![]() Otonomi Daerah seperti pisau dengan banyak kegunaan. Tidak dipungkiri memang wilayah Indonesia amatlah luas dan konsep negara kesatuan yang dicetuskan Soekarno tampaknya mustahil dilakukan mengingat begitu beragamnya budaya yang ada untuk disatukan sebagai sebuah imagine community. Sebagai konsep nation building, negara kesatuan memang terdengar lantang dan seperti dobrakan, tetapi di tingkat akar rumput, nation building tidak semudah peralihan kekuasaan melalui sepucuk surat. Otonomi daerah dianggap jalan keluar untuk mengurus negara yang amat luas dan diberikanlah kekuasaan di tingkat daerah. Diharapkan peraturan yang dihasilkan masing-masing daerah nantinya dapat mengakomodir dan sesuai dengan kultur ataupun nilai yang dianut masyarakat setempat. Ketika Orde Baru berakhir, keluarlah UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur tentang Otonomi Daerah. Undang-undang tersebut mengatur ihwal pemilihan kepala daerah yang kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi Undang-undang ini dilakukan dengan harapan mendukung lancarnya pelaksanaan demokrasi di Indonesia karena rakyat bisa memilih sendiri perwakilannya dan kepala daerah tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat. Terdengar indah bukan? Tapi bukan berarti tidak ada masalah. Ketika pemimpin dipilih langsung, maka para calon pemimpin ini berlomba-lomba untuk memasarkan dirinya. Kita bisa melihat baliho yang berisi wajah para calon wakil kita yang terpampang besar-besaran di jalan raya, atau sekadar poster-poster yang dipaku di pohon-pohon dan tiang listrik ketika masa kampanye. Para calon ini berebut simpati. Mereka mencoba menjual diri mereka. Jika pada masa kampanye kita bisa terima, tapi bagaimana jika mereka mempromosikan diri melalui kebijakan setelah menjabat agar dipilih kembali? Peraturan-Peraturan Aneh Peraturan Daerah Pembatasan Waktu Kunjung Pacar yang dikeluarkan pemerintah Purwakarta jelas bukan perda aneh yang pertama kita dengar, menurut saya. Masih hangat dalam ingatan kita tentunya usulan tes keperawanan yang diajukan sebagai perda oleh DPRD Jember. Belum lagi Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang diberlakukan di kota Tangerang yang berimplikasi munculnya razia jilbab dan kemudian perempuan yang keluar malam diidentifikasi sebagai PSK (pekerja seks komersial). Tak kurang, Qanun Jinayat di Aceh yang selalu menjadi kontroversi. Mengapa saya katakan aneh? Karena seharusnya suatu kebijakan dibuat dengan memenuhi tiga syarat utama, yakni bersifat cerdas, bijaksana dan memberi harapan. Peraturan daerah diharapkan mengatasi masalah-masalah yang sesuai dengan kultur daerah masing-masing. Kebijakan publik merupakan basis keunggulan bangsa sehingga dalam setiap pengambilan kebijakan seharusnya pemerintah daerah mampu mengeluarkan kebijakan publik yang baik. Sanksi atas pelanggaran aturan pembatasan waktu kunjung pacar ini adalah kawin paksa. Mari kita lihat implikasinya, pernikahan bukan hal yang mudah, bahkan dapat berujung pada perceraian. Belum lagi apabila yang ketahuan pacaran justru anak-anak berusia di bawah 18 tahun, apa masih akan dinikahkan juga? Tes keperawanan lebih tidak masuk akal lagi, apakah lulus ujian sekolah harus ditentukan dengan keperawanannya? Konsep keperawanan saja masih belum dapat disepakati, lagi pula jika memang terbukti tidak perawan lantas mau apa? Apa berarti perempuan tersebut jadi barang rusak yang tidak lagi (boleh) berfungsi di masyarakat? Juga berbagai peraturan lain yang sangat tidak masuk akal. Peraturan tersebut jelas tidak bersifat universal dan mendiskriminasi pihak tertentu, yakni perempuan. Perda untuk Siapa? Sebenarnya untuk siapakah peraturan-peraturan itu dibuat? Peraturan-peraturan tersebut sama sekali tidak menunjukkan keadilan justru mendiksriminasi, tidak satupun dari tiga syarat kebijakan dipenuhi. Peraturan-peraturan tersebut sama sekali tidak cerdas, tidak bijaksana dan tidak sekalipun memberi harapan. Mengapa peraturan-peraturan tersebut terus ada dan untuk siapa sebenarnya peraturan itu dibuat? Kembali pada pemaparan pertama, ketika para calon wakil rakyat ini saling berlomba untuk mempromosikan dirinya, kampanye tidak berhenti pada saat terpilih, kesempatan untuk terpilih lagi masih terbuka. Sehingga keluarlah peraturan-peraturan yang nyeleneh ini. Perda politis dibuat bukan untuk rakyat tapi demi kekuasaan. Para politisi yang “berjualan” ini mengeluarkan perda dengan menjual peraturan yang terlihat baik tanpa melihat implikasi lanjutannya karena memang tujuan perda itu dibuat untuk meningkatkan popularitas si pembuat perda. Perda ini dibuat memang untuk mencari sensasi. Masih ingat regulasi pelarangan penjualan bir di minimarket dan tokoh yang memperjuangkannya? Perda seperti ini muncul dengan ciri; (1) menjual hal yang dianggap baik, (2) mudah dicerna masyarakat awam yang cenderung apatis pada politik dan biasanya disukai masyarakat awam (3) bermain pada simbol-simbol religius, (4) seksi untuk dibahas media, dan tak lupa, (5) mampu mengundang kontroversi. Sukseslah pembuat Perda. Sekali gebrakan dua-tiga tujuan tercapai. Alhasil peraturan-peraturan aneh ini terus direproduksi. Kesimpulan Lantas kita bisa apa? Sebagai warga negara dan pemilih yang baik, seharusnya kita tidak apatis terhadap politik. Demokrasi memang bukan sistem yang terbaik, tapi itu adalah sistem yang paling baik diantara yang lainnya. Tak lama lagi, pemilihan umum tingkat daerah akan berlangsung apakah kita masih mau termakan provokasi dan memilih pemimpin yang menghasilkan perda-perda aneh ini? Kita tidak bisa berada di luar dan hanya mencak-mencak tanpa hasil. Masih ada harapan untuk pemerintahan yang semakin lebih baik esok hari. Daftar Pustaka http://www.rappler.com/indonesia/104655-dedi-mulyadi-purwakarta-pacaran http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/70330-hukum-syariat-islam-aceh-kini-berlaku-untuk-non-muslim-dan-lgbt http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151002_indonesia_purwakarta_pacaran http://kabar24.bisnis.com/read/20150430/15/428377/328-perda-diskriminatif-terhadap-perempuan-dan-minoritas http://www.teropongsenayan.com/14310-mengatur-perda-yang-aneh http://www.bangsaonline.com/berita/8317/anggota-dprd-jember-gagas-perda-keperawanan http://news.okezone.com/read/2015/02/11/337/1104436/wacanakan-tes-keperawanan-dprd-jember-dianggap-ngaco ![]() Kesetaraan gender maupun perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan memang sedang banyak dibicarakan saat ini. Seperti diketahui banyak pernyataan maupun pemahaman yang beredar luas saat ini yang menyatakan perempuan memiliki posisi lebih rendah dibanding laki-laki, ruang lingkup kerja perempuan identik dengan bidang-bidang domestik, yakni memasak, mengurus anak dan keluarga serta kegiatan-kegiatan yang tidak memerlukan kekuatan fisik seperti laki-laki. Perempuan identik dengan sifatnya yang feminin sedangkan laki-laki maskulin. Kedua pernyataan itu sudah tertanam jauh di dasar pemikiran masyarakat dan membudaya hingga saat ini. Dangkalnya pemahaman mengenai konsep gender mengakibatkan banyak kalangan masyarakat—termasuk kaum intelektual itu sendiri—yang menganggap sama antara konsep gender dan jenis kelamin. Pemahaman yang demikian akan membentuk pemikiran-pemikiran yang tidak tepat. Seperti yang diungkapkan oleh Fakih (2005), “Perbedaan gender yang berdasar pada anggapan dan penilian oleh konstruksi sosial pada akhirnya menimbulkan sifat atau stereotip yang terkukuhkan sebagai kodrat kultural, dan dalam proses yang panjang telah mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan” (p. 147-151). Oleh karena itu pemahaman yang tidak tepat tersebut perlu diluruskan, setidaknya perlu diketahui mengenai perbedaan antara gender dan jenis kelamin (sex). Ada perbedaan pengertian antara keduanya. Istilah gender menurut Sugandi adalah “suatu sistem hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak diterapkan secara biologis, kodrati atau alami, melainkan merupakan rekayasa sosial berdasar nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial politik budaya, hankam dan iptek” (Anwar, 2007, p. 84). Sebaliknya, jenis kelamin (sex) sendiri merupakan suatu yang sudah ada secara alami dan merupakan kodrat masing-masing individu, seperti perempuan secara biologis dengan organ reproduksinya, bisa hamil dan menyusui. Perbedaan biologis tersebut seharusnya tidak menimbulkan kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi terdapat konstruksi budaya yang membuat posisi perempuan sebagai subordinat laki-laki, yang muncul dalam istilah-istilah yang menunjukkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, yang paling sering didengar ialah patriarki. Istilah ini mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat (Mosse, 2007). Konsep patriarki ini juga ada dalam budaya masyarakat Indonesia, yang berarti kebebasan perempuan masih terhalang dengan nilai-nilai budaya yang menempatkan perempuan dengan peran dan status sebagai istri yang diatur sepenuhnya oleh suami. Dengan kata lain istri harus mendapatkan izin suami untuk menjalankan peran dan aktivitas di ruang publik. Hal ini yang selanjutnya semakin membuat perempuan berada dalam posisi subordinat di dalam keluarga, kerja seorang istri hanya berada pada bidang-bidang rumah tangga saja, seperti menyiapkan makanan, mencuci pakaian, merawat anak, mengasuh anak dan sebagainya, sedangkan tugas suami sebagai pencari nafkah sebagai sumber penghasilan utama bagi keluarga. Sebenarnya pemahaman mengenai subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki harus digeser sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis saat ini. Pemikiran-pemikiran yang selalu menempatkan peran laki-laki lebih utama dibanding perempuan juga dapat dimentahkan dengan adanya fenomena-fenomena di sejumlah masyarakat dimana laki-laki tidak selamanya berperan melebihi perempuan. Misalnya yang terjadi dikalangan istri dalam masyarakat Melayu yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di Dusun Semayong Desa Sungai Kumpai Kecamatan Teluk Keramat. Laki-laki (suami) pada umumnya dalam mengelola pertanian memiliki peran yang lebih dominan dibanding istri, kegiatan istri tidak tampak begitu menonjol, hanya sebagai pendamping suami untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih ringan, misalnya, mengantarkan makanan untuk suami ke sawah/ladang, atau melakukan kegiatan memanen padi. Namun tidak demikian halnya dengan para istri di dusun Semayong yang keterlibatannya di bidang pertanian khususnya pertanian padi di ladang jauh lebih dominan dibanding para suami. Dapat dikatakan bahwa istri ialah pekerja utama dalam mengelola ladang. Pekerjaan yang dilakukan para istri tidak sebatas kegiatan-kegiatan ringan, setiap tahap dalam pengelolaan pertanian di ladang tidak luput dari kontribusi istri, berbanding terbalik dengan kontribusi suami yang secara umum jauh lebih sedikit dan hal ini sudah berlangsung sejak lama. Adapun kegiatan atau aktivitas pertanian yang dilakukan para istri di ladang sangat beragam dan tentunya sangat menguras waktu dan tenaga mereka. Peran yang dilakukan istri dapat dijadikan indikator berhasil atau tidaknya pertanian yang dikerjakan. Sangat jarang sekali istri tidak terlibat dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan di ladang. Hampir semua istri pernah melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan pengelolan pertanian, mulai dari membuka lahan, menyemai benih, menanam, merawat, memanen dan bahkan mengangkut hasil panen ke rumah atau tempat penyimpanan. Keterlibatan suami sangat jarang, jika ada itupun hanya pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti membunuh gulma melalui penyemprotan dan membawa hasil panen, sedikit sekali para suami yang secara penuh bekerja di ladang. Secara umum pekerjaan pertanian ladang di Dusun Semayong memang didominasi oleh perempuan terutama para istri. Fenomena di atas adalah salah satu contoh bahwa tidak selamanya anggapan atau asumsi mengenai peran perempuan yang selalu menjadi sekunder atau yang kedua terjadi di lapangan. Hanya saja tentu masih ada bias antara pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Pekerjaan yang dilakukan perempuan banyak yang tidak dianggap. Ini berkaitan dengan pandangan umum mengenai pekerjaan yang dinilai dari segi ekonomi, seberapa besar nilai ekonomi yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut. Sehingga pekerjaan yang banyak dilakukan perempuan seperti pekerjaan-pekerjaan domestik di rumah tidak dipandang sebagai pekerjaan melainkan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri. Dalam kenyataannya seseorang bisa melakukan kerja upahan dan kerja bukan upahan sekaligus, ia bisa berada dalam hubungan kerja yang berbeda-beda. Tidak bisa dikatakan hanya melakukan kerja bukan upahan terutama oleh perempuan karena dalam bentuk-bentuk masyarakat atau sistem ekonomi tertentu kerja bukan-upahan merupakan bentuk kerja yang umum, baik oleh laki-laki maupun perempuan (Saptari dan Holzner, 1997). Jadi pada dasarnya kerja tidak dapat ditentukan oleh seberapa besar nominal yang dapat dihasilkan atau diterima, tetapi lebih pada bentuk hal-hal apa yang harus dilakukan untuk dapat memenuhi atau dapat menunjang keberlangsungan hidupnya. Begitu juga mengenai pandangan terhadap perempuan yang selalu diposisikan di bawah laki-laki dalam semua hal, dalam kenyataannya di beberapa bidang dan di beberapa daerah perempuan jauh lebih berperan dibanding laki-laki. Tidak hanya sebatas peran dalam ruang domestik akan tetapi juga ruang publik. Maka dari itu seharusnya perbedaan jenis kelamin bukanlah penentu utama dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Daftar Referensi: Anwar. (2007). Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pebelajaran Vocational Skill Pada Keluarga Nelayan). Bandung: Alfabeta. Mansour Fakih. (2005). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mosse, J.C. (2007). Gender dan pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna Saptari & Brigitte, Holzner. (1997). Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial, Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti untuk Yayasan Kalyanamitra. Pengantar untuk Pameran Tunggal “Maternal Skin” oleh Citra Sasmita, Ghostbird + Swoon Gallery, Sanur-Bali, 3 Oktober - 10 November 2015 ![]() Hingga kini perempuan menghadapi stigma terhadap konsep tubuhnya yang sesungguhnya merupakan hasil dari proses simbolik elemen di luar dirinya. Tubuh perempuan dalam paradigma masyarakat harus sesuai dengan pandangan (norma) yang berkembang dalam lingkungan interaksinya, tanpa parameter yang pasti, salah satunya kulit patriarkis dimana masih terdapat perbedaan antara laki-laki yang memegang peran superior dan perempuan yang inferior. Sehingga persoalan domestik dan identitas masih menjadi permasalahan perempuan ketika konstruksi sosialnya secara sadar ataupun tidak sadar memosisikan perempuan dalam kategori subordinat. Ada berbagai macam kriteria perempuan yang dibentuk oleh politik pikir masyarakat, sebagai contoh konsep kodrat perempuan yang sesungguhnya merujuk pada fungsi maternal (keibuan/ sifat sebagai subjek yang otonom). Di sana sesungguhnya perempuan dapat bebas berekspresi dalam pencarian identitas dirinya, namun menjadi bias ketika dikaitkan ke wilayah gender yang menempatkan posisi perempuan dengan segala tuntutan karakter ideal tubuhnya dan perilaku sehingga kepemilikan atas tubuh perempuan atau sifat tubuh perempuan tidak sepenuhnya mereka miliki. Tubuh perempuan telah menjadi milik sosial yang harus terkonstruksi sesuai dengan nilai-nilai di dalamnya, misalkan saja konsep “ibu” dalam istilah sosial yang dikonstruksi oleh bahasa yang variatif bahkan disokong oleh doktrin agama supaya konsep itu menjadi perilaku. Sehingga konsekuensi yang langsung diterima perempuan adalah adanya keterputusan identitas personalnya dengan proses dan pengalaman tubuhnya (keterputusan antara perilaku “ibu” dan sifat “ibu”) Sebelumnya menurut Freud, secara anatomi seks, konsep tubuh perempuan telah direduksi hanya sebagai fungsi reproduksi, sebagai objek hasrat laki-laki dan bukan sebagai subjek aktif yang memiliki kebebasan ekspresi dalam pencarian identitasnya, maka ketika dimulainya metamorfosa tubuh dari usia belia (tumbuhnya payudara dan mengalami menstruasi) pengalaman biologis tersebut disisipi bahasa/stigma tubuh perempuan yang diidentikkan dengan tubuh yang kotor. Seorang perempuan harus tahu bagaimana cara berpakaian, menutup rapat tubuhnya ataupun berperilaku supaya terhindar dari objektifikasi lingkungan (pelecehan, kejahatan psikologis atau bentuk penindasan lain). Maka pemikiran Julia Kristeva “mengembalikan” tubuh maternal kepada perempuan dapat diartikan sebagai bentuk pengakuan terhadap kepentingan yang bersifat subjektif atas perkembangan diri perempuan (fungsi ibu) dalam ruang dan waktu di masyarakat. Menurut Kristeva, ada dua fase dalam pembentukan identitas yang mampu menjawab pertanyaan bagi yang menaruh perhatian pada bentuk penindasan perempuan yaitu fase chora dan fase abjeksi. Dalam fase chora yang dimulai pada usia 0 sampai dengan 6 bulan merupakan usia ketika manusia mempunyai keterikatan dengan tubuh maternal dimana selain secara biologis mendapatkan nutrisi juga mendapatkan impuls semiotik (pengalaman pembentukan diri) yang meliputi pengalaman prasimbolik kehidupan lisan, dimana seorang bayi mengalami (fungsi) ibu dengan optimalisasi cinta dan adanya transfer pengetahuan melalui sentuhan, getaran vokal dan iramanya. Fase chora dalam tubuh maternal dapat diartikan sebagai fungsi asuh yang sifatnya bisa feminin ataupun maskulin dengan cara anak dalam kandungan mendapatkan peran ibu secara tubuh fisikal dan peran ayah imajiner (fase dinaungi cinta dan perlindungan), tubuh maternal tidak hanya diartikan sebagai tubuh fisik yang spesifik (tak hanya/harus perempuan) sehingga dalam fase inilah yang menjadi penentu seseorang akan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Kemudian pada usia 4 sampai 8 bulan, anak akan mengalami fase abjeksi yang merupakan fase psikologis berupa penolakan yang cukup signifikan terhadap figur ibu dimana proses penolakan/pemisahan dari tubuh ibu tersebut berpotensi terjadinya penindasan dan diskriminasi terhadap tubuh maternal. Dalam fase abjeksi dengan tubuh maternal ini seringkali dialami secara paksa dan sebagian besar mengalami penyisipan tanda (sign) dan stigmatisasi bahwa tubuh maternal adalah tubuh yang kotor, jijik dan hina. Sebagai konsekuensinya pengalaman abjeksi ini menjadi endapan bawah sadar yang akan dibawa hingga dewasa yang secara sadar ataupun tidak akan menentukan pola pikir dan perilaku yang cenderung mendiskriminasi/menindas perempuan. Kedua fase ini yang menandakan bahwa yang dialami terlebih dahulu dari pembentukan identitas seseorang adalah hukum maternal (pembentukan diri oleh fase semiotik ke simbolik), bukan paternal (pembentukan diri dari simbolik ke semiotik). Karena pada awal pertumbuhannya, seseorang mengalami fungsi ibu dengan kekayaan pengalaman semiotiknya (pengalaman pembentukan diri) kemudian barulah dilekatkan dengan simbol (bahasa pembentukan diri) yang telah dikonstruksi oleh masyarakat. Berdasarkan pemikiran di atas, konsep maternal skin yang saya kembangkan dalam pameran ini menjadi relevan ketika dikaitkan dengan realitas yang berjalan dalam masyarakat kita yang masih dalam proses “menjadi”. Benturan antara norma sosial dan agama dalam masyarakat menuntun langkah pemikiran saya pada realitas posisi marginal perempuan di ranah sosial, yang menjadikannya terkungkung dan mengalami keterbatasan akses terhadap segala hal. Batasan-batasan tersebut justru tercipta dengan dalih untuk menyelamatkan perempuan, alih-alih malah memangkas haknya sebagai manusia. Rasanya kita perlu melihat kembali sosok perempuan secara utuh sebagai manusia, tanpa mengkotakkannya dalam kerangka konstruksi yang dibentuk oleh masyarakat patriarkis. Sejumlah karya yang saya hadirkan dalam pameran ini merupakan hasil refleksi saya atas berbagai hal dalam pengalaman dan pengamatan sehari-hari, yang saya dapatkan melalui riset sederhana terhadap teks-teks Julia Kristeva maupun pandangan tokoh-tokoh lain seputar gagasan yang sama, sekaligus saya juga melakukan pengamatan terhadap realitas sosial yang terjadi di sini. Seperti yang saya hadirkan dalam karya Let’s Talk and Let Her Die dan Taste of Social Death. Kedua karya tersebut merupakan kritik atas budaya gosip yang terdegradasi oleh nilai patriarkis. Idealnya saya tidak ingin menyatakan bahwa gosip itu buruk, karena dalam kegiatan tersebut terjadi arus informasi yang bisa menjadi modal sosial seseorang untuk dapat berkumpul dalam kelompok masyarakat tersebut. Namun dalam konteks hari ini yang menjadi topik menarik dalam gosip justru ada upaya objektifikasi terhadap seorang individu sebagai nilai takar kualitas diri. Dan yang lebih menarik lagi dalam budaya gosip oleh perempuan yang mengobjektifikasi perempuan lain yaitu adanya keterkaitan dengan sudut pandang patriarkis dimana kelompok perempuan yang menjadi subjek berperan superior (baca: maskulin dalam artian memiliki kekuasaan politik). Sehingga bisa saya simpulkan bahwa proses perempuan untuk menjadi “tubuh” yang mandiri banyak mengalami kendala dari sistem patriarki ini. Kemudian dari segi media dalam karya tersebut termasuk dua seri yang lainnya menggunakan kertas doyleys cukup representatif mewacanakan domestikasi yang dialami oleh perempuan dimana hal tersebut cenderung membatasi akses perempuan dalam memberdayakan dirinya. Secara dominan karya-karya saya mempermasalahkan tentang konstruksi atas tubuh perempuan yang tidak lagi dipandang sebagai tubuh maternal yang hakiki sebagai manusia pada umumnya, melainkan tubuh yang dicemari oleh norma atau nilai sosial yang dibentuk oleh masyarakat. ![]() Jika kita mengingat bulan September tepat 50 tahun lalu, akan ada memori yang kelam dan menimbulkan luka baik secara lahiriah ataupun batiniah. September 1965 merupakan bulan dimana sejarah kelam bangsa ini terukir di benak masyarakat, saat otoritas yang dikuasai nafsu untuk merebut kekuasaan melancarkan aksi yang membabi buta. Sangat ironis, karena aksi itu dilegalkan oleh suatu institusi yang seharusnya mengayomi warganya. Istitusi itu bernama “Negara”, sekelompok manusia yang mengklaim menolak eksistensi sebuah ideologi, mereka melakukan pelanggaran HAM berat, yang sudah memusnahkan saudara mereka sendiri, tanpa rasa bersalah ataupun rasa berdosa sekalipun. Sekarang diusia Republik ini yang mencapai tujuh dasawarsa, seolah-olah tak berdaya untuk menuntaskan utang kemanusiaannya pada masyarakatnya. Padahal para korban kebiadaban sebuah orde ketika itu, saat ini masih memendam memori hitam kelam, mungkin akan mereka bawa sampai akhir hayatnya, dan kini mereka berteriak menuntut keadilan. Mereka yang dicap sebagai anggota partai terlarang ataupun simpatisan yang membantu urusan partai tersebut diberangus, tak terkecuali para wanita-wanita yang saat itu sedang memperjuangkan kesetaraan, memperjuangkan hak-hak bagi kaum wanita yang masih terbelenggu dalam penjara patriarki kehidupan. Para wanita yang berwadah dalam organisasi yang bernama Gerwani, saat itu mereka menjadi target pencarian dari sebuah operasi yang diklaim untuk membersihkan pengaruh ideologi terlarang di negeri ini. Pada saat itu Gerwani dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, gerwani dituduh membantu melakukan gerakan terlarang yang terjadi pada tanggal 30 september 1965. Peristiwa ini seolah-olah menjadi hembusan angin kematian bagi kader-kader gerwani, mereka dituduh terlibat dalam peristiwa pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Media menggembar-gemborkan bahwa mereka melakukan tarian-tarian erotis harum bunga dan memotong alat vital para jenderal sebelum dimasukkan ke dalam sumur tua. Propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Orde Baru saat itu sangat berhasil, kultur patriarki yang sangat kental dalam masyarakat Indonesia telah menjadi faktor utama mudahnya masyarakat menerima propaganda itu. Hubungan sosial politik terentang pada simbol-simbol kelelakian yang menyubordinasi kaum perempuan, berita mengenai alat kelamin yang menjadi dignity kaum laki-laki yang disayat-sayat seakan-akan memunculkan kesadaran untuk melakukan tindakan pembalasan yang berujung pada pemusnahan. Apakah sehina dan sebiadab itukah mereka? Mereka merupakan sekelompok wanita yang memiliki tujuan yang mulia, hati mereka terpanggil untuk menyuarakan penolakan pengekangan terhadap perempuan, mereka memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Agar tetap dapat bertahan hidup, mereka harus membunuh identitasnya sendiri untuk mendapatkan topeng baru sehingga eksistensinya di dunia ini tetap ada. Kaum perempuan yang menjadi target dari pencarian ini disebut sebagai Tapol (tahanan politik). Kehadiran mereka di masyarakat seolah-olah bagaikan bara api yang akan membakar suatu peradaban. Hanya orang-orang yang terketuk hati nuraninya bersedia untuk menerima mereka, walaupun sebenarnya orang yang menerima para tapol itu pun merasa takut jika terkena imbas dari perilaku mulianya. Apakah kondisi seperti ini layak disebut merdeka? Untuk keluar sekadar menghirup udara segar pun mereka harus berpikir seribu kali. Banyak diantara mereka yang melakukan penyamaran agar identitas mereka tidak diketahui. Banyak yang menjadi penjual kopi atau penjual kain, padahal mereka merupakan wanita yang mempunyai intelektualitas yang tinggi. Aktivis-aktivis perempuan yang tertangkap itu kemudian dibawa ke Kamp Plantungan, yang merupakan kamp tahanan bagi para tapol wanita. Kamp ini berada di Kabupaten Kendal Jawa Tengah, tepatnya berada di lembah Gunung Prahu. Dulu kamp ini merupakan bekas rumah sakit isolasi bagi penderita lepra pada zaman Hindia Belanda. Sewaktu mereka ditahan di kamp tersebut mereka mendapat perlakuan yang sangat mengenaskan, terjadi pelecehan seksual juga kekerasan psikologis yang sampai saat ini terekam dalam memori tua mereka. Pelecahan seksual dan kekerasan merupakan perlakuan “standar” yang diterima para tapol wanita saat pemeriksaan. Yang lebih menyedihkan, setelah mereka bebas dari kamp tersebut, diskriminasi masih terus berlanjut, bahkan pada kartu tanda penduduk mereka terdapat pasangan huruf mematikan yaitu “ET”, eks tapol. Hal ini mengakibatkan kebebasan mereka dibelenggu, karena yang mereka dapatkan kemerdekaan palsu. Hak-hak mereka sebagai warga negara dienyahkan, mereka tidak memiliki hak dipilih dan memilih, begitu juga hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Serendah dan sebiadab itukah mereka, hingga otoritas negara pun membungkam mereka dengan cara yang sedemikian rupa? Mungkin para tapol tersebut dianggap memiliki penyakit lepra, namun otaknya yang terkena lepra, jadi mereka perlu disingkirkan seperti orang-orang yang berpenyakit lepra pada umumnya. Sejak saat itu mungkin lembah plantungan mengukir sejarah baru layaknya membuat sebuah peradaban yang baru ,dari mereka para perempuan cerdas yang teraniaya baik fisik maupun mental. Bekas rumah sakit itu menjadi hunian bagi penderita “lepra politik” untuk mengucilkan mereka dari khalayak ramai. Mereka dianggap lebih berbahaya daripada penyakit lepra karena menyebarkan virus pemikiran. Tulisan ini merupakan suatu cara untuk melawan lupa terhadap suatu peristiwa yang sangat mengenaskan, yang telah membunuh ratusan ribu saudara-saudara kita pada saat itu. Tampaknya negara pada saat itu tuli dan bisu, negara melupakan Pancasila sila kedua yang berbunyi “Kemanusian yang Adil dan Beradab”. Apakah saat itu tindakan otoritas yang berlindung dengan nama besar negara sudah adil dan beradab? Sebuah tamparan sebenarnya, pada saat itu mereka mendengung-dengungkan Pancasila, namun mereka malah merobohkan hakikat Pancasila yang sebenarnya. Daftar Pustaka Amurwani Dwi lestari. (2011). Gerwani, Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Hersri Setiawan. (2004). Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesiatera. ![]() Saya sungguh menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak perubahan UU Perkawinan tentang batas usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Alasan penolakannya adalah umur bukanlah aspek utama dari segala masalah sosial yang terjadi dalam institusi perkawinan. Padahal dengan mengubah batas usia perkawinan, menyetujui dari usia 16 ke 18 tahun saja, paling sederhana, negara sudah tidak lagi memberi landasan hukum dari tindakan pedophilia. Mengapa? Karena menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisi anak adalah “Setiap Manusia yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”. Pedophilia sendiri masuk dalam kategori penyimpangan seksual menurut International Classification of Diseases oleh WHO (World Health Organisation), dan hebatnya Indonesia sebagai negara hukum justru memberi landasan hukum bagi tindakan pedophilia. Masalah sosial lainnya seperti perceraian misalnya, menurut MK perceraian tidak disebabkan oleh mudanya usia perempuan dinikahkan. Padahal hal itu justru merupakan salah satu faktor utama terjadinya perceraian akibat pernikahan di usia yang terlampau muda. Pasangan di usia muda belum cukup matang untuk menentukan hendak dibawa kemana hidupnya, apalagi harus menentukan sendiri harus hidup bersama orang lain dan membina bahtera rumah tangga yang seharusnya seumur hidup dan penuh tanggung jawab. Apakah benar batas usia perkawinan tidak memengaruhi tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia? Secara logis bisa kita urut bahwa pasangan yang menikah di usia yang lebih matang akan bisa mengatur perencanaan kehamilan, mengatur jarak kehamilan dan kesiapan fisik dan psikis untuk bereproduksi. Penelitian telah membuktikan bahwa rahim perempuan baru siap untuk dibuahi setelah usia 20 tahun. Hamil dan melahirkan di bawah usia kematangan rahim akan memperbesar risiko kelahiran bayi dengan kondisi cacat dan berpengaruh juga terhadap kesehatan ibu secara psikis. Dari segi pendidikan pun, dengan dinaikkannya batas minimal usia perkawinan, perempuan yang nantinya akan menjadi ibu dan merupakan sekolah pertama bagi anak-anak akan mendapatkan kesempatan lebih lama untuk bersekolah. Bayangkan saja, jumlah perempuan yang meraih gelar doktor di seluruh dunia hanya 2 persen. Saya tidak berani membayangkan berapa persentase perempuan yang berhasil meraih gelar doktor di Indonesia, pastilah jumlahnya sangat sedikit. Dengan paparan di atas, saya rasa dengan menaikkan usia perkawinan saja, Undang-Undang sudah memberikan aturan tertulis untuk berlaku adil kepada perempuan sebagai warga negara. Karena perempuan adalah tonggak suatu bangsa, mendidik perempuan sama saja dengan mendidik seluruh bangsa, karena itu dengan mengubah batas usia pernikahan nyatanya banyak memberikan pengaruh bagi nasib perempuan, nasib bangsa. ![]() Ada salah satu film tentang perempuan dan prostitusi yang membekas di benak saya. Judulnya Laaga Chunari Mein Daag: Journey of a Woman (लागा चुनरी में दाग). Ceritanya sederhana, tentang seorang perempuan bernama Badki yang terjebak dalam dunia pelacuran sebagai seorang “PR” yang bingung karena jatuh hati pada seorang pria. Badki melacur karena ayahnya membutuhkan biaya pengobatan dan keluarganya mengalami krisis. Badki “dimatikan” secara kemampuan dan kesempatan oleh perusahaan-perusahaan besar di kota Mumbai. Secara sistematis, perempuan, apalagi yang berasal dari desa atau kota kecil seperti Badki dikalahkan pada tahap awal melamar pekerjaan. Kisah Badki kurang lebih sama seperti kisah seorang pelacur yang menjadi subjek foto cerita dalam disertasi Yuyung Abdi. Saya yakin ada lebih banyak lagi pelacur yang bernasib sama. Alih-alih menghakimi pelacur perempuan yang direpresentasikan oleh Badki, film ini justru memberikan penilaian yang berbeda terhadap seorang pelacur. Film ini dengan berani menunjukkan bahwa pelacur perempuan juga merupakan perempuan terhormat. Film ini mematahkan kriteria ideal masyarakat tentang perempuan baik-baik. Menjadi seorang pelacur tidak serta-merta membuat seseorang menjadi buruk seperti yang distigmakan. Dalam beberapa kasus, menjadi seorang pelacur itu bukan keputusan yang sepele. Sering sistem ekonomi atau sosial politik yang mapan membuat orang terpojok dan “memilih” untuk menjadi pelacur. Seakan pilihannya hanya ‘ya’. Dalam masyarakat yang masih menganggap dan memuja keperawanan dan kesucian, melacurkan diri itu sama dengan menenggelamkan diri pelan-pelan ke neraka. Tubuhnya dianggap sarang dari penyakit dan dosa. Tubuhnya yang sudah “dikonsumsi” banyak orang dianggap kotor dan najis. Sebaliknya, di masyarakat yang lain seperti masyarakat yang tinggal di kawasan prostitusi Dolly, dekat rumah saya, secara spesifik perempuan dan tubuhnya dipandang sebagai “instrumen” yang mendatangkan rezeki untuk banyak orang. Tubuh-tubuh perempuan yang terkonsentrasi dalam satu area, menarik lelaki (dan perempuan) untuk datang, menyewa dan memakai tubuh pelacur perempuan tersebut. Lalu, muncul wisma dengan kapasitas ruangan sederhana hingga luar biasa, billiard dan karaoke, diskotik, panti pijat, salon kecantikan, penyewaan kamar kos, warung-warung kecil yang menjajakan kopi serta jajanan, lahan parkir, hingga para pemungut sampah yang menggantungkan rezekinya dari kawasan Dolly. Tubuh-tubuh perempuan yang dijustifikasi kotor dan najis pun tak ubahnya seperti oase di tengah padang pasir. Oase yang diciptakan oleh sistem dan siapa pun yang berkuasa atas tubuh-tubuh perempuan itu. Bergeser sedikit dari pembahasan tersebut, saya tidak akan membahas mengapa perempuan lebih banyak menjadi pelacur. Banyak literatur dan hasil penelitian yang membahas hal tersebut. Yang menjadi fokus saya adalah prostitusi. Mengapa prostitusi identik dengan sesuatu yang buruk? Mengapa orang-orang yang masuk dalam lingkaran prostitusi, terutama pelacur–baik perempuan, transgender, laki-laki atau queer, hampir selalu dianggap buruk? Dianggap sebagai liyan? Apakah karena mereka tidak menjalani hidupnya sesuai dengan tatanan agama dan moral? Apakah tubuh para pelacur tidak menjadi tubuh ideal yang digembar-gemborkan oleh agama dan moralitas? Apakah tubuh pelacur serta-merta membuat keseluruhan diri pelacur buruk? Mengapa selalu mereka–pelacurnya? Mengapa diskursus tentang prostitusi hampir selalu berbicara dan mengobjekkan pelacurnya? Mengapa tidak germonya? Mengapa tidak orang yang “memakainya”? Mengapa tidak negaranya? Stereotip dan prasangka terhadap pelacur dan prostitusi atas nama agama, moral, atau bahkan atas nama hukum telah demikian akutnya. Beberapa malah menjadi diskriminasi. Lantas, bagaimana? ![]() Kekerasan seksual terhadap perempuan semakin hari bagaikan momok menakutkan bagi perempuan di Indonesia, bahkan membawa berbagai permasalahan yang serius bagi korban. Pernahkah kita melihat munculnya stigma negatif terhadap perempuan yang hamil diluar nikah? Masyarakat seolah-olah tanpa rasa bersalah menjatuhkan putusan dan asumsi bahwa perempuan tersebut pasti perempuan “nakal” atau perempuan yang sudah tidak suci atau bahkan perempuan yang kotor dan hina. Kasus semacam ini sangat familier di telinga kita, bahkan sudah merebak di seluruh lapisan stratifikasi sosial masyarakat. Lantas bagaimana perasaan kaum perempuan yang mendapatkan label yang tidak mereka inginkan? Nama baik mereka akan luntur kemudian mereka akan dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan yang paling menyedihkan adalah label “anak haram” yang akan disematkan pada sang bayi yang dilahirkan. Apakah masyarakat juga memberi label pada laki laki yang membuat seorang perempuan ternoda dengan cap laki laki kotor atau laki laki penaruh bibit haram? Tidak, bukan? Masyarakat cenderung diam, mereka mungkin tidak terlalu peduli tentang siapa bapak dari bayi itu. Yang mereka pedulikan adalah ibu dari bayi itu merupakan perempuan yang tidak baik. Apakah sedangkal itu mereka kemudian menyimpulkan bahwa semua perempuan yang hamil diluar nikah merupakan perempuan yang tidak baik? Bagaimana dengan korban kejahatan seksual, apakah itu adil? Jika masyarakat memberi gelar mereka sebagai “perempuan nakal”, sesungguhnya perempuan itu sendiri tidak menginginkan kejadian itu menimpa dirinya. Namun masyarakat seolah-olah bisu dan tuli jika dihadapkan pada kasus semacam ini. Mereka yang mendapatkan label sebagai “perempuan nakal” sebenarnya muak dengan stigma tersebut. Kehadiran mereka pun ditolak oleh keluarga mereka sendiri. Keluarga mereka merasa bahwa calon ibu dari bayi yang dikandung merupakan aib bagi keluarga. Bahkan untuk menutupi aib tersebut perempuan korban kadang harus disingkirkan untuk sementara waktu di suatu tempat. Sementara mereka sebenarnya adalah korban dari tindak kekerasan seksual. Mereka merupakan manusia yang didiskriminasi oleh sebagian masyarakat di lingkungan kita. Mereka diasingkan di suatu tempat, mungkin di tempat tinggal kerabat mereka, agar keluarganya tidak merasa malu. Bukankah itu sama saja memenjarakan mereka ? Perlakuan itu mirip sekali dengan perlakuan terhadap para tahanan. Para perempuan tersebut sesungguhnya manusia bebas. Namun kebebasan mereka direnggut oleh sebuah otoritas bernama”masyarakat”. Mereka seperti tahanan dari pasukan Nazi jerman yang harus ditempatkan di sebuah kamp konsentrasi. Gambaran seperti ini mengingatkan kita pada sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di negeri ini. Yakni ketika perempuan-perempuan anggota organisasi bernama Gerwani dianggap sebagai sampah masyarakat. Mereka dipandang sebagai aib bagi keluarga, bahkan label pembangkang negara tersemat pada diri mereka dan terus dilekatkan sampai kepada keturunan mereka. Dalam hal ini terdapat persamaan, anak-anak anggota Gerwani mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Keturunan kader gerwani pada masa Orde Baru tidak bisa menjadi pegawai negeri sipil dan menduduki jabatan strategis. Sama halnya dengan anak yang dilahirkan oleh perempuan korban kekerasan seksual, ia akan mendapatkan sanksi sosial berupa label “anak haram”. Lantas bagaimana jika anak yang dilahirkan itu bertanya kepada ibunya, kenapa ia disebut anak haram? Semoga saja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan memiliki anak dapat menjelaskan dengan baik kepada anaknya, sehingga si anak tetap memiliki rasa percaya diri untuk bergaul dengan masyarakat pada umumnya. Dalam kasus ini bukankah terjadi semacam eutanasia terhadap seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan kemudian hamil. Seolah-olah eksistensinya sebagai individu yang merdeka ditengah-tengah masyarakat kemudian menjadi terbelenggu dan terjajah karena stigma negatif yang ditanamkan masyarakat terhadap perempuan yang hamil sebelum menikah. Ini bentuk eutanasia yang halus dan tersamarkan sehingga seolah-olah luput dari pengamatan kita. Permasalahan seperti ini sangat mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan permasalahan seperti ini dapat menjadi penghambat bagi korban. Jika mereka masih di usia sekolah, institusi pendidikan formal tidak akan menerima jika salah satu dari murid mereka hamil diluar nikah, sehingga mereka akan dikeluarkan dari sekolah. Bukankah mendapatkan pendidikan yang layak merupakan hak setiap manusia? Begitu menakutkankah mereka hingga harus dikeluarkan dari sekolah? Mereka bukan monster atau teroris. Mereka adalah korban. Sungguh berat beban psikologis yang harus ditanggung oleh individu seperti mereka.
![]() Hingga saat ini sudah sangat banyak kajian dan studi yang berlatarkan kemiskinan, baik itu studi kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan. Namun pada umumnya penyebab kemiskinan itu sendiri masih sulit diberantas karena faktor penyebab yang sangat kompleks. Pendapat para ahli umumnya berbeda-beda, berbeda wilayah berbeda pula konteks kemiskinannya dan tentu cara memeranginya berbeda pula. Sebagian besar orang (termasuk ahli) menilai bahwa fenomena kemiskinan sangat erat kaitannya dengan faktor ekonomi. Dalam arti bahwa ukuran sebuah kemiskinan adalah ekonomi. Suyanto (2013) menyebutkan bahwa banyak bukti menunjukkan yang disebut sebagai orang atau keluarga miskin pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi ekonomi lebih tinggi. Ketika saya merenung, hal pertama yang melintas dalam pikiran saya adalah tentang ibu saya—seorang perempuan Dayak Mali. Seorang perempuan Dayak Mali memiliki kedudukan yang sama seperti perempuan suku lain di Indonesia. Kedudukan dalam arti kesamaan hak dan kewajiban sebagai perempuan di Indonesia. Ada diantara mereka yang bernasib baik, mereka dapat mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah tinggi, untuk kemudian keluar dari belenggu kemiskinan. Namun sangat banyak diantara mereka yang tidak bernasib beruntung, sehingga memaksa mereka untuk tetap tinggal di kampung dengan penghidupan seadanya. Saya memahami mereka yang bernasib tidak beruntung, bukan karena mereka malas bekerja tetapi keadaan yang sudah terstruktur yang mengikat mereka dalam sebuah kondisi tertentu—bahkan mereka sendiri tidak menyadari bahwa mereka dalam kondisi miskin. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan pandangan konservatif yang memvonis bahwa sebuah kemiskinan merupakan akibat dari lemahnya etos kerja. Kemiskinan inilah yang dimaksud sebagai kemiskinan struktural. Suyanto (2013) menuliskan bahwa secara teoritis kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber. Oleh sebab itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku yang sedemikian rupa keadaannya sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun-temurun selama bertahun-tahun. Fenomena kemiskinan struktural ini terjadi pada perempuan Dayak Mali, penyebab utamanya yakni perempuan Dayak Mali tidak memiliki keterampilan lebih untuk bergeser ke penghidupan yang lain, atau dalam kata lain mereka tergolong dalam unskilled labour. Ciri mendasar dari kemiskinan struktural yaitu tidak adanya mobilitas sosial vertikal. Dengan kata lain mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya. Seandainya pun ada progress-life pada perempuan Dayak Mali, maka berjalan sangat lamban. Saya ingin menghubungkan fakta kemiskinan perempuan Dayak Mali dengan konsep deprivation trap oleh Robert Chambers seperti dikutip Suyanto (2013). Deprivation trap terdiri dari lima unsur, yakni: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini sangat erat kaitannya antara satu dengan yang lainnya. Dimensi kemiskinan yang acapkali menjadi perhatian khusus saya adalah adanya diskursus dalam strukturalisasi. Apabila keluarganya miskin, maka perempuan Dayak Mali ikut andil dalam kemiskinan tersebut, dalam arti tidak hanya kaum perempuan saja yang merasakan miskin namun juga kaum laki-lakinya. Sudah dapat dipastikan kondisi ini akan bertahan lama dan stagnan apabila tidak ada keberlanjutan dalam usaha keluar dari belenggu kemiskinan. Sejauh yang saya amati pada perempuan Dayak Mali, mereka sangat aktif dalam usaha yang dimaksud. Tidak jarang mereka diterima bekerja di perusahaan-perusahaan maupun bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Pengamatan saya di Desa Cowet, Kecamatan Balai, perempuan Dayak Mali banyak yang bekerja di PT. Erna Djuliawati di Kabupaten Sanggau. Namun tidak dapat dipungkiri ada pula diantara mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota Pontianak (umumnya bagi mereka yang tidak tamat sekolah menengah). Fenomena kemiskinan merupakan hal yang jarang disadari oleh perempuan Dayak Mali yang masih belia. Mereka bekerja hanya semata-mata untuk mendapatkan uang kemudian diberikan kepada orang tuanya, sudah. Hanya sebatas itu, mereka hanya berpikir bahwa kehidupan mereka memang seperti itu adanya. Tidak akan ada lagi jalan bagi mereka untuk menjangkau kehidupan yang berbeda dari kondisi yang ada saat itu. Ini bukanlah sikap pasrah atau menyerah pada nasib. Tetapi mereka tidak punya pilihan untuk mengubah mata angin kehidupan, dikarenakan pendidikan yang rendah dan tidak memiliki keterampilan dalam bidang tertentu. Sebuah perangkap kemiskinan (Robert Chambers) salah satunya terjadi dikarenakan kelemahan fisik. Hal ini tentu sejalan dengan praktik gender yang mengklaim bahwa perempuan adalah kaum yang lemah daripada laki-laki. Namun dimensi ini tidak berlaku bagi perempuan Dayak Mali. Riwut (2011) menyebutkan bahwa konsekuensi dari kesetaraan gender yang sejak semula telah diperoleh perempuan Dayak, merupakan tantangan untuk mampu membuktikan diri bahwa perempuan Dayak bukan makhluk lemah yang tidak berdaya. Kenyataannya, perempuan Dayak Mali memiliki semangat bekerja yang tinggi. Hal ini terbukti dengan mereka bekerja di sawah atau ladang setiap hari. Mereka ikut ambil bagian dalam kegiatan gotong royong atau pengiri yang menjadi tradisi budaya turun-temurun masyarakat Dayak Mali. Di sisi lain perempuan Dayak Mali yang bekerja di perusahaan dapat menghasilkan materi, yang setidaknya sedikit membawa keluarganya selangkah lebih baik dari keluarga lain. Hidup di desa dengan penghasilan pas-pasan merupakan ukuran ekonomi sebuah praktik kemiskinan. Pada fakta yang terjadi sebagian keluarga miskin tidak menyadari kemiskinan yang terjadi di dalam. Mereka beranggapan bahwa hidup miskin sudah menjadi hal yang biasa ketika roda kehidupan berjalan datar. Toh mereka masih bisa makan dari hasil berladang dan masih bisa bertahan hidup dari hasil alam sekitar, dengan kata lain keluarga miskin sebisa mungkin survive. Namun yang menjadi masalah yaitu ketika ada tekanan kebutuhan yang memaksa mereka harus mengeluarkan banyak uang dalam kondisi perekonomian tertentu. Misalnya, melonjaknya harga sembako yang tidak bisa mereka produksi sendiri, seperti: minyak goreng, gula pasir, dan lain-lain. Kondisi seperti ini tentu akan membuat mereka semakin tidak berdaya. Belum lagi bagi mereka yang memiliki anak, mereka dituntut memenuhi gizi anak seperti membeli susu dan telur. Terkadang hal ini tidak terpenuhi karena keterbatasan ekonomi atau penghasilan yang pas-pasan. Kondisi masyarakat desa tersebut sangat erat kaitannya dengan dimensi kerentanan. Di kalangan keluarga miskin, kerentanan pada umumnya identik dengan suatu kondisi ekonomi keluarga yang tidak memiliki penyangga yang memadai (rapuh). Menurut Chambers kondisi ini dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti gagal panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin. Dalam keadaan ini biasanya akan menimbulkan roda penggerak kemiskinan atau disebut poverty racket yang bisa lebih memiskinkan keluarga miskin, misalnya keluarga miskin harus menjual harta benda dan aset tanahnya sehingga membuat mereka semakin rentan dan tidak berdaya. Fakta lain yaitu sejalan dengan dimensi keterasingan atau kadar isolasi, dimana perempuan Dayak Mali tidak memiliki akses untuk mendapatkan jalan menuju penghidupan layak yakni pendidikan. Sedikitnya terdapat tujuh dusun yang termasuk dalam wilayah Desa Cowet. Dari tujuh dusun tersebut hanya satu dusun yang sudah memiliki akses listrik atau PLN. Sedangkan enam dusun lainnya masih belum terjangkau oleh PLN. Dengan kata lain terdapat ribuan masyarakat miskin yang aksesnya dipangkas karena keberadaannya di daerah terpencil. Kemiskinan yang terjadi bukan hanya karena masalah uang dan hasil produksi saja, namun juga ketersediaan infrastuktur. Fakta yang ada menunjukkan bahwa infrastruktur jalan saja masih sangat jauh dari kata memadai. Lantas bagaimana akses pendidikan dapat berjalan baik? Bagaimana akses pekonomian berjalan lancar? Sementara akses pintu gerbang utama masih belum terbuka. Keterisolasian daerah tempat tinggal perempuan Dayak Mali tidak serta-merta membuat mereka miskin semiskin-miskinnya. Namun, lagi-lagi mereka sedikit memahami esensi kata miskin itu sendiri. Mereka justru berpikir bahwa masih banyak yang lebih miskin dari mereka, seperti di daerah perkotaan masih ada orang yang tinggal di bawah kolong jembatan, atau tinggal di rumah kardus, atau bahkan tidak memiliki tempat tinggal. Justru masih banyak orang yang lebih miskin bukan karena keterisolasian tempat tinggal. Pada dasarnya keterisolasian ini bukan masalah pokok kemiskinan yang terjadi secara umum. Konsep ketidakberdayaan perempuan Dayak Mali terjadi karena faktor rendahnya pendidikan. Sehingga soft skill yang mereka miliki tidak memadai. Jika terdapat perempuan Dayak Mali yang menamatkan pendidikan di bangku SMA, setelah tamat mereka memilih untuk menikah dan cenderung melanjutkan lakon dan peran orang tua mereka (perempuan Dayak Mali lainnya) menjadi buruh tani. Soft skill yang yang didapat saat duduk dibangku sekolah seharusnya dapat diaplikasikan kedalam bentuk pekerjaan lain, misalnya bekerja di koperasi. Namun kenyataannya mereka lebih memilih pekerjaan seperti yang orang tua mereka wariskan. Keluarga yang jatuh pada lingkaran setan atau perangkap kemiskinan, umumnya mereka sulit untuk bangkit kembali. Roda kehidupan yang mereka lakoni cenderung hanya dalam lingkaran itu saja, tanpa adanya usaha untuk keluar dari lingkaran roda tersebut. Mereka acapkali tidak bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan, rapuh, sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan dan bahkan mengalami penurunan kualitas kehidupan (Suyanto, 2013). Referensi: Suyanto, B. (2013). Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang: Intrans Publishing. Riwut, N. (2011). Bawin Dayak: Kedudukan, Fungsi, dan Peran Perempuan Dayak. Yogyakarta: Galang Press. ![]() Perempuan itu telah menjanda selama 3 bulan, maka kampung X pun geger begitu juga kampung Y. Berita tersebar dengan cepat seperti aroma parfum yang menyengat, begitulah jika perempuan berubah status dari istri menjadi janda. Pintu-pintu rumah tetangga mulai dirapatkan, si empunya rumah yang perempuan takut kalau suaminya tergoda. Anak-anak lelaki dewasa mulai di wanti-wanti oleh ibunya, “Jangan bergaul dengan dia, dia janda baru, awas kalau kamu main ke rumahnya,” begitu ancam ibunya. Jauh sebelumnya, sebelum proses perceraian berlangsung si perempuan yang akan menjadi janda itu habis-habisan diceramahi sanak saudara yang perempuan “Jangan cerai, sudah bertahan saja, meski suamimu tidak kerja dan pemalas tapi dia lebih baik dari si A” atau “Kamu nekat cerai? Memangnya nanti mau makan darimana?” Perempuan seringkali dijatuhkan oleh perempuan. “Mengapa perempuan itu tidak menggunakan bahasa perempuan? Mengapa bahasa yang mereka gunakan bahasa laki-laki? Suara laki-laki. Hasil pemikiran laki-laki. Yang mana bahasa mereka? Mereka hanya bisa menyudutkan perempuan. Memalukan!” Itulah petikan dari cerpen “Sepotong Kaki” dari Oka Rusmini. Dan saya pun mau tak mau sepakat dengan apa yang dituliskan oleh Oka. Saudara perempuan saya menjanda, dan yang paling pertama menghakiminya adalah saudara perempuan saya yang lainnya. Sebenarnya kenapa mereka mampu menyakiti perempuan? Mungkin hanya karena mereka takut tersaingi, takut lelakinya diambil si janda, takut si janda kekurangan sandang, pangan dan papan yang akhirnya akan merepotkan mereka. Rasa takut atau khawatir mungkin itu salah satu penyebab kenapa kita mudah menghakimi orang lain. Dalam kasus ini janda adalah ancaman, maka perempuan-perempuan merasa terteror dengan sendirinya. Padahal tahu apa mereka-mereka yang di luar pernikahan itu, apakah mereka memahami derita si perempuan ketika masih tinggal satu rumah dengan suaminya? Betapa melelahkannya proses menjadi janda, sidang perceraian, datang berulang kali ke pengadilan, perseteruan dengan dua keluarga, hak asuh anak yang seringkali dianggap kurang adil bagi perempuan. Belum lagi jika hukumnya bisa dibeli. Untuk hal ini proses menjadi janda atau duda mungkin sama melelahkannya, namun laki-laki masih seringkali lebih dianggap benar, tidak terlalu disalahkan oleh keluarganya dan tidak ditekan pada pasca perceraian. Baru saja lewat masa idah (dalam islam) maka si janda sudah disuruh menikah lagi oleh ibunya, oleh saudara-saudara perempuannya, oleh sepupu-sepupu yang perempuannya pula. Semua itu mereka lakukan karena mereka terlampau ketakutan bahwa si janda akan “kedaluwarsa” dan tidak ada yang berminat lagi dengan si janda yang tentunya juga akan merepotkan mereka lagi. Berduyun-duyun disodorkanlah si duda dari kampung sebelah, dengan iming-iming duda keren tidak beranak dan kaya. Belum habis luka itu akibat perceraian, belum sempat rasa bebas dirasakan karena bercerai layaknya seperti lepas dari penjara, namun penjara penghakiman sudah menanti di depan mata, dan yang lebih menyakitkan lagi hal itu dilakukan oleh orang yang mengaku bernama perempuan, memiliki payudara dan vagina yang sama dengan yang si janda miliki. Jika perempuan mampu menyetarakan diri dengan laki-laki, tidak merasa harus mendapat perlindungan secara fisik, status, ekonomi dan lainnya, apa perempuan-perempuan itu masih terus ditakut-takuti? Ketidakmampuan perempuan berpikir bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab atas hidup, menjadikan mereka bergantung, menggantungkan diri pada laki-laki. Berpikir bahwa laki-laki saja yang mampu menopang kehidupan keluarga, menjadikan perempuan ketakutan, semakin khawatir dan terus akan menghamba pada siapa saja yang mampu menyelamatkannya. Di sisi lain, ketakutan perempuan kebanyakan itu seringkali diekspresikan dengan cara menekan orang lain, termasuk perempuan-perempuan lain di sekitarnya. Menjadi janda adalah dilema bagi perempuan, dilema sebuah kebebasan dan tekanan-tekanan baru yang akan muncul. Bernafas lega itu hanya satu dua detik saja, setelahnya harus mempersiapkan segala bentuk jawaban untuk beragam pertanyaan. ![]() Selama beberapa hari kemarin media sesak oleh pemberitaan muktamar baik NU maupun Muhammadiyah. Wajar saja, dua Ormas besar Islam ini sejak didirikan memang selalu mewarnai kontestasi sosial dan politik nasional, menjadi bagian dari pelopor kemerdekaan Indonesia melalui para dedengkotnya. Saya kira telah banyak yang memberi ulasan (yang terkesan kompetitif) dari masing-masing simpatisan maupun kader mengenai teduh atau gaduhnya muktamar yang kesemuanya lumayan membuat jenuh. Diskursus Islam Nusantara versus Islam Berkemajuan seperti sebelumnya pun ramai menguap begitu saja ketika muktamar tengah berlangsung. Hal yang paling membuat saya gatal adalah karena seluruh pemberitaan juga ulasan ternyata belum ada yang membubuhi analisis gender dalam perhelatan muktamar kali ini. Seolah-olah muktamar berjalan normal sedemikian adanya, jikapun ada celah kecacatan yang diwacanakan, pastilah terkait mekanisme jalannya acara atau unsur politis yang terjadi di dalamnya. Meskipun demikian, ternyata ada sedikit media online yang mereproduksi suara-suara kader perempuan di masing-masing Ormas ini dalam pemberitaannya. Norma Sari (ketua umum PP Nasyiatul Aisyiyah) beberapa hari lalu mencoba menyentil isu keanggotaan formatur dalam muktamar Muhammadiyah dan dimuat oleh beberapa media online. Kemudian kader Muslimat NU, Hj. Nihayatul Wafiroh menyinggung tentang persoalan-persoalan gender yang diharapkan bisa hadir dalam pembahasan muktamar kemarin. Jika diamati, sejak perhelatan tema muktamar digulirkan melalui diskursus Islam Nusantara vs Islam Berkemajuan rata-rata opini yang bergulir didominasi oleh kader laki-lakinya. Masing-masing saling mengkritik dengan semanis mungkin terkait tema yang ditawarkan, muaranya sebenarnya satu, yaitu menuju pada “Respon Peradaban Global” saat ini. Bagaimana masing-masing dari keduanya menawarkan konsep ber-Islam yang mampu bersinergi sekaligus menjawab tantangan globalisasi. Ada juga yang gencar mewacanakan akan merancang blue print tentang konsep Ekonomi Islam, hal ini relevan karena kita akan bergelut dengan AEC di penghujung nanti. Mengacu pada road map ASEAN Community, setidaknya ada tiga aspek yang menjadi penting untuk dihadapi yakni masalah keamanan, ekonomi dan budaya. Dalam persoalan budaya sendiri terdapat salah satu agenda penting yang harusnya senantiasa dirawat, yakni keadilan gender! Namun, menjadi paradoks ketika ormas-ormas yang kian progresif tersebut ternyata tidak satupun melibatkan perempuan dalam calon formaturnya. NU menetapkan 9 orang formatur yang tentu saja semuanya adalah para ulama laki-laki, demikian pun Muhammadiyah memilih dan menetapkan 13 calon formatur yang seluruhnya adalah kader laki-laki, meskipun dalam bakal calon formatur sebelumnya terlibat empat kader perempuan. Dimanakah kader-kader perempuan mereka? Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke muktamar jika sekadar ingin mengamati betapa masih keringnya kesetaraan gender di dalam ormas. Lihatlah pada struktur kepengurusan dari masing-masing Ormas, hampir tidak ada perempuan dalam struktural pimpinannya. Di Muhammadiyah misalnya, hanya terdapat satu perempuan yang secara ex-officio diwakili oleh ketua umum PP Aisyiyah, itu pun di bagian pemberdayaan perempuan dan anak, dan satu lagi di dalam unsur pembantu, yakni majelis DIKTInya. Biasanya konter dari isu tidak adanya keterwakilan dalam anggota tetap formatur di Muktamar ini berupa penyataan sudah adanya ruang tersendiri untuk mewadahinya. Misalnya pendapat Norma Sari yang dijawab oleh ketua umum Muhammadiyah, Din Syamsudin (dimuat di media online yang sama) yakni perempuan telah terwadahi di Aisyiyah. Dalih bahwa perempuan telah disediakan ruang di organisasi atau badan otonomnya ini justru mengindikasikan bahwa Ormas islam yang merancang agenda dakwahnya sesuai konteks perkembangan zaman ini diam-diam masih mengenderkan sebuah “ruang”. Bahwa ada wilayah laki-laki dan wilayah perempuan. Lebih menggelikan lagi ialah ketika pola yang dibangun di dalamnya membentuk suatu struktur layaknya pola keluarga. Misalnya, Muhamamdiyah berperan sebagai ayah, sementara Aisyiyah sebagai ibu yang kemudian melahirkan Pemuda Muhammadiyah sebagai anak laki-laki dan Nasyiatul Aisyiyah sebagai anak perempuan. Kemudian contoh lain adalah NU sebagai ayah, Muslimat NU sebagai ibu yang kemudian melahirkan GP Ansor (Gerakan Pemuda Ansor) sebagai anak laki-laki dan Fatayat NU sebagai anak perempuan. Jika demikian, kita lalu bisa mengidentifikasi lebih lanjut jenis relasi seperti apa yang terjalin diantara mereka, meminjam tawaran Scanzoni, apakah (1) Property Owner (2) Head Complement (3) Senior-Junior Complement, ataukah (4) Equal partnership. Untuk mengukurnya kita pun bisa melihat aktivitas dakwah politik dan kulturalnya. Mungkin kita akan sepakat bahwa memang peran ayahlah yang terlalu dominan di kancah struktural maupun kultural, dialah yang berperan sebagai kepala keluarga. Dengan begitu relasi yang dibangun masihlah lebih kepada Senior-Junior Complement. Sementara istri dibatasi pada isu-isu perempuan, celakanya lagi ketika gender masih diyakini sebagai ranah perempuan (semata). Sebenarnya bukannya tidak pernah ada perbincangan terkait perihal gender di masing-masing Ormas maha penting ini. NU dalam Munas di NTB tahun 1997 pernah menghadirkan perdebatan ini, PB NU yang sekarang menjabat adalah salah satu yang berada di pihak kepeloporan perempuan, sementara masih ada yang bersikeras meruangkan wilayah antara perempuan dan laki-laki, setidaknya ketika berlangsungnya forum itu terdapat (beberapa) perwakilan dari Muslimat dan Fatayat yang dengan tegas menjelaskan betapa butuhnya suara mereka didengar dalam perkumpulan yang luhur tersebut. Berkat Gus Dur yang mendorong keras ulama-ulama NU waktu itu akhirnya persoalan kepemimpinan perempuan dapat diterima sebagai keputusan yang didokumentasikan dalam Makanah Al-Mar’ah Fil Islam (Kedudukan Perempuan dalam Islam). Begitu pun Muhammadiyah, sejak 1975 pernah mengangkat isu gender dan lebih spesifiknya lagi tentang kepemimpinan perempuan dalam muktamarnya. Tidak berbeda jauh dengan NU, pro dan kontra masih menyelimuti forum tersebut dan karena panjangnya perdebatan tersebut, akhirnya baru di tahun 2010 saat muktamar di Malang ada keputusan tentang diperbolehkannya kepemimpinan perempuan, dan terbitlah buku Adabul Mar’ah fil Islam (Adab Perempuan dalam Islam) yang mana topik didalamnya adalah hasil perhelatan muktamar tahun 1975. Sayang sekali, masih terdapat bias yang disajikan dalam dokumen-dokumen tersebut baik Makanah Al Mar’ah Fil Islam maupun Adabul Mar’ah Fil Islam. Meskipun demikian, telah ada lompatan besar dalam perihal kesetaraan gender di masing-masing Ormas ini, yakni terbukanya peluang perempuan untuk terjun ke ranah struktural. Melalui muktamar tahun ini, kita akhirnya dapat melihat bahwa Ormas islam masihlah dalam tahap ingin menampilkan sosok perempuan pemimpin namun belum ingin mengakui kepemimpinan perempuan. Padahal Ormas sebesar NU dan Muhammadiyah yang visi misinya mendorong penuh kemajuan bangsa, tentu saja dalam program-program dakwahnya memerlukan perspektif gender, apalagi pengaruh globalisasi yang demikian masifnya hari ini membuat urusan perempuan tidak dapat diruangkan secara khusus dan masih dibatasi dengan nomenklatur “Pemberdayaan Perempuan” karena seluruh faktor dalam kehidupan dan kultur sosial kita memerlukan perspektif feminis kaum perempuan. Bukan hal mudah mendorong Ormas keagamaan untuk mengaplikasikan (bukan sekadar mewacanakan) prinsip kesetaraan itu, bukan karena tidak ada kader dengan semangat pembaharuan di dalam keduanya, namun individu-individu yang masih terjerat tafsir agama konservatif juga kultur dalam Ormas itu sendiri menjadi tameng yang tak kalah kokoh. Betapa pun revolusionernya pesan Alquran dan As Sunnah (yang menjadi instrumen utama dalam sumber hukum islam) dalam menjunjung nilai kesetaraan gender hanya akan ditepis dengan kuatnya keyakinan literal dalam interpretasi ayat. Hal ini seperti yang terjadi pada gerakan-gerakan perempuan yang berbasis keagamaan pada masa orde lama dimana mereka berada di garis keras menentang kelompok perempuan progresif seperti Gerwani, karena Gerwani (sebelum terkooptasi oleh kepentingan politik) mengusung wacana-wacana progresif yang menurut mereka membelot terhadap teks Alquran dan As sunnah, salah satunya yang paling gencar saat itu ialah poligami. Aisyiyah, Muslimat NU dan juga beberapa gerakan perempuan berbasis agama lainnya, menentang usulan Gerwani terkait aturan monogami, meskipun secara individu beberapa dari mereka mendukung. Pakem bahwa perempuan yang indah ialah yang menurut, dan telah menjadi kodrat perempuan untuk menjadi pendamping (jika bukan pengekor) laki-laki adalah pedoman yang tak bisa dilanggar. Kalaupun ingin berjuang cukuplah di ranah-ranah kultural dan privat, itulah wanita muslim yang sejati, calon bidadari surga. Setidak-tidaknya dari seluruh pemberitaan atau yang lebih mirip membanding-bandingkan antara satu sama lain, kini kita menemukan sebuah persinggungan antara keduanya, yakni baik NU maupun Muhammadiyah masihlah belum usai dalam urusan menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Anggaplah muktamar kali ini sebagai penanda (lagi) untuk kader-kader perempuan persyarikatan agar lebih giat memproklamirkan eksistensinya. Di sinilah energi dari kader-kader muda memiliki potensi lebih dalam memutus kultur patriarkat tersebut. Daftar Pustaka: Dr. Jamal Ma’mur, MA. 2015. Rezim Gender Di NU. Pustaka Pelajar. Ruhaini Dzuhayatin, Siti. 2015. “Rezim Gender dan Implikasinya Terhadap Perempuan Di Muhammadiyah”. Disampaikam dalam diskusi publik “Pandangan Muhammadiyah terhadap Perempuan” 4-7 April 2015 di UIN Sunan Kalijaga. PP Muhammadiyah. 2010. Adabul Mar'ah Fil Islam. Suara Muhammadiyah. Wieringa, Saskia. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI. Yogyakarta: Galang Press. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/02/078688518/tak-ada-calon-pimpinan-perempuan-aisyiyah-meradang http://www.antaranews.com/berita/510959/din-keterwakilan-perempuan-muhammadiyah-di-aisyiyah http://islamnesia.com/2015/08/aktivis-perempuan-nu-berharap-isu-gennder-diangkat-di-muktamar/ |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |