![]() "Kamu tidak boleh keluar rumah kalau enggak pakai jilbab ya Nad”, kata Ibu saya. Ini bukan ucapan pertama yang ibu saya katakan. Sudah lebih dari enam tahun yang lalu, tepatnya setelah saya kelas dua SMP, ibu saya selalu meminta saya memakai jilbab. Ini bukan pertama kalinya juga ibu saya berkata dengan halus, biasanya disusul bentakan, makian, dan lebih banyak saya tidak boleh keluar rumah sama sekali karena saya tidak mau menutup aurat saya.Ibu bilang aku dilahirkan dengan kulit kuning langsat yang mulus bagus, jadi sebaiknya ditutup. Terkadang ibu juga bilang bahwa rambut saya yang panjang bisa menimbulkan fitnah. Kebanyakan dia bilang bahwa tubuh perempuan itu aib. Maka dikutiplah ayat-ayat dari kitab suci yang menegaskan bahwa perempuan muslim harus menutup auratnya. “Apa yang salah dengan membiasakan diri memakai jilbab?” kata orang-orang di luar sana. Tapi mereka menghujat saya karena saya memakai jilbab namun masih berkata kasar, mereka juga melabeli saya perempuan kerdus (kerudung dusta) karena saya sering copot-pasang jilbab. Padahal saya tidak berdusta pada siapapun, apalagi pada Tuhan. Saya jujur bahkan pada diri saya sendiri. Saya benar-benar tidak mau menggunakan jilbab dan semakin lama saya menggunakan jilbab, jilbab ini terasa membakar kepala dan amarah saya. Pertengkaran dengan ibu saya juga tidak habis-habis. Segala umpatan dan makian keluar. Jilbab menjadikan saya dan ibu saya sama-sama monster yang memperjuangkan tubuh dan cara kami berekspresi. “Tapi aku cuma mau berpakaian seperti yang aku mau. Aku sudah belajar sejarah turunnya jilbab dan ibu sendiri tahu bahwa memakai jilbab tidak boleh dipaksa, seperti orang beragama seharusnya dengan hati dan iman, bukan karena dipaksa,” begitu penjelasan saya kepada ibu saya. Saya memberi penjelasan dengan lemah lembut bukan yang pertama kali. Saya sudah mencoba ratusan kali, secara tertulis maupun lisan, juga dengan meminta bantuan ayah dan saudara-saudara saya untuk memberi pengertian kepada ibu bahwa jilbab bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan. Tapi ibu saya tidak mau tahu. Seperti orang-orang lain di luar sana, dia berpikir bahwa saya kurang gigih, saya menjelaskan dengan cara yang salah, atau saya memang durhaka karena tidak mau mengikuti kemauannya. Saya mendapat fasilitas indekos walau sebenarnya rumah saya dengan kampus hanya berjarak 25 km, karena itu setiap minggu saya harus pulang ke rumah, bertemu ibu dan memakai jilbab di setiap situasi atau saya tidak diizinkan pulang atau keluar rumah. Hingga saya duduk di bangku kuliah semester enam, saya benar-benar tidak tahan lagi. Saya mulai ketakutan bahwa dunia akan bersikap seperti ibu saya. Saya tidak bisa marah kepada ibu yang menyayangi saya. Maka saya limpahkan semua ini pada jilbab. Tapi semua orang masih menuduh saya yang salah. Saya ketakutan. Saya takut masyarakat akan bersikap seperti ibu saya, memaksakan jilbab kepada saya. Saya takut pada masyarakat. Saya benci setengah mati pada jilbab. Saya tidak sudi memakai jilbab sama sekali, sampai saya mulai menyalahkan agama dan sangat membenci Tuhan yang melahirkan saya dari rahim ibu yang terobsesi dengan anak yang berjilbab. Saya terkena depresi berat. Saya dibawa ke psikolog dan berlanjut konsultasi ke psikiater. Tapi ibu saya tidak mau tahu. Semua penyakit saya adalah kutukan. Setan terlalu banyak di tubuh saya yang membuat saya enggan memakai jilbab. “Perempuan memang bengkok, karena itu bisa hancur suatu negeri apabila dipimpin perempuan,” kata Ibu mencatut dari hadis Nabi yang sahih. Monster itu adalah tubuh perempuan. Kulitnya, rambutnya, semua harus disembunyikan. Laki-laki dan perempuan, mereka ketakutan atas tubuh perempuan. Be-irahinya harus ditekan. Monster itu bisa menerkam imanmu, monster ini bisa mengalihkanmu dari surga yang kau rindukan, tapi kau buat hidupku tiap hari seperti di neraka. Setelah belajar feminisme sekarang saya mengerti bahwa yang salah bukan saya, ibu saya, atau agama yang saya anut. Saya benci kenapa saya harus menutup aurat untuk calon suami yang saya bahkan belum pernah temui, saya harus menjaga tubuh saya yang aib ini dengan dibungkus dan menyamakan tubuh saya laksana daging mentah yang dijual obralan. Kenapa saya harus merelakan kebebasan diri saya terhadap pria yang mungkin belum saya kenal? Apakah semua laki-laki harus gila dihormati seperti itu? Saya rasa tidak. Ayah saya selalu membiarkan saya untuk menjadi apa pun dan mengenakan pakaian apa saja asal sesuai norma, tapi ibu saya yang melakukan semua itu. Ibu saya begitu repot-repot. Dari situ saya memahami bahwa bukan laki-laki yang salah, tetapi ada suatu sistem yang membuat nilai laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Dan agama, yang menjadi alasan ibu saya untuk memaksakan jilbab kepada saya, menggunakan sistem tersebut. Sistem itu yang menekan saya sehingga saya mengalami neurosis. Sistem itu memang menguntungkan laki-laki, tapi justru ibu saya, perempuan yang menerapkan, menjaga dan mewariskan sistem itu turun temurun. Ibu saya menganggap saya, anak perempuannya, bukan bagian dari dirinya melainkan dirinya sendiri. Ibu saya seorang aktivis yang gigih memperjuangkan hak berjilbab di awal tahun 1990-an. Tapi ibu saya tidak memahami bahwa kini berjilbab dan tidak berjilbab adalah pilihan. Kini perempuan boleh memilih untuk berjilbab maupun tidak. Tapi ibu saya terlanjur tidak memisahkan dirinya dengan saya, ketika saya menolak jilbab, dia tidak bisa menerima dengan alasan apapun. Ibu saya berpikir bahwa saya harus cepat dinikahkan dengan seorang ustaz agar dia bisa membuat saya bertobat, mendapat hidayah dan mau mengenakan jilbab. Saya tahu saya tidak sendirian. Dan benar, saya menemukan beberapa teman yang mengalami kasus yang sama dengan saya, mengalami konflik ibu dan anak. Setiap ada kesempatan kami berusaha membahas ini di ruang publik dan kami jadikan diskusi. Konflik ibu dan anak tidak hanya terjadi pada saya dan teman saya, ini juga dapat terjadi pada anda atau teman dekat anda. Ada suatu sistem yang harus kita lawan bersama. Kami mau bergandengan tangan untuk bisa diperlakukan sebagai manusia. Manusia yang boleh memilih cara dirinya untuk berekspresi. Nadya Karima Melati (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UI) [email protected] ![]() Ramadhan sudah memasuki minggu ketiga. Sebagai seorang muslim tentunya saya menyambut gempita dan menjalani seluruh kegiatan ibadah Ramadhan. Tapi sesuatu mengganggu saya ketika menjalani ibadah salat Tarawih di masjid dekat rumah saya. Rumah saya terletak di pinggiran kota Depok. Perumahan perumahan saya memiliki masjid sendiri, di masjid tersebut saya terbiasa salat Tarawih. Setelah bertahun-tahun salat Tarawih disana saya baru menyadari, mengapa tidak pernah ada penceramah perempuan ketika Kultum (Kuliah tujuh menit) Tarawih? Yang saya ingat, sedari kecil saya selalu memerhatikan isi khotbah Tarawih, waktu masih sekolah dasar hingga SMP. saya diwajibkan memerhatikan dan mencatat isi ceramah ketika Tarawih dan tidak ketinggalan meminta paraf penceramah, hal itu saya lakukan sebagai tugas pesantren kilat di sekolah. Kini saya menyadari ada yang janggal dalam semua Kultum Tarawih yang saya datangi setiap tahun. Tidak pernah ada penceramah perempuan. Saya pikir itu hanya terjadi di masjid perumahan tempat saya tinggal, namun setelah saya bertanya kepada seluruh teman-teman melalui group di WhatsApp, ternyata baik di perumahan masjid rumah saya dan teman-teman saya, tidak ada penceramah perempuan sama sekali untuk mengisi Kultum salat Tarawih Ramadhan. Saya sangat menyayangkan hal ini. Karena bagaimanapun juga perempuan baik ibu-ibu, bibi-bibi, tante-tante, oma-oma, remaja, sampai anak kecil peserta Tarawih adalah perempuan. Kegelisahan saya ini saya sampaikan ke ibu-ibu DKM (Dewan Kemakmuran Masjid). “Kalau kamu mau penceramah perempuan, beberapa tahun lalu pernah ada Tarawih khusus wanita di aula RT 1, semua penceramah dan materi ceramah adalah perempuan tapi sayangnya kegiatan itu sekarang dihentikan karena dilarang oleh masjid”, Papar ibu pengurus DKM. Saya juga bertanya dengan ustazah perempuan (yang tidak pernah ceramah di depan umum) mengapa tidak pernah ada penceramah perempuan untuk turut mengisi ceramah Ramadhan, “Gak boleh lah, perempuan itu suaranya saja aurat, mana boleh berceramah di depan laki-laki, perempuan kalau mau ceramah ya di depan perempuan saja” ustazah menjawab. Kapan perempuan pergi masjid? Ibu saya selalu menekankan bahwa perempuan cukup salat di rumah, salat berjamaah hanya untuk laki-laki, perempuan hanya ke masjid jika ada pengajian yang mengundang keduanya, perempuan dan laki-laki (walau yang selalu datang justru ibu-ibu dan bapak-bapak, tidak pernah ada anak muda seusia saya). Tapi di bulan penuh berkah yang selalu saya nanti-nanti saat inilah kesempatan saya (anak muda) pergi ke masjid. Saya ingin mendengar perempuan-perempuan yang juga belajar agama, ustazah yang juga membicarakan tentang hubungan perempuan, sebagai manusia dengan Tuhannya secara vertikal. Sebenarnya bukan tidak ada penceramah perempuan. Televisi memberi ruang pada perempuan dan islam, selain jadi ikon hijab dan make up halal tentunya, ada satu tayangan televisi yang amat disukai nenek saya, Mamah dan A’a judul acaranya. Saya pikir, Mamah Dedeh jadi satu (dan satu-satunya) ustazah terkenal di masyarakat. Mungkin karena saya jarang nonton televisi atau kurang religious sehingga saya tidak mengenal nama ustazah lain. Saya beberapa kali menonton acara tersebut dan yang saya perhatikan isi ceramah untuk perempuan adalah bagaimana perempuan menjadi muslimah yang baik. Lebih pada pedoman bagaimana perempuan menjalin hubungan dengan manusia laki-laki, sabar dengan suami, perempuan sebagai sumber dosa. Hampir jarang sekali ceramah khusus perempuan yang membahas bagaimana posisi perempuan di mata Allah SWT dan cara menjalin kemesraan dengan Allah SWT selain dengan kesabaran dalam mengurus rumah tangga dan suami. Salah seorang ustazah NU (Nahdlatul Ulama) yang juga komisioner Komnas Perempuan periode 2010-2015, Neng Dara Affiah, dalam suatu diskusi tentang Gerakan Perempuan Muslim di Indonesia mengatakan bahwa ia sebenarnya mau berceramah di depan laki-laki, tetapi lelaki tidak ada yang mau mendengarkan, perempuan masih dianggap setengah dari laki-laki. Wajar saja, laki-laki masih berpikir seperti itu, karena kepercayaan agama islam terhadap asal laki-laki dan perempuan masih bersandar pada mitos Hawa yang berasal dari tulang rusuk Adam. “Karena asalnya perempuan dari tulang rusuk itu bengkok, jadi harus sering-sering diluruskan”, kata ibu saya. Ceramah bulan Ramadhan terasa semakin jenuh, saya menyaksikan jemaah Tarawih semakin menipis hingga ujung Ramadhan. Mungkin ini akibat penceramah mengatakan hal yang mirip dalam Kultum Tarawih tentang keutamaan bulan Ramadhan atau mempertahankan ibadah pasca bulan Ramadhan. Berulang-ulang, terus-menerus, bertahun-tahun. Kita sebagai masyarakat masih juga tahun-menahun, terus-menerus, khawatir dunia akan rusak jika perempuan diberi mimbar untuk bicara. ![]() Pertama-tama saya ucapkan selamat kepada kawan saya, Maria Sucianingsih dan Asep Nanda yang telah melahirkan karya-karya fotografinya “Mengeja Asmat” bersama empat fotografer lainnya. Di dalam galeri Balai Soejatmoko selama enam hari sejak 17 Juni 2015, mereka menceritakan kembali pengalaman pendampingan yang mereka lakukan di suku Asmat melalui catatan visual. Saat potret Asmat dibawa ke ruang Balai Soejatmoko, kehidupan Asmat dan kota-kota di Pulau Jawa memang dua hal yang tidak dapat dibandingkan. Masyarakat Asmat masih hidup berdampingan langsung dengan alam dan dibesarkan oleh alam. Alam bebas adalah rumah mereka, tempat bermain, produsen sumber makanan dan dikonsumsi dengan berburu dan meramu. Alam sebagai rahim yang menjamin keberlangsungan hidup mereka secara langsung dan tempat tumbuh berkembang sejak masa anak-anak. Sedangkan kota-kota sudah disifatkan sebagai kota layak anak, kota kreatif, kota shalawat, kota budaya dan penyifatan lainnya. Pelayanan publik sudah sangat dekat dengan masyarakat, gedung-gedung bertingkat tinggi mulai tumbuh subur di kota-kota metropolitan, jalan kota mulai berubah menjadi hutan reklame, anak-anak semakin akrab dengan teknologi dan dunia maya sebagai ruang bermainnya dan keberadaan “Ruang Terbuka Hijau” ramah anak menjadi semakin minim. Hal-hal tersebut menjadi keniscayaan dari globalisasi dan modernisasi. Lewat foto-fotonya Maria Sucianingsih dan kawan-kawan ingin menyuarakan bahwa masih ada ketimpangan di Indonesia, baik dalam hal pemerataan pembangunan antara Pulau Jawa dan Indonesia bagian timur pada khususnya. Alam dan Perempuan Sekilas foto-foto yang dipamerkan terlihat menyoal kegiatan, kehidupan sosial ekonomi, dan budaya Asmat. Namun, jika dilihat lebih mendalam ada nafas ekofeminisme dalam foto-foto yang dipamerkan. Perempuan-perempuan Asmat sangat dekat dengan alam, care giver dalam keluarga juga sebagai ibu dari alam yang merawat alam secara lebih baik dari laki-laki. Dan sebaliknya, alam merupakan ibu bagi penghuninya, rahim kehidupan yang secara langsung menyediakan kebutuhan manusia. Dalam foto yang berjudul “Lingkaran di Rumah Tuhan”, Maria mendapati anak-anak perempuan Asmat yang putus sekolah memiliki kesempatan belajar di bangku nonformal rintisan seorang misioner. Dari belakang jendela bidik, Maria melihat anak-anak perempuan Asmat dipercaya sebagai kunci berkembangnya suatu kampung sebab perempuan dipandang secara alami mampu mengenal alam. Dalam catatan visual yang menampilkan kebersamaan antara laki-laki dan perempuan peserta program pendampingan yang dilakukan Delegatus Sosial (DELSOS), terlihat perempuan Asmat menjadi pelaku tunggal dalam menghidupi suku Asmat dengan upaya kesetaraan gender yang tengah mereka perjuangankan. Perempuan Asmat setiap harinya harus menyediakan makanan untuk suami dan anak-anak mereka, mulai dari mencari ikan sampai pada mencari pohon sagu yang tua, menebang pohon sagu dari hutan, memasak dan menyajikan termasuk mengambil air sungai untuk keperluan minum keluraga. Perempuan Asmat dianalogikan oleh Dewi Candraningrum (2015) sebagai ibu yang mengandung pohon, melahirkan pohon, menyusui pohon dan mempersembahkannya kepada kemanusiaan dan keberlangsungan kehidupan alam itu, selama mereka beraktivitas dekat dengan dan/atau di dalam alam berlandaskan nilai-nilai leluhur. Cerita tentang kedekatan alam dan perempuan juga muncul di Rembang, Jawa Tengah dalam upayanya menyelamatkan karst Kendeng. Para perempuan Kendeng tinggal di dalam tenda selama 365 hari untuk melawan pembangunan pabrik semen bercorak kapitalis. Mereka rela dianggap melakukan tindak kejahatan sehingga tak luput dari tindak kekerasan aparat. Padahal sebagai ibu dari peradaban, perjuangan perempuan Rembang merupakan upaya mempertahankan rahim bumi dan kehidupan berkelanjutan. Perempuan Rembang menjadi kunci keselamatan ekologi. Relasi ekologi dan sosial telah tergenderkan dalam lanskap sejarah patriarki yang menjadi musuh bersama para perempuan yang tersingkirkan, atau alam yang dieksploitasi (Dewi Candraningrum, 2014). Kapitalisme dan pemanasan global menggeser konsep ibuisme, dimana saat ini peran dan fungsi gender perempuan telah mampu ikut bernegosiasi di ranah publik memperjuangkan keselamatan lingkungan hidup. Anak dan “Rumah Ibu” Selain persoalan kompetisi dengan alam, perempuan Asmat hidup di tengah himpitan persoalan dan beban hidupnya akan melahirkan dan merawat generasi penerus Asmat. Kemiskinan kultural merupakan tantangan terbesar perempuan Asmat dalam memenuhi kesehatan reproduksinya, ketahanan pangan dan kecukupan gizi keluarga. Namun, mereka tetap menjadi rahim kehidupan keluarga. Dibalik foto yang berjudul “Cinta” dan “Tiga Cahaya”, Maria Sucianingsih menyebutkan bahwa perempuan adalah rahim keluarga, anak adalah cahaya dan cinta adalah energi penggeraknya. Sejalan dengan hal itu, alam yang mengalami deforestasi karena tuntutan kehidupan yang semakin besar tidak mampu berjalan lurus dengan peningkatan kesejahteraan sosial penduduk, sehingga tindak kekerasan dan kriminalisasi mudah terjadi dalam kehidupan masyarakat kota. Kekerasan menjadi sebuah pola, artinya kekerasan yang telah diperoleh seorang individu dapat kembali untuk dilakukan oleh korban kekerasan kepada individu lain. Kekerasan kepada alam yang lekat dengan deforestasi dan maskulinitas menimbulkan dampak korban yang sebagian besar adalah perempuan, baik menyoal kesehatan reproduksi prempuan, ketahanan pangan keluarga dan kesejahteraan sosial. Faktor ekonomi merupakan salah satu pendorong lahirnya tindak kekerasan. Tahun 2014 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 2.759 kasus dengan prosentase 58% di dalamnya merupakan kekerasan seksual dan kasus tertinggi terjadi pada tahun 2013 sebanyak 3.339 kasus dan 52% di dalamnya merupakan tindak kekerasan seksual (Media Indonesia, 12 Juni 2015). Dewasa ini pun, pemberitaan pembuangan bayi dapat kita konsumsi setiap hari dan nama Angeline tengah ramai diperbincangkan selama Juni 2015. Kita telah lupa bahwa sebelum Angeline, kasus kekerasan terhadap anak dan menyedot perhatian publik pernah terjadi di tahun 1984. Kisah nyata Ary Anggara anak laki-laki berusia 8 tahun yang tewas di tangan ayahnya diangkat dalam film layar lebar. Anak sebagai permata hati sekaligus ada anggapan anak sebagai “milik”, membuat orang tua kerap kali merasa berhak melakukan kekerasan terhadap anaknya. Ibu yang melakukan tindak kekerasan adalah korban dari dirinya sendiri saat tak mampu melepaskan diri dari tekanan hidup yang terjadi serta tidak adanya lingkungan sosial yang menolongnya (Clarinda, 2012). Anak-anak korban kekerasan yang semestinya memiliki masa depan yang masih panjang dan cerah harus menanggung trauma kekerasan sedalam dan selama hidup korban. Seyogyanya, ibu laksana rumah jiwa bagi anak-anaknya. Daftar Pustaka: Candraningrum, Dewi. “Politik Rahim Perempuan Kendeng Menolak Tambang Semen”. http://www.jurnalperempuan.org/blog/dewi-candraningrum-politik-rahim-perempuan-kendeng-menolak-tambang-semen. Candraningrum, Dewi. “Rahim Asmat”. http://www.jurnalperempuan.org/blog/rahim-asmat Clarinda, Regina.2012. Mama Jangan Pukul Aku... Buku Penuntut untuk Kesembuhan Luka Batin. Gramdesia: Jakarta. Media Indonesia. 12 Juni 2015. Darurat Perlindungan Anak. Milastri Muzakkar (Penulis Buku Perempuan Pembelajar dan Calon Ibu) [email protected] ![]() “Duh... letih, lemah, lesu dan el, el, lainnya. Malas ngapa-ngapain, pengennya tidur mulu di kasur.” Kita mungkin sering mendengar kalimat itu, terutama datang dari perempuan yang baru hamil muda (trimester pertama). Di masa ini juga dikenal dengan istilah “ngidam” yang kerap menimbulkan kepala pusing, perut mual, muntah-muntah, menginginkan hal-hal tertentu, dan beberapa perilaku “unik” lainnya. Sampai batas tertentu, hal-hal di atas dapat dimaklumi. Sebab, saat perempuan hamil, kondisi psikis dan fisiknya mengalami perubahan. Kepribadian, latar belakang kehidupan, dan lingkungan, adalah beberapa hal yang memengaruhinya. Namun menjadi tidak biasa, jika kehamilan membuat perempuan menderita dan sengsara. Wah… ini jelas sudah tak biasa. Berpikir dan Berperilaku Bersih Kehamilan adalah momen yang sangat dinanti oleh sebagian besar orang. Tak hanya bagi perempuan, tapi juga suami dan keluarga besarnya. Kehamilan adalah anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia. Sebuah pengalaman spiritual tentang drama penciptaan manusia. Namun, meski diinginkan banyak orang, tak semua perempuan dapat mengalami pengalaman ajaib, misterius, namun indah ini. Bukannya Tuhan diskriminatif, tapi barangkali kita perlu berpikir positif bahwa Tuhan selalu lebih tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Ia tahu kemana “amanah” itu perlu dititipkan. Tetap optimis adalah pilihan yang cerdas. Sebab kehamilan adalah masa istimewa, maka perlu dihadapi dengan istimewa pula. Memang, kehamilan menyebabkan perubahan psikis dan fisik, yang mungkin tak pernah terjadi dalam hidup kita sebelumnya. Perubahan bentuk badan, kulit menjadi lebih hitam dan timbul bintik-bintik di beberapa bagian tubuh, adalah beberapa ciri yang nampak secara fisik. Sementara perubahan secara psikis dapat dilihat dari emosi yang cenderung labil, sensitif, manja, cepat merasa capek dan malas melakukan apapun. Sekali lagi, perubahan-perubahan di atas sampai batas tertentu masih wajar. Namun, jangan lupa, tidak semua perempuan hamil mengalami keluhan-keluhan semacam itu. Beberapa bahkan tak mengalami keluhan apapun, tak ubahnya sebelum hamil. Saya salah satunya. Alhamdulillah, saya tak mengalami masa ngidam, tak ada muntah-muntah, dan tetap aktif berkegiatan seperti sebelumnya. Yang berbeda hanya intensitas, pemilihan jenis kegiatan, dan lebih hati-hati tentunya. Menurut hemat saya, paling tidak ada dua hal yang perlu kita kedepankan saat merencanankan dan menjalani kehamilan. Pertama, kita perlu berpikir bersih atau berpikir positif. Bukan hanya keadilan yang dimulai sejak dalam pikiran seperti kata Pramoedya Ananta Toer, tapi juga kebersihan. Berpikir bersih bahwa Tuhan memercayakan amanah berupa “ruh” yang nantinya akan menjadi khalifah (perwakilan) Tuhan di dunia. Sebuah amanah besar dan spektakuler. Karena itu, mempersiapkan dan menjaga sebaik-baiknya adalah jalan yang harus ditempuh sebagai rasa syukur dan pertanggungjawaban kita kepada Sang Pemberi amanah. Berpikir bersih juga menuntut konsekuensi untuk selalu berpikir positif menghadapi tantangan yang mungkin datang selama masa kehamilan. Perubahan psikis dan fisik yang disebutkan tadi bukanlah penderitaan, tapi justru dijadikan tantangan yang perlu dinikmati. Bayangkan, hal-hal “unik”, seperti, menjadi manja padahal sebelumnya mengganggap diri sebagai perempuan independen, sering menangis padahal sebelumnya cuek dan garang, wajah yang tadinya putih bersih menjadi jerawatan, badan langsing semampai pun berganti menjadi perut buncit. Selama sembilan bulan perempuan hamil ditantang untuk menghadapi semua itu. Tergantung kepada sang perempuan, mau menjadikannya sebuah siksaan, atau menikmatinya seraya tampil percaya diri bahwa tantangan seperti itu tak akan mengurangi kualitas sejatinya sebagai perempuan. Tapi justru menjadi perempuan yang lebih istimewa dan beruntung dapat mengalami pengalaman yang luar biasa ini. Tantangan terbesar bagi perempuan hamil sebenarnya saat diuji dengan keadaan yang kurang beruntung. Misalnya, bertepatan saat hamil, kita kekurangan ekonomi sehingga tak mampu membeli makanan atau perlengkapan yang dapat menunjang kesehatan, tidak ditemani oleh orang-orang terdekat karena tinggal atau bekerja di kota yang berbeda, di kantor dihadapkan dengan tumpukan masalah, dan masih banyak lagi. Perubahan hormon yang mendorong rasa cepat sedih, lemah, dan terpuruk, harus segera diatasi dengan berpikir bersih dan positif. Memang tidak gampang, namun tak berarti mustahil bukan? Kita perlu berpikir, barangkali Tuhan menganggap kita kuat dan mampu melewati ujian ini. Kualitas kemanusiaan kita juga mungkin akan bertambah setelah melewati masa-masa ini. Kita hanya perlu terus berusaha membersihkan hati dan pikiran seraya berdoa agar diberi kemampuan melewati dan mengambil pelajaran darinya. Seraya berpikir bersih, hal kedua yang perlu kita lakukan adalah berperilaku bersih. Ini tak kalah pentingnya selama masa kehamilan. Sedikit saja kita lalai menjaga kebersihan, berbagai macam penyakit segera menyerang. Kesehatan ini berlaku baik di dalam maupun di luar tubuh kita. Selama masa kehamilan, kita membutuhkan asupan gizi yang cukup dan ditunjang dengan lingkungan bersih tentunya. Pemilihan makanan dan perilaku hidup sehat adalah kuncinya. Jika sebelumnya kita adalah penikmat junk food atau makanan jajanan pasar lainnya, sebaiknya selama masa kehamilan lupakan dulu jenis makanan itu. Akrablah dengan sayuran berbagai macam warna, buah-buahan segar, ikan, telur, tahu, tempe, daging, dan air putih. Kacang-kacangan, susu hamil (sebaiknya susu khusus ibu hamil) vitamin (sesuai anjuran dokter), madu, dan kelapa muda, adalah pelengkap yang sempurna. Setelah makanan dan minuman tersedia, perhatikan juga cara mengolahnya. Untuk lauk-pauk sebaiknya direbus atau dipanggang untuk mengurangi penggunaan minyak yang mengandung kolesterol. Waktu memasaknya pun cukup sebentar saja dan di atas nyala api kecil. Hal ini untuk menjaga kandungan vitaminnya. Makanan dan minuman sehat saja tak cukup, harus diimbangi dengan gerak tubuh yang cukup. Hamil bukan berarti lebih banyak bermalas-malasan di tempat tidur atau depan televisi. Usahakan tetap bergerak aktif. Jalan pagi dan dan sore, serta melakukan gerakan-gerakan ringan lainnya perlu untuk membugarkan tubuh. Yoga atau relaksasi juga bisa menjadi pilihan. Jika tak mampu membayar kelas yoga, mendengar musik di handphone atau di laptop adalah pilihan lain. Berjalan-jalan di sekitar sawah, kolam ikan, atau air mancur, untuk mendengar gemercik air sambil memandangi indahnya pemandangan alam juga dapat menjadi pilihan. Cara relaksasi yang mudah, lebih alami dan murah. Kebersihan lingkungan sekitar jangan sampai terabaikan. Perhatikan seluruh bagian rumah kita, khususnya kamar tidur dan toilet. Jangan sampai debu dan sampah mengundang penyakit untuk kita. Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, serta setelah melakukan aktifitas apapun adalah hal kecil yang sering terlupakan. Menurut Ariani Dewi Widodo, dokter spesialis anak, penelitian menunjukkan 60 persen masyarakat Indonesia tidak mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi. Sementara dari 40 persen yang mencuci tangan, hanya 10-15 persen yang menggunakan sabun. Ariani juga menjelaskan cara mencuci tangan yang benar harus melewati enam langkah, yaitu: telapak tangan dibersihkan dengan sabun, punggung tangan, sela-sela jari hingga kuku, kunci kedua tangan di antara sela-sela jari, lalu putar dengan gerakan tangan kiri ke kanan dan sebaliknya, dan putar untuk membersihkan jari tangan. (Baca: Kompas.com, 8/12/14) Setelah calon ibu memastikan bersih luar-dalam, calon bayi di dalam kandungan pun sangat mungkin tumbuh sehat. Pun sebaliknya, jika calon Ibu tak peduli kebersihan, jangan berharap banyak calon bayi akan tumbuh sehat pula. Pendidikan Sejak Dini Sadarkah kita bahwa apapun yang calon ibu pikirkan, rasakan, dan lakukan selama masa kehamilan akan memengaruhi tumbuh kembang sang calon bayi? Kata orang bijak, kalau mau melihat gambaran seorang anak, maka lihatlah ibunya saat mengandung. Yah, tentu tak lepas dari peran sang bapak juga. Jika sejak masa kehamilan, ibu dan bapak menjaga kebersihan dengan benar, dengan sendirinya calon anak pun telah belajar kepada orang tuanya. Pendidikan tentang kebersihan, keindahan dan kedisiplinan sudah harus ditanamkan sejak di dalam kandungan, dan dikuatkan setelah sang anak lahir ke dunia. Jelaslah bahwa masa kehamilan adalah “kado istimewa” yang diberikan kepada perempuan-perempuan istimewa pula. Karenanya, menjaga dan menikmatinya adalah pilihan tepat. Jika ingin mencetak generasi masa depan yang berkualitas, maka mulailah sejak dalam kandungan. Bukankah bangsa yang besar bisa terwujud karena generasi yang sehat luar dalam? Jadi, beruntung dan berbanggalah para ibu yang mampu mencetak generasi bangsa yang besar. Kepada mereka, pantaslah kita mengucapkan, selamat hari ibu! Nadya Karima Melati (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UI. Kordinator Fasilitas dan Keuangan untuk SGRC UI) [email protected] ![]() Siapa bilang Mahasiswa zaman sekarang kurang membaca dan hanya bisa melakukan seks bebas? Siapa bilang Mahasiswa sekarang hanya bisa berbicara di media sosial tanpa melakukan hal yang berarti bagi bangsa dan negara? Memang tidak bisa dipungkiri derasnya informasi dan kemajuan teknologi menjadi tools yang bisa mengancam sekaligus dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan diri. Saya dilahirkan di tahun 1994 yang lebih dikenal sebagai generasi Y[1], saya lahir ketika internet sudah diciptakan dan populer. Saya besar dengan kenyataan bahwa akses internet sekarang sudah menjadi bagian dari hak asasi manusia. Saya tidak lagi mengetahui beberapa dan banyak hal dari ensiklopedia, saya dan semua taman-teman generasi Y disuplai informasi dari media sosial terutama google. Google telah kami hormati dengan menambahkan gelar ‘mbah’ karena situs pencari ini sudah mirip dukun. Ditengah derasnya arus informasi, seringkali kami menyerap segala informasi dengan membabi buta. Kami akui, kami belajar tentang seks secara otodidak dari internet, situs cerita stensil, dan video porno. Kami tumbuh besar, belajar dan tau tentang seks melalui internet. Namun kemudian begitu kami sampai di Universitas kami mulai tau mitos dan hal ilmiah tentang seks. Kami menyadari bahaya internet sebagai sarana yang bisa meracuni dengan memberikan informasi yang hanya berdasarkan desas-desus, namun dengan informasi yang kami akses dari jurnal, skripsi, artikel dan analisis melalui metode yang kami dapatkan dari berbagai displin ilmu kami tertarik untuk membahas seks. Ya, seks. Sekumpulan Mahasiswa Universitas Indonesia yang bisa saling terbuka dan mau memahami permasalahan tentang seks bergabung untuk belajar. Kami terlalu malu untuk bicara pada orang tua karena orang tua menganggap belajar tentang seks sama juga menjerumuskan anaknya pada seks bebas. Ketidaktahuan kami itu membuat kami seringkali melakukan seks bebas. Salah satu Mahasiswa UI, Ferena Debineva, setelah mengikuti “Camp Seksualitas” menyadari bahwa anak muda butuh wadah untuk belajar tentang seksualitas. Ia dan kawan-kawannya berdiskusi lebih lanjut dan sepakat untuk membentuk Support Group and Resource Center for Sexuality Studies yang kemudian dikenal dengan SGRC. SGRC adalah studi klub yang membahas tentang seksualitas. Keingintahuan kami tentang alat-alat reproduksi , pengetahuan tentang homoseksual ataupun berbagai orientasi seksual kami bahas bersama dengan rujukan data dari perpustakaan digital yang kami punyai. Kami saling berbagi pengalaman mengenai tubuh dan kesehatan reproduksi. Kami tidak berhenti sampai di sana, koleksi perpustakaan kami, hasil hunting jurnal dan artikel Ilmiah internasional dari berbagai prespektif ilmu kami sebarkan melalui ask.fm (http://ask.fm/SGRCUI), sebuah media sosial yang kini lebih banyak digunakan oleh anak-anak muda dalam rentang usia 13-25 tahun. Media sosial ini sengaja kami pilih untuk edukasi tentang seksualitas karena sasaran kami adalah anak muda yang kami rasa perlu belajar tentang tubuh, gender, dan seksualitasnya. Sehingga dia bisa bertanggung jawab dan mendapatkan informasi yang benar mengenai seks. SGRC juga memiliki media sosial lain berupa twitter (https://twitter.com/SGRCUI), akun ini dirancang untuk menjalin jaringan terhadap organisasi-organisasi dan menyasar relasi yang lebih luas. Baru-baru ini kami mengadakan lomba selfie via twitter untuk meningkatkan kepedulian kita terhadap homoseksual, biseksual, dan transgender. Terkadang kami melakukan cuitan berupa pemaparan dari jurnal dan artikel ilmiah yang kami baca tentang seksualitas dan gender melalui akun twitter. SGRC juga melakukan pertemuan dwimingguan yang diberi nama “Arisan”. Hingga kini “Arisan” telah dilaksanakan sebanyak 9 kali sejak berdirinya SGRC di pertengahan Mei 2014 lalu. Dalam “Arisan” kami mengadakan diskusi dengan ‘mengocok’ nama anggota sebagai pembicara dan materi yang akan dibicarakan, tentu saja mengenai seksualitas dan gender. Kami harus menggunakan referensi dan metode ilmiah dalam setiap presentasi “Arisan”. Pemateri juga akan mendapatkan uang seperti arisan pada umumnya. Di bulan Mei ini, SGRC ikut dalam perayaan IDAHOT (International Day Against Homophobia and Transphobia) Indonesia. Acara perayaan IDAHOT ini bekerjasama dengan SuaraKita, Jurnal Perempuan, Komnas Perempuan, dan Magdalene.co http://magdalene.co/. SGRC melaksanakan rangkaian acara yang dilaksakan secara tematik selama dua minggu. Kegiatan tersebut berupa “Kontes Foto Selfie”, “Walk for Fun”, dan “Movies Screening” selama 13 – 23 Mei 2015. Kontes foto selfie berguna untuk melihat kepedulian kita terhadap orientasi seksual yang beragam dan memperlakukan manusia sebagai manusia tidak karena orientasi seksual di media sosial, kontes ini mendapat atensi cukup besar dan kami berhasil memilih lima foto paling kreatif sebagai pemenang. Sedangkan untuk “Walk for Fun” bertujuan untuk ‘kopi darat’ (baca: berkumpul) sekaligus untuk kesehatan dengan berjalan-jalan sore di Universitas Indonesia. “Walk for Fun” dilakukan pada tanggal 17 Mei 2015. Dibagian penutup, kami mengadakan Screening dan Diskusi Film Part of Hearts dengan menghadirkan sutradara dari film tersebut, Paul Agusta. Kegiatan kami bisa dikatakan berjalan sukses karena peserta acara mencapai 70 orang. SGRC mencoba membuka tabu masyarakat terhadap seksualitas dan memberikan informasi kepada anak muda terhadap tubuh dan seksualitasnya. SGRC adalah bentuk kepedulian mahasiswa terhadap rasa keingintahuan anak muda terhadap seks dan terbatasnya akses informasi yang benar untuk belajar tentang seksualitas. Jika pembaca ingin mengetahui lebih banyak tentang SGRC UI bisa mengontak kami di askfm, twitter, dan melalui email [email protected] Catatan Belakang: [1] Generasi Y, yang biasanya juga disebut sebagai generasi millenium, merupakan generasi yang muncul setelah Generasi X. Ungkapan Generasi Y itu mulai dipakai pada editorial koran besar di Amerika Serikat bulan Agustus tahun 1993. ![]() Suatu ketika seorang teman saya me-retweet salah seorang kenalannya yang fotonya diunggah ke akun @uicantik. Karena iseng saya mencoba ikut membuka tautan itu dan kebetulan saya juga tertarik terhadap konsepsi cantik. Ditampilkanlah foto-foto mahasiswi yang berambut lurus panjang dan atau pendek, ada juga yang berjilbab, berkulit putih, berwajah oval, beralis tebal, ditambah bibir berwarna merah muda dengan make up cenderung Ulzzang[1]. Akun-akun media sosial yang mengunggah tentang kecantikan atau kerupawanan wajah mahasiswa-mahasiswinya kini menjadi fenomena yang merebak di seluruh kampus di Jabodetabek. Pada awalnya, kepopuleran akun mahasiswi rupawan dimulai dari kampus-kampus besar seperti Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI). Hingga kini bahkan ada survei khusus untuk menghitung populasi mahasiswi cantik di seluruh kampus di Jabodetabek Perempuan sebagai objek memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Followers dari akun mahasiswi cantik tersebut cukup banyak sama seperti atensi masyarakat kita yang baru saja terbelalak karena terungkapnya profesi sampingan artis ibu kota sebagai penjaja seks dengan tarif tinggi. Isu-isu tersebut menggeser isu yang lebih krusial seperti solidaritas anti kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh perempuan Yogyakarta. Kegiatan seperti itu sayangnya tidak mendapat atensi dari massa maupun media. Dibandingkan membahas perempuan sebagai subjek yang melakukan solidaritas melawan kekerasan, media dan kita (sebagai konsumen media) lebih memilih memosisikan perempuan sebagai objek berita dengan menyorot tubuh perempuan dalam kriteria cantik. Masih ingat berita yang menyajikan tentang penjual warteg cantik, pengemis cantik, Polwan cantik? melihat tingginya minat kita terhadap berita-berita tentang pekerja yang cantik menyeret perspektif kita untuk menilai perempuan (masih) karena tubuhnya. Hal ini membuktikan bahwa patriarki telah bermutasi dan berubah bentuk. Perempuan masuk ke ruang publik tetapi yang disorot bukanlah apa yang mereka lakukan tetapi tubuhnya. Perempuan dihargai karena wajahnya bukan karena apa yang telah dia kerjakan. Akun @uicantik di twitter dan instagram adalah contoh lain dalam ruang lingkup kampus bagaimana kita masih menggunakan kecantikan untuk mengobjektifikasi perempuan. Akun tersebut hanya memberikan cara untuk memasukkan foto seseorang untuk diunggah yaitu dengan mengirim surel dari pihak ketiga. Di sini masalah mulai terlihat, siapa saja bisa mengunggah foto siapa saja yang mereka kenal. Akibatnya, foto yang diunggah tidak diketahui oleh si pemilik wajah. Beberapa dari merekan ada yang tidak keberatan fotonya masuk di akun @uicantik tapi ada juga yang mengeluh karena fotonya diunggah, akun media sosialnya diikuti oleh orang-orang tidak dikenal, dan pemilik foto menjadi tidak nyaman. Ada dua tanggapan terhadap kehadiran akun @uicantik ini, perempuan yang senang fotonya diunggah, berarti penampilannya masuk dalam kriteria ‘cantik’ dan perempuan yang menolak akun @uicantik karena menurutnya akun tersebut membuat wajahnya menjadi konsumsi publik. Mengapa fenomena akun mahasiswi cantik ini dimulai dari kampus – kampus ternama? Dimulai dari UGM dan kemudian UI lalu kampus-kampus lain di Jabodetabek. Saya mencoba memahami fenomena kepopuleran akun @uicantik. Kampus UI yang dikenal mempunyai prestise ‘pintar’ dimana mahasiswa di dalamnya telah lolos seleksi cukup ketat dan dipilih sebagai yang terbaik. Sedangkan nilai ‘cantik’ di sini adalah nilai tambah dari sifat pintar. Dan lagi, UI juga dikenal sebagai kampus kelas menengah terkait stigma bahwa kuliah di UI mahal sehingga ada tiga stratifikasi yang melekat pada mahasiswi ini: pintar, kaya, dan cantik. Pada awalnya saya menganggap akun cantik-cantik ini sebagai hiburan bahkan beberapa kali saya mendapat broadcast pesan singkat berupa list mahasiswa paling tampan di fakultas tertentu seperti fakultas Teknik dan Ilmu Komputer lengkap dengan fotonya. Tapi kemudian saya sadar bahwa seseorang, baik laki-laki atau perempuan tidak berhak dinilai hanya karena wajahnya. Saya tidak menolak akun @uicantik atau @uiganteng karena akun seperti itu bisa menjadi salah satu ajang ekspresi diri dan hiburan dengan syarat: (1). Meminta izin langsung dari pemilik wajah dan (2). Memperluas kriteria cantik. Mengunggah wajah tanpa diketahui oleh pemiliknya melanggar hak privasi seseorang atas kepemilikan wajah dan tubuhnya. Akun yang awalnya bertujuan untuk senang-senang bisa jadi punya masalah serius karena mengunggah foto seseorang tanpa izin. Menggunakan foto orang lain untuk kepentingan pribadi sangat tidak baik karena orang tersebut diposisikan sebagai objek. Kemudian kegiatan memperluas kriteria cantik di media sosial inilah yang saya sorot. Akun @uicantik membuat standar terhadap kecantikan perempuan dan saya khawatir perempuan justru akan terobesi menjadi cantik seperti yang didefinisikan oleh pemilik akun anonim ini dibanding berprestasi dalam kuliah baik di bidang akademis atau organisasi. Saya sebagai mahasiswa sadar bahwa masa depan bangsa ini ada di depan saya, pada kita, mahasiswa Indonesia. Tongkat estafet perjuangan untuk membuat Indonesia lebih baik ada pada kita semua dan kita harus menerimanya. Mahasiswa adalah agen perubahan dan harus mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sebagai perempuan dan mahasiswa saya tidak mau terjebak dengan memfokuskan diri untuk menjadi cantik saja. Indonesia butuh perempuan yang bukan sekadar cantik namun juga bisa berkontribusi untuk bangsa dan perdamaian dunia. Catatan Belakang: [1] Ulzzang adalah gaya make up imbas dari Korean Wave memfokuskan pada kulit flawless seperti porselen dengan alis lurus innocent dan bibir warnamerah muda. Gaya make up ulzzang kini dipopulerkan oleh brand make up asal Korea Selatan dengan produk unggulannya seperti BB Cream, Lip Tint dan pensil alis berwarna coklat. Sumber Internet: http://suaramahasiswa.com/mempertanyakan-arti-rupawan/ http://trendezia.blogspot.com/2015/03/menyoal-akun-cantik-di-kalangan-kampus.html http://www.koran-sindo.com/read/955131/149/mahasiswi-ui-paling-cantik-1422081505 http://pizna.com/2014/12/top-12-mahasiswi-tercantik-ui-versi-pizna.html Rosawati (Ketua Komisi Pemberdayaan Perempuan KNPI PK Kesambi Kota Cirebon) [email protected] ![]() Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, berdasarkan Instruksi ini maka setiap institusi pemerintah harus mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat, baik pada tahap perncanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasinya. Kemudian, INPRES ini ditindak lanjuti dengan keluarnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan Daerah, yang selanjutnya direvisi dan diganti dengan Peraturan Dalam Negeri No 67 Tahun 2011. Dengan dikeluarkannya Permendagri ini maka tidak ada alasan lagi bagi setiap daerah untuk mengabaikan pengarustamaan gender dalam pembangunannya. Sebagai ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita yang dilandasi oleh Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing tahun 1995 merupakan suatu lompatan besar pemerintah terhadap upaya penghapusan yang menuju pada kesetaraan gender di segala kehidupan. Landasan Aksi Beijing menyebutkan bahwa isu kesenjangan gender yang dialami perempuan ditengarai terjadi pada 12 bidang kehidupan perempuan yaitu gender dan kemiskinan, pendidikan, kesehatan (terutama reproduksi), ekonomi dan ketenagakerjaan, kekerasan terhadap perempuan, konflik bersenjata, hak asasi perempuan, proses pengambilan keputusan, mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, lingkungan hidup, media dan anak perempuan. Sejalan dengan itu pula semakin banyak kebijakan yang pro gender. Misalnya tentang UU Perkawinan menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Selain itu, untuk mempercepat implementasi PUG dalam pembangunan daerah, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh daerah dalam implementasi PUG selama ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain, 1) Membuat dasar hukum yang kuat sebagai dasar pelaksanaan implementasi PUG di daerah, mengingat hingga saat ini belum semua daerah memiliki peraturan daerah tentang PUG dalam pembangunan di daerah. 2) Meningkatkan pemahaman dan komitmen pejabat di daerah mengenai PUG dan PPRG. 3) Membuat kelembagaan yang khusus menangani PUG sehingga implementasi PUG dapat berfungsi secara optimal. 4) Meningkatkan kapasitas SDM pelaksana PPRG di seluruh SKPD yang ada di daerah, mengingat PUG harus diimplementasikan di setiap sektor pembangunan di daerah. 5) Menyusun Data Terpilah dan mengintegrasikan penyusunan Data Terpilah dalam pendataan semua sektor pembangunan daerah, sehingga dapat dilakukan analisis gender secara memadai sebelum menyusun program dan kegiatan di seluruh sektor tersebut.[1] Data di atas sebagai dasar banyaknya program pengarusutamaan gender di daerah yang harus dibentuk. Diantaranya, program pemberdayaan perempuan yang banyak dimasukkan dalam program kerja organisasi seperti PEKKA, KNPI, ORMAS, dan LSM. Kemampuan perempuan sebagai sumber instrumen baru dalam pembangunan perlu meningkatkan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan harus mendalami apa yang sebenarnya mereka hadapi, agar mereka dapat berperan aktif dan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk secara maksimal berfungsi sebagai mitra sejajar pria dalam pembangunan di semua bidang dan dalam segenap tingkat kegiatan pembagunan. Demikian pula dalam kegiatan yang tergolong dalam kegiatan perumusan kebijakasanaan dan pengambilan keputusan. Berperan sebagai mitra sejajar dengan laki-laki dalam pembangunan berarti perempuan harus dapat mengejar berbagai ketertinggalannya dan mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam pembangunan, sehingga dapat memberikan jawaban atas permasalahan perempuan di Indonesia. Sayangnya program pemberdayaan perempuan belum menyentuh semua elemen perempuan di ranah domestik, ketergantungan terhadap tugasnya di keluarga membuat sebagian perempuan kurang bisa membagi waktu dan membuat skala prioritas yang adil. Sehingga yang terjadi justru hanya orang-orang itu saja yang berkecimpung di program pemberdayaan perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Dra. Lilis Sri Sulistiani, MM., Dosen Ilmu Administrasi Unsoed yang mengatakan bahwa program pemberdayaan perempuan kebanyakan hanya program turunan dan kurang berinovasi sesuai apa yang terjadi dan dihadapi perempuan di daerah, berbeda di daerah pasti berbeda pula masalah teknis yang dihadapi. Beberapa program tersebut salah satunya adalah pengembangan potensi ekonomi mikro, program yang berjalan tidak berkelanjutan dan tidak ada pengawasan yang masif dari pihak pemerintah dalam menyukseskan tujuannya. Tujuan pemberdayaan sendiri merupakan serangkaian proses yang bertujuan memandirikan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu pemerintah memberikan mekanisme pemberdayaan yang diharapkan dapat menanggulangi kemiskinan hingga akar permasalahan yang dihadapi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ironisnya, program penanggulangan kemiskinan yang telah banyak masuk ke dalam program kerja tidak sepenuhnya dapat memberikan manfaat bahkan tidak diakses oleh masyarakat miskin, khususnya perempuan. Penelitian yang pernah dilakukan menyebutkan sedikitnya pemanfaatan program pemberdayaan perempuan di tingkat kecamatan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kentalnya budaya patriarki dalam masyarakat, dimana kepala keluarga identik sebagai peran yang melekat pada laki-laki dan umumnya bantuan atau program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan ditujukan dengan unit kepala keluarga. Padahal kemiskinan tidak hanya dialami oleh kaum laki-laki. Hal ini diperkuat dengan adanya fakta yang menyatakan bahwa tidak kurang dari 6 juta rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan dan sebagian besar diantaranya hidup di bawah garis kemiskinan.[2] Bila saja perempuan di sektor domestik dapat diberdayakan maka kesejahteraan bisa tercapai secara maksimal. Program pemberdayaan perempuan berkontribusi dalam menjawab persoalan yang dihadapi perempuan sektor domestik, yang lagi-lagi terjadi adalah aktor yang sama dalam pelaksanaan program pemberdayaan tersebut sehingga kurang banyak menyentuh kalangan perempuan yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi pada sektor domestik. Oleh karenanya perlu adanya peran yang besar yang dilakukan pemerintah dan masyarakat sebagai aktor dalam program pemberdayaan perempuan tersebut agar dapat menyentuh seluruh perempuan di sektor domestik. Menumbuhkan kemandirian masyarakat dan upaya meningkatkan partisipasi pada seluruh elemen masyarakat juga perlu dilakukan dengan memberikan kesempatan perempuan yang tidak tersentuh program dapat mengaksesnya. Seperti pelatihan usaha mikro atau pertemuan yang melibatkan perempuan dalam acara rapat warga, agar aparatur desa atau kelurahan mengetahui apa yang menjadi permasalahan yang dihadapi warganya khususnya perempuan. Dengan demikian akan terciptanya kontribusi perempuan yang berarti dan menghasilkan kebijakan yang responsif gender serta anggaran berbasis gender. Catatan Belakang: [1] http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/pengarusutamaan-gender-dalam-kebijakan-pembangunan. Diakses pada 12 april 2015 [2] www.pekka.or.id. 2008 profit program pemberdayaan perempuan kepala. Diakses pada 12 april 2015. Setyaningsih Bilik Literasi Solo [email protected] ![]() Judul buku : Ketika Ibu Melupakanku Penulis : Dy Suharya dan Dian Purnomo Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Cetakan : Pertama, November 2014 Tebal : x+186 halaman ISBN : 978-602-03-0943-9 “Kita hanya mempunyai seorang Ibu” (Albert Camus, Orang Asing). Apakah seorang Ibu bisa melupakan anak-anaknya? Kita terlalu sering mendengar kabar tragis dan miris. Ada Ibu tega membuang anak di tempat sampah, Ibu meninggalkan anak di rumah sakit, Ibu yang menjual anak, bahkan Ibu yang membunuh anak di tengah dalih himpitan ekonomi dan sosial. Waktu melukis Ibu tidak lagi dalam imajinasi termuliakan. Ibu yang ingat, baik, dan tabah tiba-tiba menghilang dari hari-hari di dunia. Dy Suharya dalam buku Ketika Ibu Melupakanku yang digarap bersama Dian Purnomo, memiliki Ibu lain yang memang lupa. Kehendak melupakan itu bukan pilihan, apalagi keinginan yang digerakkan akal dan batin. Melupakan menjadi ketentuan takdir karena Ibu dari Dy (Tien Suhertini) divonis sakit Demensia Alzheimer pada tahun 2009. Namun, betapa sering manusia terlambat, sakit ini dideteksi sekitar 10-15 tahun setelah Ibu bergelut dengan gejala-gejala Alzheimer. Penderita Alzheimer mengalami penurunan kemampuan kognitif, kehilangan daya ingat, dan perubahan emosi. Selama mengalami gejala penyakit yang tidak disadari oleh keluarga, Ibu Tien merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengakui keberadaan diri di lingkungan sekitar. Di usia senja, anak-anak telah kabur membentuk keluarga sendiri dan tersisa si bungsu Dy sebagai anak satu-satunya di dalam rumah. Ibu sering mencari pengakuan dengan cara mengadukan masalah-masalah kecil. Kontrol emosi terlampau lemah dan semakin membuat Ibu berjarak. Ibu yang dulu mendoakan anak-anak agar berhasil dalam hidup, malah seperti minder. Tiba-tiba, Ibu beranggapan bahwa riwayat anak-anak bersekolah tinggi, menjadikan mereka berjarak dan merasa lebih pintar. Ibu merasa tak dihargai. Keluarga Dy pun merasa bahwa ini kelumrahan usia senja dan bukan tanda-tanda sakit. Mereka terkadang merasa Ibu tampak menyebalkan dan kekanakan karena sering menghindar saat terjadi masalah. Ibu memang memiliki kebiasaan mengaji dan berzikir sehari-harinya, tapi tetap tidak terhindar dari sakit. Dy menghindar dengan menciptakan rumah sendiri. Ia lebih senang tinggal di Columbus Ohio, Washington D.C, New York, dan Perth Australia, demi kebutuhan kerja dan kuliah. Di rumah Jakarta, Dy merasa tidak menemukan teman, pengakuan, dan segenap cinta yang ia butuhkan. Dy adalah anak yang menciptakan rumah sendiri yang jauh dari rumah orang tuanya. Pada akhirnya panggilan untuk pulang datang meski dalam bentuk ganjil, vonis sakit sang Ibu. Barangkali, sakit tidak selalu membawa derita dan kesedihan. Penyakit Ibu Tien justru menyatukan ikatan keluarga yang sempat retak. Kakak-kakak Dy berkumpul lebih akrab kembali untuk membawakan makanan, bercakap, dan saling merawat. Ayah Dy (Yaya Suharya) menjadi lebih terbuka untuk menunjukkan kasih seorang suami kepada istri. Namun, pengorbanan demi menyatunya keluarga ini tidaklah murah. Meski Ibu Tien dikelilingi orang terkasih, ia hampir kehilangan kemandirian diri. Segala sesuatu harus dibantu orang lain dan paling menyedihkan adalah ingatan yang menghilang. Ibu Tien hanya mengingat nama Dy di akta kelahiran, Kusuma Dewi. Seorang Alzheimer tidak berhak memiliki ingatan dan kenangan yang teralami detik demi detik dalam hidupnya. Jurnal Cinta Kasih Buku ini bukan sekadar ingatan personal Dy Suharya atas sakit dan Ibu. Buku ini ada sebagai panduan kesehatan publik agar mengerti Alzheimer. Dy dan Dian tersadar melengkapi buku dengan cerita dari orang-orang yang mendampingi sosok-sosok terkasih penderita Alzheimer. Penulis juga memberikan daftar website dan rumah sakit, termasuk langkah pencegahan dan gejala umum Alzheimer. Di halaman depan buku ada sambutan dari Menteri Kesehatan RI yang saat itu dijabat oleh dr. Nafsiah Mboi. Ia mengatakan, “Saya menyambut baik terbitnya buku ini diiringi dengan ucapan selamat dan apresiasi kepada penulis buku ini Dy Suharya yang juga seorang pegiat Alzheimer. Buku ini bagus, inspiratif, layak dibaca, dan memuat pesan moral.” Meski novel ini berlabel inspirasi dan Dy Suharya berhasil menjadi pegiat kemanusiaan atau aktivis Alzheimer bagi masyarakat, terasa bahwa Dy Suharya menyembunyikan sebentuk ‘penyesalan’ mendalam. Dengan bergiat sebagai fasilitator, dosen pemasaran sosial, penggagas, dan juga direktur eksekutif Alzheimer Indonesia (ALZI) di Jakarta, Dy perlahan melakukan penebusan. Dy menyadari bahwa dia terlampau terlambat untuk tahu bahwa Ibu telah direnggut Alzheimer. Dy tidak ingin orang lain mengalami keterlambatan seperti dirinya. Sedang Dian Purnomo yang saat ini bergelut sebagai Project & Training Coordinator di OnTrackMedia Indonesia (OTMI) di Jakarta. ALZI dan OTMI bekerja sama memberikan penerangan kepada masyarakat Indonesia tentang penyakit Alzheimer. Dian bertemu keluarga Dy dalam rangka membuat video dokumenter kado ulang tahun ke-50 kedua orang tua Dy. Buku ini adalah cara Dian membahasakan apa yang dirasakan Dy, memiliki Ibu Alzheimer, bertaut dengan jurnal kesehatan dan cinta kasih yang merupakan tulisan tangan Yaya Suharya dalam merawat, menjaga dan menemani istrinya. Buku Ketika Ibu Melupakanku adalah jalan tidak ingin lupa dan penegasan bahkan ilham kemanusiaan bisa lahir dari seorang Ibu Alzheimer. Lola Loveita (Mahasiswi Jurusan Filsafat, FIB UI) [email protected] ![]() “Even in my childhood, the word "emancipation" enchanted my ears; it had a significance that nothing else had, a meaning that was far beyond my comprehension, and awakened in me an ever growing longing for freedom and independence—a longing to stand alone.”[1] –Raden Ajeng Kartini Lebih dari seratus tahun yang lalu seorang perempuan di negeri ini menuliskan surat-surat yang berisi pergelutannya sebagai perempuan yang hidup di tengah kondisi jaman yang mengalienasi. Namanya Kartini. Sebagai salah satu pejuang perempuan di Indonesia Kartini paling familiar dengan saya semenjak Taman Kanak-kanak. Setelah beranjak dewasa dan mengenyam pendidikan di sekolah, bapak dan ibu guru selalu melekatkan nama Kartini dengan sebuah kata: emansipasi. Makna emansipasi di dalam gagasan Kartini lebih kental dipahami di dalam konteks pendidikan. Baginya, pendidikan akan membebaskan perempuan dari belenggu yang membodohinya dan dengan begitu memajukan perempuan. Dari situ saya bertanya apakah hari ini belenggu itu sudah terpatahkan? Kartini dan Kerinduan Akan Kebebasan Hidup di tengah Kolonialisme dan Feodalisme, Kartini kecil beruntung karena dapat mengenyam pendidikan, tidak seperti anak-anak pribumi kebanyakan saat itu. Sebagai seorang putri dari Bupati Jepara Kartini diberikan kesempatan untuk bersekolah. Kartini bersekolah sampai dengan usia 12 tahun karena setelah itu di dalam budaya Jawa, perempuan masuk ke dalam tahap remaja putri sehingga harus dipingit, yaitu tinggal di dalam rumah tanpa berhubungan sedikitpun dengan dunia luar sampai ia dilamar dan dinikahkan oleh seorang laki-laki. Melalui pendidikan, terutama buku-buku, Kartini memahami konsep-konsep akan kebebasan dan kesetaraan. Kartini begitu terpengaruh dengan peradaban Eropa.[2] Ide mengenai emansipasi memang datang dari berbagai revolusi yang terjadi di Eropa. Meski gagasannya bernuansa pro-kesetaraan, Kartini hidup di tengah-tengah budaya yang sangat patriarkis. Hal itu yang menyebabkan kesedihan dan kegelisahannya akan nasib para perempuan yang juga ia rasakan sendiri, misalnya di dalam hal pendidikan dan pernikahan. Tubuhnya memang bagaikan dipenjara di dalam rumah dengan tembok-tembok pagar tetapi kegelisahan-kegelisahan dan berbagai gagasannya ia terbangkan melalui surat-suratnya. Gugatan-gugatannya terhadap sistem yang ada ia tuangkan melalui surat-surat. Kartini paham betul bahwa perempuan begitu dirugikan oleh sistem yang telah memangkas hak-haknya. Pemahaman itu menjadi dasar bagi impiannya untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi perempuan. Baginya, pendidikan akan memandirikan dan membebaskan perempuan. Pemahaman dasar Kartini mengenai pendidikan dipengaruhi oleh modernisasi. Sepanjang pemikirannya ia seperti memeras apa-apa yang baginya baik dari budaya Timur dan Barat. Berangkat dari pengalaman eksistensialnya, Kartini ingin perempuan memiliki kebebasan dan hak-hak yang sama dengan laki-laki. Pendidikan bagi perempuan bukan hanya di lingkup formal tetapi juga di dalam keseharian sebagai ibu rumah tangga. Kartini mengatakan “Dan betapakah ibu bumi putra itu sanggup mendidik anaknya, bila mereka itu sendiri tiada berpendidikan?”[3] Kartini percaya bahwa seorang perempuan akan menjadi seorang ibu dan memiliki peran penting di dalam pendidikan. Perempuan sebagai ibu harus diberikan kebebasan dan kemandirian utamanya di dalam pendidikan agar kelak ia dapat mendidik anak-anaknya. Dengan begitu perempuan berperan penting dalam membangun peradaban dan memajukan bangsa. Perempuan dan Pendidikan di Indonesia Seratus tahun setelah Kartini berhasil mendirikan sekolah untuk perempuan, tentu ada kemajuan terkait permasalahan kultural dan struktural di bidang pendidikan dan keseteraan gender di Indonesia. Tetapi nyatanya itu tidak cukup dan masih jauh dari harapan. Angka buta huruf pada perempuan masih jauh lebih tinggi dari laki-laki. Ada 14.9 juta masyarakat Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf dan 70% dari mereka adalah perempuan.[4] Kemajuan di dunia pendidikan dapat dilihat misalnya semenjak tahun 1990 sampai dengan 2010 terjadi peningkatan signifikan angka partisipasi sekolah, tetapi dibandingkan dengan laki-laki pada taraf SMA perempuan masih tertinggal 4-5%.[5] Penyebab dominan yaitu masalah ekonomi dan menikah muda. Tentunya kedua hal itu menghambat akses untuk bersekolah. Kendala akses ini yang menyebabkan ada 5% anak-anak Indonesia putus sekolah.[6] Di antara 5% itu ada perbedaan jumlah yang begitu signifikan antara perempuan dan laki-laki terkait alasan menikah muda. Perempuan yang putus sekolah dengan alasan menikah muda atau mengurus rumah tangga mencapai 27.78% sedangkan laki-laki angkanya 3.55%.[7] Bukan hanya kekurangan murid perempuan, dunia pendidikan di Indonesia juga kekurangan pendidik perempuan. Di dalam struktur pendidikan laki-laki masih menguasai posisi-posisi atas. Permasalahan lain yang juga penting adalah banyaknya sumber bacaan sekolah yang seksis. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan terlihat masih lebih dekat dengan laki-laki. Kita bisa lihat sejarah dunia pendidikan didominasi oleh laki-laki dalam arti nama-nama perempuan banyak yang tidak muncul. Begitu pula yang terjadi di dunia filsafat. Misalnya, pada waktu itu di perkuliahan yang saya ikuti, Gadis Arivia menginstruksi seluruh mahasiswa untuk menuliskan nama-nama filsuf perempuan dari zaman Yunani sampai dengan hari ini. Hasilnya tidak ada yang bisa menulis sampai dengan sepuluh nama, bahkan tujuh. Artinya, pengetahuan tentang filsuf perempuan (baru namanya saja, belum pemikirannya) sangatlah memprihatinkan, padahal ada ratusan nama filsuf perempuan dari 600 SM sampai dengan hari ini.[8] Mary Wollstonecraft sendiri menggaungkan feminisme dimotivasi oleh kerinduan akan pendidikan. Ia mengkritik konsep pendidikan Jean Jacques Rousseau yang tidak memihak pada perempuan. Perempuan seringkali dianggap tidak lebih rasional dengan laki-laki padahal nyatanya perempuan mampu menyumbangkan karya-karya yang penting di bidang keilmuan, khususnya sains. Bagi Wollstonecraft inferioritas yang dialami terjadi karena kualitas pendidikan yang tidak setara. Intan, Jaenab dan Susi: Kartini, Aku Mau Sekolah Intan, Jaenab dan Susi adalah sedikit dari anak-anak perempuan yang bersekolah di SDN Puncak Manggah, Desa Cimahpar, Sukabumi, Jawa Barat. Mereka duduk di kelas 4, 5 dan 6 SD. Bulan Januari lalu saya mengenal mereka ketika singgah selama 25 hari di sana. Mereka adalah perempuan-perempuan kecil yang pintar dan semangat bersekolah. Di SDN Puncak Manggah tahun lalu hanya ada dua anak beruntung yang melanjutkan jenjang pendidikan ke SMP. Sebagaimana yang disebutkan di atas, faktor ekonomi dan menikah muda menjadi alasan dominan. Ditambah lagi soal jarak ke SMP atau SMA terdekat yang jauh dan tidak ada kendaraan umum. Kebanyakan anak laki-laki yang bersekolah di SMP harus memiliki motor. Medan yang naik-turun, licin dan berbatu mau tidak mau harus diterobos karena jika tidak, mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk menyewa tempat tinggal di dekat sekolah. Anak-anak perempuan di sana bukannya tidak mau atau tidak mampu mengendarai motor tetapi mereka tidak dimampukan karena stereotip. Adalah anomali jika melihat perempuan naik motor mengangkang. Perempuan di sana kebanyakan memakai rok, sebagian besar ibu-ibu menggunakan kain yang dililit-lilit. Ayah dari anak-anak perempuan itu mungkin bisa mengantarkan mereka ke sekolah tetapi kesibukan di sawah yang sangat menyita waktu dan tenaga menyulitkan itu untuk terjadi, sehingga pilihan yang paling mungkin adalah dengan menyewa kos-kosan atau tinggal di asrama dekat sekolah. Bagi anak-anak Desa Puncak Manggah kendala yang ada untuk bersekolah berlapis-lapis dan bagi perempuan lapisannya lebih tebal. Di tengah persoalan itu yang paling menyebalkan adalah pertanyaan-pertanyaan warga, orang tua murid dan bahkan anak-anak perempuan sendiri,“buat apa perempuan sekolah?”. Pertanyaan itu mungkin merupakan lapisan yang paling dasar yang menjadi alasan mengapa banyak sekali dari mereka yang berhenti sekolah dan menikah di usia yang sangat dini. Pemahaman bahwa setelah lulus SD anak-anak perempuan tinggal di rumah saja, memasak di tungku, menunggu dilamar oleh laki-laki, menikah, dihamili dan mengurus anak sangat banyak ditemukan di antara mereka. Bahkan, lucunya, saya mendengar dari beberapa warga, jika perempuan di atas 20 tahun seperti saya belum menikah, akan dianggap “tidak laku”. Saya bersyukur tidak semua anak-anak perempuan di sana memiliki pemahaman itu. Sebentar lagi Intan, Jaenab dan Susi akan lulus SD. Mereka mempunyai mimpi untuk lanjut bersekolah, bahkan sampai ke perguruan tinggi! Saya sempat iseng bertanya, “kalo nanti pas lulus ada yang ngelamar gimana?” mereka dengan yakin menjawab, “nggak mau atuh, Teh!.” Mendengar optimisme seperti itu, semoga mereka tidak hanya ingin sekolah, tetapi pada akhirnya cukup beruntung untuk dapat bersekolah sampai ke perguruan tinggi dan mengubah paradigma di desanya. Kartini Hari Ini Progresivitas pemikiran Kartini terhadap kesetaraan merupakan sumbangan yang besar bagi kemajuan perempuan Indonesia di bidang pendidikan. Di setiap ruang dan waktu yang berbeda, ada keperluan-keperluan yang berbeda pula yang mewarnai strategi para perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Pada saat itu bagi Kartini senjata untuk melawan subordinasi perempuan adalah pendidikan. Mustahil tanpa itu. “Perempuan adalah soko guru peradaban”, katanya. Kartini mungkin ada di dalam antinomi. Di tengah memperjuangkan kesetaraan, Kartini berada dalam budaya dan adat yang begitu mendeterminasi. Pemahaman akan peran perempuan masih sangat dipengaruhi oleh faktor tersebut. Pendidikan perempuan yang mengarah kepada peran menjadi ibu rumah tangga belum mencerminkan adanya pembagian peran yang adil di dalam keluarga. Seakan-akan mutlak bagi perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak, sedangkan laki-laki sama sekali lepas dari hal itu. Meski begitu Kartini adalah salah satu perempuan yang telah menciptakan revolusi dan membuka jalan bagi perempuan untuk berpendidikan. Terima kasih Kartini, pada hari ini perempuan memiliki kesempatan untuk bersekolah, meski setelah seratus tahun lebih lamanya kesetaraan itu belum juga mewujud, dalam pendidikan, ekonomi, hukum, dan lainnya. Tetapi semangat perjuangan Kartini masih hidup sampai hari ini dan selalu bermultiplikasi, supaya Intan, Jaenab, Susi dan semua anak-anak perempuan Indonesia tidak terkurung di dalam bilik-bilik tanpa lubang, tanpa tahu bahwa di luar ada pilihan. [1] Kartini, Raden Adjeng. Letters of A Javanese Princess. Trans. Agnes Louise Symmers.1921. London: Duckqorth&Co. Hal 4. [2] Ibid hal xiii. [3] Pane, Armijn. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka, 1979. Hal 85. [4] Laporan MDGs 2010. Rahayu, Ruth Indiah. “Ketika Anak Perempuan Bisa Sekolah: Adakah Kesetaraan Gender?” Jurnal Perempuan: Sekolah Mahal 70. Jakarta: YJP Press, 2011. hal 22 [5] Ibid hal 32. [6] Ibid hal 33. [7] Ibid Hal 33. [8] Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: YJP Press, 2003. Hal 315-321. ![]() Hari ke-21 dalam bulan April adalah hari dimana Kartini bangkit kembali. Kebangkitan Kartini disertai dengan ritus-ritus pemanggilan arwah Kartini pada tanggal sakral tersebut. Perempuan Indonesia mengenakan kebaya dan menggulung rambutnya (serupa) Kartini. Sedangkan kebiasaan pemanggilan arwah sering dilakukan oleh masyarakat adat untuk berbagai alasan seperti, meminta rekomendasi tanggal baik untuk pernikahan, meminta kesuburan dan keselamatan untuk tanah mereka. Upacara pemanggilan arwah ini dilakukan keluarga, Mereka mendatangi makam leluhur yang berada diatas bukit, di makan itu mereka membakar rumput dan menyebar sesaji. Seringkali kita menganggap masyarakat adat yang kental dengan tradisi pemanggilan arwah masih terkungkung dalam dunia imajiner. Kemudian pertanyaan adalah, perayaan Hari Kartini setiap tanggal 21 April sesungguhnya berisi harapan seperti apa? Raden Ajeng Kartini lahir tahun 1880. Ayahnya Bupati Jepara, seorang bangsawan progresif yang mengirim anaknya sekolah ke Belanda supaya mereka bisa mencicipi pendidikan modern, kebijakan pendidikan kolonial Belanda pada waktu itu sangat kaku, sesuai dengan kebijakan kolonial Belanda yang memang rasis: hanya Bangsawan tinggi Jawa yang boleh berbicara menggunakan bahasa Belanda kepada pejabat tinggi kolonial Belanda. Seperti yang digambarkan Pramoedya dalam Novel Gadis Pantai, Priyayi sangat pandai dan mengajari anak-anaknya dalam ilmu umum terutama pandai dalam bahasa Belanda serta disekolahkan dan setiap hari tetap belajar dengan rajin. Pada sistem Jawa masa priyayi cenderung bersifat feodalis kepada masyarakat bawah dan masyarakat bawah cenderung mentalitas berorientasi kepada atasan, hanya menunggu perintah atasan, patuh dan loyal secara berlebihan hingga merendahkan diri. Kartini yang dilahirkan sebagai anak seorang priyayi pun harus menuruti kemauan orangtuanya untuk menjalani ritual pingitan dan akhirnya menikah dengan bupati Rembang. Kartini meninggal waktu melahirkan anak pertamanya, tahun 1904. Kartini mempunyai cita-cita untuk membangun sekolah pondokan untuk anak perempuan seperti dia, dan ia ingin mengambil ijasah guru di Belanda, namun hingga akhir hayatnya impian tersebut belum dapat ia wujudkan. Soekarno dalam bukunya yang berjudul Sarinah pernah mengatakan bahwa feodalisme membuat perempuan seperti perpaduan antara seorang dewi dan seorang tolol. Perempuan dirumahkan karena dianggap mutiara yang harus dijaga dan mereka (Laki-laki) bisa menguasai ruang publik dengan bebas. Selama itu Kartini menulis surat kepada teman-temannya di Belanda. Surat-surat Kartini yang emosional, penuh pembrontakan, cerdas, dan hidupnya yang tragis terus membakar semangat perempuan-perempuan Indonesia untuk (berpenampilan) seperti dia. Kini namanya menjadi milik publik. Kartini bukan hanya menyumbangkan pemikirannya namun juga namanya yang dibesarkan oleh tulisan-tulisannya. Arwah Kartini dalam Teks Surat-surat Kartini memiliki kekuatan tersendiri disamping dengan adanya intervensi politik dari pemerintah untuk memasukkan dalam silabus pelajaran di tingkat sekolah dasar. Surat-surat Kartini yang dikirmkannya kepada sahabat penanya Zeehandelaar, Ovink-Soer, Abendanon, de Booij, J.M.P Van Kol-Porey berisi pergulatan batinnya sebagai kaum priyayi, sebagai perempuan dan sebagai orang yang terdidik. Menulis adalah senjata yang kuat untuk mengubah nasib perempuan dalam tradisi patriarki. Helene Cixous mengatakan bahwa perempuan harus menulis, perempuan harus memasukkan dirinya kedalam teks, kedalam dunia dan kedalam sejarah. Kartini telah melakukannya sejak masih kanak-kanak, Ketika kata "emansipasi" belum ada bunyinya. Teori-teori emansipasi tergantung pada suatu keyakinan bahwa posisi perempuan bias berubah dalam kerangka masyarakat yang ada, dimana teori-teori pembebasan mencakup transformasi kerangka social itu sendiri. Konsep emansipasi merupakan konsep sentral pada gelombang awal dan pertama feminisme dalam kampanya-kampanye mereka untuk memperjuangkan hak yang sama[1] Pada tingkat gagasan, Kartini sangat ideal. Ide-ide pembebasan dan kesetaraan telah ia kemukakan. Namun ternyata kita hari ini belum berhasil menerjemahkan gagasan tersebut dalam praktik bernegara dan bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena sejarah sosiologi kita adalah sejarah feodalisme. Para pengambil keputusan masih banyak yang cenderung memakai referensi nilai kebudayaan yang bias gender. Qasim Amin dalam bukunya Sejarah Penindasan Perempuan mendefinisikan kemerdekaan sebagai sebuah independensi pemikirian, kehendak, dan tingkah laku, selama tidak melebihi batas keabsahan dan mampu memelihara standar moral masyarakat.[2] Hal itu berarti kemerdekaan tidak melebihi batas dan standar moral masyarakat (patriarki). Padahal akar masalah dari kesenjangan relasi gender berpusat di lingkungan. Lingkungan melakukan jutifikasi atas tindakan-tindakan perempuan yang mereka anggap telah menyalahi standar moral masyarakat. Begitu juga Kartini yang selama hidupnya dikurung dalam sangkar emas tradisi priyayi Jawa. Ketika tingkah laku dan kehendak tidak bisa merdeka, Kartini mencoba mengisi ruang-ruang kosong dengan pemikiran-pemikirannya melalui teks. Model perjuangan para pahlwan tidak harus serupa. Tjoet Nja’ Dhien harus berperang mengangkat senjata karena kondisi dan kompetensi Tjoet Nja’ Dhien memungkinkan mengambil tindakan perang. Lain hal dengan Dewi Sartika yang mendirikan Sakola Kautamaan Istri, Dewi Sartika mendapat dukungan dari pamannya Bupati Martanagara yang mempunyai cita-cita yang sama. Kemudian Kartini menulis, bercerita, dan bahkan melampiaskan kemarahannya dengan pena. Pemikirannya menjadi senjata Kartini dan teks menjadi temannya selama hidup. Keinginan Kebebasan dan Kemerdekaan Kartini tuangkan kedalam teks. Akhirnya melalui teks, Pengalaman Kartini (Perempuan) dilegitimasi sebagai sebuah Pengetahuan dan didokumentasikan dalam sebuah judul besar “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Perjuangan kartini melalui gagasan-gagasanya ini mengingatkan saya pada sosok fisikawan yang sangat berjasa dalam dunia sains, Stephen Hawking. Stephen menderita penyakit amyotrophic lateral sclerosis yang menyerang sel saraf sehingga menyebabkan kelumpuhan. Tubuh Hawking lumpuh tapi tidak dengan otaknya. Dalam tubuh yang terpenjara oleh penyakit, Hawking tetap berfikir bebas dan revolusioner dalam bidang sains kemudian mendokumentasikannya dalam buku “A Brief History of Time”. Itulah mengapa gagasan menjadi sebuah penting bagi kemaslahatan umat. Perjuangan Pendidikan Belum Usai “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.[3] Isi surat-surat Kartini tentu bukan sekedar deskripsi situasi di lingkungannya pada zaman itu. Surat-surat kartini memiliki kekuatan isi mengenai ide pendidikan untuk perempuan yang menjadi hutang peradaban. “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan”[4] Pendidikan bagi Kartini bukan hanya sebatas pendidikan formal dari Sekolah Dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Pembangunan sumber daya manusia kini menjadi sangat penting untuk menghadapi tantangan kemajuan teknologi. Namun lagi-lagi peradaban (laki-laki) mempunyai sumbangsih besar terhadap ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan. Perempuan hebat lainnya kini hadir di tengah-tengah ketertinggalan 6,2 Juta perempuan yang buta aksara. Seperti Butet Manurung yang mengabdikan dirinya untuk mendidik anak-anak di rimba, Jambi. Kemudian turut hadir juga institusi formal yang memfasilitasi perempuan dibidang keahlian dasar untuk modal agar perempuan bisa survive. Contohnya adalah Sekolah Perempuan adalah sekolah alternatif bagi perempuan yang didirikan oleh Institut Mosintuwu sejak tahun 2010, Institut KAPAL (Lingkaran Pendidikan Alternatif) Perempuan dan masih banyak lainnya. Mengutip dari pernyataan Anies Baswedan bahwa “Mendidik adalah tugas orang terdidik” yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar & Menengah dan Kebudayaan Kabinet Kerja Jokowi-JK. Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan gender yang signifikan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang putus sekolah di tingkat SD maupun SLTP. Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan gender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak laki-laki.[5] Hasil wawancara Jurnal Perempuan dengan Prof. Dr. Fasli Jalal PhD, Wakil Menteri Pendidikan Nasional periode 2009-2014, Fasli Jalal mengatakan bahwa hasil dari penelitian menujukkan bahwa 72% dari alasan perempuan tidak sekolah disebabkan faktor ekonomi. Kemudian 8% karena kawin muda, dan 12% karena sekolah tidak ada atau jauh terpencil.[6] Tradisi menikahkan anak perempuan di usia kanak-kanak masih sering terjadi. Kecenderungan perempuan untuk menghentikan karirinya demi menikah juga bisa ditelusuri dari pandangan misoginis yang melihat perempuan sebagai penyebab dosa (the original sin of being female) atau “Dosa asal semenjak ia dilahirkan”. Melalui kaca mata sosiologi, terdapat banyak pendapat yang mengatakan bagi kebanyakan perempuan, menjadi seorang ibu dan istri adalah hal terpenting dalam hidup mereka. Seperti Anne Wilson Achaef dalam bukunya Women’s Reality: An emerging Female System in A White Society. Menurutnya the perfect marriage atau perkawinan yang sempurna adalah dambaan bagi semua perempuan.[7] Konsep ini terlahir dari proses pembelajaran yang diterima perempuan sejak kecil dari lingkungan. Apakah pendidikan cukup untuk mengangkat martabat perempuan? Dalam konteks masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh ideologi patriarki, proses pembongkaran kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hal yang mudah. Hegemoni perayaan hari Kartini setiap tahun belum relevan dengan cita-cita luhur kartini. Feodalisme masih berlaku dengan wujud yang berbeda. Kesenjangan pendidikan terawat dengan baik. Tidaklah heran jika Arwah Kartini masih menghantui dunia pendidikan Indonesia. Catatan Belakang: [1] Humm, Maggie. Ensiklopedia Feminisme, Fajar Pustaka Baru.2002 [2] Leli Nurohmah, Mendefinisikan Kemerdekaan bagi Perempuan, Swara Rahima, No. 19 Th. VI Agustus 2006 [3] Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901 [4] Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902. [5] Lembar Fakta Pendidikan untuk Anak Perempuan di Indonesia. [6] Wawancara, “Minimnya Kesadaran Pendidikan untuk Perempuan”. Jurnal Perempuan No.70 Th. 2011. [7] Wafiroh, Nihayatul. “Menikah atau Kuliah?”. Swara Rahima No. 22 Th. VII Agustus 2007. Daftar Pustaka: R.A Kartini. 2014. Emansipasi: surat-surat Kartini Kepada Bangsanya 1899-1904. Jalasutra Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Cetakan ketiga. Jakarta: lentera Dipantara. Soekarno. 1963. Sarinah. Cetakan Pertama. Panitia Penerbit Buku-buku Karangan Presiden Soekarno. Lembar Fakta Pendidikan untuk Anak Perempuan di Indonesia. Diakses di http://www.unicef.org/indonesia/id/Facts_Sheet_on_Girls_Education_IND_.pdf. pada 20 April 2015 pukul 15.00 |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |