Tragedi kekerasan pada bulan Mei 1998 dikenang sebagai peristiwa kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada tanggal 12-15 Mei 1998 terjadi rentetan peristiwa kekerasan di berbagai wilayah yang memiliki dampak luar biasa besar, baik karena keluasan peristiwanya maupun banyaknya jumlah korban. Terdapat 2 (dua) penyelidikan penting dalam peristiwa tersebut yaitu; laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan laporan penyelidikan Komnas HAM.
Dalam laporannya, TGPF menyatakan dua hal penting terkait fakta kekerasan dan kerusuhan, dan korban. Pertama, bahwa secara makro peristiwa kekerasan yang beruntun dan berpola tersebut merupakan pertemuan dua titik pertarungan elit politik yang berujung pada pergantian kepemimpinan dan perburukan kondisi ekonomi. Secara khusus, di tingkat mikro, laporan TGPF menegaskan terdapatnya kesamaan, kemiripan, maupun variasi pola kerusuhan di 6 titik yang menjadi fokus kerja TGPF. Laporan tersebut juga menegaskan fakta bahwa seluruh rangakain kekerasan dan kerusuhan tersebut disengaja dan melibatkan berbagai pihak baik organisasi massa, preman lokal, maupun sejumlah anggota dan unsur aparat keamanan. Kedua, laporan tersebut menegaskan adanya korban yang meski jumlahnya secara rinci sulit dipastikan, tapi sebagian besar rakyat terbakar, dan korban kekerasan seksual termasuk perkosaan, serta mahasiswa yang mengalami penembakan. Berdasarkan pembacaan tersebut, TGPF kemudian merekomendasikan adanya pertanggungjawaban peristiwa ini, yang dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu, (1) Pertanggungjawaban hukum, mencakup melakukan investigasi atas keterlibatan sejumlah pihak yang diduga terlibat sebagai pelaku dalam peristiwa tersebut; serta penindakan kasus kerusuhan Mei 1998 yang melibatkan pengungkapan yuridis atas mereka yang diduga terlibat; (2) perubahan kebijakan, mencakup pembentukan LPSK, dan reformasi Intelijen Negara melalui pembentukan UU Intelijen Negara yang demokratis dan melindungi HAM; (3) pemulihan dan kompensasi bagi korban. Komnas HAM demikian juga, di dalam penyelidikannya menyatakan terjadi dugaan pelanggaran HAM yang berat dan merekomendasikan adanya Pengadilan HAM ad hoc. Penyelidikan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan pihak-pihak yang diduga harus bertanggungjawab atas peristiwa kerusuhan Mei 1998. Komnas HAM juga telah menyerahkan seluruh Laporan Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 kepada Jaksa Agung. Kini, setelah 20 tahun berlalu, pertanggungjawaban atas tragedi tersebut masih belum juga terwujud. Rekomendasi yang penting belum berhasil diwujudkan; pertama; tentang akuntabilitas atau pertanggungjawaban hukum atas pihak-pihak yang paling bertanggung jawab belum berhasil diwujudkan. Kedua, rekomendasi penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa, dan kemudian menyusun serta mengumumkan buku putih mengenai peranan dan tanggung jawab, serta keterkaitan satu sama lain dari semua pihak yang bertalian dengan kerusuhan tersebut juga belum terealisasi. Ketiga, rehabilitasi dan kompensasi bagi semua korban dan keluarga kerusuhan, yang hingga kini belum ada rehabilitasi dan kompensasi kepada para korban. Sejumlah rekomendasi terkait perubahan kebijakan memang telah dilaksanankan diantaranya terwujudnya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang melahirkan adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sebagai mekanisme untuk jaminan keamanan bagi saksi dan korban (diperbarui lagi dengan UU No. 31 Tahun 2014); dan adanya UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial. Namun demikian, ada pelipur lara bagi keluarga korban kerusuhan Mei 1998, yakni dengan dibangunnya memorialisasi berupa monumen dan prasasti "Jarum Mei" di TPU Pondok Ranggon Jakarta Timur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang telah diresmikan pada tahun 2015. Pembangunan memorialisasi peristiwa Mei 1998 merupakan langkah positif dalam upaya memberikan pengingat dan pembelajaran publik agar peristiwa atau tragedi serupa tidak terjadi lagi di masa depan sehingga tidak ada lagi anak-anak negeri yang menjadi korban pelanggaran HAM. Pada peringatan tragedi kekerasan Mei 1998 yang ke-20 tahun kali ini, kami (masyarakat sipil dan keluarga korban) mengingatkan kepada Negara dari semua unsur Eksekutif, Legislatif, dan Judikatif untuk: 1 Mengungkap seterang-terangnya atas kebenaran peristiwa yang telah mengorbankan anak bangsa pada tragedi berdarah kekerasan Mei 1998 sebagai hak atas kebenaran bagi keluarga korban dan seluruh warga negara; serta memenuhi hak atas keadilan dan pemulihan bagi keluarga korban tersebut; 2. Menjadikan tragedi berdarah Mei 1998 sebagai penanda dan titik tolak demokratisasi di Indonesia dengan adanya reformasi politik dari sistem otoritarianisme Orde Baru. Jangan sampai perjuangan demokrasi yang telah memakan nyawa anak negeri dimundurkan lagi dengan pengekangan hak atas kebebasan konstitusi warga negara, seperti hak berorganisasi, berekspresi, dan jaminan perlindungan bagi para kelaurga korban pelanggaran HAM berat masa lalu serta para pembela HAM dalam memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya; 3. Menjadikan memorialisasi seperti yang telah dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam mengenang peristiwa kekerasan Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, agar dilakukan juga terhadap situs atau tempat-tempat pelanggaran HAM di seluruh Indonesia sebagai pengingat bagi bangsa Indonesia agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa depan. Kami ingin negara dan bangsa Indonesia menjadi beradab dengan menghormati, melindungi, dan memenuhi HAK seluruh warga negara. Para korban yang justru dipersalahkan oleh Negara agar dipulihkan nama baiknya. Dengan demikian, para korban pelanggaran HAM dapat dihormati martabatnya. Siaran Pers Panitia Bersama Peringatan #20thReformasi #TragediMei1998 (Komnas Perempuan, IKOHI, KontraS, Lbh Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, Yayasan Kalyanamitra, PINTI, Paguyuban Mei 98-FKM) Kesehatan Reproduksi dalam Skema Jaminan Kesehatan Nasional:Pentingnya Sosialisasi dan Koordinasi2/5/2018
Pada hari Senin, 30 April 2018, berlangsung Konferensi Pers Tiga Tahun Layanan Kesehatan Reproduksi dalam Skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-BPJS) yang diselenggarakan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) bersama Jaringan Perempuan Peduli Kesehatan (JP2K) di Bakoel Koffie Cikini. Dalam konferensi pers tersebut hadir Zumrotin K. Susilo (Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan) dan Herna Lestari (Peneliti Yayasan Kesehatan Perempuan) sebagai pembicara. Herna Lestari memaparkan hasil awal Studi Pelaksanaan Skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Kaitannya dengan Kebutuhan Perempuan dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi dan Seksual 2015-2017. Studi yang berlangsung dalam bentuk survei berkelanjutan tersebut telah dilaksanakan sebanyak tiga kali yaitu pada tahun 2015, 2016, dan 2017 di 15 provinsi di Indonesia. Survei yang berfokus pada pelaksanaan skema Jaminan Kesehatan Nasional untuk kesehatan reproduksi tersebut telah menjangkau hampir 9.000 responden. Dalam presentasi hasil studi, Herna memaparkan bahwa dari hasil studi tersebut terdapat hal-hal penting yang harus menjadi perhatian seluruh pihak, yakni: (1) Masih ditemukan ketidakpahaman tenaga kesehatan terkait program JKN, sebanyak 30% petugas kesehatan tidak dapat membedakan JKN dengan BPJS. Hal ini tentu berdampak pada kualitas layanan yang diberikan pada masyarakat. (2) Pengetahuan masyarakat mengenai layanan yang tercakup dalam JKN/BPJS masih sangat kurang. Bahkan 40-50% responden perempuan tidak mengetahui prosedur-prosedur dalam BPJS seperti pendaftaran, pembayaran, rujukan, dan cakupan layanan. (3) Masih ditemukannya pembayaran premi BPJS yang tidak tepat sasaran, dalam hal ini masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas justru masih menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI). (4) Minimnya fasilitas kesehatan (faskes) dengan tenaga kesehatan yang memiliki kapasitas dalam kesehatan reproduksi di daerah-daerah terpencil juga menjadi tantangan tersendiri. Jarak tempuh yang jauh dan sulit ditempuh menjadi kendala bagi masyarakat terpencil untuk mengakses layanan kesehatan yang memadai. Lebih lanjut Herna menjelaskan bahwa hasil survei berkelanjutan menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat yang tinggi terhadap layanan JKN/BPJS. Hal ini menarik karena hasil survei juga menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengetahui mengenai layanan JKN/BPJS. Herna menekankan bahwa sosialisasi mengenai layanan JKN/BPJS masih menjadi poin penting yang harus dikerjakan oleh Kementerian Kesehatan dan lintas kementerian selain memastikan tersedianya tenaga medis yang memadai dan terlatih untuk layanan kesehatan reproduksidi semua faskes tingkat pertama (minimal 1 dokter, 1 bidan, dan 1 perawat) termasuk ketersediaan obat-obatan dan darah melalui Bank Darah; serta pentingnya untuk memasukkan seluruh aspek layanan kesehatan reproduksi menjadi layanan yang perlu dibiayai oleh BPJS. Zumrotin K. Susilo dalam pemaparannya menyampaikan bahwa layanan BPJS harus dipertahankan meski banyak permasalahan dalam BPJS yang perlu diselesaikan. Menurutnya data yang tidak akurat merupakan satu hal yang berbahaya karena menyebabkan bantuan tidak tepat tersampaikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Ketidaktahuan penyedia layanan dalam hal ini tenaga kesehatan terkait layanan yang termasuk dalam BPJS juga dapat menghambat kemajuan BPJS ke depannya. Zumrotin juga menyoroti masalah keterlambatan distribusi obat dari Kemenkes yang akan menghambat proses berobat masyarakat dan perihal sosialisasi kesehatan reproduksi seperti alat kontrasepsi yang menurutnya harus dilakukan oleh pihak Puskesmas. Layanan kesehatan BPJS juga menurutnya masih tidak ramah pada remaja karena jam buka Puskesmas tidak memungkinkan para remaja untuk melakukan pemeriksaan terkait kesehatan reproduksi mereka. Kendala lain terkait kesehatan reproduksi remaja adalah sikap tenaga kesehatan yang diskriminatif terhadap remaja yang ingin mengakses layanan kesehatan reproduksi. Zumrotin juga mengungkapkan bahwa layanan aborsi yang tercakup dalam BPJS masih tidak dapat dilakukan bagi para korban pemerkosaan. Mengenai Angka Kematian Ibu (AKI), Zumrotin menyatakan bahwa hingga saat ini peran layanan kesehatan BPJS belum menunjukkan apakah akan menurunkan atau meningkatkan AKI. “Harapannya tentu BPJS dapat menurunkan AKI,” ujar Zumrotin. Zumrotin menutup pemaparannya terkait skema kesehatan nasional dengan menyatakan bahwa koordinasi yang lebih baik antara BPJS dan Kementerian Kesehatan sangat diperlukan karena pelayanan kesehatan dalam JKN/BPJS tersebut hanya mengatur mengenai pembiayaan saja sedangkan substansi layanan maupun tenaga kesehatan merupakan tugas dari Kementerian Kesehatan. (Bella Sandiata) Jakarta (26/4) Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU) mengadakan acara Brown Bag Lunch Discussion yang mengusung tema “Peran Organisasi Perempuan dalam Pemantauan Program Jaminan Kesehatan” dengan menghadirkan Budhis Utami dari KAPAL Perempuan sebagai pembicara. Dalam menyikapi kasus yang terjadi pada persoalan kesehatan yang ada di Indonesia, Institut KAPAL Perempuan berupaya untuk memberikan laporan yang terjadi di Lapangan terkait dengan isu tersebut. Dalam indeks kesehatan global, Indonesia berada pada posisi 101 dari 149 negara dan dibandingkan negara ASEAN lainnya posisi Indonesia dikatakan cukup tertinggal. Indeks kesehatan global tentunya memiliki ukuran dalam menentukan tingkatan pada indeks kesehatan global, salah satunya adalah aspek pelayanan kesehatan. Institut KAPAL Perempuan menemukan beberapa fakta yang terjadi pada pelayanan kesehatan yang terjadi di Indonesia. Pada dasarnya, setiap warga negara memiliki hak atas kesehatan yang diatur oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). Akan tetapi, terdapat persoalan yang amat mendasar seperti pelayanan kesehatan, kepemilikan kartu dan sosialisasi yang tidak menyeluruh. Institut KAPAL Perempuan melakukan pemantauan pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Sosial (JKN) dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif yaitu transek, survei, FGD dan observasi. Budhis Utami selaku pembicara menjelaskan bahwa upaya pemantauan ini tidak mudah, sebab masih ada beberapa orang yang masih takut untuk diwawancara, sehingga menyulitkan tim peneliti untuk memperoleh data dengan cepat. Penyebaran rumah sakit maupun puskesmas yang tidak merata pada setiap wilayah juga menjadi ukuran bahwa Indonesia masih kurang memperhatikan pemerataan rumah sakit dan puskesmas. Dengan begitu orang-orang yang memiliki kartu akses kesehatan tidak memiliki tempat untuk mendapatkan hak mereka. Masalah tidak berhenti disitu, Budhis Utami menyatakan bahwa wilayah yang memiliki pemerataan rumah sakit dan puskesmas juga masih terbentur dengan orang-orang yang tidak tahu fungsi dari kartu jaminan kesehatan. Sehingga, tidak jarang kita temukan orang-orang yang tidak memaksimalkan fungsi dari kartu yang mereka miliki. Selain itu persoalan pungutan liar juga masih ditemukan. Walaupun terdapat ketentuan bahwa jaminan kesehatan bersifat gratis, hasil temuan menunjukkan masih ada oknum tertentu yang mengambil keuntungan dengan mengatakan obat atau pelayanan lain yang berbayar. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa banyak orang belum memahami haknya dalam menggunakan jaminan kesehatan. “Kurangnya sosialisasi masih menjadi masalah utama dalam kasus ini”, tutur Budhis. (Iqraa Runi) Jakarta (24/4) bertempat di Hotel Crowne Plaza Jakarta, dalam rangka memperingati Hari Kartini, Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) menyelenggarakan Seminar Nasional tentang Peran Kelembagaan Formal dan Nonformal dalam Pencegahan Kawin Anak. Acara ini berupaya untuk menyuarakan pencegahan kawin anak melalui beberapa strategi seperti mengedepankan perspektif orang tua dan remaja, juga menyatukan pemikiran dan ide dari sektor formal dan nonformal. Acara ini bukan hanya menggambarkan persoalan kawin anak secara umum, tetapi juga menjelaskan temuan-temuan dari penelitian tentang fakta kawin anak pada wilayah pedesaan. Menurut salah satu panelis, Dina Nurdinawati, dari Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (FEMA IPB) sekaligus konsultan Rumah KitaB dan UNICEF, penelitian yang ia lakukan berguna untuk melihat penerimaan suatu wilayah atas isu kawin anak. Menurut Dina, kawin anak dipengaruhi oleh faktor struktural dan kultural. Hanya saja Probolinggo dan Sumenep memiliki teorema yang berbeda pada hasil penelitian yang ia lakukan. Pada Probolinggo kawin anak sering terjadi antara laki-laki dewasa dengan perempuan anak, dari sini dapat terlihat bahwa yang sering menjadi penyebab kawin anak di Probolinggo adalah faktor ekonomi. Berbeda dengan Probolinggo, kawin anak yang terjadi di Sumenep dilakukan antara laki-laki anak dengan perempuan anak, pada hal ini dapat terlihat faktor kultural memengaruhi seorang anak dinikahkan dengan alasan agama misalnya. Sementara itu, Abu Jahid, Staf Ahli Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) menjelaskan bahwa kawin anak merupakan masalah yang terjadi akibat dari masalah lain seperti ekonomi, pendidikan dan juga ketidakpahaman masyarakat dalam memahami langkah administrasi. Jahid menyatakan bahwa banyak pasangan di daerah tertentu yang tidak mendaftarkan pernikahannya di pengadilan agama, sehingga saat pasangan tersebut memiliki anak akan berdampak pada akta kelahiran anak yang tidak dapat diurus. Dengan begitu terjadilah penuaan usia seorang anak yang kemudian dianggap telah cukup umur untuk menikah, padahal statusnya masih anak-anak. Bagi Jahid penting untuk melihat masalah kawin anak dari berbagai perspektif, karena kawin anak terjadi akibat adanya penumpukan masalah dari sektor lainnya. Sementara Maria Ulfah Anshor, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menjelaskan bahwa KUPI memiliki strategi yang berbeda dalam menyelesaikan masalah kawin anak. Berlandaskan pada pemahaman hak asasi manusia juga kesetaraan gender, KUPI terus memproduksi ulama perempuan yang kuat dalam mempromosikan kesetaraan gender. Promosi ulama perempuan dalam majelis taklim perlu diisi dengan pembicaraan perempuan dalam Islam yang berdaya bukan hanya sekadar pernikahan semata. Sering ditemukan bahwa pernikahan dilakukan ketika seseorang dianggap mampu, tetapi mampu dimaknai sebatas berhubungan seksual dan balig. Seharusnya mampu juga dimaknai sebagai mampu secara ekonomi, fisik, psikis dan emosional. Di sisi lain, Lia Anggiasih, Koalisi Perempuan Indonesia, memiliki upaya yang berbeda dalam menyelesaikan persoalan kawin anak. Baginya advokasi kebijakan penting untuk upaya pencegahan perkawinan anak. Akan tetapi, pernah ada penolakan dari mahkamah konstitusi untuk menaikkan batas usia perkawinan. “Mahkamah Konstitusi menolak pencegahan kawin anak dengan argumen dorongan berahi anak dapat disalurkan dengan menikah,” tutur Lia. Ia menambahkan perlu ada upaya advokasi kebijakan agar persoalan kawin anak dapat terselesaikan dengan cepat. (Iqraa Runi) Kamis (26/4), berlangsung talkshow dengan tema “Citra dan Keterlibatan Perempuan Hadhrami di Ranah Publik” yang merupakan rangkaian acara Festival Hadhrami di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Talkshow tersebut menghadirkan tiga perempuan yang memiliki garis keturunan Hadhrami sebagai pembicara, yakni Tsamara Amany Al-Atas (Politisi, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia), Rayya Makarim (Penulis naskah film dan sutradara), dan Sofia Balfas (Direktur Keuangan dan Direktur Operasional PT Bukaka Teknik Utama), dengan dipandu oleh Saras Dewi (Dosen Filsafat UI) sebagai moderator. Baik dalam komunitas Hadhrami maupun di berbagai kelompok etnis lainnya di Indonesia, ada banyak stereotip tentang peran perempuan. Sekitar 80 tahun yang lalu perempuan Hadhrami tidak dapat keluar rumah tanpa muhrim mereka, apalagi di atas pentas atau ruang publik, seperti yang diceritakan dalam kisah Fatimah. Namun, saat ini perempuan Hadhrami telah melakukan perubahan besar dalam masyarakat. Tidak sedikit dari perempuan Hadhrami yang menduduki posisi penting di berbagai bidang dalam masyarakat. Talkshow ini menghadirkan tiga perempuan keturunan Hadhrami yang membagikan kisah dan pandangan mereka tentang perempuan Hadhrami di ranah publik. Ketiga pembicara yang hadir pada talkshow tersebut masing-masing berkiprah di dunia politik, bisnis, dan seni. Tsamara Amany, membuka talkshow dengan memaparkan tantangan yang dihadapi perempuan Hadhrami di ruang publik secara khusus terkait pengalamannya sebagai politisi muda. Tsamara memaparkan bahwa sesungguhnya perempuan Hadhrami pun mengalami konstruksi sosial yang ada, konservatif dan kuasanya terbatas hanya di dapur, sumur, dan kasur. Konstruksi sosial yang demikian, menurut Tsamara, harus dibantah dengan kehadiran perempuan Hadhrami di ranah publik. Dalam kiprahnya di dunia politik dengan identitasnya sebagai perempuan Hadhrami, Tsamara menjelaskan, “Ketika kita sudah masuk ke dalam ruang publik, ketika kita ingin masuk ke dalam ruang politik maka hal terpenting adalah meninggalkan fanatisme buta atas golongan.” Lebih lanjut Tsamara mengatakan jika fanatisme buta dan subjektivitas akan golongan terus dipertahankan, maka hanya akan menghambat golongan tersebut untuk maju. Pertentangan atas pandangan dan sikapnya yang berbeda terhadap kebiasaan atau nilai-nilai etnis Hadhrami menurut Tsamara merupakan sesuatu yang harus dia terima dan hadapi. Bagi Tsamara, nilai-nilai dan kultur yang ada dalam etnis Hadhrami seharusnya tidak menghambat perempuan untuk maju, “Sebagai perempuan Hadhrami, saya tidak mau larut dalam emosi dan fanatisme buta atas golongan itu. Kita bisa cinta akan kultur dan tradisi Hadhrami namun itu semua tidak membuat saya menjadi anti akan golongan lain dan merasa paling superior.” Sofia Balfas, membagikan pengalamannya sebagai pebisnis yang bagi keturunan Hadhrami dipandang cukup sulit untuk masuk ke bidang tersebut. Namun, tidak demikian bagi Sofia yang didukung penuh oleh ayahnya untuk berkembang sesuai dengan minatnya. Sofia mengatakan bahwa ayahnya mendidik dia dan saudara-saudaranya dengan semangat Hadhrami yang mengajarkan mereka untuk menjadi individu-individu yang kuat seperti kesatria. Oleh karena itu hingga saat ini Sofia berhasil menjadi pebisnis sukses, bagi Sofia, tidak ada alasan bagi perempuan Hadhrami untuk menikmati posisi-posisi tinggi. Mental kuat yang ditanamkan oleh keturunan Hadhrami akan membentuk perempuan Hadhrami sebagai pribadi yang kuat. Hambatan yang dialami oleh Sofia datang ketika dirinya harus menikah. Sofia menikah dengan seorang pria yang juga keturunan Arab, berpendidikan tinggi, dan dapat memahami serta menerima Sofia sebagai perempuan yang bekerja. Namun, kendala yang harus dihadapi adalah sang suami mengizinkan Sofia untuk bekerja asal tidak melupakan semua tugasnya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga. Rayya Makarim menyampaikan pandangannya yang berbeda dari dua pembicara lainnya. Perempuan yang memiliki profesi sebagai penulis naskah film ini menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak merasa sebagai keturunan Hadhrami. Rayya yang tinggal berpindah-pindah negara dan mengalami diskriminasi dari lingkungannya, mengaku sejak lahir telah ditanamkan oleh orang tuanya untuk mengingat asal-usulnya, yaitu Indonesia. Bagi Rayya dirinya adalah seorang Indonesia meski ia pernah tinggal dan bersekolah di beberapa negara sebelum akhirnya kembali ke Indonesia untuk berkarya dan berkontribusi pada negara. Namun, ketika Rayya kembali di Indonesia, iayang merasa dirinya adalah sepenuhnya orang Indonesia justru kembali mengalami diskriminasi dari orang-orang sekitarnya yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang Arab, bukan Indonesia. Meski demikian hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Rayya, walaupun seorang keturunan Hadhrami, tetapi diri dan identitasnya adalah seorang Indonesia. “Dari kecil sudah terus-menerus dikasih tahu saya orang Indonesia, jadi hal itu sudah mendarah daging bagi saya. Saya pikir saya punya tanggung jawab dan saya punya sesuatu yang mau saya berikan untuk negara saya,” tegas Rayya. (Bella Sandiata) Rabu (25/4) bertempat di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) berlangsung konferensi pers Festival Hadhrami dengan tema Merayakan Keragaman Etnis Keturunan Hadhramaut di Indonesia. Konferensi pers menghadirkan Melani Budianta (Universitas Indonesia), John McGlynn (Yayasan Lontar), Yasmin Zaky Shahab (Panelis), dan Huub de Jong (Panelis) sebagai pembicara. Berlangsung selama dua hari, 25-26 April 2018, di FIB UI, Festival Hadhrami diselenggarakan karena tampilnya beberapa pribadi dan komunitas Hadhrami sebagai tokoh ikonik dipanggung politik Indonesia. Hal ini memunculkan anggapan yang sangat kuat di benak masyarakat bahwa komunitas Hadhrami merupakan representasi dari kubu politik tertentu di Indonesia. Tentu saja hal tersebut merupakan anggapan yang salah. Sama halnya dengan etnis lainnya, masyarakat Hadhrami bukanlah komunitas yang bersifat tunggal. Keragaman masyarakat Hadhrami di Indonesia bahkan dapat ditemukan pada masa-masa awal pembentukan negara bangsa Indonesia. Salah satu bukti peninggalan sejarah yang mencerminkan keragaman sekaligus dinamika internal komunitas Hadhrami adalah naskah drama Fatimah karya Hoesin Bafagih. Di tengah riuhnya situasi politik identitas, naskah drama yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1938 itu menjadi penting untuk ditampilkan kembali sebagai pengingat atas salah satu tahapan sejarah pembentukan bangsa yang beragam ini. Buku drama Fatimah tidak hanya berkisah tentang percintaan, tetapi juga tentang kebangsaan dan isu-isu yang berlangsung pada masyarakat Hadhrami. Naskah Fatimah yang diterbitkan tahun 2018 oleh Yayasan Lontar ini didapatkan dan diketik ulang menjadi sebuah buku oleh Nabiel A. Karim Hayaze. Sulitnya mencari penerbit untuk karya sastra di Indonesia mengantarkan Nabiel pada Huub de Jong yang diminta olehnya untuk memberikan kata pengantar buku Fatimah tersebut. Melalui Huub, Nabile dipertemukan dengan Yayasan Lontar sehingga naskah Fatimah ini berhasil diterbitkan menjadi sebuah buku. Naskah drama Fatimah karya Hoesin Bafagih ini sendiri menggambarkan kondisi komunitas Hadhrami pada tahun 1930-an dalam kisah hidup Fatimah seorang anak perempuan dari keluarga Arab yang kaya raya. Diterbitkan pada tahun 1938 oleh Persatuan Arab Indonesia (PAI) cabang Semarang, karya Bafagih, seorang jurnalis progresif pada zamannya, mengundang banyak reaksi dari dalam komunitas Hadhrami, ada yang menyukai ada pula yang sebaliknya. Drama Fatimah berkisah tentang Nasir Bin Umar Asyaibie seorang kaya raya yang telah memasuki masa tua dan menderita penyakit gula berkeinginan untuk menikahkan putri bungsunya, Fatimah dengan Mochtar, yang adalah guru dari Fatimah sendiri. Mochtar merupakan seorang guru yang hidup sederhana dengan kebaikan yang berhasil mencuri perhatian Nasir. Kontrak pernikahan terjadi antara Mochtar dan Fatimah, namun keduanya baru akan hidup bersama setelah Fatimah mencapai usia dewasa, mengingat kontrak tersebut dilaksanakan saat usia Fatimah masih di bawah umur. Selama menunggu untuk hidup bersama calon suaminya, Fatimah tinggal bersama ibunya. Sementara warisannya yang baru akan diperolehnya di usia dewasa disimpan dan dipercayakan pada pihak yang mengatur mengenai warisan yang disebut Weeskamer. Sebelum meninggal, Nasir telah mengatur warisan untuk anak laki-lakinya yang hilang dan tidak pernah ditemukan olehnya. Anak laki-laki yang hilang tersebut ternyata merupakan hasil hubungan gelap Nasir dengan perempuan lain selama Nasir berkeliling berdagang. Setelah Nasir meninggal, Yusuf, anak kandung laki-laki Nasir yang juga kakak dari Fatimah, berusaha untuk membatalkan pernikahan Mochtar dan Fatimah agar warisan Fatimah dapat jatuh ke tangannya. Yusuf digambarkan sebagai sosok yang senang berfoya-foya dan minum minuman keras bersama teman-temannya. Pada akhir cerita, Mochtar dan Fatimah tidak bersatu sebagai suami istri karena Mochtar merupakan anak laki-laki Nasir yang hilang. Rangkaian acara Festival Hadhrami ini diisi dengan seminar dan diskusi oleh para pembicara dari dalam maupun luar negeri, peluncuran buku Fatimah, pementasan drama oleh Teater Koma, serta pertunjukan seni lainnya yakni tafsir musik oleh S. Abdullah, dan pertunjukan musik gambus dan tari zafin. Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Lontar dan FIB UIini bertujuan untuk membuka pintu bagi pemahaman dan pengertian antar etnis budaya di Indonesia. (Bella Sandiata) Kamis (12/4), Jurnal Perempuan mengadakan seri KAFFE ke-10 (Kajian Filsafat dan Feminisme) tentang Post-truth. Seri KAFFE pertemuan keempat ini diampu oleh Haryatmoko dengan tema Post-Truth dan Pemikiran Filosofis Di Baliknya. Pada tiga pertemuan sebelumnya, post-truth telah dibahas dalam berbagai perspektif seperti feminisme, media sosial dan politik. Sementara pada pertemuan keempat ini, Haryatmoko membahas post-truth dari perspektif filsafat. Haryatmoko menjelaskan bahwa post-truth adalah isu tentang kebenaran. Menurutnya bahasa sering menjadi media untuk memunculkan kebenaran. Akan tetapi, saat ini bahasa tidak lagi mengacu pada kebenaran, sebab banyak orang sering menggunakan logika biner atau cara berpikir biner yang menyebabkan adanya penentuan buruk dan baik dalam membandingkan hal tertentu. Hal ini mengakibatkan eliminasi atas fakta lain yang berbeda dari apa yang seseorang yakini. Haryatmoko menyampaikan bahwa menurut Derrida hal ini amatlah keliru dan berbahaya. Logika biner akan menyebabkan adanya pemaknaan tunggal dan itu berakibat pada pemaknaan yang otoriter. Selain itu Haryatmoko juga menegaskan bahwa bahasa terdiri dari ideologi konfliktual, dinamis atas sistem keyakinan dan nilai yang beroperasi pada waktu dan dalam budaya tertentu. Cikal bakal post-truth bisa jadi datang dari cara pandang yang erat dengan logika biner. Haryatmoko menegaskan bahwa konsep harusnya mampu mengidentifikasi identitas, baik identitas bahasa maupun ideologi di baliknya. Namun dalam post-truth yang terjadi berbeda, asalkan emosi kena, maka masuklah ke dalam post-truth. Konsep dari Derrida yang mencoba mendekonstruksi logika biner kemudian dikaitkan oleh Haryatmoko dengan perspektivisme Nietzsche. Perspektivisme Nietzsche merupakan konsep yang tidak memosisikan atau tidak mengejar hal yang benar atau salah, karena ketika kita mengejar benar atau salah maka kita hanya melakukan fact checking. Haryatmoko juga menjelaskan bahwa metode genealogi Nietzsche bermaksud melihat suatu pernyataan bukan dihitung benar atau salah tetapi siapa yang menyatakan hal tersebut dan apa kepentingan di baliknya. Dengan begitu ia menegaskan bahwa setiap fakta mengandung ideologi dan semua perspektif bersifat aksiologis dengan kata lain diarahkan oleh nilai dan tidak satupun bebas nilai. Selanjutnya, Haryatmoko memaparkan tentang bagaimana Michel Foucault menyuarakan permainan kebenaran sebagai sistem pelarangan. Dilihat dari kacamata Foucault, kekuasaan dahulu dan kini berbeda. Apabila dahulu kekuasaan terpusat pada suatu tempat misalnya penguasa, saat ini kekuasaan menyebar misalnya pada individu yang menjadi subjek penyebaran kekuasaan. Era post-truth memperlihatkan bahwa kekuasaan bersifat menyebar melalui individu dengan penyebaran berita hoax. Kekuasaan yang dahulu terpusat, saat ini menyebar dan melalui era post-truth kekuasaan yang menyebar ini menjadi lebih nyata. (Iqraa Runi) “Apa kira-kira sebutan yang paling ditakuti oleh orang Indonesia? Kalau anda orang Indonesia dan perempuan?” Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah Gerwani. Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Atnike Nova Sigiro, M.Sc., Direktur Jurnal Perempuan, dalam sesi kuliah ketiga KAFFE ke-10 yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan dengan tema “Post-truth dan Feminisme” pada Kamis (5/4). Lebih lanjut Atnike menjelaskan bahwa dalam konteks Indonesia sebagai perempuan maka salah satu stigma politis yang sangat diskriminatif dan terus direproduksi hingga detik ini adalah Gerwani. Stigma politis yang diskriminatif tersebut terus muncul dan hadir di dalam masyarakat hingga saat ini karena situasi paranoid yang diciptakan oleh post-truth. Post-truth sendiri merupakan suatu situasi ketika fakta objektif tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan emosi atau belief yang dipercaya oleh masyarakat. Mengangkat isu Post-truth dan Feminisme, Atnike menjelaskan bahwa situasi paranoid yang diciptakan oleh post-truth memberikan ruang bagi diskursus konservatif untuk berkembang dalam masyarakat. Akibatnya jargon-jargon konservatif dengan kultur patriarki yang sudah lama hidup di masyarakat mendapatkan lahan untuk terus tumbuh. Seksisme sebagai bagian dari patriarki semakin diperkuat melalui media sosial dalam situasi post-truth. Atnike mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber yang selalu menyudutkan perempuan dengan berbagai cara seperti mempermalukan, mengintimidasi, dan melecehkan. Situasi tersebut biasanya kita lihat pada saat momen politik, seperti pemilu/pilkada. Pada momen politik, target kekerasan yang diserang biasanya adalah para politisi perempuan dan para aktivis perempuan atau aktivis HAM. Atnike memberikan contoh beberapa tokoh perempuan yang mengalami situasi tersebut di media sosial pada saat pemilu/pilkada berlangsung di Indonesia. Komentar yang diberikan oleh warganet pada setiap pandangan yang disampaikan para tokoh perempuan di media sosial seringkali tidak berhubungan sama sekali dengan konteks yang disampaikan. Sebaliknya, mereka justru menyerang personal dan keperempuanan para tokoh tersebut. Serangan-serangan terhadap para tokoh perempuan di media sosial, menurut Atnike, merupakan wujud dari kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber. Dampak dari post-truth dan kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber dapat membuat perempuan menarik diri dari diskursus publik dan partisipasi politik. Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melawan post-truth dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, antara lain, (1) gerakan feminis harus membangun strategi di dunia siber, (2) perlunya mendorong gerakan digital citizenship, (3) mendorong advokasi kebijakan untuk membedakan dan mengatur harassment versus real threat, serta (4) perlu adanya online support group. Atnike menjelaskan lebih lanjut terkait empat hal diatas, gerakan feminis harus membangun strategi di dunia siber karena ancaman terhadap perempuan atau kekerasan terhadap perempuan di dunia internet atau media sosial itu adalah ancaman yang nyata. Tidak menutup kemungkinan jika ancaman tersebut dapat terjadi di dunia nyata, misalnya akibat menyampaikan suatu pandangan politik atau pandangan pribadinya tiba-tiba ada pihak yang menggunakan komentar di dunia maya tersebut sebagai alat persekusi. Selanjutnya Atnike menyampaikan konsep gerakan digital citizenship yang tidak berbeda jauh dengan konsep citizenship di dunia nyata. “Bahwa dunia digital itu dunia para warga yang harus dibangun dengan etika dan saling menghargai,” ujar Atnike. Selain itu, advokasi kebijakan untuk membedakan dan mengatur harassment versus real threat menurut Atnike juga perlu diatur dengan ukuran yang jelas, tidak sekadar melakukan blokir. Adanya online support group juga dibutuhkan untuk mencari tujuan yang sama yaitu suatu kesadaran baru. Kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber tidak terlepas dari perkembangan post-truth dalam media, baik media massa maupun media sosial. Atnike menjelaskan bahwa dari televisi kita dapat belajar bagaimana post-truth berkembang sangat pesat di masa sekarang. Peran televisi sekarang ini telah berhasil menurunkan diskursus publik menjadi sebatas entertainment dan showbiz. Masyarakat tanpa disadari telah diajak untuk menelan informasi yang sepotong-sepotong dari televisi. Pergerakan informasi yang sangat cepat dan tidak tersampaikan secara menyeluruh menjadikan media televisi sebagai media yang fast and chaotic. Media yang seharusnya menjadi alat komunikasi justru menyebabkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi, jelas Atnike. Kita juga bisa melihat bagaimana post-truth berkembang dengan pesat di media sosial dengan setiap penggunanya telah memiliki kesimpulan dan kepercayaannya sendiri. “Mengapa media sosial menjadi penting? Meningkatnya penggunaan media sosial terjadi ketika media sosial memiliki peranan politik,” ujar Atnike. Penggunaan media sosial dalam praktik politik di diskursus publik saat ini merupakan hal yang penting dan tanpa disadari menimbulkan ketegangan diantara masyarakat dengan kepercayaan politiknya masing-masing. Merujuk pada Hannan (2018), Atnike menjelaskan perbandingan antara televisi dan media sosial. Jika televisi menjadikan diskursus publik sebagai showbiz maka media sosial menjadikan diskursus publik sebagai suatu kontes popularitas ala siswa-siswi SMU. Tanpa disadari, menurut Atnike, media sosial telah menciptakan suatu atmosfer hyperemotional dengan reaksi-reaksi spontan dan paranoid di dalam masyarakat. Jauh sebelum konsep post-truth menjadi populer, kita sudah sering mengenal adanya berita palsu atau kebohongan publik, namun pada saat itu ketegangan antar masyarakat tidak terjadi semudah dan secepat sekarang. Atnike menutup kuliah KAFFE malam itu dengan menyampaikan tiga hal yang perlu dipahami untuk memahami post-truth, yaitu: (1) siapa yang memiliki kontrol atas informasi di media massa, (2) bagaimana karakter media sosial dan penggunanya, dan (3) bagaimana situasi politik yang sedang berlangsung di dalam masyarakat. (Bella Sandiata) Kamis (29/3) Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) dengan tema post-truth. Pertemuan kedua rangkaian KAFFE ke-10 tersebut membahas “Politik Media dan Post-Truth” dengan pembicara Rocky Gerung. Rocky mengawali kelas dengan melontarkan sebuah kalimat, “Aktifkan kecurigaan tentang asal-usul post-truth.” Pernyataan itu dilontarkan lantaran ia berusaha membawa pembahasan untuk lebih membidik isu di belakang post-truth bukan sekadar mempersoalkan post-truth itu sendiri. Hal ini ditekankan karena menurut Rocky selama ini banyak kesalahpahaman makna “truth” yang ada pada “post-truth”. Selama ini banyak orang mengira post-truth sebagai bentuk baru dari kebenaran. Namun, sejatinya post-truth tidak berkaitan dengan kedudukan epistemik dari kebenaran. Rocky menjelaskan bahwa post-truth adalah persoalan politik. Maksudnya, politik kini tidak lagi diiringi dengan etika politik dan hal ini menjadikan munculnya upaya kotor dalam berpolitik. Salah satu munculnya ketiadaan etika politik adalah ketika kita temukan tidak hidupnya suara oposisi. Rocky juga menjelaskan bahwa problem pada post-truth diawali ketika seseorang tidak mungkin berkonsensus dan pada titik inilah seseorang tidak lagi memercayai kebijakan merupakan barang yang dihasilkan dari aktor politik sebagai agen rasional. Post-truth sebagai paradigma baru memunculkan masalah pada politik. Masalah ini tentunya tidak serta-merta dihasilkan oleh kehadiran post-truth. Akan tetapi masalah muncul ketika ada lack of knowledge dari warga negara, sehingga menjadi bahan untuk membawa banyak orang pada kondisi post-truth. Informasi yang kita baca sejatinya perlu dibekali oleh fakta, tetapi ketika kita berbicara fakta maka ada pembelaan melalui data-data yang seolah-olah identik dengan kebenaran. “Selama ini orang tertipu oleh data, karena data dianggap merepresentasikan kebenaran jadi hanya data yang mereka butuhkan untuk memercayai bahwa hal itu benar, tetapi itulah post-truth, benar karena yakin,” tutur Rocky. Dalam memilah informasi, kita hanya membutuhkan ketahanan intelektual dan hal ini tidak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi Rocky pembicaraan orang Indonesia kebanyakan tidak bisa dibawa kepada ruang rasional sehingga mereka menggunakan media sosial untuk menyalurkan kemarahannya. Sementara di media sosial terdapat banyak produk post-truth seperti hoax, yang dihasilkan dari kepentingan politik yang tidak mengacu pada etika politik. Rocky memaparkan bahwa stasiun televisi di Indonesia dimiliki oleh tiga hingga empat orang. Informasi yang beredar di televisi tergantung dari permintaan pemilik, hal ini membuat hilangnya etika jurnalisme. Rocky menjelaskan bahwa hoax bukan hanya diproduksi dari suara oposisi, tetapi bisa juga diproduksi oleh pemerintah dalam upaya mempertahankan kekuasaan. Bagi Rocky di tahun politik seperti sekarang, post-truth akan semakin mudah menyerang orang-orang tanpa ketahanan intelektual. Media akan menggunakan post-truth sebagai alat untuk promosi politik baik secara sehat maupun tidak. Kegelisahan akan menurunnya kualitas pengetahuan melalui media menakutkan banyak orang, terutama ketakutan akan masuk pada lingkar post-truth. Oleh karena itu Rocky mengungkapkan ketahanan intelektual yang didasari oleh etika politik dapat digunakan untuk menghindari post-truth. Sementara politik yang sehat dapat dimunculkan dengan kembali pada virtue dan truthfullness. (Iqraa Runi) Jumat (23/3) bertempat di Auditorium LIPI, Gatot Subroto, Jakarta Selatan Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan diskusi “Gender dan Kebangsaan: Merawat Keindonesiaan”. Acara ini sekaligus memperingati ulang tahun tokoh perempuan Sjamsiah Achmad yang ke-85. Kiprah Sjamsiah Achmad dalam menyuarakan kemanusiaan juga hak perempuan menjadi pokok pembicaraan pada acara ini. Melihat mulai terkikisnya rasa kemanusiaan mendorong Sjamsiah Achmad untuk kembali membicarakan relasi antara perspektif gender dengan rasa kebangsaan. Acara yang dimoderatori oleh Henny Supolo Sitepu, Ketua Yayasan Cahaya Guru membahas tentang kiprah perempuan dan masalah perempuan yang ada di Indonesia. Andy Yentriyani, Ketua Yayasan Suar Asa Khatulistiwa yang hadir sebagai salah satu narasumber menyatakan ketika kita berbicara mengenai kebangsaan maka masalah perempuan terletak pada kebinekaan sebab sering kali kita temukan warga negara tidak memahami arti bineka secara utuh dan mendalam. Hal ini mengakibatkan timbulnya makna “kami” dan “mereka”. Andy menegaskan, ketika kita tidak secara utuh memahami arti kebinekaan maka timbul perpecahan identitas antara yang satu dan lainnya. Andy juga menceritakan diskusinya dengan Sjamsiah Achmad mengenai perempuan dan kebangsaan. “Ibu Sjamsiah Achmad menyatakan kepada saya memaknai kebinekaan diawali dari keluarga, ketika dalam keluarga perempuan dan laki-laki setara maka keluarga tersebut tidak gagal, pun ketika kita keluar kita akan terus menganggap orang lain setara. Dengan begitu kebinekaan akan terus bertumbuh,” tutur Andy. Sementara Ruth Indiah Rahayu, peneliti Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) menyatakan bahwa sebelum Indonesia merdeka tepatnya tanggal 22 Desember 1928, Kongres Perempuan Indonesia sudah membicarakan tentang nasionalisme. Imaji kebangsaan mulai terbentuk sejak sebelum Indonesia merdeka. Ruth menjelaskan Siti Sundari tokoh yang membicarakan ide nasionalisme mengibaratkan kebangsaan sebagai taman bunga yang berisi banyak jenis bunga, namun tetap terlihat indah ketika bersama. Akan tetapi ide ini menjadi berubah ketika Indonesia merdeka dan menjadi negara, kebangsaan bukan lagi dianggap sebagai taman bunga melainkan keluarga. Sementara itu kita mengetahui bahwa ide keluarga dan negara adalah kumpulan orang yang memiliki pemimpin. Setelah itu mulailah makna kebangsaan dan kebinekaan bergeser sedikit demi sedikit. Ruth menegaskan bahwa pembicaraan maupun pemikiran perempuan telah lama hadir dalam dunia politik, hanya saja perempuan tersubordinasi sejak dari dalam ide bernegara yang berubah dari taman bunga menjadi keluarga. Kamala Chandrakirana, Ketua Komnas Perempuan 2004-2007 yang hadir sebagai pembicara ikut serta menyuarakan tentang ide kebangsaan. Baginya kebangsaan adalah konstruksi sosial yang kemungkinan tidak membawa perempuan pada posisi sebagai warga negara yang memiliki hak. Kesadaran berbangsa setelah 20 tahun reformasi tidak kunjung membawa perempuan pada posisi yang mereka dambakan. Pada tahap ini sangatlah perlu bagi perempuan untuk membuat sejarahnya sendiri atau herstory. (Iqraa Runi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |