stereotipe. Masing-masing sesi diisi oleh pakar dan pegiat yang mendalami isu di bidang tersebut. (Dewi Komalasari) ![]() Plan Indonesia adalah sebuah organisasi kemanusiaan berskala global yang memperjuangkan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. Saat ini Plan bekerjasama dengan 71 negara di dunia. Sejak tahun 1969 Plan Indonesia sudah beroperasi di Indonesia, saat ini Plan telah mensponsori lebih dari 35.000 anak dari kelompok marginal. Jakarta (10/12), sebagai bentuk komitmen dalam kampanye Girls Get Equal dan dalam rangka perayaan ulang tahun Plan Indonesia yang ke-50, Plan Indonesia menyelenggarakan Forum yang mengusung tema Getting Equal: Let’s Invest in Girls! ini mendiskusikan pentingnya investasi untuk anak dan kaum muda perempuan selain untuk membangun kesetaraan gender, juga untuk pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Kegiatan ini diselnggarakan di Balai Sarbini. Prof. Fasli Jalal selaku Dewan Pembina Plan Indonesia dalam sambutannya menyatakan bahwa Indonesia telah menunjukkan konsistensi dalam upaya mendorong pemenuhan hak anak perempuan lewat regulasi dan kebijakan. Hal ini ditunjukkan melalui bagaimana Konvensi Perlindungan Anak dan CEDAW telah mendapat tempat dalam Undang-Undang namun demikian capaian yang didapatkan belum begitu baik. “Kita sadar bahwa kita perlu melakukan investasi pada perempuan karena faktanya capaian kita belum seperti yang kita harapkan. Satu dari tiga anak kita masih stunting, angka kematian bayi masih mencemaskan, tingkat AKI masih cukup memilukan karena kita belum berhasil menurunkan angkanya secara signifikan, begitu juga dalam hal pendidikan, akses anak pada pendidikan di Indonesia telah membaik tetapi mutu dan keterlibatan perempuan dalam kelembagaan juga kurikulum masih perlu ditingkatkan” ungkap Fasli Djalal, mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional. Menurut Prof. Fasli Jalal tidak ada jalan lain selain memberikan perhatian dan investasi perempuan agar keterlibatan perempuan meningkat dalam pendidikan dan dunia kerja. Sejalan dengan itu, wakil menteri keuangan Suahasil Nazara juga mengungkapkan bahwa negara akan kehilangan potensi terbesarnya jika gagal memberdayakan perempuan termasuk anak perempuan. “Terdapat stereotipe mengenai keterlibatan perempuan di berbagai sektor yang sering tidak dianggap sebagai inti utama. Kampanye Getting Equal: Let’s invest in Girls ini baik untuk digaungkan kepada seluruh pembuat kebijakan dari seluruh kementerian, para pemerhati pembangunan dan seluruh lapisan masyarakat,” ungkap Suahasil Nazara. Laporan McKinsey pada tahun 2018 menunjukkan bahwa kesetaraan gender dapat meningkatkan potensi produk domestik bruto (PDB). Di Indonesia, PDB tahunan berpotensi meningkat hingga 135 miliar USD pada 2025 dengan tercapainya kesetaraan gender. Namun saat ini, Indonesia berada di peringkat 116 dari 189 negara dalam Gender Inequality Index UNDP. Peringkat ini lebih rendah dari negara tetangga seperti Singapura, Filipina, dan Thailand. Tiga indikator dalam indeks ini termasuk pembangunan SDM, pemberdayaan perempuan, dan partisipasi dalam lapangan pekerjaan formal. Dalam pidato kuncinya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang diwakili oleh Deputi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ghafur Dharmaputra menunjukkan bahwa pelibatan perempuan di berbagai sektor penting untuk dilakukan. “Dengan melibatkan semakin banyak perempuan di berbagai bidang, Indonesia akan semakin maju dan sama dengan negara-negara maju lainnya. Inilah peran kita bersama, pemangku kepentingan, lembaga dan seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan hal tersebut” tandas Ghafur. Mendorong keterlibatan perempuan menjadi penting sebab adalah bagian dari pemenuhan SDGs. Menurut Ghafur ada 5 target SDGs yang terkait kesetaraan gender, tujuannya adalah memanusiakan manusia dengan prinsip “no one left behind dan inclusive”. Oleh karena itu kerja sama antara negara, swasta, ngo, akademisi, media, tokoh masyarakat perlu dilakukan untuk memastikan tujuan tersebut tercapai. Dalam forum ini berbagai tantangan dan rekomendasi diperbicangkan. Kegiatan ini melibatkan sekitar 500 peserta dan lebih dari 40 pembicara yang merupakan anak dan kaum muda, serta 14 mitra institusi. Terdapat enam topik pilihan diskusi, yaitu perempuan muda di bidang politik, sains dan teknologi, dunia kerja, dunia digital, industri kreatif dan media, serta perubahan iklim. Summit on Girls 2019 juga dihadiri oleh Nahar - Deputi Perlindungan Anak yang mewakili Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dr. Ir. Subandi, M. Sc - Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat & Kebudayaan BAPPENAS, Fauziah - Direktur Bina Instruktur dan Tenaga Kepelatihan yang mewakili Menteri Tenaga Kerja, dan Sumiyati - Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Beberapa pembicara utama yang terlibat diantaranya Prof. DR. Fasli Jalal – Dewan Pembina Yayasan Plan International Indonesia; H.E. Cameron MacKay - Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste; Suci Apriani – Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa dari Lombok Barat; Hannah Al-Rashid aktor dan aktivis kesetaraan gender; serta Suzy Hutomo pendiri dan Chairperson Body Shop Indonesia, NGO pemerhati anak dan perempuan (Abby Gina). ![]() Jakarta (24/11/2019), lebih dari 200 peserta hadir dalam gelaran Feminist Festival (FemFest) 2019 telah dilangsungkan pada hari Sabtu dan Minggu, 23-24 November 2019 di Wisma PKBI, Jakarta. Acara ini merupakan puncak dari rangkaian kegiatan yang telah diadakan sejak Oktober. Diselenggarakan oleh Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), FemFest 2019 menjadi gelaran kedua yang dibuat sejak debut perdananya di tahun 2017 lalu. Acara dibuka secara resmi oleh Koordinator Umum FemFest 2019, Skolastika Lupitawina (Tika), yang mengungkapkan bahwa acara ini dibentuk sebagai upaya untuk mendorong pemahaman bahwa pada hakikatnya, feminisme bukan barang impor melainkan perspektif perjuangan yang sudah lama hidup di Indonesia. “Peserta yang hadir sangat antusias dan seru. Mereka ikut karena peduli tentang isu-isu yang kita gaungkan, misalnya keterwakilan perempuan dalam politik, perempuan dalam budaya, pendidikan, dan reforma agraria, hak pekerja perempuan, serta isu-isu seputar kesehatan dan reproduksi, kesehatan mental, hingga yang berkaitan dengan hukum seperti RKUHP dan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual),” kata Tika. Dengan banyaknya pleno dan diskusi yang dihadirkan oleh Femfest 2019, Tika ingin generasi muda saat ini bisa membawa tongkat estafet perjuangan dari generasi sebelumnya. Tidak hanya itu, dia berharap isu-isu yang dibicarakan dalam FemFest 2019 bisa berdampak terhadap diskursus publik dan pembuatan kebijakan yang lebih pro-publik dan ramah terhadap perempuan. Hal senada juga dikatakan oleh salah satu pengisi acara, Tunggal Pawestri (HIVOS), yang mengungkapkan bahwa banyak sekali isu yang tengah dihadapi oleh perempuan di Indonesia, khususnya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Ia mendorong perempuan Indonesia untuk tidak tinggal diam, tetapi perlu bergerak bersama. “Belum disahkannya RUU PKS dan juga RKUHP yang cenderung mengkriminalkan perempuan, kita juga punya banyak isu tentang kekerasan dalam rumah tangga, kemudian child marriage, hingga angka kematian ibu yang tinggi. Kita harus menghimpun diri untuk solidaritas, bergerak bersama, bekerja secara kolektif, berjuang untuk merespon hal-hal ini,” kata Tunggal. Pada hari pertamanya, sejumlah moderator dan pembicara lintas latar belakang, mulai dari pejuang advokasi, politisi, hingga selebritis tanah air turut hadir, diantaranya Devi Anggraini (KAPAL Indonesia), Vicky Singmin (Mission of Canada to ASEAN), Dena Rahman (Seniman), Hannah Al Rashid (Aktor & Aktivis), Tara Basro (Aktor), Kokok Dirgantoro (Pengusaha/PSI), Dr Marcia Soumokil (IPAS), Maryam Lee (Penulis “Unveiling Choice”- Malaysia), Zuby (The Healing Circle Singapore), serta Tunggal Pawestri (HIVOS). Hari ini, sesi pleno dan diskusi akan diisi oleh Kalis Mardiasih (Gusdurian), Devi Anggraini (PEREMPUAN AMAN), Nur Hidayati (WALHI), Susan Herawati (KIARA), Maidina Rahmawati (ICJR), Ratna Batara Munti (JKP3), Riska Carolina (PKBI), Rika Rosvianti (perEMPUan), Silvia Halim (MRT Jakarta), Mian Tiara (Seniman), Bhagavad Sambadha (Jurnalis & Fotografer), Margianta Surahman (Emancipate Indonesia), Rani Hastari (Plan International), serta Anindya Restuviani (Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta/JFDG). Malamnya, seluruh rangkaian FemFest akan ditutup dengan penampilan dari sejumlah seniman. Misal, penampilan tari perut dari Christine Yaven hingga pertunjukan komedi dari komika Indonesia, Sakdiyah Ma’ruf. Di FemFest 2019, peserta juga dapat mengunjungi pameran komunitas dan cuci gudang yang akan digelar selama dua hari FemFest 2019 berlangsung. Kehadiran pameran ini juga turut diisi oleh berbagai stan dari berbagai mitra Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hadir diantaranya Rumah Faye, Yayasan PLAN International Indonesia, Yayasan IPAS, Indorelawan, Walhi, dan Amnesty International Indonesia. Sejak acara Women’s March Jakarta 2017, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta memang mulai menyadari ketertarikan masyarakat terhadap gerakan feminisme di Indonesia. “FemFest 2019 ini dihadiri oleh lebih dari dua ratus peserta dari berbagai kalangan, dan banyak juga yang tertarik datang dan tahu mengenai acara ini lewat Women’s March Jakarta,” ujar Tika. Tika juga berharap melalui acara FemFest ini anak muda bisa tahu landasan perjuangan mereka dan bergerak nyata di kemudian hari. (Pers Rilis) ![]() Feminist Festival (FemFest) 2019 telah dilangsungkan pada hari Sabtu dan Minggu (23-24 November 2019) di Wisma PKBI, Jakarta. Acara ini merupakan puncak dari rangkaian kegiatan yang telah diadakan sejak Oktober. Diadakan oleh Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, Femfest 2019 adalah festival kedua yang dibuat sejak festival perdana di tahun 2017 lalu. Skolastika Lupitawina, selaku Koordinator Umum FemFest 2019 dan salah satu penggagas acara ini, mengungkapkan acara ini dibentuk sebagai upaya untuk mendorong pemahaman bahwa feminisme bukan barang impor, melainkan perspektif dan perjuangan yang sudah lama hidup di Indonesia. “Kami juga ingin mendorong masyarakat, khususnya muda-mudi, untuk turut menjadi aktivis feminis dengan pemahaman ini,” ujar perempuan yang akrab disapa Tika ini. Mengangkat tema ‘Feminis Buatan Indonesia’ tahun ini FemFest 2019 mengundang moderator, pembicara lintas latar belakang, mulai dari pejuang advokasi, politisi, hingga selebritis tanah air termasuk, Devi Anggraini, Anis Hidayah, Vicky Singmin, Dena Rachman, Hannah Al Rashid, Tara Basro, Maryam Lee, Ika Vantiani, Bhagavad Sambadha, Tunggal Pawestri, Marcia Soumokil, Dara Nasution, Kalis Mardiasih dan banyak lainnya. Pemilihan narasumber yang beragam ini dilakukan atas berbagai pertimbangan. “Kami ingin memasukkan semua input yang bisa kami kumpulkan dari beragam latar belakang hingga negara sehingga semua peserta juga diharapkan bisa tersampaikan aspirasinya,” ujar Anindya Restuviani yang merupakan Pembina acara ini. FemFest 2019 juga mengajak teman-teman disabilitas untuk datang ke acara dwitahunan ini dengan membuat acara ini mudah diakses oleh semua. “Kami sangat berusaha untuk membuat acara ini ramah bagi teman-teman disabilitas dan juga ramah anak. Kami ingin membuat Femfest 2019 ini tempat belajar bagi peserta yang tertarik seputar feminisme, jadi tidak salah kaprah,” tambah Anindya yang akrab disapa Vivi. Mengenai kritisi yang ditujukan ke panitia beberapa waktu lalu di media sosial mengenai inklusivitas, Tika juga mengungkapkan bahwa hal tersebut dapat menjadi masukan yang berarti bagi panitia untuk selalu memberikan yang terbaik ke depannya. “Kami tahu kami memiliki kekurangan dan kami sangat terbuka untuk semua masukan. Kami senang ternyata orang-orang peduli dengan gerakan ini,” ujar Tika. Sejak acara Women’s March 2019 lalu yang dihadiri oleh ribuan peserta di Jakarta, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta memang mulai menyadari ketertarikan masyarakat terhadap gerakan feminisme di Indonesia. “Femfest 2019 ini dihadiri oleh lebih dari dua ratus peserta dari berbagai kalangan, dan banyak juga yang tertarik datang dan tahu mengenai acara ini lewat Women’s March,” ujar Tika. Tika juga berharap melalui acara Femfest ini anak muda bisa tahu landasan perjuangan mereka dan bergerak nyata di kemudian hari. Selama dua hari berjalan, acara akan selalu ditutup dengan penampilan dari sejumlah seniman. Misal, penampilan tari bellydance dari Christine Yaven hingga pertunjukan komedi dari Sakdiyah Ma’ruf. Dua seniman tersebut merupakan hiburan penutup yang dapat disaksikan usai rangkaian agenda FemFest 2019 berlangsung. Di FemFest 2019, peserta juga dapat mengunjungi bazar komunitas serta garage sale yang akan digelar selama dua hari FemFest 2019 berlangsung. Kehadiran bazar ini juga turut diisi oleh berbagai booth dari berbagai mitra Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hadir, yakni Rumah Faye, Yayasan PLAN International Indonesia, Yayasan IPAS, Indorelawan, Walhi, dan Amnesty International Indonesia. (Pers Rilis) ![]() Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Cakra Wikara Indonesia (CWI) menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Keterwakilan Perempuan dalam Agenda Politik Pasca Pemilu 2019” bertempat di Hotel Ashley, Kamis (24/10). Dalam sambutannya, Ketua CWI Anna Margret, menyampaikan bahwa diskusi ini ditujukan untuk melihat situasi keterwakilan perempuan di Indonesia berdasarkan data hasil Pemilu 2019; serta menyandingkan data di tiga siklus terakhir pemilu mulai tahun 2009, 2014, 2019. Selain menyajikan data geospasial di DPR dan DPRD, Anna Margret juga mengajak para peserta yang terdiri dari anggota partai politik, anggota DPR, aktivis, akademisi, praktisi politik, dan media massa untuk mendiskusikan sejauh mana kebijakan afirmatif telah memperkuat keterwakilan perempuan dan kepentingan perempuan yang beragam. Acara diawali dengan pemaparan data dan analisis hasil penelitian CWI data geospasial keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD di hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali di Papua. Data geospasial CWI juga menampilkan daerah yang pencalonan legislatif perempuannya dibawah rata-rata, daerah yang ramah terhadap caleg perempuan, peta wilayah yang tidak menyumbangkan kursi ke DPR-RI. CWI menemukan bahwa terdapat 7 provinsi yang tidak menyumbangkan kursi perempuan di DPR RI, yaitu Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Papua Barat. Kegiatan dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan narasumber Nihayatul Wafiroh (Anggota DPR RI Fraksi PKB), Ace Hasan Syadzily (Anggota DPR RI Fraksi Golkar), Erma Suryani Ranik (DPP Partai Demokrat), Khariroh Ali (Komnas Perempuan RI), Sutriyatmi Atmadiredja (Koalisi Perempuan Indonesia) dan Anna Margret (Cakra Wikara Indonesia). Diskusi dipandu oleh Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan selaku moderator. Dalam diskusi publik ini, ada beberapa informasi yang penting dapat diambil; salah satunya adalah fakta bahwa tidak semua aleg (anggota legislatif) perempuan memiliki pengetahuan mengenai kesetaraan dan keadilan gender. Ace Hasan menjelaskan bahwa tantangan dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah banyaknya oposisi dari kalangan aleg perempuan. “Fakta ini menunjukkan bahwa gerakan perempuan masih punya pekerjaan rumah yang besar untuk menyosialisasikan perspektif gender dalam perjuangan politik,” ujarnya. Ace juga menekankan bahwa minimnya perspektif gender di kalangan politisi dan juga masyarakat membuat proses melahirkan kebijakan pro gender semakin sulit. Nihayatul Wafiroh, yang kerap dipanggil Ninik, melanjutkan bahwa banyak aleg perempuan yang memiliki afiliasi atau hubungan dekat atau kekerabatan dengan politikus, figur negara, dan/atau daerah. Ninik berargumen bahwa pendidikan politik masih sangat relevan dan penting untuk aleg perempuan. “Kita tidak bisa lagi memilih siapa yang dipilih rakyat, tapi yang kita bisa lakukan adalah meningkatkan kualitas mereka,” ujar Ninik. Lebih jauh, ia menekankan bahwa pendidikan adil gender untuk para aleg laki-laki juga harus ditingkatkan supaya agenda kesetaraan gender dapat masuk kedalam agenda politik. Para narasumber juga menyampaikan bahwa peran dan keterlibatan Civil Society Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat adalah penting dalam mendorong agenda politik perempuan. Para narasumber mengungkapkan harus ada dukungan dari--para aktivis dan akademisi agar kinerja aleg perempuan di DPR/DPRD dapat meningkat secara substantif. “Kita harus mengangkat sekat antara politik elektoral dan non-elektoral. Demokrasi jauh lebih maju di politik non-elektoral atau ranah aktivisme. Tetapi ketika membicarakan politik elektoral, para aktivis terkesan enggan. Kalau begini terus, siklus ini tidak akan terpatahkan. Ketika kita ingin berbicara tentang perempuan, kita juga harus berbicara tentang politik elektoral,” demikian disampaikan Anna Margret. Ia menggarisbawahi bahwa kunci bagi anggota legislatif agar dapat mengerti isu - isu HAM adalah sinergi antara DPR dengan aktivis. Mengenai pentingnya Capacity building bagi aleg perempuan juga diungkapkan oleh Sutriyatmi Atmadiredja (Koalisi Perempuan Indonesia). Sutriyatmi mengungkapkan bahwa aleg perempuan kerap kali dipertanyakan kemampuannya sebagai seorang aleg. Menurutnya, untuk mengatasi permasalahan tersebut, KPI membuat program pelatihan untuk memperkuat kapasitas aleg perempuan. “Pada tahun 2008, KPI mendapat surat permintaan dari beberapa partai politik untuk melobi kader-kader perempuan KPI untuk ikut pencalegan,” ungkap Sutriyatmi. Setelah menjadi caleg, KPI lalu menyiapkan dan mendampingi para caleg tersebut, bahkan hingga mereka menjadi aleg. Erma Suryani Ranik memberikan tanggapan kuat bahwa pekerjaan terbesar aleg perempuan sekarang adalah mengesahkan RKUHP, “Dengan segala hormat, saya dan komisi 3 minta RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan setelah RKUHP. Kita bicara konstitusi dasar dulu, ini hukum pidana, kita bereskan di KUHP, lalu yang lainnya ikut,” ungkap Erma. Menurut Erma, anggota legislatif ingin memperbaiki sistem pidana Indonesia secara keseluruhan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan jauh lebih mudah untuk disetujui ketika sistem pidana Indonesia sudah disahkan. Khariroh Ali juga setuju kalau RKUHP harus memiliki hasil yang bagus supaya tidak ada tendensi untuk mengkriminalisasi– perempuan dan masyarakat. Khariroh juga menekankan tentang politisasi identitas yang mengeras dan memiliki keterkaitan erat dengan isu perempuan. “Politik identitas juga menggunakan perempuan lain. Perempuan dihadapkan dengan perempuan lain sebagai instrumentalisasi perempuan untuk menghambat laju gerakan laki-laki dan perempuan di Indonesia,” tutur Khariroh. Demi mencapai sebuah kesetaraan gender, harapan Khariroh Ali ialah menurunya praktik politisasi identitas. Selain para panelis tersebut, moderator juga mengundang beberapa peserta kunci yang hadir untuk memberikan tanggapan terkait isu-isu yang dibahas narasumber. Sahat Farida, Anggota DPRD Depok periode 2014-2019 menyampaikan bahwa politisasi agama berdampak serius terhadap agenda perempuan. Ida Budhiati (Mantan Anggota Komisioner KPU RI) menyampaikan bahwa dikotomi perempuan dan laki-laki tidak relevan lagi karena semua aleg diharapkan dapat memiliki perspektif gender yang kuat dalam pembahasan setiap UU. Ida juga menyampaikan pentingnya untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap sistem pemilu dan sistem kepartaian yang ada saat ini. Sementara itu Nur Iman Subono, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, berpendapat bahwa keterwakilan perempuan di politik hari ini belum tentu descriptive representation/keterwakilan deskriptif. Ia juga menambahkan bahwa representasi politik perempuan dalam parlemen mengambil banyak bentuk atau tidak tunggal, sehingga solusinya juga perlu beragam dan dilihat secara multidimensi. Moderator menutup diskusi dengan mengulang pernyataan yang telah direferensikan oleh Khariroh Ali bahwa demokrasi tanpa perempuan memang bukan demokrasi. Kegiatan ditutup dengan penyerahan terbitan Jurnal Perempuan 101 Perempuan dan Demokrasi kepada para narasumber. (Hugo Ramsey Teo) ![]() Kemitraan Indonesia bersama Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan Diskusi Publik dengan tema “Perempuan Desa Gambut” dalam rangka merayakan Hari Perempuan Pedesaan Internasional pada Senin (15/10) di Conclave TB Simatupang. Kegiatan ini juga diselenggarakan sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi perempuan desa gambut dalam pembangunan desa serta guna menelaah lebih jauh persoalan dan kerentanan yang dihadapi perempuan desa gambut. Kegiatan ini juga mengundang secara khusus perempuan penganyam purun dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan untuk memamerkan dan menjual anyaman purun. Sebagai pembuka, acara ini dimulai oleh sambutan dari Monica Tanuhandaru, Direktur Eksekutif Kemitraan Indonesia Monica menyatakan bahwa isu perempuan desa gambut penting untuk diperbincangkan. “Di tengah kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, perempuan dan anak perempuan di pedesaan gambut adalah kelompok-kelompok yang paling rentan, namun keberadaan dan persoalan yang mereka alami sering tak nampak dan tak terperhatikanterdampak. Mereka mengalami dan merasakan langsung dampaknya, tetapi isu ini jarang dibicarakan, jarang diperhatikan. Untuk itu dalam diskusi ini saya berharap kita tidak sekadar memaparkan persoalan yang mereka hadapi tetapi tiba pula pada solusi.,” tutur Monica. Menurutnya, masyarakat desa gambut menghadapi ancaman kebakaran hutan dan perubahan iklim yang nyata, dan hal tersebut menurutnya memperparah kondisi rentan perempuan dan anak. Kemudian, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro dalam sambutannya mengucapkan terima kasih kepada Kemitraan--yang selama ini mendampingi perempuan desa gambut---atas kesediaannya mendukung acara diskusi dalam rangka menyebarkan pengetahuan publik terhadap isu perempuan desa gambut. Myrna Asnawati, Deputi III dari BRG (Badan Restorasi Gambut) dalam kesempatan tersebut memberikan pemaparan mengenai bagaimana posisi perempuan dalam restorasi gambut. BRG berkomitmen mengembalikan dan memulihkan lahan gambut yang terdampak. Berbicara gambut bukan berbicara mengenai kelompok atau stakeholders, melainkan berbicara semua lapisan masyarakat, berbicara tentang kepedulian kepada yang lain. Kepedulian terhadap gambut menurut Myrna nampak dari para perempuan desa. Oleh sebab itu, BRG berupaya mendorong agar perempuan terlibat dalam restorasi gambut. Keterlibatan perempuan dalam restorasi gambut yang dimaksudkan Myrna bukan sekadar peningkatan kuantitas perempuan yang terlibat tetapi juga terhadap akses manfaat yang proporsional. Namun menurut Myrna hambatan kultural adalah salah satu yang menghambat hal tersebut. Melibatkan perempuan bukan hal yang mudah sebab tidak banyak perempuan yang mau dan/atau diizinkan oleh keluarganya terlibat dalam kegiatan restorasi gambut. Walaupun demikian BRG terus berupaya memberdayakan perempuan desa gambut, misalnya melalui pelatihan-pelatihan dan memperkuat roda kegiatan ekonomi di desa yang berbasis sumber daya agar lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Diskusi publik ini menghadirkan Catharina Indirastuti (spesialis gender Kemitraan Indonesia), Rusmina (Perempuan Penganyam Purun Kalimantan Selatan), dan Misiyah (Direktur Eksekutif Institut Kapal Perempuan) sebagai pembicara dan Atnike Nova Sigiro sebagai moderator. Atnike mengantarkan diskusi dengan dengan menyatakan bahwa 15 Oktober sebagai Hari Perempuan Pedesaan Internasional. Peringatan ini menurutnya adalah bentuk pengakuan dan pemberdayaan perempuan pedesaan yang perlu diapresiasi, sebab dalam kehidupan bersama, eksploitasi dan ketidakadilan pada perempuan desa jarang dibicarakan--perempuan pedesaan adalah kelompok yang sering terabaikan. Padahal perempuan dan juga desa adalah tulang punggung masyarakat. Perayaan Hari Perempuan Pedesaan Internasional adalah momentum pengakuan atas eksistensi perempuan desa. Atnike menyatakan harapannya bahwa peringatan ini menguatkan pula komitmen negara Indonesia untuk memberdayakan para perempuan desa. Diskusi dimulai dengan paparan dari Catharina Indirastuti yang menjelaskan sejumlah persoalan masyarakat di desa gambut khususnya perempuan. Catharina menjelaskan bahwa Indonesia memiliki 20 juta Ha lahan gambut yang tersebar dari Sumatra hingga Papua. Dengan luas ini, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di Asia Tenggara, dan pada peringkat empat di dunia. Catharina menyatakan bahwa gambut memiliki peran penting dalam ekosistem. Pertama, gambut mengandung karbon dua kali lebih banyak daripada hutan yang ada di seluruh dunia, sehingga bila gambut dikeringkan, ia akan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Kedua, gambut memiliki sifat seperti spons yang dapat menyimpan air, mencegah terjadinya banjir, dan menjamin pasokan air bersih sepanjang tahun. Ketika musim hujan gambut akan menahan air dan ketika musim kemarau gambut akan melepaskan air. “Kubah Gambut di sumatera kubah gambut yang ada di Kalimantan, Sumatera, dan Papua dapat diibaratkan waduk yang dapat menyimpan jutaan kubik air hujan. Namun kita tidak menyadari fungsi tersebut. Selain kedua fungsi tersebut, gambut merupakan ruang hidup bagi berbagai unsur biotik dan abiotik. Ekosistem di lahan gambut merupakan rumah bagi beranekaragam spesies flora dan fauna, termasuk beragam spesies langka, seperti orang utan dan harimau sumatra,” tutur Chatharina. Lebih jauh, Catharina menjelaskan bahwa kesalahan tata kelola gambut tidak hanya berdampak secara ekologis tetapi juga secara sosial. Menurutnya pengeringan gambut yang selama ini dilakukan berorientasi pada pemanfaatan lahan dan melupakan prinsip tata kelola lahan yang berkelanjutan. Pengeringan lahan gambut berdampak pada pemanasan global, memperpanjang musim kemarau, meningkatnya risiko kebakaran hutan, tercemarnya tanah dan air, hilangnya pengetahuan lokal, dan berubahnya etos dalam bercocok tanam. Artinya, degradasi ekosistem gambut menyebabkan kerentanan ekologi, kerentanan budaya, kerentanan sumber kehidupan dan penghidupan dan kerentanan berbasis gender. Menurut Catharina perempuan desa gambut adalah kelompok yang paling terdampak dari kerusakan lahan gambut. “Kerusakan lahan gambut membuat perempuan tercerabut dari kerja-kerja pertanian dan beralih profesi menjadi buruh harian lepas di perkebunan sawit. Para laki-laki desa gambut bermigrasi untuk mencari sumber penghidupan baru, meninggalkan perempuan dan anak-anak di desa, implikasinya adalah meningkatnya jumlah perempuan kepala keluarga,” jelas Catharina. Kerusakan lahan gambut dengan demikian memiskinkan perempuan dan menghilangkan kemandirian pangan, dan mengancam kesehatan perempuan juga anak. Mengacu pada data Koalisi perempuan, Catharina menyatakan bahwa daerah-daerah gambut seperti misalnya Kalimantan Selatan merupakan daerah dengan angka perkawinan anak tertinggi, memiliki angka stunting tinggi, dan angka putus sekolah yang tinggi. Lebih jauh, hilangnya pengetahuan perempuan akibat hilangnya lahan gambut berimplikasi pada hilangnya tanaman-tanaman yang dekat dengan perempuan, obat-obatan dari alam, bahan baku anyaman, bahan pangan lokal. Kemudian, paparan selanjutnya oleh Rusmina dan Lisa (Perempuan Penganyam Purun Kalimantan Selatan). Rusmina dan Lisa mewakili perempuan penganyam purun di desanya, mengatakan bahwa tanaman purun penting bagi keberlangsungan ekonomi dan pengetahuan perempuan sebab purun adalah bahan utama untuk membuat anyaman bakul, tas, topi, atau tikar--dengan keterampilan menganyam yang dikuasai perempuan Banjar di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Budaya menganyam sudah dikenal sejak 500 tahun lalu di Banjar. Keberadaan purun ini bergantung pada kelestarian gambut. Dengan demikian degradasi lahan gambut membuat rentan para perempuan penganyam purun, sebab purun adalah sumber penghidupan bagi banyak perempuan. Mereka terlibat pada pada proses pencarian, pengambilan, penjemuran, penganyaman, membeli dan mengepul, hingga menjual di pasar-pasar mingguan atau pasar kerajinan. Misiyah, Direktur Institut KAPAL Perempuan dalam kesempatan tersebut juga memaparkan tentang pentingnya pelibatan perempuan dalam tata kelola desa demi tercapainya keadilan gender. Menurutnya perlu sejumlah upaya serius untuk memastikan keterlibatan perempuan dalam menentukan kebijakan dan anggaran desa. Bersama KAPAL Perempuan, Misiyah memberdayakan perempuan melalui program sekolah perempuan. Tujuannya adalah menumbuhkan kesadaran kritis, komitmen, kesadaran politik, dan kesadaran tentang keadilan gender di diri para perempuan. Sekolah perempuan menyasar perempuan desa yang terpinggirkan tujuannya agar para perempuan dapat terlibat pada ruang partisipasi seperti Musdes, Musrenbang, dan pada kelompok atau forum independen. Proses aksi kolektif yang dilakukan para perempuan bersama sekolah perempuan telah menghasilkan sejumlah capaian diantaranya adalah lahirnya kebijakan anggaran tingkat desa, kabupaten, kecamatan dan nasional. Hingga saat ini telah hadirnya 130 rancangan dan kebijakan yang pro masyatakat miskin dan responsif gender. Atnike sebagai moderator menutup dikusi publik Perempuan Desa Gambut dengan memberikan apresiasi pada seluruh narasumber dan peserta diskusi. Menurutnya Perayaan Hari Perempuan Pedesaan Internasional yang diselenggarakan oleh Kemitraan Indonesia dan Jurnal Perempuan kali ini merupakan wadah penting dimana pengetahuan para narasumber dan pengalaman perempuan perempuan penganyam desa purun dielaborasi dan disebarkan. Diskusi ini adalah salah satu dari sekian banyak upaya mendorong keadilan gender bagi perempuan desa secara khusus dan kepada seluruh perempuan secara umum. (Abby Gina) ![]() Sidang Paripurna DPR Senin 16 September 2019 menyetujui Perubahan Terbatas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahan-perubahan penting yang dilakukan atas pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut diantaranya adalah menaikkan batas umur minimal perkawinan yang sama bagi perempuan dan laki-laki menjadi usia 19 tahun. Perubahan pasal 7 ini juga memberikan aturan pengecualian jika perkawinan dibawah umur harus dilakukan maka pengecualian harus dilengkapi dengan alasan yang sangat mendesak dan bukti-bukti yang cukup. Pembahasan perubahan terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan kelanjutan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017 yang menerima sebagian permohonan pihak pemohon untuk diubahnya pasal 7 ayat (1). Permohonan Judicial Review (JR) tersebut merupakan upaya yang kedua setelah permohonan sebelumnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2014. Belajar dari pengalaman pada tahun 2014, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan individu-individu yang tergabung dalam Koalisi 18+ / Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak (diantaranya End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children For Sexual Purposes (ECPAT Indonesia), Aliansi Remaja Independen/ARI, Institute for Criminal Justice System/ ICJR, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi/KPI, Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia/PKBI, Hukumonline), tidak gentar maupun patah semangat dan bersikukuh untuk kembali melakukan JR dengan strategi yang berbeda. Pada April 2017, 3 (tiga) orang pemohon yang merupakan perwakilan penyintas perkawinan anak: Endang Wasrinah, Maryanti, dan Rasminah, diwakili oleh Tim Kuasa Hukum dari Koalisi 18+ memasukkan permohonan JR UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini kemudian dicatat sebagai perkara nomor 22/PUU-XV/2017 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adapun pasal yang diujikan dalam permohonan tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Setelah melalui beberapa kali persidangan dan sempat mengalami penundaan tanpa alasan yang jelas, pada Desember 2018 Mahkamah Konstitusi melalui amar putusannya menyatakan mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Kutipan putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa sepanjang frasa “usia 16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) adalah bertentangan dengan UUD 1974 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Amar putusan MK tersebut juga termasuk “Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019), khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan”. Berdasarkan hasil putusan MK pada Desember 2018 kelompok masyarakat sipil melanjutkan upaya advokasi kepada pembuat kebijakan agar menjalankan amanat putusan MK terkait usia perkawinan tersebut. Upaya advokasi saat itu diarahkan kepada pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) agar dapat menghasilkan draft perubahan UU Perkawinan tahun 1974 yang akan dimasukkan sebagai RUU Inisiatif Pemerintah. Beberapa diskusi yang dilakukan dengan KPPA tidak mencapai titik temu, bahkan pembahasan justru semakin melebar ke pasal-pasal lain yang berisiko dapat ditolak seluruhnya oleh Dewan. Maka koalisi masyarakat sipil kemudian menggunakan strategi lain. Kali ini dengan melobi anggota legislatif perempuan yang ada di dalam Badan Legislasi (Baleg) untuk memasukkan usulan perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke dalam Daftar RUU Kumulatif Terbuka. Dengan dukungan dari 24 (dua puluh empat) orang anggota, maka diusulkanlah RUU tersebut untuk dibahas di Baleg, pada pertengahan Agustus 2019. Dalam kesempatan hearing dengan Badan Legislasi, organisasi-organisasi perempuan menyatakan pentingnya menindaklanjuti putusan MK tersebut dan mendukung DPR untuk mengubah kebijakan terkait batas minimal usia perkawinan bagi perempuan. Sidang Badan Legislasi (Baleg) selanjutnya menyepakati pembentukan Panitia Kerja (PANJA) yang bertugas untuk melakukan pembahasan lebih lanjut. Pembentukan PANJA merupakan strategi yang dipilih bersama agar proses pembahasan dapat dilakukan lebih cepat jika dibandingkan dengan mengembalikan inisiatif tersebut kepada Komisi VIII, mengingat pada saat yang bersamaan Komisi VIII sedang membahas dua RUU lain yang juga tidak kalah pentingnya yaitu RUU Pekerja Sosial dan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual. Dalam rapat-rapat PANJA, sempat muncul perdebatan atas batas minimal usia perkawinan bagi perempuan. Berbagai usulan diajukan, mulai dari 17 (tujuh belas), 18 (delapan belas) dan 19 (sembilan belas) dengan argumennya masing-masing. Namun diputuskan kemudian dalam Rapat Kerja dengan Pemerintah pada tanggal 12 September 2019 bahwa minimal usia perkawinan untuk perempuan dan laki-laki adalah 19 (sembilan belas) tahun. Dari 10 (sepuluh) fraksi di DPR, 8 (delapan) fraksi menyetujui perubahan tersebut, sementara 2 (dua) fraksi lainnya yaitu F-PKS dan F-PPP tetap bertahan pada usia 18 tahun. Selain pasal 7 ayat (1), disepakati juga perubahan pada ayat 2, 3 dan 4 pasal yang sama serta penambahan pasal baru yang disisipkan di antara pasal 65 dan 66. Dalam rapat tersebut PANJA juga berpendapat bahwa RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dilanjutkan pembahasannya dalam Pembicaraan Tingkat II yakni pengambilan keputusan agar RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan sebagai Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Persetujuan DPR untuk melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan yang sudah berusia 45 (empat puluh lima) tahun merupakan angin segar bagi upaya menghapuskan perkawinan anak di Indonesia. Keberadaan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan (sebelum perubahan) yang menyebutkan bahwa perkawinan diizinkan jika perempuan sudah mencapai usia 16 tahun merupakan bentuk legalisasi terhadap terjadinya perkawinan anak, khususnya anak perempuan; karena UU Perlindungan Anak secara jelas menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Tidak berhenti di situ, UU Perkawinan pun masih menyisakan ruang untuk terjadinya perkawinan bagi anak-anak yang berusia di bawah ketentuan UU (16 tahun bagi perempuan, dan 19 tahun bagi laki-laki) melalui ketentuan pemberian dispensasi. Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan yang komplit, secara fisik, seksual, mental dan sosial. Pejuang hak-hak anak bahkan merujuk perkawinan anak sebagai bentuk legalisasi perkosaan terhadap anak atas nama perkawinan, karena sesungguhnya segala bentuk hubungan seksual dengan anak-anak adalah pemerkosaan. Oleh karena itu, perubahan batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki diharapkan dapat menghentikan terjadinya perkawinan anak. Ditambah dengan diperketatnya aturan terkait pemberian dispensasi yang diharapkan dapat menekan angka perkawinan anak. Jika sebelum perubahan, orang tua dapat mengajukan dispensasi (dalam hal usia calon mempelai di bawah batas minimal yang ditetapkan UU) ke pengadilan atau pejabat lain; maka dalam perubahan yang baru disahkan dispensasi hanya dapat diajukan kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Selain itu, pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut juga wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Tambahan ayat terakhir adalah guna menghindari terjadinya perkawinan paksa dimana anak-anak dikawinkan tanpa dimintai persetujuannya. Masih terbukanya ruang dispensasi, terutama tanpa aturan yang ketat, dinilai masih akan kontraproduktif terhadap upaya menghentikan perkawinan anak. Dalam pernyataan pers-nya, Koalisi 18+ menilai bahwa rumusan dispensasi dalam perubahan yang diusulkan masih belum cukup ketat untuk menghindari terjadinya penggunaan ketentuan ini oleh kelompok pelaku kekerasan seksual terhadap anak maupun pedofil. Ketiadaan deskripsi mengenai apa yang dimaksud dengan “alasan mendesak” dan “bukti yang cukup” dapat kembali menjadi akar permasalahan dari dispensasi sebagaimana yang ada saat ini. Koalisi 18+ menyampaikan bahwa frasa “bukti yang cukup” harus dapat dijabarkan secara lebih jelas, bahwa dalam hal pemberian dispensasi oleh pengadilan maka hakim harus mempertimbangkan kesiapan seluruh aspek yang ada pada subyek dispensasi. Frasa tersebut harus pula dibuktikan di persidangan dengan bukti-bukti ilmiah, diantaranya adalah aspek kesehatan baik fisik maupun psikologis. Menanggapi hal tersebut, Ketua PANJA Drs. Sudiro Asno, Ak menyampaikan adanya tarik ulur antar fraksi di dalam proses pembahasan rancangan perubahan undang-undang perkawinan tersebut. Disampaikan oleh Sudiro bahwa “kalau dispensasi tidak diatur, dikhawatirkan akan banyak memunculkan perkawinan-perkawinan ilegal (tak tercatat)”. Pengesahan perubahan Undang – undang Perkawinan tahun 1974 tentu bukan satu-satunya solusi untuk sepenuhnya menghapus persoalan perkawinan anak di Indonesia. Persoalan perkawinan anak juga berjalin-kelindan dengan persoalan lain seperti kekerasan seksual terhadap anak, perilaku seks remaja yang tidak aman, kehamilan tidak dikehendaki. Persoalan-persoalan tersebut membutuhkan solusi yang berbeda seperti kebijakan yang mengatur mengenai penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS), kebijakan yang mengatur pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi bagi remaja, juga kebijakan yang menjamin tersedianya layanan aborsi yang aman. Karena tidak tak dapat dipungkiri, persoalan-persoalan tersebut sering dijadikan alasan oleh para orang tua untuk mengawinkan anak-anaknya. Selain minimnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual bagi anak dan remaja, persoalan kemiskinan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perkawinan anak di Indonesia. Namun dengan adanya perubahan batas minimal usia dalam UU Perkawinan menjadi 19 tahun, maka perjuangan gerakan perempuan telah menghasilkan buah, yaitu Indonesia tidak lagi melegalkan perkawinan anak. (Dewi Komalasari) ![]() Bertempat di Hong Kong Café, CISC (Cancer Information & Support Centre) menyelenggarakan konferensi pers berjudul “Tantangan dan Harapan: Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan Pasien Kanker Payudara HER2-Positif di Indonesia” pada Kamis (29/8). Rangkaian acara terdiri dari, pertama Talkshow, yang menghadirkan dr. Farida Briani, SpB(K) Onk dan dr. Ronald A. Hokum, Sp.PD-KHOM sebagai narasumber serta Ayu Dyah Pasha sebagai moderator. Kedua, testimoni penyintas kanker payudara HER2-positif, yang disampaikan oleh Juniarti Tanjung dan Wielly Wahyudin. Ketiga, sosialisasi Komunitas CISC for HER2 dan peluncuran Lomba Tulis Cerita tentang HER2. Farida memulai paparannya dengan membahas pengetahuan dasar mengenai kanker, meliputi definisi kanker, subtipe kanker, harapan hidup pasien kanker payudara (berdasarkan stadium), dan lain sebagainya. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa kanker payudara memerlukan perhatian khusus dan serius sebab merupakan penyebab kematian tertinggi di hampir semua tempat di dunia. “Berdasarkan data Globocan 2018, kanker payudara adalah penyebab kematian tertinggi dibanding jenis kanker lainnya, yaitu 17/100.000 pasien. Berdasarkan data dari Kemenkes, angka kejadian tertinggi untuk kanker pada perempuan adalah 42,1/100.000 penduduk,” ujarnya. Selanjutnya, Farida menjelaskan tentang kanker payudara subtipe HER2-Positif. Ia mengatakan bahwa kanker tipe ini berkaitan dengan prognosis buruk karena pertumbuhan agresif tumor dan risiko metastasis (penyebaran) yang tinggi, sehingga merupakan tipe kanker yang ganas. Selain kemoterapi, ada pengobatan lain yang dinilai lebih menguntungkan bagi pasien pengidap penyakit ini, yaitu terapi target. “Terapi sistemik kanker payudara subtipe HER2 menurut banyak penelitian berskala internasional yang hasilnya sejak 1998 hingga sekarang secara konsisten memperlihatkan keuntungan bagi pasien adalah terapi yang mengandung terapi target,” jelas Farida. Namun menurutnya, obat terapi target ini relatif mahal. Selain obat yang membutuhkan biaya tidak sedikit tersebut, ia pun menyayangkan pelayanan di hampir semua rumah sakit pemerintah di Indonesia masih banyak yang seharusnya diperbaiki, baik dari aspek prosedur diagnostik maupun pengobatan kanker payudara. Menurutnya, banyak alternatif yang bisa ditempuh pemerintah, yang kelak hasil perbaikan atau evaluasi diharapkan bukan hanya akan lebih sesuai dengan standar terapi yang benar, namun juga akan lebih menghemat pengeluaran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Setelah itu, Talkshow dilanjutkan oleh Ronald sebagai narasumber kedua. Ia mengatakan bahwa tingginya kematian akibat kanker dapat dicegah, melihat angka kesembuhan akibat berbagai jenis kanker yang meningkat tajam. Sebagai contoh, saat ini di Inggris ada sekitar 80% pasien kanker payudara yang memiliki harapan hidup 10 tahun sejak diagnosis awal, angka ini meningkat dibandingkan pada awal tahun 1970-an yang hanya 40%. “Namun, permasalahannya di Indonesia adalah pada tahap pencegahan dan deteksi dini,” imbuhnya. Ia menceritakan bahwa pada beberapa kasus yang ditemuinya, sebagian besar pasien kanker datang di rumah sakit sudah dalam stadium lanjut dimana kemungkinan sembuhnya kecil, dan sering memerlukan obat yang sangat mahal. Lebi lanjut, mengenai HER2-Positif, ia menjelaskan bahwa sekitar 20–25% kanker payudara di Indonesia merupakan jenis HER2-Positif yang bersifat lebih ganas. Namun menurutnya, jika dilakukan pengobatan anti-HER2 dan ditangani yang benar, maka harapan sembuh dapat meningkat secara bermakna. Setelah sesi Talkshow, acara dilanjutkan dengan sesi testimoni. Juniarti Tanjung menceritakan pengalamannya berhadapan HER2-Positif. Sejak mendapatkan diagnosis positif kanker payudara pada 2018, ia memutuskan untuk segera menjalankan berbagai prosedur pengobatan dari dokter. Hingga pada Juli 2019, ia pun dinyatakan telah bersih dari kanker payudara HER2-Positif. Menurutnya, pengalaman yang berkesan adalah memperjuangkan dijamin kembalinya obat trastuzumab dalam BPJS Kesehatan. Obat seharga Rp 25 juta per botol per 440 mg ini sempat dibatasi bahkan diduga dipersulit aksesnya. Setelah ia mengajukan gugatan, jalan tengah yang diambil adalah BPJS Kesehatan akan menjalankan Permenkes No. 22 Tahun 2018, yang menyatakan trastuzumab tetap dijamin oleh BPJS Kesehatan. Kemudian, testimoni kedua disampaikan Wielly yang juga menceritakan pengalaman serupa mengenai HER2-Positif. Menurutnya, sangat tabu bagi seorang laki-laki bisa terkena kanker payudara, sebab penyakit ini identik dengan perempuan. “Sangat sulit bagi saya untuk menerima diagnosis kanker payudara, terlebih jenis HER2-Positif pula yang semakin menambah keasingan penyakit ini,” ungkapnya. Tak pernah tebersit dalam benaknya jika ia akan mengidap penyakit ini. Beruntung, dukungan kantor dalam hal finansial dan adanya dukunga mental dari keluarga membuatnya mampu melewati hal berat ini dan berhasil sembuh dari kanker payudara tipe ganas ini. Acara selanjutnya adalah sosialisasi komunitas CISC for HER2. Dengan semangat untuk turut berperan aktif dalam segala hal yang berhubungan dengan kanker payudara HER2-Positif, CISC membentuk komunitas bernama “CISC for HER2”. Diharapkan komunitas ini dapat menjadi wadah untuk berbagi informasi, inspirasi, dan dukungan bagi pasien, penyintas, juga keluarganya. Diharapkan pula dapat merumuskan upaya-upaya yang diperlukan dalam rangka melindungi hak pasien dan mendorong perbaikan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dalam program JKN, sejak stadium dini. Dan sebagai bentuk saluran komunikasi digital, CISC menggelar Lomba Tulis Cerita tentang HER2 untuk mengetahui lebih jauh tentang HER2-Positif dari cerita-cerita inspiratif. (Shera Ferrawati) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |