Winanti Praptiningsih (Karyawati Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta) [email protected] Isu tentang persoalan moralitas publik dan tubuh perempuan kembali ramai diperbincangkan. Semenjak laporan hasil riset Human Rights Watch (HRW) tentang adanya tes keperawanan dalam seleksi penerimaan Polwan di institusi Polri dilansir, polemik tentang isu ini terus bergulir. Banyak pihak merespons negatif dan menentang keras proses seleksi semacam itu. Harian Daily Mail Inggris bahkan mengulasnya secara khusus sebagai sebuah tes yang akan memberi rasa sakit dan trauma pada perempuan terutama karena mekanisme seleksi tersebut jauh dari penghargaan atas harkat dan martabat perempuan. Isu keperawanan dan terutama persoalan perempuan tidak hanya kali ini saja mencuat dan menjadi diskursus publik. Terlepas dari problem validitas, publik juga pernah digemparkan oleh sebuah hasil riset Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) pada tahun 2002 yang memaparkan temuan bahwa hampir 97,05 persen mahasiswi Yogyakarta tidak perawan. Kontroversi berkembang dari persoalan kualitas dan validitas riset sampai konten isu perempuan dan moralitas. Tahun 2012, pada sentuhan isu yang sama, sebuah hasil penelitian mahasiswa UIN, Dharma Putra dengan judul “70% Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Sudah Tidak Perawan” juga pernah menimbulkan kontroversi bagi publik Yogyakarta. Pada problem serupa, kontroversi tentang isu keperawanan juga pernah mencuat di Sumatera Selatan tahun 2013 saat ada pemberitaan tentang rencana pemberlakuan tes keperawanan untuk semua siswi sekolah di kota Prabumulih. Dasar pertimbangannya dikaitkan dengan fenomena semakin maraknya perilaku seks bebas di kota tersebut. Meskipun sebatas rencana, namun isu ini telah memancing kontrovesi di masyarakat. Lagi-lagi isu menunjuk pada persoalan moralitas dan tubuh perempuan. Kenapa harus perempuan? Ada dua persoalan penting yang bisa diangkat dari kasus-kasus tersebut, pertama persoalan isu moralitas dan tubuh perempuan itu sendiri dan kedua problem epistemologi riset terkait isu-isu sensitif seperti keperawanan. Pertama, pertanyaan pentingnya adalah kenapa persoalan moralitas tersebut kerap kali dikaitkan dengan tubuh perempuan? Terlihat jelas ada kuasa wacana untuk membatasi lokus persoalan moralitas pada aspek tubuh perempuan, sehingga minim dan hampir tidak ada yang menghadirkan persoalan moralitas dengan tubuh laki-laki. Ada yang kemudian absen dan sengaja tidak dihadirkan dalam diskursus tersebut yakni tubuh laki-laki. Dalam aspek ini saja maka terlihat bahwa aturan-aturan tersebut lebih banyak akan memberi aspek penekanan kesalahan an sich pada tubuh perempuan. Seolah-olah perempuan yang harus banyak menerima beban atas setiap tanggungan kategori-kategori sosial tentang moralitas. Perempuan kemudian dipaksa untuk membiasakan diri bahwa kategori dan kriteria tentang aspek moralitas yang disematkan pada dirinya adalah sesuatu yang alamiah dan memang begitulah adanya. Moralitas itu begitu melekat dihadirkan sebagai takdir yang harus diterima begitu saja. Nalar kecenderungan itu makin bermasalah saat apa yang sejatinya menjadi persoalan privat kemudian dikonstruksikan menjadi kategori publik. Persoalan keperawanan yang sejatinya menjadi kemerdekaan milik tubuh perempuan harus ditarik menjadi persoalan moralitas publik yang kemudian diikat dalam aturan-aturan kelembagaan publik termasuk dalam hal ini adalah kuasa negara. Jika kemudian hal ini tercapai, maka sejatinya aturan-aturan itu merupakan manifestasi konkret dari represi atas tubuh perempuan. Apalagi aturan-aturan itu juga meniadakan cara berpikir yang lebih komprehensif dan berkeadilan. Kecenderungan sikap dan nalar semacam ini seharusnya mulai dihilangkan sebagai cara untuk lebih menghargai dimensi tubuh perempuan dalam makna yang sebenarnya. Problem kedua yang tidak kalah penting dan sering luput dari analisis umum adalah perspektif dalam meletakkan basis epistemik untuk melakukan berbagai riset tentang isu-isu sensitif termasuk isu perempuan. Kontroversi yang muncul bukan semata-mata persoalan lokus tematiknya, tetapi lebih jauh adalah cara pandang dalam membangun basis epistemik yang benar. Bisa dibayangkan jika temuan yang dihasilkan berangkat dari proses metodologi yang sesat dan rapuh, maka persoalan keperawanan kemudian seringkali juga hanya dilihat dalam cara pandang yang esensialis ataupun sebagai persoalan fisik semata. Cara berpikir esensialis dan positivistik seringkali luput untuk menangkap aspek yang lebih holistik seperti nilai, subjektifitas, ataupun pengalaman-pengalaman batin yang khas bagi setiap pribadi. Keperawanan bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri. Ia selalu berkait kelindan dengan seluruh aspek nilai, pengalaman dan dimensi hidup yang kompleks. Seharusnya hasil-hasil kajian tentang isu-isu sensitif seperti soal keperawanan lebih menghargai aspek-aspek tersebut. Keperawanan bukan semata telah tersobeknya selaput dara perempuan, tetapi ia adalah dimensi diskursus yang hidup terus-menerus dan berkelindan dalam dimensi pengalaman hidup manusia. Lebih jauh keperawanan bukanlah sebuah objek yang kemudian mudah ditangkap dalam nalar kuantifikasi semata seperti dalam nalar survei yang justru lebih banyak membangun penyesatan dan pengerdilan atas dimensi realitas yang sebenarnya. Ada satu masa di mana seorang bapak tak dapat menggantikan peran Ibu kepada anaknya. Masa menyusui atau memberi ASI (air susu ibu) namanya. Pemberian ASI biasa berlangsung antara enam bulan hingga dua tahun. Peran ibu sangat penting saat ini. Selain masa pendidikan awal setelah dalam kandungan, sentuhan dan bahasa lembut ibu kepada sang bayi akan memberi ikatan batin yang kuat diantara keduanya. Lepas dari soal menyusui, perhatian di setiap detail perkembangan anak menjadi bahan pelajaran penting, berharga, dan menarik bagi kedua orang tua, bapak dan ibu. Kenyataan di atas ingin menegaskan bahwa soal menjaga, merawat, dan mengikuti setiap perkembangan anak bukan hanya tugas perseorangan, tapi hak dan kewajiban kedua orang tua. Bapak dan ibu berhak mengetahui dan mengalami masa-masa berharga di setiap tahapan perkembangan anak. Kewajiban menjaga, merawat, melindungi dan memberi jaminan kehidupan yang layak pun dibebankan kepada bapak dan ibu. Sayangnya, hingga kini, sebagian dari masyarakat kita masih berpandangan bias. Hak dan kewajiban menjaga anak sejak kecil hingga dewasa dianggap hanya menjadi tugas alami (kodrat) seorang Ibu. Adapun bapak hanya bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Ini pandangan keliru yang tak kunjung selesai karena begitu mengakarnya budaya patriarki dalam masyarakat kita. Pengurangan Jam Kerja Perempuan Implikasi dari pandangan bias di atas melahirkan banyak efek negatif, dimana perempuan yang cenderung menjadi korbannya. Belum juga selesai berbagai perlakuan diskriminatif pada perempuan, kini perempuan kembali dihadapkan pada wacana pengurangan jam kerja. Mungkin saja Jusuf Kalla (JK), Wakil Presiden, bermaksud berpihak pada perempuan dengan mengusulkan wacana ini. Sayangnya, niat baiknya kali ini didasari argumen yang keliru. Menurutnya, dengan mengurangi jam kerja perempuan selama dua jam, perempuan yang sudah berkeluarga akan punya lebih banyak waktu untuk mengurus anaknya di rumah. Pernyataan JK bermasalah dalam beberapa hal. Pertama, berangkat dari pandangan umum yang mengganggap hanya perempuan yang butuh dan perlu mengurus anak. Padahal, setiap perkembangan anak mesti disaksikan dan dialami oleh kedua orang tuanya agar tak satu pun momen berharga hilang. Melalui momen kebersamaan, ikatan emosional antara kedua orang tua dan anak dapat terbangun dengan baik, sehingga proses pendidikan keluarga pun mulai terinternalisasi kepada sang anak. Di Swiss, pemerintah bahkan memberikan cuti kerja bagi para bapak untuk menjaga anaknya. Tampak keputusan pemerintah Swiss ini berangkat dari kesadaran tentang pentingnya kebersamaan kedua orang tua dengan anaknya. Kedua, saat ini, tak semua bapak bekerja di luar rumah, sementara Ibu di rumah. Banyak keluarga yang mengalami sebaliknya. Entah karena alasan komitmen bersama ataupun karena kebetulan ibu lebih berkesempatan bekerja di luar rumah dibanding bapak. Dalam kasus ini, tentu ibu tak perlu mempercepat kepulangannya sebab sang anak aman bersama bapak. Ketiga, siapa yang bisa menjamin bahwa perempuan yang meninggalkan kantor lebih awal, benar pulang ke rumah untuk menjaga anaknya? Bukan tak mungkin ada yang memilih mengambil pekerjaan tambahan atau malah nongkrong bersama temannya. Keempat, jika diberlakukan secara umum, pengurangan jam kerja bagi perempuan dapat menurunkan “daya tawar” perempuan, khususnya di perusahaan-perusahaan global. Saat prinsip “waktu adalah uang” yang dikedepankan, maka mengurangi dua jam sama saja membuang “mesin uang”. Masuk akal jika perusahaan tak mau merugi dengan mempekerjakan perempuan. Kelima, namun paling penting, efek negatif wacana ini semakin membuka lubang diskriminasi dan pelemahan pada perempuan. Seolah-olah perempuan tak mampu mengatur setiap sisi kehidupannya sehingga perlu diberi “subsidi”, agar tak menanggung beban yang tak mereka sanggupi. Lagi-lagi pandangan yang keliru, sebab perempuan adalah makhluk dan khalifah (pemimpin) yang diberi kemampuan sama dengan laki-laki oleh Tuhan. Pandangan kesetaraan inilah yang seharusnya kita perjuangkan untuk memutus pandangan bias relasi antara perempuan dan laki-laki menuju relasi yang seimbang dan proporsional. Revolusi Mental Revolusi mental yang menjadi semangat pemerintahan kabinet Jokowi-JK harus diturunkan pada kebijakan-kebijakan yang inovatif, kreatif, dan revolusioner. Wacana pengurangan jam kerja perempuan jelas mementahkan semangat revolusi mental. Bukannya maju, tapi mundur ke zaman sebelum reformasi. Semangat revolusi mental sebaiknya berkonsentrasi pada perlindungan dan dukungan peningkatan kinerja perempuan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mendukung kerja-kerja perempuan. Misalnya, memastikan di setiap tempat kerja dan ruang publik tersedia fasilitas seperti, ruang menyusui, toilet khusus perempuan penyandang disabilitas, ruang bermain anak sekaligus kumpul keluarga yang bisa digunakan pada jam istirahat kantor dan memberi cuti haid. Jika kita percaya bahwa setiap momen bersama keluarga itu berharga, maka menyediakan waktu cuti bagi laki-laki dan perempuan agar secara bergantian menikmati waktu kebersamaan bersama anaknya, juga dapat menjadi alternatif. Faktor pendukung lain yang diperlukan perempuan adalah pemerintah memastikan keamanan fasilitas umum, khususnya di jalan dan di angkutan umum. Di tempat-tempat inilah kejahatan fisik dan psikis terhadap perempuan masih mengerikan. Perbaikan fasilitas umum dan tindakan tegas pada pelaku kejahatan di jalan, tentu akan mendukung peningkatan kinerja perempuan. Tak ada alasan terpaksa terlambat ke kantor karena khawatir berdesak-desakan di kereta, misalnya. Pulang malam pun tak menjadi momok yang mengerikan karena khawatir dirampok di ojeg, termasuk di angkutan berkelas semacam taksi. Jika pemerintahan Jokowi-JK masih memegang prinsip revolusi mental, kebijakan yang dikeluarkan tentu datang dari hasil kajian yang holistik, merdeka, serta berpekspektif keseimbangan dan keadilan untuk semua pihak. Bukankah revolusi mental memang ingin menghancurkan mental-mental lemah dan terbelakang yang menghinggapi negara kita akhir-akhir ini? “(3/12) Seorang wanita paruh baya di Sumedang, Jawa Barat tak kuasa membendung emosi karena mendapati salah seorang keluarganya tewas.” Demikian salah satu kutipan pembuka dari rangkuman berita tentang minuman keras (miras) oplosan yang lagi-lagi merenggut nyawa yang dimuat di news.liputan6.com. Berita ini menjadi salah satu dari sejumlah rentetan kabar tewasnya para lelaki dalam beberapa hari terakhir akibat menenggak miras oplosan. Di daerah Sumedang, Jawa Barat, tercatat tujuh pria tewas karena pesta miras oplosan, sedangkan pada 27 Agustus lalu tiga pria asal Garut, Jawa Barat menjadi korban dan enam orang diberitakan tewas di Bantul, Yogyakarta setelah pesta miras oplosan pada 11 Desember lalu. Akibat rentetan peristiwa tersebut, pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah yang diwakilkan Satuan Polisi Pamong Praja menyisir dan menciduk para pembuat miras oplosan, beberapa pabriknya sudah ditutup, razia juga dilakukan terhadap warung-warung yang menjual minuman berbahan dasar methanol tinggi ini. Miras oplosan umumnya minuman beralkohol dengan kandungan ethanol atau methanol yang dicampur spirtus. Spirtus, zat yang biasa dipakai dalam pembakaran dalam industri, ketika dicampur dengan minuman methanol atau ethanol yang berkadar alkohol hingga 40%-60% sudah barang tentu membuat peminumnya tewas dalam jangka waktu dua hari. Alkohol yang masuk ke tubuh, mengalami dehidrogenase (ADH) berubah menjadi asam frostat begitu diolah oleh hati. Hati akan bekerja keras mengolah zat ini, dan asam frostat yang dihasilkan menyebabkan gangguan irama jantung, shocked hingga kehilangan kesadaran. Dari penjabaran di atas, bisa kita lihat bahwa meminum miras oplosan sama saja dengan bunuh diri. Tetapi apakah mereka yang meminumnya sadar betul risiko yang akan mereka hadapi ketika meneguk minuman tersebut? Saya yakin sekali sesungguhnya, para peminum miras oplosan ini sadar akan akibat yang ditimbulkan dari minuman ini. Tetapi mereka tetap melakukan. Bagaimana peristiwa ini dimaknai dalam perspektif feminisme? Jika kita cermati seluruh korban tewas dari tragedi miras oplosan ini adalah laki-laki. Laki-laki dituntut untuk menjadi jantan dan perkasa. Patriarki menyematkan beban tanggung jawab yang diluruhkan pada seluruh darah dan daging manusia biasa ini. Ditambah, paradigma modern memperlombakan kejantanan pria. Lihat saja iklan-iklan obat kuat yang bertebaran di surat kabar ataupun pinggir jalan raya. Berimpitan tempat dengan penjual batu nisan dan pasang reklame. Laki-laki dipaksa untuk menjadi yang paling jantan nan perkasa, pemberani, memberangus emosi dan tak takut mati. Laki-laki yang tewas karena miras ini adalah korban dari praktik patriarki yang menuntut mereka untuk selalu perkasa dan tak takut mati. Mereka sesungguhnya tahu bahwa dampak miras oplosan mampu memisahkan tubuh dengan ruh mereka, tetapi tetap dilakukan atas nama “tes kejantanan”, barang siapa paling jantan, dia tidak mati bunuh diri. Sama halnya dengan praktik merokok sebagai solidaritas peer group laki-laki. Beberapa teman saya mengaku hanya merokok ketika sedang berkumpul bersama teman-temannya. Rokok adalah simbolisasi dari maskulinitas dan kejantanan. Siapa yang menolaknya dianggap “tidak macho”. Ketika kejantanan dan kelaki-lakian mereka dipertanyakan, maka taruhan atas harga diri mereka juga di ujung tanduk. Eksistensi pria diukur dari maskulinitasnya. Maka mereka berlomba untuk menantang maut, membunuh emosi dan perasaan. Menjadi mesin yang jauh dari sifat lemah lembut dan kasih sayang. Karena kedua sifat tersebut tidak memiliki nilai maskulin. Benar jika lelaki berpikir dengan rasio, tetapi rasio itu membawa mereka pada jurang perlombaan maskulinitas yang tiada berujung bahkan hingga setelah mereka menikah. Maraknya penjual obat kuat dan pengobatan alternatif penyakit lemah syahwat adalah salah satu indikator. Feminisme mengembalikan esensi manusia menjadi manusia. Tidak peduli apakah jenis kelaminnya perempuan, laki-laki, kelamin ganda, transgender, transeksual, ataupun memilih tidak berkelamin/bergender. Feminisme menguliti dan melihat manusia menjadi seorang manusia dan memperlakukannya sebagai manusia. Feminisme, melalui perspektif pengetahuan pengalaman perempuan tumbuh bersama tubuhnya dengan pendekatan ethics of care, mencoba melepaskan jubah tanggung jawab dan keperkasaan pada diri laki-laki agar laki-laki bisa bangga menjadi dirinya yang penuh cinta dan kasih sayang tanpa merasa bersalah atau malu. Laki-laki diajarkan untuk berkasih dan tidak tunduk pada pacuan hidup. Feminisme mengulurkan tangan pada laki-laki untuk bersama-sama memproduksi cinta dan kasih pada sesama. Agar semua manusia bisa dianggap dan diperlakukan sebagai manusia. Lelaki tidak harus berlomba menjadi jantan, kami (perempuan) menerima lelaki yang mampu bekerja sama dan membagi kasih, kami tidak melihat kejantananmu. Perempuan melihat kasih dan sayangmu seutuhnya. Lomba Kejantanan yang kalian lakukan hanya untuk saling dipamerkan pada sesama laki-laki. Dan yang tersisa dari tragedi miras ini adalah para janda yang ditinggal suami yang tewas akibat menenggak miras oplosan. Mereka masih belum terbebas dari kemiskinan. Ditambah dengan gelar janda yang kini harus mereka semat. Beban hidup luruh pada pundak mereka. Ketika suami berlomba pesta kejantanan berujung maut, tinggallah para janda dan anak-anak mereka yang meneruskan kemiskinan dan kesengsaraan hidup mereka. Sumber: http://health.liputan6.com/read/2146759/indonesia-darurat-miras http://news.detik.com/read/2014/12/12/014701/2775176/1536/satu-lagi-korban-miras-oplosan-di-bantul-tewas http://www.tempo.co/read/news/2014/08/27/058602711/Keracunan-Miras-Oplosan-Tiga-Warga-Garut-Tewas Kopi, saya suka sekali kopi. Pembaca di sini pasti ada juga yang menyukai kopi seperti saya. Kopi berasal dari kata Kahwah kemudian menjadi Koffee dan Coffee, dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai kopi. Kopi pertama kali diperkenalkan ke Nusantara oleh Kolonial Belanda pada tahun 1830 dan menjadi komoditas ekspor utama bersama teh, gula dan indigo (nila). Kopi sempat menjadi primadona ekspor hingga tahun 1890 dan sampai sekarang pun Indonesia masih menjadi eksportir kopi nomor 2 terbesar di dunia. Jenis kopi yang pertama kali di tanam di Nusantara adalah Arabica, akibat wabah penyakit tanaman kopi yang melanda pada tahun 1860-an membuat jenis biji kopi beralih dari Arabika menjadi Robusta yang lebih resisten dari penyakit tanaman ini. Kopi dan kedai kopi bisa menjadi tolok ukur keamanan dan gairah politik serta demokrasi suatu negara. Berbeda dengan teh yang diminum dalam suasana formal. Bahkan Jepang punya tradisi upacara minum teh. Kopi diminum pada saat santai dan informal. Sekarang kita bisa dengan mudah menemukan kedai kopi dan café yang menyajikan kopi yang enak untuk sekadar bercengkerama atau melakukan lobi-lobi politik. Kopi juga pada bahasa sehari-hari bisa menjadi kata kerja yaitu ‘ngopi’ yang merujuk pada istirahat atau coffee break. Minum kopi telah menjadi kultur bagi beberapa masyarakat Indonesia hingga kini. Tengok saja Belitung, pulau asal gubernur Jakarta sekarang yang kita sapa dengan panggilan Ahok, memiliki julukan pulau dengan 1001 kedai kopi. Kopi Tarik Aceh yang terkenal, atau Kopi Papua yang menjadi primadona di lidah internasional, atau sebut saja kopi termahal di dunia, Kopi Luwak pun berasal dari Indonesia. Kebiasaan minum kopi juga dipakai menjadi nama grup lawak legendaris kita, Warkop, kepanjangan dari Warung Kopi. Menandakan betapa akrabnya masyarakat kita dengan budaya minum kopi. Di sepanjang jalan Margonda-Depok lebih dari 10 kedai kopi berupa kafe atau coffee shop berjajar saling menawarkan produk terbaiknya. Aktivitas meminum kopi identik untuk berkumpul, mengerjakan tugas bagi sebagian mahasiswa dan berbincang atau berdiskusi politik. Bandingkan jumlah kedai kopi di masa sekarang dengan masa orde baru yang populer dengan slogan stabilitas politik dan ekonominya, kedai kopi justru tidak sebanyak sekarang, karena kedai kopi sebagai ruang publik tidak dijamin keamanan dan kenyamanannya. Terlebih kita tidak bisa sembarangan bicara dan berkumpul di masa itu. Bisa kita asumsikan pertumbuhan kedai kopi berbanding lurus dengan kondisi keamanan dan gairah politik demokrasi suatu negara. Karena, kedai kopi jadi sarana berkumpul yang asyik untuk membicarakan politik, melakukan rapat ataupun lobi-lobi politik. Tapi bagaimana jika kopi dilekatkan dengan nilai-nilai maskulin? Kopi hitam selalu diidentikkan dengan laki-laki jantan dan macho sedangkan perempuan lebih lekat dengan latte, minuman susu berkopi (bukan kopi-susu melainkan susu-kopi). Begitu pula kedai kopi, kedai kopi identik dengan tempat berkumpul dan mengobrolnya bapak-bapak. Karena kedai kopi ini ruang publik, sedangkan para ibu-ibu, perempuan tersisih di ranah domestik. Ibu-ibu tidak minum kopi hitam di kedai kopi dan tidak membicarakan politik. Banyak lobi-lobi politik dan ide tentang peraturan atau kebijakan berasal dari pertemuan tidak formal di kedai kopi. Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa UI misalnya, selama tiga tahun saya berkuliah, tiga kali calon dan ketua BEM terpilih adalah laki-laki. Dimana perempuan? Sosialisasi gender memisahkan pergaulan perempuan dan laki-laki. Perempuan diletakkan di ruang domestik dan laki-laki di ruang publik. Laki-laki menguasai kedai kopi, melakukan lobi-lobi politik di sana, mencetuskan ide siapa mengusung siapa dalam rapat-rapat dan perkumpulan tidak sengaja mereka di ruang publik, di kedai kopi. Alhasil laki-laki yang sering nongkrong di kedai kopi menguasai panggung politik karena mereka membicarakan dan melakukan, sedangkan perempuan tersisih menjadi sekretaris atau seksi konsumsi. Semua karena perempuan tidak hadir di warung kopi. Kebijakan untuk dipilih dan memilih dalam demokrasi Indonesia dipastikan bersifat aseksual. Sayangnya ada beberapa hambatan bagi perempuan untuk mencapai posisi puncak, salah satunya perempuan harus sering melakukan lobi politik yang tidak selalu berada di kantor, ruang sekretariat, kelas. Lobi politik ada di ruang publik dan hambatan berupa glass ceilling yang menyulitkan perempuan masuk ke posisi puncak dan mengambil keputusan adalah ketidakhadirannya dalam lobi-lobi di ruang publik tersebut. Untuk mencalonkan seseorang mejadi ketua dalam kelompok yang didominasi laki-laki maka mereka akan melakukan lobi-lobi politiknya dalam aktivitas bersama yang bersifat maskulin seperti bermain futsal bersama, bermain dotA berjamaah, sampai nonkrong di kedai kopi. Dan akibat berbagai kegiatan tersebut dicap dan diberi nilai “milik laki-laki” serta merta perempuan tersisih dan terhambat kesempatannya untuk meraih posisi puncak. Apalagi jika ditambah dengan peraturan perempuan tidak boleh keluar malam, padahal banyak lobi-lobi dan diskusi politik dilakukan di malam hari karena itu kedai kopi pun biasa buka hingga pagi hari. Tetapi perempuan tidak boleh keluar pada malam hari, sehingga perempuan lagi-lagi melewatkan kesempatanya untuk berpolitik. Jika tidak ada stimulus affirmative action bagi perempuan untuk masuk ke ranah politik, bisa diprediksi akan semakin sulit perempuan terjun ke politik. Padahal kita tahu betapa pentingnya partisipasi perempuan dalam membuat kebijakan berdasarkan pengalaman kebertubuhannya. Andi Misbahul Pratiwi (Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Gunadarma dan Ketua Umum LISUMA) [email protected] Dunia teknologi dikenal sebagai dunia laki-laki. Kebanyakan definisi teknologi memiliki bias laki-laki. Sebagaimana dikatakan Judy Wajcman seperti dikutip Salim Alatas dalam “CyberFeminisme: Mencari Hubungan Teknologi, Media Baru dan Feminisme”, bahwa munculnya cyberfeminisme telah memberikan suara ke aliran baru dari teori gender yang mencakup ide-ide utopis cyberspace menjadi area bebas gender (gender-free) yang menjadi kunci bagi pembebasan perempuan. Cyberfeminis, menurut Wajcman, mengklaim bahwa internet menyediakan dasar teknologi untuk membentuk masyarakat baru dan keragaman subjektivitas yang inovatif. Teknologi digital memfasilitasi kaburnya batas-batas antara manusia dan mesin serta batas-batas laki-laki dan perempuan, yang memungkinkan pengguna untuk memilih identitas mereka, penyamaran mereka dan menganggapnya sebagai identitas alternatif. Eksplorasi identitas ini kemudian menantang pengertian tentang subjektivitas dan mensubversi fantasi maskulin yang dominan. Teknologi yang didominasi oleh laki-laki akan berkonspirasi untuk mengurangi pentingnya teknologi perempuan, seperti hortikultura, memasak, perawatan anak dan sebagainya dan kemudian mereproduksi stereotip perempuan sebagai bodoh dan tidak mampu secara teknologi. Kekuatan abadi dari identifikasi antara teknologi dan kejantanan (manliness), tidak melekat dalam perbedaan jenis kelamin biologis. Ini lebih merupakan hasil dari sejarah dan budaya konstruksi gender. Stereotip ini memengaruhi pilihan karier perempuan termasuk pemilihan bidang studi yang tidak merata dan menjadi hal yang identik. Terdapat penggolongan bidang studi di kampus, bahwa jurusan tertentu bersifat maskulin dan yang lainnya feminin, sehingga timbul pandangan bahwa perempuan yang menggeluti bidang teknik adalah perempuan tomboy. Sejak saya duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saya diperkenalkan dengan komputer, jaringan, multimedia, hardware, sofware yang kita kenal sebagai teknologi. Kemudian, saya melanjutkan studi saya di perguruan tinggi di bidang teknologi informasi. Hal itu membuat saya harus berinteraksi dengan perangkat teknologi dan mengamati perkembangan teknologi setiap hari. Saya tidak ingin ketinggalan pengetahuan mengenai perkembangan terbaru new media dengan teman-teman di kampus. Sebagai mahasiswi Jurusan Teknik Informatika Universitas Gunadarma yang terkenal dengan IT-nya, saya merasa sebagai kaum minoritas. Lingkungan tersebut membuat saya menjadi kaum minoritas bukan karena jurusan yang saya pilih tidak eksis, melainkan karena hanya terdapat kurang lebih 250 perempuan dari 1000 mahasiswa teknik informatika di angkatan saya dan hanya ada 10 perempuan dari 45 mahasiswa di kelas. Persentase jumah perempuan di jurusan teknik ini sangat berbanding jauh dengan jurusan lain seperti ekonomi, akuntansi dan psikologi. Hal tersebutlah yang membangun opini publik bahwa teknologi adalah ruang laki-laki dan mengamini bahwa komputer adalah alat bagi laki-laki. Dalam hal perbandingan kemampuan, saya tentu percaya diri dan meyakini bahwa saya bisa melakukan apa yang selama ini laki-laki lakukan. Seperti merakit komputer, membangun jaringan wireless, membuat aplikasi. Saya percaya bahwa setiap orang bisa karena belajar, seperti halnya bayi ketika belajar berjalan membutuhkan proses. Jawaban atas perempuan menjadi kaum minoritas dalam dunia teknologi adalah soal pilihan dan soal perspektif yang telah terbangun sejak dahulu sebagai konstruksi sosial. Laki-laki tahu bahwa kekuatan bersumber dari penguasaan teknologi yang membuat manusia lebih mudah menyelesaikan tugas, teknologi sebagai alat bantu dan mereka mencoba menguasainya sehingga berusaha menutup ruang-ruang tersebut bagi perempuan. Indikasi tersebut dilihat sejak proses pembedaan mainan anak-anak. Anak laki-laki ketika kecil diberikan mainan mobil, pesawat, robot sehingga mereka terbiasa dengan perangkat “keras” kemudian anak perempuan diberi mainan boneka dan orang tua mereka tentu tidak akan menukar mainan anak perempuan dan laki-lakinya. Mainan seharusnya bebas nilai, tidak ada kepemilikan gender tertentu seperi halnya warna dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bebas nilai, astronomi, teknologi informasi, hukum, teknik bukan hanya ilmu laki-laki namun juga perempuan, begitu juga ilmu memasak, tata busana, psikologi bukan hanya milik perempuan. Hasil penelitian dari UNESCO untuk kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia menggambarkan bahwa perempuan belum dibesarkan dan dilatih untuk bergelut di bidang teknologi. Mitos Dewa Teknologi Hefaistos (bahasa Yunani: φαιστος, Hēphaistos) dalam mitologi Yunani adalah dewa teknologi, pandai besi, pengrajin, pemahat, logam, metalurgi, api, dan gunung berapi. Dalam mitologi Romawi dia dikenal sebagai Vulkanus. Hefaistos adalah putra dari Zeus dan Hera. Dia adalah dewa yang pincang. Dia beperan sebagai pandai besi bagi para dewa dan sering membuat berbagai alat dan senjata yang sangat berguna bagi para dewa. Hefaistos disembah di semua pusat industri dan manufaktur di Yunani terutama di Kota Athena. Bengkel dan pusat pemujaannya terletak di pulau Lemnos. Simbolnya adalah palu, landasan besi dan penjepit. Dia juga kadang-kadang digambarkan sedang memegang kapak. Ada kuil Hefaistos yang terletak di dekat agora di kota Athena. Hefaistos banyak membuat benda-benda ajaib untuk para dewa bahkan sebagian besar benda berkekuatan khusus dalam mitologi Yunani diceritakan dibuat oleh Hefaistos, diantaranya adalah helm dan sandal bersayap Hermes, perisai Aigis, korset Afrodit, tongkat Agamemnon, baju perang Akhilles, lonceng perunggu Herakles, kereta perang Helios, bahu Pelops, busur dan anak panah Eros, Pandora dan kotaknya, serta Talos. Hefaistos dalam budaya populer membuat mesin tiruan dari burung hantu Bubo dalam film tahun 1981, Clash of the Titans. Tokoh Hefaistos juga muncul dalam beberapa episode dari seri televisi Hercules: The Legendary Journeys dan Xena: Warrior Princess. Sebuah Planet minor yang ditemukan pada tahun 1978 oleh astronom Uni Soviet, Lyudmila Chernykh, diberi nama 2212 Hephaistos. Mitos teknologi berpihak terhadap laki-laki, dewi-dewi dalam mitos kebanyakan digambarkan memegang profesi feminin. Mitos hefaistos sebagai dewa teknologi menunjukkan superioritas laki-laki dalam profesi. Mitos tersebut memengaruhi partisipasi perempuan dalam industri teknologi. Perusahaan IT Kebanyakan dari kita tentu mengenal dan mempunyai akun google, yahoo, facebook, twitter, blogspot, kaskus, path. Tahukah kita siapakah pencipta jejaring sosial tersebut? Mereka adalah kaum laki-laki. Larry Page (Google), Jerry Yang Chih-Yuan (Yahoo), Mark Zuckerberg (Facebook), Andrew Darwis (Kaskus), Dave Morin bersama Shawn Fanning dan Dustin Mierau (Path), Jack Dorsey bersama Noah Glass, Evan Williams dan Biz Stone (Twitter), Evan Williams (Blogspot). Kemudian perusahaan yang bergerak dibidang IT seperti yang kita kenal Microsoft dan Apple juga didirikan oleh laki-laki, yaitu Bill Gates dan Steve Jobs. Begitu juga kebanyakaan dari perusahaan telekomunikasi di Indonesia direktur utamanya adalah laki-laki. Kita tentu ingat pesawat terbang pertama di Indonesia yang dibuat oleh mantan presiden B.J. Habibie dan tim diberi nama Gatotkaca. Kemudian sebagian saham maskapai Garuda Indonesia dimiliki oleh Chairul Tanjung. Meskipun perusahaan industri didominasi laki-laki, kita perlu bangga terhadap ibu Susi Pudjiastuti yang menjadi CEO maskapai Susi Air, yang membuktikan eksistensi perempuan di bidang teknologi. Jumlah perempuan di industri teknologi begitu minim, menurut Pusat Nasional untuk Perempuan dan Teknologi Informasi, hanya ada 6 persen perempuan yang menjadi kepala eksekutif dari 100 perusahaan teknologi. New York Times menemukan bahwa hanya 8 persen dari startups usaha yang didukung dan didirikan oleh perempuan. Saya memperhatikan RRT akhir-akhir ini, industri perdagangan di bidang teknologi mereka berkembang pesat dan kebanyakaan pekerja atau bisa saya sebut buruh teknologinya adalah perempuan. Perempuan banyak dipekerjakan sebagai perakit komputer, tukang solder dan packaging barang. Mereka hanya menginginkan pekerja perempuan karena dinilai perempuan dapat bekerja lebih teliti dan rapi. Bukan hanya di bidang teknologi namun di bidang konveksi perempuan juga banyak menjadi buruh pabrik. Dalam proses penggunaan teknologi seperti media sosial saya tentu tidak meragukan bahwa perempuan perkotaan turut terlibat. Media online lainnya yang sangat fleksibel adalah e-banking, online shop, online ticket reservation. Media online tersebut membantu memperbaiki pelayanan publik jauh lebih baik dan cepat. Tentunya perempuan bisa memanfaatkan itu untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi dan pengetahuan perempuan, seperti online shop untuk bisnis ekonomi kreatif. Pemanfaatan teknologi yang tidak arif Hari ini semua orang menggunakan teknologi yang fungsinya memudahkan komunikasi jarak jauh, lintas negara dan benua. Dengan hadirnya teknologi wifi, internet, cloud computing, robotic, media sosial, dll, perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kelangsungan hidup manusia agar lebih baik. Boleh jadi teknologi itu diciptakan oleh laki-laki namun perempuan juga dapat merasakan manfaatnya secara menyeluruh. Seperti halnya perempuan kini dapat mengakses informasi dengan cepat karena adanya internet, semua pekerjaan domestik perempuan dapat dipermudah dengan adanya mesin cuci, pemanggang makanan, penyedot debu dan perangkat rumah tangga lainnya. Teknologi menjadi sebuah kegagalan modernitas jika ia tidak dapat menyelesaikan masalah sosial yang ada. Mulai dari masalah pertahanan negara, kemiskinan, pengangguran, sampah, transportasi dsb. Seharusnya teknologi bisa menyelesaikan itu. Fenomena yang ada berkaitan dengan pengaruh besar teknologi terhadap eksistensi manusia di lingkunganya. Siapa yang menguasai teknologi maka dia menguasai pasar, maka dia menguasai ekonomi, maka dia di level stratifikasi teratas. Salah satu contoh yang banyak terjadi di lingkungan mahasiswa adalah berkaitan dengan handphone. Handphone menjadi ukuran kelas seseorang. Sebagai seorang mahasiswi teknik saya pernah menanyakan kepada seorang teman mengenai alasan dia membeli hp merk Apple. Saya bertanya “kenapa kamu memilih membeli handphone itu, padahal gak bisa bluetooth kalau berbeda brand, kan jadi susah kalau mau transfer file?”. Kemudian teman saya menjawab “karena sedikit yang pakai handphone ini, kalau aku pakai terlihat eksklusif”. Saya cukup kecewa mendengar jawaban teman saya seperti itu, padahal dia bisa menjawab dengan lebih baik, misal dengan menyebutkan spesifikasi kamera, memori maupun prosesor yang digunakan sehingga lebih terasa rasional. Kemudian saya banyak bertanya kepada teman-teman saya yang lainnya, jawabannya hampir sama yaitu eksklusivitas pada merk handphone tertentu. Jika ditanyakan lebih lanjut apa yang mereka lakukan setiap harinya dengan hp yang rata-rata harganya 4-5 juta itu, jawabannya adalah akses media sosial sepanjang hari. Bahkan suatu ketika saya pernah pergi makan dengan teman-teman dan masing-masing sibuk dengan gadget yang membuat komunikasi face to face terasa jauh dibandingkan dengan komunikasi di dunia maya. Belum lagi merenggangnya interaksi antara orang tua dan anak, kakak dan adik karena penggunaan teknologi handphone yang tidak arif. Belum selesai dengan penggunaan handphone, kita beralih dengan penggunaan mobil yang berdampak pada kemacetan, kemudian plastik yang membuat munculnya fenomena sampah. Pemanfaatan teknologi yang tidak arif bukan hanya berdampak terhadap penurunan kualitas manusia namun juga berdampak pada alam. Manusia sudah menumpang hidup dengan alam namun merusaknya dengan alasan teknologi dan modernitas. Seharusnya teknologi menjadi alat pembantu bagi manusia bukan sebaliknya teknologi yang memperbudak manusia. Bukan teknologi yang tidak adil namun manusia selalu ingin menguasai. Kita tidak bisa memungkiri perubahan sosial yang ada bahwa teknologi menjadi sebuah kebutuhan, yang harus dilakukan adalah memfungsikannya secara maksimal dan mengontrol diri dari perbudakan teknologi. Pemanfaatan teknologi yang dilakukan secara tidak arif akan berdampak negatif terhadap manusia, terhadap ekologi dan terhadap keseimbangan alam. Daftar Referensi: https://salimalatas.wordpress.com/2013/11/02/cyberfeminisme-mencari-hubungan-teknologi-media-baru-dan-feminisme/ (diakses pada tanggal 1 Desember 2014, 23.00 Wib) http://nacculla.wordpress.com/2013/12/04/dewa-dewi-dalam-mitologi-yunani/ (diakses pada tanggal 1 Desember 2014, 23.00 Wib) Pagi itu berlalu seperti biasa, bangun pagi, mandi, berangkat ke kantor, buka laptop, cek email kantor, buka browser, cek Facebook, Twitter, Tumblr, LinkedIn. Semua saya lahap pagi-pagi karena saya bukan orang yang bisa tertib untuk membuka media sosial sore hari sekitar satu atau setengah jam sebelum jam pulang kantor. Scrolling down salah satu media sosial yang membuat seorang mahasiswa Harvard yang di DO menjadi salah satu laki-laki terkaya di dunia, sampailah saya pada satu artikel yang dibagikan oleh teman media sosial saya; “Wapres Ingin Jam Kerja Pegawai Perempuan Dikurangi Dua Jam.” (Kompas.com, Kamis, 27 November 2014). Saya sadar yang terjadi pada wajah saya saat itu adalah mengerutkan kening sambil tersenyum dengan mengangkat sudut bibir kanan saya. Sinis? Memang. Kebijakan berat sebelah manalagi yang akan ditetapkan oleh negara? Setelah ada tes keperawanan yang menjadi kebijakan internal di Kepolisian, sekarang perempuan harus mau dikurangi jam kerjanya untuk menjadi satu-satunya pihak yang akan disalahkan jika anak salah didik? Banyak hal yang muncul di kepala saya mengenai wacana itu (untung saja ini baru wacana), salah satunya keadilan. Menurut saya, ini bukan hanya diskriminasi antara pegawai perempuan dan laki-laki. Tapi, ini juga tidak adil untuk para perempuan sendiri. Pegawai perempuan yang jam kerjanya dikurangi dua jam adalah perempuan yang sudah memiliki anak pastinya, lalu bagaimana dengan perempuan yang masih single atau yang menikah dan belum memiliki anak? Hal lain yang ada di pikiran saya adalah mengapa tanggung jawab atas pendidikan anak itu hanya dilimpahkan kepada ibu? Dengan konsekuensi jika ada kegagalan disana, perempuan menjadi orang pertama bahkan mungkin satu-satunya pihak yang akan disalahkan. Dalam artikel yang saya sebutkan diatas, tidak ada dituliskan sama sekali bahwa bapak juga memiliki peranan penting dalam hal masa depan dan pendidikan anak. Saya sebagai perempuan, jelas menolak jika wacana tersebut dijadikan kebijakan oleh negara. Tidak perlu ada perbedaan jam kerja hanya karena takut masa depan anak bangsa akan tercecer entah kemana. Ketakutan itu akan lebih baik diatasi dengan memberikan jaminan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak bangsa. Kualitas guru dan sekolah yang diperbaiki, infrastruktur sekolah di kota sampai di pelosok dibenahi dan diperhatikan dengan baik, kurikulum sekolah segera ditetapkan dan meminimalisasi perubahan-perubahan kurikulum (yang selalu menjadikan anak-anak sekolah sebagai kelinci percobaan untuk kurikulum baru) tiap tahunnya. Jika memang masih dirasa jam kerja perlu dikurangi, maka kurangilah jam kerja orang tua, kedua orang tua dan bukan hanya jam kerja ibu. Bagi saya, tidak ada istilah pendidikan dan masa depan anak adalah tanggung jawab ibu seorang, bapak dan ibu memegang peranan yang sama pentingnya untuk anak; memberikan perhatian, pendidikan, menyiapkan masa depan, dan lain sebagainya. Kecuali para ibu sebagai single parent. Dua peran sekaligus yang ia mainkan di dalam keluarga, dan pasti semua akan dia berikan untuk anak tercinta; kenyamanan, rasa aman, pendidikan, masa depan, segalanya. Satu contoh dari sekian banyak ibu single parent hebat di sekitar kita, Rima Novianti, Komisaris PT Multi Terminal Indonesia. Seorang ibu single parent dengan 4 orang anak. Ia tetap bisa meluangkan waktu untuk keempat anaknya, meski dari jam 5 pagi pun ia sudah harus sampai dan mengatur kegiatan di pelabuhan. Orang tua hanya perlu menjadi smart worker disini, bukan untuk didiskriminasi jam kerja atau peranannya dalam keluarga. Dalam sudut pandang saya, saya sebagai perempuan hanya ingin adanya kesetaraan, sama, seimbang dengan laki-laki. Tak perlu muluk untuk ingin melebihi laki-laki, cukup mendapat posisi yang seimbang yang juga didukung oleh pemerintah saja sudah menjadi hal baik untuk perempuan di Indonesia ini. Semoga saja wacana ini akan tetap menjadi wacana semata, dan jika wacana ini dijadikan kebijakan oleh negara maka jelaslah sudah negara kita ini memang negara yang setengah-setengah, seperti meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai butir pertama dalam Pancasila, namun pada praktiknya isu-isu agama yang melanggar hak asasi manusia tidak pernah mencerminkan butir pertama dari Pancasila itu. Ada sebuah keprihatinan menyeruak dalam batin saya ketika harus menyampaikan bahasan tentang arus seksploitasi perempuan. Pasalnya, walaupun isu pengarusutamaan gender terus diangkat dan diperjuangkan bahkan hingga wacana affirmative action di parlemen, ternyata eksistensi atau keberadaan perempuan di negeri ini masih saja anomali. Istilah seksploitasi perempuan saya definisikan sebagai aktivitas eksploitasi citra tubuh perempuan untuk kepentingan pemuasan hasrat seksualitas publik, khususnya laki-laki. Bentuk seksploitasi ada pada gambar, foto, video hingga film, yang mensyaratkan perempuan dengan bentuk badan proporsional menampakkan hampir, sebagian atau bahkan seluruh bagian tubuh paling privatnya. Kita boleh bersepakat bahwa perempuan hari ini mulai menikmati pendidikan, mendapatkan akses informasi serta memperluas cakrawala dan kemerdekaan untuk mengambil peran dalam masyarakat. Namun demikian, pada saat yang sama ternyata citra atau image tentang perempuan tidak pernah berubah. Bahwa perempuan adalah makhluk lemah, manusia nomor dua, serta boleh diobjekkan adalah fakta. Ketimpangan gender tersebut nyata terlihat dalam wacana menyoal seksualitas, yakni, perempuan masih dilihat sebagai objek seks. Perempuan boleh kian bebas bekerja ke luar rumah, namun di kantor mereka boleh saja dilirik bos, digoda lelaki asing di jalan serta yang paling memprihatinkan ada pada level UU terkait pemerkosaan pun perempuan tidak mendapat area yang sama adil untuk memperjuangkan haknya. Term seperti wanita simpanan, wanita nakal, pelacur, wanita penggoda, semua dibebankan kepada perempuan. Dewasa ini, seksploitasi sebagai manifestasi pembendaan perempuan mencapai puncaknya dalam era kebudayaan pascaindustri lewat seluruh media massa. Aktivis perempuan, Marwah Daud Ibrahim, dalam makalah berjudul “Seksploitasi: Citra Perempuan dalam Media” sejak 1990 menduga bahwa eksploitasi citra tubuh perempuan di media terjadi karena chain of activities media massa di Indonesia, bahkan hampir di seluruh dunia, dimana lelaki menempati segala posisi mulai dari fotografer, reporter, editor, layouter, kolumnis, dewan redaksi, loper dan bahkan pembelinya. Sehingga, wajar saja bahwa keindahan ditentukan menurut standar lelaki. Berdasarkan tesis tersebut, Marwah berpendapat bahwa seiring jumlah wanita yang bergelut dalam media massa yang semakin meningkat, maka cepat atau lambat akan mengubah cara pandang media terhadap perempuan. Faktanya, yang terjadi hari ini justru kian buruk meski perempuan benar-benar mendapat hak yang sama untuk memanusiakan dirinya. Sebut saja majalah-majalah wanita yang bertebaran di negeri ini, mulai dari skala lokal hingga nasional. Jika kita amati rubriknya, paling banyak seputar kecantikan. Iklan masih penuh dengan promosi busana dan kosmetika. Obsesi kebendaan menjadi penting seperti tips melangsingkan badan, memuluskan betis, dan mengatur rambut. Sesekali ada latihan kepribadian, pun juga hanya seputar cara bergaul dan sikap bicara, bukan tentang apa yang dibicarakan. Sebatas permukaan, bukan substansi. Industri kebudayaan yang materialistik, hedonistik, sekularistik dan individualistik tidak terpengaruh oleh partisipasi dan karya perempuan di sektor publik. Perempuan adalah objek konsumsi yang strategis bagi kapitalisme. Dampak dan Tantangan Globalisasi informasi semakin membuat arus seksploitasi tak terbendung. Dampaknya tentu tidak sederhana dan tidak bisa dianggap enteng. Tengok saja ketika anda mengakses laman-laman informasi atau berita dan juga akun media sosial, ruang-ruang iklan tidak lepas dari citra seksploitasi perempuan berupa foto-foto seronok. Hal tersebut sudah menjadi pemandangan biasa bagi generasi remaja abad modern. Kebiasaan melihat pemandangan serupa itu berpengaruh pada psikologis bawah sadar teman-teman lelakinya yang memandang bahwa seluruh teman perempuannya boleh juga dieksploitasi. Isu seksualitas tidak lagi ditempatkan pada ranah yang luhur dan sakral, namun sebatas syahwat fantasi-fantasi kotor. Alam pikir generasi muda menjadi kusut. Dampak lanjutannya tentu tidak akan tercipta generasi yang gemar belajar, membaca buku, mampu berpikir jernih serta analitis. Banyak sudah penyimpangan yang terjadi mulai dari pelecehan seksual, seks bebas usia remaja yang terus meningkat jumlahnya, hingga sadisme seks yang berujung kematian. Dalam hal ini, perempuan lebih sering menjadi korban sesuai stigma pasif dan masokis yang melekat pada dirinya. Skenario relasi wanita dan seks yang dikurung dalam bingkai komoditas harus dihalau lewat kerjasama semua pihak. Pertama, media tidak harus sekadar maskulin namun juga menjadi feminis, menjalankan fungsinya sebagai peradaban yang bergerak dan tak mesti limbung digilas mesin kapitalisme. Sebagai sikap pemihakan terhadap hak-hak perempuan, harus ada sikap serius agar media cetak maupun elektronik menurunkan intensitas pemanfaatan sensasi seksual perempuan dalam bentuk citra, kata maupun ideologisasi pelemahan perempuan. Selanjutnya, sebagian masyarakat pasti berpendapat bahwa supply citra seksploitasi perempuan dapat terjadi karena perempuan mengizinkan hal tersebut. Ini merupakan fakta ironis. Di satu sisi, wanita memang terindoktrinasi arus modern perihal kesuksesan instan yang dapat diraih dengan mengejar standar cantik ala iklan produk kecantikan. Namun, di sisi mentalitas, kesadaran perempuan menerima stereotip tersebut, bahwa kedudukan perempuan memang sebatas manusia kelas dua yang boleh diobjekkan. Maka, tantangan kedua adalah apa yang diungkapkan oleh Danarto dalam Perempuan, Pasar Film dan Kekuasaan (1996) bahwa perempuan kita hanya bisa ditolong oleh masyarakat perempuan sendiri. Bahwa kejahatan kemanusiaan berupa pembendaan manusia harus menjadi tanggung jawab bersama baik laki-laki maupun perempuan, namun bagaimanapun juga perempuan harus bekerja keras untuk terus mengedukasi dirinya sendiri dan kaumnya. Pendidikan adalah alat paling efektif dalam rangka pemerolehan kesadaran atas diri dan realitas Pada akhirnya, semoga perempuan tetap menjadi empu, dan seksualitas yang membawa pesan awal kehidupan (eros) tak hanya dicap sebagai ekstase hasrat yang nirmakna. Beberapa minggu lalu, saya mendapat telepon mengejutkan dari pos jaga di depan kantor. “Mbak, ada dua tamu yang mengunggu di depan”, kata Pak Mado, satpam KontraS. Lebih terkejut lagi saya, tatkala bertemu dengan kedua tamu tersebut. Rupanya mereka masih muda dan berasal dari dua lembaga berbeda, masing-masing dari Arus Pelangi dan Perempuan Mahardika. Bukan hal mengherankan jika saya terkejut. Biasanya tamu yang saya terima lebih banyak berusia senja. Maklum, saya berada di Divisi Pemantauan Impunitas. Divisi khusus di KontraS yang menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Salah satu tamu tersebut bertanya dengan malu-malu, “Mbak, tanggal 20 November mendatang kami akan memperingati Hari Transgender Internasional. Bolehkah kami menyelenggarakan puncak peringatannya di Aksi Kamisan?”. Tentu, saya yang memiliki ketertarikan lebih pada kajian gender dan perempuan sangat antusias menyambut usul tersebut. Alangkah menyenangkan jika Aksi Kamisan yang seringkali hanya digelar bersama lima sampai delapan korban berusia senja, akan kedatangan sekitar 50-60 orang kawan transgender dari beberapa provinsi di Indonesia. Sampai hari itu tiba, saya sangat bersemangat mempersiapkannya. Upaya kecil mengajak kawan-kawan jaringan untuk hadir pun saya coba lakukan. Entah itu lewat pemberitahuan singkat di berbagai grup pertemanan, atau sekadar membuat kultweet singkat tentang agenda di Aksi Kamisan ke-375 tersebut. Seperti Kamisan-Kamisan sebelumnya di era pemerintahan baru ini, saya bertugas menjadi editor surat Kamisan yang akan diserahkan ke Sekretariat Negara—yang semoga kemudian disampaikan pula kepada Bapak Presiden Joko Widodo. Betapa sedih rasanya ketika membaca surat Kamisan yang dikirimkan oleh komunitas pendamping kawan-kawan transgender. Tertera di dalamnya narasi beberapa kasus kejahatan yang umumnya menimpa mereka, diantaranya adalah stigmatisasi, diskriminasi (termasuk dalam beberapa akses layanan publik), kekerasan verbal maupun non-verbal, penolakan dan pengusiran secara paksa atas dasar kebencian, hingga tindak penghilangan nyawa yang seringkali disertai dengan tindak penyiksaan. Transgender Day of Remembrance merupakan sebuah hari yang sengaja diperingati untuk mengenang mereka yang menjadi korban saat mengampanyekan anti-transgender di berbagai belahan dunia. Adapun peringatan tersebut pertama kali dilakukan untuk mengenang Rita Hester, seorang transgender yang dibunuh pada 28 November 1998 di Allston, Massachusetts, Amerika Serikat. Transgender sendiri—sebagaimana yang didefinisikan oleh beberapa komunitas transgender di Indonesia—merupakan sebuah terminologi payung yang mencakup transgender wanita (waria), transgender pria (priawan/transmen), serta varian-varian gender lainnya yang belum terkonfirmasi secara normatif. Tahun ini, momentum peringatan Hari Transgender di Indonesia tidak hanya dimaknai sebagai wujud kepedulian atas berbagai bentuk ketidakadilan terhadap transgender yang masih berlangsung hingga hari ini, tetapi juga sebagai desakan kepada pemerintahan baru untuk segera mengakui gender ketiga. Menjelang pukul 14:00 di tanggal 20 November lalu, kantor KontraS telah dipenuhi sekitar 40 kawan-kawan transgender. Mereka semua menggunakan kaos hitam dengan tulisan “Akui Gender Ketiga di Indonesia, Sekarang!” yang berwarna kuning. Terasa betul semangat mereka di hari itu. Beberapa bahkan sudah berdandan dan berfoto bersama di depan instalasi yang berdiri di halaman depan kantor—padahal aksi baru akan digelar pada pukul 16:00. Saya kembali mendatangi Lutfi, panitia dari Arus Pelangi yang saban hari mendatangi kantor. Saya hendak meminta beberapa perwakilan dari kawan-kawan transgender membaca kembali surat yang telah saya edit. “Ini kenapa kasus pengusiran di Tambora tahun 2013 sih yang dimasukin?”, protes Fin, selaku koordinator lapangan. “Masih banyak kasus lainnya yang lebih up-date. Kalau nggak salah awal tahun ini ada teman kita yang dibunuh deh di Taman Lawang”, lanjutnya. Akhirnya saya dan Fina mencari berita tersebut di internet. Kami memasukan beberapa kata kunci, seperti “waria+pembunuhan+Taman Lawang” atau “Maret 2014+ pembunuhan+waria”, dan lain sebagainya. Sungguh menyedihkan ketika yang kami dapati adalah berita bernada minor yang mencemoohkan transgender. Sebagian besar berita malah memuat judul yang terkesan “esek-esek” dan sangat merendahkan kelompok waria pada khususnya. Lama kami mencari. Akhirnya kami menemukan satu portal berita yang memuat pembunuhan waria pada awal tahun 2014 ini. Pun artikel tersebut tidak ditulis dengan nada simpati, seperti kebanyakan berita pembunuhan lainnya yang juga menyertakan keterangan visum korban atau pernyataan keluarga korban. “Duh, ini sudah hanya satu, bahasanya begini pula yaa..”, keluh Fani. Baru kali itu saya mendengar langsung keluh dari seorang waria terkait pemberitaan media tentang kawan-kawannya. Begitu banyak tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual di Indonesia, namun hanya sedikit sekali yang diberitakan oleh media—apalagi dengan komposisi perspektif HAM atau gender yang proporsional, nyaris tidak ada. Menjelang pukul 15:00, kami dikejutkan dengan informasi adanya aksi perwakilan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) se-Indonesia di depan Istana Negara yang menuntut dibatalkannya kenaikan BBM bersubsidi. Tentu bukan momentum ideal bagi kawan-kawan transgender menggelar aksi bersamaan dengan mereka. Faktor keamanan menjadi prioritas utama yang harus dipertimbangkan. Alhasil saya pun bergegas pergi ke lokasi guna memantau dinamika aksi di sana. “Ayash, sepertinya tidak memungkinkan bagi kita untuk melanjutkan acara deh”, jelas Widy—salah seorang staf Divisi Program dari Arus Pelangi, “Soalnya beberapa bulan lalu kita sempat diserang waktu buat acara di Depok dan Jakarta. Mereka yang menyerang kita ada diantara barisan mahasiswa itu, Yash!”. Saya tetap bersikukuh soal keamanan kawan-kawan, mengingat banyaknya aparat kepolisian yang akan berjaga di sekitar lokasi Aksi Kamisan. Saya percaya mahasiswa masih memiliki rasa toleransi antar sesama. Pendapat bodoh tersebut luruh seketika tatkala Lutfi menelepon saya. “Yash, maaf sekali kami tidak bisa melanjutkan aksi. Kawan-kawan di sini beberapa masih ada yang trauma. Mereka pernah digebuki ketika menggelar aksi di daerah masing-masing. Sebenarnya tidak apa-apa, tapi kasihan mereka kalau dipaksakan. Kami langsung balik ke wisma ya, Yash. Tolong sampaikan terima kasih dan maaf kami kepada Ibu Sumarsih, serta korban-korban pelanggaran HAM lainnya yang telah memberikan izin”. Hari itu kami memang tetap menggelar Aksi Kamisan. Surat Kamisan ke-5 yang bertajuk “Akui Gender Ketiga: Peringatan Hari Mengenang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Transgender (International Transgender Day of Remembrance)” pun tetap kami sampaikan ke petugas Sekretariat Negara. Hari itu kami juga tetap menggelar refleksi dengan tema serupa. Kami juga tetap membagikan surat yang sama ke beberapa rekan media dan mahasiswa yang datang meliput. Semua sama, tapi tentu ada yang berbeda tanpa kehadiran kawan-kawan transgender di sana. Di ruang-ruang kelas, kita sering berbicara tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kita juga sering berbicara tentang keadilan dan kesetaraan. Tetapi, di ruang-ruang masyarakatlah kita akan melihat bagaimana seluruh konsep tersebut melebur dengan realitas. Hari itu juga, saya mendapat kabar menyedihkan dari seorang kawan. Aksi simpatik kawan-kawan transgender di Yogyakarta mendapat serangan dari beberapa oknum yang mengatasnamakan agama. Beberapa kawan di sana terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Fear of crime Guna melindungi kepentingannya, beberapa kelompok masyarakat menganggap komunitas LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer) sebagai sebuah kelompok kriminal. Mereka takut. Oleh karena itu bagi mereka keberadaan komunitas LGBTIQ pantas dimusnahkan sampai ke akar-akarnya agar tidak menjadi bahaya laten seperti komunis. Itulah sebabnya saya percaya, bahwa tabu terhadap persoalan seksualitas di Indonesia sama bermasalahnya dengan tabu fakta kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Di sisi lain, ketakutan yang sama juga terjadi pada komunitas LGBTIQ di Indonesia. Mereka merasa takut pada kelompok-kelompok ekstremis yang intoleran atau anti terhadap keberagaman. Meski tak sedikit pun kawan-kawan LGBTIQ menganggap gerombolan tersebut sebagai kriminal yang pantas dibumihanguskan. Adalah pesan untuk hidup berdampingan tanpa stigma, diskriminasi, kekerasan, dan ketakutan semacam itulah yang hendak komunitas ini sampaikan kepada publik. Saya masih percaya—betapa pun saya telah menyaksikan sendiri ketakutan kawan-kawan transgender di hari itu—bahwa suatu saat masyarakat Indonesia belajar saling menghargai. Dengan bijak menolak kekerasan dan merawat kebebasan. Entahlah. Setidak-tidaknya, jika menggunakan perspektif gender dirasa masih sangat sulit untuk diterima, mungkin kita dapat belajar menggunakan perspektif kemanusiaan dalam menyikapi perbedaan. Bukanlah, manusia diciptakan untuk tidak saling melukai sesama? Saya menapaki tahun ketiga di perguruan tinggi. Ada jokes yang cukup populer bagi mahasiswa tingkat akhir seperti saya, “Anda Memasuki Semester dimana pengen Nyerah dan Nikah” tak ayal, seminar tentang pernikahan marak sekali di kampus-kampus dan pesertanya tidak pernah sepi. Dan lebih uniknya lagi, peserta seminar bertema pernikahan tersebut kebanyakan adalah perempuan. seakan-akan menikah adalah solusi segala permasalahan perempuan. Hal ini tidak bisa ditepis begitu saja, perempuan dibesarkan dengan kisah-kisah seperti Putri Salju, Putri Duyung, Timun Mas, Bawang Merah Bawang Putih, Lutung Kasarung yang semua akhir ceritanya ditutup dengan kabahagiaan pernikahan. Seakan-akan menikah adalah sumber penyelesaian segala problematika kehidupan. Tidak heran, bagi banyak perempuan, pernikahan adalah sebuah cita-cita. Cinta adalah alasan paling besar bagi perempuan tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Angka putus sekolah perempuan karena menikah usia 7-12 tahun sebesar 27,78 persen (Data Statistik Pendidikan, cbs, 2006). Belum lagi anak-anak perempuan yang terpaksa putus sekolah karena hamil di usia sekolah. Lembaga pendidikan menganggap anak perempuan ini sudah rusak dan tidak layak bersekolah karena hamil sebelum waktu ideal. Beberapa perempuan yang lulus pendidikan hingga SMA tergerus lagi untuk mencari kerja saja dan kemudian menikah oleh rekan kerjanya yang lebih tua. Ataupun yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi hingga ke tingkat semester atas seperti saya ini, digoda lagi oleh bujukan cinta dengan iming-iming menikah. Sehingga hanya tersisa 2% perempuan yang berhasil menerima gelar doktor di seluruh dunia. Melalui esai ini saya mengimbau bagi perempuan muda untuk tidak buru-buru menikah atas nama cinta. Pertama karena tubuh dan rahim yang belum siap. Pada umumnya perempuan sudah mengalami menstruasi sejak usia 14 tahun kurang atau lebih. Tetapi belum tentu rahim sudah siap untuk dibuahi. Kematangan rahim berada di usia 20-35 tahun. Jika melahirkan dibawah usia yang dianjurkan, perempuan akan rentan mengalami kecemasan saat hamil, kesehatan menurun atau kelahiran bayi prematur. Kedua, jika perempuan memilih menikah dan membina rumah tangga di usia muda dan meninggalkan sekolah, perempuan akan memiliki ketergantungan finansial yang tinggi kepada kepala rumah tangga yang sesuai undang-undang perkawinan negara adalah suami atau laki-laki. Ketergantungan finansial membuat perempuan lebih mudah mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena perempuan akan sulit lepas dari sang suami dan menganggap adegan demi adegan kekerasan sebagai bumbu rumah tangga. Lalu, menikah di usia muda akan melenyapkan kesempatan-kesempatan mencoba hal-hal baru. Karena ketika menikah berarti kita berkomitmen terhadap pasangan hidup kita dan pastinya dilanjutkan membina keluarga. Sering identitas perempuan melebur dan kesempatan mencoba hal-hal baru akan berganti menjadi mengurus anak dan suami. Perempuan tidak memilih kesempatan untuk mendaki Himalaya, belajar diving, makan masakan Afrika, keliling dunia dan lain-lain. Kehidupan permpuan akan terpusat dalam urusan keluarga dan itu saja. Terakhir, perempuan yang orientasinya sudah terlanjur terpusat pada anak dan keluarga akan melewatkan kontribusinya untuk membangun bangsa dengan cara lain selain berreproduksi. Seringkali hamil dan melahirkan menjadi alasan bagi perempuan berkontribusi dan berkarya dengan menjadi mesin penghasil anak. Padahal ada banyak cara mengabdi pada negara kita selain beranak. Kita bisa menulis, membuat film, mengajar ke daerah pedalaman, menjadi aktivis politik, menyebarkan dan mewujudkan ide-ide dalam membangun sumber daya manusia yang adil dan beradab, mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tantangan terbesar bagi perempuan dari godaan nikah adalah lingkungan yang menganggap hidup adalah arena balapan. Mereka saling kejar-mengejar siapa yang lulus duluan, nikah duluan, hamil duluan, anaknya lulus duluan, dan seterusnya. Terkadang, kita larut dalam balapan tanpa menikmati esensi hidup. Alquran berbicara tentang para wanita yang saleh dan beriman, mu’minat, muslimat, dan bahkan menyebut-nyebut mereka dengan nada yang sama dengan para pria yang saleh dan beriman. Hanya ada satu tokoh wanita negatif dalam Alquran yaitu istri Abu Lahab QS:111. Kedudukan wanita dalam Alquran merupakan suatu peningkatan nyata dari keadaan di Arabia pra-Islam. Kaum wanita kini dapat mempertahankan dan membuat keputusan sendiri mengenai kekayaan yang mereka bawa serta atau yang mereka kumpulkan selama perkawinan mereka dan kini pun diizinkan, untuk pertama kalinya menerima warisan. Kadang-kadang izin yang ditetapkan QS 4:3 tentang poligami sering ditafsirkan salah. Aturan Alquran bahwa para wanita itu harus mendapatkan perlakuan yang adil telah mendorong banyak tokoh modernis untuk mendalilkan monogami sebagai bentuk ideal. Izin untuk menghukum istri yang membangkang diredakan oleh hadis nabi “Yang paling baik di antara kalian adalah yang memperlakukan istrinya dengan cara yang paling baik pula”. QS 2:187 “Kaum wanita itu adalah pakaian bagimu sebagaimana kamu adalah pakaian bagi mereka”. Pakaian merupakan alter ego-nya, yaitu objek yang paling erat terkait dengan kepribadiannya. Alquran hanya menyebutkan satu orang wanita dengan namanya yang sesungguhnya. Dialah Maryam, perawan yang menjadi ibu Isa. Hadis menyebutkan, “Dialah yang pertama-tama akan masuk surga. Untuk dialah pohon kurma yang kering menjatuhkan buah-buahannya ketika dia berpegang padanya saat merasakan kesakitan menjelang melahirkan, dan anaknya yang baru lahir menjadi saksi atas kesuciannya” QS 19:24, 30-33. Dialah jiwa pendiam dan rendah hati. Wanita yang pertama, Hawa. Dalam tradisi disebutkan tercipta dari tulang rusuk Adam. Goethe penyair terbesar dari Jerman mereproduksi syairnya dari hadis ini menasihatkan pria agar memperlakukan wanita dengan ramah dan sabar. Karena Tuhan mengambil tulang rusuk yang bengkok untuk menciptakannya, bentuk yang dihasilkan tidak bisa lurus sepenuhnya. Maka jika pria berusaha untuk menekuknya dia akan patah, dan jika dia membiarkannya tanpa diganggu, dia akan semakin bengkok. Perlakukanlah wanita dengan sabar dan hati-hati sebab tak seorang pun menginginkan tulang rusuk yang patah. Tak pernah sekali pun disebutkan dalam Alquran bahwa Hawa bertanggung jawab atas terusirnya mereka dari surga, dan dengan demikian membebaninya dengan tuduhan membawa dosa asal ke dalam dunia. Sesungguhnya Islam bahkan tak mengenal gagasan mengenai dosa asal. Hawa memang memainkan peranan penting. Kecantikannya digambarkan dalam warna-warna yang penuh cahaya, “Dia sama besar dan sama eloknya dengan Adam, punya 700 jalinan di rambutnya, dihiasi dengan chrysolite dan wangi kesturi. Kulitnya lebih lembut daripada Adam dan lebih indah warnanya, dan suaranya lebih merdu daripada suara Adam”. Juga diceritakan dalam tradisi bahwa Tuhan berfirman kepada Adam, “Belas kasih-Ku telah Kucurahkan seluruhnya untukmu dan hamba-Ku, Hawa dan tidak ada rahmat lain, wahai Adam, yang lebih besar daripada seorang istri yang takwa”. Legenda-legenda yang menggambarkan bersatunya pria pertama dengan wanita pertama itu mengemukakan seluruh perincian yang membuat perkawinan duniawi tersebut begitu meriah. Sebagian legenda bahkan menceritakan bahwa para malaikat menaburkan koin-koin surgawi ke atas kepala pasangan pengantin itu. Tapi begitu mereka terjerat godaan dari ular kecil yang memasuki taman dengan bersembunyi di dalam paruh burung merak, begitu mereka makan buah terlarang, pakaian mereka lepas. Cerita-cerita tradisional biasanya memanfaatkan bagian ini untuk menekankan kesembronoan Hawa. Gambaran-gambaran dramatis mengungkapkan bagaimana Hawa bertanya kepada Tuhan di mana dia membuat kesalahan dan hukuman apa yang akan diterimanya, dan Tuhan menjawab, “Aku akan mengurangi kemampuanmu dalam bidang pemikiran dan agama, dan juga untuk menjadi saksi dan menerima warisan.” Kata-kata ini diambil dari Alquran yang menyatakan bahwa dua orang wanita dibutuhkan untuk menjadi saksi sebagai pengganti satu orang pria QS 2:282 dan anak perempuan menerima warisan lebih sedikit daripada anak laki-laki QS 4:11. Dengan cara yang sama, hukuman ilahi selanjutnya “Memenjarakanmu seumur hidupmu” dikembangkan dari suatu pemahaman khas mengenai pingitan. Hawa juga diberi tahu bahwa tidak akan ada wanita yang ikut serta di dalam salat Jumat. Dia juga tidak diperbolehkan untuk menyalami siapapun. Hukumannya adalah menstruasi dan kehamilan dan seorang wanita tidak akan pernah menjadi nabi atau orang bijak. Semua ini hanya untuk menunjukkan betapa banyaknya asumsi-asumsi yang tersebar luas tanpa didasarkan pada kata-kata dalam Alquran melainkan pada tafsir-tafsir imanjinatif. Hawa bertobat atas pelanggaran yang dilakukannya dan diampuni. Tapi Adam dan Hawa dipisahkan setelah mereka diusir dari surga, dan legenda menyebutkan bahwa mereka bertemu lagi bertahun-tahun kemudian di pinggir kota Makkah. Jibril mengajarkan kepada Adam urutan-urutan ibadah haji ketika dia sedang beristirahat di bukit Safa dan Hawa di bukit Marwah, dan mereka mengenali satu sama lainnya ta’arafah di Padang Arafat. Istri kedua Ibrahim, Hajar. Berlari bolak balik antara Marwah dan Safa tujuh kali mencari air untuk Ismail dan pada perjalanan ke tujuh keluarlah mata air Zamzam. Tokoh lain dalam tradisi rakyat adalah putri Nimrud. Raja yang memerintahkan agar Ibrahim di bakar. Cerita ini mengisahkan bahwa gadis ini , terdorong oleh keyakinan Ibrahim, melemparkan dirinya ke dalam kobaran api dan seperti Ibrahim juga tetapi terlindung dari bara api. Istri Fir’aun, Asiyah wanita beriman yang menyelamatkan bayi Musa. Dengan cara inilah dia menemukan tempatnya di surga. Kecantikannya sebanding dengan Maryam, Khadijah dan Fatimah melampaui keelokan semua perawan di surga. Ratu Saba yang dikenal sebagai Bilqis QS 27 adalah penyembah matahari yang menantang Sulaiman dengan tiga tebakan. Wanita itu telah tertipu oleh pantulan dari lantai kaca di istana Sulaiman (mengira bahwa dia sedang berjalan melewati air) sehingga dia menaikkan gaunnya, dan memamerkan kedua kakinya QS 27:43. Sulaiman menjadi tahu bahwa Bilqis putri jin dan seorang manusia biasa mempunyai tubuh manusia normal. Ibn ‘Arabi menyebut kebijaksanaan Ilahi sebagai “Bilqis”, sebab wanita itu adalah anak teori yang halus dan anak praksis yang kasar, sebagaimana Bilqis yang sekaligus makhluk halus dan wanita biasa sebab ayahnya adalah jin dan ibunya seorang manusia biasa. Bagi Jami, Bilqis adalah seorang ratu yang bijaksana, yang pandangannya berimbang mengenai wanita yang baik dan yang jahat dan kritik lembut. Rumi menceritakan bagaimana Bilqis mengirimkan emas kepada Sulaiman dan bagaimana raja itu mengirimkan kembali pasukan sang ratu kepadanya. Bilqis lalu melakukan perjalanan panjang, dan selama perjalanan itu dia memisahkan dirinya semakin lama semakin jauh dari dunia, hingga seluruh kepribadiannya berubah menjadi kepribadian sang kekasih. Bilqis mengingatkan kita pada Zulaikha, istri Potiphar dalam Perjanjian Lama. Dalam tradisi Islam, Zulaikha berubah menjadi seorang wanita yang terobsesi oleh cinta dan mau melakukan apa saja untuk mendapatkan kekasihnya Yusuf. Ketampanan Yusuf membuat banyak perempuan terpesona sehingga secara tidak sadar memotong jari-jari mereka sendiri yang sedang mengupas jeruk. Zulaikha melakukan apa pun yang dapat dipikirkannya untuk merayu Yusuf. Dia memerintahkan istananya dihiasi dengan gambar-gambar yang membangkitkan nafsu sehingga Yusuf akan membayangkan dirinya bersama Zulaikha tenggelam dalam kenikmatan cinta ke mana pun pandangan matanya tertuju. Yang menarik dari adegan rayuan ini adalah sikap Zulaikha terhadap berhala yang disimpannya di kamarnya. Semua manusia harus belajar dari Zulaikha bagaimana menaati sopan santun ketika memikirkan objek pujaannya dan dia menutupi wajah berhalanya agar tidak menyaksikan hal yang tidak sopan. Yusuf bin Husain Ar-Razi (w. 916) mempunyai pendapat yang lebih mendalam, “Ketika dia menyingkirkan nafsunya, Tuhan mengembalikan kecantikan dan usia mudanya. Sudah menjadi hukum alam bahwa ketika sang pria maju, wanitanya diam menunggu. Jika sang pria sudah puas dengan cinta saja, maka wanitanya mendekat”. Zulaikha menjadi wanita-jiwa yang menjalani kehidupan dalam pertobatan yang berat dan kerinduan yang tak ada akhirnya. Cinta telah merobek Zulaikha dari selubung kesucian. Zulaikha menjadi lambang bagi semua orang yang merasakan penderitaan cinta dan kerinduan yang tak terbalas. Maka dia menjadi pahlawan wanita yang berani dan kuat, yang rela menahan apa saja demi Kekasihnya. Orang-orang selalu melihat pakaian Yusuf yang tersobek, tapi siapa yang melihat hati Zulaikha yang terluka dan patah? Para penyair menggambarkan Zulaikha yang sebelumnya sangat cantik, beranjak tua dalam kesengsaraan dan duduk dengan putus asa di sisi jalan, dengan harapan dapat menatap Yusuf sekilas saja. Seperti Ya’qub, Zulaikha pun menjadi buta karena terus-menerus meratap dan merindukan bau selintas saja kehadiran Yusuf. Hanya pikiran mengenai Yusuf yang membuatnya tetap hidup; dia hanya memikirkan namanya sebagaimana jiwa mestinya terus memikirkan Kekasih Ilahi. Ibn Arabi menceritakan bahwa Zulaikha pernah terluka oleh sebatang anak panah. Ketika darahnya menetes ke atas tanah, darah itu membentuk nama ‘Yusuf, Yusuf’ di mana pun ia jatuh; karena dia terus-menerus menyebutkan namanya, maka nama itu mengalir bagaikan darah di dalam urat nadinya. Setelah mengalami kerinduan dan keputusasaan, kesetiaan Zulaikha yang tak tergoyahkan akhirnya mendapatkan imbalan. “Ketika siksaan dan jiwamu lebih rendah dan kelemahan tubuhmu telah menjadikanmu tua dan membusuk, segarkanlah kembali jiwamu seperti Zulaikha dengan merindukan Sahabatmu”. Zulaikha yang penuh cinta akhirnya menjadi personifikasi jiwa manusia, nasf. Bau dari kemeja Yusuf menyentuh perasaannya dan mengungkapkan ketampanannya, sebab bau, nafas dari Yang Maha Pemurah, membawa kabar dari sang kekasih dan kedekatan dari sang kekasih menyegarkan kembali wanita yang melayu karena kesedihan. Zulaikha yang pernah ditunangkan dengan suami yang impoten, masih tetap perawan, dan kini Yusuf yang penuh cinta merobek kesucian lapisan pengantinnya sebagaimana dulu wanita itu merobek kemejanya. __________ * Ikhtisar salah satu bab dari buku karya Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminin dalam Spritualitas Islam, yang diterbitkan oleh Mizan tahun 1998. Buku ini diterjemahkan dari bahasa Inggris dengan judul Meine Seele ist eine Frau: Das Weibliche im Islam, terbitan Kosel tahun 1995 |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |