![]() "Jika kita melihat agama sebagai suatu gejala sosial, maka apa itu agama?", pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Dr. Robertus Robet, Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, dalam pertemuan keempat Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan dengan tema "Feminisme dan Agama" pada hari Kamis, 7 Juni 2018. Pada pertemuan terakhir Kaffe ke-11 tersebut, Robertus Robet mengangkat topik "Sosiologi Agama" yang membahas pandangan dari para tokoh-tokoh penting dalam sosiologi tentang agama. Dalam pertemuan tersebut, Robet menjelaskan secara lebih lanjut jawaban dari salah satu peserta yang mengatakan bahwa agama merupakan kepercayaan pada sesuatu yang besar. Robet menjelaskan bahwa dalam agama terdapat suatu Tramendum Absurdumdan Tramendum Et Fascinosum, suatu getaran kekaguman yang dirasakan oleh manusia terhadap suatu hal yang sangat besar di luar jangkauannya dan membuat manusia percaya akan hal tersebut. Robet melanjutkan dengan menjelaskan pandangan agama menurut Émilie Durkheim, Karl Marx, Max Weber, Talcott Parsons, dan Sigmund Freud. Tokoh pertama yang dibahas oleh Robet adalah É. Durkheim, yang melihat agama memiliki beberapa ciri, antara lain sebagai berikut: (1) Agama selalu memiliki dimensi kolektivitas, tidak ada agama yang tidak memiliki dimensi kolektivitas. Kemudian kolektivitas tersebut membentuk suatu kesepakatan dalam agama yang mewajibkan pemeluknya untuk melakukan kesepakatan bersama. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa agama memiliki sifat memaksa; (2) Dalam agama, kepercayaan dan praktik merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Ketika kita percaya pada sesuatu maka kita harus mempraktikkan apa yang kita percaya tersebut; (3) Agama juga selalu melakukan pemisahan antara yang kudus dan yang profan. Apa yang kudus merupakan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia, sedangkan yang profan merupakan hal-hal yang tidak terlepas dari sehari-hari kehidupan manusia; (4) Agama secara konseptual selalu dipisahkan dari magis. Secara garis besar, Durkheim menekankan pada tiga hal dalam agama yaitu kolektivitas, institusi, dan relasi. Dari pandangan Durkheim mengenai agama, kita dapat memahami mengapa manusia terikat dengan agama dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh lain yang dibahas oleh Robet adalah Karl Marx. Kita tentu mengenal pandangan Marx mengenai agama yang mengatakan bahwa agama adalah candu. Robet menjelaskan bahwa banyak pihak yang salah kaprah dalam memahami agama adalah candu sebagaimana yang diutarakan oleh Marx. Padahal agama adalah candu hanya merupakan sedikit dari keseluruhan yang Marx maksudkan mengenai agama. Bagi Marx, agama adalah ekspresi dari suatu penderitaan yang nyata serta merupakan suatu bentuk protes melawan penderitaan. Relasi kelas dilihat oleh Marx sebagai penyebab penderitaan yang membuat masyarakat melarikan diri kepada agama. Robet pun menyandingkan pandangan Max Weber tentang agama, bagi Weber, agama muncul sebagai bagian untuk memberikan makna. Kebutuhan untuk memberikan makna dalam berhadapan dengan aneka macam kesulitan hidup. Berbeda dengan Marx, justru Weber melihat agama secara positif, menurut Weber, agama adalah cara yang digunakan manusia untuk berhadapan dengan lingkungan sosial-ekonomi, politik, dan alam. Robet melanjutkan penjelasannya dengan menyampaikan pertanyaan utama dari pokok pikiran Talcott Parsons, yakni, "Bagaimana suatu tatanan masyarakat bertahan dan lestari?" Parsons menjawabnya dengan empat fungsi yang harus ada jika ingin masyarakat bertahan dan lestari. Empat fungsi menurut Parsons tersebut adalah; (1) fungsi adaptasi yang berada dalam kemampuan ekonomi; (2) fungsi pencapaian tujuan bersama yang berada dalam politik; (3) fungsi integrasi melalui hukum; (4) fungsi perawatan melalui kebudayaan dan pendidikan. Agama bagi Parsons adalah institusi yang memiliki fungsi untuk membentuk agama masyarakat itu menjadi fungsional dalam masyarakat itu sendiri. Tokoh terakhir yang dibahas oleh Robet adalah Sigmund Freud yang dalam bukunya berjudul Totem and Taboo mengatakan bahwa inti dari agama adalah adanya figur primal father. Dalam buku tersebut, Freud mengisahkan tentang seorang ayah dalam satu suku yang memiliki kuasa untuk memiliki seluruh perempuan dalam suku tersebut. Anak laki-laki dari sosok ayah tersebut sangat membenci tapi sekaligus kagum dan menakuti sosok bapaknya tersebut. Akhir cerita, mereka membunuh bapaknya sendiri dan mulai membagi kenikmatan yang dulu hanya dimiliki oleh ayahnya. Agama menurut Freud suatu mekanisme untuk mengatur kenikmatan. Dari pandangan para tokoh sosiologi agama tersebut, Robet menjelaskan bahwa dalam sosiologi agama belum terdapat suatu posisi yang melihat agama secara feminis. Hal ini karena agama-agama itu sendiri masih menempatkan perempuan pada posisi subordinat serta menganggap perempuan sebagai sumber dosa sedangkan laki-laki sosok yang suci. Robet menyatakan bahwa hal ini menjadi suatu tantangan baru untuk menghasilkan teologi feminis yang baru itu seperti apa dan bagaimana teologi feminis tersebut disesuaikan dan diakomodasi dalam budaya politik patrimonial di Indonesia. (Bella Sandiata) ![]() Senin (04/06), kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) seri “Feminisme dan Agama” pertemuan ketiga diselenggarakan di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Kelas ketiga diampu oleh Ikhaputri Widiantini, M.Si, dosen di Departemen Filsafat Universitas Indonesia. Ikhaputri dalam kesempatan tersebut membahas tentang analisis semiotik feminis di dalam mantra dan ayat. Pembahasan ini menjadi penting dalam upaya membincangkan spiritualitas perempuan yang selama ini tersisihkan dalam teks, interpretasi dan praktik keagamaan, karena agama dinarasikan dalam ruang simbolik. Menurut Ikhaputri pengalaman perempuan dapat dimunculkan dengan mengangkat unsur semiotik. Ikhaputri dalam penjelasannya meletakkan pokok persoalan pada problem bahasa. Ia mengawali perkuliahan dengan menjelaskan tentang pemikiran tiga gelombang feminisme. Dalam feminisme, generasi pertama hadir dengan tuntutan atas persamaan antara perempuan dan laki-laki. Generasi kedua feminisme berfokus pada pengalaman perempuan, sedang generasi ketiga mengakui dan merayakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Ikhaputri pemikiran feminis generasi pertama dan kedua masih mengadopsi pola biner. Artinya dua generasi awal feminisme ini masih terjebak pola universalisasi pengetahuan (terutama pada labelisasi identitas). Corak pemikiran ini terjadi karena konteks sosial masyarakat pada waktu itu, di mana logika biner menjadi pemikiran arus utama, sehingga pola pikir yang sama juga masih diadopsi oleh pemikiran feminisme pada era tersebut. Ikhaputri melihat persoalan gender pada aspek bahasa. Menurut Ikhaputri sistem patriarkal memperkuat akar diskriminatifnya melalui bahasa yaitu lewat penekanan dan batasan pembentukan bahasa itu sendiri. Bahasa dalam tataran Simbolik telah memberikan makna singular sehingga menutup kemungkinan bagi perempuan untuk masuk dengan pemaknaan berbeda dalam proses pemaknaan masyarakat. Ikhaputri mengacu pada pemikiran Lacan yang menyatakan bahwa bahasa simbolik memegang peran penting dalam pembentukan individu sebagai subjek yang stabil. Dalam pemikiran Lacan, bahasa simbolik yang mengarah pada bahasa ayah (language of the father) adalah bahasa yang berlaku dalam pembentukan identitas subjek dan bahasa simbolik inilah yang membagi masyarakat ke dalam ruang publik dan ruang privat. Internalisasi language of the father masuk ke dalam tataran keyakinan dan bertransformasi menjadi “yang sakral” sehingga ideologi patriarkal yang bersarang di dalam bahasa terinternalisasi dalam pola pikir dan termanifestasi dalam tindak sosial. Sakralisasi terhadap ayat pada akhirnya berdampak pada cara berpikir dan bersikap masyarakat, sebab ayat-ayat dalam teks agama mewarisi sejumlah kode moral yang dijadikan acuan hidup bersama. Artinya bila terdapat sejumlah gagasan dalam agama-agama semit yang mendiskreditkan perempuan, maka pandangan tersebut akan memengaruhi bagaimana perempuan dimaknai dan diperlakukan di dalam masyarakat. Untuk menunjukkan sejumlah arogansi maskulin dibenarkan lewat sakralisasi ayat, Ikhaputri memaparkan sejumlah ayat dalam teks-teks agama yang memosisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki di dalam keluarga/pernikahan, mendeskripsikan perempuan sebagai sekadar pelengkap, dan memberi penekanan bahwa identitas laki-laki adalah representasi identitas pemimpin. Menurut Ikhaputri, dalam mempersoalkan agama penting bagi kita untuk menghadirkan konsep dekonstruksi bahasa, sebab dengan konsep tersebut kita dapat tiba pada pemaknaan agama yang mengakomodasi gagasan kesetaraan. Ikhaputri menggarisbawahi bahwa interpretasi agama sebetulnya adalah interpretasi budaya. Artinya ada konteks sosial dan budaya tertentu yang melatarbelakangi suatu teks atau ayat sehingga kita tidak bisa serta-merta menerima pemahaman agama secara tekstual melainkan perlu dilakukan analisis konteks sejarah budaya. Penting bagi kita untuk memeriksa dan mengkritisi teks-teks agama, karena menurut Ikhaputri ayat-ayat agama telah membaur dengan sejarah budaya masyarakat patriark semit sehingga pemaknaan atas teks harus diperiksa. Artinya kita tidak dapat begitu saja menerima sebuah pemaknaan sebagai kebenaran tunggal. Ikhaputri menyatakan bahwa, “Ruang agama justru seharusnya memberikan ruang untuk logika, membuka ruang dialogis dan ruang interpretasi.” Dalam perkuliahan tersebut muncul sejumlah respons dari para peserta tentang sejauh apa individu bisa melakukan perubahan terhadap interpretasi dan praktik keagamaan yang bersifat diskriminatif. Ada kecemasan bahwa gagasan dialogis dalam agama adalah sebuah utopia belaka sebab melawan dogma bukanlah perkara mudah bahkan tampak hampir mustahil. Ikhaputri menjelaskan bahwa kritik selalu membawa perubahan, meskipun kadang membutuhkan proses yang panjang dan sulit. Menurut Ikhaputri sejarah telah menunjukkan bahwa telah terjadi sejumlah transformasi dalam pemahaman dan praktik keagamaan, artinya keterlibatan kita sekecil apapun dalam mendorong perubahan menuju masyarakat yang setara akan berdampak nyata. Hal ini terbukti dari sejumlah perubahan dalam interpretasi dan tata cara peribadatan yang telah mengalami transformasi dari abad ke abad. Ikhaputri menyetujui bahwa perjuangan untuk menerapkan gagasan kesetaraan dalam agama bukan tantangan yang mudah sehingga dibutuhkan solidaritas dalam mendorong transformasi masyarakat ke arah yang lebih humanis dan setara. Ikhaputri menambahkan bahwa solidaritas hanya dapat diwujudkan dengan adanya kesadaran dan tindakan yang berlandaskan etika kepedulian. Artinya setiap kita harus mau memberi ruang dialog dan terbuka terhadap pengalaman yang berbeda. Di akhir perkuliahan KAFFE pertemuan ketiga tersebut, Ikhaputri menyatakan bahwa, “Feminisme tidak pernah bertentangan dengan agama manapun. Feminisme selalu bertentangan dengan budaya patriarki. Tradisi patriarki yang ada di dalam agama itulah yang menjadi musuh feminisme.” Dengan demikian menjalankan feminisme dan agama di saat yang bersamaan adalah hal yang memungkinkan. (Abby Gina) ![]() Kamis (31/05), kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) seri “Feminisme dan Agama” pertemuan kedua diselenggarakan di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Kelas kedua diampu oleh Prof. Musdah Mulia, seorang feminis muslim dan guru besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Musdah Mulia memulai kelasnya dengan memperkenalkan berbagai bentuk ketidakadilan gender yang ada di masyarakat dan sejauh mana peran interpretasi agama dalam memperkuat kultur patriarki tersebut. “Nilai femininitas dan maskulinitas tidak ada hubungannya dengan takdir atau kodrat, nilai-nilai tersebut merupakan konstruksi budaya”, tutur Musdah Mulia. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa konsep dan peran gender merupakan konstruksi sosial. Menurutnya peran dan relasi gender yang timpang dibangun dan dilestarikan melalui nilai-nilai budaya, pola asuh, sistem pendididkan, norma hukum dan interpretasi ajaran agama yang bias. Ia menjelaskan bahwa islam menginginkan pola relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki dan perempuan saling menghargai dan menghormati dalam ketulusan bukan dalam ketertindasan satu pihak. Perempuan yang dikenal namanya dengan berbagai aktivisme kemanusiaan dan keagamaan ini menjelaskan konsep Tauhid sebagai jalan keluar atas berbagai interpretasi agama islam yang bias. Menurut Musdah Mulia, pada Abad ke-7 Masehi, Nabi Muhammad SAW telah membawa misi kemanusiaan melalui ajaran islam. Konsep Tauhid yang dibawa Rasulullah memiliki implikasi terhadap kesetaraan antara manusia karena: “Tiada Tuhan Selain Allah SWT”. Artinya semua manusia sama, setara, semuanya adalah sama-sama ciptaan. Maka manusia bukanlah Tuhan bagi manusia yang lainnya. Raja bukanlah Tuhan bagi rakyat, suami bukanlah Tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah Tuhan bagi orang miskin, majikan bukanlah Tuhan bagi PRT. Semua manusia memiliki posisi yang setara. Maka Tauhid atau ajaran tentang ketuhanan memiliki implikasi terhadap kesetaraan dan keadilan antar manusia. Kemudian, Musdah Mulia juga menjelaskan bahwa konsep Tauhid yang dibawa Rasulallah tersebut juga merupakan gugatan atas hierarki dalam masyarakat yang feodalistik pada Abad ke-7 Masehi tersebut, yaitu masyarakat yang melakukan praktik perbudakan. Dalam peradaban modern norma tentang Hak Asasi Manusia baru muncul setidaknya pada 10 Desember 1948. Sedangkan menurut Musdah Mulia, konsep Tauhid bukan hanya menyoal tentang ketuhanan yang tunggal, tapi maknanya lebih dari itu, yaitu dengan konsep tuhan yang tunggal maka semua manusia adalah sama, maka dari itu konsep Tauhid adalah juga gagasan tentang Hak Asasi Manusia “Tauhid menjadi kata kunci dalam memahami persoalan keagamaan. Sama seperti persoalan ketimpangan gender, Islam mengakui ada fungsi biologis berbeda diantara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan bukan untuk mendiskriminasi, lihat surah Al-Imran ayat 195”, tutur Musdah Mulia. Selain itu, Musdah Mulia lebih menyarankan untuk melihat teks Alquran tidak kaku, artinya kita perlu melihat makna dan visi dibalik teks tersebut. Menurutnya Islam sendiri sebagai sebuah ajaran agama memiliki kontribusi terhadap perempuan antara lain: perempuan adalah pemimpin, pemilik, subjek, merdeka, dan mandiri. Musdah menjelaskan bahwa ajaran tentang mahar merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap eksistensi perempuan. Sebelum Islam datang, mahar dalam pernikahan adalah milik wali perempuan yaitu ayahnya atau saudara laki-lakinya. Namun setelah Islam datang, mahar merupakan hak sepenuhnya istri/perempuan. Dengan demikian artinya perempuan diakui sebagai manusia yang memiliki hak atas aset. Lalu ajaran tentang hak waris, Musdah Mulia menjelaskan bahwa dalam tradisi Jahiliyah perempuan tidak memiliki hak waris, bahkan pada zaman itu istri merupakan benda yang diwariskan—kalau suaminya meninggal, sang istri diwariskan pada saudara laki-laki, entah sebagai istri atau budak. Kemudian menyoal poligami, Musdah menjelaskan bahwa pada zaman Jahiliyah, masyarakat Arab adalah masyarakat poligami dan justru menurutnya ayat tentang poligami memiliki visi yang monogami. Artinya memiliki istri satulah yang paling dekat dengan kemuliaan. “Nabi tidak poligami selama 28 tahun, kemudian di enam tahun terkahir masa kenabian baru ada pernikahan lagi, itu pun karena dalam kondisi genting yaitu perang yang memang tujuannya untuk memerdekakan perempuan budak. Jadi kalau ada argumen poligami itu sunah nabi, kenapa yang diujung saja yang dibicarakan, yang 28 tahun bersama Siti Khadijah tidak pernah dibicarakan”, tegas Musdah Mulia. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Pada hari Rabu, 24 Mei 2018, bertempat di Hotel Grand Sahid Jaya, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan peluncuran Laporan Kajian Perkembangan Kebijakan Penyikapan Konflik Selama 20 Tahun Reformasi untuk Pemajuan Pemenuhan HAM Perempuan dan Pembangunan Perdamaian. Acara yang dibuka oleh Azriana Manalu, Ketua Komnas Perempuan tersebut menghadirkan Dr. Diani Sadia Wati, S.H., LL.M, Staff Ahli Menteri PPN/Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan sebagai keynote speaker. Komnas Perempuan menyatakan bahwa tahun 2018 merupakan momentum 20 tahun perjalanan reformasi yang telah dilalui oleh bangsa Indonesia dengan berbagai tantangan, salah satunya adalah konflik kekerasan yang telah mengawali reformasi dan terus berulang mewarnai perjalanan 20 tahun reformasi. Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bagian dari isu konflik yang tidak dapat dilupakan dalam reformasi. Komnas Perempuan sebagai lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) dengan mandat khusus penghapusan kekerasan terhadap perempuan telah melakukan kajian terhadap sejumlah kebijakan yang telah dikeluarkan Negara dalam menyikapi konflik selama 20 tahun reformasi, serta implikasi dari kebijakan tersebut terhadap penyelesaian konflik dan pemenuhan hak korban dan pembangunan perdamaian yang berkelanjutan. Indriyanti Soeparno dan Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner Komnas Perempuan, menyampaikan temuan dan juga rekomendasi dari hasil kajian yang diluncurkan dalam momentum 20 tahun reformasi. Indriyanti Soeparno menyampaikan bahwa kajian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan ini berdasar pada lima pilar yakni, (1) Pilar konflik bersenjata dan pelanggaran HAM berat, (2) Pilar konflik sosial, (3) Pilar konflik Sumber Daya Alam, (4) Pilar konflik dalam konteks penggusuran, dan (5) Pilar konflik terorisme. Dalam laporannya, Komnas Perempuan mencatat beberapa temuan antara lain: (1) Dua puluh tahun reformasi memperlihatkan adanya kemajuan dalam kebijakan untuk penyikapan berbagai konteks konflik di Indonesia, namun belum memberikan manfaat yang optimal untuk pemenuhan HAM perempuan, secara khusus korban konflik. (2) Kerangka kebijakan penyikapan konflik yang secara bersamaan memuat kemajuan, kesenjangan, kontradiksi, dan kemunduran tersebut merupakan konsekuensi dari politik hukum yang mencerminkan proses reformasi yang mengalami defisit demokrasi, akibat maraknya praktik politik transaksional, primordial, korupsi, dan penggunaan politik identitas yang mempertebal intoleransi. (3) Cara pandang dan pendekatan negara terhadap perdamaian yang bersifat pragmatis menghasilkan produk dan implementasi kebijakan yang justru berpotensi menghasilkan konflik baru. (4) Komitmen politik yang tidak konsisten, kapasitas penyelenggaraan negara yang terbatas serta cara kerja yang belum koordinatif menyebabkan mekanisme dan institusi penyikapan konflik yang dibentuk tidak bekerja dengan maksimal. (5) Kepemimpinan perempuan dan masyarakat sipil dalam menyikapi konflik, akar penyebab, dan dampaknya belum didukung dengan kerangka kebijakan afirmasi yang optimal, bahkan dibatasi dengan kebijakan yang administratif-birokratis, mendiskriminasi dan bahkan mengkriminalkan. Berdasarkan temuan tersebut, maka Komnas Perempuan mengajukan rekomendasi kepada negara, sebagai berikut: (1) Mengintregasikan penyikapan konflik secara holistik ke dalam Rencana Pembangunan Nasional (RPJP 2020-2045 dan RPJMN 2020-2025) untuk memastikan tujuan pembangunan yang inklusif dan perdamaian yang berkelanjutan dapat dicapai, (2) Mengembangkan cara kerja yang lebih komprehensif dan holistik dalam penyikapan konflik, termasuk membangun pemahaman yang utuh, kritis, dan relektif mengenai konflik dan faktor-faktor di tingkat makro maupun mikro, (3) Penggunaan kebijakan yang saling melengkapi (complementary) terobosan-terobosan dalam penyikapan konflik, termasuk membangun pemahaman yang utuh, kritis, dan relekftif mengenai konflik dan faktor-faktor di tingkat makro maupun mikro, (4) Menguatkan perlindungan dan pertanggungjawaban hukum dalam penyikapan konflik, termasuk mengembangkan mekanisme untuk memastikan dijalankannya putusan pengadilan yang telah inkrah oleh pemerintah, sebagai bagian dari langkah penyelesaian tuntas konflik, (5) Menyusun dan melaksanakan langkah-langkah terobosan untuk menguatkan proses pemulihan dan pembangunan inklusif bagi korban konflik, dengan perhatian khusus pada perempuan dan kelompok-kelompok rentan diskriminasi, (6) Memastikan akses dan kemudahan bagi perempuan, terutama konflik korban, dalam proses pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif, dan representative di semua tingkatan, serta (7) Mengembangkan ketahanan masyarakat/ketahanan sosial dalam mengantisipasi kerentanan baru dan mencegah berulangnya konflik, serta berkontribusi pada perlindungan dan pemluhan korban serta warga yang terimbas konflik. Pada acara peluncuran laporan ini juga diadakan diskusi panel yang menghadirkan Widodo Sigit Pudjianto, S.H.,M.A. (Kepala Biro Hukum Kemendagri), Aresi (Kabid PKDRT Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Harapan L. Gaol (Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial), Helmy Basalamah (Kepala Badan P2SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), serta Komjen Polisi Drs. Ari Dono Sukmanto (Kabareskrim POLRI) sebagai penanggap dan Samsidar (Mantan Komisioner Komnas Perempuan) sebagai moderator. Para perwakilan dari lintas kementerian dan Polri memberikan tanggapannya terkait hasil temuan dan rekomendasi dari laporan kajian Komnas Perempuan dalam ranahnya masing-masing. Widodo Sigit (Kepala Biro Hukum Kemendagri) mengungkapkan bahwadari sisi peraturan kebijakan yang telah ada, menurut Kemendagri semua sudah cukup baik hanya saja strategi program yang perlu diperbaiki. Widodo menambahkan, bahwa success storyjuga diperlukan dalam kajian ini karena setelah bertahun-tahun tetap akan ada kemajuan yang dapat dibanggakan. Helmy Basalamah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menanggapi bahwa hasil laporan Komnas Perempuan telah sangat baik menyampaikan bagaimana peran perempuan dalam sumber daya alam di Indonesia. Terkait dengan konflik sumber daya alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berusaha untuk menyelesaikannya dan mementingkan peran perempuan. Helmy juga menyampaikan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup sedang memulai untuk memasukkan kebijakan gender dalam analisis kerja-kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Harapan L. Gaol dari Kementerian Sosial menyampaikan bahwa Kementerian Sosial berupaya untuk mengupayakan kebutuhan pemulihan korban konflik melalui program Keluarga Harapan Kemensos. Aresi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyampaikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupaya untuk menyelesaikan konflik sosial yang sering terjadi di Papua. Upaya yang dilakukan adalah dengan berupaya untuk masuk ke dalam aspek pencegahan, pemulihan, dan juga pemberdayaan ekonomi. Penanggap terakhir dari Polri, Ari Dono menyampaikan bahwa beberapa regulasi kepolisian sudah mengatur tentang penanganan konflik sosial, persoalannya ada beberapa konflik yang tidak dapat ditangani karena tidak ada Undang-Undangnya. Meski demikian dalam halnya keadilan gender, sistem peradilan pidana terpadu yang ada saat ini berupaya untuk mengutamakan keadilan gender bagi perempuan. (Bella Sandiata) ![]() Jakarta (23/5) Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG) bersama dengan Fakultas Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengadakan acara diskusi "Feminisme dan Reformasi" yang diselenggarakan di kampus UNJ Rawamangun. Acara ini bertujuan untuk memperingati #20 TahunReformasi sekaligus menghadirkan suara perempuan dalam reformasi yang selama ini tidak pernah mendapat ruang. Reformasi selama ini hanya dimaknai sebagai perjuangan para mahasiswa dan para aktivis, sedangkan gerakan perempuan tidak pernah memiliki ruang untuk mengomunikasikan sejarahnya. Padahal menurut Ita Fatia Nadia, salah satu pendiri Komnas Perempuan, reformasi bukanlah aksi satu hari, bibit-bibit reformasi sudah berjalan dalam waktu yang lama melalui perjuangan perempuan yang bergabung dengan gerakan perempuan maupun gerakan sipil. “Menjadi aktivis perempuan pada saat orde baru tidak bisa hanya fokus ke dalam sektor atau urusan perempuan saja (domestik) tetapi juga bergerak pada wilayah politik (publik) dengan menggunakan teori feminisme untuk melawan otoritarianisme dan militarianisme” tutur Ita. Kemudian, Tati Krisnawaty, aktivis perempuan menyatakan “Pada masa orde baru, KB atau keluarga berencana menjadi proyek bukan untuk mengurangi angka kelahiran. Sehingga kita melawan dengan mendobrak nilai patriarki. Tetapi gerakan itu tidak bekerja karena negara sangat otoriter perlu ada gerakan yang terorganisir tidak bisa hanya aksi spontan dan di sana solidaritas perempuan berdiri”. Lanjutnya, Ita menjelaskan bahwa banyak orang protes ketika aktivis perempuan hendak mengemukakan ide tentang isu perempuan dalam suasana politik orde baru, tetapi aktivis perempuan bersikeras bahwa dalam setiap persoalan ada isu perempuan di dalamnya. Kasus pembunuhan Marsinah seorang buruh yang dibunuh, itu bukanlah sekadar masalah buruh tetapi ada kekerasan perempuan secara sistemik. Hal ini juga terjadi pada kasus pembalakan liar dan masalah lainnya. Ruth Indiah Rahayu, Manajer Program di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) menyatakan bahwa dalam 20 tahun pasca reformasi kekuatan perempuan belum ada yang berubah secara signifikan. Ruth mengaku saat ini tidak jarang ditemukan politik dinasti, misalnya perempuan yang masuk ke dalam politik praktis adalah mereka yang memiliki ikatan keluarga dengan para laki-laki yang ada di ranah politik praktis. Sehingga menurutnya, kuota 30% tidak dapat berjalan fungsinya yaitu untuk memecahkan masalah ketimpangan gender di berbagai aspek yang terjadi di Indonesia. (Iqraa Runi) Kerjasama Indonesia dan Amerika Serikat Untuk Menanggulangi Tingginya Angka kematian Ibu dan Anak25/5/2018
![]() Jakarta (23/5) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) bekerja sama dengan Pemerintah Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat atau USAID (United States Agency for International Development) mengadakan acara tentang Kemitraan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (Neonatal). Acara yang dimoderatori oleh Ira Koesno ini membawa kita mengetahui beberapa fakta mengejutkan tentang angka kematian ibu dan neonatal yang terbilang tinggi. Ira Koesno menyampaikan bahwa di Indonesia dalam 1 jam setidaknya ada 2 ibu hamil dan 8 bayi baru lahir meninggal dunia. Angka kematian ibu di Indonesia mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 dan angka kematian bayi mencapai 15 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2017. Dengan data tersebut, Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan jumlah kematian ibu dan neonatal tertinggi. Banyak orang mengira bahwa angka kematian ibu terjadi pada fase melahirkan, padahal studi tindak lanjut sensus penduduk 2010 menunjukan bahwa angka kematian tertinggi ada pada fase pasca melahirkan sebesar 57%, sedangkan angka kematian ibu pada masa kehamilan sebanyak 22% dan meninggal pada masa persalinan sebesar 15% dari total kematian ibu dalam satu tahun. Ira Koesno menambahkan, kematian ibu dan neonatal sebenarnya bisa dicegah, sebab kematian ibu di Indonesia terutama disebabkan oleh hipertensi. Deteksi dini dan penanganan yang tepat dapat mencegah kondisi tersebut. Selain itu, tingginya angka perkawinan usia dini menjadi salah satu penyebab kematian ibu, karena melahirkan pertama kali pada usia di bawah 20 tahun akan meningkatkan risiko komplikasi pada kehamilan yang berujung pada kematian ibu. Kemudian, Untung Suseno Sutarjo, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI, yang hadir pada acara tersebut menyatakan “Kita merdeka sudah cukup lama, tetapi kematian ibu dan bayi masih tinggi, untuk itu penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi menjadi prioritas utama pemerintah dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2015-2019 dan merupakan target Sustainable Development Goals yang harus dicapai pada tahun 2030” Tutur Untung. Kemudian, Ryan Washburn, Pelaksana Tugas Direktur USAID menyatakan “Amerika Serikat bangga dapat mendukung upaya co-creation dimana kita menentukan bersama permasalahan yang akan diatasi dengan solusi yang berkelanjutan dan berskala luas, melalui kolaborasi dan kemitraan dengan pelbagai pihak. Bersama-sama kita akan memobilisasi potensi sumber daya dalam negeri demi tersedianya layanan kesehatan yang makin efisien dan bermutu bagi ibu dan bayi”. Kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat melalui program USAID Jalin memiliki komitmen selama lima tahun mendatang dengan menyatukan berbagai pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, masyarakat, akademisi, media massa, dan penyedia layanan. Jalin akan bekerja di provinsi Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan untuk memengaruhi potensi pasar dalam meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Tidak lupa bahwa untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir diperlukan kontribusi dari semua pihak, sebab 60% masalah dalam bidang kesehatan dapat diselesaikan dengan perbaikan dari pihak non-kesehatan. (Iqraa Runi) ![]() Asian-Pacific Resource and Research Centre for Women (ARROW), along with the undersigned organisations, alliances and individuals, deplore violent crackdown against Palestinians by the Israeli troops in Gaza strip on May 14, 2018, killing at least 58 and injuring hundreds of Palestinians including women and children. Atrocities perpetrated with the use of excessive force and live ammunition against unarmed Palestinians in Gaza strip who was marching for their Right of Return, without posing imminent threats to the Israelis, is unacceptable. The march has already seen the death of 100 Palestinians in the last few weeks, worsening the existing crises situation. The international community must ensure that those responsible for human rights violation are held accountable and that justice for the victims are ensured. The Palestinians commemorates May 15 – the day Israel was formed in 1948 – as the day of Nakba; the Catastrophe in Arabic. 750,000 Palestinians were forcefully displaced from their homes and pushed into refugee camps in several places including occupied Palestinian territory (west Bank, Gaza and East Jerusalem) and other neighbouring countries such as Lebanon, Jordan, Syria. The ethnic cleansing against the Palestinians took place along with the destruction of more than 500 villages occupied by the Zionists. 70 years on, Nakba continues and more than 12 million Palestinians remain stateless as the refugees and those displaced are denied from returning to their land. Donald Trump’s anti-Islamic policies, his announcement of Jerusalem as the capital of Israel, and the recent moving of the embassy have further fueled tensions and intensified the existing fractions between Israel and Palestine. The situations of the Palestine refugees are dire as they suffer from institutionalised discrimination. They are relegated to live in their camps and prohibited from engaging in any professions. They are deprived of their civil rights in their own lands where their daily lives continue to be marked by access restrictions implemented by the Israeli authorities, including physical obstacles, such as checkpoints, roadblocks as well as a complex bureaucratic permit regime. The situation is worse for women and girls. During the war in Gaza in 2014, at least 15 of 32 hospitals were damaged, increasing pressure on functioning health facilities. During this time, more than 40,000 pregnant women could not access basic reproductive health care. Neonatal mortality reportedly doubled from 7 per cent to 14 percent. Unmet family planning needs persist, especially in Gaza. Many women of reproductive age continue to suffer disproportionately from malnutrition and anaemia, often related to early marriage and successive pregnancies. Israeli-imposed restrictions cause further havoc on women’s daily lives, leading to a systematic denial of their socioeconomic rights. Checkpoints and other physical obstacles often cause long delays in reaching schools, jobs and farmland. Moreover, the right of Palestinian women to a family is also severely compromised by the complex system of permits and narrowly defined criteria for family unification that prevent Palestinians with different residency statuses (West Bank, the Gaza Strip, East Jerusalem, Israel or another nationality) from legally residing together. Palestinian women and girls continue to suffer from a double burden of violence, resulting from the Israeli occupation and violence from within their own communities. The current tension in Gaza will further worsen the situation for all and specially for women and girls. We therefore seek attention of the international community on this issue. We align with Amnesty International’s position on calling the attack against Palestinians a violation of international law and highlight the urgent need for an arms embargo against Israel as an immediate action. We call on the international community, including the UN Security Council, to immediately intervene to ensure Palestinians’ Rights of Return and for protection of their human rights to live with dignity and safety. The international committee should ensure that the right of women and girls are upheld in accordance with CEDAW that Israel has ratified. Resolving this conflict by guaranteeing the Right of Return to the Palestinians is crucial to sustainable peace as enshrined in SDG 2030. Endorsements Organisations and alliances 1. Aliansi Remaja Independen (Independent Young People Alliance), Indonesia 2. Aliansi Satu Visi 3. Ardhanary Institute, Indonesia 4. Asia – Pacific Women’s Alliance for Peace and Security (APWAPS) 5. Association for Prevention of Septic Abortion, Bangladesh (BAPSA), Bangladesh 6. Bandhu Social Welfare Society, Bangladesh 7. Beyond Beijing Committee (BBC), Nepal 8. Chanan Development Association (CDA), Pakistan 9. Chhori Nepal 10. Durbin Foundation, Bangladesh 11. Federation of Reproductive Health Association of Malaysia (FRHAM), Malaysia 12. Food Information and Action Network (FIAN) International, 13. Fokus Muda, Indonesia 14. Forum Remaja Independen Papua (FRIP), Indonesia 15. Foundation for Social Transformation, India 16. Global Network of Women Peacebuilders (GNWP) 17. Huvadhoo Aid, Maldives 18. International Women's Rights Action Watch Asia Pacific (IWRAW Asia Pacific) 19. Jago Nari, Bangladesh 20. James P Grant School of Public Health, BRAC University- Bangladesh 21. Naripokkho- Bangladesh 22. North East Network, India 23. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia., Indonesia 24. Perkumpulan Pamflet Generasi, Indonesia 25. Puska Genseks, Indonesia 26. SAHAYOG, India 27. Sangat, India 28. Sanggar Swara, Indonesia 29. Voice of Women, Nepal 30. Women’s Global Network for Reproductive Rights (WGNRR) 31. Women Peace Network (Myanmar) 32. Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), Indonesia 33. YIFOS, Indonesia 34. YKP, Indonesia 35. Youth Action Nepal (YAN), Nepal 36. Youth Advocacy Network, Pakistan 37. Youth Development Center, Nepal 38. YUWA, Nepal 39. Yuwalaya, Nepal Individuals 40. Elizabeth (Sabet) Cox – Papua New Guinea/Australia 41. Shamima Chowdhury – Bangladesh 42. Sunitha Bishan, Malaysia 43. Tahira Abdullah, human rights defender, development practitioner & researcher, Islamabad, Pakistan. References https://www.nst.com.my/world/2018/05/369529/after-37-killed-amnesty-says-gaza-bloodshed-abhorrent-violation https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/e_escwa_ecw_15-tp-2_e.pdf http://www.cfnepr.com/205640/Violation-of-Palestinian https://www.youtube.com/watch?v=megzzpTWajg&t=274s https://edition.cnn.com/middleeast/live-news/gaza-funerals-protests-intl/ ![]() Minggu (20/5) Komnas Perempuan mengadakan konferensi pers yang bertujuan untuk memperlihatkan bahwa sejarah negara Indonesia berdiri pada darah perempuan. Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan, kegiatan reformasi sering kali dianggap sebagai gerakan mahasiswa maupun lengsernya Presiden Soeharto. Akan tetapi, ingatan tentang narasi perempuan sebagai penggerak masa pada aksi Suara Ibu Peduli tidak pernah benar-benar masuk dalam perjalanan reformasi. Suara Ibu Peduli adalah bentuk politik perempuan yang dikoordinir di kantor Yayasan Jurnal Perempuan pada Februari 1998, gerakan ini adalah salah satu bukti nyata etika kepedulian yang hendak disuarakan perempuan. Politik bahasa "Turunkan Harga Su Su" dimainkan dalam aksi demonstrasi SIP sehingga seakan-akan gerakan ibu-ibu padahal gerakan aktivis perempuan yang secara politis melakukan aksi subversif untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Lanjutnya Mariana menyatakan bahwa perempuan memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan aspirasinya dalam berpolitik, di tengah kerasnya politik maskulin yang terjadi saat ini diharapkan ingatan tentang gerakan perempuan mampu mempromosikan kembali spirit etika kepedulian. Kemudian, Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyatakan “Gerakan perempuan melawan politik maskulin yang sewenang-wenang dan otoriter. Pasca kerusuhan mei 1998 gerakan perempuan meminta pertanggungjawaban dan permintaan maaf atas terjadinya kerusuhan dan kekerasan terhadap perempuan, tetapi sampai hari ini belum ada presiden yang menyatakan permintaan maaf atas tragedi tersebut”. Sejarah pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan pada Mei 1998 mengundang kemarahan dari gerakan perempuan. Saat itu pula aktivis gerakan perempuan berupaya untuk menuntut negara agar meminta maaf atas tragedi yang terjadi. Saparinah Sadli menjadi salah seorang yang menyatakan aspirasinya langsung kepada Presiden Habibie dan tidak lupa pada saat itulah cikal bakal Komnas Perempuan untuk menjadi badan yang mendengar suara korban kekerasan terhadap perempuan. Azriana Manalu, Ketua Komnas Perempuan menyatakan pasca reformasi masih terdapat banyak tugas untuk negara, karena kesetaraan mungkin sudah mulai terbangun tetapi belum ada keadilan. Gerakan yang mengatasnamakan agama pun ikut serta mendomestifikasi perempuan dan berdampak pada ketimpangan pendapatan antara laki-laki dengan perempuan. Hal ini seharusnya menjadikan kita untuk kembali memikirkan posisi perempuan pasca reformasi yang belum memunculkan kemajuan yang signifikan. Sementara, Adriana Venny, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan dalam aksi 20 tahun reformasi Legislatif, Eksekutif daan Yudikatif perlu memikirkan pengarusutamaan gender dalam setiap program yang dibuat, tata kelola dan kebijakan yang diproduksi haruslah pro gender, tidak lupa bahwa pertahanan dan keamanan juga perlu menjamin keamanan perempuan dan para aktor politik juga harus mempromosikan politik yang damai dan tidak memunculkan konflik. Kemudian, Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan memiliki pandangan bahwa 20 tahun Reformasi telah mencapai beberapa perubahan di tataran normatif seperti perundang-undangan dan kebijakan seperti kuota 30% perempuan dalam pemilu, UU KDRT, dan lainnya. Namun masih banyak produk hukum dan kebijakan yang buta gender bahkan bias gender. Seperti RKUHP yang sedang dibahas saat ini. Sementara itu dalam kehidupan sosial, posisi dan peran perempuan kembali digerogoti oleh menguatnya konservatifisme yang berupaya mendomestikasi perempuan melalu propaganda tentang poligami, pernikahan dini, dan kontrol terhadap tubuh. (Iqraa Runi) ![]() Kita semua tentu mengecam serangan terorisme yang terjadi secara berturut turut dalam dua minggu terakhir ini; peristiwa di Rumah Tahanan Mako Brimob 9 Mei 2018, yang kemudian diikuti dengan serangan peledakan bom di tiga gereja di Surabaya (Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta) pada 13 Mei 2018 serta penyerangan Kantor Polda Riau pada 16 Mei 2018. Doa, kekuatan, dukungan dan solidaritas kita hadirkan bagi para korban dan keluarga, baik dari masyarakat ataupun anggota kepolisian. Rangkaian peristiwa ini berada di luar akal sehat dan mencederai kemanusiaan kita semua. Kewibawaan Indonesia sebagai negara hukum dan sebagai bangsa yang besar dipertaruhkan. Mampukah kita melawan segala bentuk kekerasan, serangan terorisme, dan segala bentuk intoleransi dengan cara yang beradab, bermartabat dan menyeluruh. Ataukah sebaliknya, apakah kita akan memilih melawan dengan cara–cara pintas melawan hukum, yang menyalahkan dan mendelegitimasi hak asasi manusia, dan cara-cara yang justru dapat menafikan perbedaan dan keragaman yang kita percayai sebagai syarat kehidupan berbangsa. Tentu bukan pilihan terakhir yang kita harapkan. Cara-cara instan dan reaksioner semacam ini dikhawatirkan justru akan semakin mereproduksi rantai kekerasan, melemahkan langkah–langkah kontra radikalisasi dan upaya–upaya deradikalisasi terhadap benih ekstrimisme lainnya, serta semakin memperbesar polarisasi di tengah masyarakat. Kami memahami kegentingan situasi hari ini dan dampak dari tindakan keji yang dilakukan oleh para pelaku terhadap korban dan masyarakat. Kami pun memahami dilema dan tantangan yang dihadapi penegak hukum dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dalam memerangi terorisme. Oleh karenanya, tetaplah penting untuk memastikan langkah–langkah yang menyeluruh dan bermartabat dalam menyikapi masalah ini. Janganlah kita mencari jawaban dan solusi reaktif yang mendelegitimasi HAM, atau bahkan justru menjadikan HAM sebagai “kambing hitam” sebagai hambatan dalam memberantas kejahatan terorisme, sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo, mantan anggota TNI, AM. Hendropriyono, Ketua DPR Bambang Soesatyo atau politisi lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut diatas, kami memberikan sejumlah catatan kritis dan rekomendasi sebagai berikut: Pertama, HAM adalah prasyarat mutlak dalam upaya penanggulangan terorisme. Prinsip-prinsip HAM telah diadopsi dalam pasal-pasal konstitusi kita, sehingga menyalahkan HAM dalam penanganan terorisme adalah pandangan yang reaktif, tidak proporsional, dan tidak memiliki justifikasi. Pernyataan ini mengabaikan berbagai faktor yang bersifat kompleks dalam persoalan terorisme. Dalam tatanan negara hukum yang demokratis, konsepsi hak asasi manusia telah memberikan standar dan pendekatan yang bisa ditempuh ketika ada atau terjadi pertentangan antara kepentingan publik dan hak seseorang, asas necessitas dan proporsionalitas harus dijadikan ukuran dalam mengatasi masalah tersebut. Hasil uji dari pendekatan tersebut akan menghasilkan sejauh mana margin apresiasi kita sebagai bangsa terhadap HAM. Namun, beberapa hak individual yang bersifat non-derograble, seperti hak untuk bebas dari penyiksaan tidak dapat dikurangi sedikit pun. standar-standar HAM akan dapat meminimalisir risiko munculnya praktik penyiksaan, salah tangkap, penahanan sewenang-wenang, miscarriage of justice dan pelanggaran HAM lainnya. Dalam konteks inilah maka parameter HAM akan menguji apakah kita mampu memerangi terorisme dengan cara yang bermartabat dan akuntabel, atau kita hanya mampu menjadi bangsa yang bersikap “barbar” yang mengabaikan standar hukum dan HAM sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Baru. Kedua, Perumusan yang lebih komprehensif dalam strategi dan pendekatan yang lebih preventif dan mitigatif dalam memerangi terorisme patut dikedepankan. Menjadikan revisi UU Terorisme sebagai satu-satunya “pil ampuh” yang dianggap akan mampu menghentikan tindakan terorisme dan menjadi penyebab tunggal gagalnya pencegahan atas 5 (lima) peristiwa tindakan terorisme dalam dua minggu ini tidak sepenuhnya tepat. Revisi undang-undang, apalagi yang mengurangi hak warga serta menambah kewenangan Negara untuk membatasi hak perlu kita letakkan dalam kerangka reformasi hukum yang lebih luas. Perihal tidak memadainya hukum harus diuji berdasarkan praktik-praktik penerapan norma dan hukum itu sendiri yang selama ini dilakukan oleh penegak hukum, termasuk menguji apakah kewenangan upaya paksa saat ini tidak memadai untuk menindak berbagai tindakan perencanaan, plotting, persiapan dan tindakan lainnya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat yang diduga atau diidentifikasi sebagai anggota kelompok teroris tidak terjangkau oleh norma hukum yang ada. Berkenaan dengan tindakan preventif oleh pemerintah, penting dilakukan evaluasi dan audit menyeluruh terhadap kinerja aparat keamanan, penegak hukum, badan-badan intelijen negara dan juga instansi atau lembaga terkait lainnya, misalkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Kita harus mengevaluasi apakah selama ini Pemerintah telah menerapkan atau membuat sebuah pencegahan dan penanggulangan yang efektif, terkoordinir yang berkontributif pada upaya kontra terorisme. Hal ini untuk pembelajaran atas kemungkinan kekurangan dan kelalaian baik langsung maupun tidak langsung dalam implementasi kebijakan kontra-terorisme selama ini, sehingga masalah tidak hanya ditumpukan pada aturan apalagi menyalahkan HAM. Ketiga, mekanisme akuntabilitas dalam penangangan kontra-terorisme juga harus menjadi prioritas bila upaya penindakan atau upaya paksa aktor keamanan dikedepankan. Upaya paksa tetap harus mengikuti dan mempertimbangkan standar-standar HAM, khususnya guna mengeliminasi risiko munculnya penyiksaan, salah tangkap, penahanan sewenang-wenang, miscarriage of justice dan pelanggaran HAM lainnya sehingga dalam penerapannya hukum berjalan dengan seimbang. Termasuk perbantuan TNI dalam penanggulangan terorisme harus dipastikan mengacu pada UU TNI tidak boleh bertentangan dengan UU TNI, Pasal 7 ayat (2) dan (3) dimana pelibatan militer harus melalui keputusan politik, memastikan tidak ada tumpang tindih dan tidak merusak kerangka penegakan hukum yang ada, termasuk memastikan revisi UU Peradilan militer harus dilakukan. Hal-hal yang berkaitan dengan masa penangkapan selama 14 hari dan penyadapan harus diiringi dengan ‘safeguard” dan mekanisme akuntabilitas yang independen dan memadai agar tidak menimbulkan potensi- potensi kesewenang-wenangan yang justru dapat mengakumulasi atau mengetalkan benih benih benih ekstremisme lebih lanjut. Keempat, pemulihan atas korban tidak hanya sebatas pemulihan kepada korban dari aksi terorisme itu sendiri namun pendekatan dan pemulihan terhadap kelompok atau masyarakat terdampak, termausk kelompok terduga pelaku maupun keluarganya yang selama ini belum dapat dipenuhi oleh negara seperti kewenangan yang dimiliki LPSK, BNPT, Kementerian Sosial atau lembaga lainnya yang terkait. Tindakan pemulihan ini tidak hanya akan dapat meminimalisir kebencian dan ujaran kebencian, namun juga dapat menjadi sebuah upaya deradikalisasi dan menaikkan kepercayaan kelompok masyarakat terhadap negara yang telah menjalankan penegakan hukum dan pemenuhan atas hak asasi manusia kepada masyarakatnya. Kelima, dampak lanjutan dari terorisme telah terdeteksi dalam peristiwa belakangan ini, seperti diskriminasi, prasangka negatif terhadap identitas kultural tertentu, kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap anak, tidak dapat diatasi dengan prosedur hukum semata. Pemerintah bersama partai politik, beserta elemen masyarakat sipil perlu mengedepankan contoh-contoh praktik kemanusiaan yang telah muncul dalam reaksi solidaritas yang diberikan oleh masyarakat terhadap para korban. Persoalan ini adalah persoalan jangka panjang yang hanya dapat diwujudkan jika upaya-upaya kita dalam menghadapi terorisme, kita tempatkan dalam kerangka nilai-nilai HAM dan Pancasila. Keenam, terorisme yang berakar dari radikalisme dilakukan secara terorganisir serta memiliki pola yang sistematis dari tahap perekrutan, kaderisasi, hingga aksi. Artinya, strategi anti terorisme juga harus dilakukan dengan cara yang lebih menyeluruh dan mendasar, yang juga mencakup aspek sosial, pendidikan, dan budaya, dengan mengembalikan nilai-nilai bhineka tunggal ika yang saling menghargai, tanpa kekerasan dan tanpa diskriminasi terhadap perempuan. Demikian pandangan ini kami sampaikan sebagai bagian upaya kontributif dalam menempatkan persoalan ini secara proporsional dan kontruktif, termasuk sebagai cara untuk terus mengingatkan Pemerintah dan mengajak masyarakat untuk terpecah belah dan melawan terorisme dengan cara yang menyeluruh dan bermartabat. Jakarta 17 Mei 2018 KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, Elsam, IMPARSIAL, PSHK, YAPPIKA, LBH APIK, ICJR, Setara Institute, Amnesty International Indonesia, AJAR, WALHI, PERLUDEM, KPA, Solidaritas Perempuan, LeiP, Yayasan Jurnal Perempuan, Karlina Supelli, Franz Magnis Suseno, Haris Azhar, Suciwati ![]() Minggu, 13 Mei 2018, digelar peringatan Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan,LBH Jakarta, KontraS, Kalyanamitra, IKOHI, Jurnal Perempuan, STH Indonesia Jentera, PINTI dan Paguyuban Mei 98-FKM. Peringatan tersebut dihadiri oleh korban dan keluarga korban Tragedi Mei 1998 serta para aktivis Hak Asasi Manusia. Peringatan Tragedi Mei 1998 yang dilakukan di depan prasasti Mei 1998 di Pemakaman Massal korban Mei 1998 tahun ini juga sekaligus refleksi atas #20TahunReformasi. Sandyawan Sumardi dalam refleksinya mengungkapkan bahwa makna kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam pancasila seharusnya membuat bangsa Indonesia menjadi beradab dan menjunjung tinggi HaK Asasi Manusia (HAM). Bagi Sandyawan, pengingkaran dan sanggahan terhadap tragedi 65 dan 98 adalah bentuk dari pengingkaran terhadap kemanusiaan. Lebih jauh ia secara tegas menolak segala akumulasi nyawa dalam setiap tragedi, menurutnya satu nyawa yang hilang pun adalah kematian untuk kemanusiaan kita semua. “Kalu dulu Tim Gabungan Pencari Fakta setelah melakukan verifkasi berbagai fakta dari bebagai sumber, tiba-tiba ada sanggahan dari polisi bahwa hanya 550 jiwa yang dibunuh, begitu kejam cara berhuitungnya, bahkan satu nyawa yang hilang itu kematian untuk kita semua, sama seperti kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih dianggap sebagai bentuk pelecehan saja, padahal semua jenis sexual attack adalah perkosaan terhadap harga diri kita semua”, tutur Sandyawan dalam refleksinya. Selanjutnya Sandyawan menceritakan hal yang ia lihat di Jerman. “Ketika saya melihat makam-makan terhampar sunyi, saya teringat apa yang saya lihat seperti di Holocaust, itu adalah salah satu cara suatu bangsa mengakui kedurjanaan bangsanya sendiri yaitu pengakuan bahwa Nazi membunuh Yahudi, arsitekturnya begitu rendah hati, kontemplatif, penuh doa, membangkitkan kesadaranbahwa pembunuhan yang demikian jangan sampai terjadi lagi”, tutur Sandyawan. Menurut Sandyawan, sejak awal keluarga korban telah bersama-sama memperjuangkan agar ada pengakuan, penyelidikan, dan penyidikan kasus Mei 1998, namun sayangnya hingga kini belum ada titik terang. ![]() Refleksi selanjutnya datang dari seorang aktivis perempuan, Ruth Indiah Rahayu. “Kita tidak boleh lupa bahwa demokrasi ini lahir dari tangis dan semangat para ibu, ibu sebagai metafora, baik ibu para korban, perempuan korban, dan aktivis perempuan, apa yang dilakukan ibu Sumarsih adalah bukti bahwa perempuan lah yang tegak berdiri untuk demokrasi”, ungkap Ruth. Ia menyayangkan bahwa setelah #20TahunReformasi krisis kemanusiaan masih terjadi, cita-cita demokrasi tidak kunjung terwujud. Menurutnya, bangsa Indonesia perlu berangkulan agar tidak terpecah belah karena sedang dihadapkan pada sesuatu yang tidak pasti dan darurat seperti 20 tahun lalu. Ia menjelaskan bahwa peringatan #20TahunReformasi adalah momentum untuk mendeklarasikan kembali tekad wujudkan kemanusiaan dan tekad agar pada 20 tahun kedepan pelanggaran kemanusiaan tidak terjadi lagi. Dalam refleksinya tersebut, Ruth juga mengapresiasi anak muda yang telah menuangkan kesaksiannya atas Mei 1998 dalam berbagai bentuk karya seni, ia juga mengajak generasi muda untuk terus merawat ingatan kolektif tersebut dalam berbagai bentuk dokumentasi. Setelah mendengarkan kesaksian korban dan refleksi Tragedi Mei 1998, acara dilanjutkan dengan pernyataan sikap panitia bersama #20TahunReformasi yang dibacakan oleh Feri dari LBH Jakarta. Kemudian acara dilanjutkan dengan doa bersama untuk para korban Tragedi Mei 1998, Bom Surabaya dan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, acara ditutup dengan menaburkan bunga dan doa di makam korban Mei 1998. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |