![]() Oleh: Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan) Jurnal Perempuan pertama kali terbit memang pada bulan Agustus 1996. Namun pada tanggal 25 Juli 1996, Jurnal Perempuan mendapatkan izin untuk terbit sebagai jurnal. Pada zaman Orde Baru semua majalah dan jurnal memerlukan izin dan pengurusannya dirasakan sangat merepotkan. Perlu dipahami bahwa zaman tersebut adalah zaman yang mengontrol ketat informasi apalagi yang berkaitan dengan politik. Jurnal Perempuan memberikan alasan ketika itu, bahwa jurnal ini adalah jurnal “wanita” sebab kata politik apalagi feminis tentu akan menjadi masalah besar. Meski pada waktu itu Jurnal Perempuan ingin sekali memiliki izin resmi seperti majalah-majalah lainnya, namun pada akhirnya karena perjalanan izin yang melelahkan, Jurnal Perempuan cukup berbahagia dengan terbitnya ISSN. Memang agak mengkhawatirkan karena ISSN pada waktu itu tentu tidak dianggap cukup. Namun, kami merasa aman sebab setiap kali kami menyebutkan jurnal kami adalah tentang “wanita”, pihak yang berotoritas terlihat santai dan menganggap ini paling bacaan ringan ibu-ibu tentang rumah tangga atau alat kecantikan. Kami pun pada waktu itu tidak terlalu marah, karena kami paham benar bila kami menunjukkan sedikit emosi, maka akan berurusan panjang. Jadi, kami hanya tersenyum kecil dan mengangguk perlahan. Apalagi ketika mereka melihat bahwa nama saya tertera sebagai penanggung jawab atas jurnal tersebut, mereka bercanda dan tertawa senang bahwa pemimpin redaksinya bernama “Gadis”. Amat mengesalkan memang, tapi semua perjuangan ada pengorbanannya meski harus menahan emosi. Dan rupanya rasa emosi yang ditahan tersebut berlanjut ketika harus menawarkan kesana-kemari jurnal kami agar dapat dipasarkan di toko-toko buku termuka. Saya ingat ketika saya datang ke sebuah toko buku terkenal dan duduk menunggu dipanggil di bagian penawaran buku. Kebetulan ruangan tersebut tidak ber-AC dan penuh asap rokok, rupanya jarang sekali agen buku yang berjenis kelamin perempuan, rata-rata pria yang merokok pula. Sudah lama menunggu baru nama saya dipanggil, “Gadis”, dan kembali orang yang memanggil tersenyum-senyum. “Wah ini majalah yang ditunggu-tunggu isinya semua tentang wanita..wanita memang harus pintar dandan dan masak…” Tanggapan saya pada waktu itu, saya tidak ingin berpanjang lebar berdiskusi tentang feminisme dengan orang ini, yang penting bagaimana Jurnal Perempuan dapat dijual di toko ini. Tanpa melihat jurnal yang saya pegang, orang tersebut memberikan izin dan seminggu kemudian Jurnal Perempuan terpajang di toko buku tersebut. Ada perasaan bangga melihat Jurnal Perempuan terpajang di rak-rak toko buku ketika itu, meski dijejerkan di bagian buku masak-memasak dan keperluan kewanitaan lainnya. Sepanjang jalan pulang, giliran saya tersenyum senang, memang apa yang saya idamkan bahwa Jurnal Perempuan dapat sejajar berjejer dengan jurnal politik, jurnal ekonomi atau majalah Tempo tidak terpenuhi, tapi satu tahap telah terlewati, satu langkah kecil telah dimulai dan segudang ide bermunculan. Bermula Hanya Dengan Sebuah Ide Jurnal Perempuan memang lahir dengan hanya sebuah kekuatan ide. Tak ada uang, tak ada iklan berjejer dan tak ada konglomerat yang mau berinvestasi menerbitkan jurnal yang hanya membicarakan soal-soal perempuan. Jadi tidak mengherankan awal terbit Jurnal Perempuan, kantor pun tidak ada, hanya sebuah ruang studi saya yang dijadikan tempat rapat, editing, berdebat dan menulis. Pada bulan-bulan pertama memang yang rapat, mengedit, berdebat dan menulis, ya, hanya saya sendiri ditemani kursi-kursi kosong. Baru beberapa waktu kemudian, Jurnal Perempuan berkembang perlahan-lahan dan mendapatkan dukungan dari The Ford Foundation. Saat itu Jurnal Perempuan sudah memiliki “kantor” di belakang halaman rumah saya dan tidak akan saya lupa ketika staf Ford Foundation datang berkunjung. Ibu Lia dan ibu Bianti bertanya kepada saya kira-kira Jurnal Perempuan mau seperti apa? Saya jawab dengan penuh percaya diri ingin seperti majalah Prisma. Mereka begitu baik mengiyakan mimpi-mimpi saya meski kita sama-sama tahu tidak mungkin jurnal yang melabelkan diri feminis dan pertama di Indonesia bisa “survive”. Maka saya sungguh heran dan amat bersyukur bahwa Jurnal Perempuan bisa mencapai usianya yang ke-17 tahun hari ini. Tidak ada yang menyangka dan tidak ada yang percaya termasuk saya sendiri bahwa sebuah penerbitan tanpa modal bisa terus hidup dan eksis. Jurnal Perempuan hanya memiliki kekuatan ide. Pendiri-pendiri Jurnal Perempuan seperti Ibu Ida Dhani, Ibu Toeti Heraty dan Pak Asikin Arif (Alm) dan saya sendiri, semua berlatar belakang pengajar Filsafat UI. Hanya Ibu Toeti Heraty yang mempunyai pengalaman bisnis, namun Ibu Toeti mengundurkan diri dari organisasi kami di tahun 2000. Tak lama kemudian Pak Asikin meninggal dunia dan tinggal Ibu Dhani yang sudah mulai sepuh. Namun semangat dan kekuatan ide di Jurnal Perempuan terus berkobar dengan bergabungnya Karlina Supelli bahkan laki-laki pun ikut memperkuat gerakan feminis seperti Nur Iman Subono dan Rocky Gerung, kesemuanya juga berlatar belakang pendidikan Filsafat dan pengajar di UI. Tenaga-tenaga muda dari berbagai bidang banyak yang singgah di Jurnal Perempuan, ada yang menetap dan ada yang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih menjanjikan. Namun rata-rata meski tidak lagi di Jurnal Perempuan masih tetap membantu sebisa mereka. Sedangkan mereka yang menetap tetap aktif, kreatif dan berdedikasi mengelola Jurnal Perempuan seperti Mariana Amiruddin, Deedee Achriani dan kini Dewi Candraningrum. Selain segudang ide, Jurnal Perempuan memang memiliki segudang semangat. Akan tetapi, setiap tahun kami selalu dihantui apakah Jurnal Perempuan akan berlanjut dan apakah tahun ini nafas Jurnal Perempuan yang terakhir. Banyak masalah yang dihadapi Jurnal Perempuan soal dana, tenaga dan pengelolaan manajemen yang terus menerus perlu disempurnakan. Apalagi bila harus memikirkan ongkos percetakan, listrik dan kontrakan rumah yang setiap tahun harus diperbaharui. Setiap akhir tahun kami selalu deg-degan, adakah dana untuk meneruskan Jurnal Perempuan di tahun depan? Adakah tenaga yang masih mau membantu kami? Adakah organisasi dan institusi yang masih mau mendukung kami? Dukungan Terhadap LSM Saya pikir kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tidak hanya dialami oleh Jurnal Perempuan. Hampir semua LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat mengalaminya. LSM di Indonesia masih barang baru dan belum memiliki sistim manajemen profesional yang memadai. Misalnya memiliki kecanggihan di bidang promosi, pencarian dana dan penggalangan dana masyarakat yang canggih. Sebagian besar masyarakat pun masih belum mau berinvestasi pada LSM. LSM masih dicap sebagai tukang “ngomel”, suka berdemo dan membuat keributan. Padahal LSM tidak sama dengan kelompok preman yang suka melarang-larang orang berkeyakinan lain, menutup-nutup usaha orang dengan paksa. LSM yang bergerak di bidang advokasi dan pemberdayaan masyarakat, sebagian besar mendukung demokrasi, toleransi dan keadilan gender. Tentu patutlah LSM-LSM seperti ini didukung oleh masyarakat bahkan didukung oleh korporasi seperti di negara-negara maju. Pemerintah di negara maju menghimbau korporasi untuk menyumbang kepada LSM, dan bila perusahaan tersebut memberikan dana kepada LSM, mereka diberikan kompensasi keringanan pajak. Tidak terbatas pada perusahaan, demikian pula individu yang memberikan dana ke LSM juga mendapatkan kompensasi keringan pajak. Jadi kerja LSM benar-benar dihargai dan dianggap bermartabat. Pada usianya yang ke-17 tahun ini sebenarnya Jurnal Perempuan patut bersyukur. Sebab dukungan masyarakat (relawan-relawan yang bermunculan di Jurnal Perempuan), pemerintah dan korporasi meningkat. Masyarakat mendukung dengan menjadi SJP (Sahabat Jurnal Perempuan), program yang memastikan mereka bukan hanya berlangganan tapi juga mendukung kegiatan-kegiatan Jurnal Perempuan. Korporasi mulai tertarik dengan penerbitan Jurnal Perempuan dan mulai pula mendukung kegiatan-kegiatan Jurnal Perempuan dengan menjadi SJP- Perusahaan, meskipun baru 1 perusahaan yang berhasil kami raih. Pemerintah pun sudah menjadi mitra kami dalam berdiskusi dan bekerja sama memajukan hak-hak perempuan. Tentu kami berterima kasih tak terhingga dengan dukungan semua pihak. Bila Hillary Clinton mengatakan “It takes a village to raise a child”, maka saya berpikir perlu juga satu kampung, bangsa dan dunia untuk mendukung pengetahuan perempuan. Jurnal Perempuan tidak akan dapat melakukan kegiatan pencerahan dan kesetaraan sendirian. Kami memerlukan sahabat yang peduli dengan penerbitan Jurnal Perempuan. Dukungan Pengetahuan Perempuan Apakah yang istimewa dari pengetahuan perempuan? Pengetahuan perempuan sangat penting sebab pengetahuan perempuan diformulasikan lewat pengalaman kehidupan perempuan. Jurnal Perempuan tidak pernah terlepas dari bagian gerakan, cerita dan pengalaman perempuan. Setiap edisi yang kami hadirkan mengungkapkan apa yang kami temukan di lapangan, apa yang dikeluh kesahkan dan diimpikan oleh perempuan Indonesia. Setiap pengumpulan data dan pemformulasian pengetahuan yang dituangkan di Jurnal Perempuan disusun dengan bahasa dan kognisi yang sensitif pada kepentingan perempuan. Gerakan pengetahuan perempuan memang baru dimulai pada tahun 1970-an dan masih merupakan hal yang baru di dunia akademisi. Namun, pengetahuan gender kini sudah merasuk di semua bidang ilmu. Pengetahuan gender ini pula yang menimbulkan teori-teori lainnya yang berkepentingan dengan kelompok-kelompok marjinal seperti etnis dan agama minoritas serta gay, lesbian dan transgender. Selama 17 tahun Jurnal Perempuan telah bergumul dengan teori, kisah kehidupan dan aksi-aksi perempuan yang hampir semuanya diliputi ketegangan dan kepedihan. Persoalan trafficking, kekerasan domestik, poligami, pengontrolan tubuh dan pakaian perempuan serta kebijakan-kebijakan yang tak masuk akal dan merugikan perempuan. Selama 17 tahun Jurnal Perempuan menyaksikan kehidupan perempuan yang bergulir dari satu masa ke masa lainnya. Tak semuanya mengandung kesedihan, ada yang cukup menggembirakan dan berhasil diperjuangkan. Ketika Jurnal Perempuan memfasilitasi dan mengorganisir demonstrasi Suara Ibu Peduli, membantu dan menegakkan demokrasi serta mencanangkan Reformasi dengan amunisi “nasi bungkus”. Ketika Jurnal Perempuan ikut menyelamatkan anak-anak yang menjadi korban trafficking di Batam dan Malaysia, melihat kegembiraan mereka kembali ke kampung halaman mereka setelah disekap dan dijadikan budak seks. Ketika Jurnal Perempuan ikut menentang kekerasan berbasis agama dan terus menyuarakan masyarakat yang toleran. Sebuah kelompok yang dulu begitu menindas dengan alasan agama, kini tidak lagi diterima dengan mudah dan bahkan bisa dilawan. Perlawanan terhadap kelompok penindas harus terus dilakukan tanpa lelah. Dari seluruh pengalaman dan jejak-jejak perjuangan keadilan dan kesetaraan, Jurnal Perempuan berusaha mengungkapkannya dalam audio, video dan penulisan di Jurnal Perempuan. Menulis adalah senjata kami, pena adalah goresan hati kami, jurnal adalah persembahan kami untuk bangsa ini. Selamat ulang tahun Jurnal Permpuan! ![]() Ditulis oleh Mariana Amiruddin Masih banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa istilah gender semata-mata merujuk pada perempuan. Masih banyak pula yang salah paham atau rancu dalam memahami istilah gender dan jenis kelamin (seks). Kesalahpahaman tersebut bahkan masih terjadi pada pihak-pihak yang berurusan dengan program-program kesetaraan gender di Indonesia. Saya tidak ingin mengatakan bahwa ini suatu kesalahan, tetapi ini suatu pekerjaan kita semua yang memiliki keahlian khusus di bidang studi gender (gender expert). Istilah gender memang perlu dipahami secara tuntas, sebelum kita menggunakannya, mengucapkannya, dan sebelum kita bekerja untuk hal tersebut. Ada banyak pengertian terkait dengan istilah gender. Gender memang bukan berakar dari bahasa Indonesia, dan gender bukanlah sekedar satu kata dengan satu pengertian. Gender adalah sebuah konsep yang menceritakan banyak hal mengenai kehidupan dua jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Istilah gender berangkat dari kesadaran kita bahwa manusia tidaklah satu, manusia bermacam-macam, dalam hal ini adalah jenis kelaminnya. Gender, merujuk pada suatu kebudayaan yang memperlakukan -- manusia berjenis kelamin -- laki-laki dan perempuan secara berbeda, yang padahal dalam prinsip kemanusiaan, mereka adalah dua jenis manusia yang memiliki hak-hak kemanusiaan yang setara. Gender merujuk pada suatu pandangan kebudayaan sosial masyarakat, yang membuat kehidupan perempuan dan laki-laki dibedakan, membuat pengalaman kehidupan dibedakan. Gender adalah istilah yang ingin menerangkan bahwa, ada faktor-faktor di luar eksistensi manusia yang mempengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Gender bukan soal jenis kelamin, sementara jenis kelamin adalah semata-mata bicara soal biologi. Perempuan punya rahim, payudara, bisa melahirkan, menyusui, mengandung, sedangkan laki-laki tidak. Laki-laki memiliki sperma untuk membuahi sel telur, laki-laki punya hormon khas, yang berbeda dengan hormon perempuan untuk melakukan fungsi biologisnya. Namun fungsi-fungsi biologi laki-laki dan perempuan ini kemudian dicampur-aduk dalam kehidupan sosial politik mereka. Padahal determinasi biologi laki-laki dan perempuan ini semata-mata perangkat reproduksi tubuh mereka, yang terjadi pula pada berbagai macam spesies mahluk lainnya, yang seharusnya tidak ada intervensi penilaian atau pandangan sosial apapun diluar fungsinya. Jenis kelamin bukanlah gender, tetapi eksistensi biologi mahluk manusia. Gender adalah di luar faktor-faktor biologi manusia, dan istilah gender sebetulnya ingin menjelaskan bahwa ada persoalan dalam dua jenis kelamin ini dalam kehidupan sosial politik mereka. Ada persoalan dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam menghadapi keadaan sosial politik mereka. Persoalan itu bukan dari diri mereka yang lahir dalam keadaan (berjenis kelamin) laki-laki atau perempuan, tetapi karena cara pandang sosial politik masyarakat terhadap mereka. Gender adalah istilah yang dapat kita umpamakan sebagai kunci yang berhasil membuka kotak misteri kehidupan manusia, dan ketika kotak misteri itu dibuka, nampak isinya berbagai macam masalah, yang ternyata masalah itu dapat mengakibatkan seseorang atas dasar jenis kelaminnya, mengalami diskriminasi atau ketidakadilan yang mengerikan. Mengurai masalah dari kotak misteri tersebut tidak mudah, karena kita perlu menyadari terlebih dahulu fakta-fakta bahwa misalnya seseorang mengalami pelecehan ataupun kekerasan seksual akibat jenis kelamin mereka. Perempuan, dan anak-anak perempuan adalah jumlah terbesar yang menjadi korban kekerasan seksual karena kekerasan tersebut terjadi semata-mata karena mereka perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga, sebagian besar perempuan, semata-mata karena mereka perempuan, istri, ibu, yang dalam kebudayaan kita terutama dalam perkawinan, adalah jenis kelamin yang harus tunduk dan patuh pada laki-laki atau suami, karena hanya jenis kelamin laki-laki yang diakui menguasai rumah tangga. Karena hubungan kuasa dan yang dikuasai inilah sangat rentan terjadi kekerasan. Di dalam rumah, suami akan sangat rentan melakukan kekerasan terhadap istri, sementara dalam kehidupan publik atau di luar rumah, sang suami di tuntut mencari nafkah, menghidupi seluruh kebutuhan keluarga secara ekonomi, harta benda, jaminan sosial dan kesehatan, yang padahal dalam dunia kerja mereka mengalami ketidakadilan yang sama, saat ada hubungan yang berkuasa dan yang dikuasai. Bagi laki-laki yang hanya memiliki jabatan rendah, dan ekonomi yang pas-pasan, mereka tidak menemukan kebahagiaan sekalipun ia memiliki seorang istri yang mendukungnya secara penuh. Tuntutan sosial politik yang berlebihan pada laki-laki untuk sukses dan mapan, adalah tuntutan yang membuat mereka harus istimewa, harus menjadi super. Bagi yang tidak berhasil menjadi superman, banyak mengalami frustasi, mengalami ketidakpercayaan diri, rusak mentalnya, dan rumah tangga menjadi sasaran, dan tindakan kekerasan rentan terjadi pada dirinya. Istilah gender ingin menjelaskan bahwa persoalan laki-laki dan perempuan berawal dari rumah. Dari tempat tidur, dapur, dan urusan rumah tangga. Kotak misteri yang selama berabad-abad tak terjangkau inilah ternyata terletak di dalam gudang alam bawah sadar rumah tangga sekelompok manusia bernama keluarga, yang tertutup rapat dan tidak bisa diketahui orang lain tentang hal-hal yang terjadi di dalamnya. Tanpa disadari persoalan rumah tangga ternyata terepresentasi dalam persoalan politik ekonomi dan hukum kita, yang mewakili hampir sepenuhnya kebudayaan kita yang belum tentu adil terhadap laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak diharapkan untuk menjadi pintar, bekerja, berkarir dan sukses di bidang-bidang tertentu, mereka hanya diharapkan mengelola rumah tangga, mengasuh anak. Sementara laki-laki ditempatkan berseberangan dengan perempuan, mereka harus sukses dalam kerja, harus pintar, harus punya karir yang tinggi, harus kaya raya. Tidak ada yang lebih tidak berharga dari seorang laki-laki yang miskin tidak mampu menafkhi keluarganya, daripada perempuan yang miskin tetapi bisa dinafkahi oleh suaminya. Tidak ada yang lebih terhina daripada seorang suami dinafkahi oleh istrinya sehingga ada istilah “numpang di ketiak istri”. Laki-laki akan mengalami frustasi dan kerendahan diri yang luar biasa. Atau dalam tradisi dan agama tertentu, seorang istri diperbolehkan dipukul oleh suaminya, apabila dia tidak ijin keluar rumah. Pemukulan pada istri adalah suatu tindakan yang dianggap amat sangat wajar dalam hal ini. Bukankah ini suatu keganjilan ketika kita bicara soal kemanusiaan? Istilah gender ingin menjelaskan bahwa kebudayaan telah membuat hubungan dua jenis kelamin manusia, laki-laki dan perempuan, mengalami kesenjangan dengan jurang yang begitu dalam. Mereka “tidak nyambung” dalam berkomunikasi, mereka terbangun oleh mental dan cara berpikir yang berseberangan. Mereka berdiri di atas kebudayaan mereka masing-masing. Budaya perempuan sangat berbeda dengan budaya laki-laki. Nilai-nilai mereka terpecah menjadi dua. Mereka disebut maskulin dan feminin. Mereka tidak boleh bertukar peran, yang padahal hakekat manusia begitu indahnya, sama-sama memiliki pikiran, hati dan jiwa, yang seharusnya teraktualisasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka dipenjara oleh peran-peran atas alasan jenis kelamin mereka, dan inilah fungsi dari konsep gender, dan dalam perkembangannya gender menjadi sebuah studi yang dapat dipelajari melalui berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, antropologi, sosiologi, politik, hukum, seni dan kebudayaan, juga sains dan teknologi. Istilah gender adalah sebuah pisau yang membentangkan kenyataan pahit konstruksi sosial dan budaya yang diyakini dan dipercaya sebagai kebenaran atau takdir manusia ternyata hanya membuat dua jenis kelamin manusia ini terus menerus dirundung masalah, tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya. Inilah yang disebut ketidakadilan gender. Apa akibat-akibat ketidakadilan gender? Kita mungkin pernah sedikit mendengar istilah “Kekerasan Berbasis Gender” (Gender Based Violence). Siapa lagikah dia? Berikut berbagai definisinya: PBB: kekerasan yang ditergetkan kepada seseorang atau sekelompok orang karena gender mereka. CEDAW: berakibat kerugian fisik, mental atau seksual atau penderitaan, ancaman tindakan, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya berdasarkan gender seseorang. Unifem: kekerasan yang disebabkan hubungan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Deklarasi PBB 1993: tidak terbatas berakibat pada kerugian fisik, seksual dan psikologis, tetapi mencakup pelecehan seksual, termasuk anak-anak perempuan, yang berhubungan dengan kekerasan, perkosaan, mutilasi alat kelamin perempuan, dan praktek tradisional lainnya yang berbahaya bagi perempuan, termasuk eksploitasi: perdagangan orang, perkawinan paksa, dan pelacuran paksa. Mungkin kita tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa kotak misteri kehidupan manusia yang dibongkar oleh studi gender ini ternyata berdampak pada pengalaman yang paling tidak berperikemanusiaan pada kehidupan banyak perempuan dan anak-anak perempuan. Berikut fakta-faktanya yang pernah dilansir oleh UNPA. 1 dari 3 perempuan telah dipukuli, dipaksa melakukan hubungan seks, dilecehkan, termasuk oleh anggota keluarganya. 1 dari 5 perempuan menjadi korban perkosaan atau percobaan perkosaan dalam hidupanya. Sekitar 1 dari 4 perempuan disalahgunakan selama kehamilan, yang menempatkan ibu dan anak berisiko. Setidaknya 130 juta perempuan telah dipaksa menjalani mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) Pernikahan dini dapat memiliki konsekuansi serius termasuk berbahaya, penolakan pendidikan, masalah kesehatan, kehamilan prematur, berakibat tinggi kematian ibu dan bayi. Setiap tahun diperkirakan 800.000 orang diperdagangkan meintasi perbatasan, 80% dari mereka perempuan dan anak perempuan. Kebanyakan terjebak dalam perdagangan seks komersial. Tahukah anda bahwa terdapat budaya di NTT yang mewajibkan perempuan yang baru saja melahirkan, bersama anaknya selama 30 hari dikurung di dalam kamar tungku berasap (dapur)? Tahukah bahwa terdapat pandangan hampir sebagian besar dari kita, bahwa perempuan pantas diperkosa bila keluar malam atau berpakaian terbuka? Atau tahukah bahwa banyak laki-laki mengalami gangguan mental selama hidupnya atau percobaan bunuh diri karena tidak diterima dalam budaya maskulin yang menuntut mereka menjadi macho, sukses dan super? Siapakah yang menciptakan ini semua? Karena istilah gender merujuk pada suatu konstruksi kebudayaan manusia membuat kehidupan perempuan dan laki-laki mengalami ketidakadilan atas jenis kelaminnya, maka sekali lagi karena ini adalah sebuah konstruksi (ciptaan manusia), maka seharusnya ia dapat di dekonstruksi (diciptakan kembali) sebagai suatu kebudayaan, atau kehidupan yang lebih adil diantara mereka. Kita semua ingin kehidupan yang berkualitas, tidak tertindas, dan istilah gender dalam rangka untuk hal tersebut. Marilah kita mulai melakukan identifikasi masalah gender yang beredar di sekeliling kehidupan anda, lalu pikirkan bagaimana jalan keluarnya. Cobalah! ![]() Presentasi Jurnal Perempuan Oleh: Mariana Amiruddin Seringkah kita mendengar bahwa perempuan adalah mahluk yang gagap teknologi? Mungkin lebih tepat bila kita mengatakan bahwa kebanyakan perempuan kurang berminat pada studi-studi teknologi dan sains yang berakibat pada kesulitan menggunakan teknologi. Tentu saja ini persoalan, karena teknologi saat ini sangat dibutuhkan setiap orang untuk mempermudah berbagai kegiatan yang menunjang kehidupan. Dalam studi gender, setiap persoalan perempuan, yang paling penting kita lakukan adalah mengetahui dan menganalisa faktor-faktor dibalik persoalan. Hasil yang diinginkan adalah kita dapat mengenal permasalahan kehidupan perempuan beserta jalan keluarnya. Atas situasi tersebut, dalam rangka memperingati Hari Kartini, Jurnal Perempuan bersama perusahaan Intel dan Plan Internasional, melakukan audiensi dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), untuk mengusung kampanye bertema “perempuan dan teknologi”. Dalam perbincangan bersama Menteri KPP-PA Linda Amalia Sari, kami berbagi temuan tentang perempuan dan teknologi dalam berbagai kegiatan yang kami miliki. Menarik tercetus pernyataan dari Ibu Linda, ketika KPP-PA memberikan komputer untuk siswi-siswi di sebuah sekolah agama untuk kebutuhan pendidikan mereka, pihak sekolah tidak menerima, katanya untuk melindungi murid-murid perempuan mereka dari bahaya teknologi. Jelas Ibu Linda terkejut mendengarnya, karena ternyata teknologi dianggap bukan pada tempatnya diakses oleh perempuan, karena akan berbahaya dampaknya. Deva Rachman, Direktur Corporate Affairs Intel Indonesia membeberkan cerita yang hampir sama. Ia menemukan bahwa ketika Intel melatih dan memberikan komputer secara cuma-cuma kepada anak perempuan di beberapa keluarga, para orang tua ternyata hanya menyimpannya, atau digunakan bukan untuk anak perempuannya. Berbeda ketika komputer itu ditujukan untuk anak laki-laki. Perbincangan di ruang kerja Menteri KPP-PA saat itu cukup lama, dan kami semua sepakat dalam satu visi bahwa tahun 2013 sampai ke depan, penting untuk lebih mendesak masyarakat untuk memperkenalkan teknologi kepada perempuan supaya mereka berminat untuk keperluan hidup mereka sehari-hari, baik informasi, pendidikan dan pengetahuan untuk mengembangkan dirinya. Hambatan Budaya Dalam budaya kita, teknologi lebih diperkenalkan kepada anak laki-laki. Tujuannya, di masa dewasa laki-laki memasuki lapangan kerja untuk mencari nafkah, dan mereka dipentingkan untuk memiliki keahlian. Keahlian dibidang teknologi memiliki peluang besar untuk pendapatan yang tinggi dan usaha yang sukses. Selain mementingkan anak laki-laki, banyak pandangan bahwa perempuan secara kodrat tidak bisa berpikir rasional, tidak bisa menciptakan, tidak bisa memimpin, dan karena itu tidak cocok dengan berbagai kegiatan teknologi. Padahal, pandangan ini sebetulnya menjadi penyebab perempuan tidak berdaya dalam hal teknologi. Mereka phobia pada peralatan teknologi karena tidak dipercaya, tidak diberi kesempatan. Mereka kehilangan minat untuk bidang yang satu ini. Di sektor kerja, perempuan sedikit sekali yang memiliki keahlian di bidang teknologi. Rata-rata mereka bekerja untuk posisi administrasi, keuangan, dan sales. Kalaupun menjadi buruh pabrik, mereka menggantikan fungsi mesin karena dianggap lebih patuh dan teliti dan tidak diperlukan pemikiran yang mendalam. Sementara laki-laki, banyak menduduki posisi sebagai perencana, pemeliharaan mesin, mekanik, IT, dan lain sebagainya, yang tentu pendapatan mereka lebih baik. Teknologi ibarat sesuatu yang asing bagi perempuan, dan masih dianggap dunia yang maskulin. Taruhlah contoh sehari-hari di sekitar kita. Dalam urusan mengendarai mobil, laki-laki diharuskan pegang kendali (setir). Kalaupun perempuan mengendarai mobil, ia terlihat sendirian, atau bila penumpangnya adalah laki-laki, cukup sering ada pertanyaan, “Mengapa bukan Bapak-nya yang nyetir?” Situasi ini membuat perempuan menggantungkan seluruh urusan teknologi kepada laki-laki. Atau bila mereka bekerja di industri otomotif, mereka ditempatkan sebagai sales promotion girl (SPG), yang lebih digunakan sebagai pemikat konsumen, dengan penampilannya yang seperti model. Perusahaan otomotif masih menganggap konsumen mereka adalah laki-laki (yang dikait-kaitkan dengan kejantanan mereka) dan dengan ditambahkan perempuan cantik di sampingnya sebagai SPG, maka konsumen laki-laki akan bergairah untuk memiliki produk tersebut. Selain itu, kesan bahwa laki-laki yang memiliki banyak uang, dan maka sasaran industri otomotif adalah pada laki-laki yang tidak sekedar membeli produk sesuai seleranya, melainkan juga faktor kelelakiannya. Citra teknologi menjadi berkaitan dengan laki-laki sementara citra ‘penarik perhatian’ berkaitan dengan perempuan. Inilah kebudayaan kita dalam memperlakukan gender dan teknologi. Apa yang Harus Dilakukan? Mulai sekarang tanamkan bahwa teknologi adalah kebutuhan semua orang. Teknologi dikenalkan kepada perempuan sebagai kebutuhan untuk mengembangkan diri dan kualitas hidup yang lebih baik. Teknologi dikenalkan sebagai kebutuhan mencari informasi, pendidikan, pengetahuan, sosialisasi dan keahlian. Perlu pula ditanamkan bahwa teknologi informasi dan sosial media perlu memperhatikan proteksi diri untuk menghindar perempuan menjadi obyek dalam foto-foto atau video untuk tujuan seksual. Dalam pembangunan teknologi, perempuan dilibatkan, dan dididik kritis untuk menghindari upaya pihak-pihak tertentu yang menjadikan mereka sebagai obyek seksual, konsumtif, hanya sebagai pajangan, dan sebagainya. Perempuan harus menyatakan dirinya untuk menjadi bagian dari pembangunan teknologi. Contohnya bagaimana perempuan dicitrakan dalam isu teknologi , silakan ketik kata “perempuan dan teknologi” dalam pencarian di google, lihatlah image atau gambar yang muncul adalah foto-foto SPG mobil dan motor atau jualan telpon seluler. Laki-laki juga perlu diperkenalkan bahwa keterlibatan perempuan dalam teknologi akan menciptakan masyarakat yang maju, dan memberi dampak yang baik bagi lingkungannya. Contohnya, banyak ibu rumah tangga yang bisa bekerja di rumah dengan membuat blog, sosial media, untuk menjual produk-produk ciptaan mereka seperti masakan, resep, tas, baju dan lain sebagainya kepada jaringan sosial yang mereka miliki. Selain itu masyarakat perempuan juga memerlukan contoh-contoh model atau role model untuk membuktikan bahwa perempuan bukanlah mahluk gagap teknologi karena bawaan lahir, melainkan perempuan adalah bagian dari penciptaan, pembangunan dan penggunaan teknologi. Contoh-contoh model di bawah ini untuk memberi perempuan inspirasi dan kemauan serta minat mereka pada teknologi. Ada Lovelace (1815-1852). Perempuan ini sering disebut sebagai ‘programmer komputer pertama’. Lovelace yang lahir pada tahun 1815 membuat sebuah model analisis untuk mesin Babbage di tahun 1842. Dengan temuannya tersebut, Lovelace mampu menjelaskan hal yang kompleks dengan lebih baik, mirip sebuah bahasa kode. Emmy Noether (1882-1935). Ahli matematika asal Jerman ini berkontribusi pada Aljabar abstrak dan Fisika teori. Kejeniusan Noether ini pun juga diakui oleh seorang Albert Einstein. Bahkan penemu teori relativitas tersebut menyebut Noether sebagai perempuan paling penting dalam sejarah ilmu matematika. Grace Hopper (1906-1992). Hopper adalah perempuan yang mengembangkan komputer compiler di laboratorium komputasi di Harvard. Tak hanya itu, perempuan ini pula yang membuat konsep bahasa pemrograman COBOL. Hopper juga menjadi orang yang mempopulerkan kata ‘debugging’ untuk memperbaiki gangguan pada program komputer. Prestasi Hopper pun tak berhenti di situ, Hopper menjadi wanita pertama yang menjabat Admiral di angkatan laut Amerika Serikat. Joanne Simpson (1923-2010). Perempuan yang satu ini merupakan perempuan pertama yang memperoleh gelar Ph.D dalam bidang meteorologi. Joanne pun menjadi perempuan yang memimpin peneliti cuaca di Nasa selama 30 tahun. Marissa Mayer (1975-sekarang). Saat ini, hampir semua orang mengenal nama perempuan ini. Duduk di pucuk pimpinan perusahaan sebesar Yahoo, Mayer merupakan salah satu CEO termuda dalam daftar yang dirilis oleh Fortune. Sebelumnya, Mayer merupakan pekerja ke-20 dari Google dan merupakan engineer perempuan pertama di Google. Sheryl Sandberg (1969-sekarang). Siapa yang tidak mengenal Facebook? Nama Sandberg memang jauh dari sorotan media, jika dibandingkan dengan Zuckerberg. Tapi perlu diketahui ditangannyalah semua urusan operasional Facebook dipegang. Sandberg adalah sosok sahabat paling berharga Zuckerberg. Pertemuan rutinnya dengan Zuckerberg yang selalu tertutup telah membantu menjaga pertumbuhan pesat Facebook hingga mampu membius 500 juta pengguna. Tidak ada yang buruk dalam teknologi, kecuali siapa penggunanya dan apa tujuannya, karena itu ajaklah perempuan untuk memiliki minat dan kepercayaan diri dalam bidang ini. ![]() Edith Windsor Menggugat Oleh: Gadis Arivia Pendiri Jurnal Perempuan, Dosen Filsafat, FIB, UI Akhir-akhir ini para feminis di Amerika Serikat sibuk menyimak perdebatan di Mahkamah Agung tentang perkawinan sejenis. Mereka telah sibuk sejak minggu lalu dengan berbagai aksi menuntut kesetaraan dalam perkawinan, kali ini bukan untuk kaum perempuan tapi untuk kaum gay dan lesbian. Tidak ada habis-habisnya kerja feminis, baru saja mereka memperingati hari Perempuan Internasional (IWD) pada tanggal 8 Maret, memfokuskan persoalan kekerasan khususnya perkosaan yang meningkat terhadap perempuan. Beberapa pekan kemudian, mereka sibuk kembali mendukung kaum gay dan lesbian mendapatkan hak-hak yang setara di dalam perkawinan atau mengangkat isu perkawinan sejenis. Sebagian besar kaum feminis di Amerika mendukung gerakan kaum gay dan lesbian, bukan saja kaum feminis tapi juga kelompok etnis minoritas atau kullit hitam, yang masih segar diingatan mereka, di tahun-tahun 1960-an perkawinan interrasial masih tidak diakui. Kaum feminis dan minoritas selalu memiliki pandangan yang sama tentang kesetaraan dan keadilan karena mereka sama-sama memahami arti penindasan. Kini, mayoritas rakyat Amerika mendukung gerakan kaum gay dan lesbian, polling terakhir menunjukkan bahwa perkawinan sejenis merupakan isu Hak Azasi Manusia (HAM) dan setiap orang berhak untuk menikah dengan orang yang mereka kasihi. Pernikahan itu pun harus dilindungi secara hukum. Sebagian besar masyarakat Amerika menyetujui perkawinan sejenis dan di negara-negara bagian tertentu Amerika pun sejak tahun 2000 mengakui perkawinan sejenis. Lalu, mengapa ada permohonan ke Mahkamah Agung untuk mempermasalahkan ini? Adalah Edith Windsor, seorang perempuan berumur 83 tahun yang menggugat agar perkawinan sejenis mendapatkan hak-hak yang setara dan menggugat DOMA (Defence of Marriage Act) yang disahkan pada tahun 1996. DOMA merupakan aturan hukum yang dibuat oleh partai Republik untuk mendefinisikan arti perkawinan secara ketat dan membatasi hak-hak perkawinan sejenis. Misalnya, soal warisan, di dalam perkawinan sesama jenis, pasangan tidak memiliki hak yang sama seperti pasangan beda jenis. Jadi, meskipun di tingkat federal, negara bagian tertentu, membolehkan perkawinan sejenis akan tetapi hak-haknya bisa dibatasi oleh DOMA. Inilah yang terjadi pada Edith Windsor yang menjalin tali kasih dengan Thea Spyer selama 50 tahun. Mereka menikah di Kanada pada tahun 2007, namun, pada tahun 2009, Thea meninggal akibat penyakit yang telah lama dideritanya. Thea meninggalkan hartanya untuk Edith, namun, pengadilan di New York tidak mengakui warisan yang diterima Edith karena terkena aturan DOMA. Edith pun harus membayar pajak real estate sebanyak US$363,000,- Padahal dalam perkawinan heteroseksual pembayaran pajak semacam itu tidak dikenakan sama sekali, karena dianggap pasangan suami-isteri. Edith menolak untuk membayar dan memperkarakan kasusnya. Edith memang menang dalam kasusnya, tapi ia tidak puas dan kini ikut mengambil bagian melangkah ke Mahkamah Agung untuk menggugat DOMA. Kebetulan, masalah ini menjadi perhatian publik karena munculnya kasus sepasang kekasih di California yang ingin menikah tapi ingin DOMA dihapus. Mahkamah Agung tentu dibuat repot. Pertanyaan besarnya di Mahkamah Agung adalah apakah negara mempunyai hak untuk mengatur soal ruang pribadi individu untuk memilih siapa yang ingin ia nikahi? Pertanyaan soal sejauh mana negara dapat ikut campur menghasilkan perdebatan yang panjang diantara hakim-hakim tentang apakah yang disebut dengan perkawinan? DOMA mengatur bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (sama dengan UU Perkawinan di Indonesia). Landasan filosofi ini adalah bahwa perkawinan dilakukan karena atas dasar prokreasi (menghasilkan keturunan). Antara para hakim yang konservatif dan yang liberal pun berdebat, masing-masing mempertahankan argumennya. Para hakim liberal seperti Hakim Elena Kagan bertanya, "apakah dengan demikian negara harus mengatakan tidak dapat memberikan pengakuan pada mereka yang menikah di atas 55 tahun karena tidak dapat menghasilkan keturunan? Apakah ini konstitusional?" Hakim-hakim konservatif tetap bersikeras bahwa makna perkawinan yang telah dipegang tradisinya selama berabad-abad lamanya harus dihormati. Namun, pendapat tersebut dibantah oleh kaum liberal yang memberikan contoh soal perkawinan inter-rasial yang dulu diyakini tidak sesuai norma, adat dan tradisi masyarakat, namun, dihapus karena zaman telah berubah. Dulu perkawinan inter-rasial dianggap "tidak normal/alamiah", tapi sejarah membantahnya, sekarang mengapa perkawinan sejenis juga dianggap "tidak normal/alamiah"? Apalagi, zaman telah berubah dan mayoritas masyarakat mendukung perkawinan sejenis. Apakah yang disebut "normal/alamiah"? Perdebatan kemudian berkembang pada persoalan anak. Apakah "normal/alamiah" pasangan sejenis memiliki anak? Pertanyaan ini dijawab oleh kenyataan bahwa di California sendiri terdapat paling tidak 40.000 anak yang dibesarkan oleh pasangan sejenis dan anak-anak ini menghendaki orang tua mereka disahkan perkawinan mereka. Hakim Anthony M. Kennedy menyatakan bahwa, "suara anak-anak ini tentu penting untuk dipertimbangkan." Perdebatan anggota Mahkamah Agung di Amerika ini menurut hemat saya sangat menarik. Memberikan pendidikan yang luar biasa tentang apa yang disebut kesetaraan dan keadilan. Meski para hakim bersikap hati-hati dalam menyusun argumen-argumennya, namun, terasa mayoritas tetap berpihak pada hukum yang tidak diskriminatif. Kaum konservatif pernah mencoba menganggu dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah dengan demikian poligami juga dibolehkan di Amerika, karena merupakan hak kelompok agama tertentu yang percaya dengan praktek tersebut? Hakim Sonia Sotomayor menegaskan bahwa masalah yang diajukan oleh kelompok kaum gay dan lesbian adalah soal kesetaraan dan hukum yang tidak diskriminatif. Perkawinan antara dua manusia, apapun jenisnya tidak boleh diskriminatif. Tentu ini bagi saya menjustifikasi bahwa poligami adalah bentuk perkawinan diskriminatif sebab hanya laki-laki yang dapat memiliki banyak istri dan sebaliknya tidak. Ini pulalah di dalam UU Perkawinan 1974 banyak dipermasalahkan oleh kaum feminis. Namun, hingga hari ini soal poligami tidak dipermasalahkan di Indonesia (meski Kongres Perempuan di tahun 1924 telah menentangnya) bahkan praktek poligami semakin marak di zaman Reformasi ini. Perkawinan beda agamapun masih dianggap kontroversial di negara kita apalagi soal perkawinan sejenis? Indonesia memang masih jauh dari membangun peradaban yang setara dan berkeadilan. Di negara-negara maju prinsip kesetaraan dan keadilan dipelopori oleh pemimpin-pemimpin mereka. Misalnya, Presiden Obama merupakan presiden AS pertama yang berani menyatakan persetujuannya tentang perkawinan sejenis juga termasuk Presiden Clinton yang berani menyatakan tindakannya salah karena beliaulah yang menandatangani persetujuan DOMA di tahun 1996. Keberanian pemimpin untuk mengungkapkan pendapatnya yang jujur dan bahkan mengakui kesalahannya tanpa pertimbangan untung rugi politik sangat jarang ditemui di negara kita. Tidak ada otentisitas di sosok negarawan kita, semua selalu dihitung berdasarkan pencitraan dan kalkulasi politik. Terasa semua palsu, tak ada lagi kejujuran dan kebenaran di panggung politik kita. Kepalsuan ini dipelihara terus di dalam masyarakat dan menampakkan keburukannya di hampir semua bidang bukan hanya di ranah politik namun juga hukum, agama dan lebih parah lagi di institusi pendidikan. Press Conference Edith Windsor:![]() Foto: Viva News Ditulis oleh: Mariana Amiruddin A Promise is a Promise: Time for Action to End Violence Against Women… Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret telah diputuskan sejak tahun 1975 oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan tahun ini PBB mengumumkan Hari Perempuan Internasional dengan tema “Janji adalah janji. Waktunya untuk bertindak mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.” Pesan ini menyambung insiden perkosaan dan pembunuhan perempuan di dalam bis, di New Delhi, yang menjadi sorotan dunia internasional di bulan Desember 2012. Tentu kita akan bertanya, mengapa perkosaan baru disoroti sekarang? Hampir setiap hari kita membaca sekolom kecil tulisan di media cetak, atau sekilas informasi televisi yang berdurasi 20 detik, tentang anak-anak perempuan berusia 8 tahun duduk di bangku sekolah SD, mengalami kekerasan seksual oleh gurunya. Atau bayi perempuan 9 bulan, diperkosa ayahnya. Atau siswi SMU di Jakarta, Nganjuk dan Aceh mengalami perkosaan dan pelecehan seksual oleh guru-guru mereka di minggu yang sama. Sekolom kecil dan sekilat informasi ini tidak banyak menghabiskan satu lembar halaman dan durasi yang panjang dalam setiap pemberitaan, tetapi menjadi berita yang rutin, sehari-hari, ibarat setiap orang yang rutin melakukan sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Itu memungkinkan bahwa telah terjadi rutinitas kekerasan seksual yang dialami perempuan baik anak-anak maupun dewasa setiap harinya. Kekerasan terhadap perempuan seringkali bertumpu pada persepsi terhadap seksualitas perempuan, yang juga berhimpit dengan alasan ekonomi, politik, budaya, sosial dan agama. Kekerasan seksual terhadap perempuan juga terjadi akibat dampak akutnya pelabelan negatif (stereotip) terhadap perempuan; ketika seorang gadis dijuluki pelacur saat berjalan di malam hari, ketika seorang janda digrebek rumahnya karena menerima tamu laki-laki, atau diperkosa saat naik angkutan umum, dan istri yang disiram air panas karena menolak berhubungan seks dengan suaminya. Kita perlu memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan linear dengan nilai-nilai budaya dan agama yang menghukum tubuh dan kehendak perempuan. Perempuan diletakkan sebagai tubuh sosial yang rapuh, properti, dan dianggap boleh untuk dikuasai. Laki-laki dewasa yang punya uang dapat membeli anak-anak perempuan dengan mengatasnamakan perkawinan yang sah, atau membeli mereka dalam bisnis prostitusi. Bahkan kekerasan ini bisa terjadi pada seorang anggota parlemen, pemimpin negara, direktur perusahaan. Atau pada buruh migran perempuan (TKW), pegawai-pegawai dan buruh-buruh pabrik, juga tak terelakkan pada ibu-ibu rumah tangga. Status sosial, ras, usia, agama dan jabatan seorang perempuan tidak dapat mengelak situasi kekerasan ini. Belum lagi soal genital mutilation (sunat perempuan) yang praktiknya banyak merusak total kelamin perempuan, merusak hasrat seksnya sebagai mahluk biologis, membuat kelaminnya infeksi, mengalami kista, merasakan kesakitan saat berhubungan seks karena kehilangan klitoris, semua akibat mitos yang menjadikan alasan bahwa tubuh perempuan harus dikontrol, tidak berlebihan libido, karena Hawa telah menggoda Adam, karena perempuan tidak punya pikiran. Dan video-video porno yang alih-alih memberi informasi seks sebenar-benarnya pada kita, malah menjadikan perempuan sebagai obyek seks dengan kamera yang hanya menyorot bagian-bagian tubuhnya. Kita juga tahu betul bahwa fakta pelaku perkosaan paling banyak adalah laki-laki. Tetapi masih banyak mengelak bahwa para pelaku itu adalah pihak yang bersalah, yang melakukan kejahatan meskipun mereka menunjukkan kekuasaannya dengan tindakan seks yang keji. Masih banyak pihak yang justru melindungi pelaku dan menyalahkan korban. Sampai seorang calon Mahkamah Agung di Indonesia menjadikan perkosaan sebagai bahan gurauan. Karena itulah perhatian besar kita yang paling mendasar di Hari Perempuan Internasional, bagaimana menghentikan kekerasan melalui kemauan untuk “Toleransi Nol” pada budaya dan agama yang mengorbankan perempuan. Kemauan ini perlu didukung oleh sistem pendidikan yang membangkitkan kesadaran setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan, dari kecil sampai besar. Kemauan ini perlu diwujudkan dalam undang-undang dan tindakan hukum, dalam rancangan anggaran pendapatan belanja negara, dalam sistem politik dan budaya, dalam ruang-ruang publik. Tentang bagaimana mahluk bumi ini perlu bekerja keras untuk kembali menyehatkan akal, tubuh dan jiwa, pada kehidupan yang adil dan setara. Semua orang tentu ingin hidup bahagia, tetapi selama kebahagiaan itu tidak dirumuskan dalam instrumen hukum, politik dan budaya yang adil dan setara, juga pada cara berpikir dan perilaku kita, kekerasan seksual tidak akan berhenti. Sekarang kita membaca dan menonton berita perkosaan di televisi, tapi siapa tahu besok itu terjadi pada kita sendiri, atau anak-anak kita? ![]() Oleh: Gadis Arivia Apakah yang disebut dengan budaya perkosaan? Budaya perkosaan adalah budaya yang mempertontonkan agresi seksual dan yang mendukung kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat yang menganut budaya perkosaan menganggap kekerasan merupakan sesuatu yang seksi dan seksual. Di dalam budaya perkosaan, perempuan dilihat sebagai obyek dan dibenarkan komentar-komentar seksual yang menyakitkan atau diangap “lucu”. Inilah yang dipertontonkan oleh calon hakim agung Muhammad Daming Sanusi, saat menjalani fit and proper test di Senayan tempo hari. Ketika ditanya soal hukuman mati untuk pelaku perkosaan, ia mengatakan, “Yang diperkosa dengan yang memperkosa ini sama-sama menikmati. Jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati.” (14/1/2013). Pernyataan sang calon hakim agung tersebut disambut gelak tawa sebagian anggota Dewan. Mereka menganggap perkosaan sebagai bahan bercanda. Sudah berapa banyak pejabat publik di negara ini yang mempertontonkan budaya perkosaan? Sudah berapa kali kelompok perempuan dan kelompok pro-Hak Azasi Manusia mengkritik, memprotes dan menyerukan menghentikan pernyataan-pernyataan dungu yang keluar dari mulut pejabat publik? Namun tak juga jera-jeranya pejabat publik di Indonesia melecehkan korban perkosaan dan perempuan pada umumnya. Setelah menyatakan pernyataannya yang dungu tersebut, Muhammad Daming Sanusi melanjutkan argumentasi dengan mengatakan bahwa seorang hakim harus menjaga independensi dan imparsialitas. Dimanakah imparsialitas dan independensi yang ia tunjukkan dalam komentarnya soal perkosaan ini? Jelas-jelas ia adalah calon hakim agung yang tidak imparsial karena telah mengambil posisi dan sikap diskriminatif terhadap korban perkosaan. Sikap Muhammad Daming Sanusi ini mengingatkan saya pada kasus Hakim Derek G. Johnson dari San Francisco, California, di Pengadilan Tinggi Orange County. Hakim Derek G. Johnson pada bulan Juni 2008 memberikan komentar yang melecehkan korban perkosaan. Tindakan hakim tersebut dianggap telah melanggar Kode Etik Yudisial yang mewajibkan seorang hakim untuk selalu menjaga kepercayaan publik dengan menunjukkan sikap yang berintegritas dan seorang hakim yang aktif tidak dapat mengeluarkan kata-kata yang dipandang bias serta prejudis (Commission on Judicial Performance, San Francisco, CA, 13/12/12). Di Amerika Serikat, komentar seorang pejabat publik yang melecehkan korban ditindak tegas, hakim tersebut langsung dipecat! Mengapa tindakan dan ucapan pejabat publik yang melecehkan perempuan tidak mendapatkan sanksi apa-apa di Indonesia? Apakah yang salah dari cara berpikir para pejabat publik dan hukum kita? Menurut saya persoalannya terletak pada pemahaman mendasar yang salah mengenai konsep relasi antara laki-laki dan perempuan. Relasi jender didefinisikan secara tradisional yang seksis. Pandangan ini melihat status perempuan ditentukan oleh suami atau kalau dia belum menikah, oleh ayah atau kakak atau adik laki-laki. Artinya, hak-hak perempuan ditentukan oleh laki-laki disekelilingnya. Perempuan bukan subyek melainkan obyek, bukan mahluk independen melainkan dependen. Peranan perempuan tidak ditentukan oleh pemikirannya tapi oleh tubuhnya, bukan mahluk yang produktif melainkan yang berreproduksi. Oleh sebab itu, kebanyakan para pejabat publik dan hukum kita memahami perkosaan secara salah. Perkosaan dikaitkan dengan permasalahan seksual bukan permasalahan kekerasan. Tengok saja di dalam hukum pidana kita (KUHP), perkosaan dimuat di Bab XIV sebagai kejahatan terhadap kesusilaan bukan kekerasan yang dapat mengakibatkan kehilangan nyawa atau bahkan kejahatan kemanusiaan! Pemikiran calon hakim agung, Muhammad Daming Sanusi memang bias, namun ini disebabkan bukan hanya karena intelegensianya yang minim akan tetapi juga karena perumusan soal perkosaan di KUHP yang sangat seksis. Lihat pasal 89 soal perumusan perkosaan bahwa selain penetrasi juga harus dibuktikan “…dengan kekerasan atau ancaman kekerasan…” Artinya, korban harus membuktikan ketidaksetujuannya secara kasat mata ada bukti fisik yang membuat korban pingsan atau tidak berdaya. Maka tidak heran calon anggota hakim agung Muhammad Daming Sanusi memiliki pandangan yang picik, bahwa kalau tidak ada ancaman bahaya dan bukti-bukti teraniaya secara fisik, menurutnya perempuan yang diperkosa memang ingin diperkosa. Sungguh imajinasi yang fantastis! Selain itu, pasal 285 KUHP pun menganggap ringan makna perkosaan yang hanya didefinisikan sebatas persetubuhan dengan penetrasi. Padahal perkosaan bukan hal yang ringan, bukan soal derita fisik saja akan tetapi ada soal yang lebih substansial, yaitu, derita batin, penghancuran masa depan, nama baik, kepercayaan diri dan kehilangan harga diri. Perkosaan oleh sebab itu bukan soal seks melainkan soal kekerasan, bukan hanya soal susila melainkan soal kejahatan kemanusiaan, pelanggaran terhadap hak integritas ketubuhan, otonomi diri dan hak-hak dasar sebagai manusia. Perkosaan tidak hanya terjadi kepada perempuan namun juga terjadi kepada laki-laki, anak-anak dan orang tua. Dengan demikian definisi perkosaan tidak bisa lagi dibatasi hanya lewat penetrasi penis pada vagina, perkosaan bisa juga terjadi sesama jenis. Perkosaan adalah kejahatan kriminal titik! Perkosaan terjadi karena adanya subordinasi dan penindasan terhadap yang lemah. Di dalam budaya kita penindasan tersebut seringkali dilakukan terhadap perempuan. Dominasi laki-laki dipelihara lewat tindakan intimidasi atau apa yang disebut dengan praktek teror sosial (Susan Griffin, 1991). Praktek ini membuat kebebasan perempuan dibatasi, perempuan tidak boleh berpergian sendiri apalagi di malam hari, tidak boleh menampilkan diri agresif dan berdandan provokatif. Dengan demikian identitas dan seksualitas perempuan sepenuhnya dikonstruksikan oleh laki-laki (MacKinnon, 1989). Bila kita sungguh-sungguh peduli akan kemartabatan manusia, kita tentu perlu pejabat publik yang bukan saja memiliki tingkat intelegensia yang memadai yang dapat mencerna persoalan keadilan dari perspektif perempuan dan minoritas, tapi juga memiliki karakter yang berintegritas. Sudah terlalu banyak pejabat publik di negara ini disorot, korupsi merajalela baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, dan tumpulnya hati nurani. Sudah saatnya kita memiliki pejabat publik dan penegak hukum yang berintegritas. Ini artinya, sudah saatnya kita melakukan perubahan, kita memerlukan transformasi budaya secara radikal. Transformasi budaya perkosaan menuntut adanya revolusi nilai-nilai. Sikap kita memproduksi kekerasan dan menerima begitu saja sikap dan pernyataan kekerasan harus berubah sekarang juga. Sebab membiarkan siapapun yang jelas-jelas mendukung budaya perkosaan akan menyuburkan budaya teror dan dehumanisasi. *Ayo Tolak pejabat publik yang mendukung budaya perkosaan. Ingin tanda tangan petisi? Silahkan klik di sini ![]() Berdoa untuk korban Oleh: Gadis Arivia She was pure. She was innocent. She hurt no-one. She loved all. She cared for all. She was life and the source of life. Like all women of the world she was precious and a joy to behold but she had one sin. She was born a woman, and so she paid for that “sin” with her life. Rest in peace, precious one… Untaian kata-kata tersebut mengalir dari salah seorang pembaca Huffingtonpost yang berduka karena seorang perempuan yang diperkosa di India baru saja meninggal dunia di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura, pada tanggal 29 Desember 2012. Tim dokter spesialis transplantasi multi-organ yang terdiri dari delapan orang tak kuasa menyelamatkan hidupnya. Mahasiswi fisioterapi yang berusia 23 tahun itu, memang sudah dalam keadaan kritis, ketika sampai di Singapura setelah 10 hari di India keadaannya tak membaik. Dr. Kevin Loh mengatakan bahwa sang korban sudah berjuang untuk hidupnya semaksimal mungkin, namun, tubuhnya mengalami kegagalan organ, luka-luka serius dan trauma hebat yang tak mungkin bisa ditolong. Secara khusus, ia mengalami kerusakan otak, serangan jantung dan infeksi tenggorokan dan abdomen. Ususnya telah dikeluarkan akibat luka parah yang diakibatkan oleh besi panjang yang dipakai pelaku untuk memerkosanya. Tak dapat dibayangkan kengerian dan kesadisan tindakan perkosaan ini. Tak dapat dibayangkan penderitaan yang ditanggung oleh perempuan muda ini. Apakah salah perempuan ini sehingga menerima perlakuan yang tak manusiawi? Pada malam naas itu, tanggal 16 Desember 2012, ia, seperti perempuan muda lainnya, pulang menonton film bersama seorang teman laki-laki dan mereka menumpang sebuah bis umum. Enam laki-laki menyergap mereka dan memerkosa perempuan muda tersebut selama diperjalanan sementara temannya dihajar hingga babak belur. Setelah selesai dengan perbuatan terkutuk itu, keduanya dilempar ke tepi jalan. Tak ada yang tahu mengapa hal ini terjadi, dan masyarakat India terus bertanya mengapa? Mengapa? Mengapa? Sehari setelah kejadian perkosaan yang keji itu, masyarakat India, tua dan muda, laki-laki dan perempuan berdemonstrasi besar-besaran hingga berakhir dengan kekerasan. Kota Delhi pun lumpuh. Perempuan telah muak dan meminta penjelasan mengapa? Mengapa perempuan diperkosa? Mengapa? Perkosaan bukan soal seks kendati banyak majalah dan koran gemar mengumbar berita perkosaan dengan muatan seksual. Perkosaan adalah soal dominasi dan kekuasaan. Laki-laki yang memerkosa perempuan bukan menikmati seks tapi menikmati kontrol untuk menjadikan perempuan sebagai obyek. Dominasi terhadap perempuan dianggap bagian dari “kelaki-lakian” dan didukung oleh masyarakat patriarkis. Dominasi dan kontrol dianggap membuktikan kejantanan, identitas laki-laki sejati. Ada rasa puas pada laki-laki untuk menyiksa perempuan baik secara verbal maupun fisik bahkan berusaha menjustifikasi penyiksaan mereka terhadap perempuan. Sebab bagi mereka perempuan bukan subyek melainkan obyek, oleh sebab itu, juga bukan manusia melainkan binatang. Dominasi sebuah obyek atau binatang memberikan sebuah kepuasan. “Anjing”, “babi”,“sapi”, “kambing”, “monyet”…sama dengan perempuan. Bukankah bupati Garut, Aceng Fikri, juga menggambarkan mantan istri mudanya sebagai obyek, “baju”? Karena ia tidak melihat perempuan yang dinikahinya sebagai manusia melainkan “baju”, maka, tentu dengan mudah ia melepaskannya. Sebab menurutnya, “baju yang robek” memang tidak pantas dipakai. Pandangan laki-laki yang melecehkan perempuan seperti Aceng Fikri di Indonesia tidak sedikit. Sedihnya, pandangan-pandangan menyakitkan itu tidak jarang datang dari pejabat publik. Masih ingatkah anda kontroversi pernyataan Mendikbud soal korban perkosaan pada bulan November lalu? Mungkin perlu saya ingatkan lagi. Sang Menteri memberikan komentar tentang korban perkosaan yang masih berusia sangat muda bahwa perkosaan itu bisa saja terjadi “karena sama-sama senang, mengaku diperkosa”. Pernyataan yang menurut saya sangat tidak pantas muncrat dari mulut seorang Menteri Pendidikan. Ia tidak pernah belajar. Padahal tiga bulan sebelumnya telah terjadi perkosaan yang mengenaskan. Pak Menteri lupa dengan kasus Livia Pavita Soelistio yang dibunuh oleh supir angkot M24 pada tanggal 16 Agustus 2012 setelah diperkosa bergiliran. Tubuhnya dibuang di kawasan Cisauk, Tangerang, Banten. Tahun 2012 adalah tahun yang menyedihkan untuk perempuan bukan saja di Indonesia tapi di dunia. Malala Yousafzai ditembak tepat di kepalanya oleh kelompok Taliban hanya karena ia giat menganjurkan anak-anak perempuan untuk sekolah. Gilakah Taliban? Gilakah laki-laki? Beberapa peneliti telah lama melakukan studi “kegilaan” laki-laki. Mereka rupanya sudah gila sejak lama. Seorang dokter Yunani, Aetius (502-575), dikabarkan adalah laki-laki yang gemar memotong klitoris perempuan. Ia berpendapat bahwa klitoris perempuan sebaiknya “dipotong sebelum menjadi panjang”. Para dokter Yunani ketika itu percaya bahwa klitoris dapat menjadi panjang seperti penis dan ini akan membahayakan laki-laki. Bahkan di abad ke-19, seorang dokter bernama Dr. Isaac Baker Brown beranggapan perempuan harus disunat agar tidak bermasturbasi. Dokter ini memandang bahaya bila perempuan bermasturbasi karena lagi-lagi membahayakan laki-laki. Sikap paranoid laki-laki terhadap perempuan sering ditemukan di dalam sejarah. Bila awalnya klitoris menjadi sesuatu yang dapat membahayakan laki-laki, pada perkembangannya bukan saja klitoris tapi payudara, paha, leher hingga rambut dianggap berbahaya sehingga harus ditutup rapat. Kajian feminis menganggap bahwa sikap paranoid yang berlebihan kepada perempuan menimbulkan sikap misoginis, yakni, kebencian terhadap perempuan. Benarkah laki-laki membenci perempuan? Marilyn French penulis buku “The War Against Women” (1992), sangat menyakini bahwa ada usaha memerangi perempuan. Perempuan diserang dari segala penjuru. Ia mengatakan bahwa perang terhadap perempuan dilakukan secara sistematis. Perempuan menurutnya diserang oleh agama agar perempuan menjadi penurut, oleh Negara agar kebijakan-kebijakan publik terhadap perempuan dapat dikontrol, oleh ekonomi, politik dan bahkan pendidikan. Perempuan dikepung dibuat tak berdaya dan dibatasi. Bahkan perempuan sebagai “personhood”pun tidak diakui. Bukankah nama perempuan pun sering hilang dan digantikan dengan nama akhir ayahnya atau suaminya? Namanya sendiri tidak pernah eksis. Kebencian laki-laki terhadap perempuan sudah mendarah daging dan di luar imajinasi siapapun. Kebencian merupakan kata di luar batas penjelasan. Kebencian terhadap perempuan memang selalu tidak ada penjelasan. Bagaimana menjelaskan perkosaan di India yang sangat keji itu? Bagaimana menjelaskan perlunya memerkosa dengan menggunakan besi panjang yang menghancurkan organ-organ vital anak perempuan itu? Kebencian menciptakan iklim kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan menciptakan perempuan menjadi manusia penakut. Ia takut berjalan di jalanan umum, siang maupun malam hari. Ia takut bersuara di muka publik. Ia takut memperlihatkan tubuh dan rambutnya. Ia takut bersekolah tinggi-tinggi. Ia takut dimarahi suami, pemuka agama bahkan bupati dan menteri. Manusia penakut adalah perempuan. Tentu saya tidak ingin mengakhiri tulisan ini dengan pernyataan bahwa perempuan telah menjadi manusia penakut. Sebab seharusnya rasa takut hanya dialami generasi terdahulu, generasi tak tercerahkan. Generasi sekarang yang telah diperjuangkan oleh Kartini dan seabreg aktifis perempuan seharusnya tidak menjadi manusia penakut lagi. Bila generasi sekarang masih saja takut bagaimana generasi mendatang? Akankah kita mengajarkan anak-anak perempuan kita untuk takut terus menerus? Ketika anak perempuan India yang malang itu meninggal dunia di hari Sabtu, Pemerintah India berjaga-jaga sebab demonstrasi besar-besaran perempuan India pernah melumpuhkan ibu kota berhari-hari saat perempuan muda itu baru saja diperkosa. Kini perempuan itu telah mati. Pemerintah memang sedang takut. Selamat menyambut 2013. ![]() Oleh: Mariana Amiruddin Inilah pertama kalinya para Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) bertemu muka, saling mengenal dan berbincang mengenai persoalan-persoalan perempuan di Indonesia yang menurut mereka perlu diulas oleh Jurnal Perempuan. Acara dibuka oleh Deedee Achriani, Wakil Direktur Jurnal Perempuan yang menggagas kegiatan ini. Pertemuan ini diadakan untuk mendengarkan gagasan dan pendapat mereka sebagai sahabat, pelanggan dan pembaca Jurnal, tentang persoalan perempuan dan gender yang diulas dalam setiap terbitan. Erry Seda salah seorang SJP, bersedia menjadikan kediamannya di Pondok Indah, untuk menyelenggarakan pertemuan ini pada hari Minggu, 25 November 2012. Erry Seda adalah pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Tampak Syamsiah Ahmad, Ninuk Pambudhi, Esthi Susanti Hudiono, Ida Ruwaida, Deva Rachman serta tamu-tamu baik yang sudah lama sekali maupun yang baru saja mengenal dan menjadi pelanggan Jurnal Perempuan. Jane Ardaneshwari yang juga salah seorang SJP, dengan sukarela menjadi pembawa acara dalam pertemuan ini. Syamsiah Ahmad mengawali perbincangan bahwa sudah saatnya strategi gerakan perempuan mengganti kata “empower” dengan kata “setara”. Menurutnya kata “power” memberikan citra bahwa hanya kekuasaan yang ingin diraih oleh perempuan, atau untuk menguasai laki-laki, sementara kesetaraan menurutnya lebih pada kepentingan atas sikap toleran dan apresiasi dari kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Ajakan bersahabat menurutnya saat ini lebih baik karena perubahan perlu dilakukan seluruh orang, termasuk laki-laki. Beberapa SJP lain bahkan menganggap tidak hanya itu, pentingnya mata kuliah kesetaraan gender dalam setiap kurikulum pendidikan supaya berdampak luas di seluruh masyarakat dari segala usia. Dua sahabat yang kebetulan bekerja di perusahaan mengatakan bahwa sayang sekali bila topik-topik yang diangkat Jurnal Perempuan tidak sampai ke teman-teman di tempat kerjanya. “Berdampak lebih luas” adalah sebagian besar harapan para SJP dalam diskusi ini. Beberapa tema mereka gagas, diantaranya tentang “perempuan dan karir”, termasuk di dalamnya tentang hak-hak pekerja perempuan, dan beban ganda yang sering menjadi dilema perempuan. Jane menambahkan bahwa perempuan pekerja kelas menengah juga mengalami diskriminasi, meskipun kelihatannya mereka baik-baik saja. Jane memberi perumpamaan sebagai “luka dalam” yang dialami perempuan kelas menengah, yang tak terlihat dan sulit untuk diraih persoalannya, apalagi penyelesaiannya. Menurutnya Jurnal Perempuan perlu menganalisis persoalan ini. Esthi Susanti Hudiono setuju dengan pernyataan Syamsiah Ahmad bahwa saat ini isu gender dan feminisme bukan lagi disasar hanya untuk perempuan melainkan juga laki-laki. Ia berharap gerakan perempuan tidak lagi eksklusif. Tambahannya lagi bahwa banyak kasus-kasus yang ditangani LSM lain yang dapat diangkat oleh Jurnal Perempuan, dan kasus tersebut dapat disajikan secara ilmiah dengan menggunakan metodologi feminis. Seperti soal Jaminan Sosial untuk perempuan, menurutnya ini menjadi tema penting. Begitupula mengenai pernyataan Menteri Pendidikan tentang pemerkosaan beberapa waktu yang lalu menimpa pada seorang siswi, menurut Esthi seharusnya kita bersama-sama membuat kriteria siapa seharusnya yang layak menduduki jabatan Menteri Pendidikan. Ia meminta kasus ini dapat dirumuskan oleh komunitas Sahabat JP. Diskusi berkembang menjadi harapan bahwa SJP menjadi sebuah komunitas pembaca Jurnal Perempuan sekaligus komunitas yang mendiskusikan strategi gerakan perempuan ke depan. Muncul perdebatan menarik ketika Jane dan Esthi mengusulkan bagaimana supaya JP disajikan tidak terlalu serius atau agak sedikit populer dengan tidak mengubah substansinya. Esthi menyatakan bahwa kalangan bawah kesulitan mencerna tulisan-tulisan di Jurnal Perempuan, sementara Jane menyatakan banyak perempuan yang menyukai sajian populer yang perlu diraih. Namun, Helga Worotijan salah satu SJP yang hadir saat itu menyangkal bahwa nama “Jurnal” itu memang sudah seharusnya disajikan secara serius, tetapi mungkin isunya lebih diluaskan, isu yang barangkali lebih populer. Ninuk Pambudhy menanggapi bahwa soal kemasan memang penting, karena ini soal konsumsi, tetapi tetap setuju denga Helga bahwa bukan menjadi tidak serius melainkan sekali-sekali menghadirkan wacana yang lebih kontomporer seperti masalah budaya pop, perempuan urban, dll. Ketika Jane mengusulkan sebuah survei, Ninuk menanggapi bahwa survei biasanya perlu biaya besar dan perlu orang-orang ahli dalam hal metodologi karena harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ninuk mengusulkan JP dapat meminta para peneliti untuk menulis dan kemudian diolah oleh Redaksi Jurnal Perempuan. Perbincangan yang menghangat ini kemudian disimpulkan sementara oleh Jane, bahwa perlu ada persentase topik-topik yang diangkat JP, misalnya sekian persen tema yang tidak aktual dan sekian persen yang aktual. Atau misalnya ada topik-topik di luar tema. Jane juga mengusulkan Jurnal Perempuan perlu sering mengadakan FGD (Forum Group Discussion) untuk lebih mendapatkan isu yang variatif. Deva Rachman, yang bekerja sebagai Direktur Perusahaan Intel, mengusulkan perlunya membahas masalah-masalah perempuan di negara-negara lain yang memiliki keadaan tak jauh berbeda dengan Indonesia. Ida Ruwaida, pengajar sosiologi Universitas Indonesia mengatakan bahwa JP adalah jurnal satu-satunya yang membahas khusus isu perempuan. Ida menyatakan tidak mudah mengelola jurnal sebagaimana pengalamannya di universitas, terutama mendapatkan penulis atau peneliti yang berkualitas. April, SJP yang sangat aktif mengikuti twitter jurnal perempuan akhirnya ikut menyatakan bahwa Jurnal Perempuan adalah literatur yang memerlukan kajian serius. Apabila ingin meraih masyarakat yang populer, JP dapat membuat semacam suplemen sehingga mengembangkan kebutuhan yang disasar. Akhir dari seluruh perbincangan panjang ini, akhirnya Erry Seda sebagai tuan rumah mendapat bagian bicara, bahwa ada prioritas yang memang perlu diperhatikan, utamanya adalah soal isu. Pertama adalah bahwa isu perempuan adalah lintas kelas, misalnya di dalamnya semua perempuan mengalami KDRT, dan lain sebagainya. Karena itu bahwa yang diperlukan adalah pemantapan isunya. Jurnal Perempuan saat ini memang sedang dalam proses memenuhi syarat akreditasi karena itu memang perlu disajikan secara serius, namun rubrik budaya seperti cerpen dan puisi tidak dihilangkan karena rubrik ini membuat pembaca lebih rileks, dan berdasarkan konsultasi dengan Dikti tentang akreditasi, rubrik tersebut tidak mengurangi point Jurnal, yang penting secara substansi dan teknis artikel sudah memenuhi. Namun dalam hal suplemen, menarik untuk dipikirkan, meskipun saat ini Jurnal Perempuan telah membuat newsletter dan blog di websitenya yang rutin di update setiap minggu. Jurnal Perempuan mencatat masukan dari para SJP tentang persoalan mengenai jumlah demografi perempuan di usia produktif terus bertambah, dan apa yang harus kita lakukan atas jumlah tersebut? Begitupula tentang perempuan usia lanjut, dan perempuan urban. Selebihnya, Jurnal Perempuan perlu update kebijakan-kabijakan baru baik luar maupun dalam negeri, yang berhubungan dengan kehidupan perempuan. Kegiatan pertemuan para SJP ini memberi banyak inspirasi, dan semua berharap agar Jurnal Perempuan terus terbit dan merasa kita semua memiliki JP dan JP adalah perahu bersama untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Acara ini ditutup oleh pembacaan puisi oleh Helga Worotijan, tentang ibu rumah tangga. Sepetik puisinya mengatakan “hanya tiga hal yang membuat perempuan terbangun, yaitu/tangisan anaknya/suami yang ingin bercinta/matahari terbit.” Pertemuan SJP ini akan diadakan 3 bulan sekali. Selain membahas topik yang diangkat Jurnal Perempuan, juga untuk meraih banyak pembaca dan sahabat, dan tentu saja merancang strategi gerakan perempuan ke depan. ![]() Oleh: Gadis Arivia Apakah yang membuat perempuan begitu tertarik dengan Obama? Sudah dua kali pemilihan presiden berlangsung di tahun 2008 dan 2012, dan setiap kali perempuan mendukung Barack Obama secara bulat. Pertama kali Obama menjadi kandidat presiden pada tahun 2008, sebanyak 54% perempuan memilih Obama dan hanya 40% yang memilih John McCain. Kini, lebih banyak lagi perempuan pendukung Obama, sebanyak 56% dan hanya 38% yang mendukung Mitt Romney. ibu-ibu pun secara besar-besaran mendukung Obama lebih dari 56%! Perempuan dengan demikian dikatakan yang sangat menentukan pemilihan presiden di AS kali ini. Hal ini tentu mengherankan karena persoalan AS yang banyak dibahas akhir-akhir ini adalah persoalan ekonomi. Mitt Romney dengan demikan sangat percaya diri di awal musim panas, hanya memusatkan perhatian pada persoalan ekonomi, khususnya jobs, jobs, jobs. Bahkan kubu Romney mengambil mantra it's the economy, stupid! yang pernah dipopulerkan oleh tim sukses Bill Clinton pada tahun 1992 ketika AS saat itu mengalami kesulitan ekonomi. Jadi, Romney merasa yakin bahwa isu ekonomi lah yang akan mendominasi dan isu-isu sosial dianggap tidak penting. Oleh sebab itu, Romney dengan ringan menerangkan rencana penghematan keuangan di bawah kepemimpinan kabinetnya nanti, yaitu, dengan memotong anggaran Planned Parenthood (berkaitan dengan urusan kesehatan perempuan termasuk kesehatan reproduksi perempuan). Planned Parenthood adalah organisasi yang memberikan akses kontrasepsi termasuk tindakan aborsi dengan biaya murah. Terry O’Neil, presiden Planned Parenthood mengungkapkan bahwa rencana Romney membuat perempuan sangat marah dan menganggap partai Republik tengah “berperang” melawan perempuan. Persoalan menjadi begitu meruncing ketika pada bulan Oktober 2012, calon kandidat Senator dari Partai Republik, Todd Akin yang anti aborsi (anti pro-choice) memberikan komentar yang menyakiti hati perempuan. Ia mengatakan bahwa perempuan secara biologis dapat menghentikan kehamilan termasuk bila terjadi ‘perkosaan yang sah’. Komentar Todd Akin mengundang kemurkaan perempuan yang luar biasa. Perempuan berteriak bahwa “perkosaan adalah perkosaan titik”, tidak ada perkosaaan yang sah dan tidak sah. Sejak saat itu, diskusi publik tentang hak-hak perempuan menjadi perdebetan sengit. Lisa Maatz, direktur kebijakan dari American Association of University Women berpendapat bahwa masalah utama dari Partai Republik adalah mereka tidak mengerti sama sekali bahwa persoalan ekonomi yang mendasar bagi perempuan adalah persoalan hak-hak perempuan. Bila persoalan hak-hak perempuan tidak terpenuhi maka akan berdampak pada persoalan ekonomi. Perempuan yang tidak memiliki akses kontrasepsi atau aborsi tidak akan dapat bekerja dengan baik atau melanjutkan kariernya dengan maksimal. Jadi persoalan hak-hak perempuan berkorelasi dengan persolan ekonomi (baca lebih lanjut isu ini di Jurnal Perempuan No.74: Perempuan Agen Ekonomi?) Romney telah membuka front dengan perempuan AS. Namun, bukan saja perempuan yang menjadi masalah untuk Romney, masalah homoseksual utamanya masalah perkawinan sesama jenis juga menjadi perdebatan. Partai Republik adalah partai yang sangat didukung oleh kelompok relijius terutama Evangelical. Kelompok ini dengan terang-terangan menolak perkawinan sesama jenis. Partai Demokrat di lain pihak mencalonkan Tammy Baldwin, seorang lesbian, dari negara bagian Wisconsin untuk menjadi anggota Senat yang akhirnya menang telak melawan kandidat Partai Republik. Ia menjadi anggota Senat pertama yang mengaku secara terbuka sebagai seorang lesbian. Baldwin mendukung kesetaraan perkawinan (marriage equality) termasuk perkawinan sesama jenis. Pada malam pemilu, terbukti rakyat AS di negara bagian Maryland, Washington dan Maine memilih membolehkan perkawinan sesama jenis. Ini adalah kemenangan yang luar biasa yang dapat menular ke negara-negara bagian lainnya. Demikian pula dengan kelompok latino/hispanik yang merupakan kelompok marjinal di AS. Kelompok ini memiliki persoalan imigran gelap yang menjadi pembahasan pro-kontra di AS. Adalah Obama yang sering memberikan perhatian terhadap kelompok ini dan bahkan mengeluarkan kebijakan “Dream Act” untuk membolehkan anak-anak imigran gelap menetap di AS dan mendapatkan hak-hak yang sama dengan penduduk AS. Warga negara AS keturunan latino/hispanik tentu tidak melupakan jasa-jasa Obama begitu saja, mereka dengan kekuatan yang besar mendatangani bilik/kotak suara pada hari pemilu dan memberikan 71% suara. Selain itu, Obama pun mendapatkan suara terbesar dari keturunan Asia sebesar 73% dan suara keturunan Afrika (kulit hitam) sebanyak 93%. Perempuan, gay&lesbian, latino/hispanik, Asia serta kulit hitam merupakan kelompok minoritas yang berkoalisi untuk Obama dan bersama-sama mengantarkan Obama kembali ke Gedung Putih di tahun 2012. Apakah kesamaan mereka dengan Obama? Sehingga mereka begitu gigih membela dan mendukung Obama? Sebagian besar dari kelompok minoritas mengidentifikasikan diri mereka dengan Obama. Obama yang dibesarkan oleh ibunya (sebagai orang tua tunggal), keluarga sederhana, masuk universitas dengan beasiswa, dan memahami arti multi-rasial sehingga memiliki rasa toleransi yang tinggi, merupakan presiden yang percaya dengan apa yang disebut “American Dream”, yakni, kerja keras dan kesempatan yang sama untuk semua orang. Sedangkan Romney yang berasal dari kelas atas, seorang pengusaha besar, bekas anak gubernur dan konservatif dalam pandangan isu-isu sosial, dianggap tidak mewakili demografi AS yang kian plural dan kian liberal. Terutama Romney tidak memahami makna kelas menengah, kelas yang berjuang, kelas yang diwakili oleh Obama. “Tonight you voted for action, not politics as usual….” ungkap Obama dalam pidato kemenangannya. Memang kali ini pemilu di AS bukan politics as usual melainkan sebuah gerakan untuk mewujudkan Amerika yang inklusif, Amerika yang toleran. Oleh: Gadis Arivia Malala Yousafzai berusia 14 tahun. Masih sangat muda, cantik dan cerdas. Biasanya anak seusia itu lebih senang berkumpul dengan teman-temannya dan pergi menghabiskan waktu ke mall menikmati masa remajanya. Tidak demikian halnya dengan Malala yang sangat peduli terhadap isu-isu perempuan terutama pendidikan anak perempuan. Malala tidak tanggung-tanggung menyatakan dirinya seorang aktifis pembela hak-hak perempuan. Pernyataannya bukan tanpa resiko. Pada hari Selasa, 9 Oktober 2012, Malala ditembak di dalam bis sekolah oleh kelompok Taliban. Teman Malala yang duduk di dekatnya saat itu, mengatakan bahwa beberapa laki-laki menghentikan bis sekolah mereka dan menanyakan siapa yang bernama Malala Yousafzai, lalu menembaknya dalam jarak dekat. Dua buah peluru bersarang di tubuhnya, satu di kepala dan satu lagi di tenggorokan. Kondisinya kini dalam keadaan kritis. Hanya dalam waktu sangat singkat, juru bicara Taliban Pakistan, Ihsanullah Ihsan, membuat pernyataan dengan nada mengancam,“Malala telah menjadi simbol budaya Barat dan bila dia selamat, maka para militan akan mencoba membunuhnya lagi.” Malala memang sudah terbiasa dengan ancaman para fundamentalis yang sangat membenci kemajuan perempuan. Ia memang bukan aktifis “kemarin sore” meski umurnya masih sangat muda. Sejak berusia 11 tahun ia telah melawan perlakuan sewenang-wenang kelompok Taliban di tempat tinggalnya, Mingora, lembah Swat, Pakistan. Ia melawan mereka lewat pencerahan tulisan-tulisannya di blog BBC yang melayani bahasa Urdu. Tulisan-tulisannya berbentuk diary menggambarkan perlakuan kelompok Taliban yang memaksakan hukum Islam di kampung halamannya. Di dalam salah satu tulisannya, ia mengungkapkan perasaan sedihnya karena pada suatu pagi Taliban melarangnya memakai baju merah muda kesukaannya, karena baju warna-warni dilarang oleh Taliban. Namun, ia tidak takut dan ia mengajak teman-temannya dan orang-orang dewasa di kampungnya untuk melawan dominasi Taliban dan menolak segala kekangan terhadap perempuan termasuk cara berpakaian. Ia pun berulang kali mengatakan bahwa Al-Quran tidak pernah melarang perempuan untuk sekolah. Karena keberaniannya, pada tahun 2011, pemerintah Pakistan memberikan hadiah perdamaian nasional sebesar $10, 500 (kurang lebih 100 juta rupiah). Ia pun dianamakan sebagai pemenang International Children’s Peace Prize yang diberikan pemerintah Belanda tahun lalu. Kelompok fundamentalis tengah menjadi persoalan besar bagi negara Pakistan. Dalam tahun-tahun terakhir Taliban telah menutup 200 sekolah. Kini mereka tidak segan-segan membunuh anak perempuan yang menentang pendapat mereka. Pemerintah Pakistan pun kini mendapatkan sorotan yang tajam karena kelemahan mereka menghadapi kelompok-kelompok fundamentalis yang menjamur. Sebagian besar masyarakat Pakistan menginginkan hukum dan keadilan ditegakkan. Jenderal Ashfaq Parvez Kayani yang telah mengunjungi Malala mengutuk serangan Taliban dan menyebut mereka sebagai pengecut. Masalahnya, pernyataan pejabat seringkali tidak berbunyi di dalam aksi. Oleh sebab itu, di berbagai belahan dunia, kelompok fundamentalis dengan mudahnya menindas hak-hak kelompok minoritas tanpa ada konsekwensi apapun. Tindakan para pejabat pemerintah seringkali ditiru oleh pejabat lokal atau pemimpin institusi-institusi. Sebagai contoh, di negara kita, satu hari sebelum Malala ditembak, seorang anak perempuan yang juga berusia 14 tahun dikeluarkan dari sekolahnya karena telah menjadi korban perkosaan. Ibu ketua Yayasan Sekolah Budi Utomo, Depok, mengatakan di hadapan ratusan murid, “saya tidak mau ada murid yang telah merusak nama baik sekolah tetap bersekolah di sini” (Kompasiana, 10 Oktober 2012). Setelah upacara bubar, sambil menahan rasa malu, anak perempuan itu tetap masuk kelas, namun sesampai di kelas ia diusir dari kelas Pendidikan Lingkungan Hidup. Saya tidak bisa membayangkan perasaan anak perempuan tersebut apalagi perasaan ibunya yang untungnya masih menunggu putrinya di depan gerbang sekolah dan menyaksikan putrinya berlari berlinangan air mata menujunya. Apakah yang salah dari masyarakat kita ini yang senantiasa begitu membenci anak perempuan? Cerita tentang sekolah yang mengeluarkan anak perempuan karena telah diperkosa atau hamil sudah menjadi cerita yang umum. Tidakkah ada rasa kemanusiaan lagi di dunia pendidikan kita? Pada akhirnya memang kita tidak dapat berharap banyak dari pejabat pemerintah atau pemimpin-pemimpin masyarakat serta institusi-institusi pendidikan kita. Kita sendiri sebagai masyarakat madani harus bergerak dan terus berteriak lantang di dalam komunitas masing-masing untuk menghentikan perlakuan misoginis di dalam masyarakat. Rigoberta Mencu, peraih hadiah Nobel pernah mengatakan: “This world is not going to change unless we’re willing to change ourselves.” Sudah saatnya kita berubah, saatnya kita menentang segala diskriminasi atas nama apapun sekalipun atas nama agama, kalau tidak anak perempuan kita akan kehilangan masa depan, tertindas bahkan dibunuh. ****Ingin melihat wawancara dengan Malala Yousafzai http://youtu.be/_8TBa278v1Y ***Ingin mengirimkan pesan mendukung Malala? Tanda tangan petisi ini:http://www.avaaz.org/en/petition/We_support_you_Malala/?kfZFBdb |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|