Johanna G.S.D. Poerba (Mahasiswi Prodi Ilmu Sejarah, FIB, UI) [email protected] Jika mengingat Kartini maka kata-kata berikut yang muncul di pikiran penulis: kebebasan, belenggu tradisi, dan sosok laki-laki. Terlahir sebagai seorang perempuan di tengah masyarakat Jawa masa kolonial adalah sebuah kondisi yang tak menguntungkan bagi seorang Kartini. Pada masa itu perempuan, khususnya mereka yang berasal dari keluarga bangsawan, hanya memiliki satu tujuan dalam hidup yaitu menjadi Raden Ayu. Itu berarti menikah dan mengabdikan diri pada pria yang menjadi suami mereka. Sosok laki-laki, terlepas dari nilai negatif atau positif di mata Kartini, pada nyatanya memberikan sumbangan pada pemikirannya. Mungkin selama ini kita hanya mengenal Kartini hanya sebatas korban dari budaya patriarki yang dipaksakan padanya oleh laki-laki. Kemudian ia lalu memberontak dan menjadi pejuang emansipasi. Padahal pada kenyataannya kisah dan pemikiran Kartini tidak sesederhana itu. Mengenai gelar yang disematkan pada Kartini yaitu sebagai pejuang emansipasi perempuan, ini seringkali masih menjadi perdebatan diantara mereka yang mempelajari sejarah. Tetapi marilah kita meletakkan perdebatan panjang ini ke samping untuk sementara. Mari menggeser fokus sebentar dan membicarakan kisah Kartini dari sudut pandang yang lain yaitu peran seorang Ayah dan pandangan Kartini akan kesetaraan bagi laki-laki. Bermula dari Ayah Dalam kumpulan surat Kartini pada sahabat-sahabatnya yang diterjemahkan oleh Armijn Pane dan juga yang dibahas didalam tulisan Pramoedya, terungkaplah bahwa pembentukan karakter dan gagasan dalam diri Kartini adalah juga jasa dari sang Ayah, R. M. Adipati Ario Sosroningrat. Adapun jika ditelusuri, cara pandang Bupati Jepara yang modern pada masanya ini diturunkan dari kakek Kartini yaitu Pangeran Ario Tjondronegoro. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hal yang umum di kalangan Bumiputera dan kakek Kartini berhasil melihat kekurangan itu dan belajar mengatasinya. Ia memberikan pendidikan bagi anak-anaknya dan menanamkan pemahaman akan pentingnya pendidikan dalam benak mereka. Alhasil ayah Kartini dan juga pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat yang juga merupakan Bupati Demak, menurunkan nilai tersebut pada anak-anak mereka. Kartini sempat mengecap pendidikan bersama saudara-saudaranya. Namun pintu itu tertutup baginya ketika ia menginjak usia dua belas tahun. Meskipun demikian, akses Kartini pada pengetahuan tak sepenuhya tertutup karena kemudian ia sering bertukar pikiran dengan teman-teman penanya. Sebutlah Zeehandelaar, Ovink-Soer, Abendanon, de Booij, dan lainnya. Dalam surat-surat tersebut terbaca keinginan terbesar Kartini yaitu pembebasan. Pembebasan pribadinya dan juga pembebasan bagi kaum perempuan yang dirasanya senasib dengannya. Cita-cita ini tentunya dimaksudkannya bagi seluruh perempuan bukan hanya bagi perempuan yang berdarah biru sebab meskipun para perempuan yang tak berstatus bangsawan bebas untuk bekerja dan keluar masuk rumah, tetap saja pendidikan adalah mimpi bagi mereka dan budaya patriarki sebagai belenggu pada kaki mereka. Ayah Kartini, meskipun di satu sisi menjadi yang paling berpengaruh dengan meletakkan fondasi dari terbukanya pikiran Kartini, juga merupakan sosok yang menahan Kartini untuk melebarkan sayapnya. Ia belum mampu lepas dari nilai-nilai tradisi yang telah ia serap dari usia dini. Ia sempat melarang Kartini melanjutkan studinya dan ia pulalah yang “mengunci” Kartini dari dunia luar. Tentu saja jika Bupati Jepara ini mampu memberikan kebebasan sepenuhnya pada Kartini (yang berarti mendobrak budaya patriarki yang sudah lama sekali berlaku) maka ialah yang akan dijuluki sebagai pahlawan emansipasi bukan putrinya. Haryati Soebadio dan Saparinah Sadli pernah menulis sebuah buku berjudul Kartini: Pribadi Mandiri. Di dalam buku ini terdapat khusus sebuah bab yang berjudulkan Dilema Seorang Ayah. Tentu jika kita tidak tergesa-gesa dan mau melihat dari sudut pandang lain maka kita akan menyadari bahwa Adipati Ario Sosroningrat di satu sisi adalah juga korban tradisi dan budaya patriarki. Selaku seorang Ayah, ia pasti ingin mengabulkan keinginan putrinya yang cemerlang namun di sisi lain ia mendapat tekanan dari keluarga dekat dan juga beberapa pejabat Belanda di Jawa yang memandang negatif pendidikan bagi perempuan. Meskipun demikian, menurut Kartini sosok ayahnya sajalah yang mampu mengerti hasrat dan mimpinya akan kebebasan. Oleh karena itu besarlah kasih Kartini pada sang Ayah dan kasih inilah yang menurutnya mampu untuk memadamkan keinginannya menggapai cita-cita. Menggugat Patriarki Setiap orang yang mendukung terwujudnya kesetaraan gender tentu akan berupaya mengusik keberadaan budaya patriarki. Hal yang sama dilakukan oleh Kartini. Memasuki usia kepala dua, ia sudah mengkritik banyak hal seperti poligami, posisi perempuan dalam rumah tangga, hak pendidikan dan pengambilan keputusan bagi perempuan. Mungkin untuk saat ini, perbincangan mengenai kesetaraan gender dapat kita temui dengan mudah. Publik tampaknya sudah lebih awam dengan istilah kesetaraan gender meski belum menjangkau semua kalangan. Menjadi hal yang spesial ketika seorang perempuan Jawa yang belum mengenyam pendidikan tinggi dan terkurung dalam kungkungan adat yang begitu kental dapat berpikir begitu kritis. Lagi hal yang ia kritik adalah sesuatu yang sudah dipandang “biasa” dan mendarah daging. Ketika Kartini membicarakan persoalan poligami, ia berbicara sebagai pembela, saksi, dan juga korban. Poligami seperti sudah menjadi hal yang dibenarkan pada masa itu. Kartini menyaksikan hal itu menimpa adik perempuannya, Kardinah, dan juga dilakukan oleh Ayah yang ia kagumi (mungkin ia menggugat sosok ayahnya secara tersirat). Bahkan ia pun nyatanya terjerat poligami ketika akhirnya menikah. Perlawanan Kartini terhadap praktik poligami di kalangan bangsawan Jawa pada akhirnya membawa dia pada kesadaran bahwa ia sendiri sudah hidup dalam bayang-bayang musuh besar yang dilawannya. Ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang amat bengis dan kuat, yang didukung adat-istiadat, bahkan juga dibenarkan oleh ajaran-ajaran agama yang ada pada masa itu.[1] Seperti sebelumnya telah disinggung, Kartini juga mempermasalahkan posisi perempuan dalam rumah tangga. Pada jamannya, keputusan keluarga adalah keputusan laki-laki selaku kepala keluarga. Perempuan dipandang tidak penting keberadaannya kecuali sebagai partner dalam reproduksi dan pengasuh anak. Bahkan pernikahan pun dapat dilaksanakan meskipun si mempelai perempuan tidak ada di tempat saat upacara pernikahan dilangsungkan. Hal inilah yang disayangkan Kartini karena menurutnya sepantasnya laki-laki memperlakukan istri mereka sebagai sahabat dan rekan yang sederajat posisinya. Kesetaraan itu Ditujukan bagi Semua Pihak Keras sekali Kartini mengkritik laki-laki Jawa dan budaya patriarki yang melingkupi masyarakat Jawa saat itu. Meskipun demikian, ia sadar bahwa musuh dari ketidakadilan yang menimpa perempuan bukanlah laki-laki melainkan suatu sistem budaya bernama patriarki. Hal ini tercermin dalam suratnya pada Zeehandelaar. “Lagi pula hendaklah aku menghapuskan pembatas antara laki-laki dan perempuan yang diadakan orang dengan amat telitinya, sehingga menggelikan. Yakinlah aku, bila pembatas itu lenyap, hal itu akan menguntungkan laki-laki terutama.”[2] Masih sering penulis temui orang-orang dengan persepsi yang salah akan istilah kesetaraan gender di masa ini. Mendengar konsep feminisme dan kesetaraan gender, ada yang memandangnya sebagai ancaman atau upaya para perempuan untuk mengungguli dan menindas kaum laki-laki. Penyebab dari adanya kesalahpahaman ini adalah ketidaktahuan atau informasi yang salah. Sayang keterbatasan akses pada informasi atau kemalasan seringkali menjadi penghalang bagi orang-orang ini untuk memahami dengan betul apa itu kesetaraan gender. Penting bagi kita untuk belajar dari pemikiran Kartini ini. Ia mengerti bahwa dasar dari pemikiran laki-laki yang merendahkan perempuan merupakah hasil doktrinasi semenjak usia dini. Pada masanya (mungkin masih banyak juga diterapkan pada masa ini), anak laki-laki dididik untuk tampil perkasa. Tidak boleh menangis, kuat secara fisik maupun mental. Ketika seorang anak laki-laki menyimpang dari didikan yang diajarkan oleh orangtuanya (celakanya seringkali ibu mereka juga turut mengajarkan ini) maka ia akan dicela “Lemah! seperti anak perempuan saja.” Akibatnya, laki-laki yang tumbuh dengan didikan ini terbiasa dengan anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang tak sederajat, lebih lemah, dengan dirinya. Mereka kemudian merasa berkewajiban untuk menjadi seorang pemimpin, pelindung, dan menanggung kehidupan perempuan dan keluarganya. Meletakkan beban dua orang di atas satu pundak. Kita dapat melihat betapa banyaknya laki-laki yang juga berinisiatif menentang patriarki dan terinspirasi oleh semangat Kartini. Oleh karenanya, menumpas patriarki bukan berarti membela perempuan dengan membabi buta dan menyudutkan laki-laki tanpa memandang duduk persoalan. Karena sejatinya kesetaraan atau keadilan gender adalah kerjasama diantara laki-laki dan perempuan. Catatan Belakang: [1] Th. Sumarna, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1993, hlm.19 [2] Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang / R.A.Kartini, Perum Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta, 1992, hlm. 65 Daftar Pustaka: Pane, Armijn. 1992. Habis Gelap Terbitlah Terang / R.A.Kartini. Jakarta: Perum Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka. Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara. Sumartana, Th. 1993. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Soebadio, Haryati dan Saparinah Sadli. 1990. Kartini Pribadi Mandiri. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Soebadio, Haryati. 1990. Peranan Kartini untuk Masa Depan. Dalam Aristides Katoppo (Ed.). Satu Abad Kartini: Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tondowidjojo, John. 1993. Mengenang R.A.Kartini dan Tiga Saudara dari Jepara. Surabaya: Yayasan Sanggar Binatama. Nadya Karima Melati (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UI) [email protected] “Ibu Kita Kartini, Pendekar Bangsa Pembela Kaumnya Untuk Merdeka” (Ibu Kita Kartini – W.R. Soepratman) Tanggal 21 April, setiap tahunnya, kita peringati sebagai hari Kartini. Lagu-lagu dikumandangkan, salon-salon penuh untuk menyewa baju kebaya dan berbagai baju daerah lainnya, sale besar-besaran khusus perempuan di minggu Kartini. Kartini.. Kartini… mungkin banyak yang mengenalmu, tau perjuanganmu, tapi belum tentu tau berarti memahami. Saya mencoba mengenal kamu dalam sebulan terakhir ini melalui beberapa literatur, browsing di internet, dan melihat papan sale pinggir jalan. Apakah ini yang kamu mau? Kisah Tragis Kartini Apa yang kita kenal dari wilayah Jepara selain Kartini dan ukirannya yang terkenal? Kartini lahir di Jepara dengan gelar Raden Ayu karena ayahnya, RM Adipati Sosroningrat adalah seorang Bupati Jepara yang naik pangkat gara-gara menikah lagi dengan seorang anak Raja Madura. Menurut Biografi “Panggil aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer, Kartini berasal dari rahim istri pertama Adipati Sosroningrat yang bernama Ngasirah, anak seorang mandor gula di Majong. Dua saudari yang dipingit bersama Kartini di usianya yang ke-12 tahun adalah saudari-saudari tiri dari ibu kedua Kartini. Menurut Pram juga, Kartini dibesarkan oleh kasih sayang sang ayah karena ibu kandungnya entah dicerai entah pergi meninggalkan rumah dan ia diasuh oleh “emban” atau bisa jadi oleh ibu keduanya. “yang mengasuh Kartini pada masa kecil adalah konflik rumah tangga dan konflik permaduan” demikian ditulis Pram. Kartini bisa dibilang beruntung, bisa dibilang dikutuk. Statusnya sebagai priyayi yang membuat dia bisa mengenyam bangku sekolah rendah Belanda. Tidak.. tidak…. seperti sekarang kita sekolah dididik agar menjadi pintar. Kartini pergi ke sekolah dengan harapan agar dia mempelajari etiket, tata krama, dan bahasa Belanda. Tidak tersedia cita-cita lain bagi seorang perempuan priyayi Jawa selain menjadi seorang Raden Ayu. Status Priyayi kemudian mengutuknya ketika berumur 12 tahun. Kartini, si calon Raden Ayu harus dipingit, melalui surat-suratnya kita bisa melihat kepedihan Kartini yang harus dipisahkan dari sekolah yang ia cintai. Tapi walaupun ayahnya sangat revolusioner dan salah satu dari empat Bupati Jawa yang mampu berbahasa Belanda, hal tersebut tidak cukup untuk membuat ayahnya melolosakan diri dari cengkram tradisi Feodalisme. Tapi tenang, tidak ada tembok yang mampu mengekang ide yang tumbuh berkembang. Kartini hidup dibalik tembok bersama dengan segala yang dia baca. Pemikiran Kartini bergerak seiring dengan kemajuan modernitas. Kita bisa melihat buah pikirannya yang jauh melampaui jaman ketika ia tinggal melalui surat-suratnya kepada Estella H. Z Heehandelar. Ia pula menulis surat pengumuman di sebuah majalah perempuan Belanda Holandsce Lelie untuk mencari teman pena, “Seorang gadis modern berani, dan independen yang berjuang demi masyarakat luas” menjadi syaratnya. Dan ditemuinya pula Nyonya Henri Hubertus van Kol serta Marie C.E.Ovink-Soer, semua melalui pucuk-pucuk surat. Sekarang kita kembali lagi ke kisah tragis Kartini. Goenawan Mohamad menyebut Kartini sebagai tokoh epik sekaligus tragis. Kartini menggugat ketidakadilan yang terjadi padanya. Dan ia sekaligus menjadi korban. Kartini mengeluhkan tentang Poligami, padahal ia adalah anak dengan dua ibu, sekaligus menjadi istri dari suami yang telah memiliki tiga istri sebelumnya, Kartini meninggal di usia yang amat muda 25 tahun tanpa pernah mengecap pengalaman sebagai Ibu, ia terlanjur meninggal ketika melahirkan. Polemik Kartini sebagai Pahlawan Nasional Pemilihan Kartini sebagai pahlawan ditetapkan oleh Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 108 tahun 1964. Pernah pula Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar Guru Besar UI mengkritik perihal pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia dalam “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979) yang dijadikan propaganda menentang Feminisme oleh peneliti INSIST Tiar Anwar Bachtiar[1]. Menurutnya, Kartini ada ketersinggungan dengan Snouck Hurgonje yang ingin memperkecil peran islam di Nusantara karena Kartini menyebut-nyebut nama Snouck dalam surat-suratnya kepada Ny. Abendanon. Selain dari Pram, saya menemukan Literatur yang cukup baik yang bercerita tentang Kartini dari Buku Angle of Vision karya Andi Achdian. Dalam bab berjudul ‘Kartini’, dibahas biografi Singkat Kartini dan gerak zaman yang melingkupinya. Tak luput pula bagaimana polemik pemilihan Kartini sebagai tokoh Sejarah. Jika Pram dalam bukunya menulis bahwa Kartini adalah contoh terbaik dalam didikannya (politik etis) yang bisa diberikan kepada Pribumi jajahannya[2] hal ini dituduhkan karena dekatnya Kartini dengan orang-orang Belanda, dan Kartini juga mencicipi pendidikan modern ala Eropa. Pada Desember 2010 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dipertanyakan ‘Kepahlawanan Kartini’ melalui seminar berjudul “Menakar Bobot Kepahlawanan” yang dilakukan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia. Kartini seringkali hanya merepresentasikan budaya Jawa, perjuangannya hanya sebatas Ide dan surat-surat, berbeda seperti yang dilakukan Dewi Sartika yang membentuk sekolah Keutaman Istri ataupun Rohana Kudus seorang jurnalis perempuan. Dengan cukup bijak, Sejarahwan UI ini mengungkapkan bahwa polemik Kartini sebagai pahlawan bukanlah dilihat dengan ‘menakar’. Pahlawan muncul dalam bentuk lain: Inspirasi bagi seorang individu dalam masyarakatnya dengan cara memahami persoalan bukan sekedar mengangkat citra dangkal konsepsi kita tentang Pahlawan.[3] Kartini dalam Feminisme Poskolonial Kartini sering diidentifikasi sebagai Wanita Jawa yang sebagaimanapun ia berontak, akhirnya tunduk juga menikah dan dimadu. Sesuai yang tertera dalam Serat Candrarini bahwa status perempuan Jawa yaitu, 1) Setia pada Lelaki, 2) Rela dimadu, 3) Mencintai Sesama, 4) Trampil pada pekerjaan, 5) Pandai berdandan dan merawat diri, 6) Sederhana, 7) Pandai memahami kehendak laki-laki, 8) Menaruh perhatian pada mertua, 9) Gemar membaca buku berisi nasihat[4]. Kemudian Kartini ditarik pula sebagai ikon Feminis, seperti yang diungkapkan W.R. Soepratman dalam lagunya, “Pendekar kaumnya, untuk merdeka”. Kartini dibelenggu budaya dan tradisi, ia ingin bebas, merdeka dan menginginkan penduduk pribumi merasakan hal yang sama. Gadis Arivia dalam “Poskolonialisme dan Feminisme, dimanakah Letak Kartini?” dalam buku Feminisme Sebuah Kata Hati memposisikan Kartini sebagai seorang Feminis Liberal yang memperjuangkan hak dan menitikberatkannya pada ide. Kedekatan dan kepeduliannya dalam surat-suratnya dianggap sebagai keributan terhadap ego rasional dirinya bukan pemecahan kesunyian kaumnya yang dianggap sebagai the other[5]. Kartini dalam pendekatan Feminis poskolonial menyuarakan subaltern-nya, sosok perempuan dunia ketiga yang terjerat antara tradisi dan modernitas. Statusnya sebagai perempuan priyayi jawa dan keinginananya menjadi perempuan Eropa yang tidak dipingit dan mampu bersekolah[6]. Ingat Kodrat, ya? Katakanlah bagaimana jika Kartini tidak dipilih oleh Belanda sebagai ikon propaganda keberhasilan politik etis. Bukan tidak mungkin Soekarno, bahkan kita tidak mengenal usaha dan ide-ide perempuan yang terlampau maju melebihi jamannya. Katakanlah jika kita memilih ikon lain untuk menggantikan Kartini merayakan harinya. Baik Belanda maupun Orde Baru yang memposisikan Kartini sebagai dua citra perayaan yang berbeda. Sebagai produk pendidikan sukses dan sebagai representasi budaya Jawa. Kartini tertinggal hanya sebagai ikon. Kartini sebagai ikon yang terus menerus dimaknai oleh zaman. Padahal yang ia inginkan adalah cita-cita perempuan yang tidak sebagai istri. Perempuan harus keluar dari pingitan yang membelenggunya melalui kaki-tangan budaya atau pemaksaan kewajiban kemampuan memasak, mengurus anak, dan mengurus rumah. Begitu saya browse di google “merayakan hari Kartini” hingga kini, kita masih menghabiskannya dengan pawai kebaya atau alternatifnya adalah lomba memasak. Semua yang menjadi domestifikasi perempuan. Beberapa tulisan yang memaknai hari Kartini meminta perempuan Indonesia sebagai Kartini, bekerja tapi, ingat kodrat ya, kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga. Sekali lagi, siapapun yang membaca ini dan masih berpikiran Kartini menginginkan itu, anda sungguh-sungguh ahistoris. Catatan Belakang: [1] Tiar Anwar Bachtiar menulis “Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah” sumber asli dari web insistnet.com sudah tidak bisa diakses lihat salinannya di Jurnal Islamia Republika-INSIST (April 2009) [2] Pramoedya Ananta Toer. 2012. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara hal 12 [3] Andi Achdian. 2012. “Kartini” dalam Angel of Vision. Jakarta: LOKA Publishing [4] Wasito Raharjo Jati “Wanita, Wani Ing Tata:Konstruksi Perempuan Jawa dalam Studi Poskolonialisme” dalam Jurnal Perempuan: Budaya, Tradisi, dan Adat” No 84 Vol. 20 No.1 Febuari 2015 hlm 92 [5] Gadis Arivia. 2006. “Poskolonialisme dan Feminisme, dimana Letak Kartini?” dalam Feminisme Sebuah Kata Hati. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan [6] Pramoedya Ananta Toer, Opcit, hal 63 Sumber Internet: http://kvltmagz.com/kartini-dan-korupsi/ diakses pada 14 April 2015 pukul 23.34 http://lakilakibaru.or.id/2011/05/feminisme-kartini-dan-maskulinitas-baru/ diakses pada 14 April pukul 12.05 http://www.eramuslim.com/berita/nasional/pakar-sejarah-kesan-kartini-seorang-feminis-adalah-taktik-belanda.htm diakses pada 14 April 2015 pukul 23.55 http://ciricara.com/2014/04/21/cara-unik-merayakan-hari-kartini/ diakses pada 15 April 11.48 Indriyani Sugiharto (Mahasiswi Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada) [email protected] Sewaktu saya duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) ada tanggal dimana saya disulap ibu dengan dandanan mirip dia di foto pernikahannya lengkap dengan kebaya, gelung dan make up menor untuk berangkat ke sekolah, yaitu tanggal 21 April. Pasalnya, setiap tanggal itu saya tidak mengenakan seragam merah putih atau pramuka tetapi kebaya. Satu hari sebelum tanggal 21 April, guru selalu mengingatkan murid-muridnya “Jangan lupa bilang ibu besok Kartinian, ya?” Betapa senang hati saya bila tanggal itu tiba. Disamping rasa girang saya bisa memakai kebaya dengan rambut digelung, pada tanggal 21 April kegiatan belajar mengajar juga dikosongkan. Seharian saya dan teman-teman hanya sibuk memperhatikan baju dengan banyak ornamen kelap-kelip yang kami pakai satu sama lain. Pada waktu itu saya masih SD jangankan bertanya, rasa ingin tahu apakah yang dimaskud ibu guru dengan istilah Kartinian-pun tidak ada. Pesan guru yang seolah ditujukan pada ibu-ibu kami pun menjadi salah satu hal yang membuat saya acuh pada makna dari tanggal 21 April yang terjadi bertahun-tahun pada pemahaman saya. Kartinian adalah hari dimana seorang ibu akan bertugas untuk mendandani anaknya seperti pengantin dengan adat jawa. Sewaktu saya duduku di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kebiasaan tahunan untuk memakai baju adat setiap tanggal 21 April masih berjalan. Namun ada yang berubah dalam kebiasaan menyambut tanggal 21 April dibandingkan tahun-tahun sebelumnya di SD. Guru mulai memberitahu makna tanggal 21 April yaitu perayaan menyambut Hari Kartini. Waktu itu saya hanya menanggapi sebatas “Oh gitu”, namun salah seorang teman di kelas yang dianggap pintar sedikit cerewet bercerita kenapa kita harus merayakan tanggal 21 April sebagai hari Kartini. Menurutnya, Kartini adalah tokoh emansipasi. Sejak kecil telinga saya memang akrab dengan kata emansipasi. Kata tersebut lebih sering terdengar oleh saya pada bulan April, khususnya di pertengahan bulan April.
Tambah teman saya, karena Kartini kami perempuan sekarang bisa bersekolah. Tidak mempedulikan dan tidak juga mengerti apa arti dari kata emansipasi, pada waktu itu saya tidak sepakat dengan alasan teman yang menyatakan saya bisa sekolah karena Kartini. Saya tidak mengenal Kartini, begitupun orang tua saya. Saya pun sampai berpikir memangnya kalau saya mau bayar SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) saya minta Kartini? Tidak. Sekarang saya berstatus sebagai seorang mahasiswa. Saya mulai mengingat lagi pernyataan teman saya yang mengatakan karena Kartini perempuan bisa sekolah. Pada waktu itu saya tidak tahu sebenarnya apa hubungan menjadi perempuan dan sekolah? Saya hanya bisa bertanya pada diri sendiri setelah satu persatu teman perempuan saya menikah pada usia yang sangat dini. Mengapa Tina tidak kuliah malah jadi SPG (Sales Promotion Girl)? Mengapa Ayu yang bekerja di Korea setelah lulus SMA terlihat tidak bahagia? Saya pun tidak tahu pasti apakah mereka benar-benar memilihnya atau mungkin mereka memang tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Terlepas dari itu, selama di Universitas tidak ada lagi kebiasaan memakai baju adat ke kampus pada tanggal 21 April. Kebiasaan menyambut Hari Kartini diubah dengan beberapa undangan seminar atau diskusi dengan topik perempuan. Namun saya juga tidak mengatakan bila sekarang saya sudah mengerti betul siapa Kartini dan kenapa kita harus merayakan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. “Ibu kita Kartini, Putri Sejati?” Telah banyak artikel yang saya temukan mengenai betapa besar Kartini berjasa bagi bangsa Indonesia khususnya perempuan. Telah banyak juga saya temukan artikel yang mempertanyakan mengapa harus Kartini? Mengapa tidak Tjoet Nja’ Dhien? Mengapa tidak Dewi Sartika? atau lainnya.
Kartini dianggap membukakan jalan bagi perempuan-perempuan di Indonesia pada kesetaraan gender, khususnya dalam pendidikan. Melalui kumpulan surat-suratnya yang dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” terlihat ketidaksepakatannya pada tata cara dan aturan yang mengikat perempuan jawa.
Ketidaksepahaman Kartini atas aturan tersebut cukup beralasan karena dia harus menjalani masa pingitan yang telah membelenggunya, serta tidak diizinkannya Kartini melanjutkan sekolah di Belanda oleh ayahnya. Bahkan demi melarang keinginannya untuk bersekolah, akhirnya dia dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang dan meninggal saat melahirkan anak pertamanya Raden Mas Soesalit. Beberapa mengatakan kisah hidup seorang Kartini yang begitu poupuler tak lepas dari lingkungan yang turut membentuk karakternya, serta pertemanannya dengan orang-orang kolonial dan kaum elite pribumi semasa sekolah, oleh karena itu dia bisa menguasai bahasa Belanda dan mendapatkan pendidikan model barat yang sekuler dan sosialis.[4] Hal tersebutlah yang menjadikan kecurigaan beberapa pihak bahwa Kartini sengaja dipilih oleh Belanda, salah satunya karena ayahnya yang memegang pemerintahan di Jepara. Bila bicara mengenai tokoh perempuan yang berjuang pendidikan, banyak yang mempertanyakan mengapa Dewi Sartika (1884-1947) atau Rohana Kudus yang bahkan sempat mendirikan sekolah-sekolah tidak sepopuler Kartini?
Hampir semua dari kita pernah diajarkan lagu “Ibu Kita Kartini” sewaktu kecil. Banyak juga dari kita yang sudah hafal. Saya kemudian berpikir, apakah karena kalimat Ibu kita Kartini, Puteri sejati maka pada tanggal 21 April sewaktu SD saya selalu memakai kostum kebaya dengan gaya Kartini serta menganggap ke-sejati-an seorang pahlawan perempuan harus memakai kebaya dengan gelung rapi. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagi saya seorang pahlawan perempuan harus turun ke medan perang membawa senjata, apalagi naik kuda. Kartini-Kartini dalam Pendidikan, Gizi dan Lingkungan Hidup Dalam sebuah program magang di Rumpun Tjoet Nja’ Dhien, LSM dengan fokus pada isu Pekerja Rumah Tangga yang kebetulan sama dengan nama tokoh perempuan dari Aceh, kemudian saya mengenal Kartini. Kartini yang saya kenal disini biasa dipanggil Lek Jum. Lek Jum merupakan salah satu pegiat sekaligus peserta “sekolah mingguan” bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Sewaktu magang, saya hampir seminggu tiga kali bertemu dengannya. Di malam senin, rabu dan jumat dia selalu bersiap dengan pulpen dan catatan di tangan untuk mengikuti kelas bahasa Inggris bersama saya dan satu teman magang dari Amerika. Sedangkan di hari minggu Lek Jum akan datang paling awal untuk mengikuti “sekolah mingguan” di Sekolah PRT. Terdapat beberapa kelompok atau serikat Pekerja Rumah Tangga di Jogja, Lek Jum bergabung dalam Serikat PRT Tunas Mulia. Ilmu yang dia dapatkan dari kelas bahasa Inggris dan sekolah PRT kemudian akan dilanjutkan ke teman-teman PRT di Serikat PRT Tunas Mulia yang tidak bisa bergabung dalam “sekolah mingguan”. Lek Jum yang tidak pernah lelah membagi ilmunya dan berjuang membela hak-hak Pekerja Rumah Tangga adalah Kartini. Kartini lain yang saya kenal bernama Boi dan Ina. Saya biasa menyebutnya Mama Boi dan Mama Ina karena mereka merupakan ibu angkat saya selama menjalankan tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kepulauan Alor. Selama hampir dua bulan menjalankan KKN saya tinggal dan diangkat menjadi anak oleh satu keluarga. Rumah yang saya tinggali dihuni oleh sekitar lebih dari sepuluh anggota keluarga besar Bapak Djasa Samiun. Mama Boi dan Mama Ina adalah istri dari ayah angkat saya Djasa Samiun. Walaupun secara pribadi saya tidak setuju pada poligami, namun ada yang menarik perhatian saya pada keluarga ini. Menurut keterangan kakak angkat saya, selama menikah lebih dari 30 tahun tidak pernah terjadi perselisihan serius diantara ayah dan mama-mama kami. Beberapa hari menjadi anak angkat, saya mulai paham akan pola komunikasi dan pembagian kerja dalam keluarga angkat saya. Ayah saya yang mengalami cedera kaki dan susah berjalan tidak dapat melakukan kerja berat. Mama Boi sehari-hari mengurus kebun sayur pribadi mulai dari mencangkul, menanam, menyirami sampai memanen. Sedangkan Mama Ina bertugas mengolah semua bahan makanan sehari-hari dari hasil kebun. Setiap Selasa Mama Boi dan Mama Ina berangkat pagi buta ke Pasar tumpah yang hanya ada seminggu sekali untuk menjual sayuran atau melakukan barter dengan penjual lain. Walaupun keluarga kami tidak punya cukup uang untuk membeli ayam atau daging tapi Mama Boi dan Mama Ina terus menanam sayur yang dipetiknya setiap pagi dan sore hari agar anak-anak dan cucunya bisa terus kenyang. Mama Ina dan Mama Boi yang berjuang demi untuk memenuhi gizi anak cucunya adalah Kartini. Satu lagi Kartini yang pernah saya temui adalah Aleta Baun. Saya yakin beberapa sudah akrab dengan nama tersebut. Aleta Baun dikenal sebagai perempuan yang memimpin perjuangan mengusir penambangan marmer yang ada di Nausus dan Anjaf, bukit yang dikeramatkan oleh suku Mollo. Bagi suku Mollo yang tinggal di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, air, hutan, tanah dan batu adalah bagian dari identitas mereka. Keberanian yang ada pada diri Aleta Baun mengilhami suku Amanatun dan Amanuban untuk bergabung dalam perjuangan melawan kerusakan alam tersebut. Melalui festival tahunan Ningkam Haumeni, suku Mollo, Amanatun dan Amanuban bersatu untuk bersumpah melawan segala bentuk penambangan yang akan merusak alam dan kebudayaan mereka.[6] Pertengahan tahun 2014 saya dan tiga teman berkesempatan datang dalam festival Ningkam Haumeni di Fatu Nausus, Timor Tengah Selatan. Festival yang diisi dengan banyak kegiatan mulai dari diskusi dengan topik pangan, menanam sayur dan ubi serta berbagai acara adat di lokasi bekas tambang marmer digelar selama beberapa hari. Kegiatan yang dilakukan oleh ketiga suku tersebut mengingatkan mereka akan perjuangan sebelumnya dalam melawan pertambangan. Banyak hal yang membuat saya kagum, mulai dari warna warni tenun khas timor yang mereka pakai sampai komitmen mereka yang hanya makan dari hasil di tanah mereka. Selama beberapa waktu tinggal disana, saya disuguhkan dengan pangan lokal yaitu jagung, sorgum, madu dan jeruk hutan. Aleta Baun adalah Kartini. Catatan Belakang: [1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. [2] Surat R. A Kartini kepada Estelle Zeenhandelaar, 18 Agustus 1899. [3] Surat R.A Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899. [4] Iffati Aulia Rachmaingati, “Bukan Kartini Biasa” , diakses dari https://morfobiru.wordpress.com/2012/09/19/bukan-kartini-biasa/, pada 14 April 2015 pukul 20.00 WIB. (Peringkat dua kompetisi esai AKAMIGAS tahun 2010 dalam rangka memperingati Hari Kartini) [5] Tiar Anwar Bachtiar, “Mengapa Harus Kartini?” , diakses dari http://insistnet.com/mengapa-harus-kartini/, pada 14 April 2015 pukul 22.00 WIB. [6] Nunuy Nurhayati, “Sumpah Darah di Baukit Keramat”, Tempo, edisi 23 September 2012. Andi Misbahul Pratiwi (Asisten Redaksi Jurnal Perempuan) [email protected] Judul : Mengupas Seksualitas Penulis : Musdah Mulia Penerbit : Opus Press Tahun terbit : 2015 Tempat terbit : Jakarta Tebal buku : Xix + 235 hlm. Bagi kebanyakan orang topik diskusi mengenai seksual adalah hal yang ditabukan. Kata ‘seks’ dinilai sebagai sesuatu hal yang harus disembunyikan, tidak diperbincangkan dan dianggap tidak penting. Isu seksualitas kerap dipandang tabu untuk diperbincangkan sehingga tidak heran jika banyak orang, termasuk kalangan terpelajar belum mengetahui secara benar organ-organ seksual dan fungsi-fungsinya, kesehatan reproduksi dan pentingnya pemenuhan hak-hak seksual manusia. Namun tidak untuk Musdah Mulia, perempuan pertama dikukuhkan LIPI sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan di Departemen Agama (1999) dan menerima penghargaan International Women of Courage mewakili Asia Pasifik dari Menlu Amerika Serikat, Condoleeza Rice atas upayanya mempromosikan demokrasi dan HAM pada tahun 2007 dalam peringatan International Women Days di Gedung Putih US. Musdah Mulia melalui buku ini menjelaskan secara menyeluruh mengenai seksualitas mulai dari hak-hak seksual dan reproduksi, kekerasan seksual dan bagaimana islam memandang seksualitas. Buku ini juga disertai pengantar pemahaman istilah seks, interseks, gender, transgender, seks dan seksualitas yang sering mengalami diskursus. Buku ini memiliki keberpihakan terhadap perempuan dan kaum minoritas dengan kerangka feminisme dan pendekatan Islam yang humanis. Terbukti dengan adanya beberapa bab dalam buku ini yang menjelaskan tentang permasalahan yang sering dialami oleh perempuan seperti kesehatan reproduksi, sunat perempuan, dan aborsi dalam pandangan Islam. Tidak tertinggal juga oleh Musdah Mulia untuk membahas tentang konsep memanusiakan penderita HIV/AIDS. Buku ini menjadi panduan yang bagus untuk mengetahui seksualitas dengan segala dimensi dan problematikanya. Sangat mudah dipahami karena ditulis dengan bahasa yang lugas dan sederhana.
Hak-Hak seksual Seksualitas merupakan suatu ekspresi hasrat erotik atau berahi manusia yang dikonstruksikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan melibatkan faktor politk, ekonomi, nilai budaya dan ajaran agama. Sebab, seksualitas merupakan esensi kemanusiaan paling nyata karena menunjukkan jati diri manusia yang paling dalam. Seksualitas tidak bekerja secara alami dalam diri manusia, melainkan harus dipelajari dengan seksama karena terdapat pengetahuan tentang unsur-unsur anatomi tubuh, nilai-nilai etika, hak-hak manusia, kesehatan reproduksi, dan nilai-nilai spiritual yang dalam. Masyarakat umumnya masih melihat seksualitas sebagai hal negatif, bahkan tabu dibicarakan. Akibatnya banyak hal positif dari seksualitas yang disembunyikan dan diingkari. Hal itu membuat manusia tidak mengerti tentang pentingnya pemenuhan hak-hak seksual. Perempuan dan laki-laki memiliki hak atas tubuhnya. Mereka berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, melainkan hal yang positif. Perempuan mempunyai hak untuk mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri. Fakta bahwa perempuan secara alamiah memiliki kemampuan fungsi reproduksi berupa berupa menstruasi, kehamilan, melahirkan dan menyusui telah diartikan bahwa tubuh perempuan dianggap berbahaya dan tidak dapat dikontrol, bahkan sama sekali tidak dapat dipahami secara rasional. Konstruksi sosial mengenai relasi seksual juga masing sangat didominasi paradigma heteronomativitas dan ideologi patriarki yang sarat dengan ketidakadilan gender. Akibatnya, berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, anak-anak dan kelompok difabel tetap terjadi di masyarakat. Stigma dan prejudice terhadap kelompok orientasi seksual minoritas pun masih menguat. Semua itu membuat kasus-kasus perkawinan anak-anak, perkosaan, trafficking (perdagangan perempuan), prostitusi, poligami, perceraian, penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya semakin merebak dalam masyarakat. Hak seksual adalah bagian integral dan merupakan unsur terpenting dari Hak Asasi Manusia (HAM). setiap orang memiliki hak atas seksualnya yang tidak dapat diabaikan sedikit pun tanpa mengenal pembedaan dalam identitas kelamin, identitas gender, dan orientasi seksualnya. Karena itu, negara dan masyarakat berkewajiban membantu terpenuhinya hak seksual tersebut serta mempromosikan prinsip nondiskriminasi, prinsip nonkekerasan, dan prinsip kesetaraan bagi semua orang termasuk kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Berbagai instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasioanl menyatakan bahwa pemenuhan hak seksual manusia didasarkan pada tujuh prinsip utama. Prinsip hak seksual sebagai hak asasi manusia yaitu, (1) Prinsip perlindungan demi tumbuh kembang anak-anak, (2) Prinsip nondiskriminasi, (3) Prinsip kenikmatan dan kenyamanan, (4) Prinsip kebebasan yang bertanggungjawab, (5) Prinsip penghargaan, (6) Prinsip Kbebasan manusia, (7) Prinsip pemenuhan hak. Dalam mempromosikan hak-hak seksual dalam kehidupan bermasyarakat ada 3 hal yang menjadi hambatan. Pertama, hambatan kultural atau budaya. Budaya patriarki di masyarakat masih memandang perempuan sebagai objek seksual. Kedua, hambatan struktural berupa kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, khususnya terhadap perempuan dan kelompok transgender serta mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda. Ketiga, hambatan interpretasi ajaran agama. Umumnya, interpretasi agama yang tersosialisasi luas di masyarakat masih belum ramah terhadap perempuan dan kelompok transgender. Kekerasan seksual terhadap perempuan Kekerasan terhadap perempuan mencakup semua tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di arena publik maupun didalam rumah tangga. Konsideran deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan menyebutkan secara tegas bahwa akar masalah kekerasan terhadap perempuan adalah ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Hal tersebut menjadi hambatan yang serius bagi kesejahteraan dan kemajuan perempuan. Bentuk kekerasan terhadap perempuan secara umum dapat dikelompokkan kedalam dua kategori: kekerasan di ranah domestik dan di ranah publik. Akar penyebab kekerasan terhadap perempuan didorong oleh beberapa faktor. Pertama, ketimpangan gender. Sejumlah studi menunjukkan bahwa KDRT berkaitan erat dengan posisi subordinasi perempuan dalam kehidupan keluarga. Dalam masyarakat masih kuat anggapan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri hanyalah ibu rumah tangga. Posisi tidak setara ini dibakukan dalam undang-undang perkawinan 1974. Kedua, perlidungan hukum yang belum memadai. sejumlah kebijakan dan perundang-undangan juga menguatkan subordinasi perempuan. Misalnya, UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 membedakan dengan tegas peran dan kedudukan antara suami dan istri. Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Pasal 34 ayat (1) dan (2): “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya”. Aturan seperti ini jelas menempatkan istri sangat tergantung secara ekonomis kepada suami, dan sebagai konsekuensinya, berada dibawah kekuasaan suami. Ketiga, dominasi nilai-nilai patriarki. Budaya patriarki memberikan stigma terhadap perempuan sehingga posisi perempuan menjadi lemah. Tubuh seksual perempuan dianggap ancaman berbahaya bagi kemurnian laki-laki dan menjadi alasan untuk membenarkan aniaya verbal dan fisik terhadap perempuan. Tubuh perempuan sebagai sasaran objek yang mudah dieksploitasi. Keempat, pemahaman agama yang bias mengenai status perempuan dalam keluarga. interpretasi dan tafsir agama misoginis seperti inilah yang justru banyak disosialisasikan. Konsekuansinya, tafsir agama yang lebih ramah terhadap perempuan dituduh menentang pendapat arus utama yang sudah mapan di masyarakat. Islam dan perilaku seksual Dalam sumber klasik Islam, para ulama membagi keberadaan al-mukhannats (perilaku menyerupai perempuan) kedalam dua kategori. Pertama mukhannats khalqi atau yang kodrati dan yang kedua adalah mukhannats bi al-qashdi atau yang disengaja. Para ulama zaman klasik menyatakan bahwa terhadap al-mukhannats tidak boleh direndahkan atau dihukum. Celaan dan hukuman hanya boleh dikenakan terhadap mukhannats bi al-qashdi. Penting dikemukakan bahwa para ulama mengidentifikasi mukhannats bi al-qashdi sebagai kecenderungan seks yang dibuat-buat, bukan hasil konstruksi sosial. Pemahaman para ulama tersebut mungkin dianggap terlalu sederhana. Homo seksual, dalam pemahaman sekarang sesungguhnya memiliki kompleksitas persoalannya sendiri. Ia tidak sekedar menyangkut persoalan perilaku fisik dan seksual, melainkan juga soal medis, psikologis, dan kultural. Hukum islam selalu tertuju kepada perbuatan yang dikerjakan manusia dengan pilihan bebas, bukan sesuatu yang kodrati dimana manusia tidak dapat memilih. Orientasi seksual adalah kodrat, sementara perilaku seksual adalah hasil konstruksi sosial. Karena itu, hukum Islam lebih berbicara tentang perilaku seksual buakan orientasi seksual. Berkaitan dengan perilaku seksual, Islam menegaskan pentingnya hubungan seks yang aman, nyaman dan bertanggung jawab serta penuh rasa kasih sayang. Islam mengecam semua perilaku seksual yang mengandung unsur pemaksaan, kekerasan, kekejian, ketidaknyamanan, tidak sehat dan tidak manusiawi. Seperti berzina, melacur, incest (hubungan seksual orang tua dan anak), fedofili, seks dengan hewan dan semua bentuk perilaku seks yang berpotensi menularkan penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya. Meskipun seseorang memiliki orientasi heteroseksual, namun ketika perilaku seksualnya penuh kekerasan dan berpeluang menularkan penyakit berbahaya maka yang bersangkutan dipandang menyalahi hukum Islam. Keyakinan bahwa Tuhan mahakuasa dan maha pencipta seharusnya membuat umat beragama menjadi lebih hormat dan lebih empati kepada sesama manusia, apa pun jenis kelamin biologisnya, jenis kelamin sosialnya (gender) dan orientasi seksualnya. Kebhinekaan adalah bukti kebesaran Tuhan. Berbagai kajian terhadap isi Al-Quran menyimpulkan bahwa Al-Quran hanya menyebut dua jenis identitas gender, yaitu laki-laki dan perempuan. Sementara literatur fikih menyebut ada empat varian, yaitu perempuan, laki-laki, khunsa (orang yang memiliki alat kelamin ganda, umumnya mereka senang berpenampilan sebagai perempuan) dan mukhannits (laki-laki secara biologis, namun mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan menginginkan pergantian kelamin). Dalam bahasa Arab tidak dikenal kosa kata untuk orientasi seksual homo. Homoseksual berkaitan dengan orientasi seksual, sedangkan khunsa berhubungan dengan identitas gender. Dalam kitab-kitab fikih istilah homoseksual sering diartikan sama dengan sodomi. Jika yang dikutuk dalam fikih adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi, maka itu tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual seseorang. Sebab, sodomi bukan hanya dilakukan oleh kelompok homoseksual melainkan dilakukan juga oleh kelompok heteroseksual. Islam sangat vokal menyuarakan ancaman bagi semua manusia, apapun orientasi seksualnya (homo, hetero, biseksual, aseksual) jika mereka mempraktikan perilaku seksual yang tidak manusiawi. Kesadaran untuk tidak melakukan stigma, diskriminasi, dan kekerasan terhadap sesama manusia dengan alasan apapun adalah pesan utama kenabian dan menjadi esensi ajaran semua agama. Kesadaran itu tidak muncul begitu saja, melainkan harus ditumbuhkan dan dibangun melalui pendidikan formal di sekolah, pendidikan nonformal di masyarakat dan pendidikan dalam keluarga. Gea Citta (Mahasiswi Jurusan Filsafat, FIB UI) [email protected] Di Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2015, gambar label instruksi pencucian sebuah jersey yang dibuat oleh sebuah jasa pembuatan garmen olahraga beredar di Twitter. Tulisan “It’s her job” yang tercetak di sana sontak membuat para netizen yang memiliki kepekaan terhadap isu gender melayangkan kritik ke akun @SALVO_ID. Dalam klarifikasinya, Salvo meminta maaf atas “Multi-Interpretasi yang ditimbulkan”. Salvo tidak bermaksud mendomestikkan perempuan tetapi justru mengklaim perempuan merupakan ahli dalam urusan cuci-mencuci dan menyarankan laki-laki belajar pada perempuan tentang bagaimana tips merawat pakaian. Demikian tweet apologia dari Salvo. Kehebohan ini rupanya mengundang perhatian media online. Pemberitaannya kemudian direspon oleh Salvo Senin, 9 Maret 2015. Mereka memastikan penggantian redaksional label pencucian per-tanggal 4 April 2015. Jika ada pembeli yang ingin mengganti label produk yang telah dimiliki, mereka juga bersedia melayani. Angin segar dari kejadian tersebut adalah teknologi media sosial medorong kita memberi tekanan terhadap isu tertentu. Akan tetapi, apabila kita cermati bunyi apologia pertama dari Salvo dan meluangkan waktu untuk membaca respon pengguna twitter lainnya yang masuk ke tab mention @SALVO_ID, kita akan tersadar bahwa isu ketimpangan gender belum dipahami dan mendapat tentangan keras seperti isu anti-korupsi. Masih banyak yang menilai tulisan pada sebuah label hanya lah sebuah tulisan yang tidak perlu dipermasalahkan. Masih ada komentar bernada seksis yang terus melekatkan peran-peran domestik kepada perempuan. Kita dapat berkaca pada sebuah gerakan Let Toys be Toys di Inggris yang mempromosikan gaya parenting yang netral-gender dengan cara mendorong perusahaan mainan agar tidak mengkotak-kotakkan jenis dan warna mainan dengan jenis kelamin tertentu. Gerakan ini menilai persoalan ketimpangan gender bermula dari salah satu norma sosial yang kita terima begitu saja, bahwa, memberikan label bola di rak mainan anak laki-laki dan boneka di rak mainan anak perempuan adalah hal yang biasa. Padalah, efeknya di kemudian hari dapat berakibat bidang olahraga dianggap lahan milik laki-laki dan wilayah rumah tangga dianggap ranah alamiah perempuan. Seperti yang diulas oleh Sally Peck di situs The Telegraph, salah satu anggota gerakan tersebut, Jess Day, memaparkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh the Welsh Organisation menyebutkan di penghujung usia lima tahun, anak-anak sudah memahami ide tentang pekerajaan apa yang ‘cocok’ bagi laki-laki dan perempuan. Dan pemahaman ini begitu cepat mengendap sehingga sulit untuk mengubah persepsi ini ketika anak-anak sudah dewasa. Itu sebabnya mereka berinisiatif untuk mengupayakan pencapaian kesetaraan dengan menyoroti hal kecil yang kerap luput dari perhatian kebanyakan orang. Kita bisa belajar dari sebuah gerakan Let Toys be Toys untuk menumbuhkan kesadaran masyarkat yang pro semangat kesetaraan dan kontra terhadap akar ketimpangan, yaitu, seksisme. Pembagian peran berdasarkan seks adalah konsepsi lama yang tidak lagi relevan. Tidak ada satu pun peran non-biologis di ruang privat maupun publik yang eksklusif dikerjakan oleh satu jenis kelamin. Setiap manusia berpenis bisa dan mungkin mengerjakan apa yang biasa dilakukan seorang perempuan di dalam maupun di luar rumah dan setiap manusia bervagina juga bisa dan mungkin menjalankan apa yang biasa didominasi oleh laki-laki di dalam maupun di luar rumah. Konsepsi lama pembagian peran berdasarkan jenis kelamin bisa didobrak melalui kesadaran bahwa setiap individu layak diberi kesempatan mengenyam pendidikan formal hingga jenjang yang diinginkan, wajib diberi kebebasan untuk menentukan pekerjaan sebagai aktualisasi eksistensinya, dan berhak diberi kepercayaan bahwa ia berdaulat atas hidupnya sendiri. Tentu hal ini bisa diupayakan dengan membangun kepekaan terhadap isu gender di ruang privat seperti keluarga maupun di ruang publik dalam bentuk kebijakan yang mendukung pencapaian kesetaraan. Kemajuan peradaban adalah ketika suatu relasi sosial ditinjau dari segi bahasa, kebudayaan, dan aspek lainnya berhasil melahirkan paradigma baru di masyarakat yang memosisikan baik perempuan, laki-laki, dan kelompok LGBT sebagai manusia yang tidak dikotak-kotakkan berdasarkan jenis kelamin yang tidak pernah dipilihnya. Sebab konstruksi peradaban ini selalu mungkin berubah, maka kita hanya perlu percaya dan terus berupaya agar segera tiba di era di mana there will be no more ‘it’s her job’ because every job can be anyone’s job. Referensi : http://s.telegraph.co.uk/graphics/projects/parenting-gender-neutral/ http://thejakartaglobe.beritasatu.com/news/company-says-sorry-sexist-slur-indonesian-club-shirt/ Nadya Karima Melati (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UI) [email protected] Seperti yang anda baca keterangan diatas, saya adalah mahasiswa Ilmu Sejarah tingkat akhir yang mempelajari Feminisme secara otodidak. Sejarah Perempuan dan Perempuan dalam Sejarah merupakan dua hal yang berbeda. Dalam dikotomi perempuan “baik” dan perempuan “buruk” akan memantulkan dua citra perempuan dalam Sejarah Perempuan. Sejarah Perempuan masuk dalam kajian Sejarah Sosial yang melukiskan struktur dan peran Perempuan sebagai suatu golongan tersendiri untuk memperjuangkan haknya. Kita bisa membaca buku-buku Sejarah tentang Perempuan seperti “Lahir Untuk Kebebasan” tentang Sejarah Perempuan Amerika, “Sejarah Perempuan di Indonesia: Gerakan dan Pencapaian" karya Cora Vreede-De Stuers atau bahkan Gadis Arivia sendiri menulis Sejarah Pergerakan Perempuan yang dimuat dalam buku “Jejak Langkah Linda Gumelar Untuk Perempuan dan Anak Indonesia”. Lantas bagaimana dengan Perempuan dalam Sejarah Indonesia? Apa ada perempuan lain selain Fatmawati istri Soekarno yang kita kenal dalam proses pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945? Sejarah Maskulin Sejarah dari asal kata Sajaratun atau Pohon. Sedangkan Sejarah dalam kata Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional adalah (His)tory. Ada penekanan His pada History. (His)tory adalah cerita kejayaan para laki-laki. laki-laki menentukan gerak sejarah dan peradaban di bumi ini, kemudian menuliskannya. Lantas bagaimana dengan para ?(His)torian, Penulis Sejarah? Penulis Sejarah yang kita kenal selama ini adalah laki-laki. sebut saja Herodotus sang Bapak Penulisan Sejarah, Betrand Russell, Trevelyan, Voltaire, Nugroho Notosusanto, sampai Sartono Kartodirdjo semuanya adalah laki-laki. Baik pelaku Sejarah maupun Penulisnya adalah laki-laki, hal ini cukup menerangkan mengapa Sejarah sangat bersifat maskulin. Sejarah yang kita pelajari mengisahkan tentang Perang, Genosida, Glorifikasi suatu kaum (Kebanggaan beberapa umat muslim pada kehidupan abad ke-7 dan upaya untuk mengembalikannya), dan Revolusi. Perjanjian damai lebih dijadikan sebagai bumbu dan alasan untuk ruang lingkup. Kita sebagai orang Indonesia juga luput untuk memaknai pentingnya Sejarah. Sejarah adalah arah bangsa bergerak, Historian adalah orang yang punya legitimasi untuk menginterpretasi suatu kejadian sejarah. Apa yang kita lakukan sekarang akan dirangkum dan ditulis serta dibubuhi nilai oleh para Historian dua puluh tahun dari sekarang para generasi setelah kita akan memaknai apa yang kita lakukan sekarang sesuai dengan apa yang ditulis para Historian nantinya. Kesadaran seperti itulah yang harus direbut para feminis untuk membuat Sejarah baru yang tidak didominasi oleh laki-laki. perempuan harus membuat sejarah dan menuliskan sendiri Sejarahnya. Mengapa sedikit sekali peran perempuan dalam Sejarah? Pertama karena Sejarah ditulis oleh yang menang. Bagaimana kita bisa menjadi pemenang jika kita tidak mengikuti permainannya? Perempuan yang diposisikan sebagai objek tidak bisa menjadi subjek dan membuat keputusan yang mengubah sejarah. Jika tidak ada sejarah yang dibuat apa yang harus ditulis? Apa yang akan diketahui oleh generasi mendatang? Jelas saja perempuan sedikit perannya dalam Sejarah karena perempuan sebagai properti tidak memberikan pengaruh yang berarti pada jalannya peristiwa kehidupan. Sejarah Perempuan, Ada dimana? Kita tidak bisa pungkiri bahwa Sejarah Perempuan bukan tidak ada sama sekali, Saya sering kali mengajukan pertanyaan kepada dosen tentang bagaimana peran perempuan dalam sejarah dan posisi perempuan dalam sejarah Indonesia dan mereka akan memberikan saya referensi tentang kisah heroik Joan of Arc, Kartini, Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika, K’tut Tantri dst. Perjuangan mereka dijadikan bukti bahwa permepuan punya sejarah dan hanya menjadi kisah untuk diambil hikmahnya, bukan untuk diteladani dan dicontoh. Kita juga tau misalnya banyak pemimpin perempuan di masa lalu seperti Ratu Boko. Sejarah kepemimpinan Perempuan seperti dibatasi dan tidak diperlakukan sebagai pengetahuan sejarah yang umum. Sama halnya dengan para pemimpin atau pejuang perempuan dalam sejarah hanya dijadikan referensi tidak untuk diteladani. Masyarakat pasti memberikan label kita sebagai perempuan gila jika berani meneladani para perempuan pembuat Sejarah itu. perempuan terbelenggu dalam dikotomi perempuan “baik-baik” dan perempuan “tidak baik”. Padahal, Well Behaved Women Seldom Make History. Citra Sasmita (Perupa dan Ilustrator Bali Post) [email protected] Tak dapat dipungkiri bahwa mitos perempuan sebagai subjek seni memang kalah besar dibandingkan perempuan sebagai objek seni. Sebagai dasar dari pernyataan tersebut, opini dari almarhum Basoeki Abdullah harus dimunculkan lagi yaitu “perempuan itu lebih cocok dilukis bukan sebagai pelukis”. Di satu sisi tersurat suatu pujian akan estetika tubuh perempuan sebagai objek lukisan namun disisi lain hal tersebut juga menggambarkan sindiran bahwa perempuan tidak perlu melompati pagar-pagar estetika tubuh tersebut kemudian mengungkapkan gagasan mereka dalam visual atau wujud kreasi manapun. Kegagalan seorang Abdullah adalah memandang perempuan bukan pada tataran esensial, melainkan hanya pada permukaan kulit saja. Maka bukan hal yang mengherankan eksistensi perempuan sebagai perupa hingga kini masih seperti fatamorgana. Kultus terhadap perempuan memang identik dengan problematika gender. Namun ada hal yang harus diluruskan dari kerancuan yang telah terjadi dari kurun waktu lampau ini. Ketika membicarakan perempuan konsep sesungguhnya adalah perempuan sebagai makhluk kodrati dimana secara biologis seorang perempuan akan memproduksi sel telur, menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Kemudian berkembang lagi sifat dan karakter seperti lemah lembut, emosional, keibuan, lengkap dengan peran domestik yang dilekatkan pada sosoknya dimana hal tersebut bukan merupakan kodrat (ketentuan dari Tuhan) namun merupakan buah politik patriarki, suatu konstruksi sosial budaya dalam masyarakat tertentu yang seharusnya kita sebut gender. Namun realita yang terjadi dalam masyarakat adalah pemutar balikan makna antara konsep kodrat dan gender tersebut. Jika seorang perempuan menolak mengerjakan hal-hal rumah tangga dan bertindak diluar nilai-nilai yang telah dikonstruksi maka bagi sebagian besar masyarakat akan dianggap menyalahi kodrat dan dinilai tercela. Perempuan yang memilih berada dalam jalur kesenian atau setidaknya dalam habitus pergerakan untuk kaumnya (feminisme) tentu akan meyakini bahwa perbedaan penafsiran konsep jenis kelamin dan gender ini akan membunuh potensi mereka sebagai individu. Di Bali khususnya dapat diamati bahwa tidak banyak perempuan Bali yang menggeluti profesi perupa sebagai jalan hidupnya. Usia karir mereka akan berakhir ketika memasuki hidup berumah tangga dengan kewajiban pokok bukan hanya dalam lingkungan keluarga namun juga dalam masyarakat adat. Selain menghadapi persoalan domestik, namun akan dilibatkan pula dalam tugas bermasyarakat, upacara agama sehari-hari maupun upacara dalam periode tertentu, dalam ruang lingkup kecil hingga massal. Ada sanksi-sanksi yang bersifat mengikat jika mereka tidak mengikuti patron keperempuanan yang ada dalam ruang lingkup ini. Ketika seorang perempuan Bali memutuskan untuk berada dalam arena seni rupa, maka bukan hanya persoalan eksistensi yang dipertaruhkan dalam pergulatan keras dunia seni rupa yang masih didominasi oleh para laki-laki perupa, akan tetapi seorang perempuan perupa Bali mesti dibekali insting “survival” yang cukup tinggi, karena bukan hanya berada dalam lingkungan yang salah- mereka tidak cukup beruntung untuk tinggal dan hidup dalam lingkungan masyarakat yang terbiasa menerima perempuan berprofesi sebagai perupa seperti di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta yang dengan pemikiran terbuka menerima modernitas dan dinamika wacana yang progresif dengan iklim diskusi yang juga layak. Di sisi lain peran media dan lembaga terkait untuk menunjukan eksistensi dan keterlibatan perempuan perupa pun sangat minim. Maka tidak mengherankan sosok perempuan akan melalui jalan yang cukup sulit untuk dapat terbaca dalam pemetaan dan percaturan dunia seni rupa Indonesia. “Wacana Seni Rupa Perempuan: Antara Konsep dan Konteks” oleh seorang pematung perempuan, Dolorosa Sinaga menyatakan bahwa karya-karya perempuan perupa di Indonesia sulit untuk dikaitkan dengan permasalahan identitas ekspresi karena tidak ada klaim-klaim tentang permasalahan yang spesifik tentang perempuan. Kandungan identitas ekspresi dalam hal ini adalah bagaimana perempuan mengangkat metanarasi dari keperempuanannya baik itu permasalahan sosiokultural terlebih lagi mengungkapkan gagasan tentang kemanusiaan. Akan tetapi, para perempuan perupa Bali tetap keranjingan mengungkapkan ekspresi sensitivitas keperempuanannya atau memvisualkan pengalaman pribadi masing-masing. Maka dari itu medium seni rupa, oleh para perempuan perupa Bali belum dilihat sebagai alat sebuah pergerakan namun hanya dipandang sebagai media untuk menuangkan gagasan visual. Padahal ada banyak problematika yang lebih spesifik seperti permasalahan gender, emansipasi, gerakan pembebasan yang bisa ditransfer dalam medium seni rupa sebagai salah satu jalan untuk merubah, membentuk pola pikir dan terbebas dari inferioritas. Dalam ranah ini, salah seorang perempuan perupa Bali yang dapat merepresentasikan perlawanan terhadap bingkai tubuh yang direkonstruksi masyarakat adalah IGAK Murniasih. Ketika seorang perempuan menjadi berjarak dengan tubuhnya sendiri karena penanaman nilai keperempuanan oleh masyarakat seperti nilai agama dan adat istiadat yang menjadikan perempuan asing dengan dirinya sendiri karena pemahaman terhadap konsep tubuhnya telah dibentuk oleh budaya patriarkis yang cenderung menjadikannya subordinatif. Sebagai antitesis fenomena ini, Murniasih memunculkan visual satir namun parodikal dengan alat genital dimana simbol kelamin ini telah mampu mewakili kemurnian pengungkapan suatu entitas yang ingin dikulturkan Murniasih untuk dirinya dan perempuan lain. Dalam lukisannya yang menggambarkan 2 sosok perempuan mengangkat penis besar misalnya, disatu sisi muncul sebuah interpretasi bahwa perempuan berada dalam posisi yang subordinat dari laki-laki, namun ada hal subtil yang bisa ditangkap dari hanya sekedar membicarakan luka dan penderitaan perempuan Bali baik secara kultural maupun emosional. Dalam visual ini juga tersirat bahwa permasalahan gender tidak hanya memunculkan perbedaan fisiologis, namun representasi perempuan dalam karyanya mampu mengambil alih atribut dan pekerjaan menjadi maskulin yang biasanya ditempati oleh laki-laki. Meski belum terbaca sebuah pergerakan melalui medium seni rupa, banyak ditemukan kecenderungan ekspresi, keberagaman dan kedalaman visual yang sangat kuat dari karya-karya perempuan perupa Bali ketika mengungkapkan gagasan visual. Namun seluruh permasalahan konsep perempuan dalam karya-karya mereka lebih terbaca sebagai ekspresi pengalaman individual yang dalam dinamika perkembangan seni rupa saat ini belum mampu memasuki arena yang lebih global. Dalam membentuk paradigma seni rupa di Indonesia tidak cukup banyak perempuan perupa yang mengungkapkan pengalaman objektif mereka dalam bentuk karya, karena subjektifitas masih membelenggu mereka dalam gagasan-gagasan visual. Untuk itu, seorang perempuan perupa membutuhkan proses yang cukup keras untuk menyiasati kungkungan konstruksi budaya yang ada. Menatap lukisan-lukisan Dewi Candraningrum dalam Balai Sangkring 13 Maret 2015, kita akan disuguhkan warna warna cerah dalam kanvas dan warna gelap arang dalam kertas yang seakan menarik kita dalam suasana meditatif. Puluhan lukisan karyanya tersusun rapi dalam beberapa sub-tema diantaranya Bitches!, Tubuh Ekologi, Senggama, Lelaki Rahim, After the Rape, Daughters from Zambia dan Rahim Raksasi. Menurut Kris Budiman selaku kurator dalam pameran ini, dalam lukisan-lukisan Charcoal on paper atau arang diatas Kertas memperlihatkan garis-garis lirih dan permainan bayangan yang lirih serta meyodorkan kita gugusan tanda-tanda monokromatik yang menangkap makna-makna kesedihan, duka dan derita. Namun seperti yang dikatakan Dewi, kadang kesedihan rakus akan warna. Oleh karena itu sebagian karyanya dalam kanvas diterpa dengan karnival warna. Lihat saja dalam salah satu lukisan “Ita Martadinata” dalam “After the Rape”, Dewi memilih warna warna cerah. Martadinata Haryono atau lebih dikenal Ita Martadinata yang menjadi korban pemerkosaan perempuan Tionghoa dalam kaitan kasus Mei 1998 dilukis dengan warna dominan biru dan putih. Sebagian orang sering mengasosiasikan gelap dan kesedihan, namun tidak untuk Dewi. Menurutnya kesedihan tidak melulu monokromatik, ia merayakan kesedihan dengan rakus akan warna. Menurutnya banyak gadis dan anak-anak perempuan penyintas kasus perkosaan menjadi takut, ditakuti, menakuti dan menjadi penakut karena telah kehilangan dokumen dirinya yang paling berharga. Dewi, meminjam ungkapan Roro Mendut “Jika engkau diperkosa, engkau hanya terluka sedikit saja. Dan kehormatanmu, harga dirimu, jati dirimu masih utuh. Engkau bukan perempuan bekas. Engkau perempuan utuh. Engkau tidak perlu takut. Engkau adalah mendut.” Ibu yang dilahirkan anaknya “Melukis adalah dunia lain Dewi Candraningrum. Ia sangat terobsesi dengan kerja melukis, mengolah warna semenjak beberapa tahun belakangan ini. Warna-warna dalam pandangannya merupakan ranah diksi yang jauh berbeda yang tidak membutuhkan sistematisasi dalam suatu tatanan.” Tutur Kris Budiman. Dewi yang sehari-hari berprofesi sebagai dosen sekaligus pemimpin redaksi Jurnal Perempuan lebih dikenal sebagai akademisi dan aktivis. Namun kejutan datang padanya di akhir 2012. Dia menambah satu lagi keahlian yang dimilikinya, yaitu melukis. “Saya dilahirkan oleh Ivan”, begitulah ungkap Dewi dalam potongan kalimat “Dalam perjalanan karir saya sebagai pelukis, yang sesungguhnya, tak bisa disebut sungguh-sungguh sebagai pelukis; saya dilahirkan oleh anak autis saya: Ivan Ufuq Isfahan. Saya menemani Ivan melukis, berkolaborasi dengannya, membuat finalisasi-finalisasi atas kanvas-kanvasnya sejak September 2012.” Dengan latar belakang Dewi sebagai dosen dan aktivis, pengunjung pameranpun datang dari berbagai kalangan mulai dari seniman, aktivis dan akademisi yang turut meramaikan pembukaan pameran “Dokumen Rahim”. Menurut Ida, aktivis perempuan dari LSM Combine, walaupun tema pameran mengenai perempuan sudah beberapa kali bahkan sering digelar di Yogya. Namun yang menjadi poin khusus, dengan profesi Dewi sebagai akademisi, aktivis dan pelukis menjadikan kalimat-kalimat atau caption dalam setiap sub-tema mampu membawa pengunjung lebih mendalam dalam memaknai lukisan. Walaupun sebaliknya diungkapkan oleh Aris seorang seniman dan pemusik. Beberapa caption yang ada justru mengaburkan pemahamannya dan lebih memilih memaknai sendiri lukisan tanpa melihat caption dari pelukis. Kepemilikan atas Rahim “Dokumen Rahim” sebagai tajuk pameran membawa kita pada pertanyaan apa yang dinamakan rahim? Lalu, siapa yang memilikinya? Rahim secara etimologis, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kantung peranakan untuk membawa janin bayi. Oleh karena itu, perempuan yang selalu dianggap sebagai pemilik rahim karena mereka mengandung dan melahirkan. Dan apabila ada perempuan-perempuan yang tak mampu atau mungkin menolak untuk mengandung, keperempuanan mereka akan dipertanyakan. Namun disisi lain, dalam satu kondisi yang sama yaitu mereka yang sama-sama mengandung, perempuan perempuan penyintas kasus perkosaan mendapatkan subordinasi dan diskriminasi. “Lelaki Rahim” sebagai salah satu sub-tema dalam pameran menyuguhkan kita mulai dari sketsa Widji Thukul, Munir sampai Yesus, yang kesemuanya dilukis dengan warna warna cerah bahkan merah jambu, yang sebagian orang mengasosisasikannya sebagai warna perempuan. Dari puluhan lukisan yang dikelompokan dalam beberapa sub-tema, “Lelaki Rahim” menjadi salah satu yang kelihatan menarik sebagian pengunjung. Mungkin beberapa bertanya, dimana letak rahim dalam “tubuh” lelaki? Apakah laki-laki benar-benar memiliki akta akan rahim? Dalam naskah pendek berjudul “Wajah Rahim dalam Sketsa-Sketsa: Sebuah Ikrar Penciptaan” Dewi Candraningrum mempertanyakan “Jika lelaki tak berahim, tak berpayudara-bersusu, apakah kemudian, kita tak bisa menyebut mereka sebagai ibu?”. Menurutnya kita telah banyak menemukan laki-laki yang merawat anaknya, merawat lingkungan, juga ikut meneriakan keadilan atas nama gender. Mereka, laki-laki juga ibu peradaban. Pada akhirnya, Kris Budiman menganggap pameran yang diberi tajuk “Dokumen Rahim” ini dianggap tepat. Menurutnya, melalui lukisan-lukisan Dewi telah berhasil mencatat pengalaman-pengalaman personalnya, perjumpaan-perjumpaan intersubjektifnya dengan beragam duka cerita manusia dan peristiwa, merekam dan meringkasnya kedalam satu kata yakni rahim. Dari ruang yang sakral yang dinamai rahim inilah kelak akan lahir anak-anak kasih sayang, disini rahim tidak lagi dibatasi oleh pembatasan biologis (seksual) apapun. Referensi: Naskah pendek “Wajah Rahim dalam Sketsa-Sketsa: Sebuah Ikrar Penciptaan” oleh Dewi Candraningrum dalam www.dewicandraningrum.com Nadya Karima Melati (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Indonesia) [email protected] Under the surface her body is curled, seed of the one race, shell of the world. She is the waterfall, she is the womb, she is the bubble, she is the tomb. Her hair flows upward, blood red of the birth. Her arms are folded deep into the earth. She is the fern, she is the bark, she is the lantern, she is the dark. Her eyes burn the flame of the old and the young. Her breath is the name of each branch of each lung. She is the ingredient. She is the blend. She is the beginning. She is the end. (UNBORN – Jay Woodman) Rahim dianggap tidak terlalu pernting seperti jantung yang memompa darah keseluruh tubuh, rahim juga tidak mengolah oksigen ataupun mengatur implus dan gerak, rahim bahkan tidak membantu mengeluarkan racun dari dalam tubuh kita. Rahim dianggap sebagai organ tubuh kelas dua. Padahal dari rahimlah kita semua berasal. Beberapa dari kita sadar pentingnya rahim, memujanya dan menghargainya. rahim dipuja sekaligus dikutuk. Rahim menjadi lebih dari sekedar tabung kehidupan. Perempuan, diidentikan pada rahim kemudian. Rahim yang membuat perempuan berharga sekaligus dihina. Membuat dia merdeka sekaligus dikekang. Karena rahimnya yang dianggap rentan, ia disimpan dirumah, tubuh pembungkus rahim itu diatur sedemikian rupa. Ada pemujaan terhadap rahim yang mewujud pada ketakutan terhadap rahim dan tubuh manusia yang membungkusnya. Rahim lebih dari sekedar benda biologis, hal tersebut yang berusaha diungkapkan Dewi Candraningrum dalam Pameran Seni Rupa yang dilangsungkan di Sangkring Art Space, Bantul. Yogyakarta. Dewi Candraningrum dikenal sebagai ekofeminis. Ekofeminisme adalah gerakan perempuan yang memperjuangkan bumi (earth) sebagai ibu dan padanya kita berasal serta kembali. Tanah dalam ekofeminisme dianggap sebagai wujud representasi tubuh perempuan yang ditindas dan dieksploitasi oleh struktur patriarki dan kapitalisme[1]. Bagi Dewi Rahim tidak hanya benda biologis pada tubuh perempuan. rahim adalah adalah tanda cinta dan pengetahuan. Rahim menjadi lebih dari sekedar biologis tapi juga kultural, hal tersebut yang disampaikan Dewi dalam tiap karya seninya. Pameran tersebut terdiri dua jenis karya seni rupa Dewi yaitu sketsa Arang dan lukisan dari arkilik yang berjenis self potrait. Semua dirajut dengan benang berjudul Dokumen Rahim. Sesuai judulnya, Dewi ingin memaparkan bagaimana bila rahim (biologis dan kultural) bisa diajak diskusi. Ada babak Bitches! yang merupakan kumpulan lukisan self potrait para perempuan yang menyumbangkan pengetahuan pada ilmu Feminisme yang digelutinya selama ini sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal Perempuan. Lukisan para perempuan tak terkecuali potret diri Dewi yang dilukisnya sendiri dalam paduan warna sederhana cat akrilik mampu mewakili emosi dan perasaan Dewi sebagai pelukis maupun para perempuan yang menjadi objek lukisannya. Kemudian kita bisa berjalan beberapa langkah dan melihat babak Senggama terdapat setidaknya tiga sketsa arang dengan warna hitam garis-garis kuat dan tegas menggambaran setiap lekukan dalam berhubungan seks. Sketsa tubuh perempuan juga tidak luput menjadi objek guratan Dewi. Ada rasa erotis, ada rasa takjub, dan hangat ketika mengetahui ternyata Dewi baru sekitar dua tahun menggeluti sketsa dan setahun untuk mulai melukis. Rahim biologis disini bicara melalui tangan Dewi bagaimana ia selalu diperlakukan. Tubuh yang dianggap aib, ketika pasangan homoseks yang bersenggama dan tidak ada rahim biologis yang ikut serta, dianggap tabu dan menjijikan bagi masyarakat patriarkis, ketika lekuk tubuh perempuan dibungkus dan rambutnya yang panjang seperti sungai mampu menimbulkan birahi karena terdapat rahim biologis menempel sebagai objek. Mirip dengan babak Tubuh Ekologi memerkan sketsa dengan arang tubuh-tubuh perempuan sebagai bumi. Disini kita akan mulai melihat perluasan makna rahim bagi Dewi. Rahim yang menjadi pula sumber kehidupan dan harapan kedamaian melalui Dunya. Semakin beranjak menuju babak baru ada Lelaki Rahim, disini sisi rahim kultural terkuak. Bahwa rahim bukanlah atribut keperempuanan saja. Rahim bukan syarat menjadi perempuan. rahim adalah kasih sayang dan pengetahuan. Rahim juga perjuangan. Kepemilikan rahim tidak terbatas gender. Dalam babak Lelaki Rahim paduan arkilik merangkai potret Jesus, Wiji Tukhul, Putu Sutawijaya, bahkan anak semata wajang Dewi, Ivan Ufuq Isfahan. Mari kita berterimakasih kepada Ivan, karena Ivan anak laki-laki yang mengidap Autis ini telah melahirkan Dewi Candraningrum sebagai pelukis. Dewi sebagai pelukis dilahirkan dari rahim Ivan. Melukis bukan sekedar kesenangan atau passion, melukis menjadi salah satu bentuk bentuk sayangnya kepada Ivan yang ditinggal ayahnya. Rahim melahirkan pengetahuan dan kasih sayang. Makna sempit rahim secara biologis dan kutukan dari kepemilikan rahim terkuak dalam lukisan-lukisan Dewi dalam babak selanjutnya, Daughters from Zambia dan After the Rape dalam kedua babak ini Dewi memaparkan kutukan rahim yang umpatkan patriarki. Anak-anak perempuan di Zambia dibelenggu HIV dan sunat perempuan yang menjadi pintu gerbang kematian mereka. After The Rape menangkap bagaimana emosi dan ekspresi anak-anak korban pemerkosaan dalam balutan arkilik dua dimensi diatas kanvas yang digambarkan Dewi. Ada malu, ada sedih, ada kecewa dari setiap rupa wajah yang dilukis Dewi, Ada rahim yang mewujud luka. Dialog dengan rahim oleh Dewi ini itutup dengan sketsa arang bertema kemben Jawa dan beberapa karya lukisan Dewi yang menjadi sampul buku dan sampul Jurnal Perempuan. Ada rasa yang menjadi ciri khas pelukis pada setiap karya yang dilahirkannya. Bagi saya, kesan yang ditorehkan Dewi pada setiap lukisannya berciri lugas dan kasih sayang. Serupa dengan cinta kasih seorang ibu yang terkadang memarahi anaknya karena sayang. Ada keberanian memainkan warna-warna sederhana. Ada kasih sayang ditiap polesan cat diatas kanvas. Dewi mendekonstruksi makna rahim melalui lukisan dan sketsanya. Bagi saya, Dokumen Rahim adalah dokumentasi kasih sayang. Catatan Belakang: [1]Shiva, Vandana dan Maria Mies. 2005. Ecofeminism: Prespektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Yogyakarta: IRE Press Andi Misbahul Pratiwi (Asisten Redaksi Jurnal Perempuan) [email protected] Reproduction has been largely ignored by conventional political theory, because it is seen as both ‘natural’ and ‘private’. But reproduction is a key site of patriarchy, where control over women’s bodies is exercised but where it can also be resisted (Bryson, 2003). Hannah Arendt pernah memperingatkan, seringkali kita melakukan suatu kejahatan, bahkan tanpa menyadarinya. Kejahatan tersebut telah menjadi bagian dari keseharian, bahasa yang ditolerir oleh suatu masyarakat, ia menyebutnya dengan banalitas kejahatan. Refleksi ini dilontarkan oleh Arendt untuk mencermati fenomena masyarakat Jerman yang selama perang dunia kedua menganggap bahwa hal yang sangat lazim untuk membenci bangsa dan ras yahudi. Kemudian dari Hannah Arendt saya coba mengerucutkan problematika kapitalisasi industri medis melalui fenomena operasi cesar yang menjadi tren. Apakah ada faktor kebencian laki-laki terhadap sakralitas proses melahirkan karena dia (laki-laki) tidak memiliki rahim? Dan bagaimana Intervensi teknologi terhadap tubuh perempuan? Dua hal ini yang akan saya bahas dan tentunya asal muasal booming-nya operasi cesar dikalangan masyarakat yang memiliki kelas ekonomi menengah keatas. Dalam tulisan ini saya berusaha menguraikan fenomena ini, bagaimana teknologi operasi cesar yang awalnya lahir untuk menyelamatkan rahim perempuan dan proses kelahiran (ibu dan anak) berubah menjadi wujud mesin untuk melahirkan uang dari perut kapitalis dan kemudian dimanfaatkan oleh laki-laki untuk menyuburkan budaya patriarki. Hingga tubuh perempuan menjadi lazim dimiliki oleh publik, oleh stigma, oleh stereotip. Kemudian akhirnya pengalaman-pengalaman kebertubuhannya menjadi tidak berkesan. Trending Topic Dalam proses melahirkan kini dikenal dengan dua cara, melahirkan secara “normal” dan dengan operasi cesar. Kata “normal” menjadi bias definisinya karena pengukuran atas ketidaknormalan proses melahirkan menjadi sulit dan kompleks, apakah konsep yang normal benar-benar bermakna secara ontologis, ataukah konsep normal tersebut hanyalah prasangka serta keacuhan kita yang dikonstruksikan secara sosial. Sehingga dalam tulisan ini saya akan mengganti kata “normal menjadi “vagina” yang saya rasa tidak akan mengubah gambaran cara melahirkan yang dimaksud. Setiap wanita menginginkan persalinannya berjalan lancar dan dapat melahirkan bayi dengan selamat. Ada dua cara persalinan yaitu persalinan lewat vagina yang lebih dikenal dengan persalinan alami dan persalinan cesar yaitu tindakan operasi untuk mengeluarkan bayi dengan melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram. Tindakan operasi cesar merupakan pilihan utama bagi tenaga medis untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ada beberapa indikasi untuk dilakukan tindakan operasi cesar yaitu gawat janin, Diproporsi Sepalopelvik (ketidakseimbangan kepala janin dengan panggul ibu), persalinan tidak maju, Plasenta Previa (menempelnya plasenta di bawah rahim), Prolapsus tali pusat, Malpresentasi janin/ Letak Lintang, Panggul Sempit[1]. “Operasi cesar, gak sakit, bisa nentuin tanggal lahir anak, mahal sedikit tidak apa-apa”. Berangkat dari pernyataan diataslah saya mulai berpikir mengenai teknologi lagi dan lagi-lagi ada sebuah paradoks antara kebutuhan akan teknologi ataukah perbudakan yang dilakukan oleh teknologi maskulin ini terhadap perempuan dalam industri medis. Namun terkadang kita sebagai manusia lupa bahwa teknologi diciptakan oleh manusia untuk membantu manusia, bukan sebaliknya, manusia menjadi bergantung terhadap teknologi dan menjadikan manusia lainnya menjadi sasaran pasar dunia kapitalis. Operasi cesar adalah sebuah teknologi dalam industri medis yang sangat membantu perempuan dalam proses melahirkan. Melahirkan adalah proses mengeluarkan anak manusia dari rahim perempuan setelah bersemayam selama 8-9 bulan. Sebelum ada teknologi cesar, perempuan melahirkan melalui vaginanya dan dibantu oleh mantri. Namun ternyata posisi bayi di dalam Rahim ibu tidak selalu pada posisi pada umumnya (kepala bayi mengarah ke leher vagina). Sehingga pada saat itu angka kematian ibu sangat tinggi, karena proses melahirkan yang berisiko tinggi. Kemudian seiring perkembangan teknologi di semua lini kehidupan termasuk dunia medis, muncullah penemuan baru mengenai operasi cesar dimana perempuan yang sulit melahirkan melalui vagina bisa dibantu proses persalinannya dengan operasi. Operasi ini akan mengangkat bayi melalui lubang sayatan yang dibuat dokter di bagian bawah perut. Posisi bayi tidak pada umumnya, biaya operasi ini memang lebih mahal daripada biaya persalinan melalui vagina. Operasi ini sangat membantu perempuan dan mengurangi angka kematian ibu. Namun sekarang operasi cesar ini mulai menjadi tren dikalangan masyarakat dengan ekonomi menengah keatas. Mereka yang seharusnya bisa melakukan persalinan melalui vagina, memilih operasi cesar dengan beberapa alasan seperti (1) agar tidak mengalami sakit (2) bisa menetukan tanggal lahir anak (3) menjaga kerapatan vaginanya. Setelah berbagai macam alasan dibangun kemudian terjadi tindakan-tindakan pengarahan maupun tawaran yang menarik untuk melakukan proses melahirkan yang kemudian menjadi efek domino dan sangat menguntungkan industri medis. Padahal secara medis organ-organ reproduksi itu bisa pulih dalam waktu enam minggu atau 40 hari setelah melahirkan. Di Indonesia angka kejadian operasi cesar mengalami peningkatan pada tahun 2000 jumlah ibu bersalin dengan operasi cesar 47,22%, tahun 2001 sebesar 45,19 %, tahun 2002 sebesar 47,13%, tahun 2003 sebesar 46,87%, tahun 2004 sebesar 53,2%, tahun 2005 sebesar 51,59%, dan tahun 2006 sebesar 53,68% dan tahun 2007 belum terdapat data yang signifikan. Survei Nasional pada tahun 2009, 921.000 persalinan dengan operasi cesar dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22,8% dari seluruh persalinan[2]. Pada Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2013 ditanyakan mengenai proses persalinan yang dialami. Gambar diatas menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut karakteristik. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada ibu yang menyelesaikan D1- D3/PT (perguruan tingginya) (25,1%), pekerjaannya sebagai pegawai (20,9%), tinggal di perkotaan (13,8%), dan kuintil indeks kepemilikannya teratas (18,9%)[3]. Dari data di atas bisa diketahui bahwa rata-rata yang melakukan operasi cesar adalah masyarakat dengan ekonomi menengah keatas dan dengan jenjang pendidikan yang cukup tinggi. Dikalangan artis operasi cesar ini cukup laris. Krisdayanti melahirkan seorang putri secara cesar pada tahun 2011, sedangkan putranya dilahirkan pada tanggal cantik 12-12-12 juga secara cesar. Annisa Bahar saat melahirkan putra keempat pada tahun 2012 lalu memilih operasi cesar. Ia memang sengaja memilih hari yang bertepatan dengan ulang tahun sang suami tercinta.
Intervensi Teknologi yang maskulin Foucault berpendapat bahwa manusia bukanlah sebatas makhluk yang rasional, menurutnya manusia adalah makhluk yang berhasrat, “I felt obliged to study the games of truth in the relationship of self with self and the forming of oneself as a subject, taking as my domain of reference and field of investigation what might be called the history of desiring man"[4]. Banyak feminis menerangkan hasrat patriarkal untuk mengontrol reproduksi dari sudut pandang psikoanalisis yang berhubungan dengan ketakutan laki-laki terhadap prokreativitas. Potensi teknologi untuk mengeluarkan janin dari tubuh perempuan melalui tangan-tangan utusan kapitalis dipandang sebagai bentuk impuls maskulin yang primitif untuk “mengurung, membatasi dan mengekang kreativitas serta kekuatan perempuan”. Selanjutnya saya mencurigai ada sebuah rasa iri terhadap perempuan karena memiliki rahim. Sehingga memanfaatkan teknologi sebagai alat deklarat bahwa proses melahirkan “atas kuasa tangan saya (dokter bedah)”. Hal ini menjadi sebuah paradoks, karena ada keinginan untuk meningkatkan kontrol atas proses kelahiran, di sisi lain operasi cesar dan penggunaan obat bius mengubah definisi bahwa melahirkan adalah masterpiece perempuan, tubuhnya dan kekuatannya turut rampung. Timbul kesan bahwa melahirkan itu sangat menderita, berbaring di tempat tidur, terikat, sehingga usahanya dalam melahirkan tidak memiliki kesan yang mendalam. Ann Oeakley menyatakan bahwa “pengaturan” medis kehamilan dan kelahiran bayi oleh profesional elit laki-laki telah menyebabkan status perempuan menjadi objek reproduksi, mengurangi pengalaman emosional perempuan dalam proses melahirkan. Teknologi reproduksi telah mengintervensi setiap pilihan perempuan atas tubuhnya sendiri, karena kita hidup dalam masyarakat dimana perempuan tidak bisa memiliki akses terhadap distribusi kekuasaan dan otoritas untuk menentukan pilihannya. Setiap intrusi yang dilancarkan dalam konstalasi politik reproduksi selalu bermuatan politis dan hanya bermuara pada satu tujuan, yaitu untuk memperluas rahim sosial laki-laki seiring dengan diabjeksikannya rahim biologis perempuan[5]. Kemudian saya rasa intervensi teknologi dalam proses kelahiran dirasa tidak perlu, terlebih lagi ada usaha pengarahan untuk memobilisasi pilihan perempuan kepada salah satu teknologi (operasi cesar) yang memang tidak diperlukan. Dengan pengecualian pada kelahiran yang berisiko tinggi dan perempuan yang memang membutuhkan operasi cesar. Intervensi seperti itu sebenarnya tidak perlu secara biologi masuk kedalam ranah privat yaitu tubuh, intervensi teknologi itu lebih merefleksikan struktur, kekuasaan dan pengambil keputusan. Hal ini bukan usaha untuk meminggirkan peran teknologi, namun jangan sampai fenomena ini berlanjut menjadi sebuah budaya yang nantinya akan meminggirkan pengaruh dan kekuatan besar tubuh perempuan dalam proses kelahiran sehingga dampaknya rahim sosial laki-laki meluas bersamaannya dengan teknologi. Stigma “Bukan Ibu Sempurna” Kelahiran bayi dikontrol secara sosial di semua lapisan masyarakat. Kelahiran bayi dilingkupi oleh berbagai aturan, adat, perintah dan sanksi. Selama hidupnya perempuan terus dihantui dengan sebuah pertanyaan-pertanyaan yang tak henti-henti mengenai tubuhnya. Ketika perempuan beranjak remaja, dia ditanya sudah menstruasi atau belum? Jika terlambat menstruasi dari rata-rata seumurannya, dianggap tidak subur. Kemudian setelah perempuan beranjak dewasa, dihadapkan kembali dengan pertanyaan kapan menikah? Dibebankan dengan stigma bahwa perempuan tidak boleh menikah diusia terlalu tua. Setelah menikah ditanya kembali, kapan hamil? Setelah itu melahirkannya normal atau cesar? ASI eksklusifkan? Apakah perempuan tidak bisa memiliki tubuhnya sendiri? Mengapa semua orang perlu mengurusi atau lebih tepatnya mengomentari tubuh perempuan. Bukankah mentruasi, hamil, melahirkan dan menyusui adalah sebuah pengalaman-pengalaman yang terjadi di tubuh masing-masing perempuan dan tentunya dengan siklus yang berbeda. Cara perempuan menanggapi tubuhnya juga berbeda-beda. Ada sebuah anggapan bahwa perempuan yang melahirkan secara cesar adalah bukan ibu yang sempurna. Sungguh ironi jika anggapan itu lahir dari pemikiran seorang perempuan juga. Bagaimana mungkin seorang yang melahirkan secara cesar adalah bukan seorang ibu yang sempurna sedangkan dia telah mengandung anaknya selama 9 bulan dengan penuh kesabaran. Setelah melahirkan kemudian ibu menyusui dan mendidik anaknya. Kita tidak bisa menyamakan aktivitas tubuh seorang perempuan yang hamil sebagai sama dengan perempuan lainnya. Kita tahu bahwa operasi cesar membantu perempuan untuk melahirkan, bahkan untuk menyelamatkan nyawa si ibu dan anak, karena melahirkan adalah pengalaman perempuan yang tidak bisa dianggap mudah dan sederhana. Jadi, tidak sesederhana itu membangun stigma negatif perempuan karena perbedaan pengalaman kebertubuhannya. Menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, termasuk soal cara perempuan melahirkan melalui vagina atau operasi cesar. Mereka adalah Ibu yang sempurna, perempuan yang mempunyai kekuatan juga. Saya adalah anak yang terlahir berkat teknologi cesar, ibu saya mengalami kesulitan dalam proses melahirkan selama 6 jam. Pada saat itu diagnosa dokter bahwa panggul ibu terlalu sempit dan ukuran bayi besar, sehingga dokter menyarankan untuk operasi cesar, setelah usaha-usaha untuk lahir normal (melalui vagina) telah dilakukan. Tepat 9 mei 1994 saya lahir dengan selamat. Hingga sekarang luka di bagian perut ibu masih menjadi bukti bahwa saya pernah ada di rahimnya. Terima kasih Ibu, pendeta (Dokter Bedah) dan teknologi. Referensi: Valerie, Bryson. Feminist Political Theory. PALGRAVE MACMILLAN, New York, 2003. Wajcman, Judy. Feminism Confronts Technology. The Pennsylvania State University Press, 1991. Foucault, Michel. The Use of Pleasure, Vintage Books, 1985, New York Afwika, Firly. “Intruksi Media; Abjeksi terhadap tubuh maternal”, Departemen Filsafat, Universitas Indonesia, 2008. Veibymiaty Sumelung, Rina Kundre, Michael Karundeng. “Faktor – faktor yang berperan meningkatnya Angka kejadian sectio caesarea Di rumah sakit umum daerah Liun kendage tahunan” Ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 2, No.1 (Februari 2014): 2-3. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Kementrian Kesehatan RI 2014 Catatan Belakang: [1] Ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 2 [2] Ibid. hal.2 [3] Profil Kesehatan Indonesia 2013. Kementrian Kesehatan RI (2014) [4] The Use Of Pleasure oleh Michel Foucault, hlm. 6 [5] Skripsi, Intruksi Media: Abjeksi terhadap tubuh maternal oleh Firly Afwika |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |