Gerakan 1000 Serbet PRT: Mendesak DPR Segera Membahas dan Mengesahkan RUU Perlindungan PRT5/10/2020
Jakarta, Minggu (4/10) Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga yang lebih dikenal dengan sebutan JALA-PRT mengadakan kegiatan aksi Gerakan 1000 Serbet PRT. Kegiatan yang dilakukan secara virtual melalui platform digital Zoom tersebut diikuti sekitar 200 orang dari berbagai kalangan mulai dari aktivis perempuan, tokoh agama, akademisi, jurnalis media, buruh dan perwakilan PRT di berbagai daerah dan juga PRT migran di luar negeri (Singapura, Malaysia, Hong Kong dan Taiwan). Gerakan 1000 Serbet ini merupakan rangkaian dari kegiatan advokasi untuk mendesak agar DPR segera melanjutkan pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan juga mengesahkannya sebagai RUU Inisiatif DPR. Selain konferensi pers dan aksi kampanye secara virtual, JALA-PRT juga mengirimkan surat terbuka berisi dukungan 179 organisasi dan 1636 individu kepada DPR, melakukan diskusi dengan tokoh-tokoh lintas agama dan sebagai puncaknya akan mengirimkan 9 serbet kepada DPR menjelang paripurna mendatang. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga telah terkatung-katung cukup lama. Tidak kurang dari tiga periode dewan telah berlalu sejak RUU PPRT masuk dalam program legislasi nasional. Namun setelah 16 tahun, pembahasan tidak kunjung berlanjut dan seolah digantung tanpa ada kejelasan kapan akan dibahas kembali. Pada periode dewan yang lalu, RUU PRT sudah melalui pembahasan di badan legislasi dan hanya perlu didorong untuk dibawa ke paripurna untuk kemudian menuggu penjadwalan di badan musyawarah. Namun tahapan tersebut tidak pernah terjadi. Koordinator JALA-PRT, Lita Anggraini mengakui bahwa RUU PPRT sarat dengan konflik kepentingan dari pembahas--sebagai pihak pemberi kerja--yang khawatir kehadiran RUU PPRT akan mengubah relasi antara pekerja rumah tangga dengan pemberi kerja yang sudah ajeg selama ini (status quo). “Selama ini banyak isu yang beredar mengenai substansi RUU PPRT, seperti bahwa dalam RUU, nantinya PRT hanya mau mengerjakan satu pekerjaan, atau bahwa PRT menuntut upah yang disamakan dengan UMR,” ujar Lita. Menurutnya hal-hal semacam itu perlu diluruskan. RUU PPRT yang didorong kelompok masyarakat sipil bermaksud agar ada payung hukum yang menjadi dasar pengakuan terhadap profesi pekerja rumah tangga. Dengan demikian pekerja rumah tangga baik domestik dan migran, yang jumlahnya mencapai lima juta orang dan sebagian besarnya adalah perempuan, terlindungi secara hukum. “RUU PPRT ini nantinya tidak hanya akan melindungi lima juta pekerja rumah tangga, tetapi juga memberi perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi kerja,” Lena Maryana Mukti, Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) menambahkan. Lena yang pernah menjabat sebagai anggota DPR melalui pergantian antar waktu pada periode lalu juga mengimbau kepada rekan-rekannya anggota DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR. Lena menyampaikan bahwa peran PRT tidak hanya membantu perempuan dan laki-laki dalam pekerja domestik mereka, tetapi juga turut berkontribusi dalam membantu pertumbuhan ekonomi. Pendapat serupa juga disampaikan Ketua Umum KOWANI Giwo Rubianto dalam pernyataan dukungannya. “Kami memohon dengan sangat kepada DPR untuk segera mengagendakan RUU PPRT dalam rapat paripurna terdekat. RUU PPRT sebagai bentuk perlindungan negara tidak hanya terhadap PRT tetapi juga pemberi kerja,” ujar Giwo. KOWANI--yang banyak anggotanya merupakan pihak pemberi kerja--selama ini turut aktif menyuarakan perlunya kehadiran RUU PPRT. Dalam tuntutannya, perwakilan PRT yang terhimpun dalam serikat-serikat pekerja rumah tangga maupun organisasi pekerja rumah tangga di berbagai daerah seperti Sumatera Utara, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Semarang, DIY, dan DKI Jakarta menyampaikan permohonannya agar DPR segera mengesahkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna mendatang. Dukungan untuk disahkannya RUU PPRT datang dari berbagai organisasi PRT migran yang berada di luar negeri. Persatuan Pekerja Rumah Tangga Migran (PERTIMIG) di Malaysia menyampaikan bahwa selama ini PRT migran menjadi korban TPP dan bentuk kekerasan maupun pelanggaran hak pekerja lainnya. “Perlindungan terhadap PRT migran dimulai dari perlidungan terhadap PRT di dalam negeri,” demikian disampaikan Erma Wati dari PERTIMIG. Hal senada juga disampaikan Komunitas Pekerja Migran yang berada di Taiwan (GANAS). Fajar dari GANAS Taiwan menyampaikan bahwa selama ini belum ada payung hukum terhadap PRT di negara penempatan, karena itu RUU PPRT penting untuk perlindungan terhadap PRT domestik dan migran. “Negara jangan hanya berteriak ‘negara hadir’ jika hanya untuk kepentingan devisa yang diperoleh dari PRT migran. Negara juga harus hadir memberi perlindungan kepada PRT migran. Bagaimana bisa melindungi PRT migran jika di dalam negeri saja tidak ada perlindungan hukum terhadap PRT,” ujar Fajar. (Dewi Komalasari) Perjalanan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) sudah terkatung-katung hampir lima tahun sejak masuk Prioritas Prolegnas Tahun 2016-2019 dan masuk kembali menjadi Prioritas Prolegnas DPR RI 2020-2024. Namun pada 2 Juli 2020, Badan Legislasi DPR RI mengeluarkan RUU PKS dari dari Prolegnas Prioritas 2020 berdasarkan keputusan Komisi VIII DPR RI selaku pembahas RUU P-KS selama ini. Sehingga proses advokasi dan pengawalan RUU P-KS ini harus dimulai lagi agar RUU ini masuk kembali ke dalam daftar Prioritas Prolegnas Tahun 2021.
Keputusan DPR menuai reaksi kekecewaan dari korban, keluarga korban, pendamping dan masyarakat pemerhati hak-hak perempuan korban kekerasan seksual.Karena RUU P-KS menjadi harapan yang tertinggi dari masyarakat agar menjadi solusi dari persoalan kekerasan seksual yang selama ini terus terjadi dan membuat setiap orang berpotensi menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual. Hal lain yang membuat RUU P-KS mendesak untuk segera diproses dan disahkan adalah meningkatnya data kasus kekerasan seksual di Indonesia. Data Komnas Perempuan mencatat 406,178 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2019, dimana kasus Kekerasan Seksual di ranah publik 2521 kasus dan di ranah privat 2988 kasus. Kekerasan seksual juga di alami oleh perempuan dengan disabilitas, anak, lansia dan perempuan dengan HIV/AIDS. Data Forum Pengada Layanan (FPL) tahun 2020 yang dihimpun dari 25 organisai lembaga layanan, menyatakan bahwa selama pandemi Covid-19, terdapat 340 kasus kekerasan seksual. Hari ini kekerasan seksual juga semakin beragam modusnya, sehingga kebijakan dan aturan hukum yang ada saat ini tidak mampu menjawab dan memenuhi rasa keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dampaknya 10 % kasus kekerasan seksual tidak bisa diproses hukum. Sembilan bentuk kekerasan seksual belum semuanya dikenali dalam KUHP dan UU lainnya. KUHAP belum mengatur secara khusus hak perlindungan korban dan pembuktian masih menjadi beban korban yang telah terpuruk karena tindakan kekerasan yang dialami. Praktik budaya dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual yang berdampak pada reviktimisasi korban dan melangengkan praktik kekerasan seksual masih terjadi di Indonesia (seperti Papua, NTT dan Sulawesi). Kondisi ini tidak dapat di ubah jika kebijakan nasional tidak mengintervensi. Untuk mendorong pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan, pemulihan, dan penanganan, kami mendorong DPR RI untuk membahas RUU P-KS agar kembali menjadi Undang-Undang prioritas pada PROLEGNAS 2021 yang harus di bahas dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 9 Oktober 2020 mendatang. Untuk itu Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU P-KS :
Jakarta, 1 Oktober 2020 Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Lembaga
Individu
Narahubung Fathurozi +6281325693404 Venni Siregar +6283893445587 Khotimun Susanti +6281212210141 Rena Herdiyani +628129820 Mike Verawati +6281332929509 Kamis (1/10), Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kembali mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk ke Prolegnas Prioritas 2021--yang akan dibahas pada Oktober ini. Dalam penyampaian seruan tersebut masing-masing perwakilan masyarakat sipil memaparkan fakta persoalan kekerasan seksual dan mendesak pembahasan RUU ini di DPR.
Hingga saat ini, korban kekerasan seksual masih menghadapi jalan buntu karena berbagai kendala dalam sistem hukum, baik substansi, struktur, dan budaya hukum yang belum mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman korban kekerasan seksual. Sistem pencegahan, penanganan, dan ketersediaan layanan dukungan lainnya belum optimal melindungi perempuan dan kelompok yang rentan menjadi korban karena tidak ada payung hukum yang memadai. Di sisi lain, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020 DPR-RI. Hal inimenimbulkan kekecewaan bagi masyarakat sipil karena makin tertundanya payung hukum yang sangat dibutuhkan korban. Fauzi (perwakilan Forum Pengada Layanan/FPL) menyatakan bahwa RUU PKS penting bagi seluruh warga negara Indonesia. Fauzi menambahkan, berdasarkan Catatan FPL tahun 2017-2020 dari 5167 Kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima FPL, sekitar 2000 kasus adalah kasus kekerasan seksual. Laporan tersebut menunjukkan bahwa 9 jenis kekerasan yang telah dirumuskan dalam RUU PKS--yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual-- dialami oleh kelompok perempuan. “Hingga saat ini para korban sulit mendapatkan keadilan dan tidak jarang di antara mereka (para korban) malah dipersekusi, distigma, didenda, dan dikriminalisasi,” pungkas Fauzi. Revita Alvi (Sekretaris HWDI Nasional), memparkan berbagai bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan dan pemaksaan kontrasepsi yang dialami kelompok disabilitas. “Kelompok difabel tidak mendapatkan perlindungan hukum, saat ini akses layanan hukum bagi perempuan penyandang disabilitas masih sangat terbatas, ini yang membuat semakin lemahnya perlindungan hukum bagi mereka,” jelasnya. Haryanto (perwakilan Serikat Buruh Migran Indonesia/SBMI) menyatakan bahwa RUU PKS sangat dibutuhkan perempuan PRT migran dan perlu dijadikan prioritas legislasi saat ini. Dari hasil pemetaan SBMI, Haryanto menjelaskan bahwa ada 3 kluster kekerasan seksual yang dialami oleh PRT migran, yakni kekerasan sebelum keberangkatan, saat bekerja, dan saat kembali ke negara asal. Menurut Haryanto, PRT migran yang mayoritas adalah perempuan ini mengalami beragam bentuk kekerasan saat pengurusan dokumen dan di bandara. Lebih jauh, berdasarkan data dampingan SBMI masih terjadi kekerasan fisik dan seksual seperti perkosaan--baik oleh majikan maupun warga negara asing di tempat kerja PRT migran. Tragisnya korban perkosaan justru mendapatkan stigma dari keluarga, petugas desa, dan masyarakatt. Saat kembali ke negara asal perempuan PRT migran juga sering mengalami kekerasan di perjalanan. “Oleh sebab itu SBMI melihat bahwa RUU PKS akan memberikan keadilan bagi korban, adanya perspektif penangan yang baik, adanya layanan khusus korban KS di luar negeri,” tutur Haryanto. Nur Khasanah (Perwakilan JALA PRT), menyatakan bahwa perempuan PRT juga banyak yang mengalami KS di tempat kerja--baik oleh majikan laki-laki dan anak laki-laki. “Banyak ditemui kasus bahwa kawan PRT mendapatkan pelecehan seksual dari majikan tetapi ia tidak berani mengadukan adanya relasi kuasa dan takut mengadukan karena tidak adanya saksi,” jelas Nur. Mery Christin (wakil Perempuan AMAN, Sulawesi Tengah), menyatakan bahwa penanganan kekerasan seksual di Sulawesi Tengah masih mengalami jalan buntu sebab penyelesaian kasus hanya pada tahap lembaga adat. Sementara menurutnya, penyelesaian adat tidak memberikan keadilan bagi korban. Tantangan lain yang dihadapi oleh kelompok Perempuan AMAN adalah keterhambatan untuk akses hukum dan informasi seputar kekerasan seksual. Mike Verawati (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia), melihat bahwa penting agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini segera dibahas dan disahkan sebab angka kekerasan seksual terus meningkat begitu juga modus kekerasannya yang terus berkembang. Dalam kesempatan tersebut Mike mengajak kita semua untuk membuat narasi tandingan bagi gagasan-gagasan yang menolak RUU ini. “Kehadiran RUU ini penting untuk menjamin rasa keamanan bagi semua,” tegas Mike. Fanda Puspitasari (wakil organisasi anak muda), menyatakan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja dan dapat menimpa siapa saja. Pada kelompok muda, kekerasan banyak terjadi di media sosial, salah satunya berupa komentar cabul. Fanda memaparkan bahwa berdasarkan data Komnas Perempuan tingkat cyber crime meningkat dari tahun 2018 -2019, yaitu 257 kasus kekerasan siberdi tahun 2019. Kekerasan berbasis siber adalah model baru yang belum memiliki penanganan yang jelas. Lebih jauh, Fanda memaparkan bahwa kekerasan seksual di perguruan tinggi juga dialami kelompok muda. Namun sayangnya, relasi kuasa dan ketidakberpihakan kampus pada korban, membuat banyak kasus KS yang tidak direspons secara serius. “Persoalan lain yang banyak dihadapi oleh kalangan muda adalah kekerasan dalam pacaran. Melihat realitas yang ada maka kehadiran RUU PKS ini sangat penting bagi generasi muda,” tuturnya. Valentina Sagala (Tim Substansi Jaringan Masyarakat Sipil untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan pendiri Institut Perempuan) mengatakan bahwa basis dari RUU ini adalah menuntut negara hadir untuk mencegah, mengatasi, dan memulihkan dampak kekerasan seksual, baik kepada korban, pelaku maupun masyarakat. Dengan demikian pengesahan RUU ini penting untuk menjamin keadilan bagi korban. Dalam kesempatan tersebut, seluruh perwakilan kelompok menyatakan desakannya agar RUU PKS segera dibahas dan disahkan. Menurut kelompok jaringan, selama RUU ini tidak disahkan, maka pelanggaran HAM terutama bagi korban kekerasan seksual akan terus terjadi dan angka kasus akan terus meningkat. RUU ini penting untuk semua sebab tidak hanya perempuan yang bisa menjadi korban, tetapi juga anak laki-laki dan semua orang. (Abby Gina) Jumat (02/10) Cakra Wikara Indonesia (CWI) menyelenggarakan diskusi dengan tema "Membincangkan Urgensi RUU Ketahanan Keluarga dari Perspektif Hukum, Sejarah, dan Islam" via aplikasi zoom. Acara ini menghadirkan Lidwina Inge Nurtjahyo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Ruth Indiah Rahayu (Inkrispena), dan KH. Imam Nahe'I (Komisioner Komnas Perempuan) sebagai pembicara dan Dirga Ardiansa (Cakra Wikara Indonesia) sebagai moderator. Anna Margret, selaku Direktur CWI dalam pengantarnya menyampaikan bahwa RUU Ketahanan Keluarga telah menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk organsiasi masyarakat sipil, gerakan perempuan, dan pegiat HAM. Meski demikian, RUU Ketahanan Keluarga terus dibahas di legislatif. “Dalam RUU ini, pembangunan ketahanan keluarga dibutuhkan untuk menghindari kerentanan keluarga yang disusun dalam rencana induk pemerintah pusat. Artinya dalam konteks ini negara diposisikan sebagai penanggung jawab secara hierarkis terhadap tata kelola keluarga,” jelas Anna. Anna melanjutkan bahwa dalam sejumlah riset CWI sejak tahun 2017 tentang partisipasi dan kepemimpinan politik perempuan di ranah legislatif, pemerintahan daerah, dan birokrasi ada persamaan pola terkait keluarga. “Dari hasil wawancara dengan perempuan potensial di tiga ranah politik, kata ‘keluarga’ muncul sebagai sumber dukungan utama bagi perempuan, sementara lainnya merasa keluarga menjadi sumber tantangan dalam alokasi kerja domestik di dalam rumah,” jelas Anna. Dengan demikian menurut Anna, dinamika yang terjadi di dalam keluarga memengaruhi perempuan dalam keputusan-keputusannya di ruang publik. Sebagai sebuah lembaga riset yang bergerak di isu hak asasi perempuan dan politik, CWI melihat ada urgensi untuk mengupas tuntas urgensi RUU Ketahanan Keluarga ini dalam tiga perspektif yakni hukum, sejarah, dan islam. Lidwina Inge Nurtjahyo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dalam paparannya menjelaskan secara detail persoalan pasal per pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga dengan lensa hukum kritis. Lensa tersebut memeriksa sekaligus menguji RUU tersebut dengan beberapa pertanyaan kritis yakni: Apa filosofi yang dipakai saat pembentukan suatu produk hukum? Apakah produk hukum mengakomodir prinsip-prinsip HAM? Bagaimana negara memposisikan perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat (jenis kelamin, ras, gender, ekonomi, budaya)? Apakah peletakan posisi hukum merugikan kelompok tertentu? Apakah produk hukum mengakomodir pengalaman yang beragam? Implikasi apa yang akan dialami perempuan Indonesia jika RUU ini disahkan? Berangkat dari lensa hukum kritis, Lidwina Inge Nurtjahyo menemukan beberapa masalah dalam aspek pertimbangan. Pertama, RUU ini tidak merujuk pada peraturan sebelumnya tentang keluarga. Kedua, RUU ini tidak menyebutkan salah satu persoalan kerentanan keluarga yakni kekerasan domestik. Ketiga, RUU ini tidak merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang perlindungan HAM yang mengusung anti diskriminasi dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW. Pada pasal 1 butir 2 RUU Ketahanan Keluarga, menurut Inge ada kekeliruan logika bahasa hukum yakni dalam kata “perkawinan” dan “keluarga sedarah”. Menurut Inge, dalam konteks Indonesia, konsep ini tidak bisa diterapkan. Contohnya: 1) ketika seorang paman atau bibi yang mengasuh keponakannya dan menjadikannya keluarga; 2) banyak keluarga yang tidak lengkap (tidak terdiri dari ayah, ibu, dan anak). “Keragaman bentuk keluarga di Indonesia dinafikan dalam RUU Ketahanan Keluarga ini, ada logika hukum yang locat,” jelas Inge. Pada pasal 1 butir 5, terdapat inkonsistensi konsep keluarga dan adanya penyempitan makna keluarga yang sudah disebutkan pasal 1 butir 2. Dalam butir 5 disebutkan bahwa keluarga berkualitas dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah. Inge mengkritisi teks tersebut, sebab menurutnya ukuran sah atau tidaknya sebuah perkawinan sangat beragam di Indonesia, yakni negara, agama, dan adat. Lebih jauh, catatan kritis Inge yakni pada pasal 2 butir c yang menggunakan kata pencegahan sebagai asas. “Asas pencegahan adalah bahwa pembangunan ketahanan keluarga harus mengutamakan upaya pencegahan munculnya kerentanan keluarga. Hukum yang mengikat secara luas tidak boleh didasarkan pada asumsi,” jelas Dosen Fakultas Hukum UI tersebut. Pasal-pasal lainnya yang dikritik oleh Inge yakni: 1) Pasal 9 tentang pengaturan psikologis dan emosi yang tidak dikaitkan dengan UU Kesehatan, UU PKDRT, dan UU Perlindungan Anak; 2) Konsep kemampuan anggota keluarga dalam pasal 9 yang hanya melingkupi perempuan, anak, dan lansia, tetapi tidak pada laki-laki yang diposisikan sebagai kepala keluarga. 3) Pasal 14 huruf c dinilai ambigu dan seharusnya ada pengaturan khusus terkait kekerasan seksual di ruang domestik secara umum. Lebih jauh menurutnya, guna membangun ketahanan keluarga diperlukan pendidikan hak reproduksi dan pendidikan anti kekerasan seksual. Namun sayangnya konsep-konsep tersebut tidak termuat dalam RUU Ketahanan Keluarga. Menurut Inge, RUU tersebut juga terlalu ambisius mengatur semua hal termasuk menyoal data privasi keluarga yang memungkinkan dapat diakses pihak ketiga. Baginya, RUU tersebut bermasalah secara konseptual dan tidak mengakomodir keberagaman konteks kelaurga di Indonesia. Dalam simpulannya, Inge menekankan bahwa negara tidak seharusnya melakukan pengaturan ke ranah privat atas dasar asumsi kerentanan keluarga karena justru akan melahirkan pelanggaran HAM. “Kalau ada pelanggaran HAM seperti KDRT ya negara boleh masuk,” tegas Inge. Ruth Indiah Rahayu (Inkrispena) dalam pemaparannya menjelaskan bahwa RUU Ketahanan Keluarga melanjutkan kembali ideologi pengibuan pasca orde baru. Menurutnya, kontrol negara terhadap keluarga dan tubuh perempuan bukan sesuatu yang baru dalam sejarah dunia maupun Indonesia. “Pengaturan keluarga erat kaitannya dengan kekuasaan politik,” tegas Ruth. Ruth menjelaskan bahwa kontrol negara terhadap keluarga bisa ditemukan dalam sejarah, khususnya di abad 20 pada masa fasisme Mussolini Italia dan Hitler di Jerman. Pada saat partai fasis tegak di italia, yang ditata paling pertama adalah keluarga--dengan menggunakan terminologi keluarga inti tradisional. Pada masa itu, perempuan dijadikan mesin untuk memperbanyak generasi baru partai fasis. Dengan memperbanyak populasi maka akan ada kemungkinan untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Pada masa itu negara juga membatasi pekerjaan perempuan dan dipaksa menikah cepat—jika pada umur tertentu perempuan belum menikah maka akan didenda. Tidak jauh berbeda dengan fasisme Italia, Ketika Hitler berkuasa di Jerman yang paling pertama ia lakukan adalah mempromosikan konsep keluarga tradisional, menerapkan pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Perempuan diharuskan melayani laki-laki dan memproduksi keturunan untuk mengamankan masa depan ras Arya. Ruth menambahkan bahwa militer Jepang juga memobilisasi keluarga pada masa penjajahan di Indonesia. Mereka menerapkan ideologi pengibuan di tanah jajahan dengan melakukan pembagian kerja seksual yang eksploitatif terhadap perempuan. Laki-laki Indonesia berperan menyiapkan logistik perang dan perempuan membuat pakaian tentara Jepang. Sedangkan perempuan yang berlum menikah dijadikan Jugun Ianfu (sistem perbudakan seksual masa penjajahan Jepang). Ruth menjelaskan bahwa ideologi pengibuan zaman penjajahan Jepang tersebut diadopsi oleh rezim otoritarian Orde Baru dalam rangka membangun kekuasaannya. Rezim Orde Baru melakukan depolitisasi partai politik dan organsiasi massa serta menata organisasi perempuan agar tidak aktif berpolitik. “Pada masa Orba perempuan diarahkan untuk mengatasi perkembangan populasi melalui program keluarga berencana dan norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS),” ungkapnya. Ruth menjelaskan bahwa ideologi pengibuan di masa fasisme Italia, fasisme Jerman, penjajahan Jepang, dan Orde Baru berakar pada mitos adam hawa sebagai asal mula penciptaan manusia--yang kemudian melahirkan ideologi patriarki. Menurut Ruth, RUU Ketahanan Keluarga adalah wujud nyata dari ideologi pengibuan yang meletakkan segala akar permasalahan keluarga pada perempuan bukan pada fakta adanya ketimpangan gender. Pada simpulannya, Ruth menyebutkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga: 1) sasarannya adalah mengontrol perempuan dalam praktik sebagai ibu untuk tugas-tugas pengasuhan; 2) tidak mengakui adanya sistem patriarki dan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam keluarga, termasuk kekerasan terhadap perempuan; 3) adanya regulasi penataan keluarga/perempuan menunjukkan adanya gejala fasisme yang akan bertarung dalam kekuasaan negara; 4) keluarga tidak perlu menjadi regulasi negara, apalagi menjadikannya pengarustamaan dalam kebijakan. KH. Imam Nahe'I (Komisioner Komnas Perempuan) dalam paparannya menjelaskan bahwa dalam konteks islam prinsip membangun ketahanan keluarga telah dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam. Secara umum, ia juga menyebutkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga juga menuai kritik dari para feminis muslim karena dinilai akan mengembalikan perempuan dalam ruang domestik. “Ada ideologi yang dipaksakan masuk di tengah-tengah perjuangan gerakan perempuan di Indonesia dan dibangun atas dasar norma agama tertentu,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan tersebut. Menurut Imam Nahe’I ada penyimpitan makna keluarga, pembakuan tugas-tugas domestik, potensi kriminalisasi anggota keluarga dalam RUU Ketahanan Keluarga. Dalam islam, keluarga tidak dimaknai secara sempit. Ia menceritakan bahwa di masa Nabi, warga anshor dan muhajirin bagaikan sebuah keluarga besar yang saling mewarisi. “Di dalam islam juga dikenal adopsi. Misalnya ada seseorang yang menemukan anak di jalan, lalu diambil sebagai keluarga. Ini bagian dari keluarga juga yang diakui dalam islam,” pungkasnya. Lebih jauh, Imam Nahe’I menjelaskan bahwa bangunan keluarga pada masa jahiliyah pra islam sangat diskriminatif dan eksploitatif terhadap perempuan. Pada masa itu: 1) perempuan dipilih; 2) perempuan dipaksa dinikahkan; 3) dalam perkawinan perempuan mirip seorang budak, ia harus tunduk suami tanpa batas; 4) istri diceraikan dan dirujuk tanpa batas dan tanpa persetujuan; 5) perkawinan adalah bentuk eksploitasi kemerdekaan perempuan. “Sedangkan jika dilihat bangunan keluarga dalam perspektif islam, hal ini sangat jauh berbeda dan justru menjadikan pernikahan sebagai sebuah perjanjian yang kokoh,” ungkap Imam Nahe’I. Pada masa setelah islam datang: 1) perempuan boleh memilih dan menentukan kapan dan dengan siapa menikah; 2) perempuan tidak boleh dipaksa menikah; 3) suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang adil/seimbang; 4) perceraian harus dengan alasan yang kuat dan rujuk harus dengan persetujuan istri; 5) perkawinan bertujuan membangun ketentraman jiwa dengan bekal cinta kasih, bebas dari perbudakaan, dan eksploitasi/kekerasan. “Islam mengubah relasi kuasa perkawinan menjadi relasi kesalingan dan keseimbangan. Islam mengubah tujuan perkawinan dari eksploitasi menjadi sakinah dengan bekal kasih sayang, bahagia membahagiakan,” jelas Imam. Dalam ajaran islam, sebuah perkawinan harus meletakkan pilar-pilar mu’asyarah bil ma’ruf, taradhin, tasyawurin, husnu at-tafahum, tasamuh dan meletakkan prinsip-prinsip al-’adalah, at-tawazun al-mubadalah. Imam Nahe’I menegaskan bahwa di dalam islam bukan hanya ridho laki-laki yang diutamakan tetapi justru ridho kedua belah pihak yakni laki-laki dan perempuan. “Dalam konteks Islam jika RUU Ketahanan Keluarga tidak menggunakan prinsip kebaikan, musyawarah, kesalingan, maka hanya akan melahirkan keluarga yang semu dan hakikatnya rapuh,” tutupnya. (Andi Misbahul Pratiwi) Jakarta (30/7), INFID menyelanggarakan webinar dengan tema Perlindungan Hak Bagi Pekerja Perempuan dan Lingkungan yang Berkelanjutan. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi perempuan di tengah situasi perubahan iklim. Diskusi tersebut menghadirkan Mualimin Abdi (Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM), Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan), Masnuah (Ketua Puspita Bahari Demak), dan Andi Muttaqien (Deputi Direktur Advokasi Elsam) sebagai narasumber. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Listyowati (Ketua Kalyanamitra).
Dalam kesempatan tersebut Masnuah memaparkan tentang pengalamannya dan komunitas nelayan perempuan terkait diskriminasi yang dialaminya dalam kerja-kerja sektor perikanan. Menurutnya, perempuan nelayan terlibat dalam seluruh rangkaian produksi di sektor perikanan mulai dari persiapan sebelum melaut, melaut, penangkapan, penjualan, pengolahan dan lain sebagainya. Dalam kerja-kerja tersebut perempuan nelayan mengalami kerentanan, salah satu di antaranya adalah kecelakaan kerja yang mengakibatkan luka-luka dan bahkan berisiko kematian di laut. Mengingat besarnya keterlibatan perempuan dalam sektor ini menurut Masnuah penting agar kerja perempuan diakui dan dilindungi baik oleh negara dan oleh masyarakat. Salah satu bentuk pengakuan adalah dengan pemberian kartu nelayan bagi perempuan nelayan. Menurutnya, dengan adanya kartu tersebut, nelayan perempuan seperti halnya nelayan laki-laki mendapatkan jaminan dan perlindungan sosial dari negara. Masnuah memaparkan bahwa kerja perempuan nelayan hari-hari ini menjadi semakin sulit dalam kaitannya dengan perubahan iklim. Menurutnya perubahan cuaca secara ekstrem mengakibatkan ombak besar tak terprediksi sehingga berdampak langsung pada berkurangnya hasil tangkapan. Implikasinya pada perempuan adalah keluarga nelayan semakin terlilit hutang, banyak anak nelayan putus sekolah, beban perempuan semakin berlapis dan lain sebagainya. Menurut Masnuah saat ini banjir rob menjadi semakin tinggi dan bahkan ada dua desa pemukiman nelayan di Demak telah rata dengan lautan. Atnike Sigiro dalam kesempatan tersebut memaparkan sejumlah temuan dari riset-riset Jurnal Perempuan terkait dampak perubahan iklim terhadap perempuan. Atnike menyatakan bahwa bila kita membahas tentang perubahan iklim penting untuk membicarakan juga soal tanggung jawab korporasi. Atnike mengungkapkan, “Operasi besar korporasi yang melibatkan pembakaran hutan, residu pabrik, dan lainnya, menyumbang produksi karbon secara besar-besaran dan membawa dampak perubahan iklim yang lebih cepat.” Seperti yang diungkapkan Masnuah, Atnike menyatakan bahwa perubahan iklim menyebabkan berbagai bencana seperti banjir, rusaknya lahan pertanian, hilangnya keragaman hayati dan lain sebagainya. Atnike menuturkan bahwa setidaknya ada tiga dampak perubahan iklim bagi perempuan yaitu: tanggung jawab pengasuhan semakin berat sementara penghasilan keluarga semakin sulit; perempuan semakin rentan terhadap kemiskinan yang disebabkan oleh minimnya hasil produksi dan hilangnya lapangan kerja berbasis pertanian/perikanan; dan meningkatnya kerentanan peremuan terhadap kekerasan di dunia kerja. Atnike melihat bahwa isu ketidakadilan gender semakin diperparah dengan kondisi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Bisnis berbasis HAM sudah menjadi perhatian global saat ini, hal ini terbukti dari adanya berbagai konvensi internasional yang mengatur tentang bagaimana bisnis harus memerhatikan aspek HAM dan kelestarian lingkungan hidup. Guna memastikan berjalannya bisnis yang bertanggungjawab pada hak asasi manusia, pemerintah mendukung pengimplementasian UNGPs on BHR di Indonesia. Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menyatakan bahwa dalam upaya meningkatkan pemahaman bisnis dan HAM, Kemenkumham melakukan sejumlah pelatihan dan membuat modul tentang bisnis dan HAM bagi aparatur pemerintah (lintas kementerian). Tujuannya adalah agar bisnis berbasis hak asasi manusia semakin dipahami dan diimplementasikan. Lebih jauh, menurut Mualimin, Kementerian Hukum dan HAM saat ini sedang melakukan pembahasan rancangan Aksi HAM untuk RANHAM 2020-2024, yang memiliki empat kelompok sasaran, yakni perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas. Pembahasan ini dilakukan bersama dengan berbagai kementerian/lembaga terkait dan juga Sekretariat Bersama Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Ia memaparkan bahwa Rancangan Aksi HAM akan memasukan pemberdayaan ekonomi perempuan sebagai salah satu sasaran strategisnya, yaitu meningkatnya akses perempuan dalam situasi khusus terhadap pelayanan publik dan penghidupan yang layak, seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan peluang usaha. Selain itu, saat ini juga sedang didiskusikan mengenai posibilitas bantuan keuangan mandiri bagi perempuan kepala keluarga pelaku UMKM atau mengembangkan kebijakan untuk mempromosikan dan mendorong kewirausahaan perempuan. (Abby Gina) Jakarta (30/7), Rumah Kebangsaan bekerja sama dengan Magdalene mengadakan diskusi dengan tema “Perjuangkan RUU PKS, Demi Korban!”. Diskusi yang dilakukan secara daring ini menghadirkan empat pembicara yaitu; GKR. Hemas (Kaukus Perempuan Parlemen), Lengga Pradipta (Peneliti Kependudukan LIPI), Rena Herdiyani (Wakil Ketua Bidang Keorganisasian Kalyanamitra), dan Dewi Komalasari (Koordinator Penelitian dan Pengembangan Jurnal Perempuan).
Dalam pemaparannya, GKR. Hemas menyatakan bahwa Kaukus Perempuan dalam merespons situasi terkini advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tetap memiliki komitmen tinggi untuk mendorong pembahasan RUU PKS. Ia menambahkan bahwa kasus kekerasan seksual yang kian meningkat harus menjadi dorongan untuk setiap anggota dewan, tidak hanya perempuan, untuk melakukan pembahasan RUU ini segera. Masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan agar RUU PKS menjadi perhatian banyak orang dan dapat dibahas secepat mungkin. Kaukus Perempuan juga berharap masyarakat sipil harus terus memberikan tekanan kepada pemerintah maupun DPR agar RUU yang melindungi setiap orang dari kekerasan seksual segera dibahas dan disahkan. Lengga Pradipta menjelaskan bahwa struktur peran laki-laki dan perempuan pada masa sekarang telah mengalami pergeseran ke arah yang positif. Hal ini ditunjukkan dengan perempuan yang berkiprah di ranah global atau nasional dan tidak selalu terkait urusan domestik. Dengan berbagi peran, menjadi kunci untuk mendapatkan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan terus menerus melakukan advokasi bahwa berbagi peran bukan berarti “merebut” tanggung jawab dan mengubah perspektif masyarakat bahwa berbagi peran antara laki-laki dan perempuan bukan hal yang tabu atau dilarang. Menurut Lengga, mandeknya pembahasan RUU PKS diakibatkan karena kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen yang berada dalam posisi-posisi yang strategis pengambil keputusan. “Padahal dilihat dari proporsi jumlah penduduk Indonesia hampir mecapai 270 juta, dan penduduk perempuan persentasenya adalah sekitar 49,75%, yang jumlahnya hampir sama dengan laki-laki,” jelasnya. Sehingga penting untuk mengakomodir kepentingan perempuan, khususnya terkait pemenuhan kesetaraan dan keadilan gender. Selanjutnya, Rena Herdiyani menyatakan bahwa RUU PKS harus segera disahkan, mengingat kasus kekerasan seksual semakin banyak dan beragam bentuknya. Ia menyebutkan bahwa menurut data SIMFONI pada Januari 2020 sampai 19 Juni 2020, tercatat ada 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik perempuan maupun laki-laki. Kemudian, Komnas Perempuan mencatat terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019. Lebih jauh menurut Rena, masih ada kesenjangan hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual secara substansi, struktur, dan kultur. Ia berkaca pada pengaturan terkait kekerasan seksual yang tercantum dalam aturan perundang-undangan di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam tataran penanganan kasus, Rena menjelaskan bahwa sistem pembuktian masih berlum berpihak pada korban, tidak sensitif, dan tidak memperhitungkan pengalaman korban. Ditambah lagi dengan sikap aparat penegak hukum terhadap korban dipengaruhi oleh budaya patriarki, sehingga dalam berbagai kasus kekerasan seksual, korban kerap kali disalahkan kembali atau reviktimisasi. Sebagai rekomendasinya, Reni Herdiyani menyampaikan bahwa Badan Legislatif harus memastikan RUU PKS masuk program legislasi nasional 2021, memastikan prinsip dan substansi yang diusulkan oleh masyarakat sipil dapat diakomodir, dan menyosialisasikan RUU PKS yang mengedepankan kepentingan korban ke masyarakat agar bersama-sama mendukung dan mengawal pembahasan RUU tersebut. (Octania Wynn) Pada Kamis (23/7) bertempat di Ruang Delegasi MPR RI, Jakarta, Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani memimpin pengucapan sumpah bagi Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) periode 2020-2024. Kegiatan dihadiri oleh Presidium KPPRI periode 2014-2019, Koordinator Maju Perempuan Indonesia dan juga Ketua Komnas Perempuan serta Presidium dan Pengurus KPPRI Periode 2020-2024. Selain disiarkan secara langsung melalui platform kanal Youtube Nusantara TV dan juga Kaukus Perempuan Parlemen. Kegiatan tersebut juga dihadiri sekitar 100 orang undangan secara daring melalui platform digital Zoom. Undangan yang hadir mewakili berbagai kalangan yakni perwakilan negara sahabat seperti Singapore dan Myanmar; Duta Besar RI di berbagai negara seperti Argentina, Polandia, Slovakia dan Italia/Siprus/Malta; perwakilan Kementerian/Lembaga, seperti KPPPA, Komnas Perempuan, KPAI; organisasi masyarakat sipil seperti KOWANI, Aisyiyah; perwakilan partai politik seperti KPPI, KPPG; dan pegiat di isu perempuan dan juga pemilu serta dari kalangan media.
Kepengurusan KPPRI dipimpin oleh Presidium yang merupakan perwakilan dari dua institusi parlemen DPR dan DPD. Presidium KPPRI Periode 2020-2024 terdiri dari Diah Pitaloka S.Sos, MSi (FPDIP), Dewi Asmara S.H, M.H (FPG), Susi Marleni Bachsin S.E, M.M (FGERINDRA), Dr. Badikenita Sitepu S.E, M.Si (DPD/Sumut) dan Prof. Dr. Sylviana Murni S.H., M.Si (DPD/DKI Jakarta). Dalam pengukuhan tersebut, berbagai pihak yang hadir secara fisik maupun yang menghadiri secara daring memberikan ucapan selamat dan juga dukungan mereka terhadap KPPRI, khususnya dalam mendorong pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), termasuk salah satunya yang disampaikan oleh GKR. Hemas, yang menyampaikan pentingnya bagi KPPRI untuk mengawal RUU PKS dan RUU Pemilu yang kembali dibahas. Dalam pidato sambutannya, Ketua Presidium KPPRI Diah Pitaloka menyampaikan bahwa sejak Kongres Perempuan I hingga saat ini perempuan Indonesia masih mengalami persoalan yang sama; tingginya angka kematian ibu, persoalan gizi, perkawinan paksa, dan kekerasan terhadap perempuan. Di bidang pendidikan, ekonomi dan keterwakilan, perempuan juga masih banyak mengalami kendala. Untuk itu, menurut Diah KPPRI perlu mendorong terjadinya sinergi dalam pembuatan kebijakan dan menyatukan semangat untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan berkeadilan. Pada akhir sambutannya, Diah juga menyerukan ajakan kepada segenap anggota KPPRI untuk berjuang mengesahkan RUU PKS. Pengukuhan KPPRI yang dilakukan bertepatan dengan Hari Anak Nasional juga menjadi pengingat untuk menunjukkan komitmen dalam melindungi anak Indonesia dari berbagai bentuk kekerasan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan bahwa KPPPA siap untuk memantau dan bersama-sama mewujudkan RUU PKS untuk melindungi perempuan dan anak Indonesia dari kekerasan. Seruan serupa juga disampaikan Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani. Ucapan selamat dan dukungan juga disampaikan oleh menteri-menteri perempuan dalam Kabinet Indonesia Maju. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam ucapan selamatnya yang disampaikan melalui rekaman video menyebutkan bahwa dalam Laporan Global Gender Gap Index 2020 yang dirilis dalam Forum Ekonomi Dunia, Indonesia menempati peringkat ke 85 dari 153 negara. “Kementerian Keuangan selama ini telah mendukung kesetaraan gender, salah satunya melalui pengarusutamaan gender dalam penganggaran negara,” ujarnya. Sri Mulyani juga menyampaikan harapannya agar pengukuhan KPPRI dapat memberi tambahan energi dan inspirasi bagi perempuan di berbagai bidang, terutama ekonomi dan politik. “Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik dapat memperkaya dan mewarnai pembuatan kebijakan. Kaukus perempuan berperan sebagai motor penggerak di parlemen,” ujar Sri Mulyani. Harapan senada juga disampaikan Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah, yang berpesan agar KPPRI menjaga komitmen sebagai wadah PUG di parlemen. “Tiada demokrasi sejati tanpa perwakilan perempuan,” pungkasnya. KPPRI yang didirikan pada 19 Juli 2001 merupakan wadah konsolidasi lintas fraksi dan lintas komisi bagi perempuan anggota parlemen Indonesia baik yang berada di DPR RI maupun DPD RI. KPPRI memiliki visi untuk akselerasi demokrasi di Indonesia yang diimplementasikan dalam misi meningkatkan partisipasi perempuan dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik; mengupayakan agar seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan pembangunan mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan serta permasalahan perempuan dan laki-laki secara seimbang dan adil. Misi KPPRI adalah untuk meningkatkan akses dan partisipasi perempuan dalam setiap tahapan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang berwawasan gender, termasuk kebijakan anggaran yang berwawasan gender. Selain presidium, terdapat pula struktur lain seperti sekretaris jenderal dan wakil sekretaris jenderal, dewan pertimbangan, dewan pakar dan divisi-divisi yang menaungi bidang-bidang tertentu. (Dewi Komalasari). Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) lahir sebagai respons atas tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Keberadaan RUU P-KS adalah sebuah pembaruan hukum yang sangat penting sebab memiliki ketentuan yang melindungi korban. RUU ini menjadi sangat penting untuk diundangkan sebab berdasarkan fakta dan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan terlihat bahwa dalam 12 tahun terakhir angka kasus kekerasan seksual yang terus meningkat hingga 792% atau hampir delapan kali lipat. Angka ini bahkan masih merupakan fenomena gungung es, artinya masih jauh lebih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan, salah satu alasannya adalah belum adanya payung hukum yang mengakomodasi perlindungan dan pemulihan bagi korban. RUU P-KS sendiri telah masuk prolegnas prioritas tahun 2016 namun gagal disahkan pada akhir tahun 2019 lalu. Akhir bulan Juni lalu, RUU P-KS malah dikeluarkan dari Daftar Prolegnas RUU Prioritas 2020 dengan alasan bahwa pembahasan RUU P-KS “agak sulit dibahas”. Padahal berbagai pengalaman sulitnya proses hukum bagi kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa RUU ini sangat penting untuk segera diundangkan. Sebagai respons atas dikeluarkannya RUU P-KS dari daftar prolegnas prioritas tahun 2020, Infid bersama dengan berbagai kelompok masyarakat mengajukan surat terbuka untuk presiden dan ketua DPR untuk menuntut tanggung jawab negara dalam memastikan terpenuhinya perlindungan korban dan keadilan bagi korban. Menindaklanjuti surat terbuka untuk Presiden RI dan Ketua DPR-RI, Infid menginisiasi kegiatan Orasi Terbuka Pembacaan Surat dukungan terhadap RUU P-KS. Kegiatan tersebut dimoderatori oleh Atnike Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dan orasi disampaikan oleh perwakilan kelompok masyarakat yaitu; Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil, Perwakilan Sineas, Perwakilan Musisi, Perwakilan Komika, Perwakilan Jurnalis, Perwakilan Akademisi, Perwakilan Tokoh Agama, Perwakilan Mahasiswa Indonesia di Australia. Dalam kesempatan tersebut Alissa Wahid selaku Koordinator Jaringan Gusdurian membuka orasi dengan menarasikan beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi dan menimpa anak perempuan di Indonesia, dalam kasus tersebut para korban tidak dapat mengakses keadilan sebab tidak ada payung hukum yang mengatur pemulihan dan memberi keadilan bagi mereka. Alissa menyatakan bahwa RUU P-KS ini penting bagi kita semua khususnya bagi anak perempuan. Ati Nurbaiti, perwakilan jurnalis menyatakan bahwa untuk kepentingan masyarakat luas dan terutama jurnalis yang sering menerima kekerasan seksual saat bekerja. Ia menambahkan bahwa, AJI (Asosiasi Jurnalis Indonesia) juga mendukung percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS, sebab keberadaan RUU ini penting untuk memberi perlindungan bagi jurnalis yang rentan terhadap kekerasan seksual saat melakukan pekerjaannya. Menurut Ati, jika RUU P-KS disahkan, RUU ini dapat menjadi bentuk komitmen pemerintah untuk menghapuskan kekerasan seksual di Indonesia. Melani Subono perwakilan artis dan juga penyintas kekerasan seksual menyatakan bahwa ia berkomitmen untuk terus mendukung proses percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS ini. Bagi Melanie, ia tidak akan mendapat rasa tenang dan terlindungi jika pemerintah tidak kunjung mengesahkan regulasi yang mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual . Anggia Erma Rini selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat NU, sebagai perwakilan tokoh agama dalam orasnya menyampaikan dukungan terhadap percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS. Anggia menyampaikan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual sangat merugikan korban, bahkan biasanya diselesaikan melalui jalan damai yang sangat tidak berkeadilan. Dalam Munas PBNU Tahun 2019 dinyatakan bahwa kekerasan seksual merupakan kegiatan yang menyalahi syariat karena didasarkan pada pemaksaan. Nur Iman Subono selaku pengajar di FISIP Universitas Indonesia dan sekaligus perwakilan dari akademisi menyampaikan kekecewaan dan kemarahannya pada pernyataan pejabat publik yang menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari prolegnas karena pembahasannya agak sulit. Menurut Boni pernyataan tersebut menandakan tidak adanya empati terhadap pengalaman korban kekersan seksual. Boni juga menyayangkan berbagai pandangan umum di masyarakat yang melihat perjuangan pengesahan RUU P-KS sebagai perjuangan untuk kepentingan perempuan semata. RUU P-KS bukan tentang pertempuran kepentingan antara laki-laki dan perempuan dan bukan pula gerakan anti laki-laki. Boni menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan saja, tetapi laki-laki juga. Oleh karena itu, pembahasan dan pengesahan RUU P-KS merupakan kepentingan bersama dan harus diperjuangkan dan dikawal bersama. Pada akhir orasinya Boni menyatakan bahwa dalam melihat keberadaan RUU ini tidak ada posisi netral, menjadi bagian dari silent majority adalah sebuah sikap pengkhianatan. Terakhir, orasi disampaikan oleh perwakilan mahasiswa Indonesia di Australia yaitu Irine H Gayatri yang sedang belajar di Monash University. Baginya pengundangan RUU PKS sangat penting untuk dilakukan sebagai wujud komitmen negara untuk menghapuskan kekerasan seksual. Acara ditutup dengan pembacaan surat terbuka lintas generasi yang diwakili oleh Siti Musdah, Mulia sebagai Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace. Selanjutnya surat terbuka dibacakan oleh Olin Monteiro selaku perwakilan Arts for Women dan Lintas Feminis Jakarta. (Abby Gina) Jubaedah merupakan acara yang diinisiasi oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai beragam isu kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat serta mendorong pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Diskusi kali ini mengangkat tema “Bagaimana Kabar RUU P-KS Kini dan Nanti?”. Diskusi ini menghadirkan dua pembicara yaitu; Neng Eem Marhamah Zulfa, S.Th.I, MM (Anggota Badan Legislatif), dan Asnifriyanti Damanik, SH. (LBH Apik). Diskusi ini dilakukan mengingat kasus kekerasan seksual makin marak terjadi, namun RUU P-KS ditarik dari Prolegnas Prioritas oleh Komisi 8 DPR RI. Dalam pemaparannya, Asnifriyanti Damanik selaku perwakilan dari LBH Apik, memaparkan bahwa RUU ini sudah melalui perjalanan yang lumayan panjang. “Proses sudah dimulai sejak tahun 2012 untuk mengumpulkan data kekerasan seksual dan kajian yang menghasilkan 15 bentuk kekerasan seksual yang baru, jauh berbeda dengan rumusan KUHP yang hanya mengenal 2 bentuk kekerasan seksual,” jelas Asnifriyanti. Namun RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas pada tahun 2017 ini harus ditarik dari pembahasan Prolegnas Prioritas pada 30 Juni 2020 lalu. Lebih lanjut, Asnifriyanti Damanik menjelaskan bahwa RUU ini harus segera dibahas dan disahkan mengingat tiga urgensi yang melatarbelakanginya yakni; landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam landasan filosofis, RUU P-KS selaras dengan Pancasila di mana Negara dan Agama sejatinya memberikan pelindungan bagi orang-orang yang lemah. Ditinjau dari landasan sosiologis, kasus kekerasan seksual mucul setiap harinya dan Negara belum sepenuhnya hadir untuk melindungi. Berbeda dengan dua landasan di atas, dari sisi yuridis, belum ada satupun peraturan yang komperhensif dan berprespektif pada korban kekerasan seksual. “Setelah dikeluarkannya RUU P-KS dari Prolegnas Prioritas, Koalisi masyarakat sipil sedang menyuusn kembali Naskah Akademik dan draft RUU walaupun tidak mengubah secara keseluruhan, agar dalam proses advokasinya lebih memudahkan,” ungkap Asnifriyanti. Dalam kesimpulannya, Asnifriyanti Damanik mengatakan bahwa pengesahan RUU P-KS adalah kebutuhan yang mendesak, sebab kasus kekerasan seksual semakin banyak. Neng Eem Marhamah Zulfa dari Badan Legislatif melanjutkan bahwa dalam pembahasan RUU P-KS ada beberapa persoalan. “Secara keseluruhan DPR RI dan Baleg bukannya tidak setuju dengan substansinya, namun hal ini disebabkan oleh situasi yang terjadi sekarang, dan terbenturnya soal judul, definisi kekerasan seksual, dan aturan mengenai pemidanaan. Dengan dikeluarkannya dari Prolegnas Prioritas, koalisi masyarakat sipil yang memiliki concern harus mulai lagi berkonsolidasi dan membentuk satu pemahaman bersama dengan seluruh pihak pengambil keputusan. Tidak hanya Komisi 8, tetapi dalam cakupan yang lebih luas,” jelas Neng Eem Zulfa. Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya RUU ini tidak hanya untuk memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual, tetapi juga untuk memberikan kesadaran hukum dan budaya bahwa kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan kemanusiaan. (Octania Wynn) Jakarta (26/7), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengadakan diskusi yang mengangkat tema “Bentuk Tanggung Jawab Negara terhadap Perlindungan Perempuan dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual”. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sendiri telah masuk Prolegnas prioritas tahun 2016 namun gagal disahkan pada akhir tahun 2019 lalu. Di tahun 2020, RUU PKS ini juga masuk dalam agenda Prolegnas periode ini. Diskusi ini adalah sebuah respons atas kebutuhan akan hadirnya regulasi hukum yang responsif terhadap persoalan isu kekerasan seksual, khsususnya bagi perempuan. Diharapkan agar pembahasan dan pengesahan RUU PKS dapat segera terlaksana. Dalam pidato kuncinya, Bintang Puspayoga selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA, per awal Januari 2020 hingga 19 Juni 2020 terdapat 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak baik perempuan maupun laki-laki. Sejalan dengan data SIMFONI PPA, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019 memperlihatkan tingginya jumlah KS yang terjadi pada perempuan di Indonesia. Menteri PPPA menyatakan keprihatinannya, sebab tingginya angka tersebut adalah fenomena gunung es, artinya angka actual kekerasan seksual terhadap perempuan dapat jauh lebih besar daripada yang terlaporkan. Menteri PPPA menyatakan bahwa korban Kekerasan Seksual (KS) masih sering mendapatkan stigma dan perlakuan tidak adil dari masyarakat sehingga banyak di antara mereka enggan melaporkan dan/atau menyelesaikan persoalannya tanpa melalui jalur hukum. Padahal dampak KS terhadap perempuan amatlah kompleks sehingga membutuhkan penanganan dan respons yang serius. “Kekerasan Seksual memiliki karakteristik dan kekhususan secara normatif sehingga tidak dapat disamakan dengan tindak pidana lainnya. Tidak hanya itu dari sisi penegakan hukum, perlu adanya mekanisme pendampingan khusus bagi korban KS mulai dari proses penyidikan, penyelidikan, persidangan hingga pasca-persidangan agar tidak menimbulkan trauma bagi korban,” tutur I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Berdasarkan fakta dan data tersebut, menurut Menteri PPPA penting agar ada optimalisasi pencegahan dan penanganan terhadap KS perlu dilakukan. Ia menegaskan bahwa penting adanya sistem yang menjamin hak korban, mengedepankan kebenaran, keadilan dan pemulihan serta mencegah keberulangan kasus. Dalam pidato kuncinya, Menteri PPPA menyatakan komitmennya pada segala bentuk pencegahan dan penangan KS terhadap perempuan dan anak. Diksusi tersebut menghadirkan empat pembicara yaitu; Vennetia R Danes (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KPPPA), Taufik Basari (Anggota DPR RI Fraksi Nasdem), Valentina Sagala (Founder Institut Perempuan) dan Wiendy Hapsari (Kepala Litbang SINDO Media Moderator: Rizka Antika (INFID). Vennetia Danes menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) merupakan terobosan hukum dalam mengakomodir kebutuhan dan kepentingan korban. Menurut dia, hukum acara pidana yang ada saat ini hanya menegaskan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP masih terbatas. Sehingga banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dapat diproses hukum. “Konstruksi sosial masyarakat Indonesia sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki, perempuan sering kali tidak didengar yang berimplikasi bagi perempuan korban kekerasan seksual justru direviktimisasi masyarakat,” tutur Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KPPPA. Vennetia menyatakan bahwa kekerasan seksual yang selalu dikaitkan dengan wacana moralitas menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan. Kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka persoalan ini, karena dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Oleh sebab itu, perlu adanya pembaruan hukum. Vennetia menambahkan bahwa diusulkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya perombakan sistem hukum untuk mengatasi kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan. Taufik Basari, anggota DPR RI Fraksi Nasdem juga menyampaikan bahwa RUU PKS merupakan produk hukum yang sangat dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual. Sayangnya, pengusulan RUU ini memang menghadapi banyak tantangan. Pasalnya tidak banyak partai yang mau mengusung RUU PKS saat ini. Taufik menungungkapkan bahwa pada periode sebelumnya, RUU PKS menjadi komoditias politik sehingga ia tergeser dan gagal diundangkan pada periode tersebut. Pada periode ini ia mendorong agar RUU ini menjadi inisiatif dari DPR dan menjadikan RUU ini sebagai isu Prolegnas prioritas. Saat ini, Menurut Taufik, RUU P-KS masih menggantung, karena Komisi VIII yang semula menjadikan RUU P-KS sebagai usulan komisi, menyatakan keberatan. Ia menyatakan harapannya agar pembahasan RUU ini dapat dilakukan di Baleg atau di PANSUS, karena menurutnya RUU ini merupakan lintas isu yang berbicara tentang perempuan, hukum dan kesehatan. Dalam kesempatan tersebut, Valentina Sagala, Pendiri Institut Perempuan memberikan refleksi dan menyoroti tantangan proses pembahasan RUU PKS. Valentina menyampaikan, bahwa tahun lalu sempat terjadi kompleksitas isu pada substansi RUU PKS, dimana ada beberapa terminologi yang sengaja dipolitisir oleh pihak kontra. Menurut Valentina, pada substansi RUU PKS seringkali isu gender dikaitkan dengan muatan luar negeri yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Padahal sejak 24 Juli 1984, Indonesia telah mengadopsi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW. Valentina juga menjelaskan, bahwa kehadiran negara dalam pencegahan kekerasan seksual terlihat melalui pasal-pasal pemidanaan yang terdapat dalam RUU PKS. Sebagai penutup Valentina menegaskan, bahwa tantangan untuk pengesahan RUU PKS juga datang dari kasus-kasus kekerasan seksual yang berasal dari adat budaya masyarakat serta kasus online. Pembicara terakhir pada diskusi ini adalah Wiendy Hapsari, Kepala Litbang SINDO Media. Wiendy menyampaikan bahwa media memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat lewat informasi dan edukasi. Menurut Wiendy, Media juga dapat berperan dalam pencegahan kekerasan seksual dengan memberikan porsi besar bagi pemberitaan yang mengangkat tentang isu pencegahan kekerasan seksual. Diskusi ini dengan demikian mendorong untuk segera diundangkannya RUU PKS sebagai wujud tanggung jawab negara terhadap Perlindungan Perempuan. RUU ini menjadi amat penting sebab diharapkan mampu melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang. (Abby Gina) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |