![]() Sesungguhnya tidak ada yang gratis dari segala sesuatu yang diperoleh perempuan. Sebut saja satu pencapaian atau kemudahan yang kita rasakan dan nikmati hari ini sebagai perempuan, maka jejak-jejak feminis ada di sana. Bila hari-hari ini perempuan memiliki hak pilih dan dipilih, dapat mengenyam pendidikan dan melek pengetahuan, mempunyai akses terhadap fasilitas dan layanan publik, memiliki undang-undang yang melindunginya dari tindak kekerasan, dan sebagainya, dan seterusnya, ini semua jelas bukan hadiah cuma-cuma yang jatuh dari langit, melainkan buah dari perjuangan panjang para feminis yang memberikan waktu, pikiran dan tenaga bahkan nyawanya bagi upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Dan bila kita berbicara tentang upaya perubahan yang dilakukan perempuan, maka tak dapat disangkal bahwa perubahan di tataran struktural lewat berbagai kebijakan, undang-undang dan peraturan yang memiliki perspektif perempuan dapat dan telah membawa kemajuan tidak hanya bagi perempuan tetapi juga masyarakat secara umum. Namun kita juga tidak dapat menutup mata bahwa ketimpangan dan ketidakadilan gender masih ada hingga hari ini meskipun sejumlah undang-undang dan peraturan yang berpihak pada perempuan telah lahir. Kita perlu menyadari bahwa perubahan struktural tidak dapat berjalan sendiri tanpa disertai perubahan di aras kultural. Dan ini bukanlah perkara mudah--karena menyangkut perubahan paradigma, cara pikir dan cara pandang kita yang selama ini seringkali melekat dengan keyakinan dan kepercayaan yang terbungkus dalam agama, norma, nilai, dan sejenisnya--tetapi bukan berarti perubahan itu tidak mungkin. Jauh sebelum kita, perempuan-perempuan hebat, para feminis telah memulai perjuangan atas kesetaraan gender, sebuah jalan panjang yang sejatinya setiap kita dipanggil untuk terlibat di dalamnya. Maka sudah selayaknya dan seharusnya kita berterima kasih kepada para feminis dengan bergandengan tangan dan membangun solidaritas. Selamat Hari Perempuan Internasional! Jakarta, 17 Maret 2014 Oleh: Wisnu Adihartono Reksodirdjo (PhD kandidat sosiologi, EHESS, Prancis) Email : [email protected] ![]() Begitu tertariknya saya dengan opini di blog Jurnal Perempuan yang ditulis oleh Tanti Noor Said tentang Perempuan Imigran di Belanda dan Redefinisi Subyektifitas yang membahas bagaimana perempuan “dipaksa” untuk tidak menjadi dirinya sendiri dalam konteks masyarakat Belanda oleh negara dan masyarakat. Tulisan Tanti mengingatkan saya kepada pemikiran seorang sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu tentang dominasi maskulin. Bourdieu menyatakan bahwa, “Les structures de domination…elles sont le produit d’un travail incessant (donc historique) de reproduction auquel contribuent des agents singuliers (donc les hommes, avec des armes comme la violence physique et la violence symbolique) et des institutions, familles, église, école, état. Les dominés appliquent des catégories construites du point de vue des dominants aux relations de domination, les faisant ainsi apparaître comme naturelles”. (Struktur dominasi…mereka adalah sebuah produk kerja sebuah sejarah yang berkontribusi dalam agen tunggal (laki-laki dengan kekerasan fisik dan kekerasan simbolik), dalam lembaga, dalam keluarga, dalam gereja, dalam sekolah, dan dalam negara. Hubungan dibangun melalui suatu sudut pandang dominan – dominasi yang tampaknya seperti apa adanya). Dominasi maskulin menghambat perempuan untuk bekerja mencari nafkah dan (tampaknya) hal inilah yang membuat resah para feminis sosialis yang memiliki akar pemikiran teori Marx. Pada umumnya, pemikiran klasik keluarga tidak dapat dihindarkan dari pembagian kerja. Suami, istri, dan anak-anak diberikan porsinya masing-masing sesuai dengan peran mereka. Suami sebagai ayah bertugas mencari penghasilan untuk membiayai keluarga, ibu sebagai istri bertugas mengelola rumah tangga, dan anak-anak dapat dikatakan sebagai tenaga kerja tambahan dengan membantu orang tuanya. Suami bekerja di luar rumah dan secara langsung terlibat dalam sistem produksi, sehingga suami adalah pelaku langsung dalam hal akumulasi penghasilan. Sedangkan posisi istri dapat dilihat sebagai posisi yang tidak diuntungkan. Pemberian posisi tertinggi kepada suami di dalam struktur keluarga memberikan posisi istri sebagai individu yang tidak dapat menghasilkan keuntungan. Dengan demikian, istri selalu didapuk sebagai individu yang hanya bergantung kepada suami. Seiring dengan perkembangan zaman, relasi suami-istri dapat saling dipertukarkan dengan mempertimbangkan prioritas ekonomi di dalam keluarga tersebut. Peran pencari nafkah dapat dipertukarkan sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan produksi ataupun tidak. Maksudnya disini adalah ketika sang suami tidak dapat lagi dijadikan topangan untuk hidup atau sang suami bekerja dengan upah yang kecil, sang istri memiliki inisiatif sekaligus kewajiban untuk membantu keluarga. Pun walaupun suami sudah bekerja dengan upah yang tinggi, sang istri diizinkan bekerja untuk kebutuhan hidup sang istri sendiri, sehingga sang istri tidak terus menerus bergantung kepada suami. Perempuan Migran Indonesia di Prancis Di Eropa, atas dasar hukum Eropa, tidak ada perbedaan pemberlakuan kerja antara perempuan berkewarganegaraan setempat dan perempuan berkewarganeraan asing. Perempuan dianggap sama statusnya dengan laki-laki dalam kemampuannya mencari nafkah. Selama saya berkesempatan meneruskan studi di Prancis, tepatnya di Marseille, daerah yang terletak di bagian selatan Prancis, secara iseng-iseng saya sempat mengobrol dengan beberapa ibu-ibu muda Indonesia yang menikah dengan pria berkebangsaan Prancis. Pertanyaan yang dibangun tidak direncanakan oleh penulis sehingga terkadang terjadi random questions. Keingintahuan penulis hanya didasarkan kepada apa yang dirasakan oleh perempuan warga negara Indonesia ketika mereka menikah dengan pria berkebangsaan Prancis. Berikut petikan wawancara penulis dengan salah satu perempuan migran Indonesia, sebut saja namanya Dewi, Penulis (P): “Bagaimana mbak hidup di Prancis? Sudah senang dan nyaman ya? Kapan mbak pindah ke Prancis?” Dewi (D): “Ya beginilah mas…nyaman dan enak tapi kadang kangen juga dengan Indonesia. Di sini semua serba praktis. Saya pindah ke Prancis tahun 2005, ikut suami saya yang warga negara Prancis.” P: “Mbak bekerja di Prancis?” D: “Iya bekerja paruh waktu aja mas di rumah makan cepat saji.” P: “Honornya lumayan dong ya mbak?” D: “Hahahahahaha (sambil tertawa lebar) ya begitulah mas. Gak juga sih. Sebulan bisa dapat sekitar 300 sampai 350 Euro-an. Cukuplah untuk sehari-hari di kota ini. Kalau di Paris pasti gak akan cukup. Ya paling tidak bisa jajan tanpa minta suami lah mas, walaupun kadang suami juga masih kasih, kalau saya minta pun pasti dikasih.” P: ”Suami mbak mengijinkan mbak untuk bekerja ya?” D: ”Oh iya mas. Dulu sesampainya saya di Prancis saya sama sekali tidak bekerja. Saya hanya mengandalkan suami. Tetapi saya berkenalan dengan beberapa orang Indonesia yang juga bersuamikan orang sini. Mereka banyak bekerja dan dapat uang. Saya terpicu untuk bekerja juga. Saya pikir sangat lumayan bisa mendapatkan uang sendiri, walaupun pekerjaan yang saya jalani cukup berat. Bagi saya pendapatan per bulan kecil sih tidak terlalu masalah, yang penting saya bisa bekerja dan mendapatkan uang sendiri. Ya itu tadi, saya jadi bisa nabung untuk belanja di musim sale mas. Lumayanlah mas.” Kebanggaan memiliki pekerjaan sendiri, baik itu penuh atau paruh waktu, dengan pendapatan yang walaupun tidak terlalu besar, membuat perempuan merasa dirinya dihargai oleh laki-laki. Obrolan saya dengan mbak Dewi memberi perspektif baru bahwa perempuan juga layak bekerja, paling tidak apabila suami masih memberikan nafkah ekonomi, pendapatan mereka bekerja dapat digunakan untuk diri sendiri. Obrolan dengan mbak Dewi juga membuka perspektif bahwa pernikahan dengan warga negara asing, yang disengaja atau tidak disengaja, memberi dampak majunya pemikiran perempuan Indonesia. Salah satunya adalah kesadaran bahwa dengan menikahi warga negara asing yang kebanyakan sudah sadar akan kesetaraan, mereka dapat bekerja penuh atau paruh waktu untuk diri mereka sendiri dan sesekali apabila ada pendapatan lebih, dapat dikirimkan ke Indonesia untuk kebutuhan hidup keluarga besar di Indonesia. Bagi perempuan warga negara Indonesia, kepindahan ke Prancis memiliki tiga alasan tersendiri, pertama rasa cinta terhadap suami, kedua turut menopang keluarga di Indonesia, dan ketiga tingginya kesadaran bahwa perempuan sanggup untuk bekerja. Bagi mbak Dewi, menjalani kehidupan berkeluarga di Prancis dengan bekerja dan mengurus keluarga adalah sebuah hal yang harus dinikmati. Gejala ini memberikan gambaran bahwa dari sudut pandang migrasi internasional, kepindahan mereka ke luar negeri, dapat memberikan dampak positif dan bukan melulu dampak negatif seperti pelacuran ilegal, pelecehan seksual, pemerkosaan, kerja paksa, dan lain sebagainya. Pertemuan perempuan-perempuan Indonesia yang kemudian menikah dengan warga negara asing, memicu satu kesadaran tersendiri bahwa bekerja, baik itu penuh atau paruh waktu adalah hal yang baik. Bekerja bagi mereka tidak saja dimaknai sebagai pemikiran perempuan modern, tetapi juga sebuah kenikmatan (plaisir). Bekerja dan mendapatkan penghasilan yang juga tidak terlalu besar, dilihat sebagai sebuah pencapaian dalam hidup mereka. Dengan penghasilan tersebut mereka dapat membeli keperluan mereka sendiri, bahkan dapat menyisihkan sedikit penghasilan mereka ke Indonesia. Bagi mereka kemampuan bekerja untuk mendapatkan penghasilan adalah sebuah prestasi dan kebanggaan tersendiri sebagai seorang perempuan. Tentunya pemberian izin kerja tetap dikompromikan dengan suami mereka karena sejatinya apabila tidak ada kompromi diantara kedua belah pihak, maka ketimpangan dalam relasi sosial akan terus terjadi. Tanpa memiliki pretensi untuk melihat laki-laki Prancis sebagai semua laki-laki yang sadar akan kesetaraan, paling tidak mereka memiliki sudut pandang yang berbeda dengan laki-laki Asia. Laki-laki Prancis beranggapan bahwa perempuan berhak untuk berkarya dalam bidang apapun dan sekecil apapun. Dengan upah tinggi maupun dengan upah yang tidak tinggi. Laki-laki Prancis setidaknya memahami makna kesetaraan dalam berelasi dengan pemberian izin bekerja kepada pasangan hidupnya, sehingga istri memiliki kebanggaan untuk bisa menunjukkan otonomi dan kemandiriannya dalam rangka memaknai hidup. Dewasa ini, perempuan mengalami perubahan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat pos-tradisional. Perempuan dituntut untuk bisa berubah dalam semua kerangka kehidupan. Perempuan yang berotonomi dan mandiri diawali dengan kecerdasan untuk dapat mengerjakan segala sesuatu dengan tangkas. Sekecil apapun yang mereka kerjakan dan sekecil apapun upah yang mereka terima, kebanggaan ada di dalam diri mereka masing-masing, kebanggaan untuk dapat bekerja dan tidak melulu bergantung kepada suami mereka. Marseille, 17 Maret 2014 Oleh: Mariana Amiruddin |
Manusia tidak pernah bisa menyangkal bagaimana mereka bisa amat berhasil melipatgandakan kapital. Melipatgandakan keuntungan, harta kepemilikan, atau keturunan. Manusia adalah spesies binatang paling berhasil dalam mengenali alam—mengidentifikasi, membuat kategori-kategori, menyusun kegunaannya dan bahaya-bahayanya, kemudian memberikan label-label komoditas dari temuan-temuannya. Tak hanya mineral bumi yang berhasil ditemukan, batu-batu dan logam mulia, marmer, dan lain-lain merupakan kegemilangan manusia dalam mengenali lingkungannya. Jika dahulu, Bumi adalah Ibu yang misterius, menyeramkan, begitu pengampun, begitu rahasia; sekarang Bumi bak “pelacur” yang dieksploitasi, yang dilacurkan mana-suka, atau diperjualbelikan mana-suka, atau dikendalikan pada anatomi tubuh tertentu, atau diperdagangkan dengan cara-cara yang amat kasar dan serakah. Metafora atas Bumi, atas Binatang diidentikkan dengan metafora terhadap Perempuan. |
Manusia mengira bahwa akumulasi kapital dapat melipatgandakan kebahagiaannya. Mitos bahwa kebahagiaan adalah apa-apa yang bisa dimilikinya (kerap disebut properti), membuat manusia lupa bahwa kepemilikan memiliki batas-batas ekologisnya. Bahwasanya penegakan rumah-rumah di pinggir sungai harus menghormati eksistensi kehidupan sungai sebagai sumber kehidupan yang harus menjadi kesalingtergantungan bersama, atau kerap disebut properti publik, dengan terminologi lebih komprehensif sebagai public goods. Manusia banyak mempelajari dan mengembangkan struktur keilmuan tentang batas-batas properti antara satu manusia dengan manusia yang lain, tetapi manusia tidak memiliki perangkat epistemologis yang memadai menandai batas-batas properti antara dirinya, spesies binatang lainnya, tanaman, tumbuhan, pohon, hutan, udara, air, dan lain-lain yang disediakan secara “gratis” oleh Ibu Bumi. Manusia boleh disebut sebagai binatang paling buas yang paling serakah mengkonsumsi Ibunya sendiri, Bumi. Lalu dengan akumulasi kapital yang demikian besarnya, apakah lantas kemudian manusia jauh lebih bahagia dari sebelumnya? Jauh sebelum mesin-mesin diciptakan? Jauh sebelum manusia mengenal gadget-gadget? Manusia mungkin bisa mengklaim bahwa dirinya jauh lebih bahagia sekarang. Tetapi manusia sekarang saling berdesakan, mudah saling memaki, mudah saling mengeksploitasi, mudah saling mencurigai, mudah saling mengelabuhi, mudah saling memusuhi. Manusia juga mudah dan rentan terkena penyakit, manusia juga mudah sekali terkena depresi, dan lain-lain.
Dengan semakin tingginya migrasi manusia dari desa-desa ke kota-kota (catatan beberapa kajian studi kota mengingatkan bahwa hampir 85 persen penduduk dunia tinggal di kota), manusia dihadapkan pada tiga persoalan mendasar atas ruang, konsumsi dan mobilisasi. Ketiganya membutuhkan eksploitasi besar-besaran dari suatu wilayah tertentu. Misalnya konsumsi air mineral sebuah kota dapat menghancurkan mata air desa-desa tertentu yang menjadi satelitnya. Atau eksploitasi anak-anak dan perempuan sebagai buruh murah dan pekerja seks dalam jaring perdagangan manusia, merupakan wajah buruk bagaimana manusia tidak hanya mampu mengeksploitasi binatang dan alam, tetapi juga sesamanya terutama para Liyan (perempuan, minoritas seksual, difabel, kelompok miskin kota, dll.). Kebuasan manusia ini jelas mengalahkan kebuasan singa, harimau, atau serigala yang diklaim sebagai maha buas oleh manusia. Bagaimana kemudian kebahagiaan didefinisikan jika kemudian mitos dan mimpi-mimpi tentang kebahagiaan manusia itu masih berkutat pada akumulasi kapital dan properti? Bagaimana manusia memahami pemberangusan alam, pembunuhan hewan-hewan langka, pembalakan hutan-hutan? Pertanyaan terakhir ini adalah pembunuhan besar-besaran manusia atas alam yang disebut sebagai “ekosida”. Dalam perubahan iklim yang demikian ekstrem, kelangkaan pangan organik, kelangkaan udara bersih, kelangkaan ruang, apakah kemudian manusia telah dan akan sungguh-sungguh bahagia?
Surakarta, 26 Februari 2014
![Picture](/uploads/1/2/2/0/12201443/4088090.jpg)
Meskipun makna dari nama Mo Yan, Penerima hadiah Nobel sastra tahun 2012, adalah “tanpa kata-kata” atau “keheningan”, tetapi dia adalah pemilik dari semesta kata-kata. Bagaimana teksnya menyerupai ledakan-ledakan kreativitas sekaligus keberanian mendiskusikan perihal paling tabu di negaranya. Dimensi ledakannya dapat disaksikan dari bagaimana dia menyatukan cerita rakyat, sejarah dan kekinian dalam sebuah halusinasi kritis. Kemiskinan yang mendera orang-orang di desanya telah memenjarakan kata-katanya dengan kesederhanaan penceritaan dan penjudulan seperti dalam The Red Sorghum Clan dan Frog. Frog merupakan salah satu karya penting dalam mengkritisi kebijakan satu anak yang dimulai di Cina sejak 1979. Frog mengisahkan tentang bidan desa yang sebelum tahun 1979 dianggap sebagai Peri Penyelamat karena membantu kelahiran bayi-bayi di desanya. Dia begitu dicintai dan disayangi. Namun setelah kebijakan satu anak diterapkan, sebutan itu berubah menjadi Kuntilanak jahat pengambil nyawa bayi-bayi karena dia dipaksa pemerintah untuk mengaborsi bayi kedua, ketiga, dan lain-lain. Di samping itu juga dipaksa oleh ayah-ibunya si bayi sendiri untuk mengaborsi bayi jika ketahuan anak perempuan. Bayi-bayi yang mengambil metafora sebagai kodok-kodok (frogs) itu kemudian menghantui tidur-tidur si Bidan Desa.
One-Child Policy ini paling tidak telah mengakibatkan hilangnya bayi-bayi perempuan di Cina sejak saat itu. Akibat kebijakan ini, banyak unit keluarga memilih menggugurkan anak perempuan yang dikandung. Bahkan sekarang, konon, Cina harus “mengimpor” istri dari perempuan-perempuan di negeri tetangganya, seperti Vietnam, Kamboja, Thailand. Kehilangan anak perempuan di Asia ini tidak hanya didominasi di Cina tetapi juga di Jepang, meski modern sekalipun, juga India—yang kemudian melarang scan bayi-bayi di desa-desa terpencil karena aborsi anak perempuan ini akan mengganggu keseimbangan populasi. Occido (Latin) merupakan terma yang digunakan untuk menyampaikan makna “untuk membunuh”, yang dalam bahasa Inggris dikenal sufiks –icide, seperti misal pada kata genocide, homicide, infanticide, matricide, gendercide, dan lain-lain. Media internasional seperti the Economist, the Guardian, TIME, Al Jazeera, The New York Times, Le Mon Diplomatique, der Spiegel dan lain-lain juga telah memperkenalkan istilah baru sebagai selective gender abortions atau sex selection abortions yang kesemuanya mengarah pada aborsi anak perempuan karena sistem kebudayaan yang memandang anak laki-laki sebagai yang harus dilahirkan pertama, atau paling tidak, menjadi satu-satunya pembawa keberuntungan dalam sebuah unit keluarga.
Di India telah ditemukan jutaan bayi perempuan digugurkan karena dia perempuan,karena keluarga keberatan untuk membayar dowry (mahar nikah yang diberikan oleh mempelai perempuan pada mempelai laki-laki). Jika terbukti murah, maka mahar itu akan menakdirkan si anak gadis mati mendadak, apakah terbakar di dapur, atau disiram wajahnya dengan air keras, dan lain-lain. Unit-unit keluarga miskin, terutama, mengalami trauma-trauma ini sehingga memilih mengaborsi anak perempuannya. Kejahatan kemanusiaan ini juga terjadi di Cina dan Jepang yang kebudayaannya masih menjunjung mitos bahwa anak laki-laki lebih berharga dari anak perempuan. Rita Banerji merupakan salah satu feminis penting yang melawan praktek-praktek ini dengan mengkampanyekan “The 50 Million Missing Campaign to End Female Gendercide” di India.
Femicide atau Gendercide yang dapat kita Indonesiakan sebagai Femisida atau Gendersida adalah usaha pembunuhan masal terhadap bayi perempuan, anak-anak perempuan, atau perempuan dewasa disebabkan oleh praktek-praktek kebudayaan misoginis yang dilakukan tidak hanya oleh laki-laki tetapi juga perempuan. Dus pembunuh perempuan bukan melulu laki-laki tetapi sistem kepercayaan, sistem pandangan dunia, sistem kebudayaan, dan turunan ritual-ritualnya serta eksekusi praktek sosialnya dalam usaha memberangus gender Liyan tersebut. Bahkan yang paling buruk adalah penghilangan terhadap gender ketiga (LGBTIQ), mereka dianggap tidak ada dan tidak boleh ada, maka sah untuk dibunuh, seperti kasus pembersihan etnis Yahudi oleh Hitler—dia juga dicatat sejarah telah membersihkan gender ketiga. Femisida memiliki bentuk-bentuknya yang beragam, yaitu aborsi, membunuh demi membela kehormatan keluarga, serangan air keras sekaligus pembunuhan, pembakaran dukun-dukun perempuan yang dianggap berbahaya (ini bahkan masih hidup dalam mitos-mitos film produksi Hollywood), foeticide, dan kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian, konflik komunal dengan memperkosa anak-anak perempuan sekaligus membunuhnya seperti yang terjadi di Rwanda, dan lain-lain.
One Billion Rising yang artinya adalah Satu Milyar Bangkit (www.onebillionrising.org) yang memiliki motto (Strike, Dance, Rise!) yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari setiap tahunnya sejak 2012. Aksi ini adalah sebuah kampanye untuk melawan segala bentuk pelecehan, siksaan dan percobaan pembunuhan terhadap perempuan secara global. Siapa pun yang ingin terlibat dapat berkumpul dan menari bersama sebagai bentuk protes untuk melawan segala bentuk kejahatan tersebut. Angka “satu milyar” merujuk pada data dari statistik PBB bahwa setidaknya ada satu dari tiga perempuan di dunia mengalami pelecehan, serangan, siksaan, perkosaan dan pembunuhan dalam hidup mereka. Gerakan ini sebelumnya dikenal sebagai V-Day. Tahun lalu rally serupa telah diadakan di kurang lebih 190 negara, termasuk Indonesia. Jurnal Perempuan mengucapkan Mari Bangkit Melawan!
Surakarta, 14 Februari 2014
![Picture](/uploads/1/2/2/0/12201443/6744033.jpg)
Lukisan yang menjadi cover Edisi No 80 Tubuh Perempuan dalam Ekologi kali ini adalah “Tiga Tubuh Tanah” (akrilik di atas 140cmx140cm kanvas, tahun 2013) karya Idris Brandy. Tanah yang melahirkan segala makanan melalui tumbuhan dan mengandungkan air untuk tubuh, demikian juga, tubuh-tubuh bangkai yang memberikan gizi kesuburan pada tanah setelah kematiannya. Tubuh dan tanah adalah dua perihal yang merupakan rangkaian reinkarnasi dan melambangkan keterhubungan yang lekat. Seharusnya antara keduanya tak ada hirarki. Tetapi kebudayaan manusia meniscayakan di dalam dirinya fasisme manusia atas alam, hirarki tubuh atas tanah. Dan dia meletakkan tanah, binatang, perempuan dalam sistem “pelayanan” (services) atas idealitas kemanusiaan dan sebagai “sumber daya” (resources). Hubungan yang setara antara tubuh dan tanah, sebelumnya, tak lagi setara. Bahkan, binatang dan perempuan, dicap sebagai liar dan buas. Maka perlu ditundukkan, diatur, dan dieksploitasi sesuai dengan kebutuhan peradaban. Kata-kata “buas” dan “predator”, bahkan disematkan sebagai bentuk reduksi dan negativitas atas fungsi penting mereka terhadap keseimbangan alam. Peradaban mengenal makian-makian berikut: Dasar Anjing! Son of a Bitch! Lonthe! Asu! Bahkan tahi manusia yang menyuburkan juga menjadi basis makian dalam Shit! Bahasa manusia dibentuk berdasarkan pola-pola kekuasaan yang top-down dan hirarkis, dimana mekanisme, fantasi, dan subjektivitas manusia dibangun atas “bahaya” dan “ancaman” dari alam, binatang buas dan perempuan. Dus lahirlah diksi “bencana alam”. Dus hewan yang liar dan berbahaya, dalam hal ini adalah juga perempuan (misalnya melalui sunat), perlu dijinakkan, atau jika perlu diberangus supaya tidak membahayakan peradaban—kita mengenal beberapa banyak hewan mulai menjelang punah, sebagai contoh Harimau Sumatera, Serigala Siberia, Cheetah Iran, berbagai Burung Tropis Eksotis dan masih banyak lagi. Konsepsi reduksionis ini telah membawa ikutan-ikutan dan resiko ketidakseimbangan alam yang justru membawa ancaman dan kerusakan ekologis. Sifat-sifat keberbahayaan hewan telah menjustifikasi manusia untuk melakukan eksploitasi masif demi perikehidupan dan kemakmuran peradaban sang manusia.
Sebelumnya spesies manusia mengenal baik kondisi alam dan tanda-tandanya ketika alam mengabarkan berita-beritanya kepada manusia. Akan tetapi dengan semakin berkembanganya manusia dengan peradaban, dengan kebudayaannya, manusia semakin jauh dari alam. Spesies manusia membangun kebudayaan tanpa alamnya (culture without nature), dan manusia tak lagi sensitif terhadap swara alam. Bahkan pandangan dunia manusia telah menghilangan alam dalam axis mundi-nya. Alam tak lagi pusat wacana manusia. Manusialah, yang sekarang, menjadi pusat wacana bagi ekosistem. Dan lebih mengerikan, manusia menolak tubuhnya sendiri, dan hidup secara tidak organik. Manusia tergantung pada mesin-mesin, pada obat-obat, pada alat-alat, dan tubuh manusia berubah menjadi perkakas bagi egonya. Visi ini menjadi demikian destruktif terutama di negara-negara yang sedang berkembang, yang dilimpahi dengan kekayaan alam tak terbatas, seperti Indonesia. Tahun 2013 ini catatan kehilangan hutan di Indonesia merupakan catatan kehilangan terbesar dalam abad ini. Semuanya dipicu oleh pandangan dunia manusia yang tak lagi menjadikan alam sebagai pusat wacana karena alam adalah sumber kapital, tak lebih, tak kurang. Ini adalah kejahatan yang tak terpemerikan, yang tak terpemanai lagi, karena sesungguhnya manusia tak memiliki kesanggupan mengganti hutan itu, secara keseluruhan, dalam hitungan hidupnya. Manusia butuh generasi bergenerasi untuk dapat menumbuhkan kembali hutan. Ratusan tahun lamanya—minimal 300 tahun untuk membuat tanah subur kembali, dan manusia tak mampu melakukannya sendirian kecuali bahwa dia menitip warisan kepada anak cucunya untuk melakukan itu secara berjenjang, secara bergenerasi. Sementara peradaban manusia merusak kesuburan tanah hanya dalam hitungan hari, bahkan detik!
Eksploitasi berlebih atas Bumi, atas Alam, juga piaraan atas hewan dengan cara-cara tak “manusiawi” (“hewani”) merupakan penanda bagaimana spesies manusia tak lagi mengenal tubuhnya sendiri sebagai salah satu spesies binatang yang tak bisa hidup tanpa mereka. Tubuh manusia, sesehatnya, adalah tubuh yang hidup dalam harmoni dengan alam. Tubuh-tubuh manusia sekarang berubah menjadi perkakas, menjadi mesin, bagi egonya, yang tak lagi digubris atau diurus oleh akal manusia sendiri untuk hidup alamiah bersama alam, bersama binatang, bersama ekosistem. Dus ada persoalan politis yang masuk dalam kesadaran ekologis manusia ketika itu menyangkut pandangan dunianya. Kesadaran ini tidak bisa dibangun tanpa membangun terlebih dahulu konstruksi alam dan deklarasi kesaling-tergantungan manusia (intra-inter-dependence). Rekonsiliasi antara manusia dan non manusia dan kekuasaan hegemonik spesies manusia ini sudah terbangun demikian kuat dalam struktur sains modern, dimana ilmu pengetahuan menjadikan alam sebagai “objek penelitian”, kemudian “objek eksploitasi” karena dia menawarkan “kapital”. Pengalaman-pengalaman spiritual atas alam, sensitifitas manusia atas alam, kemudian tak lagi masuk dalam hitungan nomenklatur kebudayaan dari berpengetahuan. Tubuh—sebagai manifestasi tanah—tak lagi bermakna bagi manusia, selain sebagai kapital dan perkakas ego.
CATATAN AKHIR TAHUN JURNAL PEREMPUAN: KUALITAS, KEMANDIRIAN DAN UPAYA MERAIH MASYARAKAT LUAS
24/12/2013
![Picture](/uploads/1/2/2/0/12201443/1688627.jpg)
Tahun 2013 adalah tahun yang penuh tantangan, diantaranya bagaimana organisasi ini mampu meningkatkan kualitas penerbitan Jurnal dengan memikirkan penyebarannya, serta mengembangkan kemandirian organisasi secara finansial.
Jurnal Perempuan sejak tahun 1996 adalah jurnal feminis pertama yang terbit secara reguler dibaca umum. Bukan hal menerbitkan jurnal, apalagi menjualnya. Di Indonesia, jurnal masih dianggap tidak diminati oleh masyarakat, dengan alasan kurangnya minat baca atau terlalu berat sebagai bacaan. Benarkah demikian? Tahun 2013 kami telah membuat strategi untuk menjawab pandangan tersebut.
Upaya dan Strategi
Kami percaya bahwa knowledge is power dan pemberdayaan manusia tidak mungkin tanpa pengetahun dan pendidikan. Kami merancang strategi keberlanjutan Jurnal Perempuan dengan selalu melihat visi, misi dan tujuan organisasi ini didirikan. Tahun 2013 kami telah menaikkan kualitas publikasi dan jumlah pelanggan. Upaya lainnya adalah penerbitan baru Jurnal dalam bentuk elektronik (E book atau E JP), buku, dan Jurnal Perempuan berbahasa Inggris bernama Indonesian Feminist Journal. Kami juga memperlebar beragam kerjasama dan jaringan di kalangan pemerintah, perusahaan, institusi pendidikan, dan strategi promosi diantaranya mengaktifkan sosial media dan memperbaharui website, serta menerbitkan newsletter dan info-info seputar produk Jurnal Perempuan secara online. Dalam kegiatan pendidikan, Jurnal Perempuan mengaktifkan kembali kegiatan training gender bekerjasama dengan institusi lain.
Upaya-upaya tersebut ternyata membuahkan hasil dan kami lebih mengenal siapa sasaran pembaca Jurnal Perempuan, diantaranya para pembuat kebijakan, politisi, akademisi, mahasiswa, LSM lokal maupun internasional, dan kini perlahan pada perusahaan atau kelompok profesional. Hal itu dapat kita lihat dari data individu dan institusi yang bersedia menjadi donatur dalam program Sahabat Jurnal Perempuan (SJP). Hal tersebut dapat kita temukan setiap kali diadakan acara Gathering SJP. Melalui Ghatering SJP, anggota SJP diberikan ruang untuk saling bertemu dan saling berbagi tentang isu-isu perempuan. SJP adalah agen sosial yang ikut menyuarakan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.
Tahun 2013 jumlah anggota SJP meningkat. Bila tahun 2012 terdapat 205 orang, sampai pertengahan bulan Desember 2013, terdapat 445 yang berdonasi melalui SJP, termasuk insitusi pemerintah, LSM dan perusahaan. Ini menunjukkan bahwa kira-kira dalam satu tahun, sangat mungkin untuk pertambahan anggota SJP lebih dari 100 orang. Artinya, tidak sedikit masyarakat yang membutuhkan bacaan bermutu yang menganalisis persoalan perempuan dan gender melalui penerbitan Jurnal Perempuan.
Hal-hal yang Mendukung Kesuksesan
Kualitas, konsistensi dan hubungan yang intensif dengan member SJP serta pembaca umum, dapat membangun komitmen yang kuat antar pihak-pihak pemangku kepentingan, serta masyarakat umum, dan menjadikan mereka sebagai agen-agen penyambung misi dan visi Jurnal Perempuan. Penerbitan terbaru seperti JP bahasa Inggris (Indonesian Feminist Journal) dapat memenuhi pasar pembaca Internasional yang membutuhkan data mengenai isu perempuan di Indonesia. Penerbitan JP versi elektronik, yang bertujuan meraih pembaca virtual.
Dalam hal kualitas konten dalam produk, kami telah memiliki para ahli yang duduk di Dewan Redaksi, Redaksi dan Mitra Bestari. Mereka bersedia untuk menjadi semi-relawan bahkan relawan penuh untuk membantu kualitas isi Jurnal Perempuan dan kegiatan pendidikan. Kami juga mengajukan akreditasi untuk mengejar legalisasi kualitas tersebut dan dapat diakui secara intelektual dan akademis. Kami ingin Jurnal Perempuan ikut memberikan kontribusi membangun khazanah pengetahuan feminisme dan gender di Indonesia.
Dalam kebutuhan data, dokumentasi, komunikasi dan administrasi, YJP memiliki staf pendukung melalui jobdesk masing-masing. Jobdesk staf adalah faktor-faktor yang sangat diperlukan untuk mendukung keberlangsungan organisasi, yaitu dengan bertanggungjawab penuh melaksanakan tugas-tugasnya. Jumlah staf kami tidak banyak yaitu hanya 8 orang termasuk manajemen. Namun Jurnal Perempuan juga dibantu oleh tenaga magang dan relawan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan.
Tema yang Diusung tahun 2013
Kita sering menemukan rubrik konsultasi untuk menjawab banyak pengaduan perempuan mengenai rumah tangga dan karier, terutama di majalah-majalah populer. Persoalan ini tentu sangat klasik, namun, hal itu masih dialami oleh banyak perempuan terutama yang memilih untuk berkarier saat berumah tangga. Masalah seksualitas dan tubuh perempuan juga masih menjadi tema yang banyak diperbincangkan tahun ini, diantaranya yang berhubungan dengan agama. Tahun ini Jurnal Perempuan menyajikan tema “Karier dan Rumah Tangga” di edisi 76 dan “Agama dan Seksualitas” di edisi 77.
Istilah karier memiliki arti perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan seseorang, baik dalam hal pengakuan, pekerjaan ataupun jabatan. Hal-hal tersebut menunjang atau memberikan harapan seseorang untuk maju. Perempuan yang berkarier adalah perempuan yang ingin mencapai kemajuan sesuai dengan keahlian dan minatnya, serta akan mendatangkan kemajuan dalam kehidupannya. Namun makna karier menjadi persoalan ketika dibenturkan dengan perasaan bersalah perempuan atas julukan isteri atau ibu yang tidak baik.
Persoalan perempuan masih tidak lepas dari tubuhnya dilihat dari mata “orang lain” bukan dari mata dirinya sendiri. Terutama bagaimana agama menerjemahkan tubuh perempuan yang didudukkan sebagai yang sakral, atau sebagai yang profan. Hampir seluruh agama samawi (Semitic Religions), seperti Judaisme, Katolik, Kristen, dan Islam, beserta sempalan di masing-masing tubuh agama, seksualitas manusia selalu dikaitkan dengan moralitas. Definisi dasar dari moralitas bahkan dimulai dari seksualitas manusia sekaitan dengan interaksi manusia dalam masyarakat. Setiap agama modern tersebut memiliki ekspresinya sendiri atas: seksualitas, moralitas dan etika. Kontrol terhadap seksualitas perempuan tidak hanya berumur ratusan tahun, tetapi jutaan. Doktrin agama dan sistem kepercayaan yang mengontrol seksualitas perempuan, seperti sunat dengan pemotongan habis klitoris, atau sebaliknya melacurkan tubuh perempuan atas nama kesucian candi, tidak bisa lagi dipercayai benar-benar melindungi perempuan. Doktrin tersebut justru membahayakan perikehidupan perempuan.
Tema Rumah Tangga dan Karier serta Seksualitas Agama menjadi tema hal yang paling pribadi dan hanya semata-mata dialami oleh perempuan. Kajian-kajian mengenai dua tema tersebut pada tahun 2013 sangat diminati oleh pembaca masyarakat umum.
Selain tema karier dan seksualitas, Jurnal Perempuan juga mengangkat isu “Gender dan Teknologi”. Sedikit sekali mendengar ketokohan perempuan dalam bidang sains dan teknologi. Seringkali perempuan disebut sebagai kaum yang “gagap teknologi”. Padahal, pengguna teknologi mulai banyak dilakukan perempuan, apalagi teknologi informasi. Namun sejauh mana teknologi dapat berpihak pada kehidupan mereka? Jurnal Perempuan mengkaji bahwa banyak tokoh-tokoh perempuan dibidang teknologi dan sains, dan mereka mendapatkan pengalaman khusus sepak terjangnya di bidang teknologi.
Teknologi komunikasi saat ini sudah banyak digunakan oleh perempuan untuk kebutuhan sehari-harinya seperti bekerja di rumah, ekspresi pribadi, maupun berjejaring dengan teman-temannya untuk berbisnis atau sekedar berkomunitas. Teknologi sudah dapat dirasakan oleh perempuan kota, terutama kelompok urban. Di desa-desa yang sudah cukup maju, teknologi juga tidak asing lagi. Gadget, internet, media sosial, blog, website saat ini sudah banyak digunakan. Namun ada yang kurang dari fenomena kemajuan teknologi ini, adalah bagaimana secara khusus dapat memberdayakan perempuan dan membuat hidup mereka lebih baik.
Menjelang Pemilu tahun 2014, Jurnal Perempuan mengangkat tentang “Pemilu dan Keterwakilan”, sekaligus memantau bagaimana partisipsi perempuan menjelang pesta demokrasi nanti, serta apa hambatan mereka. Perempuan Indonesia telah banyak mengalami dan juga menjadi saksi bagaimana pertumbuhan kepemimpinan perempuan mengalami pasang dan surutnya. Tahun 1928 merupakan pertemuan Kongres Perempuan Indonesia pertama yang melahirkan banyak aktivis dalam ranah kepemimpinan dalam level elit politik menuju dan mempersiapkan Indonesia yang merdeka dan independen. Tahun ini juga menandai bagaimana diskursus feminisme disemaikan secara formal dalam rumah kosa kata kepemimpinan nasional Indonesia. Pemilu terakhir di tahun 2009, perempuan menduduki 19 persen dari keseluruhan kursi di parlemen. Dari semua Pemilu tersebut, Indonesia terbebas dari rasa takut dan kekerasan. Tetapi siapa yang berpartisipasi, siapa yang mewakili, dan bagaimana suara perempuan dalam demokrasi baru Indonesia masih menjadi pertanyaan sampai dengan sekarang? Tantangan multidimensional yang dihadapi perempuan dalam politik dalam skala lebih besar adalah adanya sistem dan struktur politik yag bias dan diskriminatif dalam praktek Pemilu dan administrasi Pemilu. Persoalan inilah yang dikaji oleh Jurnal Perempuan edisi terakhir dalam tahun 2013.
Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris adalah terbitan baru yang hadir di tahun 2013 dan menjadi sangat spesial. Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris dinamakan oleh Redaksi Jurnal Perempuan sebagai Indonesian Feminist Journal (IFJ). IFJ diterbitkan untuk target masyarakat internasional, dan tahun ini sedang menjajaki penjualan kepada ekspatriat dan kemungkinan ke luar negeri. Dalam edisi pertama ini , IFJ menyajikan berbagai macam karya beberapa pemikir feminis Indonesia. Perdebatan tentang feminisme dan perspektif feminis dalam masyarakat Indonesia telah berkembang selama Era Reformasi, terkait dengan isu-isu demokrasi dan keadilan yang lebih luas.
Demikianlah kerja kami di tahun 2013, tidak ada keberhasilan tanpa strategi, gairah kerja dan kesungguhan. Kami berharap lebih maju lagi di tahun mendatang, dan dapat memberikan kontribusi yang lebih bagi masyarakat dalam penyediaan pengetahuan feminis, pengetahuan perempuan
![Picture](/uploads/1/2/2/0/12201443/533645.jpg)
Dunia saat ini sedang memikirkan soal Suriah yang diyakini pemerintahnya menggunakan senjata kimia pada tanggal 21 Agustus lalu, sehingga menewaskan 1429 orang termasuk anak-anak di Ghouta timur, dekat Damaskus. Senjata kimia dapat memusnahkan manusia dan membuat korban dalam keadaan mengenaskan. Ini tentu berita yang mengejutkan dunia internasional dan sangat memprihatinkan. Jadi tentu wajar kalau soal senjata kimia ini menjadi pusat perhatian dan diskusi yang amat penting. Senjata jenis ini membahayakan dunia dan mematikan.
Di Indonesia saat ini juga ada sekelompok orang yang peduli dengan persoalan “senjata”. “Senjata” ini diyakini membahayakan budaya Indonesia bahkan katanya NKRI. Oleh sebab itu, berbondong-bondonglah sekelompok orang-orang tersebut menentang penggunaan “senjata” yang diyakini dimiliki para perempuan cantik Miss World. Apakah “senjata” Miss World yang sangat ditakuti oleh sekelompok orang-orang tersebut?
FUI (Forum Umat Islam) yang berdemo tanpa lelah dan senang mengancam perempuan-perempuan cantik, tidak secara jelas mengungkapkan apa saja “senjata” peserta Miss World yang dapat merusak Indonesia. Tapi saya yakin para peserta Miss World tidak memiliki senjata kimia. Mereka pun tidak berbadan tegap, berambut cepak dan bermuka garang. Saya amati paras muka para peserta Miss World justeru sangat mempesona, ayu dan berbadan seksi. “Senjata” mereka yang terlihat nyata hanyalah pantat yang montok, paha dan pinggul yang aduhai serta payudara yang sempurna. Sebagian besar orang menggambarkan pemandangan tersebut sebagai pemandangan yang indah sama sekali tidak menakutkan, membuat orang ingin mendekat dan senyuman mereka membuat hati terasa nyaman dan sejuk. Bukankah pemandangan tersebut juga dimiliki di Indonesia dan lekat dengan budaya Indonesia? Indonesia dikatakan sebagai negara ramah dan penuh senyum. Perempuan Indonesia pun cantik-cantik, sejak zaman nenek moyang dulu selalu berpakaian kebaya yang menembus pandang ada pula kemben yang memperlihatkan pundak halus para perempuan Jawa, serta rambut yang terurai panjang. Tak ada yang protes pada masa lalu, payudara yang menyembul dari kain kebaya dianggap biasa-biasa saja, bagian dari keanggunan perempuan Indonesia.
Oleh sebab itu, Indonesia telah lama mengirimkan peserta untuk mengikuti kontes kecantikan seperti Miss Internasional. Kecantikan yang dibanggakan bukan saja kecantikan lahiriah tapi juga intelegensia dan kualitas pribadi yang prima seperti kebaikan, persahabatan dan kepedulian. Siapakah perempuan-perempuan yang dikirim mewakili Indonesia? Ada nama-nama seperti Wiana Sulastini (1960), Sylvia Taliwongso (1968), Irma Hadisurya (1969), Louise Maria Maengkom (1970), Lydia Arlini Wahab (1974), Yayuk Rahayu Sosiawati (1975), Treesye Ratri Astuti (1976), Indri Hapsari Soeharto (1977), dan sebagainya. Berbagai prestasi diraih para duta Indonesia ini. Jadi Indonesia telah lama dan bangga menunjukkan kecantikan perempuan-perempuan Indonesia di ajang internasional.
Kontes kecantikan memang bukan tanpa soal di mata para feminis. Kritik para feminis di masa lalu sering dilakukan. Terutama kontes kecantikan yang hanya mengeksploitasi tubuh perempuan atau memanipulasi perempuan-perempuan cantik ini dengan kepentingan penyelenggara yang rakus dengan bisnis ini. Para feminis mementingkan keadilan dan kebebasan untuk para peserta berekspresi. Terutama pencitraan “domestikasi” dan “murahan” adalah pencitraan yang ditentang oleh para feminis. Berbagai upaya perbaikan terhadap penyelenggaraan kontes kecantikan dilakukan dengan mengubah konsep. Konsep yang dikedepankan bukan hanya kecantikan tapi kecerdasan, talenta dan kepedulian terhadap isu-isu sosial. Pada perkembangannya, perempuan-perempuan yang mengikuti ajang kontes kecantikan internasional memang perempuan-perempuan yang bukan hanya cantik tapi juga sangat cerdas. Cantik, cerdas, mandiri dan bebas berekspresi, tentu adalah ciri-ciri perempuan yang diinginkan oleh dunia moderen, tapi apakah diinginkan juga oleh budaya tradisional dan agamis?
Saya pikir disinilah letak perbedaan protes para feminis dan kaum konservatif. Para feminis mengkritik ajang kontes kecantikan untuk mengedepankan perempuan-perempuan yang bebas, cerdas dan mandiri serta inklusif (etnis dan agama minoritas termasuk disibilitas) sedangkan kelompok konservatif memiliki agenda lain yaitu domestikasi, kepatuhan, konformitas dan non-inklusif. Dua ideologi yang sungguh berbeda. Kelompok feminis menggaris bawahi keadilan dan kesetaraan gender sedangkan kelompok konservatif menggaris bawahi kepatuhan pada tradisi dan agama yang picik.
Jurang pemahaman yang sangat kentara di antara kedua kelompok ini adalah pemahaman choice (pilihan). Kelompok feminis yang memiliki plat form demokrasi dan HAM menekankan hak setiap orang untuk memilih kehidupan yang diyakininya baik dan benar menurut pendapatnya sedangkan kelompok konservatif mengharuskan orang untuk mengikuti aturan-aturan yang dianggap baku, tanpa perdebatan dan tanpa kompromi bahkan seringkali dengan cara paksa.
Setiap orang memiliki hak untuk memilih kehidupan yang dianggapnya baik dan benar. Termasuk memilih untuk cara berpakaian apakah tertutup atau terbuka. Setiap perempuan berhak memilih untuk mengikuti kontes pengajian ataupun kontes kecantikan, tanpa paksaan dan tanpa intimidasi.
Pada akhirnya apa yang diributkan FUI dan Hisbut Tahrir tidak lah terlalu penting-penting amat. Percayalah Miss World tidak berbahaya dan “senjata” pantat, paha serta payudara tidak akan mematikan umat manusia. Payudara justeru menghidupkan manusia, air susu ibu tidak jatuh dari langit, dia datang dari sumber yang hanya dimiliki perempuan. Mengapa tidak merayakan tubuh perempuan? Tubuh perempuan sungguh sempurna.
![Picture](/uploads/1/2/2/0/12201443/82876.jpg)
Membaca salah satu tulisan di Kompasiana tentang tes keperawanan, seseorang memberanikan diri menulis pengalaman seorang temannya yang datang dengan jalan agak mengangkang seperti perempuan pertama kali memakai pembalut, atau seperti ada yang mengganjal di selangkangannya. Setelah ditanya, ternyata temannya telah mengikuti tes keperawanan sebagai syarat mutlak masuk sekolah semi militer. Temannya menyatakan kecewa yang mendalam bagaimana proses tes keperawanan tersebut. Caranya bukan dengan menggunakan alat-alat tertentu, melainkan hanya dengan dua jari. Dan dia tidak tahu apakah orang yang mengetes keperawanannya itu dokter atau bukan. Si pengetes keperawanan itu memasukkan dua jarinya kedalam vaginanya sambil berkata “Kalau jari saya mentok berarti masih perawan”. Lalu hasil tesnya dinyatakan sudah tidak perawan, dan otomatis tidak lulus masuk sekolah semi militer tersebut. Sangat disayangkan, padahal ia adalah perempuan yang pintar, berbadan sehat dan tegap, serta belajar keras meskipun kekurangan modal untuk sekolah.
Baru-baru ini Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, membuat rencana kebijakan yang menyiapkan semua siswi sekolah di Prabumulih untuk mengikuti tes keperawanan. Tes tersebut untuk merespons maraknya kasus siswi sekolah yang diduga melakukan praktik prostitusi. Rencana tes tersebut akan diajukan untuk APBD 2014, seperti yang dikatakan Kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih. Katanya lagi, tes keperawanan supaya siswi tidak terjerumus kepada hal yang negatif.
Keperawanan: Mitos yang Diciptakan Patriarki
Saya akan memberikan ilustrasi bagaimana keperawanan adalah mitos yang diciptakan budaya patriarki untuk menundukkan tubuh perempuan. Soal keperawanan adalah soal taruhan tentang kesucian perempuan. Bila ia menikah di kemudian hari, ibarat barang yang akan dibeli laki-laki, barang yang telah dibeli tersebut perlu menunjukkan segel yang utuh. Segel yang dimaksud di sini adalah selaput dara yang terletak di vagina. Bila selaput dara perempuan dianggap sudah hilang, menandakan ia tidak perawan atau tidak suci lagi, ibarat barang yang tidak layak pakai. Kita masih ingat kasus Aceng Fikri, seorang Bupati yang menceraikan begitu saja perempuan yang baru saja ia nikahi karena dinilai sudah tidak perawan, dan menyatakan ketidakperawanan itu ibarat membeli pakaian rusak. Keperawanan adalah kepentingan dan otoritas laki-laki, sama sekali tidak ada manfaatnya untuk perempuan, atau dengan kata lain merendahkan perempuan sebagai manusia yang utuh. Tubuh perempuan bukan miliknya sendiri, tetapi ditentukan, dikendalikan dan dikontrol oleh laki-laki. Perempuan tidak diperkenankan memiliki otoritas tubuhnya sendiri. Kenyataan budaya patriarki ini juga terlihat dari bagaimana perempuan tidak punya hak menolak hubungan seksual, mengatur jarak kelahiran, menunda kelahiran, memilih kontrasepsi, menolak disunat, dll. Dalam hal seksualitas, perempuan tidak diperkenankan memiliki dan menentukan dirinya sendiri.
Keperawanan adalah mitos yang dibangun dan diyakini begitu saja selama ratusan tahun, sehingga banyak orang tidak merasa perlu untuk mengetahui faktanya. Orang cukup percaya saja dan bahkan perempuan diliputi rasa cemas sepanjang hidupnya gara-gara soal keperawanan. Kita tidak pernah merasa ingin tahu, apakah selaput dara itu benar-benar ada, dan apa gunanya untuk perempuan sendiri? Dan kita tidak pernah bertanya, mengapa keperawanan selalu harus dipersembahkan untuk laki-laki?
Keperawanan itu Mitos
Istilah keperawanan (Virgin) berasal dari bahasa Latin yaitu Virgo atau Gadis, Perawan. Istilah ini juga dimaknai sebagai sesuatu yang baru, muda (selanjutnya seperti barang yang baru saja diproduksi).
Sudah banyak sekali penelitian tentang selaput dara, apalagi dengan perkembangan teknologi saat ini. Para seksolog sudah mengidentifikasikan bahwa sebagian perempuan tidak memiliki selaput dara sejak lahir. Bahwa tidak serta merata ada selaput dara yang sobek akibat hubungan seksual.
Selaput dara memiliki berbagai macam bentuk. Ada selaput yang melingkari lubang vagina (annular hymen), ada yang ditandai dengan beberapa lubang yang terbuka (septate hymen), ada yang ditandai dengan beberapa lubang kecil dengan jumlah yang lebih banyak (cibriform hymen), serta ada yang sudah berhubungan seksual, tetapi masih menyisakan selaput dara (introitus).
Begitu pentingkah kita mengetahui berbagai bentuk selaput dara ini? Sebenarnya sama sekali tidak, karena selaput dara adalah bagian tubuh yang tidak punya fungsi (tidak berguna) sama sekali. Tetapi menjadi penting untuk meruntuhkan mitos keperawanan yang sampai saat ini masih diagung-agungkan, bahkan dijadikan sebagai kebijakan hukum di berbagai daerah sehingga membuat anak-anak perempuan harus diperiksa satu persatu keperawanannya.
Berikut adalah mitos dan fakta soal keperawanan:
Mitos: setiap perempuan dilahirkan dengan memiliki selaput dara.
Fakta: ternyata tidak. Tidak semua perempuan lahir dengan selaput dara pada vaginanya. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa bayi perempuan lahir tanpa selaput dara.
Mitos: selaput dara bentuknya sama pada setiap perempuan, seperti selaput tipis tanpa lubang.
Fakta: salah besar. Seperti juga manusia memiliki wajah yang berbeda, demikian juga selaput dara. Selaput dara memiliki lubang atau pori yang bentuknya bervariasi. Lubang pada selaput dara dapat bertambah lebar setelah seorang perempuan mengalami menstruasi yang pertama kali.
Tes Keperawanan menjadi Aturan Hukum?
Ajaib memang setelah kita mengetahui mitos dan fakta tentang selaput dara, kemudian dijadikan aturan tes keperawanan yang diterapkan di sekolah, sebuah institusi pendidikan yang seharusnya memberikan ilmu dan pelajaran yang bermanfaat bagi murid-muridnya. Manusia muda, seharusnya dibekali ilmu yang mengajarkan tentang akal sehat dan budi pekerti. Terlihat sekali kebijakan tes keperawanan ini adalah kebijakan “tanpa ilmu”(selanjutnya disebut kebodohan) apalagi dengan alasan untuk menghentikan anak-anak perempuan terjerumus dalam prostitusi. Kebijakan ini selain akan melukai perempuan, juga merusak mandat institusi pendidikan yang memiliki tugas untuk mencerdaskan anak bangsa. Kebijakan juga seharusnya berlaku pada setiap warga negara. Tetapi tes keperawanan hanya diberlakukan pada perempuan yang dianggap “seharusnya masih gadis”, meskipun kita juga tidak perlu repot-repot menuntut tes keperjakaan, karena akan terjebak pada kebodohan yang sama.
Apakah –bila kita adalah orang tua dari anak-anak perempuan—rela anaknya diminta berjejer antri, dipanggil satu persatu, lalu diperiksa dengan cara mengangkang kemudian dimasukan dua jari di vaginanya, dan setelah itu semua murid perempuan akan berjalan agak mengangkang kesakitan seperti cerita awal di atas? Atau relakah kita membiarkan teman-teman laki-laki mereka bertanya “jadi kamu masih perawan atau tidak?”Atau bagi yang dianggap sudah tidak perawan, apa yang akan dilakukan kepada mereka? Bukankan tes keperawanan adalah mempermalukan perempuan secara massal? Bukankah anak-anak perempuan seharusnya dibekali ilmu bukan dipermalukan?
Author
Dewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan
Archives
July 2018
May 2018
March 2018
February 2018
October 2017
September 2017
August 2017
June 2017
November 2016
July 2016
June 2016
April 2016
March 2016
February 2016
January 2016
December 2015
November 2015
October 2015
September 2015
May 2015
March 2015
February 2015
January 2015
December 2014
October 2014
September 2014
August 2014
July 2014
June 2014
May 2014
April 2014
March 2014
February 2014
January 2014
December 2013
September 2013
August 2013
July 2013
June 2013
April 2013
March 2013
January 2013
December 2012
November 2012
October 2012
September 2012
August 2012
June 2012