Pencitraan Perempuan oleh Media: Eksploitasi Tubuh Perempuan sebagai Objek Kepuasan Lelaki Media massa, sebagai sumber informasi dan rekreasi, telah menjadi bagian penting dalam kehidupan di era teknologi. Manusia hidup bersama dengan media dan dalam prosesnya juga dibombardir berbagai hal dan informasi oleh media. Media sanggup memberikan berbagai macam hal baru bagi para penggunanya, bahkan dalam beberapa fenomena, media juga dapat mengubah serta mengarahkan situasi sosial dari masyarakat penggunanya. McQuail (2004) menyebutkan[1] “Mass communication brings about or facilitates the existence of mass audiences, consensus on opinions and beliefs, mass consumer behavior, mass politics and other features of the so-called mass society.” Jadi, media mampu menimbulkan adanya audiens atau konsumen dalam jumlah banyak, serta mampu menyamakan opini dan kepercayaan serta sikap dari penggunanya. Dalam hubungannya dengan kehidupan sosial manusia, pengaruh media massa juga terasa pada kehidupan sosial perempuan. Stigma dan stereotip yang terbentuk di masyarakat mengenai perempuan sedikit banyak dipengaruhi oleh media. Media menyajikan citra perempuan secara arbitrer atau sewenang-wenang, seringkali tanpa memikirkan dampak yang bisa timbul dari citra yang dibangun tersebut. Citra perempuan yang dibangun dalam media disesuaikan dengan kebutuhan para pelaku bisnis dan industri yang berada di belakang layar. Seringkali perempuan dijadikan objek agar tujuan industri tercapai, misalnya rating yang tinggi. Perempuan dijadikan sebagai objek melalui cara yang bervariasi. Cara yang paling ampuh dan paling sering digunakan adalah dengan melakukan eksploitasi berlebihan terhadap tubuh perempuan. Menurut Sharma (2012), “Although the media has played an important role in highlighting women’s issues, it has also had negative impact, in terms of perpetrating violence against women through pornography and images of women as a female body that can be bought and sold.” Eksploitasi tubuh perempuan yang divisualisasikan dalam bentuk konten media seolah-olah menjadikan tubuh perempuan sebagai alat tukar dengan keuntungan pelaku industri. Tubuh perempuan yang diekspos oleh media menjadikan perempuan sebagai objek yang bisa diperjualbelikan, dengan timbal balik berupa rating, laba industri, peningkatan pengguna media massa dan seterusnya. Fredrickson dan Roberts (1997) membuat sebuah teori yang bernama Objectification Theory. Asumsi pusat dari teori ini adalah “...that women exist in a culture which their bodies are ‘looked at, evaluated, and always potentially objectified”. Kultur di dalam masyarakat yang kemudian sampai kepada media dan segala alur konten di dalamnya—juga sebaliknya, penggambaran dari media yang sampai kepada masyarakat—selalu menempatkan tubuh perempuan sebagai salah satu hal yang bisa ditangkap oleh mata dan kemudian dijadikan objek. Identitas perempuan dan laki-laki juga seringkali dibedakan dalam kemunculan mereka di media. Terlihat perbedaan dalam ditampilkannya citra laki-laki dan perempuan oleh media. Laki-laki biasa berperan sebagai subjek, yang memiliki kendali dan hasrat terhadap perempuan, sedangkan perempuan berperan sebagai objek, terlebih objek fantasi laki-laki, yang mempertontonkan bagian tubuhnya agar laki-laki mendapatkan kepuasan. Situasi ini yang digambarkan dalam banyak iklan, film, gambar, suara dan jenis-jenis bentuk visual maupun auditori lainnya dalam media massa. Contoh iklan yang menunjukkan adanya perbedaan situasi tersebut adalah iklan parfum laki-laki, Axe. Dalam iklan-iklan Axe, storyline iklan adalah seorang laki-laki yang sedang menyemprotkan parfum ke tubuhnya, dan tidak beberapa lama berselang, beberapa perempuan berpakaian minim dengan kostum bersayap jatuh dari langit-langit ruangan tempat dimana laki-laki tersebut berada. Setelahnya, perempuan-perempuan tersebut mulai menempelkan tubuh mereka pada tubuh si laki-laki dan ekspresi wajah si laki-laki kemudian berubah menjadi senang. Hal lain yang menunjukkan bahwa perempuan dijadikan objek dalam industri dan media adalah ketika perempuan banyak sekali muncul dengan pose vulgar dan pakaian yang seksi dalam iklan-iklan mobil mewah. Selama ini dalam media mobil mewah diasosiasikan sebagai salah satu bentuk maskulinitas, salah satu produk milik lelaki. Namun dalam iklan komersial mobil-mobil mewah tersebut banyak ditonjolkan visual perempuan yang seksi, biasanya digambarkan sedang duduk di atas kap mobil atau di dalam mobil. Selain itu, biasanya dalam iklan, para perempuan akan mulai mendekati lelaki ketika lelaki tersebut sedang membawa mobil mewahnya. Situasi seperti ini menunjukkan bahwa perempuan adalah “sesuatu” yang dapat dibeli atau dibuat mendekat dengan cara yang mematenkan maskulinitas lelaki, salah satunya dengan jalan mempunyai mobil mewah. Lelaki seolah mempunyai kekuasaan terhadap perempuan karena mampu membuat perempuan “tunduk” dihadapannya. Iklan lain yang sangat menonjolkan ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan adalah iklan “obat kuat” atau stimulan seksual. Dalam iklan stimulan seksual, biasanya perempuan digambarkan sebagai pribadi yang tunduk, kalah dan harus melayani lelaki. Laki-laki digambarkan memiliki kontrol seksual terhadap perempuan ketika ia sudah mengonsumsi stimulan seksual tersebut, dan perempuan hanya bisa pasrah terhadap kontrol tersebut. Perempuan harus memenuhi apa yang menjadi keinginan lelaki, dan perempuan harus melayani keinginan tersebut. Ada juga contoh film yang menjadikan tubuh perempuan sebagai objek dan sarana untuk dieksploitasi. Misalnya, di ranah Hollywood, film yang menunjukkan bahwa perempuan adalah sumber kepuasan bagi laki-laki adalah film Don Jon (2013) yang menceritakan kisah mengenai seorang laki-laki bernama Jon yang adalah pecandu film porno dan pecandu hubungan seks bebas dengan perempuan. Perempuan-perempuan yang ada di dalam film ini ditunjukkan mengenakan pakaian seksi dan dengan sukarela menjadi “teman tidur” bagi Jon. Berulang kali ditunjukkan di dalam film ini adegan Jon sedang melakukan masturbasi saat menonton video porno di internet. Adegan di dalam video porno yang sedang ditonton oleh Jon juga ditunjukkan dan dijelaskan bahwa Jon lebih suka menonton video porno ketika hanya ada tokoh perempuan saja yang memerankan, tanpa ada tokoh laki-laki. Ia merasa sangat terpuaskan dengan menonton video porno dengan pemeran perempuan, sementara ia merasa terganggu jika ada laki-laki yang berperan sebagai pasangan seks si perempuan dalam video tersebut. Di ranah film Indonesia, film-film yang mengobjektifikasi perempuan biasanya adalah film-film setengah horor setengah porno yang mulai dari tahun 2010 sampai saat ini banyak dibuat di Indonesia. Judul-judul yang diberikan oleh para pembuat film biasanya judul yang kontroversial dan vulgar, seperti misalnya Rintihan Kuntilanak Perawan (2010), Hantu Puncak Datang Bulan (2010) Pelukan Janda Hantu Gerondong (2011), Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011), dan Pacar Hantu Perawan (2011). Semua sutradara dari kelima film yang disebutkan di atas adalah laki-laki. Dari judul-judul tersebut, dapat dilihat bahwa pemilihan kata-kata yang ada hubungannya dengan perempuan seperti “perawan”, “datang bulan”, “janda”, “goyang pinggul” digunakan oleh para pembuat film dengan maksud dan tujuan tertentu. Bisa jadi maksudnya adalah untuk mendongkrak jumlah penonton dengan cara membuat judul yang dapat membangkitkan rasa penasaran seksual dari orang-orang yang menonton, khususnya laki-laki. Selain peninjauan dari segi judul, peninjauan sebuah film tentu saja lebih krusial jika dilihat dari konten dan pesan moral di dalam alur ceritanya. Namun seringkali, film-film horor bertendensi porno seperti judul-judul film tersebut memiliki alur cerita yang sangat minim dengan pesan moral. Adegan yang seringkali ditunjukkan adalah adegan perempuan yang sedang mandi dengan sudut ambil kamera diletakkan lebih tinggi dari si pemeran perempuan sehingga bagian tubuh seperti payudara dan bagian belakang tubuh terlihat, atau adegan perempuan-perempuan berpakaian seksi atau tidak berpakaian sama sekali sedang melakukan suatu kegiatan. Sisi porno film seolah menjadi inti cerita, sedangkan horornya sendiri terkesan hanya menjadi bumbu cerita. Adegan-adegan yang seringkali memperlihatkan tubuh perempuan sebagai objek menunjukkan bahwa perempuan diposisikan sebagai pemuas keingintahuan dan nafsu penonton akan seksualitas. Eksploitasi tubuh perempuan tidak hanya digunakan dalam iklan dan film saja, namun juga game online yang ada di internet. Sebuah game bernama Undress a Girl dalam situs www.flash-game.net adalah permainan dimana si pemain bisa melucuti pakaian perempuan ketika ia berhasil menangkap dua puluh bir yang jatuh dengan cara mengklik mouse pada bir-bir tersebut. Game lain yang bernama World Racing 2 juga menunjukkan animasi visual seorang perempuan yang berdiri di depan sebuah mobil dengan pose yang vulgar dengan pakaian yang minim pula sedang memegang bendera yang dipakai dalam permainan balap tersebut. Banyaknya penggambaran perempuan di media massa sedikit banyak memengaruhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat terhadap perempuan. Meskipun penentuan identitas secara arbitrer tersebut belum tentu benar dan tidak bisa digeneralisasi, media tidak dapat dipungkiri menjadi sumber kultivasi besar dalam pembentukan persepsi masyarakat mengenai identitas perempuan. Selain itu, dalam penggambaran mengenai perempuan oleh media dapat dilihat adanya dominasi dari laki-laki kepada perempuan, dengan cara menjadikan perempuan sebagai objek kepuasan seksual laki-laki. Laki-laki digambarkan memiliki kekuasaan terhadap perempuan dalam apa yang dipaparkan oleh media. Penggambaran mengenai identitas dan degree of power yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan dapat memengaruhi realitas kehidupan sosial dan hubungan antara laki-laki dan perempuan di dunia nyata. Perempuan dalam Media, Filsafat Identitas dan Filsafat Kekuasaan Kesadaran kognitif seseorang mengenai identitasnya dapat memengaruhi perilakunya dalam kehidupan sosial. Jika laki-laki dan perempuan sama-sama memahami identitasnya berdasarkan apa yang selama ini tersedia dalam media, maka perilaku laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial juga akan menjadi seperti apa yang digambarkan secara implisit oleh media, yakni laki-laki sebagai pemegang kekuasaan terhadap perempuan dan perempuan sebagai pihak yang didominasi oleh laki-laki. Akhirnya timbul hierarki identitas antara laki-laki dan perempuan, dipisahkan oleh perbedaan degree of power (derajat kekuasaan) yang mereka miliki. Karena itulah, fenomena penggambaran perempuan oleh media dalam artikel ini akan ditinjau dari segi filsafat identitas dan filsafat kekuasaan. Filsafat Mengkaji Identitas: Beyond Media’s Content Manusia, sebagai seorang individu yang juga adalah bagian dari masyarakat, memiliki identitasnya sendiri. Identitas yang dimiliki oleh manusia tidak hanya sekadar meliputi status dan perannya dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial, namun sesuatu yang lebih dalam daripada hanya sekadar apa yang tampak secara jelas dan apa yang dapat dilihat oleh lingkungan sekitar dan masyarakat. Hal inilah yang salah satunya dibahas dalam filsafat. Filsafat adalah ilmu yang mengajarkan kepada manusia agar tidak berhenti bertanya, agar selalu mempertanyakan segala sesuatu sampai kepada penemuan-penemuan baru yang semakin mendekati realitas. Dalam hubungannya dengan identitas manusia, manusia berfilsafat atau mempertanyakan secara lebih esensial dan lebih mendalam mengenai identitasnya. Identitas yang selama ini ia “kira” ia miliki, dipertanyakan ulang, apakah benar demikian keadaannya. Identitas yang dimiliki manusia tentunya berbeda-beda satu dengan yang lain. Ada beberapa hal dalam diri manusia yang dapat memengaruhi identitas manusia. Grayson (2012) menyebutkan bahwa, “One intrinsically ‘owns’ a few things about oneself, such as physical characteristics, and possesses a few, such as knowledge or skills. None of these by themselves, however, constitute an identity. They are characteristics: often unique and always inherent in the person. So, although they may be unique themselves, it is wrong to suggest that DNA or fingerprints or speech patterns are an identity. The DNA profile is an identifying characteristic; similarly, fingerprints and specific professional accreditations are not identities, but identifiers.” Grayson menjelaskan bahwa manusia memiliki banyak karakteristik dalam dirinya yang menjadi ciri khas sebagai ke-aku-annya, namun karakteristik manusia berbeda dengan identitas, meskipun karakteristik tersebut digunakan sebagai sesuatu yang dapat mengacu kepada identitas seseorang. Grayson selanjutnya menyatakan, “Identifying characteristics are given power as contributory parts of an identity only after they are recognized by others. Thus identity, for our purpose, does not inhere within us; it is a social construct and granted by others.” Manusia memang memiliki “identifying characters” atau karakter yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dirinya, namun karakter tersebut hanyalah sebagian dari identitasnya yang sebenarnya. Identitas yang dimiliki oleh seseorang dibuat menjadi identitasnya ketika orang lain mengakui bahwa ia memang memiliki identitas tersebut. Manusia tidak menentukan identitasnya sendiri, karena lingkungan tempat dimana ia menunjukkan perilaku sosialnya yang akan menentukan identitasnya. Namun, bukan berarti manusia tidak bisa memandang ke dalam dirinya sendiri untuk mengetahui identitasnya yang sesungguhnya. Hanya saja, manusia memandang dirinya dari gambaran atau asumsinya mengenai gambaran orang lain terhadap dirinya. Jadi, manusia dapat memandang dan menentukan identitasnya sendiri, namun identitas tersebut tetap saja kembali lagi pada apa yang dipikirkan orang lain mengenai dirinya. Manusia tidak menentukan identitasnya sendiri, karena ia tidak memiliki kapabilitas dan ruang untuk hal tersebut. Situasi unik inilah yang dijabarkan oleh Cooley dengan teorinya, yakni teori Looking-glass Self. Prinsip dasar dari teori ini adalah: 1) The imagination of our appearance to the other person 2) The imagination of the other person’s judgments on that appearance 3) Some sort of self-feeling, such as pride or mortification. Dari teori ini dapat dilihat dengan lebih jelas bahwa identitas manusia dipengaruhi oleh apa yang ia pikir merupakan pandangan orang lain terhadap dirinya. Pada akhirnya, ia akan menghadapi perasaan tertentu dari apa yang ia kira orang lain pikirkan tentangnya, baik itu kepuasan maupun ketidaknyamanan. Kesadaran kognitif manusia mengenai apa yang dipandang orang lain terhadapnya kemudian menjadi refleksi dari identitasnya sebagai seorang manusia, sebagai seorang being, sebagai seorang person, sebagaimana yang dijelaskan oleh John Locke bahwa person adalah “a thinking intelligent being, that has reason and reflection, and can consider itself as itself, the same thinking thing, the different times and places”. Manusia dikatakan sebagai manusia yang memiliki identitas ketika ia mampu memandang dirinya sebagai dirinya, dengan alasan tertentu dan dengan kemampuan merefleksikan dirinya di lingkungan sekitarnya. Hubungan timbal balik antara manusia dan masyarakat di sekitarnya dapat membantu manusia menangkap refleksi tentang dirinya, yakni berdasarkan apa yang diberikan masyarakat kepadanya sebagai feedback atas tingkah lakunya. Cara masyarakat memperlakukan seorang individu, cara masyarakat berinteraksi dengan individu, dan cara masyarakat berkomunikasi dengan individu berbeda-beda, dan perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor identitas individu tersebut di masyarakat. Individu akan menangkap cara perilaku masyarakat terhadapnya dan dari hal inilah dia kemudian akan mengetahui dan menyadari identitasnya di mata masyarakat. Dalam hubungannya dengan media dan penggambaran perempuan di dalam media, filsafat identitas berusaha mendalami mengenai apa yang terjadi di balik penggambaran dan pemberian identitas perempuan oleh media. Filsafat identitas mempertanyakan perbedaan identitas perempuan dan laki-laki seperti apa yang coba ditanamkan oleh media kepada masyarakat. Filsafat identitas berusaha menggali lebih dalam mengapa media secara sewenang-wenang mempresentasikan identitas perempuan sebagai objek dan mengapa perempuan diberi identitas sebagai pihak yang diseksualisasikan dalam media. Filsafat Mengkaji Kekuasaan: Degree of Power Between Men and Women Kekuasaan dalam filsafat seringkali dikaji melalui lensa politik. Kekuasaan diasosiasikan dengan politik, karena dalam politik, kekuasaan diperebutkan dan diperjuangkan. Namun, konsep dasar dari kekuasaan yang ditinjau dari segi filsafat tetap memiliki substansi yang sama dengan kekuasaan yang dibahas di ranah lain selain ranah politik. Dalam hal ini, kekuasaan yang dibahas adalah kekuasaan dalam ranah sosial, yaitu perbedaan derajat kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Max Weber (1983) mendefinisikan kekuasaan sebagai “the probability the actor within a social relationship will be in position to carry out his own will despite resistance, regardless of the basis on which this probability rests”. Weber menyatakan bahwa seorang pelaku dalam kehidupan sosial akan selalu berada dalam posisi siap untuk memberlakukan kehendaknya sendiri, meskipun ada perlawanan dari pihak lain. Manusia berusaha memberlakukan kehendaknya, termasuk terhadap orang-orang lain di sekitarnya, karena manusia adalah makhluk yang pada dasarnya tidak akan pernah puas. Jika ia tidak mendapatkan kekuasaan, ia akan berusaha mencari kekuasaan. Jika ia sudah mendapatkan sedikit kekuasaan, maka ia akan berusaha memperbesar derajat kekuasaannya tersebut. Kekuasaan dalam kehidupan manusia, baik disadari maupun tidak disadari, ternyata salah satu hal yang paling diminati dan dipikirkan oleh banyak orang. Goldman (1992) menyatakan bahwa “Power has, of course, been much-desired object throughout human history and thought.” Selanjutnya, Goldman menyatakan bahwa “Life is grounded on a will to power, on “a will to overcome, a will to throw down, a will to become master, a thirst for enemies and resistances and triumphs.” Hidup manusia dikuasai oleh keinginan untuk berkuasa. Manusia memiliki kemauan untuk menguasai, untuk menjadi penguasa, untuk menang dan untuk membuat takluk orang lain. Kekuasaan menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia, karena dengan kekuasaan, manusia mampu memaksakan keinginan dan kehendaknya terhadap orang lain. Manusia mampu membuat orang lain melakukan apa yang ia inginkan, entah orang tersebut sebenarnya ingin melakukannya atau tidak. Nietzche mengatakan, “the fundamental instinct of life ... aims at the expansion of power.” dan “Above all something living wants to discharge its strength—life itself is a will to power.” Pernyataan Nietzche yang lebih ekstrim tersebut menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya sekadar penting dalam kehidupan manusia, namun kehidupan sendiri adalah keinginan untuk menguasai. Bahkan ekspansi kekuasaan dianggap sebagai suatu insting fundamental milik manusia. Kekuasaan memampukan manusia mengatur dunianya, tidak hanya dirinya sendiri namun juga lingkungan sekitarnya. Kekuasaan mampu mengubah apa yang dianggap oleh seseorang sebagai hal yang tidak stabil dan mengganggu dalam sistem kehidupannya menjadi sesuatu yang stabil. Dalam hubungannya dengan media, filsafat membantu menjelaskan lebih dalam mengenai kekuasaan yang dipatenkan dalam media, yakni kekuasaan laki-laki. Kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dibuat seolah-olah benar, bisa diterima secara wajar dan memang seharusnya demikian adanya. Filsafat kekuasaan menjelaskan akibat adanya degree of power atau perbedaan derajat kekuasaan yang membuat perempuan diperlakukan sebagai pihak subordinat dalam media. Kekuasaan yang disadari melalui pemahaman mengenai identitas laki-laki yang dipaparkan dalam media mampu membuat laki-laki memegang kendali atas perempuan, mampu menjadikan perempuan menjadi objek demi pemenuhan hasrat laki-laki, dan mampu melebarkan kesenjangan antara identitas laki-laki dan perempuan. Filsafat kekuasaan juga memandang usaha sebagian gender laki-laki untuk berkuasa terhadap sebagian gender perempuan dan mendominasi gender perempuan, serta mengapa hal tersebut bisa terjadi. Identitas, Kekuasaan dan Visualisasinya dalam Komunikasi Melalui Media Media secara masif dan arbitrer menampilkan citra mengenai perempuan kepada khayalak ramai. Jangkauan media yang luas memampukan media menyebarkan citra yang sama mengenai perempuan ke banyak tempat dan pada akhirnya menyebabkan kesamaan pandangan dan konsensus masyarakat mengenai identitas perempuan. Identitas perempuan dan laki-laki dalam konten yang disajikan media digambarkan sangat berbeda. Laki-laki digambarkan sebagai pemegang kendali atas perempuan, sebagai penentu tingkah laku perempuan, sebagai pribadi yang agresif dan dominan, sedangkan perempuan digambarkan sebagai pribadi yang berada di bawah kendali, submissive, mudah didominasi, dan objek pelampiasan hasrat lelaki. American Psychological Association (APA) pada tahun 2007 merilis sebuah laporan berjudul APA Task Force on the Sexualization of Girls yang berisi pemaparan mengenai fenomena seksualisasi terhadap perempuan yang terjadi di Amerika. Laporan ini menjelaskan bagaimana seksualisasi terhadap perempuan terjadi, apa saja yang menjadi faktor terjadinya seksualisasi dan siapa saja yang ikut berperan dalam melakukan seksualisasi terhadap perempuan. Dalam laporan tersebut, APA menjelaskan kontribusi terhadap seksualisasi perempuan diberikan secara kultural, yakni melalui media. Media seperti televisi, video musik, lirik lagu, film, kartun dan animasi, majalah, media olahraga, game komputer, internet, dan iklan komersial memberikan andil besar dalam seksualisasi. Mengenai televisi, misalnya, APA menyebutkan bahwa:
“...presenting oneself as sexually desirable and thereby gaining the attention of men is that presenting oneself as sexually desirable and thereby gaining the attention of men is and should be the focal goal for women. Girls and young women are repeatedly encouraged to look and dress in specific ways to look sexy for men, a phenomenon labeled “costuming for seduction” (M. Duffy & Gotcher, 1996), and to use certain products in order to be more attractive and desired by males.” “...the content of these magazines encouraged young women to think of themselves as sexual objects whose lives were not complete unless sexually connected with a man.” Dari deskripsi mengenai penggambaran perempuan dalam media yang diamati oleh APA, dapat dilihat bahwa perempuan “diberikan” sebuah konsep yang seolah-olah hanya dapat mereka terima dan tidak dapat mereka tolak mengenai identitas perempuan. Dalam visualisasi mengenai perempuan yang selama ini ada di media, media seolah menjadi sarana “pemutlakan” identitas perempuan sebagai alat pemuas bagi laki-laki. Perempuan digambarkan berpakaian atraktif dan provokatif dalam media, sehingga laki-laki “berhak” memberikan komentar-komentar yang negatif dan melecehkan, biasanya terhadap tubuh perempuan. Majalah-majalah yang pasar pembacanya adalah perempuan dan remaja perempuan seperti Teen, Seventeen, Glamour dan sebagainya justru sering mengekspos konten-konten yang isinya mendukung perempuan sebagai objek sesual lelaki dan mendorong perempuan untuk berani berpakaian lebih atraktif sehingga mampu menarik perhatian lelaki dan “diinginkan” oleh lelaki. Hidup perempuan dibuat seolah-olah belum sempurna jika ia tidak diinginkan secara seksual oleh laki-laki. Aspek-aspek lain dalam diri perempuan, dari segi intelektualitas, pekerjaan, hobi dan kekuatan atau kelebihan lain sangat jarang ditonjolkan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa manusia mengetahui identitasnya berdasarkan apa yang diberikan oleh orang lain sebagai “label identitas” kepadanya. Media memberikan label identitas kepada perempuan secara sewenang-wenang. Media memberitahukan dengan frekuensi tinggi secara implisit bahwa identitas perempuan adalah sebagai makhluk yang dapat menjadi sarana kepuasan bagi lelaki, yang tugasnya adalah menjadi objek bagi lelaki dan menjadi pribadi yang diinginkan secara seksual oleh laki-laki. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa identitas seseorang diketahui dari apa yang orang lain pandang tentang dirinya, begitu pula yang terjadi pada identitas perempuan yang berada di dalam media. Ketika perempuan berfilsafat akan identitasnya sebagai seorang manusia yang eksis, ia mempertanyakan siapa “aku” yang sebenarnya. “Aku” yang dimaksud adalah ke-aku-an bagi diri sendiri, bagi keluarga dan teman-teman, juga lebih luas lagi bagi masyarakat. Perempuan akan terus berusaha mencari tahu identitasnya yang mana yang paling mendekati relitas. Jika ia menganggap identitas yang tepat dan “ideal” untuknya adalah dari apa yang dipresentasikan oleh media, kemudian bisa saja hal tersebut memengaruhi kesadaran identitas perempuan akan dirinya sendiri. Karena yang ia lihat di media adalah demikian, ia menganggap bahwa situasi tersebut adalah refleksi yang sebenarnya dari nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, lalu ia jadi menganggap bahwa dirinya memang diperuntukkan bagi kepuasan laki-laki seperti apa yang ditanamkan oleh media kepada masyarakat. Pembentukan identitas perempuan secara sewenang-wenang ini besar pengaruhnya di kehidupan perempuan sehari-hari, baik dari segi kehidupan perempuan sebagai ibu rumah tangga, sebagai pekerja, sebagai seorang intelektual dan segala profesi sosialnya yang lain. Perilaku yang ia terima dari masyarakat di sekitarnya terbentuk dari apa yang dikonstruksikan mengenai identitas perempuan dalam media. Termasuk dalam bidang-bidang pekerjaan dimana nantinya perempuan akan ikut berkontribusi. Di dalam media digambarkan bahwa dalam lingkungan pekerjaan dimana juga terdapat laki-laki di sana, biasanya laki-laki digambarkan memiliki kekuasaan secara seksual terhadap perempuan yang jabatannya lebih rendah. Misalnya saja, banyak kisah di sinetron dan telenovela mengenai seorang bos yang menjalin affair dengan sekretaris perempuannya. Karena banyaknya gambaran seperti ini, maka kejadian-kejadian seperti ini juga dianggap wajar saja oleh masyarakat, karena sudah sering terjadi dalam media dan dianggap merefleksikan kehidupan nyata. Padahal sesungguhnya, banyak fenomena sosial yang sangat kontekstual dan tidak bisa digeneralisasikan, meskipun banyak dipaparkan dalam media massa. Identitas perempuan yang seolah-olah diperuntukkan bagi kepentingan, kesenangan dan keuntungan lelaki dapat dilihat juga pada sebuah perkataan yang “ditujukan” untuk lelaki, yakni “Harta, Tahta, Wanita”. Dari perkataan ini, perempuan disejajarkan dengan harta dan tahta, dijadikan sebuah “kebanggaan” bagi lelaki. Lelaki akan lebih menjadi lelaki yang sejati ketika ia memiliki ketiga hal tersebut, lelaki sudah biasa memperebutkan dan bertengkar karena ketiga hal tersebut. Perkataan ini tersebar dalam media dan ketika masyarakat mendengarnya, perkataan ini seolah-olah wajar saja karena memang sudah seringkali terdengar dan perkataan ini tidak dianggap salah atau mengandung sesuatu yang aneh. Media massa mampu memengaruhi opini publik, serta mampu membuat konsensus di mata masyarakat mengenai suatu hal tertentu. Jika media terus-menerus membombardir masyarakat dengan pencitraan antara perempuan dan laki-laki yang jauh berbeda dan tidak seimbang, maka perlahan di masyarakat akan terbentuk konsensus mengenai hal tersebut. Kesamaan pandangan di mata masyarakat mengenai hak laki-laki untuk menjadikan perempuan sebagai objek seksual bisa menjadi seolah-olah benar karena dibenarkan oleh media. Filsafat identitas, sebagaimana pula yang telah dijelaskan sebelumnya, berusaha mengetahui identitas macam apa yang ingin ditampilkan oleh media kepada masyarakat mengenai laki-laki dan perempuan, serta apa yang menjadi penyebabnya. Salah satu penyebab dari mengapa media secara sewenang-wenang memberi identitas kepada kedua jenis kelamin yang berbeda dan lebih bertendensi merugikan perempuan adalah karena faktanya, sebagian besar yang bekerja dan memiliki kendali atas media adalah laki-laki. Berikut adalah beberapa fakta mengenai persentase lelaki dan perempuan di dalam media:
Dari fenomena ini, dapat dilihat bahwa identitas dan kekuasaan saling berhubungan dan memengaruhi dalam penggambaran perempuan dalam media. Identitas perempuan yang terkesan berada di bawah laki-laki, terkesan sebagai objek kepuasan laki-laki, dan direlasikan dengan seksualitas bisa sampai terbentuk karena ada peran besar laki-laki di dalamnya. Identitas laki-laki sebagai sosok yang berada di atas perempuan, bisa secara mudah menjadikan perempuan sebagai objek dan mampu membuat perempuan memenuhi keinginan tersebut terbentuk karena laki-laki mendominasi perempuan di dalam media. Dominasi kekuasaan laki-laki tidak hanya terlihat di dalam konten yang ditampilkan lewat media, namun juga di belakang layar, yakni dalam pengaturan konten media itu sendiri. Seperti dalam pembahasan mengenai filsafat kekuasaan bahwa pada hakikatnya manusia dalam hidupnya akan selalu berusaha agar mampu mendapatkan kekuasaan, mampu menguasai orang lain dan mampu melakukan ekspansi terhadap kekuasaannya. Di dalam media, laki-laki dalam konteks sebagai tipe jenis kelamin atau gender—yang segala yang berhubungan dengannya sudah terpengaruh oleh konstruksi dari masyarakat—melakukan ekspansi kekuasaan dengan cara menguasai tipe jenis kelamin yang lain, yakni perempuan. Hal ini dirasa perlu dilakukan, jika ditinjau dari segi kekuasaan secara filosofis, untuk mematenkan dominasi kekuasaan laki-laki, untuk memastikan bahwa laki-laki sebagai gender yang unggul mampu menguasai gender yang lain (perempuan), sebagai sebuah reassurance bahwa gender laki-laki memang memiliki power untuk membuat gender perempuan tunduk kepadanya. Kekuasaan ini ditunjukkan dengan cara memberikan gambaran mengenai perempuan di dalam media yang mudah mematuhi atau memenuhi keinginan laki-laki, biasanya secara seksual. Dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan sangat kental di dalam media. Misalnya, perempuan diasosiasikan dengan barang-barang yang penting oleh laki-laki atau diinginkan oleh laki-laki, misalnya mobil mewah. Perempuan dianggap sejajar dan tidak lebih dari barang yang setiap laki-laki wajib miliki sebagai simbol maskulinitas dan harga diri. Kekuasaan tersebut semakin mengalami ekspansi tiap harinya, karena kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang dilanggengkan oleh media telah menyebar luas dan diterima sebagai suatu pemahaman di masyarakat dan dianggap merupakan hal yang benar dan sudah sepantasnya. Kekuasaan yang timpang antara gender perempuan dan laki-laki dalam media menyebabkan munculnya kesenjangan identitas antara laki-laki dan perempuan. Padahal pada hakikatnya, setiap manusia terlahir sejajar dan sama, tidak ada jenjang hierarkis pada esensi awal manusia. Yang berbeda adalah kemampuan adaptasi tiap manusia setelah ia lahir dan berbagai hal yang dibangun oleh adanya sistem sosial, misalnya status sosial, ekonomi, politik dan seterusnya. Identitas yang dibangun oleh lingkungan sosial sepanjang perjalanan hidup inilah yang kemudian menjadi identitas yang dianggap benar dan digunakan dalam mengidentifikasi tiap individu. Dari yang tadinya tidak berjenjang, lambat laun identitas manusia masuk ke dalam kategori-kategori yang ordinal, yang memiliki jenjang. Adanya jenjang dapat dimungkinkan ketika ada kelas yang lebih tinggi dari kelas lain, baik anggota kelas tersebut yang merasa kelasnya memang lebih tinggi dan mengupayakan agar terjadi demikian, atau ketika orang lain menempatkan kelas tersebut sebagai kelas yang lebih tinggi. Identitas gender perempuan dan laki-laki, yang seharusnya sama rata, sekarang menjadi berbeda dengan adanya jenjang. Laki-laki seolah-olah menjadi nomor urut satu dalam media dan perempuan menjadi kelas dua. Karena merupakan gender yang lebih tinggi secara hierarkis, maka laki-laki mempunyai kekuasaan lebih daripada perempuan. Adanya kekuasaan lebih dari laki-laki menyebabkan ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dan perempuan dianggap berhak lebih sedikit mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Maka dari itu, gender laki-laki mendominasi gender perempuan dan gender perempuan berada dalam bayang-bayang gender laki-laki, terutama secara seksual. Penutup Sejauh ini, ternyata media mampu menjadi jurang yang memisahkan antara identitas manusia yang terlahir sama, yakni perempuan dan laki-laki. Jika berbicara mengenai media, tentunya yang dimaksud adalah media sebagai sarana, dengan pelaku-pelaku industri media di belakangnya. Media membantu memisahkan identitas laki-laki dan perempuan, bukan hanya ke dalam kategori tertentu namun ke dalam jenjang hierarkis, atas dan bawah. Media tidak hanya memunculkan adanya stigma mengenai ketidakseimbangan gender di dalam masyarakat, namun juga membantu melanggengkan hal tersebut. Bahkan media mampu menciptakan kesamaan pandangan di masyarakat luas mengenai identitas perempuan yang berada di bawah lelaki. Media juga digunakan sebagai sarana pelanggengan kekuasaan lelaki oleh oknum-oknum dibalik industri media, yang kebanyakan adalah lelaki. Karena perempuan tidak banyak berkecimpung dalam dunia industri media, maka suara perempuan yang memprotes penggambaran identitas mereka di media tidak terdengar. Hal ini semakin mematenkan dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dalam industri media, baik dalam hal regulasi konten maupun visualisasi konten ke masyarakat. Adanya identitas dan kekuasaan yang berbeda dan timpang antara laki-laki dan perempuan mampu melahirkan konsensus di mata masyarakat dan konsensus tersebut menjadi seolah-olah benar karena dibenarkan oleh media. Kemampuan media yang sedemikian besar haruslah dipahami dengan baik dan digunakan dengan hati-hati. Salah satu kunci memperbaiki keadaan yang ada sekarang, dimana perempuan dijadikan objek secara seksual dan dianggap dapat memenuhi kebutuhan industri dengan pembentukan identitas sedemikian rupa dalam hal “keperempuanan” adalah dengan pembagian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang bekerja dalam industri media. Jika perempuan lebih banyak bekerja dalam media, maka dominasi kekuasaan laki-laki bisa mulai digeser dan diganti dengan keseimbangan dan kesejajaran. Suara perempuan di media pun bisa lebih terdengar, karena tidak menjadi minoritas secara jumlah. Perempuan perlu memahami identitasnya yang sesungguhnya, yang ia anggap benar dan baik untuk dirinya meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa identitasnya berjalan beriringan dengan pendapat masyarakat tentang identitasnya. Walaupun begitu, ia tetap harus dapat membedakan mana identitas dirinya yang sebenarnya dan mana yang sudah dikonstruksikan dan dimodifikasi oleh media. Media massa memang merupakan sumber kultivasi yang besar terhadap ide-ide tertentu, namun apa yang diperlihatkan media kepada masyarakat yang mengonsumsi belum tentu valid dan tidak bisa digeneralisasi atau diimplementasikan secara sembarangan. Disinilah filsafat menemukan celah dan membantu mengkaji ulang fenomena ini, yakni dengan mempertanyakan kembali identitas perempuan sebagai objek kepuasan laki-laki, apakah memang benar demikian keadaannya atau ada oknum-oknum tertentu yang ingin melanggengkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan sehingga mengkonstruksi identitas perempuan secara merugikan terhadap perempuan. Filsafat mencari tahu apakah perempuan memang dilahirkan memiliki derajat kekuasan yang lebih rendah daripada laki-laki, atau ketimpangan kekuasaan ini bisa terjadi karena adanya usaha ekspansi kekuasaan dari pihak lain, dalam hal ini laki-laki. Filsafat, yang dalam konteks kajian media menggunakan filsafat komunikasi, mengkaji dibalik situasi pencitraan dan visualisasi perempuan dan laki-laki di dalam media. Filsafat komunikasi mencari kebenaran fungsi media, memandang media tidak hanya sebagai media dalam hubungannya dengan informasi dan rekreasi saja, melainkan mencari tahu apa yang berada di balik usaha pencitraan atau imaging mengenai sesuatu—dalam hal ini mengenai perempuan—dalam media. Filsafat komunikasi berusaha membahas mengenai fenomena identitas dan kekuasaan dalam media dengan sudut pandang kritis, karena melihat adanya ketidakseimbangan yang ditonjolkan oleh media. Filsafat komunikasi tidak hanya menerima adanya ketimpangan dalam media, namun berusaha menjelaskan mengapa hal tersebut bisa sampai terjadi. Filsafat tidak hanya melihat pada faktor individu, namun juga kelompok, masyarakat, organisasi dan sistem yang ada. Pada akhirnya, filsafat, berjalan beriringan dengan ilmu komunikasi, selalu berusaha membantu memahami lebih dalam hubungan rumit antara manusia dan salah satu faktor pembentuk kehidupan manusia yang paling berpengaruh, yakni media. Daftar Pustaka Buku Goldman, Harvey. Politic, Death, and the Devil: Self and Power in Max Weber and Thomas Mann. California: University of California Press, 1992. Haryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Jackson, Ronald L., II, ed. Encyclopedia of Identity. London: SAGE Publications Ltd, 2010. John Perry, ed. Personal Identity. California: University of California Press, 2008 Kronman, Anthony T. Max Weber: Jurists: Profiles in Legal Theory. California: Stanford University Press, 1983. McQuail, Denis, ed. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: SAGE Publications Ltd, 2004. Jurnal Aubrey, J.S. “Effects of Sexually Objectifying Media on Self-Objectification and Body Surveillance in Undergraduates: Results of a 2-Year Panel Study”. Journal of Communicaton 56 (2006): 368-369. Grayson, Timothy R. D. “Philosophy of Identity”. Identity Planet 1:1(2012): 2. Sharma, Arpita. “Portrayal of Women in Mass Media”. Media Watch 4:1(2012): 2. Laporan Lembaga American Psychological Association. Report of the APA Task Force on the Sexualization of Girls. By Zurbriggen, et al. Mar 2007. 7 June 2014 <http://www.apa.org/pi/women/programs/girls/report-full.pdf>. Women’s Media Center. The Status of Women in U.S. Media 2014. By Women’s Media Center. February 2014. 8 June 2014 <http://www.womensmediacenter.com/pages/the-problem>. Kita bisa memandang dari dua sisi yang berbeda untuk menyikapi batal tayangnya sinema Fifty Shades of Grey ke Indonesia atau yang biasa disingkat 50SOG. Satu, bersyukur karena 50SOG menampilkan tayangan yang para penulis dan penggemar sebut BDSM dan konten seksualitasnya memang cukup sulit untuk masyarakat kita yang masih menabukan seks. Kedua, sedih karena film ini cukup populer dan menjadi bagian dari globalisasi, kita sebal dengan sikap masyarakat yang menabukan seks dan memandang seksualitas dalam sinema tersebut sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Saya tidak akan banyak menyinggung tentang konten 50SOG di tulisan ini, saya hanya ingin berkomentar perihal ramainya jokes menyindir 50SOG di dunia maya berupa meme yang nyaris tidak bisa dihitung lagi melalui 9gag.com. Situs 9gag.com adalah situs jokes internasional yang berupa gambar atau meme. Jokes yang menyasar secara visual gambar dan tulisan, secara fungsi meme memang bersifat sebagai hiburan.
Uniknya, 50SOG sebagai fenomena ditentang oleh para laki-laki. Melalui meme-meme yang saya contohkan di pembuka tulisan ini, terlihat gender dan jenis kelamin pembuat meme. Fenomena meledek 50SOG oleh para laki-laki ini penah terjadi ketika Novel Twilight Saga karya Stephenie Meyer dibuat dalam versi layar lebar. Walau ketika kemunculan perdana Twilight tidak mendapat serangan berupa meme, para laki-laki menolak dengan tegas Twilight yang menurut mereka cerita dan tokohnya tidak masuk akal. Laki-laki tidak mengerti mengapa para perempuan menggandrungi cerita picisan tersebut dan kita perempuan tidak mau memahami mengapa para laki-laki membenci kedua film tersebut. Baik Christian Grey dan Edward Cullen tokoh utama laki-laki dalam kedua film tersebut dianggap membuat standar maskulin yang tidak realistis. Mana mungkin seorang pria bisa punya kekuatan berlari atau mengangkat barang seperti Superman dan menggunakan hal itu hanya untuk menolong wanita yang pada kedua sinema tersebut pasif, pendiam dan suka memberi kode-kodean. Grey seorang Milioner yang bertampang bak model pakaian dalam yang para pria menganggap tidak mungkin hal itu bisa dilakukan. Baik Grey dan Cullen mengunakan kekuatan uang ataupun fisik untuk membuat gadis pujaannya berada dalam genggamannya. Dan si gadis dibiarkan takluk dan menurut. Para pria tidak menyukai standarisasi seperti Grey ataupun Cullen, mereka tidak mau dipaksa untuk jadi serba bisa dan selalu tampan. Selain itu, jalan cerita kedua sinema tersebut punya tipe yang sama, a Cinderella stories, perempuan biasa saja yang mendapatkan pria kaya. Mereka, para pria lelah dituntut untuk menjadi super duper kaya dan bisa membeli perusahaan tempat si perempuan idaman bekerja, karena untuk mengurus dirinya saja mereka sudah pontang-panting. Para laki-laki sudah menolak untuk mengikuti standar yang dibuat media untuk dianggap menjadi tampan dan maskulin. Bagaimana dengan kita perempuan? Ketika ada sinema yang membuat si tokoh utama pasif dan berpendidikan rendah dengan wajah dan tubuh supermodel apa kita menolak mereka seperti yang dilakukan para pria? Tidak, kita justru terjebak dan menyukai si tokoh, kita mendambakan untuk menjadi si tokoh utama yang cukup dengan modal wajah cantik, tubuh langsing dan pasif bisa mendapatkan pria kaya raya hidup bahagia selama-lamanya. Kita mau saja dihipnotis media untuk mengikuti standar cantik berkulit putih seperti yang ditampilkan model iklan losion di televisi ataupun majalah. Kita tidak marah dan menuntut balik pria melalui meme menolak penggambaran seksi yang harus seperti Megan Fox dalam film Transformers. Kita malah terobsesi dan mengikuti standar imposible tubuh dan wajah Megan Fox dengan diet yang ketat tanpa olahraga dan baca buku. Padahal jika kita mengamati film kesukaan laki-laki, Transformers atau Iron Man, sosok perempuan idaman mereka adalah yang tangkas, aktif, berani dan cerdas seperti Pepper dan Mikaela. Para laki-laki memang melihat maskulinitas sebagai kewajiban tetapi mereka menolak standar-standar mustahil yang dibuat. Sedangkan perempuan, masih dipilihkan untuk menentukan kewajiban cantik yang tidak pernah selesai. Beberapa waktu yang lalu sebuah tayangan berita singkat di beberapa stasiun televisi swasta menjadi sorotan para pemerhati isu perempuan dan dalam waktu singkat menuai pro kontra. Razia Jilbab, begitulah headline dari berita tersebut. Kasus yang terjadi di Probolinggo, Jawa Timur ini diawali oleh imbauan pemerintah setempat bagi penduduk daerahnya yang berjenis kelamin perempuan dan beragama Islam untuk mengenakan jilbab. Dari imbauan tersebut, petugas Satpol PP Probolinggo bergerak melakukan razia di satu pusat perbelanjaan di daerah Kraksaan. Hasilnya, banyak orang yang menolak peringatan dari petugas dikarenakan tidak ada aturan atau perda yang sah mengenai aturan pemakaian jilbab di Probolinggo. Selain kasus razia jilbab, beberapa waktu yang lalu publik sempat membahas mengenai kasus tes keperawanan. Berawal dari terkuaknya praktik tes keperawanan terhadap para Polwan hingga munculnya suatu usulan dari salah satu anggota DPRD Jember mengenai pemberlakuan tes keperawanan bagi siswi SMA sebagai salah satu syarat kelulusan mereka. Yang belakangan ini kabarnya dilatarbelakangi oleh tingginya kasus HIV dan hubungan seksual di luar nikah di Jember. Bukan hanya pemerintah daerah Jember rupanya yang memiliki ide ini. Anggota pemerintah daerah Jambi, Indramayu dan Dinas Pendidikan Kota Prabumulih di Sumatera Selatan pun pernah menyuarakan gagasan yang serupa. Masalahnya adalah lagi-lagi perempuanlah yang dibatasi haknya padahal tentu dalam sebuah hubungan seksual bukan hanya perempuan yang berperan. Kedua kasus ini, baik kasus razia jilbab dan tes keperawanan baru berbentuk sebuah gagasan. Gagasan yang datangnya dari orang-orang yang tidak memahami betul mengenai gender dan hak perempuan akan tubuhnya. Berlandaskan ajaran satu atau beberapa agama dan juga dengan alasan untuk melindungi perempuan, gagasan-gagasan serupa timbul di masyarakat. Namun pada kenyataannya, perda-perda yang membatasi hak-hak perempuan ini tidak menyumbangkan hal yang positif melainkan justru hanya menambah daftar kerugian bagi perempuan. Mari kita ingat kembali beberapa peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang diberlakukan di kota Tangerang adalah salah satu perda yang terbukti diskriminatif terhadap perempuan. Salah satu pasalnya misalnya, yaitu pasal keempat ayat yang pertama menyebutkan: setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah. Bisa dibayangkan apa yang bisa dan sudah terjadi ketika perda ini mulai diberlakukan di Tangerang. Para perempuan yang masih berada di luar rumah pada malam hari dan mengenakan busana yang dianggap provokatif dapat ditangkap oleh petugas hanya berdasarkan asumsi semata. Pada kenyataannya, perda ini pernah memakan korban yaitu seorang ibu yang bekerja di sebuah rumah makan dan baru selesai bekerja pada malam hari. Ibu ini ditangkap oleh petugas meskipun ia telah menyatakan bahwa ia sudah bersuami. Kasus-kasus penangkapan lain juga terjadi dan menimpa perempuan-perempuan yang dengan alasan apapun sedang berada di luar rumah pada malam hari. Akibatnya, warga perempuan di kota Tangerang merasa resah dan juga merasa dibatasi haknya untuk bekerja dan berada di luar rumah. Selain perda diskriminatif yang diberlakukan di Tangerang, kita juga mungkin masih ingat perda larangan asusila Depok, perda syariah di Aceh, serta perda larangan asusila di Bekasi dan juga aturan bagi warga perempuannya untuk mengenakan jilbab. Tak hanya dua, ada begitu banyak peraturan-peraturan daerah yang nyatanya meminggirkan hak-hak perempuan. Pada tahun 2014, Komnas Perempuan mencatat ada lebih dari 300 perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan di Indonesia. Keberadaan perda-perda ini tentunya melanggar aturan yang secara kedudukan lebih tinggi ketimbang perda yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1984. Undang-undang yang merupakan ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) ini mengikat Indonesia dengan kewajiban untuk membentuk dan mengawasi hukum yang diberlakukan di dalam negeri agar tidak bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Ini berarti negara Indonesia seharusnya menjamin persamaan hak dan turut mendukung pemberdayaan masyarakatnya yang berjenis kelamin perempuan. Jika terdapat undang-undang atau peraturan yang ternyata mendiskriminasi perempuan maka seharusnya pemerintah mencari solusi atau mengambil tindakan agar undang-undang atau peraturan tersebut tidak lagi merugikan kaum perempuan. Sayang pada kenyataannya jumlah perda yang mendiskriminasi perempuan bukannya menurun melainkan justru meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Kembali lagi pada dua kasus diskriminasi yang sedang ramai yaitu tes keperawanan dan razia jilbab. Membicarakan diskriminasi terhadap perempuan seringkali tidak berhenti pada satu titik. Ketika kita membicarakan tes keperawanan dan razia jilbab, kita tidak hanya membicarakan hak perempuan akan tubuhnya yang dilanggar. Kala kita membicarakan razia jilbab atau pengaturan busana bagi perempuan, kita juga melihat risiko keamanan bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab atau busana seusai ketentuan. Dalam kasus tes keperawanan, kita juga dapat membayangkan risiko perempuan yang hak akan pendidikannya terancam dicabut. Belum lagi trauma psikologis yang mungkin diderita oleh mereka yang harus menjalani tes tersebut (mengingat para Polwan, yang secara umur sudah jauh lebih matang ketimbang remaja seumuran SMA atau SMP, yang ketakutan bahkan pingsan ketika menjalani tes tersebut). Ratusan perda diskriminatif yang telah telanjur disahkan oleh pemerintah-pemerintah di berbagai daerah pada mulanya juga berawal dari gagasan segelintir “wakil rakyat” yang tidak memiliki perspektif gender. Berawal dari gagasan kemudian menjadi imbauan lalu diterapkan dalam bentuk razia atau sosialisasi hingga pada akhirnya dirapatkan dan menjadi sebuah produk hukum. Dalam waktu setahun tanpa terasa puluhan perda baru yang semakin mempersempit ruang gerak perempuan dicetak. Razia jilbab maupun tes keperawanan adalah kasus lama yang telah muncul berulang-ulang. Ini menunjukkan bahwa kursi-kursi pemerintah daerah membutuhkan orang-orang dengan perspektif gender yang benar dan mengerti betul bagaimana merumuskan kebijakan yang tidak mendiskriminasi warga perempuan yang memercayakan suaranya pada mereka. Kasus-kasus ini juga seharusnya menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk tidak memandang remeh gagasan konyol yang sewaktu-waktu dapat menjelma menjadi aturan hukum yang mengikat. Daftar Pustaka Luluhima, Achie Sudarti (ed.). 2007. Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ihromi, T.O., Irianto, S., dan Luhulima, A.S. 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: Penerbit Alumni. http://video.viva.co.id/read/38644-tanpa-payung-hukum--probolinggo-gelar-razia-jilbab_1 http://www.lbh-apik.or.id/perda%20tangerang.htm http://news.metrotvnews.com/read/2015/02/07/355021/dprd-jember-usulkan-tes-keperawanan-syarat-kelulusan-siswa http://icrp-online.org/2014/03/03/komnas-perempuan-dorong-judicial-review-perda-diskriminatif-gender/ http://www.leimena.org/en/page/v/578/contoh-kasus-akibat-perda-diskriminatif Menjadi perempuan yang lahir di tanah Sunda tentulah mempunyai tantangan tersendiri. Sunda yang religius dan sebagian besar penduduknya muslim menyebabkan tata cara hidup di Sunda berdasarkan agama mayoritas yaitu Islam. Perempuan di Sunda adalah makhluk mayoritas. Jika kita membaca ulang sejarah, perempuan Sunda mendapat tempat yang luhur, sebut saja Dayang Sumbi. Ibunda Sangkuriang ini menjadi tokoh sentral di cerita legenda Jawa Barat. Dayang Sumbi mempunyai harga diri yang kuat juga yakin akan kebenaran pendiriannya mampu menolak Sangkuriang dengan caranya. Ada pula Purbasari, sosok putri yang cantik lahir batin. Jika dua tokoh dalam sastra Sunda tersebut Sangkuriang dan Purbasari merupakan tokoh imajiner, saya akan tampilkan tokoh perempuan Sunda yang riil yakni Dewi Sartika. Siapa yang tak mengenal Dewi Sartika? Perempuan Sunda asli yang kala itu dengan gagah berani berpikir mengenai kaumnya. Pergerakan Dewi Sartika dimulai ketika banyak perempuan sunda yang datang kepadanya dan mengeluh tak punya kepandaian dan keterampilan apapun. Dewi Sartika berpikir pentingnya kaum wanita mendapat pendidikan agar bisa hidup sendiri, tidak semata-mata bergantung ke suami. Akhirnya Dewi Sartika pada tahun 1904 mendirikan sakola istri. Ada juga Inggit Garnasih, yang dari tangannya melahirkan negarawan Soekarno. Sunda kaya akan cerita legenda yang menempatkan perempuan sama tingginya dengan laki-laki. Juga kisah heroik Dewi Sartika yang sudah satu abad lalu dengan pemikiran yang gemilang. Tentunya kita berharap bahwa perempuan sunda adalah perempuan tangguh yang mandiri. Tetapi kenyataannya saya masih melihat banyak ketidakadilan terjadi pada perempuan sunda. Perempuan yang menikah di usia muda banyak di jumpai di ranah Sunda, sebut saja, Majalengka, Garut, Ciamis, Tasikmalaya. Menurut pengamatan saya sebagai perempuan yang lahir dan besar di tanah Sunda, saya terbiasa melihat pemandangan seorang perempuan, seorang ibu menjadi kepala rumah tangga. Bukan hanya sebagai pencari nafkah tetapi menjadi pelayan bagi semua anggota keluarganya. Suami menjadi raja yang harus dilayani, laki-laki baik dewasa maupun muda mendapatkan tempat nomor satu di rumah. Banyak sekali saya temui perempuan sunda yang sudah menjadi janda di bawah 25 tahun. Cukup banyak perempuan sunda yang kurang mendapatkan pendidikan yang baik sehingga mereka tidak memiliki keahlian dan akhirnya menjadi tidak produktif. Suami adalah tumpuan bagi mereka untuk menaruh hidupnya. Ketika di dalam rumah tangga mengalami KDRT pun, kebanyakan perempuan sunda akan bertahan karena faktor ekonomi. Banyak yang saya lihat perempuan sunda ini menyerahkan kehidupannya pada suami, lantas ketika ada anak mereka menitipkan harapan pada anak-anaknya untuk menjadi sumber kebahagiannya, semua itu dilakukan karena ketidakmampuannya untuk membahagiakan diri sendiri. Sunda adalah suku yang besar. Pepatah “banyak anak banyak rezeki” sepertinya diterapkan orang-orang Sunda dahulu, sehingga saya selalu melihat keluarga Sunda adalah sebuah keluarga besar. Darah menjadi pengikat yang erat di Sunda, tidak jarang saya melihat uwak, mamang maupun bibi ikut campur terhadap urusan ponakannya. Saya seperti melihat suatu kelompok besar dengan pemikiran yang nyaris sama, sehingga menjadi salah satu yang berbeda itu adalah tantangan besar. Islam, agama yang rahmatan lil alamin, menjadi pondasi untuk masyarakat sunda berkiblat, tetapi saya menyayangkan penafsiran yang salah tentang poligami dalam islam juga kekuasaan laki-laki atas perempuan. Hadis yang populer didengung-dengungkan di tengah keluarga saya “menikah dan perbanyaklah anak karena aku akan bangga memiliki anak yang banyak” menjadi salah satu alasan banyaknya perempuan sunda yang dipoligami. Inggit Garnasih perempuan sunda yang cerdas dan berani mengatakan tidak untuk dipoligami, meski kekuasaan di depan mata ditolaknya dengan tegas. Saya kemudian menjadi rindu pada sosok Dewi Sartika juga Inggit Garnasih, setiap kali saya melewati rumah bersejarah Inggit Garnasih juga ketika saya melewati jalan Dewi Sartika sambil mencari buku di tukang loak, mata saya langsung beriak. Ada perempuan hebat di Sunda! Ya, dulu. Sekarang, jarang saya melihat tampilnya perempuan Sunda di dunia sastra atau di ranah akademik yang mencolok. Saya tidak menampik, ada banyak perempuan Sunda yang populer, tapi itu tidak cukup mengingat penduduk Jawa Barat adalah yang terbanyak di Indonesia. Apa perempuan Sunda bodoh? Tidak! Nyata sekali bahwa penggerak sekolah perempuan pertama ada di Sunda yakni Dewi Sartika, nyata sekali bahwa legenda Sunda Dayang Sumbi menjadi legenda nasional dengan menempatkan tokoh perempuan menjadi sentral juga. Saya percaya, di balik gunung Papandayan yang menjulang itu, perempuan cerdas Sunda bersembunyi, saya juga percaya di bawah kaki bukit gunung Ciremai itu, banyak perempuan Sunda yang sedang mengasah pena nya. Untuk Sunda yang saya cintai, lahirkanlah perempuan hebat dari perutmu. Saya sedang iseng berselancar di dunia maya dan menemukan artikel ini, artikel yang cukup miris sekaligus lucu bagi saya. Artikel itu berasal dari sebuah web konsultasi pernikahan yang mengungkapkan kegelisahan seorang suami terhadap istri yang baru dinikahinya, berikut petikannya:
Maukah kita mencoba memahami posisi laki-laki mengapa ia merasa ditipu dan tidak menerima bahwa kiranya istri yang baru dinikahinya tidak perawan? Laki-laki dibebani untuk selalu menjadi maskulin dan yang paling maskulin diantara para laki-laki. Sosialisasi gender melalui permainan yang ditujukan kepada anak laki-laki dibumbui persaingan, berbeda dengan permainan anak perempuan yang biasanya bersifat bekerjasama, sedari kecil, si anak laki-laki ini sudah diajarkan bahwa menjadi laki-laki adalah sebuah persaingan untuk menjadi pemenang. Hingga ada ungkapan bagi laki-laki yang terjebak dalam perlombaan maskulinitas ini “men never satisfied with their size, except for cancer or tumor”. Laki-laki yang dianggap tidak maskulin akan menjadi cemoohan dalam perkumpulan mereka, mereka selalu ingin menjadi paling maskulin, seperti tagline obat kuat pil biru yang mudah ditemui di pinggir jalan raya, Obat Alat Vital (penis): lebih besar, lebih kuat, tahan lama. Menikahi perempuan perawan dan memerawani perempuan adalah sebuah kebanggan bagi laki-laki terhadap sesamanya. Dalam pergaulan para laki-laki ini akan ada ‘the most wanted female’ yang kerap dibicarakan dan menjadi idaman setiap orang, mendapatkan perempuan tersebut menjadi prestise seakan-akan perempuan tersebut adalah sebuah trofi berjalan. Patriarki menempatkan laki-laki untuk wajib menjadi maskulin, buas dan penguasa atas perempuan dan tubuhnya. Para laki-laki dipaksa berlomba untuk jadi maskulin, jadi jantan, mendapatkan gadis impian semua. Tapi, apa laki-laki tersebut secara sadar melakukan perlombaan maskulinitas mengejar keperawanan perempuan? Toh nyatanya kemauan penis untuk ereksi tidak ditentukan dari perawan atau tidaknya vagina. Yang menginginkan perempuan perawan adalah perlombaan maskulinitas. Laki-laki bisa saja jatuh cinta kepada perempuan lebih tua, seorang janda, bahkan ibu-ibu muda yang masih bersuami. Tetapi masyarakat akan menggunjingkannya, menganggap ia tidak mampu mendapatkan yang lebih baik, seorang gadis. Gadis yang paling muda dan cantik di lingkungannya. Patriarki mengatur kepada siapa kita harus jatuh cinta, baik perempuan dan laki-laki. Sebenarnya kita menderita. Lantas bagaimana dengan poligini? Saya akan mengambil kasus seorang tetangga saya yang kebetulan menjadi pemuka agama dan dihormati oleh pengikutnya, sebut saja namanya A. A ini pada 17 tahun yang lalu sempat mengungkapkan keinginannya untuk menikah lagi kepada istrinya namun tidak dikabulkan oleh istrinya, dan pada tahun lalu, A mengungkapkan lagi keinginannya untuk memadu istri, dan uniknya kali ini dengan perempuan yang berbeda dibandingkan permintaannya pada 17 tahun yang lalu. Jika memang A ingin poligini berdasarkan cinta, tentunya permintaannya untuk menikah seharusnya masih dengan perempuan yang sama. Tapi justru perempuannya berbeda, tentunya lebih muda. Selidik punya selidik, ternyata seluruh saudara kandung A yang berjumlah empat orang dan laki-laki semua itu semuanya memiliki istri lebih dari satu, A tentu saja merasa “kalah” dari saudara-saudaranya yang lain karena A hanya memiliki satu istri. Poligini dilakukan untuk melengkapi atribut kekuasaan (phallus) karena perempuan adalah sebuah trofi. Padahal, maskulinitas adalah perlombaan yang tidak pernah bisa dimenangkan. Daftar Pustaka http://www.eramuslim.com/konsultasi/keluarga/istri-tidak-sesuai-harapan.htm#.VONYU_mUdQE diakses pada hari Selasa, 17 Febuari 2014 pukul 10.34 Beavoir, Simone de. 1972. The Second Sex (Trans: H.M. Pahrsley). New York: Pinguin Books “I’m White, I’m Black, And I’m Asian” sincerely, Panda. Kalimat tersebut merupakan satire dari sikap rasisme terhadap manusia non-kulit putih Eropa. Panjang sudah sejarah manusia berjalan, tetapi sikap rasisme primitif masih ada. Rasisme lebih mudah dideteksi karena rasisme menyangkut penampilan fisik seorang manusia yang bisa dengan mudah diidentifikasi dalam sekali tatap, tapi bagaimana dengan perilaku mendiskriminasi yang lain dan justru lebih populer tapi jarang kita sadari? Heteroseksisme dalam Ilmu Sosiologi merujuk pada perilaku mendiskriminasi orang-orang yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan mayoritas. Karena mayoritas menyukai lawan jenis--baik untuk jatuh cinta maupun hubungan seksual—maka yang memiliki “selera” berbeda dengan mayoritas didiskriminasi. Heteroseksisme ada dimana-mana. Dan kita jarang menyadari telah melakukan diskriminasi jenis ini. Lelucon tentang homo, lesbian atau gay sering kali kita dengar bahkan sering kita jadikan obrolan sehari-hari. Sikap Heteroseksis bisa berupa ucapan, tindakan bahkan kekerasan. Lihat panda, dari struktur tubuhnya, panda seharusnya menjadi hewan karnivora. Badannya gempal dan besar seperti beruang dengan cakar tajam yang bisa merobek mangsa dan gigi-gigi yang juga runcing untuk memakan daging mentah. Tapi panda memilih memakan daun bambu. Dan kita tidak masalah dengan itu. Kita malah menganggap panda lucu dan menggemaskan karena ia memakan bambu dan tidak menjadi hewan karnivora seperti koleganya, Beruang. Orientasi seksual juga perihal selera, seperti panda yang walaupun secara biologis dilahirkan sebagai pemakan daging kemudian dia memilih untuk memakan tumbuhan. Mengapa panda melakukan itu? Apa karena efek dari evolusi? Apa panda dipaksa makan bambu oleh sesama binatang lain? Apa karena bambu lebih bergizi? Panda makan bambu karena dia suka bambu. Dan karena panda makan bambu dan seluruh panda di seluruh dunia ini makan bambu, panda tidak mengikuti hukum dan kaidah biologisnya. Apa hal itu membuat panda menjadi punah? Tidak. Panda masih jadi salah satu binatang unyu nan menggemaskan yang masih bisa kita lihat di kebun binatang. Kita bisa menoleransi panda yang memakan bambu karena seleranya, mengapa kita tidak bisa menoleransi sesama manusia karena seleranya? Saya menolak menggunakan kata orientasi seksual melainkan selera untuk mengganti kata orientasi. Hasrat adalah selera, kita tidak bisa menjelaskan mengapa kita jatuh cinta seperti halnya panda yang jatuh cinta pada daun bambu. Hasrat seksual juga selera, bukan berarti jika saya memiliki penis kemudian saya harus berpasangan dengan vagina. Hasrat penis menyukai penis atau vagina menyukai vagina atau bagaimanapun telah ada pada diri dan itu tidak berpengaruh atas eksistensi seseorang sebagai manusia. Ambil contoh Alan Turing, ilmuwan yang seorang homoseksual ini pemikirannya menjadi pijakan bagi penemuan komputer yang kita pakai sekarang. Oprah Winfrey yang acara talkshow-nya memengaruhi kebudayaan Amerika sekarang adalah seorang aseksual. Selera seks, kamu boleh memilih dan mengapresiasinya sama seperti ada beberapa teman kita yang menyukai durian dan ada yang tidak. Kita luput memperlakukan manusia sebagai manusia. Kita lebih menerima panda yg memilih selera berbeda dibandingkan manusia yang punya selera yang tidak mengikuti mayoritas. Padahal, jika memang kita bersikap antroposentris menempatkan manusia lebih superior dari makhluk lain, mengapa kita justru tidak menyukai perbedaan selera antar sesama manusia? tidak ada yang salah dalam perbedaan selera seks, dan perbedaan tersebut tidak mengancam keberlangsungan dan peradaban hidup manusia. Praktik homoseksual sudah ada dan beriringan dengan perjalanan sejarah dan peradaban manusia. Dan selama itu pula, perbedaan selera seks tidak membuat manusia menjadi punah. Abstrak Tulisan ini menyoroti bagaimana posisi perempuan di ranah produktif dalam perspektif patriarki yang mengakar di masyarakat. Tulisan ini menguak perdebatan masyarakat tentang perempuan yang menjadi ibu rumah tangga atau perempuan bekerja yang saat ini digugat eksistensinya. Di balik peningkatan partisipasi perempuan di ranah ekonomi secara statistik, tulisan ini menyoroti perkembangan secara kultur perempuan yang berkontribusi di ranah produktif. Selain itu, tulisan ini juga menyoroti peran kultural yang menempatkan perempuan menjadi perempuan bekerja dengan beban ganda. Serta munculnya berbagai persoalan baru perempuan di ranah produktif, menjadi perempuan bekerja atau perempuan karier. Perempuan dalam Belenggu Budaya Dunia ibu, dunia perempuan, adalah dunia perlawanan dalam diam, dunia pemberontakan dalam kepatuhan, dunia hening di tengah ingar-bingar keramaian dan kekacauan hidup, dunia kesendirian dalam riuh dan sunyi, dunia penyerahan dalam ketakutan dan ketidakberdayaan. (Maria Hartiningsih, Kompas 12 Juni 2011) Aktivitas domestik sudah sejak lama dilekatkan pada perempuan. Asosiasi dua hal tersebut bahkan sudah ada jauh sebelum kebanyakan perempuan lahir. Hal itu kemudian menjadi budaya dan adat istiadat. Perempuan selalu dikonotasikan sebagai manusia pekerja domestik (homemaker) yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar rumah sehingga perannya tidak lebih dari sekadar aktivitas dalam rumah. Di kemudian hari, terutama di dunia kerja, banyak posisi strategis yang aksesnya tertutup bagi perempuan. Perempuan dianggap tidak pantas memimpin dalam pekerjaan karena dinilai sebagai makhluk yang terlalu menggunakan perasaan dan sulit mengambil keputusan dengan bijak. Pelekatan pembagian pekerjaan antara perempuan dan laki-laki sudah sejak lama diyakini kebenarannya. Perempuan selalu dikaitkan dengan beberapa kata, “sumur, dapur, kasur” yang hingga kini digugat eksistensinya. Wacana tersebut dinilai sebagai wacana usang yang tidak dapat dibuktikan secara nyata karena banyak perempuan yang juga mengambil bagian penting di ranah produktif. Walaupun pada tataran kenyataan, secara mendalam perempuan masih terus dilekatkan dengan “sumur, dapur dan kasur” dan belum mampu keluar secara utuh tanpa tendensi apapun. Dekade terakhir, kiprah perempuan di ranah produktif mulai menunjukkan eksistensinya. Bisa kita lihat bagaimana perempuan dilibatkan secara aktif bekerja di semua lini. Mulai dari bidang ekonomi, sosial, politik hingga agama. Semua lini telah dapat mengandalkan perempuan sebagai sumber daya manusia yang produktif dan andal. Meski demikian, toh, banyak hal yang masih membelenggu perempuan dalam kiprahnya di ranah produktif. Perempuan masih saja terbelenggu dengan budaya, mitos dan jauh dari kata kompetensi yang sehat di ranah produktif. Banyak anggapan perempuan yang bekerja di ranah produktif akan lebih kesulitan mengambil kebijakan ketimbang laki-laki, sekalipun kompetensinya melampaui laki-laki. Begitu pula dari sisi agama, perempuan pemimpin hingga saat ini masih dianggap tabu dan menyalahi kodrat. Dewasa ini, pelekatan perempuan dengan pekerjaan domestik masih menjadi cara yang paling ampuh untuk melanggengkan ideologi patriarki. Manneke Budiman (dalam Jurnal Perempuan volume 18 tahun 2013) menyebutkan bahwa pekerjaan domestik tidak pernah dianggap sebuah pekerjaan. Pekerjaan domestik dianggap tidak menghasilkan uang dalam dimensi ekonomi sehingga membuat pekerjaan domestik bukan menjadi bagian pekerjaan produktif. Karena itu perempuan yang berkarya di ranah publik terus saja dibebani dengan tanggung jawab domestik seperti mengasuh anak, mengurus rumah, memasak, menyiapkan kebutuhan keluarga, membayar tagihan-tagihan dan masih banyak pekerjaan domestik lainnya. Serta harus mempertimbangkan berbagai persoalan keuangan, pendidikan, serta sosial maupun keharmonisan keluarga. Perempuan yang memilih bekerja harus melakukan dua hal sekaligus, menjadi produktif dengan bekerja di ranah publik dan tetap mengurus urusan domestik. Hal ini akhirnya menimbulkan masalah baru yaitu perempuan terus saja bekerja untuk mengaktualisasikan dirinya namun impiannya terbatas hanya bekerja saja dan menghasilkan pundi-pundi ekonomi agar mendapat penghargaan dan perlakuan yang lebih baik dari suami serta tidak menggantungkan hidupnya kepada laki-laki. Sedangkan cita-cita perempuan harus terkubur mati bersama tumpukan beban yang terus saja membuatnya mati perlahan. Bagaimana Data Berbicara Pergeseran nilai-nilai di masyarakat mengenai perempuan bekerja memang dicatat mengalami kemajuan yang terus meningkat dari dekade sebelumnya. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan pada tahun 1980 sebesar 32,43%, tahun 1990 sebesar 38,79%, dan pada tahun 2014 TPAK perempuan sudah menjadi 50,22%. Angka ini terus melaju pesat setiap tahunnya dan dinilai sebagai kemajuan pembangunan. Ini menjadi laporan peningkatan kualitas hidup kaum perempuan. Angka ini menjadi faktor penting dalam berbagai hal untuk mencapai tujuan kesejahteraan kaum perempuan pada khususnya dan masyarakat secara luas pada umumnya. Ada beberapa hal yang mendasari perkembangan kemajuan perempuan seperti yang disebutkan Abdullah (2001:104), yaitu pergeseran dalam diri perempuan sendiri dan pergeseran nilai, norma yang menyangkut perubahan peran kelembagaan. Abdullah menegaskan pula bahwa perubahan ini merupakan tanda dukungan kelembagaan yang memberikan jaminan bagi keterlibatan perempuan. Walau demikian, perkembangan angka tersebut dapat dimaknai pula dengan beberapa pertanyaan mendasar, di posisi apakah perempuan bekerja? Bagaimana kualitas kerja perempuan? Maria Hartiningsih juga memaparkan bahwa Penguatan kesetaraan gender dan anak muda tidak boleh diabaikan karena perempuan dan orang muda harus mendapat cukup informasi dan kebebasan untuk dapat mengambil keputusan mengenai hak reproduksi, usia saat menikah, saat memiliki dan jumlah anak, serta kebebasan berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik di lingkungan mereka. BPS mencatat dari 100 penduduk yang bekerja sebagai: (a) tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan, 18 orang adalah perempuan dan 82 adalah laki-laki; (b) bekerja dengan status berusaha dibantu buruh dibayar/tidak dibayar, 23 orang perempuan dan 77 orang laki-laki; (c) bekerja dengan status pegawai/buruh/karyawan, 34 orang perempuan dan 66 orang laki-laki; (d) pekerja keluarga/tidak dibayar, 73 perempuan dan 27 laki-laki. Data ini memperlihatkan perempuan yang bekerja masih menempati posisi yang tidak strategis. Perempuan masih tertinggal dari laki-laki dalam menduduki posisi yang membutuhkan keahlian pengambilan kebijakan. Status pekerjaan sebagai pengusaha (berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh) dan buruh/pegawai/karyawan saat ini masih didominasi laki-laki. Sementara status pekerjaan sebagai pekerja keluarga/tidak dibayar didominasi perempuan. Hal ini senada dengan penjelasan Abdullah (2001:105)
Dalam masyarakat, pemimpin usaha sering dilekatkan sebagai jabatan laki-laki, sedangkan perempuan selalu dilekatkan sebagai unsur pendukungnya. Andaikata mendapatkan posisi dalam pekerjaan, biasanya perempuan dilekatkan dengan pekerja keluarga yang tidak diperhitungkan jerih payahnya. Ini menunjukkan bahwa peningkatan kuantitatif partisipasi perempuan di ranah produktif belum sesuai dengan semangat kesetaraan gender. Kesetaraan gender hanya dipahami sebagian besar masyarakat dengan kesetaraan kesempatan perempuan dan laki-laki. Namun secara kontekstual, pemahaman tersebut masih sangat dangkal, tabu dan bekerja di ranah mitos. Struktur upah juga menunjukkan gejala yang sama. Perempuan mengalami diskiminasi yang sangat tidak adil. Perempuan dilabelkan sebagai sumberdaya yang lemah, kurang kompeten dan layak dibayar murah karena tidak mempunyai tanggungjawab sebesar laki-laki dalam kehidupannya, serta dilekatkan dengan pekerjaan yang tidak strategis. Dalam konteks ekonomi, upah yang rendah bagi perempuan diposisikan sebagai satu-satunya alat untuk membayar jerih payah perempuan. Sedangkan peningkatan kapasitas dan jaminan karier masih menjadi bayang-bayang semu bagi perempuan yang fitrahnya ditasbihkan masyarakat menjadi ibu rumah tangga.
Tabel di bawah ini akan menjelaskan rata-rata upah pekerja menurut jenis lapangan pekerjaan utama dan jenis kelamin pada tahun 2014 yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) RI. Angka statistik di bawah ini akan menjadi gambaran bagaimana diskriminasi upah juga menghantui perempuan bekerja. Rata-rata upah pekerja perempuan hanya sekitar 61,07% dibandingkan laki-laki yang berada di angka 77,74%, bahkan jauh di bawah rata-rata strutur upah pekerja yang sebesar 78,43%. Rata-rata yang lebih rendah tersebut bukan hanya berlaku di sektor pertanian, melainkan juga di sektor non pertanian. Abdullah (2001: 159) menegaskan bahwa, “Laki-laki masih saja menjadi ‘pemilik’ utama pertanian dan yang bertanggungjawab penuh apabila ia tidak keluar untuk bekerja di luar usaha tani”. Sedangkan bila merujuk data di bawah, TPAK perempuan di tahun 2014 sebesar 50,22 % sedangkan laki-laki sebesar 83,05 %, yang artinya setengah perempuan usia kerja tidak masuk ke dalam angkatan kerja, dan masuk dalam kategori bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus rumah tangga dan lain-lain). Melihat besarnya jumlah perempuan yang hanya mengurus rumah tangga dan berbanding terbalik dengan jumlah laki-laki, menegaskan posisi perempuan yang masih menjadi manusia kelas dua. Dalam konteks kultural, posisi perempuan yang lebih rendah dari laki-laki mempertegas pandangan negara mengenai pekerjaan domestik. Secara tidak langsung, negara terus mendefinisikan perempuan sebagai kelompok yang tidak produktif. Sekitar 34 juta jiwa perempuan bekerja di sektor domestik. Sementara hanya 1,7 juta laki-laki bekerja di sektor ini. Ketimpangan jumlah ini seyogianya memperkuat pandangan kultural bahwa perempuan cenderung lebih tepat bekerja di ranah domestik dan dianggap biasa saja oleh masyarakat, walaupun saat ini perempuan bekerja bukan hal asing lagi. Selain itu, BPS mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 6,4%, sedangkan TPT laki-laki 6,02%. Ini menunjukkan bahwa secara konsep ekonomi, perempuan yang bekerja di ranah domestik tidak diperhitungkan usahanya karena tidak dapat menghasilkan ataupun membantu untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Sekalipun telah bekerja lebih dari satu jam berturut-turut keringat perempuan tidak juga diperhitungkan dan dinilai secara ekonomi. Hal inilah yang mendasari mengurus rumah tangga masuk ke kelompok bukan angkatan kerja.
Ibu Rumah Tangga VS Perempuan Bekerja Era 1900-an, RA Kartini seolah berdiri kokoh sendirian melawan tradisi yang membatasi perempuan Jawa dalam mengakses pendidikan. Dalam perjuangannya, ia terus berbicara tentang keterlibatan perempuan dalam sektor publik. Baginya perempuan harus setara dengan laki-laki dalam kesempatan memperoleh akses pendidikan. Kartini yakin bahwa pendidikan mampu mengubah cara pandang masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup perempuan. Seperti yang disampaikan oleh tim penulis buku Gelap Terang Hidup Kartini, “Kartini memberontak terhadap feodalisme, poligami, dan adat istiadat yang mengukung perempuan. Dia yakin pemberian pendidikan yang lebih merata merupakan kunci kemajuan” (2013: 8). Saparinah Sadli dalam Gelap Terang Hidup Kartini juga menegaskan bahwa Kartini mendobrak tradisi dan ingin mengubah hal-hal yang membuat orang tidak diperlakukan secara setara. Salah satunya dengan membangun sekolah keputrian. Kartini melatih berbagai anak perempuan Jawa untuk dapat mengembangkan diri sekaligus membekali mereka dengan berbagai keterampilan hidup, seperti misalnya menjahit dan memasak. Perjuangan Kartini ternyata membuahkan hasil yang nyata. Tradisi pingitan pelan-pelan mulai pudar dan perempuan memiliki akses yang luas ke dunia pendidikan serta berkarya di berbagai bidang. Saat ini, akses perempuan untuk bekerja di ranah publik sudah semakin luas. Perempuan dapat memilih pekerjaan dan meningkatkan kapasitasnya untuk meniti jenjang karier lebih tinggi. Perempuan juga dapat memilih semua potensi, apa yang disukai dan apa yang tidak disukai. Kesempatan ini banyak digunakan oleh perempuan untuk mengaktualisasikan diri dalam ranah produktif. Perempuan telah resmi berkontribusi secara nyata dalam pembangunan, baik di bidang ekonomi, sosial dan politik. Namun, tidak sedikit pula perempuan bekerja karena terdesak tuntutan ekonomi dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Akhir-akhir ini, muncul perdebatan mengenai perempuan yang menjadi ibu rumah tangga atau menjadi perempuan karier. Ada yang menilai bahwa menjadi ibu rumah tangga murni merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Ada pula yang menilai bahwa untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi namun tidak dapat mengaplikasikan ilmunya dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Cerita ini mengilustrasikan bagaimana perempuan terus saja dihadapkan pada persoalan peran kultural mengenai perempuan ideal yang saat ini telah mampu berkontribusi secara nyata dalam pembangunan. Hefri mengunggah sebuah tulisan di media sosial bahwa ia bangga anaknya diasuh oleh istrinya yang lulusan sarjana sebuah universitas dan fokus bekerja menjadi ibu rumah tangga. Di lain sisi, Donna mengunggah sebuah tulisan yang isinya jangan mendiskreditkan perempuan bekerja karena mereka mencari nafkah bagi keluarga dan rasanya ingin menangis meninggalkan anaknya pada pengasuh. Kedua cerita di atas menggambarkan betapa konflik mengenai pekerjaan, status perempuan dalam masyarakat lokal kita masih menjadi perdebatan yang menarik. Di satu sisi, ada yang masih melanggengkan sikap bahwa perempuan memang selayaknya bekerja di rumah dan bertanggungjawab penuh terhadap pengasuhan, pendidikan dan keharmonisan rumah tangga. Di sisi lain ada yang menilai bahwa perempuan wajib bekerja karena berbagai faktor selain tuntutan ekonomi juga karena aktualisasi dirinya sebagai manusia. Tedjasukmana dalam Abdullah (2001: 108) menuliskan sebuah kepiluan mengenai cita-cita perempuan,
Peran kultural mengenai perempuan tersebut sebenarnya menjadi sangat bias bagi perempuan. Perempuan seolah dipenjara oleh kungkungan tradisi dan tidak dapat membebaskan dirinya sekaligus dari beban domestik bila bekerja di ranah produktif. Perempuan yang bekerja di luar rumah lantas tidak dapat fokus terhadap cita-citanya, melainkan terjebak dalam dua dunia sekaligus, di dunia produktif dan domestik, atau yang disebut sebagai beban ganda (double burden). Sapiro dalam Ardaneshwari (2014: 25) mengatakan, “Kecenderungan klasik untuk mempertentangkan posisi perempuan dan dunia kerja didasari kekhawatiran tidak beralasan bahwa dengan bekerja di luar rumah, keluarga dan juga keperempuan perempuan itu sendiri, akan terganggu”. Candaraningrum (2014:14) menegaskan bila perempuan pulang ke rumah sehabis pekerjaan formalnya maka ia akan mengerjakan tugas pekerjaan shift kedua. Ia menegaskan ini adalah takdir yang sangat tragis bagi perempuan, bukan dikarenakan perlawanan atau ketidaksukaan akan pekerjaan domestik, melainkan perempuan membutuhkan waktu untuk beristirahat, berefleksi dan menenun diri. Jika dilihat secara dalam, kenyataan tersebut sangat tragis dan memilukan. Kenyataan tersebut harus terus disikapi perempuan dengan kata sabar, amal mulia, dan kewajiban sehingga penolakan-penolakan yang masif akan memperburuk kualitas kehidupan perempuan serta menganggu kehidupan perempuan secara utuh. Fakih (1997:12) menjelaskan bahwa ada lima ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan, yaitu marginalisasi pada perempuan, penempatan perempuan pada subordinat, stereotip perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan beban kerja tidak proporsional. Saat ini, banyak perempuan yang mengorbankan dirinya untuk keluarga. Setelah menikah, perempuan dituntut untuk mendapatkan keturunan. Tuntutan ini biasanya disertai dengan anggapan bahwa perempuan harus mengorbankan kiprahnya di ranah produktif dan menjadi ibu rumah tangga saja. Tedjakusuma, Berninghausen dan Kerstan dalam Abdullah (2001: 114) menjelaskan,
Pada dasarnya kebijakan politik, budaya, adat istiadat telah menggeser sedikit cara pandang upaya perempuan menyejajarkan diri dengan laki-laki. Walaupun berbagai tantangan, hambatan terus menjadi bagian dalam upaya pemenuhan hak-hak dasar perempuan. Tuntutan-tuntutan tersebut terus berkembang menjadi peran kultural. Secara tidak langsung, peningkatan angka statistik tentang partisipasi perempuan berarti peningkatan beban kerja perempuan pada umumnya. Perempuan selalu saja dihadapkan dengan pilihan yang sulit mengenai kehidupannya, terbelenggu aturan-aturan yang secara terus-menerus menghantuinya hingga usianya senja. Termasuk, menentukan berbagai pilihan hidupnya, menjadi ibu rumah tangga atau bebas berkontribusi di ranah produktif dengan beban yang lebih berat. Perempuan Bekerja atau Perempuan Karier Sebut saja DR. Ia seorang pegawai negeri sipil dengan tiga orang anak. Ia menitipkan satu orang anaknya yang balita kepada tetangga yang membantunya menjadi pengasuh. DR memiliki suami yang juga seorang pegawai negeri sipil.
Begitulah nasihat seorang teman mengenai pengalamannya dalam kehidupan berumah tangga. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa tugas-tugas pokok sebagai seorang perempuan dan istri harus tuntas terlebih dahulu sebelum perempuan ke kantor. Belum lagi tuntutan perempuan harus terus cantik dan bertubuh langsing agar suami selalu melihat kebaikan di tubuh perempuan. Senada yang disebutkan DR, Abdullah (2001: 37) menegaskan bahwa, penerimaan sosial dan batas-batas hubungan sosial dipengaruhi oleh bentuk tubuh seseorang, yang itu menjadi ukuran menarik tidaknya seseorang. Penilaian tersebut sangatlah berkaitan dengan nilai kultural dalam masyarakat. Masyarakat secara tidak langsung terus saja mengukuhkan bahwa perempuan yang berkarier juga harus memiliki kapasitas dalam pengelolaan rumah tangga yang baik. Perempuan dibebani banyak sekali pekerjaan seumur hidupnya. Penilaian tersebut mengakar menjadi momok yang sangat menakutkan bagi perempuan. Perempuan dengan eksplisit seringkali mendefinisikan dirinya sebagai makhluk yang lemah dan semakin lama akan menua serta butuh perlindungan. Pada akhirnya perempuan lebih banyak memilih menjadi perempuan bekerja yang tidak mementingkan karier ataupun cita-cita yang ingin diraihnya. Perempuan seolah melupakan cita-cita masa kecilnya yang meluap-luap dan menghambakan dirinya pada aktivitas yang monoton—bekerja, pulang ke rumah, bekerja di ranah domestik, mengurus anak dan turut menyumbangkan penghasilan ekonominya untuk kepentingan keluarga. Realitas ini menimbulkan bukan hanya ide-ide baru yang berkembang menjadi budaya baru bagi perempuan. Perempuan banyak yang memimpikan bekerja dari rumah sembari tidak meninggalkan statusnya sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dilakukan agar beban ganda yang melingkupi perempuan berkurang. Pekerjaan-pekerjaan tersebut menjadi idaman sebagian perempuan seperti, berdagang di rumah, menjadi pengrajin, penjahit dan bahkan menulis. Hasil penelitian Abdullah (2001: 183) menjelaskan ada empat keuntungan bekerja di industri kerajinan dekat rumah. Pertama, pekerjaan industri kerajinan memberikan kemungkinan bagi perempuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sehingga tidak mengganggu tugas rumah. Kedua, pekerjaan industri kerajinan dapat dilakukan tanpa harus meninggalkan kewajiban perempuan sebagai ibu karena pengasuhan anak tetap dapat dilakukan. Ketiga, industri kerajinan juga melibatkan anggota rumah tangga (terutama suami dan anak-anak) sehingga dapat meringankan beban perempuan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai pekerja. Keempat, penyelesaian tidak terikat pada waktu dan jam kerja sehingga dapat dikerjakan di sela-sela pekerjaan rumah tangga. Sayangnya usaha ini di dalam dimensi kultural ekonomi kita masih dianggap pekerjaan sampingan, bukan pekerjaan utama. Pekerjaan yang dilakukan dari rumah masih diidentikkan dengan pekerjaan yang tujuannya membantu ekonomi keluarga, bukan menjadi pilihan ekonomi utama keluarga. Walaupun pendapatan yang diterima oleh perempuan yang terlibat dalam industri menurut Abdullah (2001: 187), memiliki arti penting dalam penghasilan rumah tangga. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa pekerjaan kerajinan merupakan pekerjaan sampingan, justru kegiatan kerajinan memberikan upah yang lebih besar. Selain beban ganda, persoalan kesempatan yang layak juga menjadi persoalan utama bagi perempuan di dunia kerja. Perempuan selalu diposisikan menjadi inferior dalam dunia kerja, bukan saja karena kemampuannya diragukan, juga dikarenakan kesehatan reproduksinya yang menjadi alasan utama. Persoalan kehamilan, menyusui, mengasuh anak masih menjadi persoalan yang dianggap beban produktivitas kerja. Perempuan terpola dan terpusat pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat menerima perintah, seperti sekretaris, resepsionis, waitrees, atau pembantu rumah tangga (Kanter dalam Abdullah, 2001). Kompleksnya masalah perempuan baik perempuan bekerja yang tidak berkarier maupun perempuan yang bekerja dengan meniti kariernya menjadi gambaran secara utuh bahwa persoalan yang sangat mendasar adalah mampukah perempuan memilih secara subjektif, bukan secara kultural untuk hidupnya. Kedua pilihan tidak ada yang salah, melainkan apa yang menjadi prioritas dan preferensi dirinya tanpa intervensi kultural. Be yourself, to be women. Mendobrak Realitas Angka-angka statistik dari tahun-ke tahun terus memaparkan kemajuan partisipasi perempuan di dunia kerja. Walaupun beberapa masih menampilkan kesenjangan yang sangat jauh antara perempuan dan laki-laki, diskriminasi yang melebar antara perempuan dan laki-laki, namun persoalan beban ganda, perempuan yang berkarier, kesempatan yang terbatas masih menjadi wacana usang yang terus menghantui dan membunuh perempuan secara pelan-pelan. Maria Hartiningsih menuliskan pendapat Melinda Gates dari Gates Foundation bahwa, bila perempuan memegang kendali anggaran rumah tangga dan punya hak mengontrol tubuhnya maka perempuan punya kekuatan menentukan masa depannya dan dapat membuat dunia berubah lebih baik. Sebuah pendapat yang bisa mengguncangkan dunia sekaligus membawa perempuan pada tahap kesadaran bahwa persoalan perempuan bukan hanya milik perempuan semata. Persoalan perempuan bukan melulu mengenai hal-hal di luar kendalinya, melainkan hal-hal privat yang terus dikontrol oleh sistem sosial. Sistem sosial selalu berperan dalam menentukan wajah dan peran perempuan sesungguhnya, mau menjadi apa perempuan dan generasinya. Masyarakat, berbagai komponen sosial, laki-laki dan semua lini harus berperan aktif dalam menghapus nilai-nilai kultur yang mulai usang dan diskriminatif. Berbagai pilihan ada di depan mata, perempuan butuh dukungan yang masif untuk bangkit dari diskriminasi, beban ganda dan peran kultural perempuan yang usang. Perempuan harus terbebas dari beban ganda ketika mereka menikah dan terus melanjutkan potensi yang dimilikinya. Tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kartini harus mati untuk memperjuangkan cita-citanya, namun beratus tahun setelah kematiannya, apa yang diperjuangkannya bermanfaat sangat besar bagi kaum perempuan. Mendobrak realitas. Berdiri kokoh menjadi perempuan dan mampu memilih menjadi apa merupakan kunci menyingkirkan pikiran-pikiran usang mengenai perempuan bekerja. Sejatinya perempuan harus meraih cita-citanya setinggi langit dan terbebas dari semangat kultur yang menempatkan perempuan di kelas kedua. Sudah saatnya kita tidak terjebak dengan berbagai angka statistik, namun secara kontekstual malah terjerumus pada nilai-nilai usang yang hanya diperbarui bungkusnya saja. Menjadi perempuan mandiri, memilih dan bersikap, satu-satunya cara melawan. Bukan hanya kekerasan terhadap perempuan yang membutuhkan perlawanan oleh semua, namun peran kultural yang telah usang pula harus dilawan. Bukan hanya oleh perempuan, tapi oleh sistem, kebijakan yang setara dan dimulai dari pola pikir yang adil. Daftar Pustaka Candraningrum, Dewi. (2013), “Superwoman Syndrome dan Devaluasi Usia: Perempuan dalam Karier dan Rumah Tangga”, Jurnal Perempuan volume 18 No. 1, edisi Maret 2013. Budiman, Manneke. (2013), “Bapak Rumah Tangga: Menciptakan Kesetaraan atau Membangun Mitos Baru?”, Jurnal Perempuan volume 18 No. 1, edisi Maret 2013. Hartiningsing, Maria dkk. (2013), “Agar Naik Kelas Menjadi Negara Kaya”, dilihat pada 15 Mei 2014, http://home.kompas.co.id/litbang/tarkfast/detail4.cfm?item=7&startrow=51&&navigation=&session=1421717213845 Irwan, Abdullah. (2001), Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang Press, Jogjakarta Tim Liputan Khusus Kartini. (2013), Gelap Terang Hidup Kartini, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Supriyanto, Sugeng. (2014), Statistik Perempuan dan Laki-laki, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Jakarta Buku Gus Dur Di Mata Perempuan adalah buku yang berisi pemikiran, pandangan dan praktik Gus Dur terkait perempuan yang ditulis oleh perempuan. Ada 24 perempuan yang terlibat dalam penulisan buku ini. Mereka adalah istri, saudara, kenalan, murid dan orang-orang yang pernah disentuh hidupnya oleh Gus Dur. Buku ini mengupas banyak aspek dalam kehidupan Gus Dur ketika bersentuhan dengan isu perempuan melalui penuturan para penulisnya. Ia mencakup isu kesehatan reproduksi, parenting, politik, hubungan antar agama dan lain sebagainya. Namun, ada juga beberapa tulisan yang tidak sepenuhnya berbicara mengenai Gus Dur terkait dengan isu perempuan, akan tetapi menyoroti praktik Gus Dur dalam memperlakukan perempuan dalam interaksi penulis dengan Gus Dur. Keseluruhan tulisan dalam buku ini bisa dikategorikan dalam dua hal. Pertama, terkait dengan kebijakan-kebijakan Gus Dur dalam isu perempuan. Kedua, implementasi atau praktik keberpihakan Gus Dur terhadap perempuan dalam praktik sehari-hari. Dalam konteks yang pertama dapat dilihat dalam kebijakan Gus Dur saat menjabat Ketua Tanfidziyah PBNU dan Presiden RI ke-4. Pada masa Gus Dur, NU menghasilkan sebuah keputusan penting mengenai kebolehan mengangkat perempuan untuk menjadi pemimpin dalam Munas Alim Ulama NU di Lombok 1997. Muktamar NU 1999 di Lirboyo, Kediri dalam salah satu risalah keputusannya juga memberikan ruang yang lebih besar bagi para kader perempuan yang terhimpun dalam Banom-Banom perempuan NU untuk berpartisipasi aktif dalam keputusan-keputusan organisasi NU. Kedua kebijakan ini sangat maju jika dilihat dalam konteks NU yang dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang masih tradisional. Selama menjabat Presiden, meskipun sangat singkat, Gus Dur langsung membuat keputusan menghentak dengan mengganti nomenklatur Menteri Peranan Wanita menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Pilihan diksi ini bagi para aktivis perempuan sudah dianggap sebagai keberpihakan. Terlebih pada masanya, Gus Dur mengeluarkan instruksi presiden mengenai kewajiban semua bidang pemerintahan untuk melakukan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Instruksi inilah yang menjadi embrio dari berbagai kebijakan yang ramah perempuan, salah satunya tindakan afirmasi kuota 30% perempuan di ranah politik. Keberpihakan Gus Dur terhadap perempuan dalam praktik sehari-hari muncul di hampir semua tulisan yang terangkum dalam buku ini. Semua penulis menjadi saksi bagaimana santunnya Gus Dur dalam memperlakukan perempuan, termasuk diri mereka. Dalam berbagai tulisan disebutkan bagaimana Gus Dur sudah menerapkan konsep parenting (pengasuhan anak bersama) disaat istilah ini belum booming seperti sekarang. Tulisan yang lain menyorot bagaimana Gus Dur ditengah kesibukannya mendukung sepenuhnya studi Bu Shinta dengan menemani beliau melakukan penelitian di Banyumas untuk keperluan tesisnya. Namun, keberpihakan Gus Dur dalam upaya untuk memajukan perempuan Indonesia ini dilakukan dalam senyap. Tidak dengan berkoar-koar di media atau melalui aksi turun jalan. Keberpihakan Gus Dur terhadap isu perempuan itu dia lakukan sendiri, melalui praktik dan kebijakan-kebijakan yang paling dekat tanpa menimbulkan kehebohan. Karena itu Saparinah Sadli dalam artikelnya di buku itu menyebut Gus Dur ini ada hati sama perempuan. “Jadi Gus Dur memang punya hati, memahami dan menghargai terhadap apa yang diinginkan dikerjakan perempuan. Namun dia tidak membesar-besarkan isu itu, ya seperti yang selalu dibilangnya, begitu saja kok repot”. Perempuan Menulis: Ethics of Care Menulis Gus Dur dan pikiran-pikirannya mengenai perempuan adalah sesuatu yang baru di tengah ratusan buku yang sudah ditulis mengenai Gus Dur. Jika buku ini ditulis oleh para perempuan, maka ia melengkapi kekhasan buku ini. Ia menjadi khas karena berhasil menghadirkan keberpihakan yang sangat kuat. Semua perempuan yang menulis dalam buku ini adalah orang-orang yang pernah berinteraksi dengan Gus Dur dengan variasi kedekatannya. Ada yang sangat dekat, namun juga ada yang hanya berinteraksi dalam berbagai forum yang diinisiasi Gus Dur. Akibatnya, tulisan-tulisan yang hadir dalam buku ini tarasa sangat personal, emosional dan bahkan intimate dalam membicarakan Gus Dur dan perempuan. Hampir semua penulis menyelipkan cerita-cerita pengalaman interaksi mereka dengan Gus Dur dalam menguraikan perjuangan Gus Dur atas isu gender. Pengalaman personal mereka tidaklah berdiri sendiri yang hanya memiliki arti bagi mereka, akan tetapi dengan sangat apik dikaitkan ke dalam konteks perjuangan perempuan yang lebih luas. Ini adalah hal yang sangat khas yang tidak akan ditemui pada laki-laki yang menulis tentang Gus Dur. Kemampuan dan pilihan untuk selalu mencoba menghubungkan pengalaman individu dengan pengalaman orang lain (daripada menganggapnya sebagai pengalaman yang berdiri sendiri) adalah khas perempuan. Meminjam apa yang disebut Carol Gilligan dengan the ethics of care, para penulis perempuan ini dalam menganalisa Gus Dur menekankan pada relasi-relasi, konteks-konteks yang saling berkait dan fokus pada kepeduliannya. Lia Maryono, misalnya, menceritakan bagaimana keterbukaan dan keramahan yang dipraktikkan Gus Dur sangat menginspirasinya untuk terus menghidupi pluralitas yang menjadi bagian dari nafasnya. Keterbukaan keluarga Gus Dur ini pula yang mengantarkannya bertemu dengan Alissa, anak pertama Gus Dur, yang tengah aktif dalam isu kesehatan reproduksi remaja dan HIV/AIDS. Ternyata, tidak hanya anaknya, Gus Dur pun fasih berbicara mengenai hak reproduksi perempuan dalam bingkai agama. Sri Mulyati, penulis lain di buku ini, menyambungkan pengalaman pertemuannya dengan Gus Dur sewaktu dia menuntut ilmu di luar negeri dengan pesan-pesan Gus Dur mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Narasi-narasi personal yang demikian dapat dijumpai hampir di setiap tulisan di buku ini. Dengan model penulisan semacam ini, buku Gus Dur Di Mata Perempuan sangat cocok apabila sengaja dihadirkan bagi para pembaca perempuan. Pengalaman personal para perempuan yang menulis buku ini bersama Gus Dur dan refleksi-refleksi mereka atas pemikiran-pemikiran Gus Dur merupakan pengetahuan khas perempuan (women ways of knowing). Cerita-cerita sederhana itu adalah jendela untuk menangkap pemikiran-pemikiran Gus Dur mengenai demokrasi, pluralisme, keadilan dan keseteraan. Cerita-cerita sederhana ini bukanlah cerita remeh, namun ia adalah proyeksi dari narasi-narasi besar yang dibayangkan Gus Dur dan sudah ditulis oleh ratusan penulis laki-laki. Karena itu buku ini cukup penting. Di luar kekhasan yang sudah ditampilkan, buku ini memiliki satu kekurangan. Penerbit menghadirkan buku ini apa adanya. Ada banyak topik dihadirkan begitu saja tanpa ada upaya untuk mem-frame menjadi sebuah ide yang cukup kuat. Tulisan ini sangat kaya dengan ilustrasi keterlibatan Gus Dur dalam pengelolaan rumah tangga, pengasuhan anak, dukungan atas pilihan otonom perempuan, dll. Ilustrasi-ilustrasi demikian—jika mau di-frame--barangkali merupakan formula embrional dari apa yang oleh gerakan perempuan kontemporer disebut dengan “gerakan laki-laki baru,” yakni gerakan yang melibatkan kaum laki-laki dalam memperjuangkan keadilan gender. Jika hal ini dilakukan, menurut hemat saya, buku ini menjadi sebuah paket yang dahsyat. Khairul Hasni, MA Direktur Jari Aceh (Jaringan Perempuan untuk Keadilan) Lhokseumawe [email protected] Pendahuluan Kedaulatan budaya perempuan dalam konteks kebudayaan besar Indonesia, mencakup kebudayaan leluhur bangsa Indonesia yang berakar dari tradisi dan budaya suku-suku peninggalan terdahulu budaya nusantara yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Secara umum budaya masyarakat di dunia menempatkan laki-laki pada hierarki teratas, sedangkan perempuan menjadi nomor dua. Edward B. Taylor mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.[1] Dalam beberapa tatanan budaya masyarakat Indonesia, terdapat realitas bahwa perempuan berada pada posisi kedua dan terpinggirkan. Kondisi ini menjadi bagian dari hidup perempuan dan laki-laki yang disosialisasikan secara turun-temurun, hingga pada masa sekarang perempuan masih menjadi kaum marginal. Melihat konstruksi sosial pada zaman dulu dalam kehidupan rumah tangga, perempuan bekerja mengurus rumah tangga sedang laki-laki bekerja di luar rumah. Ini kemudian menjadi suatu kebiasaan dan dipandang sebagai adat istiadat dimanapun keberadaan perempuan di dunia. Namun seiring kemajuan zaman, perempuan kemudian memilih berkarier di luar rumah untuk mencukupi keuangan serta kebutuhan lainnya. Kita bisa mengacu pada perjuangan yang dilakukan Elizabeth Cady Stanton (1815-1902) dalam memperjuangkan konvensi hak-hak perempuan tahun 1848 di Seneca Falls dan mendukung hak suara kaum perempuan di Amerika Serikat (Hadiz, 1998), dimana baru seratus tahun kemudian PBB/UN (Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nation) secara resmi menyampaikan deklarasi tentang hak asasi manusia termasuk hak perempuan dan laki-laki.[2] Dari sini kita dapat melihat bahwa perjuangan perempuan tidaklah mudah apalagi dalam lingkungan masyarakat yang sangat beragam seperti Indonesia. Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda, terdapat perbedaan organ reproduksi dan konstruksi tubuh pada kedua jenis kelamin, namun dalam konteks budaya peran yang diemban keduanya memiliki kesetaraan. Akan tetapi, budaya telah memberikan keistimewaan pada kaum laki-laki. Dan realitas budaya tidak mengakomodasi kesetaraan dan keseimbangan. Dalam sebuah budaya seorang perempuan hanya sebagai alat untuk melengkapi. Budaya patriarki telah memengaruhi hubungan perempuan dan laki-laki serta menimbulkan subordinasi. Terbelenggunya Perempuan dalam Budaya Kebudayaan Indonesia yang memarginalkan peran perempuan berpengaruh pada pembentukan karakter bangsa. Sebagai contoh dalam perspektif perempuan, pelanggaran norma seperti yang diatas perlu disosialisasikan dan dikuatkan saat ini, yakni fenomena kekerasan berbasis komunitas atas nama adat dan syariat. Sebuah adat dapat saja berfungsi sebagai wujud kearifan lokal yang memiliki sanksi sosial bila dilihat ancaman kekerasan atas nama aturan adat. Sebagai contoh wilayah Aceh, aturan adat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang menjaga nilai dan norma masyarakat menjadi bagian dari pola pikir dan perilaku masyarakat yang dikuatkan dengan syariat Islam. Tantangan menjadi berat ketika perubahan sosial terjadi dalam kurun waktu yang tidak dapat diantisipasi oleh masyarakat yang masih dalam transisi pasca konflik/MoU Helsinki. Pelanggaran Syariat Islam memberikan ruang multi interprestasi dan menimbulkan interaksi masyarakat dengan penegak hukum Syariat Islam. Wacana HAM sepertinya menawarkan lingkup terbesar dalam penerimaan pluralisme gender. Wacana HAM adalah isu pertarungan yang sengit di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan di atas dengan adanya kelompok-kelompok Muslim yang menyediakan interpretasi mengenai hak.[3] Ini juga berkaitan dengan persoalan pemberlakuan syariat Islam di Aceh dalam hukuman cambuk, yang masih menimbulkan dua pandangan yang berbeda. Menurut dosen Universitas Unsyiah Banda Aceh, Syaipuddin Bantasyam, ada hal yang harus dipilah-pilah dalam melihat keberadaan hukum dan HAM, yang termasuk dalam pelanggaran HAM adalah jelas pentingnya atas hak universal manusia, penerapan Qanun Jinayah di Aceh yang tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manuasia (HAM) dan juga tidak bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan kalau dipelajari lebih jauh.[4] Namun ada sebagian lembaga dan kelompok perempuan berpendapat bahwa hukum cambuk telah melanggar HAM. Salah satu poin dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia adalah setiap manusia dijamin atas hak kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan agama yang dimilikinya. Hal ini juga dipertegas oleh hukum di Indonesia yaitu UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, sehingga pelaksanaan Syariat Islam di Aceh secara legal formal telah diamanahkan oleh Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia.[5] Menurut Amnesty Internasional sehubungan dengan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan meminta hukuman cambuk di cabut, ini harus dapat melihat kembali karena tidak bertentangan dengan HAM.[6] Solusi adalah melengkapi hukum syariat sebagai aturan yang sifatnya preventif, maka revitalitasi adat diharapkan lebih spesifik mencakup perspektif penghormatan terhadap HAM yang meliputi kebutuhan untuk melindungi perempuan. Karena persoalan perempuan dalam setiap individu, tafsir agama, dan negara, upaya penegakan keadilan gender dapat menggugat privilege yang dapat dinikmati sebagai kelompok masyarakat termasuk perempuan.[7] Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan (gender inequality) baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi ketidakadilan yang sudah menjadi budaya masyarakat. Usaha untuk menghentikan bias gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan praktis gender (pratical gender needs). Kebutuhan ini bersifat jangka pendek dan mudah dikenali hasilnya. Namun usaha untuk melakukan pembongkaran bias gender harus dilakukan mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing hingga sampai pada kebijakan pemerintah dan negara, penafsiran agama serta epistemologi ilmu pengetahuan. Karena itu diperlukan berbagai aksi melalui kampanye, pendidikan kritis, advokasi untuk mengubah kebijakan, tafsir ulang terhadap aturan keagamaan serta memberi ruang epistemologi berperspekti feminis untuk memberikan makna terhadap realitas yang terjadi yang tidak sesuai. Merujuk pada Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, dalam strategi ini upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender didorong melalui proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi seluruh sektor pembangunan, oleh sebab itu proses tersebut akan dapat berjalan baik dengan melihat kuantitas perempuan sehingga keadilan gender atas gender budgeting dapat berjalan dengan baik. Terkait hal ini pemerintah juga telah masuk terus dengan melanjutkannya dalam program Analisis Pathway (GAP) yakni salah satu metode analisis untuk mengkaji kondisi perempuan dan laki-laki, mengidentifikasikan masalah, menemukan faktor kesenjangan dan penyebabnya, ini termasuk berbagai analisis gender dalam berbagai program, budaya, kebijakan dan kegiatan.[8] Dengan berbagai upaya yang terjadi di daerah secara nasional seharusnya pemerintah dapat menjawab persoalan ini dan kondisi perempuan Indonesia dapat terjadi perubahan pada tahun 2015. Realitas Kebangkitan Perempuan Sampai saat ini berbagai instrumen yuridis nasional dan internasional telah dibuat untuk mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender (KKG) di Indonesia (KemNeg PP dan BPS, 2006). Komitmen pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga sangat tinggi. Perjuangan gerakan perempuan telah dilakukan melalui Kongres Perempuan pertama yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1928, sekaligus sebagai upaya konsolidasi berbagai organisasi perempuan di Indonesia. Saat ini, jenis gerakan perempuan semakin berkembang dan semakin terbuka wawasannya dalam melakukan pembelaan terhadap perempuan. Pada periode sebelumnya, ruang lingkup kegiatan hampir semua organisasi perempuan hanya meliputi masalah emansipasi dan usaha menjadikan perempuan lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionalnya sebagai perempuan. Namun saat ini, perempuan terus meningkatkan diri terlibat dalam menyusun kebijakan dan meningkatkan kualitas perempuan, sehingga regulasi-regulasi baru terus lahir di Indonesia juga ratifikasi atas Konvensi Internasional yang mendukung perempuan. Indikator untuk tujuan kesetaraan gender yang berdiri sendiri post 2015 agenda pembangunan dan integrasi HAM perempuan dalam hal lainnya, ini tujuannya harus diselesaikan dalam kepatuhan terhadap CEDAW dan manusia dalam ruang lingkup Internasional dalam standar hak asasi.[9] Tantangan yang dialami dapat lebih bekerja sebagai global solidarity secara sistematis dan dengan cara yang sinergis dengan didukung oleh mekanisme internasional, Convention on the Rights of the Child (CRC), Beijing Platform for Action, Millennium Development Goals (MDGs) atau Beijing+20, Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW).[10] Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia melalui UU RI No. 7 tahun 1984. Ketertinggalan perempuan sebagai akibat dari relasi hubungan sosial dan politik yang tidak adil, disadari bahwa terdapat fenomena ketidakadilan dan diskriminasi gender. Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil yang dialami oleh laki-laki dan perempuan akibat dari sistem dan struktur sosial yang telah berakar dalam sejarah, adat maupun norma (BKKBN, Kemneg PP, dan UNFPA, 2005). Peningkatan pemberdayaan perempuan pada tahun 2000 konferensi UN menghasilkan MDGs yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan (Dep. Kehutanan, 2005). Upaya aturan Internasional dalam membela dan memajukan perempuan, untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Perjuangan perempuan yang berat untuk mencapai suatu kedudukan, disebabkan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang masih menganut paham patriarki, sehingga menghasilkan keputusan dan sikap yang bias gender. Keadaan ini menjadi lebih parah dengan adanya penafsiran yang salah dari hukum agama yang mempertajam keadaan bias gender. Pada masa mantan Prisiden Suharto, gerakan dan LSM yang bekerja untuk masyarakat masih sedikit, namun seiring dengan perjalanan persoalan perempuan, dan tahun 2015 berjumlah 1469 lembaga Ormas/LSM yang concern terhadap permasalahan kaum perempuan itu semakin tumbuh dan berkembang bekerja untuk kepentingan masyarakat.[11] Mereka banyak yang berangkat dari kalangan agamawan, akademisi dan para aktivis mahasiswa, ikut mengembangkan kesetaraan gender (gender equality). Bagi kaum agamawan, langkah ini dimulai dengan upaya untuk menafsirkan kitab suci dan ajaran agama dengan sudut pandang yang lebih ramah terhadap perempuan, sehingga diharapkan transformasi sosial bisa dimulai dari masyarakat religius yang memiliki sensitivitas gender.[12] Melihat kenyataan kebangkitan perempuan sangat menggembira terutama bagi kaum perempuan itu sendiri. Namun ketertinggalan kaum perempuan masih menjadi permasalahan belum dapat teratasi dengan baik. Jumlah penduduk perempuan adalah 118.010.413 orang data tahun 2010.[13] Pembangunan Indonesia yang lambat selama hampir 70 tahun dikarenakan kaum perempuan kurang berperan atau tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan, baik nasional maupun intenasional. Persoalan ini dapat merugikan perempuan serta pembangunan dalam berbagai sektor. Dalam melaksanakan program pembangunan, dibutuhkan perempuan yang mempunyai kualitas hidup yang optimal, sehingga perempuan akan dapat bekerjasama dengan baik sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan. Dalam persolan ini diperlukan motivator untuk mendorong kaum perempuan untuk lebih berprestasi. Sehingga dapat tercapai visi pembangunan pemberdayaan perempuan, keadilan dan kesetaraan gender dalam keluarga, masyarakat dan negara. Salah satu upaya yang harus dicapai dan urgent adalah meningkatkan kualitas hidup perempuan serta perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan. Perkembangan globalisasi secara nyata berhadapan dengan bnayak tantangan dan hambatan, dan reformasi dan kehidupan yang demokratis dalam melaksanakan women group empowering di masa-masa mendatang harus terus dilakukan. Dan kini, secara objektif kendala di lapangan tampak semakin jelas dan telah menunjukkan kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan walaupun kemajuan dan pengaruh global telah bereaksi.[14] Hal ini ditandai dengan kebijakan publik yang masih sering mengabaikan perempuan, dan lemahnya sosialisasi atas kebijakan perempuan. Ini dapat dilihat dengan banyak persoalan yang disebabkan oleh konsep gender yang belum banyak dipahami oleh berbagai pihak. Sejarah perempuan Aceh, dari dulu sudah diakui baik tingkat nasional dan internasional. Peran perempuan dulu dapat dijadikan tonggak pergerakan perempuan baik masa lalu maupun sekarang. Kiprah yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu harus menjadi perbandingan dan proses pembelajaran bahwa perempuan tidak hanya menjadi pendamping. Ini telah terbukti di kerajaan Aceh Darussalam yang menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[15] Saat ini menjadi hal yang sangat sulit dan tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk memberikan kepercayaan laki-laki mengakui nilai-nilai feminisme keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor. Dalam hal ini dibutuhkan suatu transformasi budaya yang mendukung kesetaraan gender. Suatu budaya dinyatakan sebagai budaya ketika hal tersebut telah dilakukan selama bertahun-tahun dan turun temurun. Dalam era gobalisasi untuk membuat suatu budaya baru, walaupun adanya peraturan perundangan akan mempermudah jalannya menjadi suatu kebiasaan, namun masih membutuhkan waktu yang lama dan perjuangan yang berat. Dan secara luas diyakini bahwa bentuk saat ini hukum Syariah dan cara itu diterapkan di Aceh telah seimbang baik secara praktis dan konseptual. Namun lebih parah lagi ketika kebijakan selalu diperuntukkan bagi perempuan baik dari pakaian, naik sepeda motor dengan usulan draf “duduk ngangkang” dan hal lain yang dianggap sebagian kelompok atas kesalahan perempuan. Dan ini sangat disayangkan bila memengaruhi masyarakat yang kurang kuat pemahaman dari masyarakat, khususnya orang-orang miskin dan perempuan. Merujuk dari pengalaman perempuan dalam melihat kasus-kasus yang terjadi gerakan perempuan harus bekerja keras atas dampak kebijakan yang tidak menguntungkan perempuan. Kesimpulan Relasi gender tidak hanya lahir dari kesadaran individu, tetapi juga sangat tergantung pada faktor budaya, ekonomi, sosial dan lingkungan. Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki dan perempuan, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk tantangan yang dihadapi dalam bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesejahteraan bersama. Konsep gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang bertanggung jawab atas kesetaraan dan keadilan. Program Pemberdayaan Perempuan bersifat sentralistik bahwa program yang dilakukan hanya turunan dari kebijakan pusat yang tidak sensitif terhadap lokalitas dan tidak pada Program Responsive Gender. Kita bisa merujuk pada kenyataan dan permasalahan yang dihadapi oleh perempuan Aceh atas kasus-kasus kebijakan lokal yang telah menempatkan perempuan pada level yang sangat rendah atau tidak berkeadilan gender. Kesetaraan dan keadilan gender yang telah diperjuangkan berpuluh-puluh tahun belum mencapai hasil seperti yang diharapkan, meskipun berbagai instrumen yuridis telah disusun pemerintah untuk pencapaian target program. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap masih tingginya ketimpangan gender di masyarakat. Ketimpangan gender ini masih ditemui dalam berbagai bidang termasuk budaya, kebijakan dan lainnya. Kondisi ini dapat dilihat dari rendahnya alokasi dana yang dianggarkan birokrasi publik untuk pemberdayaan perempuan yang belum menyeluruh dan tepat sasaran. Referensi Asia Pasific Cso Forum On Beijing+20, Bangkok Thailand, Final Report: Asia Pacific Cso Forum On Beijing Plus 20 By Apwldadmin · January 14, 2015 Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Perdagangan, 2010 Analisa Gender Transpormasi Sosial oleh Mansour Fakih, edisi 2008 Amnesty Internasional Minta Hukuman Cambuk di Aceh Dicabut, http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/05/22/lll3uo-amnesty-internasional-minta-hukuman-cambuk-di-aceh-dicabut BKKBN, Kemneg PP, dan UNFPA, 2005, Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender, Jakarta: Deputi Bidang PUG Kemneg PP RI. Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Khairul Hasni, MA. Studi Penelitian “Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak di Tinjau dari Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia, 2002. Perkembangan Studi Perempuan, Kritik, Dan Gagasan Sebuah Perspektif Untuk Studi Gender Ke Depan, Oleh A. A. I. N. Marhaeni vFakultas Ekonomi Universitas Udayana. Seri Perempuan dan Hukum: Studi Tentang Hak Peremuan dalam konsep HAM. Perempuan di daerah konflik dan pasca Konflik. Kasus NAD dan NTB Saipuddin Bantasyam, Dosen Universitas Unsyiah. Saskia E. Wieringa, Keanekaragaman Gender di Asia: Pertarungan Diskursif dan Implikasi Lega, Jurnal Gandrung Vol. 1 No. 2 Desember 2010 Silawati, Hartian,2006, Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Undang Undang. Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) Website 1. http://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Burnett_Tylor 2. Hukuman Cambuk di Aceh Muslihat dan Manusiawi, http://aceh.tribunnews.com/2014/10/17/hukuman-cambuk-di-aceh-muslihat-dan-manusiawi 3. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, http://bakesbangpoldki.jakarta.go.id/index2.php?halaman=dataormas 4. Jumlah Laki-Laki dan Perempuan Hampir Seimbang Sekretariat Negara Republik Indonesia Potret Kebangkitan Perempuan Indonesia, http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2260 Catatan Belakang: [1] http://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Burnett_Tylor [2] Perkembangan Studi Perempuan, Kritik, Dan Gagasan Sebuah Perspektif Untuk Studi Gender Ke Depan, Oleh A. A. I. N. Marhaeni, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana [3] Saskia E. Wieringa, Keanekaragaman Gender di Asia: Pertarungan Diskursif dan Implikasi Lega, Jurnal Gandrung Vol. 1 No. 2 Desember 2010. [4] Saipuddin Bantasyam, Dosen Universitas Unsyiah. [5] Amnesty Internasional Minta Hukuman Cambuk di Aceh Dicabut, http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/05/22/lll3uo-amnesty-internasional-minta-hukuman-cambuk-di-aceh-dicabut [6] Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Sam Zarifi [7] Analisa Gender Transpormasi Sosial oleh Mansour Fakih, edisi 2008, [8] Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Perdagangan, 2010 [9] Asia Pasific Cso Forum On Beijing+20, Bangkok Thailand, Final Report: Asia Pacific Cso Forum On Beijing Plus 20 By Apwldadmin · January 14, 2015. [10] Asia Pasific Cso Forum On Beijing+20, Bangkok Thailand, Final Report: Asia Pacific CSO Forum On Beijing Plus 20 By Apwldadmin · January 14, 2015 [11] Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, http://bakesbangpoldki.jakarta.go.id/index2.php?halaman=dataormas [12] Khairul Hasni, MA. Studi Penelitian “Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak di Tinjau dari Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia, 2002 [13] http://www.tempo.co/read/news/2013/04/26/058476142/Jumlah-Laki-Laki-dan-Perempuan-Hampir-Seimbang. Tempo.com Politik [14] Jumlah Laki-Laki dan Perempuan Hampir Seimbang Sekretariat Negara Republik Indonesia Potret Kebangkitan Perempuan Indonesia, http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2260 [15] Khairul Hasni, MA. Studi Penelitian “Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak di Tinjau dari Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia, 2002. Pendaftaran audisi Idol Group JKT48 generasi ke-4 sudah dibuka. Bagi kamu, WNI atau WNA perempuan, berusia 13-18 tahun silakan mendaftar, tentunya, untuk anda yang berusia dibawah 18 tahun wajib mendapat surat izin dari orang tua. Ratusan bahkan ribuan perempuan muda pun mendaftar. Mengapa perempuan tersebut berbondong-bondong mendaftar? Apa yang diharapkan perempuan menjadi bagian dari anggota JKT48? Apakah keartisannya? Atau pengakuan atas kecantikan? Tulisan ini bermaksud untuk membedah mitos kecantikan perempuan dalam Idol Group JKT48. Melalui tulisan ini kita akan melihat bagaimana perempuaan dijebak dalam penjara “cantik” yang kemudian membelenggunya. JKT48 adalah sebuah idol group, bukan girlband pada umumnya. Idol group ini merupakan sisterhood dari pendahulunya AKB48 yang berasal dari Akihabara, Jepang. Karena merupakan sisterhood, JKT48 banyak membawa budaya Jepang dan idoling yang berbeda dengan selebriti pada umumnya, anggota idol group memiliki golden rules yang harus ditaati bersama demi menjaga perasaan para fans-nya, fans disini bukan sebagai pihak di luar idol group melainkan kunci utama idol group ini bisa besar dan berkembang. Hingga pengumuman dibukanya audisi generasi keempat, tidakah anda bertanya-tanya, “Ini grup apa sekolahan sampai ada generasi-generasinya segala?” Konsep idol group berbeda dengan selebriti atau band pada umumnya. Idol Group mengenal regenerasi, bagi siapapun anggota yang dirasa sudah semakin tua maka dia akan graduate atau mengundurkan diri. Anggota yang graduate biasanya akan memulai karier solonya. Disini terlihat bahwa idol group bisa menjadi sebuah batu loncatan, atau dia menghempas siapapun yang dirasa tidak muda dan pesonanya mengurang. Konsep idol group dalam industri hiburan merepresentasikan mitos kecantikan yang masih membelenggu para perempuan, dan lucunya para perempuan ini enggan lepas dari belenggu tersebut. Berbeda dengan artis atau selebriti yang biasanya memiliki keahlian tertentu, seperti diva yang harus pandai sekali bernyanyi, aktris yang pandai bermain peran. Idol tidak memiliki kemampuan khusus seperti itu. Mereka bernyanyi bersama dan menjual dirinya sebagai ikon/anggota dari grup tersebut. Yang diutamakan adalah wajah yang menarik, tanpa kriteria cantik yang jelas. Lihat personel-personel JKT48 yang memiliki kecantikan khas masing-masing, misalnya saja Ve yang berkulit hitam manis dan semampai, Yupi yang berkulit putih, sipit, mungil menggemaskan, Melodi yang bermata bulat dan wajah Indonesia sekali, atau Haruka yang asli jepang. JKT48 tidak membuat standar cantik tapi juga tidak mematok para personelnya untuk menjadi sangat ahli dalam bidang menari, menyanyi, atau akting. Graduate dan perekrutan generasi menjadi hal yang penting. Karena dengan ini personel JKT48 akan selalu muda dan energik. Perlombaan nilai perempuan dalam idol group bisa diukur melalui suara para fans-nya yang biasa disebut wota (women otaku) yang menentukan karier para personel dalam grup tersebut. Nilai perempuan ada pada tubuhnya, pada wajahnya sehingga ada pernyataan yang umum dilontarkan “nasib perempuan tergantung pada wajahnya”. Keberhasilan pergerakan perempuan pada tahun 1970-an juga berimbas pada bergesernya feminine mystique menjadi beauty myth. Ketika perempuan sudah sadar atas kepemilikan tubuhnya kemudian media menyetir mereka untuk menjadi bahagia dengan tubuhnya dengan cara menjadi cantik. Kemudian para perempuan pun beramai-ramai berusaha menjadi cantik melalui berbagai penderitaan membeli banyak barang yang mampu membuat dia terlihat cantik, diet, high heels, meluruskan rambut, keriting bulu mata, dsb. Perempuan dituntut menjadi cantik, dengan standar kecantikan yang masih patriarkis. Lihat saja iklan pencerah wajah terkenal. Mereka memasang pria tampan yang terpesona dengan kecantikan si pemakai produk pencerah wajah tersebut. Hal ini merepresentasikan perempuan yang tampil cantik untuk orang lain, untuk pria. Bukan demi kepuasan dirinya sendiri. Begitu pula yang dialami member JKT48. Identitas mereka sebagai anggota didapatkan melalui serangkaian audisi dan training demi diakui sebagai idol, perempuan cantik bagaimanapun definisi cantik yang ia percayai. Mereka tidak dituntut untuk menjadi mahir pada hal tertentu, penggemar mereka menilai dari kecantikan dan rasa subjektivitas emosional terhadap sang oshi (idol kesukaan). Idol merepresentasikan para perempuan dengan nilai bahwa menjadi cantik lebih penting daripada ahli dalam bidang akademis, seni, aktivitas sosial, atau apapun. Perempuan pun menganggap wajah cantik adalah komoditas utama sementara cerdas dan memiliki kemampuan lain adalah bonusnya. Menjadi cantik lebih penting daripada menjadi pintar. Sehingga kecantikan dan kepintaran dianggap tidak mampu berjalan bersama-sama. Mengapa perempuan mengutamakan kecantikan dibandingkan mengasah kemampuan berpikir atau hobinya? Menurut saya, hal ini diakibatkan persepsi masyarakat yang masih menganggap perempuan sebagai pabrik anak. Wajah yang cantik akan mudah memikat para pria (fans) sehingga tertarik kemudian menikah dan beranak-pinak. Wajah cantik membuat kesempatan perempuan untuk mendapatkan pasangan dan meneruskan gennya menjadi lebih besar. Perempuan masih dianggap kunci dan simbol dari kesuburan dan keturunan. Maka penting bagi perempuan untuk mampu memikat lawan jenisnya demi bereproduksi. Sebenarnya, kemajuan pengetahuan dan teknologi saat ini tidak lagi memosisikan dan mewajibkan perempuan sebagai mesin produksi anak. Tetapi mitos kecantikan masih membelenggu. Wanita cantik lebih dihargai daripada yang kurang cantik, dan lagi, syarat cantik hanya dilekatkan pada wajah dan penampilan fisik sehingga perempuan terus-terusan menderita untuk menjadi cantik. Dan ironisnya mereka tetap menikmati penderitaan tersebut, termasuk saya! Sumber: Wolf, Naomi. 2002. The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Againts Women. New York: Harper Perennial. Galbraith, Patrick W and Jason Karlin (Eds). 2012. Idols and Celebrity in Japanese Media Culture. Japan: Tokyo University. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |