Pink Collar Ghetto & Brand-Building Di banyak negara, mayoritas jurnalis yang high-profile tetaplah laki-laki. meskipun telah ada beberapa usaha langkah afirmatif untuk menyertakan perempuan dalam jajaran kepemimpinan media, akan tetapi elit pemilik, elit editor, dan jurnalis media-media tetap didominasi oleh laki-laki. Ada banyak problem kunci yang harus dihadapi perempuan dalam menjejakkan karir di dunia media: mulai dari seksisme, peliputan perang yang berbahaya, dan sistem patriarki yang menjadi pilar perusahaan media multi-nasional dan nasional. Dalam buku terbaru Suzanne Franks yang berjudul Women and Journalisms (London: IB Tauris Publisher, 2013) menarasikan bahwa perempuan digambarkan secara tak berubah sejak 1901 sampai dengan 2013 ini, meskipun sejak 1973 perempuan mendapatkan lebih banyak akses bekerja di media (secara global, 31% perempuan bekerja di media sebagai jurnalis dibandingkan 7% menjadi dokter dan kurang 1% menjadi pengacara). Franks adalah seorang profesor kajian media dan jurnalisme di City University London yang juga pernah bekerja untuk BBC—yang banyak mendedikasikan diri meneliti politik, media dan gender dalam korporasi media internasional seperti dalam buku terbarunya ini. Masih menurut temuan Franks bahwa dokumen tersebut merupakan temuan BBC paling rahasia yang dimulai sejak tahun 1973. Hal ini lagi-lagi menandaskan bahwa moral patriarki masih kuat berakar dalam dunia media kita. “Swara perempuan bahkan tidak cocok untuk memberitakan perihal-perihal yang melibatkan emosi”, kata seorang senior manajer berita. Dan seorang jurnalis menolak bekerja pada pemimpin redaksi perempuan hanya karena dia adalah perempuan (hal 3-4). Temuan Franks ini amat mengejutkan dan juga fakta sehari-hari media global paling kini. Dalam media, perempuan banyak direpresentasikan sebagai objek berita ketimbang aktor, pembuat, dan subjek berita. Bahkan hampir 90 tahun usia sebuah kantor berita, tak satu pun editor perempuan dipilih untuk memimpin awak keredaksian. Ini adalah potret amat suram dalam media. Jika berkenaan dengan menarik konsumen, maka serta merta perempuan ditempatkan sebagai “pengail” (objek)—iklan-iklan banyak menggunakan figur perempuan seksi dan cantik. Tetapi jika berkenaan dengan “otoritas” isi, teknik dan narasi penulisan, perempuan hampir-hampir tak memiliki atau mempraktekkan ide-ide, hak-hak, dan partisipasinya. Franks mencatat terjadi kenaikan jumlah mahasiswa jurusan komunikasi dan media, dari 15% di tahun 1908 menjadi 60% di tahun 1984. Tetapi lagi-lagi, Franks masih menyebut perempuan berada dalam tempat paling rentan—dia menyebutnya sebagai pink collar ghetto, kampung miskin bagi pekerja kantoran perempuan (Beasley and Theus, 1988)—dimana pekerja perempuan di media masih mendapatkan penghasilan lebih rendah, dan mendapatkan peran lebih rendah dari rekannya, jurnalis dan editor laki-laki. Dan yang lebih menyedihkan perempuan-perempuan yang memiliki anak tersingkir secara pelan-pelan. Perempuan-perempuan yang sukses di media adalah yang single, muda dan tak memiliki anak. Perihal ini tidak terjadi pada laki-laki. baik laki-laki single dan yang memiliki anak, keduanya dapat sukses berkarir di media. Tantangan berat, halangan ganda, dan beban bertingkat selalu menghadang perempuan dalam profesi media. Melawan Seksisme Tetapi kabar gembira juga hadir dari jurnalis-jurnalis perempuan yang menuliskan beritanya. Perempuan-perempuan ini mengabarkan berita dengan lebih banyak memberikan fokus pada harga kejiwaan dan emosi dari perang daripada harga peralatan perang, misalnya. Atau perempuan memberitakan simpati dan empati atas korban bencana alam ketimbang kerugian angka-angka dari bencana. Ini melahirkan suatu fenomena baru atau keunikan pemberitaan dari “perspektif perempuan” yang sebelumnya kurang terwakilkan dalam media. Dus, perempuan melahirkan suatu “ruang baru” dalam media ketimbang mereproduksi ruang-ruang sebelumnya—yang terbukti seksis dan misoginis. Ini membuat perempuan, kemudian menciptakan “pasar pembaca” baru, yang kemudian menjadi pertimbangan editorial sebuah perusahaan media. Ini yang disebut sebagai brand-building oleh Franks untuk menembus atap kaca (glass ceiling) kepemimpinan laki-laki dalam media. Kemudian ini mengikatkan perempuan pada reinvensi jurnalisme dimana perempuan mengkurasi, mengedit, menciptakan brand untuk dirinya—bahkan dari dalam rumah, bahkan dari dapurnya, bahkan ketika dia sedang mengasuh anaknya. Revolusi digital ini dimulai dari rumah dimana kemudian mengguncangkan boys club dalam perusahaan-perusahaan media. Revolusi digital ini dipimpin oleh para blogger ibu-ibu dari dalam rumah mereka. Ini adalah berita yang menggembirakan. Setidaknya ada ruang baru dalam representasi swara perempuan yang diciptakannya sendiri. Dan perempuan juga mulai menguasai dan menciptakan teknologi dalam media. Ini adalah revolusi baru. Semakin canggih teknologi media tak menjamin bahwa seksisme terhadap perempuan kemudian surut. Kecanggihan seksisme juga meningkat seiring dengan penemuan-penemuan baru dan semakin cepat dan tingginya akses terhadap digital media. Tubuh-tubuh telanjang, secara biologis, adalah perihal biasa saja. Tetapi tubuh perempuan telanjang, disertai konteks tertentu, dalam berita tertentu, atau iklan-iklan tertentu, dalam analisis tertentu pula, dapat bermakna seksisme. Seksisme membutuhkan konteks, representasi, pilihan diksi dan motif untuk dapat disebut sebagai seksis, untuk dapat disebut sebagai bias dan tidak adil. Misoginisme semacam radio-radio di Eropa timur misalnya, yang membuat kuis dengan hadiah tidur dengan seorang pekerja seks komersial—ini adalah seksisme banal yang kemudian melahirkan gerakan perempuan Femen—yang kemudian menggunakan tubuhnya untuk melawan kesewenangan itu. Gerakan perlawanan perempuan, tak bisa diukur dan dinilai dari ruang kita secara semena-mena. Dia perlu diukur dan diurai darimana dia berasal, bagaimana konteksnya, bagaimana kulturnya, apa motifnya dan lain sebagainya. Industri media bahkan dengan terang-terangan menjadikan seksisme dan misoginisme sebagai faktor rating. Ini adalah ironi. Ini adalah tragedi. Seksisme adalah sikap dan motif merendahkan perempuan, secara eksistensial—menyangkut tubuhnya, pemikirannya, perasaannya—yang dianggap sebagai inferior dan boleh diperolok atau dihina. Seksisme media ini ada dimana-mana, bahkan diafirmasi dan direproduksi perempuan sendiri—karena terlalu latahnya, karena terlalu biasanya. Keberangkatan dari seksisme adalah stereotype atau pembekuan sifat dan peran perempuan pada perihal tertentu yang sesungguhnya merugikan eksistensinya. Pada mulanya seolah seksisme adalah hiburan ringan dan yang menjadi hiburan tak perlu jadi tersinggung karenanya. Tetapi kemudian ini membangun sebuah budaya yang “tak peduli” yang kemudian menjadi “tak sensitif”—minimnya sensitifitas ini kemudian melahirkan kekerasan pada dunia yang lebih kasat mata (eksploitasi seksual, kekerasan, perkosaan dan bahkan pembunuhan). Mari kita cermati bagaimana berita tentang perkosaan anak SD berubah menjadi berita sensasi—padahal sang anak kemudian mengalami gangguan jiwa seumur hidupnya. Betapa tak sensitifnya kita sebagai pekerja media. Betapa jahatnya pikiran kita. Sensitifitas dibangun oleh pengetahuan dan empati, terutama. Tanpa keduanya, kita gagal menjadi masyarakat yang adil. Solo, 4 April 2014 Oleh: Musdah Mulia (Ketua Umum ICRP dan dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) [email protected] Faktanya, 65 persen dari lulusan universitas di dunia adalah perempuan, bahkan 65 persen dari lulusan terbaik universitas juga perempuan, namun kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi di Indonesia tidak sesuai dengan fakta itu. Tercatat hanya empat perempuan rektor atau ketua, padahal di negeri ini ada 97 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 3.124 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Lokakarya tentang minimnya kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi yang diselenggarakan Higher Education and Leadership Management menyimpulkan tiga faktor utama sebagai hambatan. Budaya patriarkal dan faktor eksternal di sekitar perempuan; minimnya pengembangan pribadi dan profesional bagi perempuan; kurangnya kelompok perempuan aktif yang mampu menyebarkan semangat positif dalam mengambil peran kepemimpinan. Ternyata hambatan paling mengemuka, bukan soal kompetensi akademik atau kemampuan ilmiah atau pun pengalaman manajemen perguruan tinggi sebagaimana disyaratkan, melainkan lebih banyak terkait nilai-nilai budaya. Sungguh sangat disayangkan, dunia pendidikan tinggi yang seharusnya mengajarkan pentingnya nilai-nilai egalitarian dan demokratis yang melahirkan sikap kritis dan rasional justru masih terbelenggu nilai-nilai budaya patriarkal dan feodalistik. Tidak heran jika di perguruan tinggi masih dijumpai nilai-nilai diskriminatif dan stigma negatif terhadap perempuan. Buktinya, dalam pemilihan rektor di sebuah universitas negeri, kandidat perempuan satu-satunya “di-bully” dengan sejumlah statemen bias gender, misalnya “Universitas ini sangat maskulin secara kultural dan sosiologis sehingga gaya feminin dalam kepemimpinan masih sulit untuk sukses.” Perlunya kepemimpinan perempuan Sejumlah penelitian merumuskan, ciri-ciri kepemimpinan perempuan memiliki sejumlah keunikan dan berbeda dari kepemimpinan laki-laki. Misalnya, dalam pengambilan keputusan, perempuan cenderung menggunakan gaya demokratis dan partisipatif daripada laki-laki. Perempuan dinilai lebih interpersonal, bisa mendengarkan lebih baik sebagai keterampilan yang dapat membuat orang lain merasa nyaman dan penting. Selain itu, hal terpenting adalah perempuan memiliki pandangan lebih kuat pada nilai-nilai kesetaraan. Perempuan juga dapat menjadi lebih kooperatif dan mendukung, tidak suka menonjolkan diri dan kompetitif. Tidak suka berkonflik, relatif sabar, lebih telaten, teliti, lebih memerhatikan hal-hal kecil dan rumit serta kolegial. Ciri-ciri kepemimpinan demikian justru lebih relevan bagi dunia pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan manusia kritis, inovatif dan bertanggung jawab serta tetap kuat berpegang pada nilai-nilai spiritual. Manusia yang mampu memandang semua manusia sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan harus dihormati. Mungkin itu sebabnya, mengapa di sejumlah negara maju, perempuan mendominasi kepemimpinan di perguruan tinggi. Menghapus hambatan kultural Diakui tidak mudah menghadapi berbagai hambatan dalam kepemimpinan perempuan, terutama hambatan dalam bentuk glass ceiling yakni berbagai pembatasan yang tidak terlihat secara kasat mata. Belum lagi, dalam berbagai proses akademik perempuan merasakan ketidaknyamanan dalam lingkungan akademiknya. Hambatan lain tidak kurang beratnya datang dari internal keluarga, terutama suami yang sering merasa terganggu dan merasa “dilampaui” sehingga melahirkan sikap kekanak-kanakan dan susah dimengerti. Belum lagi, dicemooh masyarakat dengan stigma sebagai istri atau ibu yang tidak bertanggungjawab karena terlalu sering meninggalkan rumah. Hal serupa tidak pernah ditimpakan kepada para lelaki. Inilah yang dimaksud dengan ketimpangan dan ketidakadilan gender. Mengapa penting isu gender? Sejak awal abad ke-20 dunia internasional lantang menyuarakan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu strategi kunci dalam menciptakan masyarakat yang damai, maju dan sejahtera. Bahkan, tiga dari tujuan Millenium Development Goals (MDG’s) fokus kepada upaya kesetaraan dan keadilan gender. Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal biasa saja sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan gender (gender inequities and injustice). Akan tetapi, realitas di masyarakat menunjukkan, perbedaan gender sangat sering membawa kepada ketimpangan atau ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Sebab, mereka selama ini merupakan kelompok yang rentan, marjinal dan tertinggal akibat kultur dan struktur yang didominasi kelompok maskulin. Lalu, apakah kita akan membiarkan atau menutup mata melihat perilaku tidak manusiawi tersebut? Apakah kita akan terus diam dengan kondisi yang timpang dan tidak adil ini? Demi terwujudnya masa depan peradaban manusia yang lebih adil dan lebih damai, semua bentuk ketimpangan dan ketidakadilan gender harus diakhiri sekarang juga! Untuk itu, paling tidak tiga hal harus dilakukan. Pertama, upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, dimulai dari pendidikan dalam keluarga. Kedua, perlu upaya reformasi terhadap semua kebijakan publik yang diskriminatif. Komnas Perempuan menyebut sebanyak 354 Peraturan daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan. Ketiga, perlu upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama yang memarjinalkan perempuan sehingga yang tersebar hanyalah interpretasi keagamaan yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan. Kita perlu mendorong pengembangan perguruan tinggi yang memiliki sense of gender yang baik. Perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas kepemimpinan perempuan di dunia pendidikan. Kita harus memberikan dukungan yang lebih kuat agar para perempuan dapat meruntuhkan berbagai hambatan, baik karena nilai-nilai tradisional, struktur, budaya, atau pribadi yang menghalangi perkembangan personal maupun profesional. Karakteristik kepemimpinan demokratis perlu dikembangkan untuk mendorong perempuan dan laki-laki menjadi pemimpin berkualitas di masa depan. Akhirnya, semoga lebih banyak lagi perempuan menjadi pemimpin di perguruan tinggi. Jakarta, 2 April 2014 Menurut Pusat Studi Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC Centers for Disease Control and Prevention) terdapat satu anak autis dari 68 anak-anak di seluruh dunia. Prevalensi ini naik drastis dari sebelumnya yaitu 125 kelahiran dengan 1 autis. Spektrum Autisme (ASD Autism Spectrum Disorder) muncul hampir di semua kalangan baik gender, ras, etnis dan kelas sosial yang berbeda-beda. Tetapi ASD lebih sering 5 kali lipat lebih besar pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Masih menurut CDC, biaya membesarkan anak autis, baik secara medis dan terapi adalah 6 kali lipat lebih besar daripada anak-anak lain pada umumnya.
Pada 2 April ini diperingati Hari Peduli Autisme Sedunia sebagai bagian untuk merayakan keberagaman dan keberterimaan masyarakat atas eksistensi kelompok difabel khususnya autis. Anak-anak autis adalah anak-anak istimewa yang “tidak bisa” bersosialisasi dan berkomunikasi seperti laiknya anak-anak yang lain. Biasanya mereka mengalami keterbelakangan dan ketertinggalan sosial, akademik dan kejiwaan. Di Indonesia, banyak sekali anak-anak difabel, anak-anak autis tidak terurus karena kondisi ekonomi orang tua dan sikap pandangan masyarakat yang masih belum ramah pada anak-anak difabel—kalau tidak melabeli mereka dengan anak-anak gila atau anak-anak “cacat dan tidak normal”. Demikian juga sokongan negara terhadap anak-anak difabel masih belum kokoh seperti halnya negara-negara maju pada umumnya. Pengetahuan orang tua, masyarakat, dan negara terhadap difabilitas dan perikehidupan anak-anak ini penting untuk menciptakan masyarakat dan negara yang “ramah difabilitas” (diffable-friendly society). Saya mengetahui bahwa anak saya, Ivan Ufuq Isfahan (lahir pada 6 Juli 2000), adalah autis, sejak dia berusia dua tahun. Kemampuan kognitif, intervensi wicara, ketrampilan berkomunikasi, dan lain-lain menarasikan bagaimana dia mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaan dan ide-idenya. Hampir delapan tahun lebih, sampai dengan sekarang, Ivan masih menjalani terapi wicara sebagai bagian dari membantu dia mengeksplorasi ide-ide dalam narasi verbal. Sebelum berusia 13 tahun, Ivan sering mengalami tantrum dengan sejarah agresi yang bervariasi. Sebagai Ibu, saya mempelajari model-model tantrum yang berbeda tersebut dan mencoba mengaitkan dengan modus-modus menenangkan agar dia mampu menyampaikan maksudnya dalam berkomunikasi. Karena biasanya tantrum dan “kekacauan konsentrasi” disebabkan oleh tak tersampaikannya apa yang hendak dikomunikasikan dan akhirnya anak menjadi “frustasi”. Pada tahun 2012, Ivan saya belikan piano, dan selama tiga bulan, sepuluh jarinya saya tempelkan pada tuts piano. Mulanya kaku-kaku dan tidak mampu. Namun pada akhirnya dia bisa. Setelah bisa, saya mengundang guru piano ke rumah. Sekarang dia bisa bermain piano dengan membaca partitur dasar not balok. Sejak dia bisa bermain piano, Ivan menjadi jauh lebih tenang dan hampir tidak pernah tantrum lagi. Ivan juga sangat senang melukis. Ratusan lukisannya di atas kanvas dan kertas merupakan visualisasi dari seluruh keinginannya untuk berkomunikasi kepada kita, yang kadang-kadang tak sungguh-sungguh kita perhatikan dengan baik. Masih banyak ibu-ibu tunggal yang membesarkan anak-anak difabelnya sendiri. Juga para orang tua yang berjuang mengurus anak-anak autisnya tanpa bantuan dari siapa pun. Mereka bahkan mendapatkan cemoohan bahwa anaknya gila, atau bahwa anaknya cacat. Dan anak-anak ini kerap juga disingkirkan dari masyarakat. PBB menetapkan hari ini 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Dunia (World Autism Awareness Day) sebagai wujud keprihatinan dan kepedulian pada anak-anak penyandang autisme. Perayaan Hari Peduli Autisme Sedunia pada hari ini adalah upaya untuk memberikan pendidikan pada publik, bahwa mereka adalah anak-anak peradaban. Bahwa mereka adalah anak-anak kita. Selamat Hari Autis Anakku! Ibu mencintaimu dengan tanpa batas. Sejarawan Reggie Baay (2010) dalam buku edisi Bahasa Indonesia berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, mengungkapkan secara komprehensif sejarah pergundikan yang berlangsung hampir sepanjang masa pendudukan Belanda di Indonesia.
Dalam buku tersebut Baay menulis bahwa pergundikan berawal pada saat dimulainya kolonialisme itu sendiri yaitu akhir abad ke-16/awal abad ke-17 saat kedatangan sejumlah besar rombongan dagang Eropa ke negara-negara Asia, termasuk di dalamnya rombongan dagang Belanda ke Indonesia atau saat itu disebut koloni Nederlands-Indie (Hindia Belanda). Rombongan tersebut didominasi oleh laki-laki, hanya sedikit perempuan yang turut serta. “Defisit” perempuan rupanya menjadi permasalahan tersendiri bagi banyak laki-laki Eropa yang datang dan menetap di koloni. “Defisit” tersebut diatasi dengan pergundikan, dimana laki-laki kulit putih hidup bersama tanpa ikatan pernikahan dengan perempuan kulit berwarna dari etnis Jawa, Sunda, Tionghoa dan Jepang. Para perempuan gundik atau disebut juga nyai memasuki dunia pergundikan melalui beragam cara, banyak diantaranya melalui paksaan, bahkan dijual oleh orang tuanya sendiri demi sejumlah uang. Tokoh Sanikem atau Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer adalah salah satunya. Anehnya stigma sepenuhnya dilekatkan pada para perempuan tersebut, sebagaimana halnya terminologi “gundik” yang berkonotasi negatif. Persoalan yang dihadapi para nyai menjadi tidak sederhana. Bukan hanya kuasa patriarki yang menindas mereka. Secara nyata perempuan-perempuan ini mengalami penindasan berlapis. Penindasan gender, karena jenis kelamin mereka perempuan. Penindasan ras, karena kulit mereka yang berwarna. Penindasan kelas, karena status mereka sebagai orang miskin. Dalam relasi pergundikan, kuasa sepenuhnya berada di tangan laki-laki, kulit putih, dari kelas mapan. Simak kisah Roebiam di bawah ini: Namanya Roebiam. Diperkirakan lahir pada tahun 1898. Ia berasal dari desa kecil di Jawa dan ayahnya seorang petani sederhana dan miskin. Terdorong oleh kemiskinannya, pada tahun 1915 ia mendaftarkan diri sebagai buruh kontrak untuk bekerja di perkebunan yang waktu itu bernama Plantersparadijs Sumatra, sebuah perkebunan tembakau di sekitar Medan. Pada waktu itu Roebiam berumur kira-kira 17 tahun. Di sana ada seorang baren, pemuda dari Haarlem yang bekerja sebagai asisten. Ia mencari teman hidup dan mengambil Roebiam, seorang buruh di perkebunannya, sebagai nyainya. Roebiam memberikan sang laki-laki Eropa dua anak perempuan yang masing-masing dilahirkan pada tahun 1916 dan 1919. Ketika putri sulung mereka berusia lima tahun, sang laki-laki memutuskan bahwa ia harus pergi ke Belanda untuk dididik dan bersekolah di “tanah ibu pertiwi”. Seperti yang biasa dilakukan pada waktu itu, sang anak dititipkan kepada seorang tante yang merupakan saudara perempuan ayahnya. Roebiam boleh ikut berlayar ke Belanda untuk mengantar anaknya. Roebiam kemudian kembali ke Sumatra dan melanjutkan hidupnya dalam pergundikan di perkebunan. Ketika putri bungsu mereka berumur lima tahun, ia pun harus pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan dan sekolahnya. Roebiam pun berlayar kembali untuk mengantar anaknya. Mereka tiba di Belanda pada tahun 1925 dan itu merupakan saat terakhir Roebiam mencium anak-anaknya. Setelah itu sang laki-laki tinggal di tanah kelahiran bersama putri-putrinya dan kemudian menikah dengan seorang perempuan Eropa. Roebiam harus kembali ke Hindia Belanda seorang diri dan tinggal di rumah kecil yang telah disiapkan untuknya. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana kelanjutan dan berakhirnya hidup Roebiam, begitu juga anak, cucu dan cicitnya. (Diringkas dari Reggie Baay, 2010, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, hal. 262-264) Kisah Roebiam lazim terjadi sejalan dengan pergundikan yang dipraktikan secara luas, bahkan “direstui” dalam sistem sosial yang berlaku saat itu. Pembukaan pangkalan militer dan perkebunan di Pulau Jawa dan Sumatra hampir selalu disertai pergundikan. Demikian pula pergundikan lazim ditemui dikalangan masyarakat sipil. Dalam bukunya Baay menjelaskan bahwa pergundikan bagi banyak laki-laki kulit putih di koloni Hindia Belanda saat itu adalah “solusi sementara” sebelum mereka menikah dengan perempuan yang “sederajat” yaitu perempuan dari ras yang sama. Nyai dapat diperlakukan sesuka hati dan dapat diusir setiap saat. Status anak-anak Eurasia yang dilahirkannya sepenuhnya ditentukan oleh ayah biologis mereka seperti halnya anak-anak Roebiam. Jika sang ayah mengakui anaknya, maka secara hukum anak tersebut akan menjadi seorang “Eropa” dengan semua hak-hak istimewanya. Sebaliknya jika ayah tersebut tidak mengakui anaknya maka ia akan menjadi “pribumi” dengan semua diskriminasi dan penindasan yang melekat dalam status tersebut. Membaca sejarah pergundikan, saya diingatkan kembali tentang bias gender dalam penulisan sejarah dan bagaimana sejarah dikonstruksikan sedemikian rupa oleh penguasa. Perempuan gundik di era kolonial, perempuan budak seks saat pendudukan Jepang di Indonesia dan negara Asia lain pada era 1940-an, perempuan etnis Tionghoa korban perkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan perempuan-perempuan lain yang—dengan cara menyakitkan—menjadi bagian sejarah bangsa ini, cenderung dilupakan. Sudah saatnya history dikonstruksi ulang agar juga menjadi herstory. Bandung, 29 Maret 2014 "Saya melihat kepala teman saya digondol anjing." “Sungai dekat rumah saya tersumbat karena timbunan mayat." "Bapak dan paman dikeroyok massa, dan dibantai di depan mata saya". (Inilah kisah dari beberapa saksi kepada saya tentang periode kelam di Indonesia, periode dimana terjadi salah satu pembunuhan massal terbesar di dunia.) Kebanyakan dari orang-orang ini menyatakan bahwa inilah pertama kali mereka telah menguak kejadian ngeri ini kepada orang lain, di luar keluarga mereka. Sebagian besar menyimpan kisah ini untuk diri mereka sendiri selama bertahun-tahun. Tragedi yang terjadi sekitar lima puluh tahun yang lalu, telah dibungkam. Ketakutan masih dominan diantara para korban, dan para preman masih berkeliaran dengan bebas untuk melecehkan mereka. Front Anti komunis Indonesia (FAKI) menyerang pertemuan para keluarga korban di Yogyakarta pada 27 Oktober tahun lalu. Baru-baru ini, pada tanggal 16 Februari, FPI membubarkan pertemuan para eks tapol di Semarang Jawa Tengah. Padahal, mereka adalah para manula yang sedang menjenguk sahabat yang sedang sakit. Inilah kriminalitas yang sempurna: saat korban disulap menjadi pesakitan, dan keluarganya dirundung teror dan ketakutan. Para pembantai bukan lagi penjahat, tetapi pahlawan yang dielukan. Apalagi bila korbannya perempuan. Karena kasus pemerkosaan juga seringkali menyudutkan korban. Sudah bukan rahasia, para tapol perempuan sering mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual di penjara. Pekerjaan rumah para kriminal selain menyembunyikan kejahatan adalah melestarikan hierarki, dimana sang korban selalu berada para posisi dan status sosial tak berdaya, sehingga mereka tidak bisa berontak atau menuntut haknya. Hal serupa juga sempat saya alami. Papa saya ditahan oleh Suharto pada 1966-1969 karena keterlibatannya dalam organisasi kiri. Seperti perempuan lain yang harus berjuang saat suami mereka hilang atau ditahan, mama menghidupi anak-anaknya sendiri selama beberapa tahun. Namun, mungkin inilah salah satu bukti kekuatan perempuan. Bagi mereka yang ayahnya hilang atau ditahan, sang ibu biasanya dengan gigih dan cepat mempertahankan keluarga dan anak-anaknya. Sebaliknya, bila ibu yang ditahan atau hilang, keluarga seringkali tercerai-berai. Dalam hal ini, sebagai orang tua tunggal, perempuan memang masih lebih mandiri. Papa meninggal pada bulan September 1998, beberapa bulan setelah Suharto lengser, namun buku pelajaran di sekolah-sekolah masih saja memuat sejarah bohong tentang kejadian ini. Kebohongan yang akhirnya diyakini oleh banyak orang, tidak terkecuali oleh beberapa anggota keluarga korban sendiri. Banyak dari mereka yang menolak orang tua atau sanak saudaranya hanya karena mereka mendapat gelar “komunis”. Bahkan setelah Suharto mati, rekayasanya masih bertahan. Masih menghantui para korban dan keluarganya. Karena itulah, saya begitu ingin menulis tentang kisah keluarga saya, tapi mama melarang, karena takut akan dampak dari tulisan saya. Dan saya menurut, karena saya tahu betapa pedih hidupnya setelah papa ditangkap. Keinginan itu saya pendam. Kata “komunis” masih dianggap sebagai penyakit ganas yang tidak saja menurun tapi juga menular. Tapi film The Act of Killing (TOAK) membuat keinginan saya bangkit kembali. Tentu saja film The Act of Killing bukanlah fillm yang pertama kali menggambarkan tentang pembunuhan massal itu. Telah ada beberapa film lain yang merekam tentang kejadian ini seperti Shadowplay, Forty Years of Silence dan Kado buat Rakyat Indonesia. Apa yang berbeda dari film ini? Bila film sebelumnya menguak kesaksian dan penderitaan para korban, TAOK menyajikan pengakuan para jagal, yang dengan bangga berkoar tentang berbagai pembunuhan dan kesadisan yang telah mereka lakukan. Bila setelah menonton film-film sebelumnya, banyak orang bisa berkata: “Begitulah komunis, mereka akan mengada-ada.” Film TAOK bisa membungkam kesinisan ini. Karena kalau para penjagal sendiri telah menyatakan di depan kamera tentang kekejian dan kebrutalan yang dilakukan, bagaimana mereka bisa mengabaikan kesaksian para korban? Karena itu, saya cukup terkejut dengan beberapa komentar yang menyatakan bahwa TAOK hanyalah film yang memanjakan dan bahkan merayakan kesaksian para jagal. Karena justru rasa kepahlawanan para jagal dipertanyakan dalam film ini. Dan justru dengan film ini kita lebih menyadari bahwa kesaksian kebanyakan korban dalam film-film sebelumnya belumlah apa-apa. Kebrutalan yang luar biasa dikuak oleh TAOK dengan berbagai pengakuan jagalnya. Film ini telah membuat saya lebih mengerti ketakutan dan penderitaan mama. Namun bersamaan dengan itu, saya juga bertambah yakin untuk tidak lagi menuruti ketakutan mama, yang membuat bungkam tidak saja dirinya sendiri tapi juga saya. Karena ketakutan adalah salah satu senjata yang ampuh dari para penguasa. Dengan ketakutan, para penguasa tidak perlu berbuat apapun untuk mempertahankan cengkeraman mereka. Ketakutan akan bekerja untuk mempertahankan ideologi dan manipulasi penguasa. Seperti juga yang terjadi pada saya, yang telah dibungkam karena ketakutan mama. Karena itu, film TAOK punya arti tersendiri yang begitu dalam, bagi saya. Film ini telah membuat keterbungkaman saya terusik. Dengan melawan kebungkaman saya sendiri, saya berharap bisa membuka kebungkaman-kebungkaman yang lain. Karenanya, selain kisah keluarga saya sendiri, saya juga mengumpulkan kisah-kisah insan lain, yang anggota keluarganya telah menjadi korban keganasan militer dan penguasa Orde Baru pada tahun 1965. Kita, yang telah dibungkam berpuluh tahun lamanya, karena teror yang berkelanjutan, sekarang menolak diam. Karena dengan menolak diam, kita ikut melawan manipulasi sejarah yang masih merayakan pembunuhan massal. Manipulasi yang ikut mendukung kepercayaan: Bila membunuh 1 atau 2 orang, anda adalah kriminal. Bila membunuh ratusan atau ribuan orang, anda adalah pahlawan. Dan bila membumihanguskan seluruh manusia di dua kota, dan menyisakan 1 keluarga saja, anda adalah Tuhan. London, 30 Maret 2014 Namaku “Busiku”, demikian anak perempuan ini bermakna “malam” dalam bahasa Bemba, bahasa lokal di Zambia. Raut mukanya tidak seceria anak-anak laki-laki yang bermain di sekitarnya pagi itu. Bias dan kekerasan atas anak-anak perempuan masih cukup tinggi di dunia. Bias atas pilihan memiliki bayi laki-laki hampir dapat ditemukan di semua negara mulai dari Afrika utara dan Asia terutama di India dan China. Kematian bayi dan anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki, terutama disebabkan oleh kebijakan satu anak di China dan rentannya keluarga miskin di India yang memutuskan lebih memilih memiliki anak laki-laki karena tingginya biaya memelihara anak perempuan—pada saat penyerahan dowry. Kematian bayi perempuan semakin tinggi sejak tahun 1980an sejak digunakannya scan ultrasound untuk mendeteksi jenis kelamin bayi dalam kandungan. Akhirnya banyak digugurkan bayi-bayi perempuan, karena secara kultural dan secara ekonomis lebih menguntungkan memiliki bayi laki-laki. Diskriminasi kelahiran ini memicu hilangnya sekitar 100 juta bayi perempuan dunia—pernyataan apokaliptik dari Amartya Sen (peraih hadiah Nobel dari India). Bahkan pendidikan terhadap anak-anak perempuan yang kemudian menjadi ibu bagi bayi-bayi baru tetap tak bisa mengubah pandangan ibu-ibu baru ini untuk lebih memilih memiliki anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Seringkali pilihan untuk mengaborsi bayi perempuan dalam sebuah unit keluarga mendapat persetujuan dari sang ibu sendiri karena begitu inginnya mendapatkan “piala peradaban”, sebagai yang melahirkan anak laki-laki. diskriminasi gender berjenjang yang dilakukan oleh ibu terhadap bayi perempuannya tidak bisa dipisahkan dari glorifikasi peradaban atas anak laki-laki. Baik ibu yang berpendidikan maupun yang tak, terutama di India dan China, dan beberapa kasus di Jepang, lebih memilih memiliki bayi laki-laki ketimbang perempuan. Hal ini diperparah oleh kebijakan satu anak di China yang dimulai tahun 1979, maraklah kemudian aborsi bayi perempuan. Seringkali dikatakan bahwa mayoritas penduduk dunia adalah perempuan. Pernyataan ini sama sekali tak bisa dianggap benar. Situasi di Eropa dan Amerika utara rasio kurang lebih antara perempuan dan laki-laki adalah 1.05 dan 1.06. Sedang di Afrika, Asia Selatan dan Barat, juga China, rasio perempuan lebih rendah daripada laki-laki yaitu 0.94. Hal ini disebabkan oleh sunat perempuan (Afrika) dan aborsi janin perempuan (Asia). Persoalan paling besar di sub-sahara Afrika adalah kemiskinan dan kelaparan yang membuat anak-anak perempuan rentan. Hal ini diperparah dengan perubahan iklim dan pemanasan global yang mengubah wajah pertanian yang tak lagi bisa diprediksi untuk menjamin ketahanan pangan di Afrika. Berbeda dari Afrika yang gersang dan terkena dampak paling buruk dari perubahan iklim, Asia Tenggara dan Asia pada umumnya justru dipicu oleh keberadaan teknologi, seperti baby-scanner yang kemudian melahirkan percepatan aborsi janin perempuan karena preferensi tradisi atas bayi laki-laki (gendercide). Secara global dunia defisit anak perempuan sebesar 6% (UN Report) terutama di Asia Selatan, Asia Barat, dan China. China sendiri sekarang kehilangan sekitar 50 juta anak perempuan. Bahkan sekarang, mereka harus mengimpor “istri” bagi calon-calon ayah di China dari negeri tetangga, seperti Vietnam, Kamboja, Thailand, Burma, dan lain-lain. Menurut Bank Dunia di Malawi dan Zambia yang saling berdekatan secara geografis, hanya sekitar 27% anak perempuan terdaftar di sekolah dan 13% saja yang ikut bersekolah. Meskipun Malawi memiliki presiden perempuan yang cukup tangguh seperti Joyce Banda, tetapi ini tak mengubah persepsi masyarakat bahwa pendidikan untuk anak perempuan adalah penting. Mulai dari kelahirannya, kemudian pendidikannya, dan pernikahannya, anak-anak perempuan kita tak sungguh-sungguh berada di tempat yang aman dan adil bagi peri kemanusiaannya. Karena hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia. Maka negara bertanggung-jawab atas perihal ini. Bahkan di desa-desa di negara-negara Afrika, anak-anak perempuan sangat sedikit yang masuk sekolah: dari enam anak laki-laki hanya ada satu anak perempuan yang sekolah. Anak-anak perempuan banyak yang drop-out dan gagal mengikuti ujian. Bodil Rasmusson dari SIDA Lund University menekankan bahwa kelahiran CRC (Convention on the Rights of Children) harus menjamin hak-hak anak perempuan untuk mendapatkan pendidikannya sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan dasar selain perlindungan dan partisipasi anak (provision, protection, and participation). Namun demikian kita tak bisa lagi menyangkal atas tingginya angka aborsi, tingginya angka drop-out anak-anak perempuan, dan kemudian menetapkan diri untuk terus bekerja keras menghalau kekerasan dan pembunuhan sistematis atas anak-anak perempuan kita. Anak-anak perempuan kita adalah juga “piala peradaban”, sama emasnya dengan anak laki-laki kita.
Chingola Zambia 27 Maret 2014. Membaca laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) selama tiga tahun terakhir terlihat kualitas demokrasi yang masih rendah. Indikasi paling menonjol, meningkatnya kasus kekerasan di berbagai wilayah Indonesia, baik dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk tindakan anarkis dan main hakim sendiri, maupun oleh aparat pemerintah dan penegak hukum berupa tindakan represif dan otoriter. Akibatnya, demokrasi belum banyak membawa keadilan, kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat seperti dijamin dalam Pancasila dan Konstitusi Indonesia. Hal itu jelas mengindikasikan adanya kesenjangan (diskrepansi) antara tuntutan demokrasi berupa nilai-nilai keadaban publik yang luhur dan perilaku demokrasi yang cenderung tidak beretika sebagaimana dipertontonkan secara nyata, baik oleh aparat pemerintah maupun masyarakat luas. Perilaku kekerasan mencakup makna yang amat luas, di dalamnya ada bentuk khusus, yaitu kekerasan terhadap perempuan (disingkat KTP). Data kasus KTP di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat drastis. Jika tahun 2012 ada lebih 600 kasus, maka tahun 2013 tercatat 992 kasus, yang dominan adalah kasus KDRT sebanyak 372 kasus dan kasus kekerasan dalam pacaran berjumlah 59 kasus (data resmi LBH APIK Jakarta). Sebuah peningkatan jumlah yang signifikan dan mengerikan. Tapi, bagaikan gunung es, kasus yang terdata hanya sedikit sekali. Itupun bukan data dari lembaga negara, melainkan dari NGO yang concern pada isu perempuan. Ketiadaan data membuktikan betapa negara masih abai, dan belum serius menangani kasus KTP, padahal dalam berbagai dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa, KTP dinyatakan sebagai kejahatan HAM yang sistemik dan berdampak luas. Bentuk KTP secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: kekerasan di ranah domestik (di dalam rumah tangga) dan kekerasan di ranah publik (di luar rumah tangga). KDRT dapat pula dibagi ke dalam empat jenis: penganiayaan fisik, seperti tamparan, pukulan, tendangan; penganiayaan psikis, seperti ancaman, hinaan, cemoohan; dan penganiayaan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual, baik dalam pernikahan maupun di luar pernikahan. Jenis keempat adalah pengabaian kewajiban memberi nafkah material kepada isteri atau mengontrol uang belanja. KDRT merupakan masalah yang sangat kompleks, dan jumlah kasusnya amatlah besar. Tapi, karena kejahatan ini terjadi di dalam rumah tangga sehingga seringkali sulit dipantau dan kemudian terabaikan. Yang lebih menyedihkan, ada anggapan bahwa KDRT hanyalah urusan internal keluarga, dan merupakan aib jika dibicarakan dengan orang luar. Akibatnya, KDRT menjadi sesuatu yang dipandang lumrah di masyarakat. Merespon anggapan sesat ini, dalam Konferensi Internasional di Wina muncul semboyan “the personal is political.” Persoalan pribadi sekali pun kalau membawa bahaya bagi orang banyak, harus dibawa ke ruang publik. Tujuannya, menghindarkan orang lain mengalami bahaya dan penderitaan serupa. Menarik untuk dicermati, pelaku KTP dari 992 kasus yang disebutkan di awal, ternyata bukan orang biasa, melainkan terdapat juga aparatur negara yang seharusnya berkewajiban melindungi masyarakat. Terdapat 14 kasus yang pelakunya aparatur negara: TNI dan Polri, serta pejabat dari institusi lain. Bentuk KTP yang dilakukan aparatur negara cukup beragam, seperti ingkar janji, perkosaan, penelantaran ekonomi, perselingkuhan, dan penganiayaan fisik. Fatalnya, proses hukum ke-14 kasus tersebut berjalan sangat lambat, ada banyak faktor berkelindan di dalamnya, seperti kurangnya sensitivitas gender dalam proses penyidikan, selain masalah birokrasi yang berbelit-belit. Masalah lain yang dihadapi, minimnya rujukan hukum bagi kasus KTP ini. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur dua jenis kekerasan seksual terhadap perempuan yang masuk ranah tindak pidana yaitu perkosaan dan pencabulan, padahal ada begitu banyak jenis KTP. Betul, sudah ada UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun implementasinya masih berjalan tertatih-tatih. Bahkan, sebagian Aparat Penegak Hukum (APH) belum tahu keberadaan undang-undang tersebut, apalagi implementasinya. Selain terkait materi hukum, masalah terkait struktur hukum dan budaya hukum juga masih sangat kuat. Tidak jarang korban harus berhadapan dengan aparatur yang sinis, tidak ramah dan cenderung membela pelaku serta menyalahkan korban. Tambahan pula, budaya hukum patriarkal yang masih kental membuat korban enggan dan sangat malu untuk melapor. Alih-alih mereka dilindungi dan diperlakukan sebagai korban yang memerlukan welas asih dan dukungan, malah mereka mendapat cemoohan serta stigma sebagai perempuan nakal dan tidak taat aturan. Begitu pula proses penyidikan dalam kasus kekerasan seksual seperti perkosaan dan pelecehan seksual. Laporan korban cenderung tidak dipercayai bahkan seringkali penyidik mencurigai dan menyalahkan korban. Lebih parah lagi, korban justru dipersalahkan sebagai pemicu kekerasan. Akibatnya, dalam berbagai kasus kejahatan perkosaan, penyidik dan juga publik masih cenderung menganggap perkosaan sebagi bentuk hubungan wajar atas dasar suka sama suka. Ini sangat mengerikan! Kesimpulannya, sangat perlu membangun sistem hukum yang adil (fair trial) sehingga siapa pun yang menjadi korban kekerasan akan terpenuhi haknya memperoleh proses peradilan yang adil. Sebaliknya, siapa pun pelaku kekerasan terhadap perempuan akan diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Bukankah keadilan sosial merupakan tujuan utama dari Pancasila, landasan pijak kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Akhirnya, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Se-dunia (International Women’s Day) tanggal 8 Maret, kami kelompok perempuan yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Korban Kekerasan Terhadap Perempuan memilih tema sentral, “Akhiri Kekerasan Sekarang Juga!” Perempuan Indonesia, sebagai warga negara penuh dan sebagai manusia seutuhnya berhak hidup damai dan sejahtera, tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun agar mereka dapat menyumbangkan partisipasi dan kontribusinya yang positif dan konstruktif secara optimal dalam seluruh bidang pembangunan bangsa. Selamat Hari Perempuan. Jakarta, Maret 2014 Sebuah perhelatan besar berupa konferensi internasional diadakan oleh Bibliotheca Alexandrina bekerjasama dengan sejumlah Non Government Organization (NGO) yang concern pada isu perempuan dan anak, seperti MADA Foundation, serta NGO berbasis hak asasi manusia. Konferensi ini mengambil tema pokok Menuju Ijtihad Baru Hak Asasi Perempuan, berlangsung selama dua hari penuh, tanggal 10-11 Maret 2014, bertempat di Bibliotheca Alexandrina, Alexandria, Mesir. Sebuah perpustakaan tertua dengan bangunan modern, didirikan sekitar abad ke-3 sebelum Masehi oleh walikota Athena, terletak di tepi pantai Alexandria, kota terbesar kedua setelah Cairo di Mesir. Tahun 1994 ketika penelitian disertasi di Cairo, saya sering bolak-balik ke Alexandria dan tampaknya kota ini tidak banyak berubah, walau terjadi revolusi Arab Spring, tetap menjadi kota terbersih di Mesir dan selalu dipuja sebagai kota bercorak Eropa. Hadir sekitar 200 feminis Muslim, lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Peserta datang dari berbagai belahan dunia, kebanyakan datang dari negara-negara Islam di Timur Tengah. Saya sendirian mewakili Indonesia di forum ini. Sejumlah ulama ternama pun hadir, antara lain mewakili lembaga fatwa Al-Azhar, Mesir, Arab Saudi, Tunisia, Nigeria, Maroko, Sudan, Kuwait, Yaman, Irak, Uni Emirat Arab, Yordania, Palestina dan Lebanon. Beberapa cendekiawan tercatat, seperti: Dr. Ismail Serageldin, Dr. Assem Hefny, Dr. Amr al-Wardany (Daar al-Iftaa), Dr. Magdy Ashour (advisor of Grand Mufti Egypt), Dr. Muhammad Salem (Senior Lecturer of Azhar Univ. Egypt), Dr. Muhammad Naguib Awadein (Professor of Sharia, Cairo Univ). Peserta lain adalah Dr. Muhammad Arnaut (Professor at Al-Bayt Univ Jordan; Dr. Ibrahim Al-Bayumi (Egypt); Dr. Suhayla Zain (Saudi Arabia); Dr. Muhammad Abu Zaid (Azhar University); Dr. Zaki al-Milad (Saudi Arabia). Secara umum, semua peserta menyerukan perlunya menawarkan ijtihad alternatif, ijtihad baru yang lebih kondusif bagi upaya memajukan peradaban Islam, khususnya terkait pemenuhan hak asasi perempuan, relasi gender yang adil dan peningkatan kedudukan perempuan dalam Islam, baik dalam ranah keluarga maupun dalam ranah publik. Semua sepakat perlunya membuka akses dan kesempatan bagi perempuan untuk berkiprah secara luas dalam berbagai bidang kehidupan sebagaimana saudara mereka laki-laki. Saya yakin, hanya dengan cara itulah kita dapat mengangkat kemuliaan dan kejayaan Islam sebagai agama yang peduli dan sangat berpihak pada kemaslahatan dan kemanusiaan. Islam adalah agama yang ramah terhadap perempuan. Semoga hal ini menjadi isyarat kebangkitan kembali peradaban Islam yang mengedepankan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kemaslahatan untuk semua manusia, tanpa membedakan gender dan jenis kelamin! Salah satu tujuan konferensi, merumuskan Deklarasi Iskandariyah (Alexandria) yang akan menjadi panduan Islami bagi upaya pemenuhan hak asasi perempuan di dunia Islam, membangun kesetaraan gender dan kerja-kerja pemberdayaan perempuan di semua bidang kehidupan dan upaya-upaya membangun interpretasi agama yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal dan sekaligus ramah terhadap perempuan. Saya beruntung hadir di konferensi para feminis Muslim kali ini, yang berbeda dari berbagai konferensi sebelumnya mengingat jumlah pesertanya kebanyakan laki-laki. Pesertanya lebih banyak ulama dan cendekiawan laki-laki dan berasal dari negara-negara Arab yang selama ini dikenal tertutup terhadap isu kesetaraan gender dan upaya pemberdayaan perempuan. Selain itu, isu-isu perempuan yang dibahas pun amat luas menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti, konsep-konsep fundamental tentang posisi perempuan dalam Alquran, sistem keluarga dan perundang-undangannya, perempuan dalam ranah publik mencakup politik, hukum, pendidikan, ekonomi, teknologi, dan sains, serta isu-isu kontemporer masyarakat Muslim. Menarik dijelaskan, peserta perempuan dalam forum dunia ini meski diadakan di negara Islam dan juga mengambil tema tentang perempuan Muslim, tidak semuanya memakai tutup kepala. Yang memakai tutup kepala pun, bentuk dan modelnya amat beragam, sebagian menutupnya dengan kerudung ketat sehingga tidak tampak sehelaipun rambutnya. Beberapa menutup kepala dengan topi yang modis, bagian telinga dan leher tetap terbuka sehingga terlihat anting-anting dan syal melilit di leher. Sebagian lagi hanya menutup bagian belakang kepala, sementara bagian depan terlihat rambutnya menyembul. Busana pun sangat bervariasi, sebagian mengenakan blus dan rok setengah lutut yang dipadu dengan sepatu bot panjang dan berhak tinggi. Sebagian lagi memakai celana jins ketat dengan blus pendek sehingga bagian pinggul terlihat jelas lekuknya. Sebagian lagi memakai abaya longgar khas Arab. Tidak sedikit yang memilih busana terbuka, berbentuk blus dan rok atau celana panjang tanpa tutup kepala. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai di pundak. Keberagaman busana bukan hanya milik perempuan, busana peserta laki-laki pun cukup bervariasi. Sebagian memakai stelan jas lengkap dengan dasinya, sementara dari Iran tidak suka pakai dasi. Ulama dari Mesir umumnya memakai baju panjang lengkap dengan topi khas Mesir. Ada juga yang hanya memakai celana jins dan kaos tebal. Peserta dari Saudi semua memakai tutup kepala lengkap berupa sorban warna putih dan mahkota segi empat. Jadi, yang menutup kepala itu bukan hanya perempuan. Saya memilih blus panjang dan rok panjang dari batik atau tenun ikat sebagai ciri khas Indonesia dipadu dengan kerudung warna cerah sesuai iklim tropis Indonesia. Saya bangga memperkenalkan diri sebagai Muslimah Indonesia dengan keunikannya, baik dari aspek busana, maupun dari aspek pemahaman keislaman, khususnya dalam konsep relasi gender. Saya perhatikan, semua peserta berbaur jadi satu, baik dalam forum maupun di luar forum, seperti ketika makan dan istirahat, tanpa mempersoalkan busana, gender dan bangsa. Para ulama laki-laki tidak terlihat enggan duduk berdampingan dengan perempuan yang berpakaian terbuka tanpa tutup kepala. Laki-laki dan perempuan berbaur jadi satu, tanpa sekat dan pemisahan seperti di masjid atau di aula kampus UI (Universitas Indonesia). Ada rasa saling menghormati dan mengapresiasi sesama peserta. Inilah hakikinya konsep kesatuan umat dalam Islam. Yang utama adalah semua sepakat tentang rukun iman dan rukun Islam. Meski dalam implementasinya selalu dijumpai riak-riak perbedaan antara satu kelompok dan kelompok lain. Perbedaan itu muncul karena hasil ijtihad. Namun, semua masih mengakui Islam, berbeda interpretasi atau pemahaman tidak harus membawa seseorang keluar dari Islam. Hal menarik lainnya dari forum ini adalah kehadiran sejumlah pemuda calon ulama dari Al-Azhar, Cairo. Mereka mengenakan pakaian seragam kebesaran ulama berupa baju abaya hitam dipadu dengan topi khas Mesir berwarna putih dengan pinggiran warna merah. Ide menghadirkan calon ulama ini perlu diapresiasi karena hal itu sangat penting untuk membuka mind set dan wawasan mereka sehingga kelak menjadi ulama yang mampu merespon isu-isu kontemporer di dunia Islam, terutama terkait kesetaraan gender. Hanya dengan cara itulah Islam akan fungsional sebagai hudan wa rahmatan dalam hidup umat Islam. Oh ya, perlu juga saya informasikan, di forum ini beberapa peserta dan panitia perempuan beragama Kristen Koptik dan berjilbab ketat. Sepintas sulit membedakan mereka dengan perempuan Muslim karena model busana dan jilbabnya serupa. Saya pun mengetahui setelah berbincang panjang dengan mereka. Subhanallah, Maha suci Allah, begitu beragamnya manusia dan hanya Dialah berhak memutuskan siapa di antara hamba-Nya yang benar. Tugas kita sebagai hamba hanyalah berfastabiqul khairat, berkompetisi melakukan amal-amal shalih sesuai dengan keyakinan masing-masing, jangan saling mengganggu, apalagi menghakimi sesama. Namun, berusahalah untuk saling membantu dan bekerjasama merajut perdamaian, kebaikan dan kemaslahatan bagi orang banyak. Isu hangat dalam forum ini adalah ketika Dr. Nevin Reda, Profesor dalam bidang studi keislaman di Universitas Toronto, Canada menyampaikan paparannya tentang ijma kontemporer tentang ayat-ayat poligami. Dengan bahasa Arab yang fasih dia menjelaskan pemaknaan baru sejumlah kosakata dalam Alquran, dia berargumen betapa ayat-ayat terkait poligami mengandung makna yang amat mendorong umat Islam agar memperhatikan prinsip keadilan dan terjalinnya hubungan cinta kasih yang intens di antara seluruh anggota keluarga karena itu poligami menjadi suatu yang tidak relevan dalam kondisi masyarakat modern. Tentu saja sejumlah peserta, khususnya laki-laki mendebat dia dengan sengit, tetapi dengan cara yang lembut memukau dia mampu membuat para penantangnya terdiam tak berkutik. Isu lain yang menghangat adalah terkait isu undang-undang keluarga. Faktanya, sejumlah negara Islam sedang melakukan upaya reformasi undang-undang perkawinan atau keluarga. Negara Maroko dan Tunisia dianggap berhasil dalam reformasi undang-undang keluarganya sehingga menjadi ikon undang-undang yang progres di negara Islam. Kedua negara tersebut sangat memerhatikan hak-hak perempuan dan anak dalam undang-undang keluarga. Di antara pasal yang progres dalam undang-undang perkawinan Tunisia adalah larangan poligami, dan jika seseorang berpoligami maka dia dituntut oleh pengadilan dengan hukuman denda berupa uang sebanyak 240.000 malin dan hukuman penjara minimal 5 tahun. Seluruh peserta sepakat perlunya mendorong upaya reformasi dengan melahirkan ijtihad baru terkait relasi suami-isteri, serta hak dan kewajiban keduanya dalam kehidupan keluarga. Saya diminta menjelaskan pengalaman mengusung counter legal draft dari Kompilasi Hukum Islam (1991). Sebagaimana diketahui, tahun 2004 tim kami merumuskan suatu draf alternatif hukum perkawinan dengan paradigma kesetaraan gender. Draf undang-undang perkawinan yang kami tawarkan tersebut dibangun di atas lima prinsip dasar yang seharusnya menjadi landasan perkawinan Islam. Pertama, prinsip mitsaqan galiza, komitmen kuat untuk membentuk keluarga; kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang yang tak bertepi); ketiga, prinsip musawah, kesetaraan, saling melengkapi dan melindungi; keempat, prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (pergaulan yang sopan dan penuh nilai-nilai keadaban), baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi sosial; dan kelima, prinsip monogami. Peserta sangat mengapresiasi ijtihad yang kami lakukan dan berharap agar draf kami dapat dijadikan acuan reformasi undang-undang perkawinan di berbagai negara Islam. Mereka pun mengatakan, upaya ijtihad yang kami lakukan itu berpahala. Sebab, dalam hadis Nabi saw disebutkan, barang siapa berijtihad mendapatkan dua pahala jika ijtihadnya benar, tapi jika ijtihadnya salah tetap mendapatkan satu pahala. Jadi, berijtihad itu tidak pernah sia-sia, pasti ada pahalanya karena telah mengerahkan tenaga untuk berpikir keras dan melakukan kerja-kerja intelektual dengan sungguh-sungguh. Yang perlu diperhatikan adalah tujuannya. Tujuan ijtihad semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah swt. Hasil ijtihad itu diharapkan membawa kemashlahatan bagi umat manusia. Bukan untuk mendapatkan popularitas, penghargaan, apalagi mendapatkan keuntungan material. Konferensi ini akhirnya memproklamasikan sebuah deklarasi yang disebut Deklarasi Alexandria. Isinya menjelaskan prinsip-prinsip Islam tentang hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan, kesetaraan gender dalam semua bidang kehidupan: baik di ranah keluarga maupun ranah masyarakat, dan mencakup berbagai aspek, seperti, sains, teknologi, ekonomi, politik, hukum dan pendidikan. Diharapkan agar deklarasi ini menjadi landasan pijak bagi kerja-kerja feminis Muslim di seluruh dunia, demi terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender yang merupakan basis kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia. Alexandria, Mesir 11 Maret 2014
Siapakah namamu? Kemudian gadis kecil di Sekolah Dasar Kalulushi, Zambia ini menjawab: “Namaku Maluba”. Maluba adalah Bunga. Anak-anak perempuan kita sering diberi nama sebagai Bunga. Tak hanya di Afrika, Asia, seperti juga Indonesia, banyak memberikan nama-nama bunga kepada anak-anak perempuan seperti Puspa, Kania, Melati, dan lain-lain. Nama bunga juga sering digunakan media cetak dan visual kita untuk merujuk anak perempuan korban perkosaan. Dan tulisan tentang Bunga juga kerap bukan tulisan yang empatik, kalau bukan perolokan atas kecabulan. Anak-anak korban perkosaan sering membesarkan bayinya sendirian. Terusir dari keluarganya, bahkan. Juga dari sekolahan. Sekitar 16 juta anak perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya di seluruh dunia. 95% kelahiran berasal dari negara-negara miskin dan sedang berkembang. Lebih dari 50% kelahiran tersebut berada di Afrika. Kehamilan di kalangan remaja adalah persoalan serius. Kelahiran dapat bermakna berkah atau musibah. Menjadi berkah tatkala dipersiapkan dengan baik. Menjadi musibah, tatkala kehamilan terjadi karena perkosaan, karena tidak mengetahui hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual kemudian menjadi kehamilan tak dikehendaki. Kehamilan dapat menjadi musibah, apabila kemudian dia mengakhiri masa depan seorang anak perempuan karena harus dikeluarkan dari sekolah atau diusir oleh keluarganya. Hampir 10% dari anak-anak perempuan di dunia adalah ibu pada usia 16 tahun. Dan angka tertinggi berada di Afrika dan Asia. Konteks setiap kehamilan remaja tidak sama. Dan kehamilan ini mengakibatkan dilakukannya banyak aborsi tak aman dan berbahaya. 14% aborsi terjadi pada usia 15-19 tahun. Dan ini membahayakan nyawa anak-anak perempuan kita. Bayi-bayi yang dilahirkan oleh remaja juga memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Meskipun Artikel 2 (1) dari CRC (Convention on the Rights of Child) 1989 menyatakan bahwa—“States Parties shall respect and ensure the rights set forth in the present Convention to each child within their jurisdiction without discrimination of any kind, irrespective of the child's or his or her parent's or legal guardian's race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national, ethnic or social origin, property, disability, birth or status”—namun status dan ketidakadilan yang dihadapi anak-anak perempuan di dunia masih amat tinggi. Praktek-praktek tradisional seperti sunat perempuan, pengantin anak, pendidikan yang bias gender, sikap patriarkis dan kondisi politik budaya yang buruk membuat anak-anak perempuan kita menghadapi diskriminasi ganda. Maka dalam Beijing Platform 1995 ditekankan kembali pentingnya menekankan hak anak perempuan secara khusus karena proses marginalisasi yang tak mengenal ampun itu. Kerentanan anak perempuan tidak hanya disebabkan oleh konstruksi sosial atas peran mereka dalam masyarakat, tetapi lebih banyak juga dipicu posisi kuasa mereka dalam rumah orang tuanya, bagaimana anak-anak perempuan dalam sebuah unit keluarga tak dianggap penting atau berharga dibanding anak laki-laki. Tak heran jika aborsi janin perempuan (feticide) di China, India, Jepang bahkan, masih marak. Ini mengakibatkan hilangnya jutaan anak perempuan di belahan bumi Asia dan Afrika—karena FGM (pendarahan hebat akibat Female Genital Mutilation). Dunia sekarang sedang defisit anak-anak perempuan. Mereka telah dibunuh dengan sengaja oleh peradaban manusia. Relasi hubungan antara anak perempuan dan anak laki-laki juga amat berbeda dari satu budaya ke budaya yang lain. Orang tua seringkali menginvestasikan lebih banyak energi, kapital, dan perhatian pada anak laki-laki karena berharap terlalu “besar” terhadapnya. Diskriminasi terhadap anak perempuan, sesungguhnya berawal dari diskriminasi terhadap anak laki-laki. Ketika peradaban meletakkan beban “agung” kepada anak laki-laki. Posisi ini membuat mereka harus “superior” yang kemudian secara psikologis sesungguhnya tidak sehat. Kemudian anak-anak perempuan dididik untuk tabah dan turut pada “inferioritas”. Datanglah ke kelas-kelas, maka akan kita jumpai anak-anak perempuan kita lebih banyak memilih diam, atau jika salah, menjadi perolokan seluruh kelas. Ini membuat anak-anak perempuan rentan akan kekerasan dan pelecehan. Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) 1979 merupakan muara penyelamat atas seluruh tindakan peradaban yang tak waras dan tak adil itu. Instrumen hukum ini kemudian melarang FGM dan child bride yang banyak menimpa anak-anak perempuan Asia dan Afrika yang dijual keluarganya menjadi pengantin. Bayangkan seorang anak perempuan yang menjadi janda pada usia 12 tahun di sub-sahara Afrika? Bukankah dia seharusnya berada di sekolah? Bukankah dia seharusnya dalam perlindungan aman orang tua? Bukankah dia seharusnya bermain dengan teman-temannya? Bukankah dia seharusnya sedang senang belajar dan senang bermain? Bukankah dia seharusnya masih menjadi kanak? Pengantin anak di Afrika dipicu oleh tingkat kemiskinan yang tinggi, sehingga sebuah unit keluarga menjual anak-anak perempuannya untuk dapat sekadar makan nsima (sejenis nasi jagung). Dalam diskriminasi gender kita perlu juga mencurigai rentang usia—mulai dari dia berupa janin, bayi, anak-anak, remaja, usia produktif, dan lansia. Perempuan dalam semua rentang usia itu mengalami lingkaran kekerasan yang bahkan tak bisa dihentikan sepanjang hidupnya. Apabila dia adalah seorang anak perempuan, kemudian dia dapat menjadi korban perkosaan ketika remaja, kemudian dia dapat menjadi korban dari KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), dan seterusnya. Dalam rentang usia pada tingkat mana pun, mereka bisa saja mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan sejak dia dalam kandungan ibunya. Status anak-anak perempuan kita, bahkan, ditentukan sejak dia terdeteksi berjenis kelamin perempuan dalam perut ibunya. India telah melarang baby-scanner di beberapa pelosok desanya untuk mencegah tingginya angka aborsi bayi perempuan. Takdir anak-anak perempuan kita, ancaman yang mengintai anak-anak perempuan kita, terbit sejak dia terdeteksi berjenis kelamin perempuan. Status “perempuan” adalah sebuah status yang tak sungguh-sungguh aman, pada akhirnya. Chingola, Zambia 23 Maret 2014 Dalam bahasa Tonga, Buumba bermakna “berkabung”, Buumba adalah nama untuk anak perempuan. Saya menyeket Buumba pada hari pertama tiba di Ndola, Copperbelt, Zambia dalam rangka riset kepemimpinan anak perempuan di sekolah. Banyak anak-anak perempuan di seluruh dunia, setidaknya di Asia dan Afrika dan belahan bumi selatan yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka kerap menjadi korban perdagangan anak dan eksploitasi seksual. Seperti nama Buumba, kita tak bisa sungguh-sungguh menyaksikan bahwa anak-anak perempuan akan dilahirkan, kemudian akan bahagia, kalau tidak pada usianya yang belasan tahun itu digadaikan keluarga menjadi pengantin belia atau menemui ajalnya tatkala disunat. Angka kematian anak-anak perempuan karena sunat (FGM-female genital mutilation) di Afrika sangat tinggi. Praktek ini masih ada di setidaknya di 27 negara Asia dan Afrika dan 125 juta perempuan terancam kesehatan dan nyawanya karena praktek mutilasi amat berbahaya ini. Di Zambia, tingkat melek huruf anak perempuan lebih rendah 15% dari anak laki-laki (dari usia 15-24 tahun) meskipun anak-anak perempuan tercatat paling rajin masuk sekolah (catatan UNESCO World Atlas of Gender Equality in Education). Zambia berada pada urutan kesebelas sebagai negara paling kurang berkembang di seluruh dunia. Irisan antara kemiskinan, HIV/AIDS dan praktek-praktek tradisional berbahaya, yaitu sunat perempuan merupakan ancaman serius bagi perempuan di Zambia. Anak-anak perempuan masih mendapatkan kesulitan untuk mengakses pendidikan, kesempatan ekonomi, fasilitas kesehatan dan kebebasan sosial. Hampir 94% kepemilikan tanah di Zambia hanya menjadi hak istimewa tetua tradisional (baca: pemimpin adat, yang adalah laki-laki). Hampir seluruh kepemilikan, pengolahan lahan pertanian-perkebunan dan ternak yang dilakukan perempuan tetap dalam kontrol laki-laki. Dan seluruh kontrol terhadap air dalam pengolahan lahan juga tidak di tangan perempuan. Baik di Zambia dan Indonesia, partisipasi perempuan dalam arena politik sangat rendah. Perempuan sangat sedikit dalam struktur eksekutif pemerintahan. Perempuan yang ingin menjadi politisi, laiknya di Indonesia, mendapat banyak hambatan, seperti struktur masyarakat yang masih patriarkis; kurangnya modal ekonomi; kapasitas kepemimpinan yang belum terolah dengan baik; kebijakan publik yang tidak mendukung keberadaan calon legislatif perempuan; relasi media dan perempuan yang masih buruk; beban domestik yang besar; dan lain-lain hambatan yang ditanggung perempuan sendirian. Struktur psikososial masyarakat global kita, bahkan, tidak hanya di negara-negara dunia ketiga, tetapi juga di negara-negara maju, perempuan masih harus menghadapi banyak kesulitan-kesulitan sosiobudaya untuk mengembangkan kapasitasnya sebagai pemimpin. Ketika anak-anak perempuan kita mencoba mengungkapkan pendapatnya, ketika mereka salah, narasi psikososial cenderung memilih memperoloknya sebagai bentuk ketidakpercayaan kita bahwa mereka tak sungguh-sungguh sanggup mengambil peran utama dalam retorika politik. Bahkan, Margaret Thatcher, si perempuan besi itu, harus berlatih swara agar tidak cempreng, agar tidak jadi bahan tertawaan ketika dia pidato. Psikologi politik maskulin mau tidak mau harus dipelajari oleh perempuan dengan baik, jika dia ingin sukses memimpin. Iklim kepemimpinan model perempuan sesungguhnya juga belum banyak diterima oleh masyarakat perempuan sendiri. Perempuan, mau tidak mau, harus belajar menerima model-model yang dikembangkannya sendiri, jika tidak ingin ketinggalan. Baik laki-laki, perempuan dan minoritas seksual harus saling bergandeng-tangan untuk memberikan ruang bagi pilihan afirmatif atas model-model kepemimpinan di luar model maskulin yang mengakar kuat dalam dunia politik dunia. Salah satunya adalah dengan mendukung anak-anak perempuan kita. Tak ada cara selain selalu menyediakan tepuk tangan kita, untuk anak-anak perempuan kita, jika mereka pun salah dalam mengungkapkan ide-idenya. Bahkan dengan swara cempreng sekali pun. Tak mungkin akan ada pemimpin perempuan yang tangguh, tanpa anak-anak perempuan yang belajar mengembangkan kapasitasnya secara maksimal dengan seluruh dukungan kita. Meskipun demikian, kita masih harus tetap berkabung jika melihat angka-angka kemiskinan dan perdagangan anak-anak perempuan secara global. Kemiskinan merupakan penghambat utama bagi pendidikan anak-anak perempuan kita. Secara global 31% anak-anak perempuan harus drop-out dari pendidikan dasar karena kemiskinan (UN Report, 2013). Dan angkanya semakin tinggi untuk sekolah menengah dan lanjutan, apalagi tingkat universitas. Mengingat buruknya angka pendidikan anak-anak kita, tak ada yang lebih indah selain menyediakan pelayanan-pelayanan pengetahuan untuk mendukung pengembangan kapasitas mereka. Berkabunglah untuk anak-anak perempuan kita. Dalam pelayanan untuk peradaban yang adil, yang setara.
Zambia, 18 Maret 2014 |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|