Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Pekad (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19) pada Selasa (14/4) mengadakan kegiatan siaran pers yang dilakukan melalui kanal media Zoom. Koalisi Pekad terdiri dari sejumlah organisasi seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Pamflet Generasi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Satu Visi (ASV), Arus Pelangi, SEJUK, Purple Code Collective, LBH Masyarakat dan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC). Kegiatan tatap muka secara daring tersebut diikuti oleh sekitar 50 orang peserta. Baik dari kalangan pegiat HAM maupun media. Mengutip data dari WHO (2019), jumlah perempuan sebagai tenaga kesehatan secara global mencapai 70% dari total keseluruhan tenaga kesehatan. Di Asia Tenggara, mayoritas tenaga kesehatan adalah perempuan. Perawat misalnya, ada 79% perempuan yang berprofesi sebagai perawat. Sementara dari seluruh dokter di Asia Tenggara, 61% adalah perempuan. Di Indonesia, ada 71% atau 259.326 orang dokter perempuan (PPNI, 2017). Fakta ini menunjukkan, bahwa tenaga kesehatan perempuan berada di garda terdepan yang berisiko terinfeksi virus. Salah satu kendala yang dihadapi tenaga kesehatan berada di garis terdepan penanggulangan Covid-19 adalah kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD). Hal ini menyebabkan beberapa tenaga kesehatan, termasuk tenaga medis perempuan memberikan layanan tanpa APD yang sesuai dengan standar. “Pemerintah perlu mengatur harga jual dan ketersediaan APD bagi tenaga kesehatan karena banyak fasilitas kesehatan yang tidak menyediakan APD bagi petugas tenaga kesehatan, padahal harganya tidak murah,” ungkap dr. Teza Farida yang merupakan dokter dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Lebih lanjut, dr. Teza juga menyampaikan bahwa beberapa tenaga kesehatan perempuan memberikan layanan konsultasi daring dan tidak membuka layanan konsultasi tatap muka langsung--yang berdampak pada kualitas layanan, khususnya pada layanan terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi. Layanan pemeriksaan kehamilan yang berkurang karena dianjurkan untuk mendatangi fasilitas kesehatan hanya dalam kondisi darurat medis, hal ini berakibat perempuan hamil sulit mengetahui perkembangan kesehatan diri dan janinnya. Di sisi lain, pembatasan layanan kesehatan juga berdampak dalam penanganan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) berbasis konseling. Dengan usia kehamilan yang semakin membesar namun tidak selaras dengan pemberian layanan konseling yang komprehensif, akan berbahaya bagi kesehatan perempuan itu sendiri baik secara fisik, psikis dan sosialnya. Layanan lain yang juga terdampak adalah layanan PMTCT (Penularan HIV pada perempuan hamil ke bayinya), hal ini disebabkan karena beberapa pusat layanan kesehatan tidak lagi memberikan layanan sehingga pencegahan HIV/AIDS terhadap perempuan hamil ke bayinya lambat untuk terdeteksi. Di beberapa klinik ataupun puskesmas, klien sulit mengakses layanan pemeriksaan VCT-HIV, dan belum bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk terlibat dalam pengurangan dampak dan resiko penularan. Selain persoalan layanan kesehatan, aspek pemenuhan kebutuhan juga menjadi isu kelompok rentan yang perlu diperhatikan, salah satunya LGBTIQ, khususnya transgender perempuan. Khanza Vina dari Sanggar SWARA menggambarkan kondisi kondisi LGBTIQ--yang sebelumnya sudah termarginalkan--semakin sulit di tengah pandemi. Physical distancing sebagai usaha preventif untuk menekan penyebaran pandemi Covid-19 membuat penghasilan sebagian besar komunitas transgender perempuan berkurang drastis. Dari asesmen cepat yang dilakukan oleh Sanggar SWARA, ada lebih dari 640 transgender di Jabodetabek yang kehilangan pekerjaannya. Banyak dari mereka yang sulit mengakses bantuan sembako yang dibagikan oleh pemerintah hanya karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini membuat mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi diri, termasuk untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. “Sudah banyak (LGBTIQ) yang kesulitan bertahan hidup, terutama yang tidak punya cukup simpanan tabungan. Selain kebutuhan hidup keseharian, biaya sewa tempat tinggal juga menjadi persoalan. Penggalangan bantuan yang dilakukan terbatas untuk kebutuhan primer tersebut serta untuk ARV bagi yang memerlukan,” ujar Khanza. Khanza tidak yakin kelompok LGBTIQ yang dimiskinkan, dimarginalisasi, dan distigmatisasi ini bisa bertahan dalam beberapa bulan ke depan. Di tengah situasi bencana nasional pandemi yang berdampak pada seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan, DPR tetap melanjutkan proses legislasi membahas sejumlah RUU. Bahkan sempat beredar kabar bahwa DPR akan mengesahkan RKUHP dalam tempo sepekan memasuki masa tanggap darurat Covid-19. RUU lain yang juga akan menjadi polemik, seperti RUU Ketahanan keluarga dan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja juga akan dilanjutkan pembahasannya. Hal tersebut sangat disesalkan Maidina Rahmwati, peneliti dari ICJR. Menurut Mai, DPR seharusnya lebih memperkuat peran dan fungsi pengawasan terhadap Pemerintah dalam merespons Covid-19 serta memastikan anggaran yang tersedia sudah sesuai. Ia menambahkan, “Pilihan PSBB dan bukan karantina wilayah, seharusnya menjadi bahasan serius oleh DPR dan Pemerintah”. Dalam kesempatan tersebut, Mai juga menegaskan bahwa pelanggaran terhadap PSBB bukanlah merupakan tindak pidana. Tindakan pemerintah yang mengedepankan pemberian sanksi terhadap pelangar PSBB justru bertolak belakang dengan penanganan Covid-19. Menurutnya yang terpenting untuk situasi saat ini bukanlah penegakan ancaman saksi terhadap pelanggaran, tetapi mitigasi, solusi dan jaring pengaman sosial. Maidina menggarisbawahi perlunya memastikan pertimbangan gender dalam setiap kebijakan dan tindakan penanganan Covid-19. “Pemerintah harus punya instrumen yang kuat untuk mendata kelompok rentan,” imbuhnya. Perlunya memasukkan perspektif gender dalam respons pandemi Covid-19 juga disampaikan Sri Nurhayati Handayani, Konselor Trauma dari Yayasan Pulih. Perempuan yang biasa disapa Handa ini menjelaskan pandemi yang terjadi saat ini terjadi sangat khas, karena berbentuk virus yang dapat menginfeksi siapapun. Tidak seperti bencana alam dimana sumber daya manusia bisa didatangkan ke daerah lokasi bencana, pandemi ini mengharuskan semua orang untuk menjaga jarak sehingga konselor ataupun relawan tidak bisa turun langsung dan berhadapan dengan korban. “Negara bisa melakukan inovasi dengan membuat panduan yang lebih praktis dalam memasukkan perspektif gender dalam respon bencana ini,” pungkas paparnya. Dalam rilis yang dikeluarkan, semua pihak dalam Koalisi Pekad sepakat bahwa dalam konteks saat ini yang terpenting adalah mendorong Pemerintah untuk menangani Covid-19 dan agar DPR menghentikan pembahasan RUU yang bermasalah. Pemerintah perlu mengambil kebijakan strategis dengan memperhatikan perspektif gender dan perlindungan terhadap kelompok rentan. (Dewi Komalasari) Jakarta, 11 Maret 2020, peningkatan standar keamanan merupakan salah satu prioritas utama Gojek, sebuah superapp terdepan di Asia Tenggara ini. Melalui inisiatif #AmanBersamaGojek yang diluncurkan dua pekan lalu, dan bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional, Gojek mempertegas komitmennya dalam menghadirkan layanan transportasi daring paling aman melalui pilar teknologi, proteksi, dan edukasi. “Keamanan dan keselamatan adalah prioritas utama, khususnya bagi perempuan. Gojek dalam mewujudkan hal itu melakukan beberapa cara yakni melalui pilar teknologi, proteksi, dan edukasi,” ungkap Monita Moerdani, SVP Transport Marketing Gojek. Pilar teknologi adalah berupa teknologi Gojek SHIELD yang mampu memastikan keamanan dari sebelum memulai perjalanan, selama perjalanan, dan pada saat darurat dengan cara 1) penyamaran nomor telepon, 2) bagikan perjalanan dengan orang atau kerabat terdekat yang dipercaya, 3) tombol darurat yang terhubung dengan unit darurat 24 jam dan layanan ambulans. Pilar proteksi berupa sistem zona aman bersama Gojek. Zona Aman bersama Gojek merupakan ruang ramah perempuan yang memanfaatkan ratusan shelter atau titik jemput yang yang tersedia di berbagai lokasi. Zona Aman bersama Gojek memiliki fasilitas penerangan dan tempat duduk yang memadai untuk menunggu dan berlokasi di area keramaian yang dekat dengan titik transportasi publik serta dilengkapi materi edukasi publik untuk mensosialisasikan ruang publik aman bagi perempuan. Selain itu, sejak tahun 2019, Gojek telah melatih mitranya sebagai active bystander untuk melawan kekerasan seksual di ruang publik. Mitra Gojek didorong bersikap aktif untuk membantu jika mereka melihat ada pelecehan atau kejahatan yang terjadi terutama di tempat umum. Hal ini diapresiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KPPPA). “Sejak awal penandatanganan Nota Kesepahaman antara Gojek dan KPPPA di tahun 2019, kami mengapresiasi pendekatan Gojek yang lengkap dalam meningkatkan keamanan bagi perempuan, seperti menyediakan Zona Aman Bersama Gojek untuk perempuan menunggu serta menjadi mitra kami dalam mensosialisasikan pencegahan kekerasan seksual di ruang publik. Kami berharap langkah Gojek untuk terus berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan demi menciptakan budaya aman, dapat menginspirasi pelaku usaha lain,” jelas Indra Gunawan, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KPPPA. Lalu, masih di dalam pilar proteksi, Gojek membangun layanan Customer Care & Unit Darurat siaga 24 jam yang mengadopsi perspektif korban. Kemudian, Gojek menyediakan jaminan asuransi perjalanan untuk mitra dan pelanggan. Di pilar edukasi, Gojek berkolaborasi dengan pemerintah, organisasi internasional, dan LSM, seperti Kementerian KPPPA, Hollaback! Jakarta, serta LSM tingkat lokal seperti LBH Apik Kota Medan, LBH Manado, Rifka Annisa, Women Crisis Center Yogyakarta, serta Resister Indonesia Kota Malang untuk melakukan edukasi kepada masyarakat guna menciptakan ruang publik yang semakin ramah terhadap perempuan. “Di setiap ruang perempuan memiliki hak untuk merasa aman. Namun faktanya, rasa takut akan pelecehan dan kekerasan seksual, seringkali menghambat mobilitas dan membatasi akses perempuan dan anak perempuan di ruang publik. Infrastruktur publik yang berkualitas dan efisiensi dari layanan transportasi memainkan peran penting dalam memastikan transit yang aman bagi perempuan. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur harus berbasis gender dan dirancang dengan mempertimbangkan keamanan dan kebutuhan mobilitas perempuan,” ungkap Lily Puspasari, UN Women Indonesia. (Octania Wynn) Jakarta (4/3), Cakra Wikara Indonesia (CWI) mengadakan seminar tentang status agenda politik perempuan seusai Pemilu 2019 di Hotel Akmani. Diskusi yang didukung Kedutaan besar Kanada untuk Indonesia inimemperbincangkan dua persoalan mendasar tentang politik perempuan, yakni tentang representasi pasif dan representasi aktif perempuanDalam sambutannya, Anna Margret selaku ketua CWI menyatakan bahwa kedua persoalan tersebut bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam mempersoalkan politik perempuan. CWI melakukan kerja-kerja dalam upaya mendorong perubahan pada representasi pasif yaitu mendorong kehadiran perempuan secara kuantitatif, namun di saat yang bersamaan memastikan perempuan yang terpilih untuk mendorong agenda-agenda politik perempuan agar terjadi perubahan dalam tata kelola politik di Indonesia. Anna Margret menyatakan bahwa ada beberapa persoalan yang penting untuk diperbincangkan tentang politik perempuan, dinataranya persoalan krisis sumber rekrutmen caleg perempuan dan upaya mendorong peningkatan keterwakilan berbasis jumlah. “Saat ini dari total 575 anggota DPR-RI, kita memiliki 123 anggota legislatif perempuan di DPR-RI. Berdasarkan hasil pemilu 2019, CWI melihat bahwa ketika kita bicara soal kebijakan afirmatif, kita menghadapi persoalan mulai dari sebelum masa Pemilu, yaitu pada masa pencalonan. Tahap ini adalah tahap kritis sehingga menurut CWI, meskipun pemilu berikutnya masih di tahun 2024, penting agar mengkritisi persoalan ini sejak saat ini,” Ungkap Anna. Menurut Anna, penting agar kita mengingat filosofi di balik kebijakan afirmasi yaitu mendorong keterwakilan perempuan dan komitmen mendorong keterwakilan kelompok yang selama ini terpinggirkan dari berbagai proses inti pengambilan keputusan. “Dalam pemilu ada 3 momen kritis yaitu pencalonan, pada tahap ini perempuan sudah harus bertarung untuk mendapatkan nomor urut atas dan Dapil yang strategis, pada tahap berikutnya perempuan harus bertarung di tingkat perolehan suara dan di tahap ketiga perempuan harus berartung dalam perolehan kursi. Temuan CWI menunjukkan bahwa berbanding terbalik dengan tren pada laki-laki, jumlah perempuan terus merosot dari tahap pertama hingga tahap ketiga,” jelas Anna. Bagi Anna data tersebut menunjukkan pengalaman khas perempuan dan bahwa sistem Pemilu seperti besaran parliamentary threshold dan nomor urut berkontribusi pada minimnya representasi pasif perempuan. Minimnya caleg perempuan yang berada pada nomor urut satu menjadi salah satu penyebab rendahnya perolehan suara oleh anggota legislatif perempuan. Menurut Anna, selain menghadapi persoalan pada sistem pencalonan. Penting agar kita memikirkan strategi politik perempuan untuk tahun 2024. Namun yang paling genting untuk direspons saat ini adalah bagaimana kita mengawal agenda politik perempuan. “Saat ini kita telah memiliki sejumlah aleg perempuan yang terpilih. Dari sini kita perlu melihat bagaiamana agenda politik perempuan. Paling tidak ada sekitar 50 RUU yang masuk dalam prioritas Prolegnas 2020. Apa yang bisa kita lakukan dengan minimnya perempuan yang berada di kepemimpinan komisi?,” Ungkap Anna. Dalam diskusi tersebut, Maria Ulfah selaku Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa kerja-kerja yang dilakukan oleh Komnas Perempuan berkaitan erat dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh para anggota legislatif di parlemen. “Salah satu agenda Komnas Perempuan adalah membangun konsesus nasional tentang pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan, untuk mencapai cita-cita terebut dibutuhkan kepemimpinan-kepemimpinan perempuan yang punya perspektif, solid dan bisa membawa perubahan bagi perempuan lewat regulasi,” tutur Maria. Maria mengatakan bahwa Komnas Perempuan telah melakukan pemetaan terhadap 50 RUU yang masuk Prolegnas 2020. Menurutnya ada 16 RUU yang beradampak terhadap strategis pada perempuan. Dalam kesempatan itu Maria menyatakan kekecewannya karena tidak masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dalam Prolegnas tahun 2020, padahal menurut Maria, RUU ini memiliki dampak strategis bagi perempuan. Menurut Maria RUU ini penting untuk disahkan sebab ada 9 jenis tindak pidana seksual yang tidak dikenal dalam UU lainnya yaitu pelecehan seksual, elsploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawainan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. “Kekerasan seksual membutuhkan regulasi hukum yang khusus sebab UU yang ada hanya mengatur pemidanaan. UU yang ada belum komprehensif mengatur pencegahan dan pemulihan komprehensif bagi korban. RUU PKS tidak berhenti pada soal pemidanaan tetapi juga tentang rehabilitasi pelaku, tukas Maria”. Meski berbagai persoalan kekerasan seksual telah disinggung juga dalam UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, KUHP, UU TPPO, namun menurut Maria masih diatur secara parsial. Komnas Perempuan bersama mitra-mitranya telah melakukan kajian hukum positif terhadap berbagai UU terkait kekerasan seksual dan menemukan bahwa persoalan kekerasan seksual yang dibahas pada tiap regulasi hukum tersebut tidaklah menyeluruh. Regulasi yang ada secara khusus misalnya bicara mengenai pelecehan seksual terhadap anak, atau perdagangan orang tetapi tidak mengenali jenis kekerasan seperti perbudakan seksual dll. Maria menjelaskan bahwa dalam perspektif hukum positif belum ada regulasi hukum di Indonesia yang mendedah dan mengenali isu kekerasan seksual secara mendalam seperti RUU ini. Maria menegaskan bahwa tingginya kasus dan terus meningkatnya angka kekerasan seksual menegaskan bahwa keberadaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangatlah dibutuhkan. Dalam kesempatan tersebut, Dian Kartika Sari, Aktivis perempuan juga membagi pengalamannya mengenai advokasi agenda politik perempuan. Menurut Dian, resistensi terhadap berbagai RUU terkait agenda perempuan memang kerap terjadi, ia memaparkan bahwa RUU PKDRT dan RUU TPPO pada masanya juga sempat menuai sejumlah penolakan. Strategi utama yang perlu dilakukan adalah menghadirkan suara korban dan tunjukkan fakta-fakta kekerasan seksual, karena seringkali sebuah tawaran kebijakan ditolak karena dipandang sebagai asumsi belaka. “Kita perlu menunjukkan pada publik bahwa persoalan kekerasan seksual adalah urusan kemanusiaan dan bukan urusan perempuan saja. Penting untuk membangun argumen bahwa korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan, melainkan bisa terjadi pada laki-laki, anak, orang tua dan siapa saja,” kata Dian. Dian menambahkan bahwa strategi lain yang tidak kalah pentingnya untuk mendorong pengesahan RUU PKS adalah membangun konsolidasi antara semua pihak, khususnya para anggota legislatif, baik itu perempuan maupun laki-laki. Senada dengan itu, Maria menyampaikan 5 rekomenasi dari Komnas Perempuan untuk memperkuat strategi pengesahan RUU PKS yaitu; pertama, penguatan agensi semua aktor dengan perspektif HAM berbasis gender, khususnya bagi para anggota legislatif. Kedua, meningkatkan ekosistem untuk akses dan kualitas layanan informasi, artinya perlu ada proses edukasi terbuka pada publik tentang bagaimana proses pembuatan regulasi. Ketiga, pengingkatan konsolidasi dan peran jaringan advokasi yaitu antara CSO, akademisi, dunia usaha, masyarakat adat dll. Keempat, penguatan kerangka hukum di tingkat nasional dan daerah. Maksudnya adalah penting untuk mengkonsolidasi pemerintah daerah untuk mendorong Perda, Pergub dan membentuk komunitas-komunitas lokal yang mencegah perkawinan anak sembari menunggu hadirnya regulasi di tingkat nasional. Kelima, penguatan sinergi lintas daerah, CSO, akademisi/ perguruan tinggi, lembaga keagamaan, adat, media, dan dunia usaha. (Abby Gina). Jumat, 6 Maret 2020, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020 di Mercure Hotel, Jakarta. Catatan tahunan merupakan dokumentasi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara, lembaga layanan, maupun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan setiap tahunnya. Dokumentasi kasus mulai rutin dilakukan Komnas Perempuan sejak tahun 2001. Merujuk pada CATAHU 2020, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. “Angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 12 tahun kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen,” ungkap Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan. Angka kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es, artinya ada banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap dan tidak dilaporkan oleh korban. Meskipun telah banyak laporan kasus kekerasan terhadap perempuan, Mariana mengungkapkan bahwa pencapaian keadilan atas kasus yang dilaporkan belum maksimal. Di ranah personal, CATAHU 2020, mencatat ada kenaikan angka kasus kekerasan terhadap anak perempuan sebesar 65% dari tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2019 tercatat ada 2.341 kasus, yang didominasi oleh kasus inses sebanyak 770 kasus. Menurut Mariana, banyaknya kasus inses terhadap anak perempuan menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak dalam situasi tidak aman bahkan dengan orang terdekat. Salah satu kasus inses yang ditangani langsung oleh Komnas Perempuan adalah perkosaan yang dilakukan seorang ayah kepada putrinya. “Kalau di bilang satu kamar adalah penyebab inses, kami menerima kasus ada seorang putri yang melaporkan bahwa ayahnya mendobrak kunci kamar anaknya untuk melakukan perbuatan keji,” jelas Mariana. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, Komnas Perempuan juga mencatat bentuk atau pola baru dari kekerasan terhadap perempuan yakni kekerasan berbasis gender online. Berdasarkan CATAHU 2020, angka kekerasan berbasis gender online ini terus meningkat, sepanjang tahun 2019 ada 281 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Kekerasan siber meningkat 300% dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil temuan Komnas Perempuan, anak perempuan dan perempuan kerap kali menjadi korban penyebaran video dan foto porno dari pacar dan/atau orang terdekatnya. “Perempuan korban kekerasan berbasis gender online kerap alami reviktimisasi dengan dijerat UU ITE dan UU Pornografi,” tutur Retty Ratnawati (Komisioner Komnas Perempuan). Di ranah publik atau komunitas, CATAHU 2020 mencatat ada 3.062 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang mana 58% dari angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual di ranah publik juga termasuk kasus yang korbannya adalah perempuan disabilitas. Kemudian, di ranah negara, kasus-kasus yang dilaporkan ada 12 kasus, antara lain: kasus intimidasi jurnalis ketika liputan, pelanggaran hak administrasi kependudukan, kasus pinjaman online, tuduhan afiliasi dengan organisasi terlarang. “Kasus siber menyasar pada perempuan peminjam uang secara online. Intimidasi agar perempuan melakukan hubungan seksual atau pelunasan peminjaman,” jelas Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan). Dalam CATAHU 2020, tidak hanya mendokumentasikan data-data kuantitatif kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga data kualitatif. Sejalan dengan temuan data kuantitatif bahwa anak perempuan banyak yang menjadi korban kekerasan seksual, Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual umumnya terjadi di lingkungan pendidikan. Retty Ratnawati (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa ada kecenderungn kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi pacaran paling tinggi SLTA baik korban maupun pelaku. Hal ini menunjukkan kurangnya pendidikan seksual komprehensif di sekolah-sekolah. Selain meningkatknya kasus kekerasan terhadap anak perempuan, CATAHU 2020 menemukan bahwa pelaku kekerasan juga adalah seorang anak yakni di bawah usia 18 tahun. “Data CATAHU dalam 3 tahun terakhir ada pelaku berusia anak kurang dari 18 tahun, bila dibagi dengan jumlah anak kurang 18 tahun di Indonesia, maka setiap satu juta anak, ada 7 orang anak berpeluang jadi pelaku. Artinya setiap hari ada 2 pelaku berusia kurang dari 18 tahun. Ini angka yang serius,” jelas Retty Ratnawati. Siti Aminah menjelaskan bahwa dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), CATAHU 2020 mencatat ada dua modus baru yakni pengantin pesanan dan TPPO daring. Kemudian, dalam kasus LDRT ada pola baru yang Komnas Perempuan sebut sebagai KDRT berlanjut, yakni korban kerap kali dikriminalisasi, dicemarkan nama baiknya, dan dituduh melanggar hukum. Dalam konflik sumber daya alam dan tata ruang, perempuan menjadi korban berlapis. Komnas Perempuan menemukan bahwa perempuan tidak hanya menjadi korban perampasan lahan tapi juga menjadi korban prostitusi, perkawinan anak, kawin kontrak, dan perdagangan orang. Komnas Perempuan dalam kajian kualitatifnya menemukan bahwa dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan pejabat publik ada impunitas. Lebih jauh, CATAHU 2020 juga mencatat ada serangan kepada perempuan pembela HAM berupa fitnah dan berita bohong yang bertujuan untuk merusak nama baik dan martabat perempuan pembela HAM sebagai perempuan. (Andi Misbahul Pratiwi) Minggu, 23 Februari 2020, Yayasan Jurnal Perempuan dan Yayasan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyelenggarakan diskusi “Perempuan dan Keadilan di Indonesia” di kediaman Melli Darsa, Jakarta Selatan. Diskusi ini menghadirkan Bivitri Susanti (Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), Said Zaidansyah (Deputy Country Director Asian Development Bank-Indonesia Resident Mission), Gandjar Laksmana (Dosen FH UI), Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan), dan Rocky Gerung (Pengajar Kajian Filsafat dan Feminisme) sebagai pembicara. Diskusi yang dipandu oleh Melli Darsa selaku tuan rumah ini dihadiri oleh Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dan alumni FH UI. Melli Darsa yang adalah seorang advokat, dalam sambutannya menjelaskan bahwa masih banyak masalah yang dialami perempuan advokat. Ia menyebutkan bahwa representasi perempuan di bidang hukum baik sebagai akademisi maupun advokat profesional masih rendah. Kemudian, berdasarkan pengalamannya ia mengungkapkan bahwa masih ada kesenjangan upah dan karier antara perempuan dan laki-laki. “Mungkin sudah banyak perempuan yang bekerja di berbagai sektor, tapi coba kalau kita lihat lagi hanya sedikit perempuan yang ada di top level,” ungkap pendiri kantor firma hukum Melli Darsa & Co tersebut. Sejalan dengan Melli, salah satu alumni Fakultas Hukum UI, Said Zaidansyah dalam paparannya ia menyebutkan fakta-fakta seputar tingkat partisipasi perempuan di berbagai sektor. Deputy Country Director Asian Development Bank-Indonesia Resident Mission ini menyebutkan bahwa perempuan merupakan setengah dari populasi penduduk dunia tetapi kondisinya masih tertinggal, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam paparannya, ia menyebutkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih rendah yakni 54.3% dibandingkan laki-laki yakni 83.9%. “Di Indonesia belum ada kebijakan yang eksplisit mengatur tentang equal pay for work. Negara-negara di ASEAN seperti Kamboja, Filipina, dan Vietnam telah menerapkan kebijakan equal pay untuk laki-laki dan perempuan,” jelasnya. Ia melanjutkan bahwa, berdasarkan indeks Gender Empowerment Measure (GEM), ketimpangan gender di Provinsi Papua Barat masih sangat tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Lebih jauh, Said menjelaskan tentang kebijakan progender yang dimiliki Asian Development Bank (ADB), salah satunya yakni adanya policy on gender and development sejak tahun 1998 dan telah diintegrasikan di dalam projek-projek ADB. “Di dalam organisasi ADB kita berusaha mendorong partisipasi dan karier perempuan di top level,” tuturnya. Kemudian, Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan) menjelaskan bahwa bahwa di dunia internasional, kesetaraan gender dan inklusivitas telah menjadi norma dan kebijakan. Atnike melanjutkan bahwa di Indonesia jejak kesetaraan dan keadilan gender telah ada setidaknya sejak tahun 1908 ketika organisasi Budi Utomo didirikan, yang mana bersamaan dengan itu organisasi perempuan juga tumbuh. “Ide-ide tentang kesetaraan dan keadilan terhadap perempuan terus tumbuh dan mewarnai gerakan pemuda 1928, gerakan kemerdekaan, bahkan hingga perlawanan di era orde baru,” jelas Atnike. Atnike melanjutkan bahwa setelah 21 tahun reformasi, gerakan perempuan sudah berhasil membuat kebaruan dalam norma-norma hukum. Pertama, UU Pemilu yang mengatur tentang kuota 30% caleg perempuan. Kedua, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berhasil melindungi perempuan dari kekerasan yang terjadi di ruang privat yakni rumah. “Dalam budaya kita penghapusan kekerasan itu bukan urusan publik. Kalau perempuan dipukuli bukan urusan tetangga, bukan urusan negara. Kedua UU adalah sebuah lompatan dalam hukum. Kuota 30% dalam UU Pemilu bukan hanya mendorong partisipasi tapi juga agenda politik yang lebih luas yang tujuannya keadilan gender,” jelas Atnike. Berangkat dari refleksi keberhasilan gerakan perempuan itu, Atnike juga menyangkan banyaknya kebijakan diskriminatif yang muncul baik di level nasional maupun daerah, salah satunya adalah munculnya RUU Ketahanan Keluarga. “Mereka yang mengusung RUU Ketahanan Keluarga tidak melihat perempuan sebagai orang yang memiliki subjektivitas. Adanya RUU Ketahanan Keluarga ini mengingkari apa-apa yg diperjuangkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah didesakkan sejak 5 tahun lalu namun belum juga dibahas,” jelas Atnike. Lebih jauh, dalam tataran praktis, Atnike melihat bahwa ada upaya-upaya untuk mendelegitimasi gerakan perempuan melalui propaganda di media sosial. “Misalnya ada akun Indonesia Tanpa Feminis, Indonesia Tanpa Pacaran. Bukan tidak mungkin nanti ada akun Indonesia Tanpa Perempuan. Budaya semacam itu berusaha ditumbuhkan di Indonesia,” ungkap Atnike. Menurutnya, bahwa gerakan perempuan hari ini sedang mengalami tantangan serius di level kebijakan dan hukum yang berangkat dari akar budaya patriarki di dalam masyarakat. Selanjutnya, Bivitri Susanti bahwa keadilan dalam hukum bukan hanya diukur atau dilihat dari putusan pengadilan saja tetapi juga proses pembuatan hukum itu sendiri, yakni prosedur hukum dan perspektif gender pada pembuat hukum. “Dalam belajar hukum itu, justru orang-orang hukum perlu dibekali pemikiran bahwa peran hukum dalam mengatur. Hukum bisa mengubah perilaku, tetapi bukan satu-satunya cara atau jalan keluar untuk mengubah masyarakat,” jelas Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera tersebut. Ia mengungkapkan bahwa pemahaman gender pembuat hukum adalah hal yang sangat penting, sebab jika pembuat hukum bias gender maka hukum yang dihasilkan akan merugikan perempuan. Salah satu pembuat kebijakan yang dikritisi oleh Bivitri adalah DPR. Ia menyebutkan bahwa ada kenaikan keterwakilan perempuan di DPR RI pada pemilu 2019. Namun, ia juga mencatat bahwa banyak dari anggota DPR tidak memiliki perspektif adil gender sehingga kebijakan yang muncul merugikan perempuan seperti RUU Ketahanan Keluarga. Meski demikian, Bivitri mencatat bahwa ada dua kemungkinan di balik muncul RUU Ketahanan Keluarga, yakni kurangnya pemahaman gender dan adanya agenda-agenda politik yang sifatnya ideologis berbasis agama. Selain RUU Ketahanan Keluarga, Bivitri mencatat bahwa ada RUU lain yang sama berbahayanya masuk Prolegnas 2020-2024 yakni RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, RUU Kependudukan dan Keluarga Nasional, dan RUU Minuman Beralkohol. Menurut Bivitri, masih banyak orang yang beranggapan bahwa hukum bisa menyelesaikan masalah sosial di bumi. Menurutnya, tidak semua norma di dalam masyarakat harus menjadi norma hukum. “Dalam budaya patriarki, ketika ada masalah sosial, maka yang menanggung beban kesalahan itu adalah perempuan,” jelas Bivitri. Gandjar Laksmana, melanjutkan bahwa isu keadilan merupakan isu yang sangat tua, yakni sama tuanya dengan peradaban manusia—yang sampai saat ini belum juga sampai pada kesimpulan. Dalam konteks hukum pidana, Gandjar menjelaskan bahwa keadilan itu sendiri sulit tercapai. Ia mencontohkan bahwa banyak UU yang tuntutan pidananya tinggi, namun di sisi lain unsur tindak kriminalnya tidak ditemukan. “Hukum pidana hari ini kerap digunakan sebagai alat untuk menakuti publik,” tegas Gandjar. Rocky Gerung dalam acara ini menjelaskan bahwa salah satu problem peradaban adalah menganggap perempuan separuh manusia. Anggapan ini kemudian berevolusi menjadi cara pandang yang melihat bahwa sumber segala kejahatan adalah perempuan. “Peradaban membuat perempuan sebagai akar dari segala kejahatan, maka perempuan perlu diatur, maka ada RUU Ketahuan Keluarga, supaya perempuan dan keluarga tidak menjadi jahat. Bahkan hukum pidana mengatur sampai rahim perempuan,” jelas Rocky. Rocky menjelaskan bahwa hukum dalam sejarahnya hanya mengakui pengalaman laki-laki di ruang publik. “Sehingga tidak heran bila subjek hukum adalah laki-laki, heteroseksual, dan dewasa. Karena hanya laki-laki yang hanya bisa bersaksi tentang kejahatan,” pungkasnya. Rocky mencontohkan salah satu ketidakadilan yang kasat mata yakni akses dan kontrol perempuan terhadap aset. Ia menyebutkan sebesar 85% dari produk pertanian Afrika dihasilkan dari tangan perempuan, namun hak properti perempuan hanya 15%. “Peradaban kita dikuasai oleh cara pandang laki-laki bukan pada laki-laki. Jadi cara pandang itu ada di kepala perempuan juga,” jelas Rocky. Permainan patriarki dalam kebudayaan menurutnya telah masuk sampai ke wilayah agama, hukum, dan kebijakan. Menurutnya, bukan agama yang mengekploitasi perempuan, tetapi patriarki yang menggunakan agama untuk mengeksploitasi perempuan. Sebagai penutup, Melli Darsa sebagai moderator mengajak untuk melakukan perlawanan dan membuat perubahan atas ketidakadilan gender melalui kolaborasi lintas sektor. Sebab, menurutnya persoalan ketidakadilan ini adalah persoalan yang dialami hamper di semua lini kehidupan, budaya, politik, hukum, pendidikan. Melli Darsa dalam penutupnya mengucapkan terima kasih kepada para pihak, Sahabat Jurnal Perempuan (SJP), dan Alumni Fakultas Hukum UI, yang hadir dalam diskusi dan masih berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi) Penggeledahan Paksa Kantor LBH APIK Jakarta, Bukti Lemahnya Perlindungan Hukum Perempuan Pembela HAM20/2/2020
Jakarta (19/2), Jaringan Solidaritas LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Jakarta mengadakan konferensi pers guna menyampaikan perkembangan kasus penggerebekan, intimidasi, dan penggeledahan paksa yang dialami LBH APIK Jakarta pada 3 Februari 2020. Dalam kronologi kasus yang dibagikan terungkap bahwa kantor LBH APIK didatangi segerombolan orang yang mengaku berasal dari Komunitas Islam Maluku dan terjadi tindakan maladministrasi serta pembiaran oleh anggota kepolisian Polsek Matraman. Kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh penanganan pendampingan hukum yang dilakukan oleh LBH APIK Jakarta terhadap DW atas rujukan Komnas Perempuan. Segerombolan orang tersebut memaksa untuk bertemu korban, dan bahkan menuduh LBH APIK telah menyembunyikan korban. Kuasa hukum LBH APIK Jakarta, R.R. Sri Agustine menyatakan pihaknya telah melaporkan kasus penggerebekan dan intimidasi yang dilakukan gerombolan tadi kepada Polres Jakarta Timur. Selain itu pihaknya juga mendatangi Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Polres Jakarta Timur untuk melaporkan 4 anggota kepolisian dengan kasus maladministrasi dan pembiaran terhadap tindakan penggerebekan, intimidasi, dan penggeledahan paksa yang tidak sesuai prosedur dan tata cara penggeledahan yang diatur. LBH APIK merupakan lembaga penyedia layanan bantuan dan konsultasi hukum bagi perempuan yang berusaha memperoleh keadilan. Sebagian besar kasus yang ditangani merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan baik dalam ranah privat (rumah tangga) maupun ranah publik. Perlindungan terhadap LBH APIK sebagai lembaga bantuan hukum dijamin oleh UU Bantuan Hukum. Sementara itu, dalam menjalankan profesinya, advokat di LBH APIK juga dilindungi oleh hak imunitas sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Sekjen PERADI, Sugeng Teguh Santoso, menyatakan bahwa peristiwa yang dialami LBH APIK merupakan serangan terhadap profesi hukum (advokat)—yang juga merupakan penegak hukum. Sugeng juga menegaskan bahwa negara/aparat keamanan diwajibkan memberi perlindungan ketika advokat sedang menjalankan tugasnya. R.R. Sri Agustine dalam konferensi pers menjelaskan bahwa peristiwa intimidasi yang terjadi menimbulkan trauma bagi staf LBH APIK dan membuat mereka tidak bisa bekerja secara maksimal dalam memberi layanan bantuan hukum. Upaya perempuan korban yang mencari keadilan di LBH APIK juga menjadi terhambat. Lebih jauh, Tunggal Pawestri, pegiat HAM menyatakan bahwa LBH APIK seharusnya menjadi tempat yang aman bagi perempuan korban kekerasan. “Kasus penyerangan yang terjadi, tidak hanya berdampak pada staf yang trauma tetapi juga membuat perempuan korban kekerasan takut mendatangi LBH APIK”, ungkap Tunggal Pawestri. Menurut Tunggal, kejadian yang dialami LBH APIK sering juga dialami perempuan pembela HAM di pelosok kabupaten dan desa. Tunggal menegaskan bahwa ancaman bagi perempuan pembela HAM akan semakin buruk bila negara dan masyarakat tindak memberikan dukungan penuh terhadap pemenuhan hak korban dan hak pendamping hukum. Hal senada juga disampaikan oleh Usman Hamid (Amnesty International Indonesia), “LBH APIK sebagai organisasi pembela HAM, termasuk untuk kekerasan berbasis gender yang khas patriarkis. Secara global, intimidasi seperti yang dialami LBH APIK juga banyak dialami oleh perempuan pembela HAM, karenanya kasus ini harus kita persoalkan”. Usman juga menjelaskan bahwa negara berkewajiban melindungi setiap pembela HAM dengan menciptakan suasana yang kondusif dan lingkungan yang mendukung serta tidak boleh mengintervensi kerja-kerja pembela HAM, selain menyediakan mekanisme perlindungan yang efektif. Dalam konteks tersebut, peran kepolisian adalah wajib memfasilitasi kerja-kerja pembela HAM. Menurutnya, intervensi oleh kepolisian seharusnya mampu mencegah kejadian yang membuat terhambatnya kerja-kerja pembela HAM dengan secara aktif menindak pelaku penyerangan maupun intimidasi. “Masih terus terjadinya berbagai kasus teror, intimidasi sampai penyerangan terhadap pembela HAM menunjukkan lemahnya respons negara dalam perlindungan terhadap perempuan korban dan perempuan pembela HAM,” lanjut Usman. Meskipun sudah ada Deklarasi Pembela HAM PBB sejak 1998 namun secara nasional masih belum ada payung hukum kebijakan yang melindungi pekerja HAM. Kebijakan terkait perlindungan terhadap pembela HAM baru terbatas pada aturan internal di Komnas HAM maupun dalam aturan internal kepolisian. Era Purnamasari dari YLBHI menyebutkan, “sudah ada beberapa aturan di internal kepolisian yang mengatur tentang perlindungan HAM bagi warga negara dan pembela HAM”. Era mempertanyakan sejauhmana komitmen kepolisian terhadap perlindungan HAM yang termuat dalam berbagai peraturan tersebut, hingga kini belum ada tindak lanjut atas laporan LBH APIK. Menurut Era, langkah hukum yang ditempuh LBH APIK dengan melaporkan peristiwa tersebut merupakan bentuk kepercayaan terhadap proses hukum. Era juga menekankan bahwa perempuan lebih rentan dalam menjalankan kerja-kerja pelindungan HAM sehingga perlu perlindungan yang spesifik. “Sebelum peristiwa ini, LBH APIK sendiri sudah pernah beberapa kali mengalami berbagai bentuk teror, intimidasi maupun penyerangan oleh pihak yang terganggu dengan kerja-kerja LBH APIK, namun selama ini hal tersebut diabaikan karena dianggap sebagai bagian dari risiko perjuangan,” ungkap Ratna Batara Munti, salah seorang Dewan Pengawas LBH APIK Jakarta. Akan tetapi menurutnya, hal tersebut tidak bisa terus dibiarkan terjadi. Ia menegaskan perlu ada kebijakan khusus yang melindungi pekerja HAM. (Dewi Komalasari) Jakarta (23/1), Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) menyelenggarakan konferensi pers guna menyampaikan Catatan Awal Tahun (Cawalu) tahun 2020. Kegiatan yang diadakan di Bakoel Koffie, Cikini tersebut dihadiri Dian Kartikasari (Sekjen KPI), Anna Margret (Direktur Cakra Wikara Indonesia) dan Dominicus Dalu (Staf Ombdusman RI) sebagai narasumber. Penyampaian Cawalu merupakan kegiatan yang rutin diadakan setiap awal tahun oleh KPI sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban terhadap publik. Laporan tersebut memotret dan merefleksikan pengalaman yang dialami perempuan Indonesia sepanjang tahun 2019. Dalam laporannya yang disampaikan oleh Dian, KPI menyoroti berbagai persoalan perempuan dalam berbagai isu seperti hukum dan legislasi, SDGs, perlindungan sosial dan layanan dasar, intoleransi, ekstremisme dan terorisme, perempuan dan desa membangun, kelompok rentan, PUG dan prioritas KPPPA. Terkait legislasi, Dian menyebutkan salah satu RUU yang dibahas pada tahun 2019 dan berkaitan dengan perempuan yaitu RUU Kebidanan. “RUU ini hanya mengatur soal pendaftaran bidan, perijinan praktik dan organisasi kebidanan. Kemudian kami kritisi karena RUU tidak menyinggung mengenai layanan kebidanan,” Dian menuturkan. Salah satu masukan yang diberikan adalah jaminan pemerataan persebaran bidan untuk memenuhi kebutuhan perempuan di pedesaan. Masukan terkait layanan kebidanan bagi ibu dan anak serta kesehatan reproduksi kemudian diadopsi ke dalam RUU Kebidanan tersebut. KPI juga menyoroti banyaknya persoalan dalam penyelenggaraan berbagai program perlindungan sosial seperti dana BOS, Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan JKN. Khusus terkait penyelenggaraan JKN, Dian menyampaikan bahwa kenaikan iuran BPJS bukanlah solusi yang permanen karena menurutnya sejak awal BPJS selalu menyampaikan defisit anggaran. “Namun di sisi lain ada isu gaji dan tunjangan bagi pejabat dan direksi BPJS yang sangat tinggi melebihi standar gaji pada badan-badan lainnya dan menjadi sorotan publik namun luput dari perhatian pemerintah dan DPR,” protesnya. Isu lainnya yang Dian sampaikan ialah terkait dengan layanan dasar di bidang Pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat, pekerjaan umum, dan penataan ruang. Berdasarkan pantauan KPI tercatat bahwa belum semua provinsi dan kabupaten / kota memiliki Peraturan Daerah mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar tersebut termasuk pelayanan dan perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Ia menjelaskan bahwa pemerintah daearah wajib memiliki SPM sebagai wujud implementasi dari mandat dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 2 Tahun 2018 dan Permendagri No. 100 Tahun 2018. Dian juga mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2019 pengabaian hak kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, kelompok dengan orientasi seksual dan identitas gender minoritas, buruh migran, perempuan masyarakat adat masih terjadi baik di tingkat nasional maupun lokal. Perempuan dalam kelompok-kelompok rentan tersebut tidak mendapat perhatian bahkan menghadapi berbagai ancaman dan tantangan dalam pemenuhan hak-haknya. Dian menuturkan, “masih banyak diskriminasi yang dialami kelompok rentan, seperti lansia, penyandang disabiltas, LBT, buruh migran dan perempuan masyarakat adat”. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa kelompok LBT semakin terancam dikriminalisasi melalui RUU Pidana Propaganda Penyimpangan Seksual. Lebih jauh, KPI juga mencatat berbagai persoalan perempuan pada pemilu 2019 lalu. Dian menyayangkan bahwa adanya praktik partai politik yang menempatkan perempuan sebagai caleh hanya hanya untuk vote getter. Hal itu ditunjukkan ketika seorang caleg perempuan yang terpilih melalui proses pemilu namun kemudian dipecat oleh partai politik, atau kalah dalam proses sengketa pemilu di pengadilan. “Pemanfaatan perempuan sebagai vote getter dalam pemilu menjadi catatan penting supaya ke depan tidak terjadi lagi,” Dian menambahkan. Di sisi lain, hasil pemilu menunjukkan adanya peningkatan keterwakilan perempuan di DPR. Namun menurutnya masih ada tantangan untuk meningkatkan sensitivitas gender para anggota DPR terpilih mengingat hampir sebagiannya adalah politisi baru. Salah satu isu yang juga menjadi perhatian KPI adalah menyoal radikalisme dan ekstremisme. “Isu ini memiliki banyak wajah, mulai dari promosi negara khilafah sampai dengan isu-isu yang berkaitan langsung dengan tubuh perempuan seperti penolakan terhadap aturan yang membatasi perkawinan anak, penolakan terhadap aturan penghentian sunat perempuan dan penolakan terhadap vaksin,” lanjut Dian. Salah satu isu yang juga diusung kelompok tersebut adalah promosi poligami, yang juga dimanfaatkan oleh partai politik untuk meningkatkan perolehan suaranya. Merespons pembentukan kabinet oleh Presiden Joko Widodo dan prioritas KPPPA, menurut Dian turunnya jumlah menteri perempuan dalam kabinet sangat mengejutkan. Selain itu, proritas KPPPA yang terbatas pada 5 hal (UKM Perempuan, Perempuan sebagai pendidik, penghapusan KTPA, penghapusan perkawinan anak, dan juga penghapusan pekerja anak) sangat sempit menurut Dian. Dian menyatakan kekecewaannya karena isu-isu lain yang sempat disuarakan ketika kampanye pemilihan presiden dulu seperti pengarusutamaan gender di segala bidang, pemberdayaan politik perempuan tidak menjadi prioritas sama sekali. “Isu pengarusutamaan gender semakin redup dan perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah hampir tidak ada. Hal ini sangat mengkhawatirkan,” ujar Dian. Menurut Dian, isu-isu yang disebutkannya tidak berdiri sendiri dan saling terkait satu sama lain (intersectional). Dian menjelaskan bahwa pembelajaran yang bisa diambil dari pengalaman-pengalaman perempuan sepanjang tahun 2019 adalah dibutuhkan kecermatan dan kecakapan perempuan dalam mengintegrasikan isu-isu strategis. Dian mencontohkan bahwa isu politik identitas bersinggungan dengan isu kesejahteraan. Sementara itu Direktur CWI, Anna Margret, membenarkan pernyataan Dian yang menyebutkan bahwa perempuan diposisikan sebagai vote getter dalam pemilu. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya perolehan suara bagi kandidat perempuan dalam pemilu 2019 dimana rata-rata kontribusi suara caleg perempuan di setiap partai adalah di atas 20%. Di sisi lain, Anna juga memaparkan bahwa indeks prestasi keterwakilan perempuan dari masing-masing partai politik masih sangat rendah. Indeks keterwakilan perempuan di partai politik adalah perbandingan jumlah kursi perempuan yang diperoleh partai politik terhadap jumlah perolehan kursi partai politik di parlemen. Namun yang perlu dicatat dari data yang disingkap oleh CWI adalah terjadinya defisit suara perempuan dalam proses pemilu. Defisit ini nampak dari jukstaposisi yang menunjukkan semakin kecilnya angka persentase yang dialami perempuan dari mulai pencalonan, perolehan suara (keterpilihan) hingga perolehan kursi perempuan. Variable yang sama pada laki-laki justru menunjukkan angka yang semakin besar. Menyikapi anggota legislative (aleg) perempuan terpilih, Anna menjawab bahwa dibutuhkan diskusi yang lebih adil untuk menelusuri kualitas aleg terpilih. Berangkat dari data yang ada, Anna menyebutkan beratnya pekerjaan rumah dan tantangan yang dihadapi ke depan dalam mewujudkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan perempuan. “Apakah 120 orang perempuan yang terpilih dan masuk dapat menentukan atau mempengaruhi proses pembuatan kebijakan maupun pengambilan keputusan di parlemen, masih harus dinantikan bersama,” jelas Anna. Dalam merespons mengenai pilkada yang akan berlangsung tahun ini, Anna menjelaskan bahwa isu utama perempuan dalam pilkada 2020 adalah aturan yang ada bersifat netral gender. “Banyak perempuan yang terpilih dalam pilkada-pilkada yang lalu adalah istri dari pejabat yang terpilih sebelumnya yang kemudian sebelum masuk penjara atau anak dari pejabat yang kemudian masuk penjara,” ungkap Anna. Oleh karena itu menurut Anna, penting untuk memperhatikan sumber rekrutmen dalam pencalonan pilkada, termasuk basis dukungannya. Dominicus dari Ombudsman RI (ORI) menyampaikan dari laporan-laporan yang masuk sejak ORI berdiri (meski tidak ada data yang spesifik) bisa dipastikan sebagian besarnya sangat berkaitan dengan isu perempuan seperti layanan kesehatan, pendidikan sampai isu agraria. Selama ini laporan yang paling banyak diterima Ombudsman adalah pengaduan mengenai layanan publik oleh pemerintah daerah seperti layanan adminduk, perizinan, juga yang terkait dengan kesejahteraan. Terbanyak kedua adalah adalah terkait konflik pertanahan/agraria, diikuti oleh laporan mengenai layanan oleh kepolisian. Lalu yang berikutnya adalah laporan mengenai K/L di tingkat pusat, diikuti dengan laporan mengenai layanan penegakan hukum. Dominicus mengungkapkan bahwa maladministrasi mayoritas terjadi dalam bentuk penundaan atau lambatnya layanan. ORI juga menemukan masih adanya praktik permintaan biaya untuk layanan publik yang seharusnya disediakan secara gratis dan minimnya representasi penyandang disabilitas dalam lembaga publik. Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa ada beberapa Pemerintah Daerah yang belum membuat Perda pelayanan publik—yang memuat standar pelayanan dan beberapa daerah yang sudah memiliki Perda tersebut pun mbelum mengimplementasi secara maksimal. Dominicus menyebutkan HAM generasi ke-4 adalah pelayanan publik, yaitu bahwa Negara memiliki kesempatan kedua untuk mengoreksi atau memperbaiki kualitas layanan namun ini juga belum terjadi. Terkait prospek ke depan, ORI menyebutkan 2 mekanisme yang ada untuk mendorong transformasi pelayanan publik. Pertama, menerima laporan aduan dari masyarakat. Kedua, proaktif memenuhi layanan atau meningkatkan kualitas layanaan, dengan memberi masukan terhadap rancangan regulasi termasuk isu-isu di daerah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. (Dewi Komalasari) Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030 telah dicanangkan sejak tahun 2015 sebagai respons dari gagalnya tujuan pembangunan milenium. Setelah lima tahun, data menunjukkan ketimpangan di dunia masih besar. “Berdasarkan penelitian Oxfam di tahun 2019, gabungan kekayaan 22 laki-laki terkaya di dunia lebih besar dari kekayaan semua perempuan di Afrika,” ujar Megawati peneliti Infid pada diskusi publik yang mengusung tema Pekerjaan Perawatan dan Kontribusinya terhadap Perekonomian dalam Upaya Mengurangi Ketimpangan Sosio-ekonomi dan Ketimpangan Gender di Gedung Perpusatakaan Nasional, Jakarta (23/01/2020). Di Indonesia, ketimpangan di sektor pekerjaan masih menjadi permasalahan. Dalam konteks kerja masih ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam kesempatan maupun pendapatan, berdasarkan data Sakernas 2018, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan jauh lebih rendah yakni 51,88% dibandingkan laki-laki 82,69%. Kemudian, rata-rata upah per bulan perempuan 2,4 juta dan laki-laki 3,06 juta. Masih berdasarkan data tersebut, perempuan mendominasi sektor kerja informal sebab hanya 35,05% perempuan bekerja di sektor formal. Peneliti Prakarsa, Herawati, menambahkan bahwa berdasarkan data International Labor Organization tahun 2018, sebanyak 76% perempuan di dunia melakukan kerja perawatan yang tidak berbayar (unpaid care work). Menyoal kerja perawatan, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro, menjelaskan bahwa publik termasuk perempuan masih berasumsi bahwa kerja perawatan adalah bagian dari tanggung jawab perempuan, baik sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) maupun sebagai anggota di dalam keluarga. Lebih jauh, dalam sistem ekonomi kapitalistik pun perempuan dianggap sebagai angkatan kerja cadangan. Sehingga menurut Atnike, tak heran bila terjadi ketimpangan dalam hal kesempatan dan pendapatan perempuan dalam kerja. “Kerja perawatan yang dilakukan ibu rumah tangga dan anggota keluarga perempuan di dalam rumah cederung dianggap sebagai kerja non-ekonomi karena tidak remunerasi atau upah,” jelas Atnike. Jurnal Perempuan di tahun 2018 melakukan penelitian terkait persepsi publik terhadap kerja perawatan yang dimuat dalam JP 99 Perempuan dan Kerja Perawatan. Riset tersebut menggunakan metode pengumpulan data dengan survei nasional di 34 provinsi dan mengambil 2.041 dengan kategori IRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 9 kategori pekerjaan perawatan yang dilakukan IRT, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengurus anak hingga mengurus kebun. Penelitian ini juga menemukan bahwa rata-rata lama kerja IRT yakni 13,5 jam per hari, lebih besar dibandingkan survei ILO di tahun 2018 yang menyebutkan bahwa rata-rata perempuan di Asia Pasifik bekerja 7,7 jam per hari. Meskipun demikian, penelitian ini memperlihatkan minimnya penghargaan terhadap kerja perawatan oleh publik maupun perempuan itu sendiri. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil survei yang menyebutkan bahwa 21% responden IRRT menilai pekerjaan yang mereka lakukan layak diberikan upah 2-3 juta rupiah per bulan. Bila dibuat rata-rata keseluruhan responden maka rata-rata upah yang diasumsikan untuk kerja perawatan IRT ialah 2 juta per bulan. “Bila pekerjaan IRT tersebut didistribusikan pada PRT, tukang kebun, baby sitter, maka sesungguhnya nominal 2 juta rupiah tersebut sangat kecil sekali, bahkan lebih kecil dari rata-rata upah buruh perempuan nasional yakni sebesar 2,2 juta rupiah,” pungkas Direktur sekaligus Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan tersebut. Riset yang dilakukan Jurnal Perempuan menyimpulkan adanya kesenjangan antara beban kerja dan renumerasi kerja perawatan IRT di Indonesia. Ari Ujianto, Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menjelaskan bahwa isu PRT itu beririsan dengan identitas kelas, identitas gender, bahwa di beberapa negara identic dengan identitas ras. Ia menyebutkan bahwa berdasarkan data ILO bahwa di Indonesia terdapat 4,2 juta PRT. Namun ia sendiri yakin bahwa jumlah PRT di Indonesia lebih banya daripada temuan ILO. Ari menyebutkan, dalam konteks kerja perwatan yang dilakukan PRT, rata-rata upah yang mereka dapatkan hanya 25-35% dari upah minimun regional. Menurutnya penghargaan terhadap kerja perawatan dan perlindungan sosial PRT masih sangat rendah. “Meski bagi sebagian banyak orang PRT adalah pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian, namun pekerjaan PRT ini sangat identik dengan umur. Berdasarkan temuan Jala PRT mayoritas perempuan PRT berusia 20-35 tahun. Umur itu penting untuk mendapatkan pekerjaan PRT,” jelas Ari. Maria Lauranti, Country Director Oxfam Indonesia, mengatakan bahwa seharusnya pekerjaan perawatan tidak dianggap pekerjaan biasa. “Pemangku kebijakan sebagai arsitektur ekonomi bisa berperan salah satunya dengan menyediakan infrastruktur yang memadai untuk kerja perawatan. Contohnya, dengan ketersediaan sumber air yang lebih dekat, para pekerja rumah tangga dapat dipermudah aksesnya untuk mengambil air,” jelasnya. Menurutnya, saat infrastruktur dan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pelayanan pengasuhan anak dan ketenagakerjaan dikembangkan dengan keberpihakan terhadap perempuan, maka mereka akan lebih berdaya pada sektor sosial, ekonomi maupun politik dan ketimpangan bisa dikurangi. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga mengakui bahwa ada ruang kerja perempuan yang belum mendapat perhatian dari negara yakni kerja perawatan dan kerja sektor informal. Menurutnya pemerintah dan LSM perlu bekerja bersama untuk merumuskan indikator-indikator kerja yang belum diakomodir dalam perhitungan ekonomi makro ini. “Kementerian PPPA punya peran besar untuk upaya mendorong pengakuan pekerjaan perawatan di Indonesia. Pemerintah memerlukan data dan indikator tentang kontribusi pekerjaan domestik dan unpaid care work dalam ekonomi,” tuturnya. “Data yang dipaparkan menarik, dan saya kira penting bagi kita untuk membuat perhitungan valuasi dari kerja perawatan baik yang dilakukan ibu rumah tangga, anggota keluarga perempuan, maupun pekerja rumah tangga agar dapat terlihat seberapa besar kontribusi kerja perawatan ini terhadap perekonomian makro,” pungkas Wahyu Susilo Direktur Migrant Care yang juga menyampaikan pendapatnya dalam forum tersebut. (Andi Misbahul Pratiwi) Jumat, 17 Januari 2020, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta (STFT), PERSETIA (Perhimpunan sekolah-sekolah Teologi di Indonesia, Jurnal Perempuan, dan Perhimpunan Gereja Indonesia (PGI), menyelenggarakan Seminar dan Bedah Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis “Peran Pemuda dan Perempuan dalam Merawat Kebinekaan dan Mewujudkan Perdamaian” di aula STFT Jakarta. Acara ini menghadirkan Prof. Siti Musdah Mulia (Penulis Buku Muslimah Reformis, Ketua umum ICRP), Pdt. Septemmy Eucharistia Lakawa (Ketua STFT Jakarta), Dr. Atnike Nova Sigiro (Direktur Yayasan Jurnal Perempuan) sebagai pembicara dan Abdiel Fortunatus Tanias (MPH PGI) sebagai moderator. Pada pembukaan acara diskusi ini, Romo Haryanto (ICRP) memberikan sambutannya. Ia menjelaskan bahwa dengan membicarakan buku ini di STFT artinya kita sebagai masyarakat berhasil dan mampu melewati batas-batas yang kita ciptakan sendiri. “Buku yang ditulis Musdah Mulia diberikan judul ensiklopedia yang berarti mencakup begitu banyak aspek dan topik. Ensiklopedia tidak pernah diharapkan memberikan jawaban”, tutur Romo Haryanto. Lebih jauh, ia menuturkan bahwa melalui buku ini Musdah Mulia menawarkan sudut pandang yang tidak banyak disentuh orang yakni teologi feminis. Romo Haryanto mengungkapkan bahwa agama bukan hanya sebatas ritual tetapi studi bersama. Setelah sambutan dari Romo Haryanto, selanjutnya Pdt. Septemmy Lakawa mewakili civitas STFT Jakarta. Dalam sambutannya Pdt. Septemmy menegaskan bahwa pluralisme harus menjadi basis hidup berbangsa dan ia sangat mendukung kegiatan-kegiatan diskusi lintas agama seperti hari ini. Ia berharap STFT dapat menjadi ruang aman untuk membicarakan agama di Indonesia. Acara selanjutnya, yakni diskusi yang dimulai dengan paparan dari Prof. Musdah Mulia. Dalam paparannya secara khusus ia menjelaskan bukunya mulai dari penamaan, konsep yang digunakan, hingga topik pembahasan di dalam buku. “Buku ini adalah upaya memperkenalkan ajaran islam yang damai, yang sejuk, yang menekankan kepada pengharagaan kebinekaan. Memang tidak mudah, karena pandangan ini tidak mainstream”, jelas Musdah. Melalui buku ini, Musdah Mulia hendak menghadirkan pandangan keislaman yang membantu manusia dalam beragama agar menghindari proses dehumanisasi yang bertentangan dengan prinsip kemuliaan. Ia melanjutkan bahwa agama yang mengedepankan ajaran konservatif, intoleran dan radikal kerap menyadera harkat dan martabat manusia sehingga membawa kepada kehancuran peradaban. Sehingga menurutnya, penting bagi umat manusia untuk mendobrak konservatisme beragama. Lebih jauh, Musdah Mulia menjelaskan arti kata muslimah yang berakar dari kata al-salam, yang bermakna damai, tenang, aman, dan sejahtera. “Menjadi muslimah adalah kata kerja aktif bukan pasif. Menjadi muslimah artinya aktif merajut damai, mulai dari diri sendiri, dan bukan hanya untuk sesama muslim saja, tapi juga sesama manusia, bahkan semesta alam”, jelas Musdah Mulia. Ia melanjutkan bahwa definisi perempuan solehah yang digambarkan sebagai pasrah, tidak banyak bicara, itu adalah definisi yang keliru. Ia menegaskan bahwa menjadi muslimah yakni menjadi orang yang aktif, peduli, dan penuh empati terhadap kebaikan bersama. “Saya merumuskan muslimah berjihad adalah mereka yang meneggakan nilai-nilai keadilan dan kasetaraan yang menjadi esensi ajaran islam sekaligus pilar utama demokrasi dan pluralisme demi terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai spritual dan kemanusiaan”, jelas Musdah Mulia. Ia menjelaskan bahwa ada dua alasan dibalik lahirnya buku ini. Pertama, dilatarbelakangi karena kegelisahan pribadinya dalam melihat kondisi sosial di Indonesia yakni terjadinya distrupsi atau perubahan yang cepat dan drastis dalam kehidupan sosial. Hal tersebut menurutnya membawa pengaruh yang besar terutama dalam bidang agama. “Manusia semakin merasa teralienasi dan terpinggirkan sehingga tidak sedikit mengalami disorientasi dan kehilangan arah”, jelasnya. Alasan kedua Musdah Mulia dalam menerbitkan buku ini yakni karena meningkatnya konservatisme beragama yang dipengaruhi oleh masifnya ujaran kebencian dan berita bohong yang tersebar melalui media sosial. “Ledakan informasi yang mengandung konten hoax dan fitnah menciptakan politik identitas yang membuat polarisasi dalam masyarakat. Hal tersebut menimbulkan konflik kegamaan yang berkepanjangan. Hasil survey anak-anak muda kita lebih intoleran daripada generasi sebelumnya”, jelas Musdah. Rujukan utama dalam buku ini adalah konsep tauhid. Musdah menjelaskan bahwa konsep tauhid mengajarkan manusia untuk tunduk hanya kepada Tuhan. Dengan konsep ini maka manusia akan dapat sama-sama membangun peradaban dengan damai karena kesadarannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. “Bagi saya dengan pemaknaan tauhid semua orang akan dapat berjuang atau berjihad melawan kekerasan dan diskriminasi di muka bumi”, jelas Musdah. Buku ini dimulai dengan visi penciptaan manusia, yakni penjelasan tentang manusia agen moral. “Laki-laki dan perempuan adalah khalifah yang artinya pemimpin atau pengelola. Sehingga kita harus menjadi manusia yang mampu mengelola kehidupan di bumi untuk kebaikan semua makhluk”, tutur Musdah. Ia melanjutkan bahwa Islam mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan kepada manusia, dan mengajak manusia untuk berjuang menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan. Buku ini menggunakan perspektif islam sebagai agama rahmatan lil alamin. “Ajaran islam mengedepankan cinta kasih dan akomodatif. Rahmatan lil alamin adalah ajaran islam yang humanis, ajaran islam yang mendorong keluarga yang damai dan sejahtera, ajaran islam yang inklusif dan menjunjung nilai pluralis, ajaran islam yang peduli kemanusiaan”, tegas Musdah. Buku ini terdiri dari 16 bagian, yang masing-masing bagiannya memiliki perspektif teologi feminis. Tema-tema dalam buku ini yakni, pendidikan, membentuk keluarga melalui perkawinan, membangun keluarga berencana, poligami menghambat keluarga harmonis, mengapa memilih sistem demokrasi, menegakkan HAM, hak asasi anak, hak asasi perempuan, sulitnya mewujudkan prinsip kesetaraan gender, membangun kekuasaan politik yang ramah perempuan, melawan radikalisme dan terorisme, melindungi hak kebebasan beragam, berjuang menghapus kekerasan, berjihad merajut perdamaian, menawarkan humanis-feminis, merumuskan dakwa transformatif. Setelah penjelasan dari Musdah Mulia terkait isi bukunya. Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan) memberikan tanggapannya atas buku Ensiklopedia Muslimah Reformis. Atnike mengatakan bahwa topik yang ditulis Musdah Mulia dalam bukunya sangat beragam, sehingga layak diberikan nama ensiklopedia. “Ibu musdah menuangkan pertanyaan dan pengalaman ibu Musdah sebagai muslimah. Buku ini adalah buku feminis yang mengambil standpoint perempuan. Buku memaknai dan mempertanyakan segala sesuatu sebagai perempuan dan masyarakat”, jelas Atnike. Atnike melanjutkan bahwa dalam buku ini, pembahasannya tidak melulu menyoal topik spesifik perempuan, artinya Musdah Mulia sebagai perempuan tidak hanya berkutat pada persoalan dirinya saja, tetapi juga dirinya sebagai bagian dari situasi yang lebih luas yakni sebagai warga negara. Menurut Atnike, buku ini tidak hanya relevan terhadap umat muslim tetapi juga agama lain. Sebab dalam buku ini juga dimuat refleksi tentang hubungan umat islam dengan agama lain dalam konteks Indonesia. Lebih jauh, Atnike menjelaskan bahwa salah satu kritik feminisme terhadap agama ialah dominasi laki-laki dalam tafsir teks keagamaan. Sehingga menurut Atnike, buku Musdah Mulia memberikan cara pandang baru terhadap agama yang lebih humanis dan feminis. Atnike juga mengapresiasi keberanian Musdah Mulia untuk membicarakan dan bahkan mengkritik tafsir agama yang bias melalui buku ini. Atnike menjelaskan bahwa di dalam feminisme ada dua cara pandang feminisme dalam memandang agama. Cara pandang yang pertama yakni yang memandang agama sebagai objek di luar dirinya. Studi semacam ini khususnya berkembang di pemikiran barat. Kedua, yang tidak menempatkan agama sebagai objek di luar dirinya, tapi justru meleburkan feminisme ke dalam diskursus agama itu sendiri. Menurut Atnike, Musdah Mulia ada pada cara pandangan yang kedua, yakni tidak menarik batas antara agama dengan dirinya. Dalam proses tersebut, Musdah Mulia membangun narasi yang feminis dan humanis. Atnike menjelaskan bahwa pada bagian yang membahas tentang poligami, Musdah Mulia menggunakan literatur agama, pengalaman sejarah, dan pengalaman politik di negara lain, serta konsep-konsep keadilan gender. “Dalam buku ini kita bisa lihat bahwa agama bukan sesuatu yang statis, dia dipengaruhi manusia dalam sejarah”, jelas Atnike. Pembahasan dalam bab poligami ini, menurut Atnike, memperlihatkan adanya perubahan dalam agama yang terjadi karena adanya agensi dari manusia. “Ibu Musdah mengembangkan suatu teologi feminis, yakni menggunakan agama sebagai pandangan hidup, dan juga membangun pandangan yang berkeadilan secara bersamaan”, jelas Atnike. Atnike melihat buku ini menawarkan beberapa hal yakni pandangan tentang relasi agama dan perempuan, relasi agama dan masyarakat, dan kehidupan agama masyarakat Indonesia. Buku ini juga menawarkan ruang emansipasi dengan membuka ruang berpikir tentang agama yang humanis dan nasionalis. Pdt. Septemmy dalam paparannya menjelaskan bahwa buku ini berdimensi lintas iman. Menurutnya buku ini berusaha melawan proses hegomi identitas kolektif yang pedekatannya menisbikan feminsme dalam islam. Melalui buku ini saya diyakinkan oleh Musdah Mulia bahwa menjadi muslimah juga adalah menjadi Indonesia. “Musdah Mulia dalam buku ini mengafirmasi identitas kolektif yang multidimensi”, jelas Pdt. Septemmy. Lebih jauh ia menegaskan bahwa pluralitas dalam komunitas agama adalah penting. “Secara khusus, dalam pembahasan terkait Pancasila saya melihat bu Musdah sabar menjelaskannya khususnya dalam diskusi tentang islam dan demokrasi”, jelas Pdt. Septemmy. Bagi Pdt. Septemmy buku ini adalah tulisan perempuan beriman dan nasionalis. Secara khusus, Pdt. Septemmy menjelaskan bahwa penting untuk memasukkan cerita-cerita muslimah reformis di akar rumput sehingga tergambar jelas dan terbukti bahwa sosok muslimah reformis itu sungguh ada. Pdt. Septemmy yakin bahwa lembaga Pendidikan sangat strategis sebagai sumber agen perubahan. Ia menjelaskan bahwa perubahan yang transformatif adalah bagian dari kegiatan keagamaan dan pendidikan. “Gereja yang diperbaharui mesti memperbaharui dirinya seturut dengan firman Allah”, jelas Pdt. Septemmy. Lebih jauh Pdt. Septemmy menjelaskan bahwa prisnip dalam kristen ialah perubahan harus berakar pada firman, artinya perubahan tentang cara pandang haruslah berakar pada yang tekstual. Di agama Kristen dikenal konsep metanoya, yang artinya berputar 180 derajat. “Pendidikan itu artinya kita berubah total kearah yang lebih baik. Metanoya adalah pertobatan, kembali menghadapi kepada Tuhan. Caranya kita menghadap pada tuhan yaitu tertunduk”, jelas Pdt. Septemmy. Menurutnya perubahan bukanlah antitesis dari agama. Pdt. Septemmy menjelaskan bahwa Hermenetuika teologi feminis di Indonesia harus ada dan tidak bisa melepaskan diri dari konteks Indonesia. Ia menutup dengan pernyataan bahwa buku Ensiklopedia Muslimah Reformis adalah personifikasi dari diskursus resistensi. Diskusi ini dihadiri oleh akademisi, aktivis kemanusiaan, agamawan dan mahasiswa di STFT Jakarta. Diskusi berjalan dengan interaktif dan informatif. (Andi Misbahul Pratiwi) Salam pencerahan dan kesetaraan! Setelah terbit sejak tahun 1996, tahun 2019 Jurnal Perempuan telah mencapai edisi ke-100 (JP 100). JP 100 yang berjudul Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia, berusaha merefleksikan pemikiran dan gerakan perempuan di Indonesia selama duapuluh tahun terakhir, khususnya pasca Reformasi 1998. Beberapa kebaruan telah dicapai gerakan perempuan Indonesia, salah satunya adalah pengakuan negara atas kekerasan dalam rumah tangga sebagai sebuah kejahatan, yang diatur dalam Undang-undang No. 2003 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kebaruan lain yang dicatat dalam JP 100 adalah pengakuan terhadap hak-hak politik perempuan, melalui kuota pencalonan legislatif perempuan dalam undang-undang Pemilihan Umum sejak tahun 2003. Tahun 2019 merupakan tahun politik, tahun dimana prinsip-prinsip sebuah negara demokrasi dijalankan melalui penyelenggaraan pemilihan umum. JP 101 mengangkat judul Perempuan dan Demokrasi. Meski Pemilu di Indonesia telah mengatur kuota pencalonan perempuan dalam Pemilu legislatif, namun gerakan perempuan dalam demokrasi elektoral masih menghadapi tantangan. Pemilu yang berbiaya tinggi, serta pragmatisme/ oportunisme politik yang oligarkis, baik di tingkat nasional maupun daerah, menyebabkan terabaikannya agenda keadilan gender dalam sistem kepartaian, selain sebatas keperluan memenuhi kuota administratif dalam Pemilu. Politisi perempuan masih menghadapi kultur politik yang maskulin, baik di dalam partai maupun badan legislatif. Tahun 2019 juga perlu dicatat sebagai tahun perjuangan kaum perempuan Indonesia, khususnya dalam mendorong pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Tahun 2019 juga diisi dengan gerakan perempuan, bersama dengan mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil, dalam mengkritik RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang di dalamnya memasukkan pasal-pasal yang berpotensi merentankan perempuan, salah satunya terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi. Untunglah RUU KUHP ini kemudian ditunda pengesahannya. Kesehatan perempuan secara khusus diangkat dalam JP 102 Perempuan dan Kesehatan. Berbagai isu terkait kesehatan perempuan, mulai dari persoalan kesehatan reproduksi, kematian ibu, hingga kanker payudara diangkat dalam edisi ke-102 ini. Hingga kini, nilai dan unsur budaya di dalam masyarakat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sikap masyarakat dan kebijakan pemerintah terhadap kesehatan perempuan. Pemahaman pembuat dan pelaksana kebijakan terkait kesehatan perempuan masih kurang memahami keragam konteks budaya, ekonomi, sosial, dan geografis yang dihadapi oleh perempuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Meski gerakan perempuan di Indonesia telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, namun perlu disadari bahwa diskursus seputar hak-hak perempuan dan keadilan gender masih lebih banyak berfokus pada isu perempuan urban dan berpusat pada Jakarta, atau sedikit lebih luas terfokus pada pulau Jawa. JP 103 tentang Agensi Perempuan Pedesaan, mengangkat pengalaman kaum perempuan di wilayah pedesaan di berbagai wilayah, seperti Aceh, Bengkulu, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Perempuan di berbagai wilayah Indonesia, menghadapi persoalan yang berbeda-beda. Namun, di setiap wilayah tersebut, perempuan masih menghadapi persoalan yang sama, yaitu ketimpangan gender, kemiskinan, dan eksklusi sosial. Tim Redaksi Jurnal Perempuan mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung kami di tahun 2019 ini. Terimakasih kami sampaikan kepada MAMPU (Kemitraan Australia – Indonesia untuk Kesetaraan Gender), Ford Foundation, Kemitraan, dan The Asia Foundation. Secara khusus kami berterimakasih kepada para penulis/ peneliti yang telah menyumbangkan karyanya bagi Jurnal Perempuan, kepada para Mitra Bestari dan Dewan Redaksi. Kami juga berterimakasih sebesar-sebesarnya kepada para Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) yang mempercayai dan mendukung kami melalui dukungan publik. Demikian juga terimakasih kami kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu demi satu. Tahun 2019 penuh dengan tantangan bagi perempuan Indonesia. Masih terlalu banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang belum memperoleh keadilan. Feminisasi kemiskinan masih membayangi kaum perempuan. Sistem dan budaya politik pun masih menjadi tembok besar bagi partisipasi penuh perempuan. Namun, posisi subordinat perempuan, tidak serta merta mematikan agensi perempuan. Keempat edisi Jurnal Perempuan di tahun 2019 ini memperlihatkan tidak hanya resiliensi perempuan, tetapi juga bentuk agensi perempuan. Melalui agensinya, kaum perempuan di Indonesia dapat melampaui subordinasi melalui strategi-strategi yang bersifat lokal dan kontekstual. Tahun 2019 telah diisi oleh berbagai agensi perempuan, perempuan korban kekerasan seksual, perempuan pejuang HAM, perempuan petani dan nelayan, politisi perempuan, dan lainnya, yang berusaha mendobrak sistim dan budaya kekerasan dan ketimpangan berbasis gender, sistim patriarki. Tahun 2019 adalah tahun agensi perempuan Indonesia! Jakarta, 31 Desember 2019 Atnike Nova Sigiro Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |