Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] ![]() Sarinah! Katakan pada mereka Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu Tentang perjuangan nusa bangsa Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal Ia sebut kau inspirasi revolusi Sambil ia buka kutangmu Petikan dari “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”, (Rendra 1974: 212) Ketika kita mengingat pembantaian massal 1965 politik Orde Baru memainkan kekuasaannya dengan memanipulasi sejarah, doktrinasi bahwa semua yang berbau komunis adalah jahat. Menurut Mariana (2015: 119), rezim orde baru melakukan teror sebagai upaya “penundukan” agar kekuasaannya dapat dilanggengkan, dengan menyatakan adanya “musuh negara” yakni penganut ideologi komunisme. Dalam upaya untuk mewujudkan negara yang bebas dari ancaman ideologi kiri maka muncul kebijakan tumpas kelor[1]. Semua organisasi “keluarga komunis”[2], seperti misalnya organisasi perempuan Gerwani telah disiksa dan dikalahkan. Presiden Soeharto tampil ke atas singgasana kekuasaannya dengan menciptakan kampanye kekerasan yang tak ada tolok bandingannya di masa lalu, dan dikuatkannya pula dengan tuduhan pesta seksual yang dilakukan para anggota Gerwani (Wieringa, 1999: xl). Setelah ketegangan dari adanya pembasmian Gerwani kontrol pemerintah semakin meningkat, Kowani (Kongres Wanita indonesia) ditunjuk oleh pemerintah Orde Baru untuk menjadi organisasi payung bagi semua kelompok wanita, dari organisasi profesional, sosial, keagamaan sampai organisasi-organisasi fungsional (Suryakusuma, 2011: 17). Di masa demokrasi terpimpin, Kowani didorong menjadi organisasi radikal oleh Gerwani dan Hurustiati Subandrio (istri menteri luar negeri saat itu, Dr.Subandrio). Sejak Mei 1966, pada saat pembasmian kaum komunis, para pemimpin organisasi-organisasi perempuan yang berkaitan dengan Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya) meningkatkan jumlah wakil mereka dalam pengurus eksekutif Kowani (Reeve, 1983: 330). Namun penunjukan Kowani sebagai organisasi semua kelompok wanita menjadikannya mati dalam perjuangan perempuan. Kowani mendapatan pengesahan resmi dari pemerintah dalam Panca Dharma Wanita, yaitu: 1) wanita sebagai pendamping setia suami, 2) wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa, 3) wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak, 3) wanita sebagai pengatur rumah tangga, 4) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna. Bagaimana perjuangan independen kaum perempuan tidak mati, mereka membiarkan dirinya dicetak mengikuti budaya “ikut suami” (Suryakusuma, 2011: 17). Panca Dharma Wanita tersebut sangat membatasi perempuan, domestifikasi dan depolitisasi perempuan dengan hanya mengurusi suami, anak dan rumah tangga sama sekali tidak memberikan perempuan ruang untuk menikmati dan melakukan hal-hal sebagaimana sebagai subjek manusia. Keadaan tersebut juga sangat “bapakisme” dan “patronistik”. Menurut Langenberg (1986: 9-10), pengertian tentang bapak adalah dasar dari seluruh struktur stratifikasi sosial di Indonesia. Setiap patron adalah bapak, setiap klien mempunyai seorang bapak. Dengan demikian, paham “bapakisme” merasuki perilaku aparat negara pada semua tingkat, dan semua hubungan adalah hubungan “bapak-anak buah”. Pada masa Orde Baru masalah wanita–atau dalam peristilahan Orde Baru disebut “kegiatan peningkatan peranan wanita”–di Indonesia disegregasikan ke dalam dan dikoordinasi oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW) (Suryakusuma, 2011: 18). Namun peningkatan peranan perempuan ini adalah “peran ganda” karena negara mengikutsertakan perempuan dalam pembangunan negara dan juga perempuan wajib dalam menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Ya, memang perempuan harus berpartisipasi dalam sosial dan politik namun Orde Baru yang membungkus dirinya secara liberal tak khayal hanya menjadikan perempuan sebagai alat yang berperan dengan citra “ibu rumah tangga” dan “istri”. Organisasi Kowani berlaku sebagai mitra Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (UPW), kowani banyak kehilangan otonominya dan sangat dikontrol pemerintah. Organisasi ini sangat terkait dengan Golkar serta didominasi oleh Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi[3]. Keduanya adalah organisasi fungsional, dengan keanggotaan otomatis mengikuti hierarki suami. Yang paling menjijikan di organisasi pemerintah tersebut adalah ketika pimpinan “fungsional” terletak pada kedudukan suami, apapun latarbelakang pendidikan, organisasi atau kecenderungan politik isteri. Lalu dimana letak peran perempuan yang sesungguhnya apabila harus “bapakisme” seperti ini!? Maka celakalah sistem kedudukan perempuan di masa Orde Baru ini karena sangat tidak berpihak pada kesetaraan. Orde Baru memberikan dukungan dana kepada organisasi-organisasi wanita sehingga dengan kata lain organisasi-organisasi wanita dipaksa mendukung tujuan pembangunan pemerintah. Sehingga organisasi perempuan tidak dapat bergerak dan melakukan perlawanan, sulit karena sudah tercipta hubungan patron-klien. Lagipula penyadaran yang ada mudah dibungkam dan menyuarakan pendapat bahkan dapat dikatakan sebagai tindakan subversif karena bertentangan dengan pemerintah. Bagi kaum wanita, ini berarti hilangnya otonomi secara nyata. Mereka dipaksa tunduk dan siapapun yang melakukan perlawanan akan dihilangkan dan bahkan dibunuh. Persekongkolan kekuasaan Orde Baru dibangun terus-menerus, dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Presiden Soeharto yang berwatak patriarkal (Wieringa, 1999: xlvii). Bahkan dengan watak patriarkal militer Presiden Soeharto telah menjadikan para perempuan aktivis kiri sebagai Tapol dan melemahkan organisasi perempuan lainnya (Mariana, 2015: 120). Setiap upaya untuk memaksa wanita kembali ke chador atau rumah adalah kebijakan yang reaksioner, apalagi menekan perempuan dengan peran ganda tanpa hak untuk memilih ruang geraknya. Hal demikian tidak menghargai revolusi yang hendak membebaskan rakyat dan menghapus eksploitasi dan kesengsaraan. Perempuan di mana pun harus bersatu untuk menguatkan dan meluaskan gerakan mereka menuju kemerdekaan (Saadawi, 2001: xxi). Masa Orde Baru adalah masa kelam dan pedih karena hilangnya rasa kemanusiaan hingga rakyat menjadi tumbal kekuasaan, hal ini perlu untuk ditilik kembali mengingat perjuangan perempuan tidak mudah dan penuh dengan tumpah darah, masa itu menyulut api perlawanan untuk gerakan-gerakan perempuan masa kini. Panjang umur perjuangan! Daftar Pustaka: Mariana, Anna. 2015. Perbudakan Seksual Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru. Marjin Kiri. Tangerang Selatan. Saadawi, Nawal El. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Suryakusuma, Julia. 2011. Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Komunitas Bambu. Jakarta. Wieringa, Saskia Eleonora. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Garba Budaya dan Kalyanamitra. Jakarta. Catatan Belakang: [1] Istilah “tumpas kelor” diambil dari bahasa Jawa. Negara menganggap seluruh keluarga komunis harus ditumpas sampai ke akar-akarnya, mulai dari keluarga yang dipersangkakan hingga generasi anak, cucu, dst. Lihat Hersri Setiawan, Kamus Gestok, Galang Press, Yogyakarta, 2003. hlm 296. [2] Istilah “Keluarga komunis”, meliputi PKI dan ormas-ormas kaitannya, yaitu Gerwani (Gerakan Wanuta Indonesia), Pemuda Rakyat, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dan HSI (Himpunan Sarjana Indoneia). Baca Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Peremuan di Indonesia, Garba Budaya dan Kalyanamitra, Jakarta, 1999. Hal xxxix [3] Dharma Wanita adalah organisasi isteri pegawai negeri, sedangkan Dharma Pertiwi adalah organisasi isteri anggota militer lihat Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, Komunitas Bambu, Jakarta, 2011. Hlm 19 ![]() Tubuh merupakan keseluruhan struktur fisik organisme manusia, yang terdiri atas bentuk tubuh yang kasat mata dan tidak. Karena dalam tubuh manusia ada serangkaian antara jiwa dan raga; bukan hanya ada tangan, hidung, kepala, kaki, mata, rambut, rahim, vagina, penis, jantung, dan lain-lain tapi mencakup seisi jiwa baik itu pikiran, perasaan, hati dan atas apa yang tak terlihat oleh mata namun bisa dirasakan dalam satu naluri manusia. Semua itu ada dalam satu rangkaian yang terbentuk menjadi satu yaitu tubuh. Pengertian secara umum saja tentunya tidaklah cukup, karena dalam pandangan Nietzche—salah seorang yang menginspirasi bagi Foucault—dalam Listiyono, ia menyatakan bahwa tubuh tidak hanya dapat dimanfaatkan dan dialami dalam banyak cara, bahwa hasratnya dapat diubah oleh interpretasi budaya, bahwa setiap aspek tubuh dapat secara menyeluruh dimodifikasi oleh teknik-teknik yang sesuai, yaitu tubuh yang lunak, yang dapat ditundukkan, dan dapat ditempa.[1] Hal tersebut juga selaras dengan apa yang dikatakan oleh Foucault, bahwa tubuh akan menjadi sebuah kekuatan yang berguna, jika tubuh itu produktif dan berada dalam ketundukan.[2] Tubuh juga secara langsung terlibat dalam bidang-bidang politis, karena adanya hubungan kuasa yang menyentuh tubuh, maksudnya ialah mereka menginvestasikannya, menandainya, melatihnya, memaksanya, melaksanakan tugas-tugas, melaksanakan berbagai tata tertib yang dimunculkan. Dan tanpa disadari hal ini juga secara langsung berhubungan dengan sistem ekonomi, karena tubuh sebenarnya berguna dan produktif. Tetapi bukan hal yang mudah untuk menjadikan tubuh itu bekerja produktif, berguna, dan membuat tubuh bekerja secara efisien kecuali ia berada di dalam perangkap sebuah sistem penundukan atau otoritas sebuah negara. Foucault dalam Listiyono, mengatakan bahwa tujuan dari disiplin otoritas adalah untuk membentuk suatu tubuh yang patuh dan dapat ditundukkan, dimanfaatkan, ditransformasikan, diperbaiki, dan dapat ditingkatkan gunanya. Tubuh yang patuh ini juga merupakan tubuh yang produktif.[3] Seperti apa yang dikemukakan oleh James S. Coleman, dengan konsep hak untuk mengontrol sumber yang tidak bisa dipindahtangankan, yakni tindakan seseorang itu sendiri yang kaitannya dengan hubungan kekuasaan bisa ditetapkan sebagai berikut: yaitu adanya hubungan kekuasaan satu pelaku atas pelaku lain terjadi, ketika yang pertama memiliki hak untuk mengontrol tindakan-tindakan tertentu dari pelaku yang lain.[4] Seperti halnya negara bisa dijadikan sebagai salah satu pelaku pemilik kontrol pertama dalam mengontrol atau mengendalikan tubuh manusia atau masyarakat terutama perempuan. Walaupun tubuh tersebut secara struktur adalah milik individu yang tidak bisa dipindahkan hak kepemilkannya, namun tetap saja negara bisa mengontrol karena negara punya otoritas akan tubuh untuk menundukkan. Seperti misalnya mengatur tubuh masyarakat terutama perempuan dalam berpakaian, alat kontrasepsi/KB, kehamilan, seksualitas, pernikahan, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Semuanya telah dipatuhkan oleh peraturan-peraturan ataupun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara. Sehingga kekuasan dianggap sebagai salah satu bentuk tindakan yang membelenggu, walaupun pada dasarnya semuanya berjalan efisien dan teratur tapi tetap saja keberlangsungan itu berada pada pusat otoritas yang membelenggu. Tubuh yang ada adalah milik setiap individu atau privat, bukan milik kelompok atau publik, karena yang berhak mengatur dan menjaga tubuh adalah pemiliknya bukan orang lain. Namun tidak demikian, kenyataan yang ada pada saat ini banyak kegelisahan-kegelisahan yang terjadi akan kekuasaan tubuh. Semua tubuh-tubuh manusia terutama perempuan telah dijadikan objek dengan istilah lain tubuh yang dipatuhkan adalah tubuh yang ditundukkan, dikuasai, dikekang, tidak diberikan kebebasan atau hak kuasa pada tubuh, yang kemudian dijadikan sebagai salah satu peluang dalam industri ekonomi-politik oleh pemilik modal dan penguasa. Semua telah dikontrol dengan begitu saja dan tanpa disadari. Ternyata kontrol yang diberlakukan oleh pemilik modal dan negara sangat bias gender, ketidakadilan gender berakibat pada ketidakadilan dalam seksualitas seseorang. Seolah perempuan yang sepenuhnya salah dalam hal ini, jika dilihat menggunakan kacamata feminis liberal. Perempuan dianggap yang pertama kali menyebabkan semua permasalahan itu datang. Karena akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.[5] Maka dalam pandangan feminis liberal ini perempuan perlu diperjuangkan sepenuhnya sama dengan laki-laki baik itu hak suara, pendidikan maupun kesamaan dalam hukum. Jadi wanita memiliki kebebasan individual dan secara penuh. Kebebasan yang dimaksud berakar dari rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Saat gender secara sosial dikonstruksi, maka seks pun demikian, dimana definisi laki-laki dan perempuan pun berdasarkan aspek biologisnya dan berpengaruh pada perannya, laki-laki dominan dan perempuan tunduk secara seksual. Sebuah teori feminis seksual dapat melihat seksualitas dengan sebuah teori keadilan gender, artinya laki-laki memang memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (kuasa laki-laki).[6] Di sini kita bisa melihat bagaimana terjadi diskriminasi atas seksualitas, perempuan dianggap inferior dalam seks karena tidak memiliki kekuasan, yang dianggap memiliki kekuasaan hanyalah laki-laki (superior). Seharusnya di dalamnya ada relasi kuasa baik antara laki-laki maupun perempuan, baik berkaitan dengan seks, kekuasaan tubuh, ekonomi, politik, pendidikan, pengetahuan, dan sebagainya. Sehingga tidak terjadi ketimpangan antara keduanya. Hal tersebut ternyata senada dengan apa yang telah dikemukakan oleh feminisme radikal; yang meyakini bahwa sistem seks dan gender adalah penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan.[7] Sistem seks dan gender ini menunjukkan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki dan bahwa perbedaan itu bukan hanya berlaku paralel tetapi lebih bersifat superior sehingga memunculkan kekuasaan negara atas tubuh perempuan. Jika kelompok feminis liberal memandang kesalahan tersebut berada dan berawal pada perempuan, namun berbeda dengan kaum feminis radikal yang melihat problemnya adalah patriarki[8], yaitu seluruh kekuasaan laki-laki atas perempuan.[9] Feminis radikal menganggap bahwa dalam kaitannya dengan reproduksi dan seksualitas perempuan, reaksi terhadap pandangan bahwa laki-laki dan perempuan secara kodrati berbeda. Artinya penindasan terhadap perempuan disebabkan oleh jenis kelamin laki-laki itu sendiri dengan ideologi patriarkinya. Cara pemikiran feminis radikal dalam menghadapi laki-laki adalah dengan menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan. Dengan sendirinya perempuan kemudian menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif (inferior). Walaupun berbdea cara pandang antara feminis liberal dan radikal, tapi pada intinya adalah untuk menyelamatkan perempuan dari ketertindasan dan subordinat perempuan dari kuasa yang mematuhkan tubuh. Sedangkan dalam pengertiannya seks atau gender yang merupakan suatu serangkaian pengaturan yang digunakan oleh masyarakat untuk mentrasformasi seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia.[10] Artinya seks (jenis kelamin) itu merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.[11] Misalnya laki-laki memiliki penis, memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki rahim, saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, vagina, alat untuk menyusui. Sigmud Freud dalam Joachim Scharfenberg menyatakan bahwa energi terbesar yang menggerakkan sejarah manusia adalah libido dan hasrat seksual manusia.[12] Hal ini juga berkaitan dengan cara pandang seseorang atau nilai kepribadian. Seperti halnya pandangan mengenai kepribadian manusia itu sendiri. Freud berpendapat bahwa pikiran manusia itu terdiri dari tiga bagian, yakni kesadaran, keprasadaran, dan ketidaksadaran. Kesadaran mengacu pada pengalaman-pengalaman mental yang dirasakan pada saat sekarang. Seperti misalnya isi mental yang sekarang tidak ada di dalam kesadaran, tapi akan dengan mudah masuk dalam alam keprasadaran. Sedangkan ketidaksadaran merupakan bagian terbesar dari pikiran yang menjadi sumber insting dasar manusia, seperti seks dan agresi.[13] Freud juga mengemukakan tiga struktur mental atau psikis yang sudah ada sejak manusia itu lahir, yang nantinya akan memengaruhi hasrat atau libido itu sendiri, yaitu id, ego dan superego[14] dengan tiga hal tersebut memiliki cara kerja masing-masing yang berbeda namun tetap berkaitan. Dalam pengertiannya id diartikan sebagai dorongan-dorongan biologis dan berada di dalam ketidaksadaran, karena id bekerja sesuai dengan proses prinsip kenikmatan (pleasure principle), hasrat, keinginan/rasa ingin memiliki, ketertarikan dan mencari kepuasan segera. Sedangkan ego dapat diartikan sebagai pikiran yang beroperasi menurut prinsip kenyataan (reality principle) yang memuaskan dorongan-dorongan id menurut cara-cara yang diterima masyarakat. Yang terakhir adalah superego, superego ini terbentuk melalui proses identifikasi dalam pertengahan masa kanak-kanak, yang merupakan bagian dari nilai-nilai dan beroperasi melalui prinsip moral. Misalnya jika dianalogikan, ketika seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang cantik, kemudian ia melihatnya secara langsung, lalu hati dan pikirannya tertarik, terpikat, sehingga muncul hasrat dan keinginan untuk berkenalan ketika melihat perempuan cantik tersebut, inilah yang dinamakan dengan id. Sedangkan ego, ketika laki-laki tersebut melihat perempuan cantik itu, ia berpikir apakah akan menemui perempuan cantik itu atau tidak, sehingga menimbulkan rasa kebingungan di dalam hati dan pikirannya. Lalu dengan rasa kebingungan tersebut muncullah superego yang berperan sebagai alat pertimbangan, jika perempuan cantik itu saya datangi atau temui ditakutkan ia sudah memiliki pacar, atau suami, sehingga akan ada kemungkinan pacar atau suaminya marah, tapi di sisi lain jika tidak ditemui akan timbul perasaan menyesal karena tidak berkenalan dengan perempuan cantik itu. Atau analogi lain: misalnya ada seorang anak yang melihat kue diatas meja, ia memiliki rasa atau hasrat ingin memiliki, mengambil dan memakan kue tersebut, tapi ia tidak tahu itu kue siapa, hal inilah yang dinamakan dengan id. Sedangkan ego muncul dalam keadaan ketika ia sudah melihat kue yang ada di atas meja, ia mulai berpikir, kira-kira kue tersebut kue siapa, ia terus mempertanyakan pada dirinya sendiri sehingga ia merasa kebingungan. Setelah ia merasa kebingungan muncullah rasa superego, jika kue tersebut saya ambil maka saya akan berdosa, karena saya mengambil kue yang bukan seharusnya menjadi hak saya, namun jika kue tersebut tidak saya ambil saya akan kelaparan. Kurang lebih demikian jika dianalogikan menggunakan contoh yang sederhana terkait dengan hasrat tersebut. Jadi, ketiga hal tersebut memiliki peran yang signifikan, maka libido dalam tubuh manusia sebagai pangkal tumbuhnya hasrat seksualitas seseorang yang kemudian berpangkal pada kuasa tubuh. Foucault mengungkapkan bahwa seks merupakan bagian dari ciri manusia sebagai makhluk yang berhasrat (desiring subject). Pada zaman Yunani kuno, masyarakat Yunani menempatkan hasrat seks menjadi bagian dari aktivitas yang sejajar dengan filsafat, ekonomi, dan manajemen kesehatan (dietetics). Foucault menunjukkan bahwa kegiatan seks pun mempunyai prestise yang tinggi. Selain itu seks juga bisa diartikan sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan, karena itu untuk terbebas dari dominasi seksual dan gender, maka harus dilakukan revolusi seksual, seks harus dibebaskan dari konstruksi. Perempuan harus memahami bahwa dirinya memiliki hasrat seksual dan bebas mengekspresikannya. Hal tersebut juga mampu mereduksi tingkat pemerkosaan. Kenapa? Karena dengan adanya seks sukarela akan tersedia untuk lebih banyak orang, sehingga mengurangi “kebutuhan” untuk pemerkosaan, dan mengurangi penyerangan seksual yang memalukan karena perempuan telah sadar akan hasrat seksualnya, maka hubungan seksual akan dilakukan berdasarkan ketertarikan seksual bukan keterpaksaan seksual yang akan mengakibatkan kekerasan seksual, baik secara fisik maupun nonfisik. Seks juga harus dilakukan secara bebas, artinya bahwa seks dilakukan dengan cara yang benar, bertanggung jawab dan tidak melanggar norma-norma, sehingga seks tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak benar dan dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Terutama hubungan seksualitas harus dilakukan ketika memang sudah ada ikatan yang sah (pernikahan). Daftar Pustaka: Coleman, James S. 2001, Dasar-dasar Teori-teori sosial:Foundations of Social Theory, terj. Imam Muttaqien, dkk, Nusa media, Bandung. Fakih, Mansour 2013, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. MacKinnon, Catharine A. 1989, “Sexuality, Pornography, and Method: Pleasure under Patriarchy”, The University of Chicago Press, Vol. 99, No. 2 (Jan., 1989), pp. 314-346, dalam http://www.jstor.org/stab le/2381437, diakses pada 12 Maret 2016. Putnam Tong, Rosemarie 2008, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Jalasutra, Yogyakarta. Rueda, Marisa dkk 2007, Feminisme Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta. Santoso, Listiyono, Sunarto, dkk 2006, Epistimologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh, AR-RUZZ, Yogyakarta. Scharfenberg, Joachim 2003, Sigmund Frued: Pemikiran dan Kritik Agama, AK Group, Yogyakarta. Semiun, Yustinus 2013, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Frued, Kanisius, Yogyakarta. Soenardjati Djajanegara 2000, Kritik Sastra Feminis; Sebuah pengantar, Pustaka Gramedia, Jakarta. Walby, Sylvia, 2014, Teorisasi Patriarki, Jalasutra, Yogyakarta. Catatan Belakang: [1]Listiyono Santoso, Sunarto, Dkk, Epistimologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh, (Jogjakarta: AR-RUZZ, 2006), Cet. Ke-II, hlm. 179. [2] Ibid. [3] Ibid. hlm. 183. [4] James S. Coleman, Dasar-dasar Teori-teori sosial:Foundations of Social Theory, diterjemahkan oleh; Imam Muttaqien, dkk, (Bandung; Nusa media, 201), Cet. Ke-IV, hlm. 89. [5]Sudrajat dalam buku Soenardjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah pengantar (Jakarta: Pustaka Gramedia, 2000), hlm. 20. [6]Catharine A. MacKinnon, Sexuality, Pornography, and Method: “Pleasure under Patriarchy”, The University of Chicago Press, Vol. 99, No. 2 (Jan., 1989), pp. 314-346, dalam http://www.jstor.org/stab le/2381437, diakses pada 12 Maret 2016. [7]Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Bandung: Jalasutra, 2004), Cet. Ke-1, hlm.69. [8]Patriarki merupakan bentuk cara pandang yang umum dan membudaya di masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan istilah ideologi atau budaya patriarki. Ideologi ini merupakan sebuah sistem yang dikendalikan oleh laki-laki. Pemahaman atas laki-laki dan perempuan di sini, tidak mengacu pada jenis kelamin namun lebih pada peran gender. Lihat dalam Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Cet. Ke-15, hlm. 8-10. Sedangkan Menurut Walby, patriarki merupakan sistem struktur dan praktek sosial yang menempatkan kaum laki-laki sebagai kelompok yang mendominasi, melakukan oprasi, dan mengeksploitasi kaum perempuan. Patriarki bisa dibedakan menjadi dua bentuk yaitu patriarki domestik (patriarki privat) dan patriarki publik. Patriarki domestik bermuara pada wilayah rumah tangga sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas perempuan. Sedangkan patriaki publik menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara. Sylvia Walby, Teorisasi Patriarki, (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), hlm. 34. [9]Marisa Rueda, dkk. Feminisme Untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hlm.120 [10]Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought : Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Bandung: Jalasutra, 2008), Cet. Ke-4, hlm.73. [11] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,…, Ibid, hlm. 8. [12]Joachim Scharfenberg, Sigmund Frued: Pemikiran dan Kritik Agama, (Yogyakarta: AK Group, 2003), Cet. Ke-1, hlm. 101. [13]Yustinus Semiun, OFM, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Frued, ( Yogyakarta: Kanisius, 2013), Cet. Ke- 5, hlm. 12. [14] Ibid, hlm. 12. ![]() Kebetulan minggu ini saya mendapat tugas untuk membuat refleksi kritis terhadap teori etika terapan yang saya dapatkan dari dosen di kelas. Tema besar yang sedang dibahas adalah equality and implication kemudian mengerucut terhadap problem realitas sosial yang ada dalam masyarakat pada umumnya. Saya tertarik untuk mengangkat isu tentang profesi mainstream perempuan sebagai sekretaris, karena setiap saya menemui atasan atau relasi pekerjaan selalu saya mendapati bahwa sekretarisnya adalah seorang perempuan. Sebenarnya fenomena profesi sekretaris sebagai profesi mainstream bagi perempuan tidak hanya kita temukan di Indonesia saja, namun di Amerika profesi ini bagaikan jamur yang tumbuh di musim penghujan. Seperti dapat kita lihat pada data sensus dari US bahwa tahun 2013 terdapat 4 juta orang yang berprofesi sebagai sekretaris dan 96 persennya adalah perempuan. Anehnya keadaan ini sama seperti 60 tahun yang lalu sejak artikel tersebut dirilis, meskipun sudah banyak perempuan yang memiliki gelar sarjana. Hal ini sebenarnya menunjukkan sebuah fenomena yang sangat unik. Ketika masyarakat mendapat paparan doktrinasi patriarki dengan intensitas tinggi maka berdampak pada munculnya efek kesadaran palsu bahwa yang layak menjadi sekretaris adalah perempuan dengan alasan bahwa perempuan lebih memiliki sifat-sifat rajin, kemudian secara psikologis lebih matang, dan memiliki tingkat agresivitas yang lebih rendah daripada laki-laki sehingga sangat cocok untuk menempati posisi ini. Coba kita renungkan lebih dalam mengapa paparan doktrinasi ini sangat pelik dalam masyarakat. Masih ingat ketika kita sedang berulang tahun, jika kita seorang anak laki-laki, maka orang tua akan menghadiahi kita mainan berupa mobil-mobilan atau pedang-pedangan. Sedangkan jika anak perempuan yang berulang tahun, maka orang tuanya akan memberikan hadiah berupa boneka barbie atau seperangkat mainan alat-alat masak. Jadi secara tak sadar terjadi doktrinasi bahwa perempuan harus bersifat lemah lembut, bergulat dengan urusan domestik, kemudian berpenampilan layaknya boneka barbie sedangkan laki-laki harus tampil gagah bagaikan kesatria pada kisah Mahabharata, pembawa pedang di gelanggang pertempuran atau sebagai seorang yang memiliki kekuatan fisik yang lebih daripada perempuan. Ini merupakan salah satu mekanisme doktrinasi yang sangat berhasil dalam menanamkan pola pikir patriarkis yang kemudian didukung oleh konstruksi sosial masyarakat yang membayangkan terdapat hierarki antara laki-laki dan perempuan. Imbasnya mungkin secara psikologis karena paparan doktrinasi yang begitu kompleks hingga kemudian berdampak pada munculnya ketimpangan relasi kuasa yang sangat mencolok ketika menjalin rumah tangga. Jika kita tarik relevansinya dengan contoh kasus yang saya jabarkan yaitu mayoritas profesi sekretaris diduduki oleh perempuan, tak lain karena pengaruh konstruksi sosial yang sangat kuat dan adanya mitos bahwa perempuan memang lebih layak menempati posisi tersebut karena memiliki kesabaran dan ketelatenan yang lebih tinggi. Hal ini mengingat sejak kecil memang sudah ditanamkan nilai-nilai bahwa perempuan memang dikodratkan menjadi manusia yang lemah lembut, pelengkap dari kaum laki-laki. Mampukah mitos ini dihapuskan dari pola pikir masyarakat agar terbentuknya kesadaran untuk mencapai kesetaraan? Memang ini merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi umat manusia. Bukan hanya problem di negara-negara berkembang saja, di negara maju seperti Amerika yang merupakan pelopor pergerakan kesetaraan gender pun masih terjebak dalam jeratan pola pikir patriarkis. Menurut Steven Goldbreg, seorang sosiolog dari Amerika menyebutkan bahwa saat ini masyarakat berada di posisi kepungan patriarki, dia menyebutnya sebagai the inevitability of patriarchy, ketika terjadi banyak sekali bentuk agresi yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan sehingga berdampak memengaruhi pandangan dalam diri perempuan itu sendiri. Seolah-olah memunculkan sebuah kesadaran palsu bahwa perempuan memang sangat layak untuk jadi sekretaris dan menempati posisi itu. Tak hanya itu, hal ini terjadi tanpa disadari oleh kaum perempuan sendiri. Mereka teredukasi secara politis dalam memainkan perannya dalam konteks ruang publik. Sehingga memang diperlukan formula yang jitu dan usaha yang keras agar kita sendiri tidak terjebak dalam kandang patriarki yang sempit dan berlumpur ini. Setelah teredukasi mengenai perannya dalam masyarakat, perempuan juga banyak yang terjebak dalam lumpur patriarki yang kemudian justru menjadi pelaku agresi itu sendiri atau menjadi perempuan patriarkis. Daftar Pustaka Kurtz, A. (2013, January 31). CNN money. Retrieved February 29, 2016, from CNN: http://money.cnn.com/2013/01/31/news/economy/secretary-women-jobs/ Singer, P. 2011. Practical Ethics, New York: Cambridge University Press. ![]() Pendahuluan: Bertolak dari Pertanyaan Memperhadapkan fenomena human trafficking pada narasi feminisme sembari membubuhi tanda tanya besar, bukanlah sesuatu yang keliru. Ia merupakan keniscayaan. Saya coba menjembatani kedua variabel universal ini dengan bertolak dari tesis seperti yang ditekankan oleh Willy Gaut, bahwasanya seiring dengan kian meningkatnya intensitas kasus, muncul hipotesis bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap bahaya perdagangan manusia[1]. Lebih lanjut Willy menambahkan, kendatipun hipotesis ini masih perlu dibuktikan lebih intensif dengan merujuk pada lebih banyak data, kiranya tetap urgen untuk membentangkan analisis atas persoalan tersebut dengan berpijak pada pertanyaan: mengapa perempuan dan anak lebih rentan terhadap bahaya trafficking?[2] Bertolak dari realitas minor ini, saya ingin mengelaborasi lebih lanjut, dalam konteks yang kontekstual ini (baca: human trafficking), feminisme bicara apa? Proaktif ataukah sebaliknya, bungkam? Pengertian Umum Human Trafficking dan Feminisme Kendatipun, hemat saya, kedua variabel ini sudah begitu populer dalam keseharian perbincangan kita, kiranya tetap urgen untuk menegaskan diatas pijakan mana uraian ini berdiri. Di atas fondasi definisi macam apa? Human trafficking, dalam pengertiannya yang paling umum, termaktub dalam UU No. 21 tahun 2007. Di sana tersurat, “Yang dimaksudkan dengan perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam daerah dan di luar daerah maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.” Sedangkan untuk feminisme, dari sekian banyak definisi yang tersedia, Joann Wolski Conn, profesor perempuan dalam bidang spiritualitas Kristen pada Universitas Neumann, Aston, Pennsylvania melukiskannya dengan cukup jelas.
Fenomena Human Trafficking dan Jati Diri Feminisme Sebagaimana tercatat pada awal, dalam bagian ini, saya akan coba memperhadapkan fenomena human trafficking pada narasi feminisme. Pertanyaan kunci yang akan saya bahas ialah, dalam konteks human trafficking, feminisme bicara apa? Proaktif ataukah sebaliknya, bungkam? Dalam kenyataannya, perempuan rentan menjadi korban trafficking. Kerentanan ini tidak dapat dilepaspisahkan dari soal ketidakadilan gender (gender inequalities). Gender inequalities dalam praksisnya telah mendepak kaum perempuan menuju sebuah zona yang mandul, dalam arti ruang bagi perempuan dibatasi sedemikian rupa sehingga mereka menjadi mudah diperalat. Faktor-faktor yang memotori pendepakan menuju zona impoten itu perlu dijabarkan di sini.[5] Pertama, marginalisasi (penyingkiran, pendepakan) kaum perempuan baik dalam bidang karya, kehidupan keluarga, status sosial, peran politik, maupun keagamaan. Kedua, subordinasi (perendahan) kaum perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan memiliki kecerdasan yang lebih rendah dari laki-laki, sehingga muncul kesan bahwa perempuan merupakan sosok yang kurang berarti keberadaannya. Ketiga, stereotip (penyamarataan) yang negatif seperti wanita diidentikkan sebagai sosok pesolek yang mencari perhatian dan memancing daya tarik atau memantik nafsu laki-laki. Keempat, violence (kekerasan) yang dialami perempuan, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, pemukulan, penyiksaan, dan menjadikan perempuan sebagai buruh kasar atau budak. Kelima, beban kerja yang terlalu berat, seperti menganggap perempuan bertanggung jawab terhadap segala bentuk pekerjaan domestik, misalnya mengurus rumah, mengasuh anak, dan mengelola kebun. Setelah mengalami 5 (lima) bentuk ketidakadilan ini, secara logis memberi jawaban mengapa perempuan rentan menjadi korban trafficking. Dalam banyak aspek mereka dilemahkan, sehingga dengan demikian gampang untuk direkrut, diangkut, ditampung, dijual atau dieksploitasi. Sampai pada titik ini, jati diri feminisme tentu ditantang. Bagaimana feminisme bersikap? Feminisme mesti mempresentasikan jati dirinya. Adapun upaya yang menjadi sasaran feminisme dalam menyudahi gender inequalities yang berujung pada trafficking, secara garis besar sebagai berikut. Pertama, feminisme membongkar kultur klasik. Feminisme berusaha untuk melihat kembali nilai-nilai tradisional secara baru atau praktik-praktik yang kelihatannya diterima begitu saja dari waktu ke waktu. Feminisme menentang nilai-nilai tradisional menyangkut kedua jenis seks, khususnya nilai-nilai maskulin dan kekuasaan pria dalam masyarakat patriarkat. Berkenaan dengan ini, muncul pula apa yang dikenal dengan istilah feminisme kultural atau ‘feminisme romantik’ atau ‘feminisme reformasi’[6]. Feminisme kultural atau romantik atau reformasi berupaya membongkar budaya patriarkat sebagai budaya yang cukup tua bertahan dalam masyarakat. Keunggulan moral kaum perempuan yang dikesampingkan oleh sebab dominasi egoisme dan otoritas kaum laki-laki, kembali dikedepankan. Feminisme kultural berjuang memanusiawikan masyarakat dengan menekankan sumbangsih khusus yang dapat diberikan oleh kaum perempuan demi menciptakan sebuah dunia yang lebih baik.[7] Kedua, perempuan mencari posisi baru. Anggapan bernada arogan bahwa sifat-sifat maskulin lebih penting dibandingkan sifat-sifat feminim, ditentang secara tegas oleh feminisme.[8] Sebaliknya, kaum feminis menekankan bahwa sifat maskulin dan feminin, masing-masing dapat dikembangkan oleh siapa saja tanpa mesti menjadi monopoli satu seks. Oleh karena itu, Feminisme berupaya keras membuat resosialisasi (pemasyarakatan kembali) masyarakat, tempat setiap orang diberi kesempatan untuk mengembangkan dan mengungkapkan semua potensi yang ada tanpa harus terikat atau terintimidasi. Melalui feminisme, perempuan berjuang menemukan posisi barunya dalam masyarakat. Atmosfer kebebasan membantu kaum perempuan dalam mengeskpresikan diri sebagai orang yang berani, kompetitif, profesional, dan kredibel. Upaya ini menangkal tendensi pengeksploitasian. Ketiga, feminisme membongkar stratifikasi sosial berbasis gender. Stratifikasi sosial merujuk pada aplikasi sistem yang mana orang-orang dalam suatu masyarakat dikategorikan atau diurutkan secara hierarkis, mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, atau sebaliknya.[9] Dalam masyarakat tertentu yang kental dengan budaya patriarkatnya, stratifikasi yang dibuat justru mengambil gender sebagai basisnya, sebagai referensinya. Hal ini berarti perempuan selalu berada di bawah laki-laki, lebih rendah dari posisi laki-laki. Feminisme hadir dan melayangkan kritik tajamnya terhadap stratifikasi sosial model ini. Feminisme menolak fakta bahwa kaum perempuan tidak mempunyai peluang yang sama dalam memperoleh pendidikan, kesempatan kerja, dan penghasilan. Kaum feminis mendesak agar setiap detail keputusan menyangkut nasib perempuan tidak boleh dibuat secara sepihak, apalagi oleh laki-laki saja. Kaum perempuan berhak menentukan nasibnya sendiri. Oleh alasan ini, feminisme hadir dan menentang secara serius stratifikasi sosial berbasis gender yang kontradiktif dengan hakikat keadilan. Keempat, feminisme dan reformasi seksual. Bidang signifikan terakhir yang mendapat perhatian serius dari gerakan feminisme ialah kehidupan seksual. Dalam masyarakat patriarkat, relasi seksual antara laki-laki dan perempuan sangat didominasi oleh laki-laki. Konteks eskalasi (kenaikan atau pertambahan) konflik Poso yang mulai pecah pada bulan Desember 1998, mempresentasikan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan dalam serangan antarkelompok masyarakat berbeda agama, yang dapat kita ambil sebagai sampelnya.[10] Dalam praksis human trafficking, kerap juga terjadi pelecehan seksual di dalamnya dan feminisme menggugat praksis macam ini. Secara internasional, pengakuan akan hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia baru diformulasi dan dilegitimasi dalam Konferensi Internasional tentang HAM di Wina (1993). Ihwal ini dapat dibaca dalam The Vienna Declaration and Program of Action (yang juga dikutip dan ditegaskan kembali dalam hasil-hasil Konferensi IV Dunia di Beijing):
Pernyataan tersebut di atas sekaligus menekankan bahwa kaum perempuan berhak atas perlindungan yang disediakan oleh sistem (instrumen dan mekanisme) internasional. Kendati demikian, hingga kini implementasi hukum internasional dimaksud belum terlalu efektif dan gagal serentak mandul memberikan proteksi dalam menyudahi ketidakadilan yang dialami kaum perempuan.[12] Di sini, dengan tegas saya menggarisbawahi, fenomena human trafficking merupakan anti-tesis terhadap hak asasi perempuan. Human trafficking mengindikasikan negasi akbar yang secara sistematis dan masif mengingkari perempuan dengan seperangkat hak asasinya, yang sejatinya egaliter dengan laki-laki. Dalam konteks ini, feminisme mesti angkat bicara. Feminisme yang adalah kita, mesti unjuk gigi, mengartikulasikan keberpihakan kita pada realitas minor-desolatif ini. Sebagai contoh sekaligus cemeti pemicu, saya merasa perlu untuk selayang pandang mencatat apa saja yang menjadi visi dan misi TRUK-F Divisi Perempuan[13], yang di dalamnya laki-laki juga terlibat. Dari sana, kita dipanggil untuk membaca konteks, merefleksikan konteks, terjun dalam konteks. Visi Truk-F Divisi Perempuan adalah hak-hak perempuan diakui dan dihargai secara utuh sehingga terciptalah kesamaan hak keadilan dan perdamaian di dunia. Sedang misinya adalah memperjuangkan pembebasan perempuan dari pelbagai bentuk kekerasan yang membelenggunya, memberdayakan kaum perempuan supaya mereka mengetahui hak-hak mereka dalam dan melalui komunitas berbasis gender, serta bersama kaum perempuan, berusaha memperjuangkan adanya pengakuan terhadap hak-hak perempuan. Bertalian dengan fenomena human trafficking, selain mendampingi para korban, hingga enam tahun terakhir ini, TRUK-F Divisi Perempuan telah dan sedang menekuni beberapa kegiatan. Saya sebutkan tiga aksi konkret dari antara banyak lainnya.[14] Pertama, menangani TKI ilegal asal Flores yang dideportasi dari Malaysia (kerja sama dengan beberapa paroki di Flores Timur, Lembata, dan Ende) serta mencoba membuat pendataan terhadap mereka serta memberikan logistik dan obat-obatan. Kedua, melakukan sosialisasi tentang UU HAM, HAM dan Gender, serta UU PA (Perlindungan Anak). Ketiga, melakukan pendekatan dan dialog dengan para penentu kebijakan, baik aparat pemerintahan maupun aparat penegak hukum, agar dapat menerbitkan Perda (peraturan daerah) tentang Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak. Dan sebagai contoh paling aktual, TRUK-F begitu proaktif dalam membongkar dan menyelesaikan kasus Toko Roti Kaigi di Maumere, kasus trafficking dan pelanggaran HAM yang menimpa sekelompok anak di bawah umur oleh majikan mereka, pemilik Toko Roti Kaigi itu sendiri. Penutup: Diskursus yang tak Berkesudahan Meskipun di Indonesia kajian feminisme tidak terlalu mendapat perhatian, upaya-upaya yang telah dirintis patut diapresiasi dan diperjuangkan dalam konteks kekiniannya.[15] Budaya patriarkat yang masih sangat kuat berakar di Indonesia yang menyebar di masing-masing daerah kita, perlu digugat dan dikritik agar tidak terus-menerus melahirkan kepincangan dalam hidup bersama. Sudah saatnya kultur klasik ini dibongkar dan kaum perempuan memperoleh banyak peluang untuk berekspresi. Dunia dan khususnya Indonesia memang sedang mengidealkan relasi yang seimbang, egaliter, dan adil, antara laki-laki dan perempuan, demi kehidupan bermasyarakat yang sejahtera dan damai. Berhadapan dengan fenomena human trafficking sebagai produk logis dari budaya patriarkat yang otoritatif, sebagai salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia (duri dalam daging HAM), feminisme mesti tampil dan angkat bicara. Human trafficking melukai hak asasi perempuan, feminisme dipanggil untuk secara proaktif, militan, cermat, dan profetik, menyembuhkan! Feminisme adalah kita, human trafficking adalah tantangan kita. Jika kita sepakat, dua tema akbar ini mesti terus menjadi diskursus yang tak berkesudahan. Daftar Pustaka Kamus Departemen Pendidikan Nasional 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke-4, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tim Prima Tema 2006, Kamus Ilmiah Popular, Penerbit Gitamedia Press, Surabaya. Buku Azis, Asmaeny 2007, Feminisme Profetik, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta. Betan, Alfons 2004, Perempuan itu Tetap Hidup, Nusa Indah, Ende. Clifford, Anne M 2002, Memperkenalkan Teologi Feminis. Penerj. Yosef M. Florisan, Penerbit Ledalero, Maumere. Fakih, Mansour 1999, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Cet. ke-4, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hardiman, F. Budi 2001, Hak-hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta. Kleden, Paulus Budi 2003, Teologi Terlibat. Politik & Budaya dalam Terang Teologi. Penerbit Ledalero, Maumere. Notosusanto, Smita dan E. Kristi Poerwandari (penyut.) 1997, Perempuan dan Pemberdayaan, Obor, Jakarta. Suseno, Magnis Franz 1998, Kuasa dan Moral. Gramedia, Jakarta. Sutrisno, Mudji 2001, Humanisme, Krisis, Humanisasi, Obor, Jakarta. Buletin dan Jurnal Akademika. Wacana dan Praksis HAM di NTT. Vol. IV, No 2, 2009/2010. Jurnal Ledalero. Manusia Memperdagangkan Manusia. Vol. 13, No. 1, Juni 2014. Catatan Belakang [1] Lih. Willy Gaut, “Feminisasi Perdagangan Manusia. Masalah Perdagangan Manusia dalam Konteks Kekerasan terhadap Perempuan”, Jurnal Ledalero, Vol. 13, No. 1 (Juni, 2014), 65. [2] Ibid., 66. [3] Joann Wolski Conn, New Vitality : The Challenge from Feminist Theology, America, 156:217, 5 Oktober 1991 sebagaimana dikutip dalam Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, penerj. Yosef M. Florisan, (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 29. [4] Seksisme merupakan sebuah keyakinan, konsep, atau perilaku yang secara sepihak memenangkan jenis kelamin tertentu, atau laki-laki atau perempuan, yang satu lebih unggul dari yang lain. Kendatipun laki-laki dapat saja diperlakukan sebagai jenis yang inferior, sejarah tetap membuktikan bahwa perempuan lebih banyak mengalami dampak negatifnya. Ibid., hlm. 443. [5] Bdk. Mansfour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 12-23. [6] Lih. Anne M. Clifford, op. cit., hlm. 39. [7] Bdk. Starhawk Miriam Simos, ‘Witchcraft and Women’s Culture’, dalam Carol Christ and Judith Plaskow (eds.), Womanspirit Rising: A Feminist Reader in Religion (San Fransisco: Harper & Row, 1979), p. 263, sebagaimana dikutip dalam ibid. [8] Bernard Raho, Sosiologi. Sebuah Pengantar (Maumere: Ledalero, 2008), hlm. 113. [9] Ibid., hlm. 84. [10] Lih. Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Poso, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan. Jakarta: Komnas Perempuan, 2009, hlm. 21-29. [11] Dikutip oleh Nursyahbani Katjasungkana, “Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia” dalam Smita Notosusanto dan E. Kristi Poerwandari (penyunt.), Perempuan dan Pemberdayaan (Jakarta: Obor, 1997), hlm. 16. [12] Ibid. [13] Siprianus Kantus dan Sr. Eustochia, SSpS, “Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) Divisi Perempuan. Profil dan Kiprah dalam Praksis HAM”, Akademika, 2:164, 2009/2010. Saya sengaja menggunakan data lama karena dengan begitu saya sekaligus menunjukkan bahwa betapa TRUK-F Divisi Perempuan telah berjuang sejak dulu. Perjuangan mereka panjang dan berlika-liku. [14] Ibid., hlm. 165-167. [15] Bdk. Asmaeny Azis, Feminisme Profetik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. v. ![]() Judul : Perbudakan Seksual: Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru Penulis : Anna Mariana Penerbit : Marjin Kiri Cetakan : I, 2015 Tebal : xiv + 180 hlm ISBN : 978-979-1260-40-4 Pengantar
Siapa yang bilang bahwa luka masa lalu itu sudah kering? Siapa yang bilang bahwa di negeri ini kekerasan di masa lalu dikoreksi dengan benar lalu dijadikan pelajaran untuk tidak diulangi? Siapa yang bilang bahwa para korban kekerasan dan pelecehan seksual di masa lalu tidak menanggung trauma yang sangat mendalam? Siapa yang bilang bahwa negara telah memberikan keberpihakan secara nyata kepada para korban yang dilecehkan? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul setelah selesai membaca buku Perbudakan Seksual karya Anna Mariana ini. Terus terang, saya membaca buku ini dengan perasaan getir, hati yang pilu, sebab setiap kesaksian-kesaksian korban yang ada dalam buku ini begitu menggetarkan. Kesaksian korban seakan-akan menyeret saya untuk menjadi saksi bagaimana kekerasan dan perbudakan seksual itu berlangsung. Duh, betapa bangsa yang besar ini menyimpan begitu banyak luka di masa lalu. Luka yang mestinya dijadikan pelajaran agar tak diulangi. Sebagai anak muda yang masih belajar dan terus memahami sejarah bangsa ini dengan utuh, saya bersukur penelitian yang bermula dari tesis ini diterbitkan. Dari sini, penyebarluasan informasi mengenai kejadian kelam masa lalu bisa semakin terbuka dan menambah referensi buku “sejarah alternatif” yang sudah ada. Harus diakui, sampai saat ini negara cenderung abai dan tidak memberikan keberpihakan kepada korban, malah terkesan membiarkan kejadian kelam masa lalu “sengaja dilupakan” dengan tidak memasukkannya dalam narasi historiografi Indonesia. Proses Eksploitasi Fokus buku ini untuk melihat bagaimana kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap perempuan itu berlangsung ketika Indonesia dalam penjajahan fasisme Jepang dan di masa neofasisme Orde Baru. Melalui metode perbandingan, Anna berusaha menganalisis apa perbedaan dan persamaan pada kedua periode tersebut. Lebih khusus lagi, buku ini berusaha memotret; siapakah aktor-aktor yang terlibat? Bagaimana “peran” negara dalam melegitimasi tindakan tersebut? Mariana memulai buku ini dengan memberikan gambaran bahwa karakter fasisme Jepang dan neofasisme Orde Baru sama-sama menjadikan perbudakan seksual sebagai titik tolak pembangunan rezim. Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942-1945. Pada tahun itulah Jepang membuat kamp-kamp Ianjo (tempat penampungan perempuan) untuk memberikan fasilitas seksual kepada militer Jepang agar tetap terpenuhi hasrat libido dalam keadaan Perang Dunia II. Sedangkan Orde Baru yang didominasi oleh militer melakukan perbuatan ekploitasi seksual kepada perempuan yang dianggap terlibat dalam peristiwa kudeta politik Gerakan 30 September (G30S) untuk menebar teror. Jika pun mereka tidak terlibat dalam peristiwa itu, mereka dipaksa melalui kekerasan untuk mengakuinya. Di masa Jepang, proses perbudakan seksual ini berjalan dengan sistematis, dan melibatkan banyak pihak. Mulai dari penguasa militer Jepang hingga penguasa pribumi terkecil, seperti kumicho (setingkat RT). Para perempuan yang dijadikan jugun ianfu (sebutan untuk perempuan penghibur dari pihak Jepang) tidak hanya perempuan dari Bumiputera, melainkan dari berbagai golongan termasuk perempuan kulit putih. Bagaimana rekrutmennya? Tentu menggunakan berbagai macam modus, mulai dari cara yang paling halus dengan dijanjikan pekerjaan yang lebih baik, sampai pada cara kasar dengan mengambil paksa dari keluarga mereka. Tidak ada orang tua atau keluarga korban yang berani melawan militer Jepang, karena konsekuensinya adalah pembunuhan (hlm. 37). Orde Baru yang diwakili oleh para militer ini memiliki cara tersendiri dalam melakukan eksploitasi seksual. Diawali terlebih dulu dengan memunculkan wacana tunggal di publik, baik melalui media massa maupun pengumuman bahwa organisasi Gerwani ikut terlibat dalam skenario pembunuhan para jenderal. Sejak itu, setelah peristiwa satu Oktober 1965, perempuan yang dianggap “musuh negara” itu dihancurkan dengan cara keji melalui kekerasan seksual saat proses interogasi, pemerkosaan, hingga praktik perbudakan seksusal di kamp pengasingan, seperti yang terjadi di kamp Tefaat Plantungan yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah (hlm. 120). Maka menjadi benar apa yang diungkapkan Antonio Gramsci bahwa hegemoni wacana memainkan peran penting dalam konstruksi kesadaran masyarakat. Setelah hegemoni Orde Baru itu bekerja dalam kuasa wacana, maka tindakan pelecehan seksual dilakukan dengan sadar sebagai bentuk kepatuhan terhadap negara, dan sang korban patut mendapatkan pelecehan tersebut karena dianggap “berkhianat” kepada negara (Arief, 1999). Mesin politik Orde Baru bekerja dengan melakukan teror dan kekerasan yang dilakukan aparat militer untuk membuat masyarakat tunduk. Kekerasan yang dilakukan oleh Orde Baru tercipta secara masif sebab mendapat legitimasi oleh nilai-nilai moral dan ideologis, yang dalam hal ini anti komunisme. Sehingga tidak heran jika pasca runtuhnya neofasisme Orde Baru, masyarakat masih memberikan stigma buruk kepada para mantan Tapol 1965 (Herlambang, 2013). Kenapa Mariana menyebutnya sebagai perbudakan seksual. Setidaknya ada beberapa alasan yang dapat ditangkap dalam buku ini. Pertama, tindakan eksploitasi seksual, baik masa fasisme Jepang maupun neofasime Orde Baru dilakukan dengan cara sistematis, dan melibatkan berbagai pihak. Mulai dari kalangan militer hingga sipil. Kedua, eksploitasi seksual ini dilakukan dengan paksaan dan penuh kekerasan. Hal ini bersumber pada kesaksian-kesakian korban, baik yang diwawancarai langsung maupun mendasarkan kepada referensi sebelumnya yang memiliki kesamaan topik. Ketiga, dalam kasus Jugun Ianfu, mereka dijadikan sebagai objek komoditi untuk mendulang keuntungan ekonomi layaknya pekerja seks komersil. Akan tetapi, para perempuan itu tidak mendapatkan uang bayaran. Sungguh kejam bukan? Sebagai catatan penutup, buku ini memang berhasil memberikan gambaran komprehensif tentang kekerasan seksual yang terjadi di masa pendudukan Jepang dan Orde Baru, akan tetapi dalam buku ini tidak ditemukan pembahasan lebih lanjut apakah kekerasaan seksual yang terjadi di masa pendudukan Jepang memiliki keterkaitan dengan masa Orde Baru, baik dari segi motif, ideologi, dan model kekerasan seksual. Sehingga buku ini terkesan hanya menjelaskan secara kronologis di masing-masing rezim. Namun demikian, buku ini menggunakan metode sejarah lisan yang mendasarkan pada kesaksian-kesaksian korban. Sehingga pembaca seakan-akan berhadapan langsung dengan para korban untuk mendengar kisah pilu mereka. Itulah yang saya rasakan ketika membaca buku ini. ![]() Olivia (bukan nama sebenarnya) yang dipanggil Oli, gadis kampung yang melahirkan anak lelaki pertamanya sekitar tiga minggu yang lalu. Saya mengetahui hal ini setelah diberitahu oleh ayah saya di kampung. Oli adalah seorang anak dari kampung pedalaman di Kalimantan Barat, yang kebetulan adalah satu kampung dengan saya. Oli saat ini baru berumur 15 tahun, umur yang masih belia, dia berhenti sekolah di bangku kelas VII SMP empat tahun lalu. Jadi, jika Oli masih bersekolah saat ini, ia sudah duduk di bangku kelas X SMA. Namun sayang, nasib baik tidak berpihak kepadanya. Jarak sekolah yang jauh dari kampung, membuatnya enggan untuk pergi ke sekolah, apalagi dengan menggunakan sepeda. Jarak sekolah SMP yang berada di kecamatan cukup jauh dari kampung, sekitar satu jam dengan menggunakan sepeda. Oli bukan anak orang berada. Orang tua Oli bekerja sebagai petani biasa. Ketika memutuskan untuk berhenti bersekolah Oli sempat meninggalkan kampung dan bekerja di Kota Pontianak sebagai penjaga mini market. Dia adalah seorang tamatan SD, mencari pekerjaan di kota sangat sulit. Setelah sekian lama ia bekerja, dengan pengaruh dan pergaulan kota yang tidak terkontrol, sepulangnya ia dari bekerja tahun lalu, membawanya ke dalam masalah besar, Oli hamil. Kehamilannya bahkan tidak diketahui oleh siapapun, setelah lima bulan baru ayah dan ibunya mengatahui. Oli hamil tanpa seorang suami, bahkan hingga saat ia melahirkan. Masyarakat di kampung pun tidak mengetahui perihal kehamilan Oli, lantaran ia sangat jarang keluar rumah. Setelah kandungannya berumur tujuh bulan lebih, petua-petua adat di kampung menjatuhkan hukuman adat karena Oli hamil diluar pernikahan, dan tanpa seorang suami. Oli bukanlah satu-satunya anak perempuan di kampung kami yang hamil tanpa suami. Sebelumnya terdapat kasus serupa yang terjadi pada anak yang bahkan lebih muda dari Oli. Cerita Oli merupakan satu diantara ribuan kisah anak Indonesia lainnya yang mungkin saja berada di pegunungan Marauke, hingga pesisir pantai Sabang. Pernikahan di usia dini, bahkan melahirkan di umur belia merupakan kisah yang tidak dapat di pungkiri dari kehidupan sebagian anak perempuan di Indonesia. Menurut Council of Foreign Relations, Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak (Candraningrum, 2016). Tidak terhitung jumlah angkanya, anak-anak usia belia yang sudah dipinang, sudah hamil sebelum menikah, bahkan hamil tanpa ikatan pernikahan. Dan para pemangku kebijakan masih berdiam diri tanpa adanya kekhawatiran yang berarti. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Demikian posisi Oli, yang merupakan korban, serta-merta dijatuhkan hukuman adat di suku Dayak Mali. Hukum adat yang dibebankan kepada seorang anak belia umur belasan tahun, rasanya tidak bertuan. Bahkan dalam hukum pidana dan perdata pun, posisi seorang anak diperhitungkan. Ketika seorang perempuan yang diketahui hamil diluar nikah, maka ketua adat dan pemuka masyarakat suku Dayak Mali cepat mengambil tindakan hukum (Niko, 2016). Posisi anak perempuan yang hamil di luar pernikahan resmi, akan menjadi pergunjingan serta buah bibir masyarakat. Bukan saja di satu kampung, namun dalam lingkup satu desa. Karena seluruh kampung akan di undang dalam upacara adat, jadi secara otomatis satu desa mengetahui pasal kehamilan Oli. Puluhan, ratusan bahkan ribuan anak-anak perempuan di daerah pedesaan Kalimantan menghadapi ancaman menikah di usia muda. Mulai dari anak-anak perempuan yang berada di daerah perkotaan hingga anak-anak perempuan yang berada di daerah terpencil pedesaan. Permasalahan ini seolah-olah tidak ada solusinya. Disisi lain banyak lembaga yang memang menaruh perhatian khusus terhadap anak dan perempuan, seperti Komnas Perempuan, Komnas Anak, KPAI, bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA). Namun belum ada usaha yang serius dan berarti untuk memutus mata rantai habit (selesai sekolah, nikah!) di pedesaan yang seakan menjadi budaya lama. Tidak ada jalan lain untuk sekolahkan anak-anak perempuan pedesaan. Mereka putus sekolah, kemudian menikah karena tidak memiliki pilihan lain. Disisi lain karena memang kondisi keluarga mereka yang tidak mampu (miskin), sehingga dengan menikah diharapkan dapat meringankan beban keluarga mereka. Decision maker juga dibutuhkan dalam menyelaraskan keinginan kita untuk menghentikan pernikahan anak di usia dini. Undang-undang perkawinan yang menyebutkan batas usia minimal anak perempuan 16 tahun untuk dapat menikah, bahkan UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih hanya sekedar formalitas saja. Toh, pada kenyataannya masih banyak praktik pernikahan dini yang terjadi pada anak perempuan di pedesaan, tanpa ada yang menggugat, bahkan dilanggengkan atas nama budaya dan adat. Masyarakat merasa tidak ada yang salah dengan adanya anak perempuan yang menikah di usia muda. Bukankah ini merupakan bentuk konstruksi budaya yang seharusnya tidak lazim? Sehingga harus dihentikan dengan pendekatan budaya (soft) pula. Disamping itu, sangat perlu penguatan akses dan informasi bagi lembaga terkait, misalnya lembaga Dharma Wanita atau PKK. Akses yang dimaksud adalah pemberian pemahaman oleh perempuan-perempuan yang memiliki pendidikan (tinggi) kepada mereka di pedesaan yang notabene banyak yang tidak tamat di bangku sekolah dasar. Namun, pada praktiknya hal ini tidak terjadi. Bahkan semacam terjadi sekat (strata) yang membedakan bahwa terdapat organisasi bagi ibu-ibu pejabat dan lain sebagainya. Sehingga penguatan akses pun non-sense terjadi pada perempuan bawah, yang mana anak-anak perempuan mereka sangat rentan mengalami putus sekolah, menikah usia dini sampai hamil di luar pernikahan resmi. Situasi ini pula yang melanggengkan kemiskinan yang mereka alami. Keterbatasan akses yang kemudian menimbulkan banyak komponen yang tidak terpenuhi. Misalkan saja hak atas pendidikan (the right to education) banyak wilayah-wilayah terpencil yang belum terpenuhinya akses terhadap sekolah, tenaga pengajar dan fasilitas pendidikan formal dan nonformal yang memadai. Demikian pula akses kesehatan yang baik, tidak mengejutkan jika masih banyak kasus kematian ibu dan bayi di wilayah terpencil. Tidak terpenuhinya akses terhadap fasilitas Puskesmas atau rumah sakit, tenaga medis dan obat-obatan termasuk pelayanan kesehatan, ditambah lagi harga obat-obatan yang relatif mahal bagi ukuran masyarakat pedesaan. Anshor (2016) mengungkapkan bahwa isu lain yang penting terkait perkawinan anak adalah ketiadaan kesempatan pendidikan di sekolah bagi anak-anak yang sudah terlanjur menikah pada usia anak dan hamil. Dalam hal ini, negara merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewajiban dan wewenang sepenuhnya untuk menjamin terselenggaranya kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat tanpa adanya diskriminatif. Eksistensi negara bukan dipandang dari anggota dewannya yang rajin berkunjung ke luar negeri, bukan negara yang menghisap rakyatnya (predatory state) atau sarang terjadinya praktik korupsi yang memiskinkan rakyat, namun lebih kepada negara eksis untuk kepentingan rakyatnya. Tentu kesejahteraan inilah cita-cita rakyat, untuk hidup dan menghidupi negara, dan menghilangkan ketidakadilan. Daftar Pustaka: Candraningrum, Dewi. 2016. “Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan?”. Jurnal Perempuan. Vol. 21, No. 1, Februari 2016. Hal. 4-8. Niko, Nikodemus. 2016. “Anak Perempuan Miskin Rentan Dinikahkan: Studi Kasus Hukum Adat Dayak Mali Kalimantan Barat”. Jurnal Perempuan. Vol. 21, No. 1, Februari 2016. Hal. 83-95. Anshor, Maria Ulfah. 2016. Kerentanan Anak Perempuan dalam Pernikahan Anak". Jurnal Perempuan. Vol. 21, No. 1, Februari 2016. Hal. 116-129. Nadya Karima Melati (Lulusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia dan Koordinator SRGC) [email protected] ![]() Saya berbincang di bawah langit malam di sebuah kos-kosan yang lokasinya berdekatan dengan universitas negeri terbaik di Surabaya. Saya bersama dua orang teman saya yang semuanya perempuan dan baru menginjak usia 22 tahun. Kami berbicara banyak hal, mulai dari kegalauan pacar, apakah karier terbaik setelah lulus kuliah nanti, sampai perilaku seksual kami. Saya berasal dari universitas negeri di daerah Depok dan kebetulan menginap dua hari di Surabaya untuk menghadiri Konferensi Nasional. Melalui bincang-bincang hingga larut malam tadi, kami tahu bahwa perilaku seksual anak usia kami baik yang berasal dari kota Surabaya, Depok atau desa pinggiran pun sama saja. Kami sudah paham dan mengenal aktivitas seksual. Ini semacam rahasia bersama kami. Kami merasa beruntung justru karena tinggal di kota, kami mudah mengakses internet. Internet adalah guru kami, kami menanyakan apapun ke internet tanpa merasa malu, tidak seperti bertanya kepada orangtua ataupun guru di sekolah yang suka memberikan penjelasan seadanya. Perbincangan itu terjadi dua tahun yang lalu, ketika saya masih mahasiswa. Globalisasi membuat dunia ini berubah begitu cepat, ayah saya (58 tahun) pernah bercerita ketika masih seumuran saya, rumahnya belum ada toilet seperti sekarang. Dia dan keluarganya terbiasa buang air besar di pinggir sungai, kini anak-anaknya bisa merasakan water closet, produk peradaban yang dahulu hanya dinikmati oleh kelompok raja. Sekarang hampir semua wilayah di Indonesia memiliki toilet yang berbentuk water closet. Yang hendak saya tekankan disini adalah bagaimana dalam waktu kurang dari 60 tahun, dunia berubah begitu cepat. Kehadiran internet juga memberikan pengaruh hebat sehingga peradaban melesat. Tapi kemanakah arah peradaban ini menuju? Dan apakah manusia-manusia yang menciptakan budaya dan peradabannya ini telah cukup siap menghadapi perubahan yang melesat cepat? Pentingnya Pendidikan Seksual Komprehensif Saya ingin kembali ke paragraf pembuka tulisan ini, saya memulainya dengan curhatan remaja akhir-dewasa muda atau menggunakan padanan kata yang lebih efisien, adolescence. Perilaku seks yang terjadi pada adolescence menjadi semacam rahasia bersama. Ya, kami berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, beberapa dari kami telah melakukan hubungan seksual sejak SMA ataupun ketika di bangku perkuliahan. Hal ini bukanlah hal baru yang terjadi di kota besar. Novel kumpulan cerita yang ditulis Ayu Utami dan kawan-kawan berjudul Kisah Orang-orang Scorpio sempat menceritakan bahwa perilaku seksual di kalangan anak muda ini bukan hal baru, tetapi ketika sang ibu tumbuh dewasa dan berumah tangga, ia merasa khawatir terhadap anaknya yang akan mengalami jalan hidup yang sama (melakukan seks merdeka dan bertanggung jawab) seperti dia. Lantas berita Harian Tempo (Senin, 7 Maret 2016) berjudul “Perilaku Seksual Remaja Ibu Kota Mengkhawatirkan” seakan-akan menunjukan bahwa keterbukaan seksual remaja ibu kota baru terjadi kini, di era internet. Revolusi seksual bergulir agar tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) dapat ditekan, laju pertumbuhan penduduk terkendali, dan kualitas hidup masyarakat naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Semua ini dilakukan melalui pendekatan pendidikan seksualitas. SRHR (Sexual and Reproductive Health and Rights) dijadikan pedoman, dan satu-satunya modul cetak yang berpedoman pada SRHR diterbitkan oleh SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies) dalam bengkel kerja “Pencegahan Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” pada akhir Oktober lalu. SGRC sebagai komunitas pendidikan seksualitas yang diusung mahasiswa UI memberikan modul ini secara cuma-cuma dengan mengunduhnya via website kami: https://sgrcui.wordpress.com/2015/10/23/modul-pencegahan-pelecehan-dan-kekerasan-seksual-di-kampus/ . Sayangnya, website SGRC ini sempat mendapat surat teguran untuk ditutup oleh Kominfo berdasarkan informasi dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Belum banyak yang mengetahui SRHR sebagai landasan pendidikan seksual yang komprehensif. Pendidikan seksual memang bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan karena kita masih menganggap seks tabu dan perempuan yang membicarakan seksualitasnya adalah perempuan tidak bermoral. Padahal perkosaan banyak terjadi karena perempuan tidak memahami hak-hak tubuhnya dan kehamilan tidak direncanakan yang dialami anak perempuan di bangku sekolah disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan hak seksual dan kesehatan reproduksi. Seksualitas dan Penggunaan Internet Ketika mengkhawatirkan perilaku seksualitas remaja, saya rasa pemikiran ini berasal bahwa remaja ini tidak berdaya dan harus dilindungi. Rasa khawatir ini tidak salah, semua orang tua ingin yang terbaik dan selalu memberikan perlindungan terhadap anak sebagai generasi penerus. Akses informasi yang super cepat selalu dijadikan kambing hitam ketika para orang tua berupaya melindungi anak-anaknya. Blokir dan pembatasan pemakaian gadget dianggap menjadi solusi. Buat saya, disini ada pemikiran yang kurang lengkap, kita tidak bisa memosisikan remaja sebagai objek yang lemah dan tidak berdaya. Generasi millenial, paham tata cara penggunaan internet, generasi millenial lahir dan tumbuh besar seiring dengan perkembangan teknologi. Ini memberikan kultur generasi millenial cepat tanggap terhadap akses informasi dan adaptif dengan teknologi terbaru. Ada banyak jasa unblock sites, bahkan yang saya temui dalam untuk kasus pemblokiran web pornografi yang dilakukan pemerintah India malah justru memberikan daftar website dengan konten porno yang kelompok muda baru ketahui (dan dengan mudah juga kami retas). Internet justru menjadi kekuatan remaja. Internet berguna untuk networking dan mencari informasi. Generasi tua yang tidak biasa dengan internet menjadi ketakutan atas apa yang tidak mereka kuasai dan khawatir jika anak mereka akan salah arah dalam menyikapi dunia virtual. Kepanikan orang tua ini terjadi pula dengan pendidikan seksual terhadap anak dan remaja. Anak dan remaja dianggap tidak berdaya dan tidak mengetahui apa-apa dianggap akan menjadi hypersex apabila diberikan pendidikan seksualitas, apalagi jika dilakukan melalui media internet. Penutup Perang antar generasi akan menjadi perang yang tidak pernah berakhir. Kita semua, generasi tua dan muda, ibu-ibu ataupun bapak-bapak, anak perempuan dan anak laki-laki, remaja awal maupun akhir dalam beragam gendernya sebagai bangsa Indonesia sebenarnya masih mengalami permasalahan yang sama. Tingginya AKI dan AKB, pernikahan anak, kehamilan tidak direncanakan yang membuat banyak perempuan putus sekolah. Ada baiknya jika kita menelaah berbagai faktor yang membuat kita tidak maju-maju dalam menyelesaikan masalah bersama ini. Generasi tua dan muda bukan saling bertengkar melalui medianya masing-masing kemudian mengadu pendapatnya. Seharusnya kita semua duduk bersama dan mau mendengar. Bukankah kesepakatan antar generasi yang mampu mengantarkan Indonesia menuju jembatan emas bernama proklamasi kemerdekaan? Akhiriyati Sundari (Mahasiswa Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga) [email protected] ![]() Pendahuluan Setengah abad genosida terbesar sepanjang abad 20 baru saja menandai titik waktunya di 30 September 2015 lalu. Sementara orang menyebutnya sebagai pembantaian manusia besar-besaran kedua usai pemusnahan masal yahudi Jerman oleh serdadu SS Nazi semasa rezim Hitler. Terdapat satu juta jiwa manusia Indonesia dilenyapkan nyawanya, bahkan Letkol Sarwo Edi Wibowo menyebut tiga juta, dihilangkan paksa, diciduk dan dipenjarakan dengan siksaan fisik yang sangat sadis dan sulit diterima nalar. Mereka dipisahkan kehidupannya dari keluarga, dari orang-orang yang dicintainya tanpa pengadilan. Mereka adalah simpatisan, anggota, atau bahkan orang yang dituduh sebagai anggota dan mereka yang pernah bersinggungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu orang-orang yang aktif bergabung dalam organisasi-organisasi underbow PKI, termasuk salah satu organisasi perempuan pada waktu itu, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) juga turut diberangus. Penumpasan satu lapisan sosial dalam kurun waktu 1965-1966 telah menyisakan luka tragedi yang tak terperi. Tuduhan demi tuduhan tak berdasar disematkan secara ‘abadi’ kepada Gerwani baik sebagai kelembagaan maupun kepada para perempuan yang aktif di dalamnya. Panggung sejarah tak luput diwarnai dengan goresan hitam terhadap organisasi paling progresif kala itu. Rezim Soeharto menjadi subjek paling bertanggung jawab atas jutaan nyawa manusia tak berdosa. Rezim Soeharto pula yang patut bertanggung jawab terhadap pengebirian dan pemusnahan sejarah manis gerakan perempuan yang pernah Berjaya itu, termasuk pembungkaman terhadap aktivitas perempuan sesudah 1965 hingga 32 tahun lamanya. Gerwani: Sejarah Progresif Gerakan Perempuan Indonesia Momentum 1928 ketika dimulai ‘kesadaran nasional’ dengan diprakarsai terbentuknya organisasi modern Budi Utomo diikuti oleh para perempuan yang menggelar Kongres Perempuan pertama, dan melahirkan perjuangan kesadaran masyarakat Indonesia pada entitas yang lebih luas. Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang berdiri pada tahun 1950 yang kemudian bermetamorfosa menjadi Gerwani pada tahun 1954, tercatat sebagai gerakan perempuan paling progresif-revolusioner di Indonesia. Kesadaran kritis dengan ditopang garis perjuangan termaju saat itu, yakni feminisme, sosialisme, dan nasionalisme kala itu berhasil membawa Gerwani tampil sangat aktif dan menelurkan perubahan peradaban yang signifikan bagi bangunan kebangsaan dan keindonesiaan. Cakupan utamanya adalah perjuangan perempuan yang dibingkai feminisme. Sebagaimana produk yang dihasilkan dalam catatan-catatan perjuangan Kongres Perempuan sebelumnya, persoalan ‘ketertinggalan’ perempuan menjadi titik didih utama pula dalam perjuangan Gerwani. Terlebih pada kurun waktu antara kongres pertama dan kedua, feminisme begitu kuat memandu langkah-langkah perjuangan Gerwani. Tuntutan untuk mengubah Undang-Undang Perkawinan--yang pada waktu itu dirasakan diskriminatif—menjadi demokratis terus diperjuangkan. Selain itu Gerwani juga berada di garda depan dalam merumuskan garis perjuangan menuntut upah yang adil bagi buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik, menuntut penyediaan lapangan pendidikan yang baik bagi perempuan, menuntut pemberian fasilitas penitipan anak, perhatian serius terhadap kasus-kasus perkosaan, trafficking, serta merumuskan pembagian kerja yang adil antara suami dan istri di dalam rumah tangga. Segmentasi yang demikian progresif di kalangan Gerwani kala itu tidak lantas begitu saja diterima dengan mudah bahkan oleh sesama aktivis perempuan dari organisasi lain. Catatan Saskia E. Wieringa mengemukakan bagaimana Gerwani begitu dijauhi oleh Ormas keagamaan kala itu seperti Aisyiyah dari Muhammadiyah, Muslimat dari Masyumi, serta Muslimat NU dari Nahdlatul Ulama. Persinggungannya jelas pada soal poligami. Hal tersebut merupakan wilayah ‘otoritas keagamaan’ yang masih menjadi keyakinan dalam Islam sehingga tak bisa diganggu gugat. Sementara Gerwani yang sejak awal tidak melandaskan organisasinya pada agama tampak tidak merisaukan hal itu. Gerwani dan Analisis Feminis Terdapat tiga aliran (teori) besar dalam feminisme yaitu liberal, radikal, marxis-sosialis (Gadis Arivia, 2003). Teori liberal lebih menekankan pada pendayagunaan akal atau rasio. Bagaimana perjuangan perempuan didudukkan pada porsinya untuk mengenali terlebih dahulu kapasitas yang ‘given’ dari Tuhan berupa perangkat otaknya. Untuk itu, perempuan mesti menuntut adanya ‘iklim berpikir’ luas yang terdapat dalam pendidikan. Perempuan berhak mendapatkan pendidikan melalui sekolah-sekolah dengan tujuan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru untuk memberdayakan kapasitas berpikirnya. Feminisme radikal mencurahkan fokusnya pada ketertindasan perempuan. Segregasi antara ranah privat dan publik yang masuk dalam ‘pembagian kerja secara seksual’ adalah inti atau akar dari ketertindasan itu. Penindasan menurut paham ini berawal dari ranah privat. Perempuan didominasi dan dikendalikan secara seksual dalam ranah privat atau domestik. Maka munculah apa yang kemudian dikenal sebagai slogan “the personal is political”, “yang pribadi adalah politis”. Penindasan yang terjadi di ranah domestik adalah berarti penindasan di ranah publik juga. Sementara feminisme marxis-sosialis. Feminis sosialis lebih menekankan penindasan gender disamping penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap perempuan. Sementara feminisme marxis beranggapan bahwa persoalan utamanya hanya terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan. Hal ini berbuntut pada pandangan bahwa bagi feminisme marxis, perempuan borjuis (kelas menengah ke atas) tidak akan mengalami penindasan yang sama dengan perempuan dari kelas proletar (kelas buruh). Secara ideologis, Gerwani lebih dekat pada PKI dengan marxis-sosialisnya. Secara praksis, semuanya menjadi kabur dan bahkan berbaur satu sama lain. Dimensi awal pergerakan Gerwani adalah menarik kasus Undang-Undang Perkawinan dalam setiap tuntutannya. Persoalan perkawinan pada aras tertentu adalah persoalan privat. Persoalan yang bersumber dari lingkup rumah tangga. Gerwani memandang ada diskriminasi di sini. Laki-laki boleh melakukan poligami. Laki-laki tanpa tindakan bertanggung jawab sedikit pun bisa berlenggang meninggalkan keluarganya, istrinya, demi kepentingannya sendiri. Terdapat penindasan perempuan di sini yakni si istri. Dalam hubungan rumah tangga, istri ‘ditundukkan’ secara seksual oleh suami. Aras perjuangan Gerwani bertolak dari hal ini, tidak saja istri yang akan mengalami penderitaan dari perilaku suami di ranah privat itu, namun anak-anak juga menjadi pihak tak kalah menderita. Reformasi Undang-Undang Perkawinan menjadi penting untuk diperjuangkan bagi Gerwani untuk melindungi perempuan. Progresif dan sosialis terwakili di sini. Bahwa ada perbedaan gender yang tidak setara dalam hubungan perkawinan. Tuntutan Gerwani terhadap hak-hak buruh perempuan agar mendapat jatah upah setara, dalam wilayah ini mengadopsi teori feminis marxis-sosialis. Ada warna kelas sosial yang mesti dipatahkan musabab penindasannya. Buruh perempuan digaji amat rendah dan tidak setara dengan laki-laki sementara beban kerja sama. Tak terkecuali buruh tani perempuan di desa-desa. Bergabung dengan Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerwani menuntut reformasi agraria agar dilaksanakan. Land Reform, agar dituntaskan meski kemudian dilakukan dengan ‘membuat kacau’ situasi sosial yakni adanya ‘aksi sepihak’ melawan Tuan Tanah sebagai salah satu dari ‘tujuh setan desa’ yang menjadi musuh perjuangan mereka. Pergerakan yang agresif Gerwani dengan kedekatannya dengan kalangan buruh kala itu, sudah memberikan simpulan tersendiri bahwa garis ideologis Gerwani mengarah pada komunis yang digunakan PKI. Romantisme kisah Clara Zetkin, pemimpin partai sosialis perempuan pertama di dunia yang berasal dari Jerman telah menginspirasi anggota Gerwani untuk melakukan hal yang sama, menggalakkan kerja-kerja mengorganisir buruh secara masif. Bahkan romantisme itu juga ditunjukkan dengan turut sertanya Gerwani merayakan Hari Perempuan Internasional yang digagas oleh Clara Zetkin dan digaungkan ke seluruh dunia. Setali tiga uang dengan ideologi PKI yang dekat dengan Gerwani adalah keikutsertaannya dalam WIDF (Women’s International Democratic Federation) dan memberi ‘warna’ dalam organisasi tersebut. Ketidaksetujuannya dengan butir-butir hasil kesepakatan dalam pertemuan internasional misalnya, ditunjukkan Gerwani dengan keluar dari organisasi internasional itu, lantaran Gerwani menganggap tak akan ada perdamaian dalam bingkai imperialisme. Kesadaran kolonial telah lebih dulu dimiliki Gerwani. Ini menjadi penting untuk sekali lagi menyimpulkan bahwa Gerwani sungguh-sungguh berkiprah aktif dalam masalah politik nasional Indonesia kala itu. Satu hal yang dianggap ‘ambigu’ adalah sikap ‘diam’ Gerwani terhadap perkawinan kedua Presiden Sukarno dengan Hartini. Satu sisi, Gerwani memperjuangkan secara radikal reformasi perkawinan, satu sisi Gerwani diam terhadap fakta bahwa terdapat kontraproduksi dari tuntutan perjuangan itu dan justru hal itu dilakukan oleh “Sang Bung Besar”. Dasar apologetiknya adalah persoalan imperialisme lebih penting dari sekadar persoalan privat macam perkawinan. Agaknya, ini adalah wujud dari tindakan politis Gerwani yang tengah mengubah haluan dari gerakan kader menuju pada gerakan massa. Artinya, terjadi ‘pemilahan wilayah’ secara tak disadari bahwa Gerwani mengakui ranah privat dan publik sebagai sesuatu yang ‘oposisi biner’. Sebuah sudut pandang lain menangkap ‘kemandirian’ Gerwani dalam berorganisasi, yakni menegaskan diri tidak terlibat dengan partai politik mana pun. Tidak menjadi organisasi sayap perempuan dari partai politik mana pun. Sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan narasi sejarah Orde Baru yang menempatkan Gerwani sebagai organisasi komunis underbow PKI. Garis struktural Gerwani adalah independen. Sementara, PKI sebenarnya juga memiliki sayap perempuan tersendiri, namanya Wakom (Wanita Komunis) yang dipimpin oleh perempuan anggota PKI garis keras, Suharti, masuk dalam struktur PKI sebagai partai politik. Ketegasan kemandirian Gerwani dalam organisasi ini menandakan sebuah kenyataan radikal. Segaris dengan ideologi komunis pada saat itu, Gerwani membangun ‘hubungan dekat’ dengan Sukarno dengan slogan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Hal yang kerap didengung-dengungkan adalah perjuangan progresif-revolusioner. Bahwa ‘revolusi belum selesai’. Karenanya, ada empat macam golongan kaum kontra-revolusioner yang menjadi musuh Gerwani, yakni kaum imperalis, kapitalis komprador, kapitalis birokrat, dan tuan tanah jahat. Perjuangan melawan imperialisme ditunjukkan Gerwani dengan turut aktif mengirim anggota untuk mengikuti pelatihan fisik menghadapi imperialis Belanda atas Irian Barat. Juga menghadapi ganyang Malaysia yang dituduh Sukarno sebagai negara imperialis boneka Belanda dan sekutunya. Sesudah Oktober 1965 Percobaan kup, pengambilalihan kekuasaan, yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mendaku dirinya para perwira Angkatan Darat (AD) dengan menculik dan membunuh enam jenderal AD dan satu perwira, merupakan titik awal dari rangkaian sejarah berdarah amat panjang. Wajah Indonesia berubah total mulai saat itu. Terjadi pembasmian besar-besaran terhadap PKI beserta ‘antek-anteknya’ yang dikomandoi oleh Soeharto. Tak terkecuali para perempuan Gerwani. Seluruh organisasi yang berbau ‘kiri’ dinyatakan haram hidup di Indonesia. Hantu komunis diciptakan bergentayangan dalam memori kolektif seluruh bangsa. Museum, buku-buku sejarah, film, dan propaganda media massa yang ‘satu pintu’ sukses besar menghitam-putihkan kehidupan kebangsaan selama 32 tahun. Jutaan rakyat dibantai oleh saudara sebangsa sendiri. Militer di bawah Soeharto menerapkan politik adu domba di tingkat grass root, horizontal, yang menghadap-hadapkan sesama anak bangsa sambil mengibas-ngibaskan tangannya sebagai tanda ‘cuci tangan’. Para perempuan mengalami perlakuan sadis dalam tahanan, disiksa, diperkosa, hingga dibunuh. Sebuah tragedi berdarah terbesar negeri ini yang sukses mempersembahkan diri sebagai tumbal Orde Baru. Para penyintas itu, kini sebagian besar telah kembali ke tengah-tengah masyarakat. Namun, stigma, bahkan setelah 50 tahun, masih disematkan kepada mereka sebagai orang yang tidak bersih di lingkungan, kotor, bejat moral, sundal, pemberontak dan sederet makian tidak manusiawi lainnya. Para perempuan Gerwani tidak pernah direhabilitasi nama baiknya. Tuduhan-tuduhan terhadap mereka sebagai bagian dari pembunuh jenderal dalam ‘ontran-ontran’ G30S/PKI di Jakarta tidak pernah terbukti. Tak ada pengadilan buat mereka. Sejarah hidup mereka dilubangi sedemikian dalam bahkan hingga di usia senja mereka, di saat keran kebebasan reformasi membuka lebar-lebar bagi hidup yang manusiawi. Kesimpulan Titik balik kehidupan berkebangsaan di Indonesia didemarkasi dalam kurun 1965-1966 melalui peristiwa genosida terhebat di negeri ini. IPT ’65 yang digelar di Den Haag Belanda pada medio November lalu pun terasa tak ada gayung bersambut hingga hari ini dari seluruh lapisan anak bangsa. Seluruh anak bangsa seakan masih hidup dan sengaja dibuat hidup dalam situasi ‘senyap’ sejarah berdarah. Perjuangan kemanusiaan yang dibalut feminisme telah dengan gemilang ditorehkan sejarahnya oleh Gerwani. Akan tetapi, merobohkan bangunan patriarki sesudah 32 tahun kokoh berdiri tentu tak mudah. Gesekan-gesekan dari perbedaan paham di masyarakat terhadap gerakan perempuan progresif, radikal, kekirian, masih saja menunjukkan batang hidungnya. Feminisme, bahkan telah direduksi besar-besaran maknanya pula di sebagian besar masyarakat sebagai ‘paham kiri baru’ dari barat. Perjuangan terhadap kesetaraan dan keadilan masih tampak merangkak hingga hari ini, setelah belum munculnya lagi gerakan perempuan feminis seperti Gerwani. Daftar Pustaka: Wieringa, Saskia. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Yogyakarta: Galang Press. Julia Suryakusuma. 2011. Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Depok: Komunitas Bambu. Blackburn, Susan. 2007. Kongres Perempuan Pertama; Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV. Gadis Arivia. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Press. Cora Vreede-De Stuers. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian. Depok: Komunitas Bambu. Engels, Friedrich. 2004. Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra. --------------------. 2003. “Perempuan dalam Seni Sastra, Jurnal Perempuan edisi 30. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Press. --------------------. 2007. “Kami Punya Sejarah”. Jurnal Perempuan edisi 52. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Press. --------------------. 2003. “Peristiwa ’65-’66; Tragedi, Memori, dan Rekonsiliasi. Jurnal Tashwirul Afkar edisi 15. Jakarta: LAKPESDAM NU. Isyfi Afiani (Alumni Program Magister Pengkajian Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah Surakarta) [email protected] ![]() Novel Fifty Shades of Grey (FSOG) karya E. L. James menarasikan relasi seksual BDSM antara Anastasia Steele dengan Christian Grey. Novel FSOG yang terbit pada tahun 2011 terjual lebih dari 70 juta kopi, dan menjadi topik pembicaraan sejak novel tersebut dipublikasikan. Respons pembaca terhadap novel FSOG sangatlah beragam, dari pendapat yang memunculkan isu dominasi laki-laki dan kekerasan seksual antara Anastasia dan Christian, hingga pendapat bahwa BDSM merupakan eksperimen seksual perempuan. Dalam artikel ini saya mencoba menarasikan secara deskriptif bagaimana relasi seksual BDSM tercermin dalam novel Fifty Shades of Grey karya E. L. James dengan menggunakan argumentasi dua sisi (both views opinions) dari perspektif psikologi dan feminisme. BDSM dalam Perspektif Psikologi BDSM adalah istilah yang mengacu pada perilaku erotis yang melibatkan Bondage & Discipline, Dominant/Submissive, dan Sadism & Masochism—walau tak semua pelaku BDSM mengaplikasikan syarat-syarat tersebut (Emulf dan Inalla, 1993), pengalaman traumatis (Stolorow, 1975; Valenstein, 1973), kegagalan perkembangan psikologis (Bychowski, 1959; Mollinger, 1982), dan konflik infantile (Blum, 1976). Beberapa pakar psikologi menghubungkan masokisme dan sadisme dalam BDSM dengan kondisi kejiwaan seperti kegelisahan/anxiety (Bond, 1981; Freud 1961; Socarides, 1974; Stolorow, 1975), dan depresi (Blum, 1988). Dari keragaman pendapat mengenai BDSM oleh pakar psikologi dan pengkaji BDSM tersebut, Berslow menyatakan ada kerancuan pada terminologi BDSM; apakah sadisme dan masokisme dianggap sebagai fenomena seksual, atau sebagai fenomena psikologi, atau justru keduanya. Karena itulah perlu adanya dasar yang kuat dari data-data empiris untuk menguji teori tentang istilah BDSM dengan tepat (Berslow, 1989). BDSM dalam Perspektif Feminisme Menurut McKinnon, erotisme kekerasan laki-laki terhadap perempuan adalah masalah utama dalam feminisme, karena paradigma tersebut muncul ketika seks dianggap sebagai pengekangan, gangguan, pelanggaran, dan objektifikasi (McKinnon dalam Cynthia Grant Bowman et. al ed. 2011, h. 121).
Menurut McKinnon, ketidaksetaraan gender muncul berdasarkan persetujuan;
Untuk mendukung pernyataan McKinnon tersebut, saya merujuk Robin West dalam The Difference in Women’s Hedonic Lives: A Phenomenological Critique of Feminist Legal Theory (2000). West mengkritik pandangan feminisme liberal—bahwa kebahagiaan manusia bergantung pada pilihan objektifnya—dan pandangan feminisme radikal yang mengolerasikan keadilan/kesetaraan dengan kebahagiaan. Selanjutnya, West menyatakan bahwa S/M adalah implementasi dari kepercayaan, ketimbang kepatuhan, karena dalam S/M memungkinkan Submisif untuk melampaui subjektivitasnya, sehingga ia mampu membebaskan dirinya dari belenggu. Bagi West, perbedaan antara submisi dari kepercayaan dan submisi dari kepatuhan terletak pada subjek dan bersifat subjektif (West 2000, h. 149 & 198).
Relasi BDSM dalam Novel Fifty Shades of Grey Dalam novel FSOG, E. L. James menarasikan bagaimana Anastasia Steele (tokoh utama perempuan), seorang mahasiswi Sastra Inggris di sebuah Universitas di Portland, jatuh cinta dengan sosok Grey (tokoh utama laki-laki) seorang miliarder muda yang kaya, tampan, pintar, dan metroseksual. Alur cerita berawal dari peristiwa dimana Ana harus menggantikan sahabatnya, Kate, untuk mewawancarai Grey—yang merupakan donator utama kampus mereka—sebagai tugas kuliah. Dalam pertemuan wawancara tersebut keduanya saling menunjukkan ketertarikan. Penampilan Ana yang lugu, innocent, dan pemalu, cukup menarik perhatian Grey. Dan Ana pun tak mampu menafikan karisma Grey sebagai sosok laki-laki tampan yang biasa ia jumpai di karya-karya sastra fiksi. Pertemuan tersebut berlanjut dengan kencan-kencan yang mereka jalani, hingga pada akhirnya mereka bersepakat untuk melakukan relasi BDSM. Relasi BDSM antara Anastasia Steele dan Christian Grey mengacu pada sistem relasi Budak dan Tuan yang terikat dalam sistem kontrak (consents). Adapun isi kontrak/ perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak serta bagaimana relasi BDSM antara Ana dan Grey yang tercermin dalam novel FSOG adalah sebagai berikut: Kontrak (Consents) Pada dasarnya, isi kontrak antara Ana dan Grey mencakup posisi masing-masing individu dalam relasi BDSM—Grey sebagai Dominant dan Ana sebagai Submissive, serta hal-hal yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan oleh masing-masing dari mereka, terkait aksi seksual (sexual action) yang mereka lakukan. Poin-poin yang termaktub di dalam kontrak tersebut tentu saja lebih menguntungkan Grey sebagai Dominant, dan merepresi Ana sebagai Submissive. Poin-poin kontrak relasi BDSM antara Ana dan Grey mencakup disiplin bagi Submissive—pengaturan jam tidur, pola makan, olah raga, cara berpakaian, penampilan, kesehatan dan kebersihan, demi terjaganya kualitas diri Submissive yang berpengaruh pada kualitas performa seksual pada saat berhubungan seks (James 2012, h. 77), batas maksimal/hard limits—aksi yang tidak diperbolehkan saat berhubungan seksual seperti penggunaan api, ataupun jenis senjata tajam yang dapat melukai Submissive (James 2012, h. 80), dan syarat-syarat pelayanan (service provisions) diantaranya (1) Dominant harus harus menjaga keamanan dan kenyamanan Submissive, (2) memperlakukan Submissive sebagai propertinya untuk selalu dimiliki, diatur, didominasi, dan menggunakan tubuhnya sebagai objek seksual, (3) Dominant diperkenankan mendisiplinkan Submissive dengan mencambuk, memukul bagian pantat, serta mengikat Submissive sebagai bentuk hukuman ataupun untuk kesenangan Dominant, (4) Submissive harus menerima Dominant sebagai tuannya, dalam arti bahwa dirinya adalah properti bagi Dominant yang harus menuruti segala perintah Dominant, termasuk perintah untuk tidak menyentuh dan menatap mata Dominant secara langsung (James 2012, hh. 128-130). Aksi Seksual (Sexual Action)
Penggalan narasi diatas menunjukkan bagaimana Grey menjalankan peranannya sebagai Dominant dalam relasi BDSM yang dijalaninya dengan Ana. Grey memperlakukan Ana sebagai properti yang bisa ia atur dan disiplinkan sesuai dengan kehendaknya dan demi kepuasannya. Dan di setiap aksi seksual, Grey selalu melibatkan kekerasan fisik/sadisme seperti memukul pantat Submissive (James 2012, h. 200), mencambuk (James 2012, h. 230), dan mengikat tangan Submissive (bondage) (James 2012, h. 191) sebagai pola dari aksi seksualnya. Mengacu pada pendapat pakar psikologi bahwa BDSM adalah sebuah traumatic disorder—terjadi karena sebuah pengalaman traumatis—perilaku sadisme Grey tersebut bisa disimpulkan sebagai impact dari pengalaman seksual masa lalunya dengan Nyonya Robinson. Dalam novel FSOG dinarasikan bahwa saat usia anak-anak, Grey menerima perlakuan sexual abusive dari Nyonya Robinson yang berusia jauh lebih tua darinya (James 2012, h. 120). Pengalaman traumatis tersebut makin diperkuat ketika Grey menyebut dirinya sebagai the fifty shades of fucked up (James 2012, h. 198)—trauma seksual yang menyebabkan Grey tak ingin disentuh oleh pasangannya saat berhubungan seksual. Namun jika ditelaah lebih lanjut, berdasarkan data-data narasi yang terdapat dalam novel FSOG, sadisme yang dilakukan Grey terhadap Ana sebenarnya tidak ditujukan untuk menyiksa, namun untuk menstimulus (Ana) secara seksual agar Ana pun mendapatkan kenikmatan/ pleasure yang sama seperti Grey. Berikut penggalan narasi ketika Grey akan mencambuk Ana:
…he flicks again, this time hitting my nipple, and I throw my head back as my nerve endings sing… ….dia mengibaskan (cambuk) lagi, kali ini memukul putingku, dan aku menghempaskan kepalaku karena syaraf-syarafku mulai naik. “Does that feel good?” he breathes. “nikmat?” “Yes.” “Ya (James 2012, h. 230).” Pada dasarnya, relasi BDSM ini tidak akan terwujud tanpa adanya persetujuan antara ke dua belah pihak baik Dominant maupun Submissive. Lantas apa yang mendasari Ana untuk menerima posisinya sebagai Submissive? Saya mengacu pada West (2000) menyatakan bahwa S/M adalah implementasi dari kepercayaan, ketimbang kepatuhan. Berikut adalah narasi yang menunjukkan bahwa Ana menjalani perannya sebagai Submissive berdasarkan pada sebuah kepercayaannya kepada Grey: I can show you how pleasurable pain can be. You don’t believe me now, but this is what I mean about trust. There will be pain, but nothing that you can’t handle. Again, it comes down to trust. “Do you trust me, Ana?” Aku dapat meyakinkanmu tentang kenikmatan dalam sakit. Itulah yang kumaksud tentang kepercayaan. Akan ada sakit, tapi tak ada yang tak bisa kau atasi. “Kamu mempercayaiku, Ana?” “Yes, I do.” I respond spontaneously, not thinking… because it’s true – I do trust him. “Ya, aku mempercayaimu.” …karena itu benar—aku benar-benar mempercayainya (James 2012, h. 245). Di samping itu, West juga berpendapat bahwa dalam S/M memungkinkan Submissive untuk melampaui subjektivitasnya sehingga ia mampu membebaskan dirinya dari belenggu. Hal ini dapat ditunjukkan dengan narasi tentang bagaimana Ana menikmati setiap aksi seksual yang diterimanya dari Grey sebagai bentuk kenikmatan/pleasure, bukan sebagai belenggu/bondage sebagai berikut: He hits me again across the buttocks. The crop stings this time. My eyes are closed as I try to absorb the myriad of sensations coursing through my body. Very slowly, he rains small, biting licks of the crop down my belly, heading south. I know where this is leading, and I try and psyche myself up for it – but when he hits my clitoris, I cry out loudly. Dia memukuli pantatku lagi. Dengan cambuk. Mataku terpejam seperti merasakan ribuan serangga menyerang tubuhku. Dengan perlahan, ia menyentuhkan ujung cambuk pada bagian perutku, dan terus ke bawah. Aku tahu kemana arahnya, dan aku mencoba, dan aku merasakannya—namun ketika dia menekan klitorisku, aku berteriak. “Oh… please!” I groan. “Oh…!” Aku mengerang. I am lost. Lost in a sea of sensation…completely seduced. Aku tersesat dalam sensasi yang luar biasa…nikmat…(James 2012) Kesimpulan Perdebatan BDSM sebagai penyimpangan ataupun kekerasan seksual perlu dikaji dengan pendekatan yang lebih intens seperti yang dikatakan pakar psikologi Berslow (1989), bahwa perlu adanya dasar yang kuat dari data-data empiris untuk menguji teori BDSM dengan tepat. Novel Fifty Shades of Grey karya E. L. James memberikan pandangan lain terhadap implementasi relasi seksual BDSM melalui kedua tokoh utamanya: Anastasia dan Grey. Analisis relasi seksual BDSM dalam novel FSOG menunjukkan bahwa baik Dominant maupun Submissive sama-sama mendapatkan kenikmatan seksual dari hubungan yang mereka jalani. Daftar Pustaka: Berslow, M. 1989. “Sources of Confusion in the Study and Treatment of Sadomasochism”. Journal of Sexual Behavior and Personality. Bond, A. 1981. “The Masochist is the Leader”. Journal of the American Academy of Psychoanalysis. Blum, H. 1976. Sadomasochism in Psychoanalytic Process, within and beyond the Pleasure. Bychowski, G. 1959. “Some Aspects of Masochistic Involvement”. Journal of the American Psychoanalytic Association. Emulf, K. E. & Inalla, S. M. 1995. Sexual Bondage: a Review and Unobtrusive Investigation. Archives Sexual Behavior. Freud, S. 1961. The Economic Problem in Masochism in Jay Strachey (Ed. And Trans). The Standard Edition of the Complete Psychological Work of Sigmund Freud, Vol. 18. London: Hoghart Press. James, EL. 2012. Fifty Shades of Grey. Great Britain: Arrow Books. MacKinnon, C. 2011. Sexuality, in Feminist Jurisprudence: Cases and Materials. (Cynthia Grant Bowman et. al ed). West, R. 2000. “The Difference in Women’s Hedonic Lives”. Psychoanalytic Quarterly. Socarides, C. 1974. “The Function of Moral Masochism with Special Reference to the Defense Process”. International Journal of Psychoanalysis Vol 39. Stolorow, R. 1975. “The Narcissistic Function of Sadomasochism (and Sadism)”. International Journal of Psychoanalysis Vol 56. ![]() Seumur hidup saya tak akan pernah melupakan iklan shampoo di masa kanak-kanak dulu. Kala itu, semua iklan shampoo memakai model perempuan dewasa maupun anak-anak yang memiliki rambut berwarna hitam, panjang, dan lurus. Tak ada yang salah sebenarnya dengan gambaran itu. Sebagian besar perempuan di Indonesia memiliki rambut serupa. Tetapi, kepentingan industri di belakang iklan itu juga lupa kalau ada sebagian besar perempuan Indonesia yang memiliki rambut ikal, keriting, potongan pendek, atau mungkin rambutnya kecokelatan atau kemerah-merahan. Citra mereka jarang dan bahkan mungkin tidak pernah muncul di iklan shampoo Indonesia saat itu. Sialnya, imaji perempuan dewasa berambut panjang, lurus, dan hitam berkilau yang tersenyum puas karena rambutnya berhasil memikat pria tampan yang duduk di meja sebelah begitu menggiurkan. Masalahnya, saya dan sebagian besar perempuan lainnya, tak masuk dalam kategori rambut ideal tersebut. Citra ideal itu hidup dan perlahan mengikis rasa percaya diri terhadap tubuh sendiri. Kami lalu terdampar sebagai alien di tengah-tengah kelompok yang mengagung-agungkan rambut panjang, hitam, lurus. Ini hanyalah salah satu keadaan dimana perempuan belajar membenci tubuhnya. Di awal tahun 2000-an, serial Meteor Garden yang diimpor dari Taiwan meledak di Indonesia. Sanchai, tokoh utama perempuan di serial itu juga hadir dalam wujud perempuan berambut panjang, hitam, dan lurus (ini belum ditambah dengan kulit putih dan tubuhnya yang langsing). Bersamaan dengan itu, teknologi di bidang perawatan rambut memperkenalkan teknik pelurusan rambut yang disebut rebonding, smoothing, atau catok rambut yang pada saat itu dibandrol dengan harga mahal. Imaji rambut ideal yang dipendam sekian lama dan keinginan untuk menuruti kata “cantik” akhirnya mendapat pemuasannya. Rambut, seperti halnya bagian tubuh yang lain, juga mudah diotak-atik dan terluka. Banyak perempuan berambut keriting yang kemudian berbondong-bondong meluruskan rambutnya. Namun, tampaknya keinginan manusia tidak bisa membendung keadaan alam. Berkali-kali meluruskan rambut, berkali-kali pula rambut keriting tumbuh lagi. Kerontokkan dan kebotakan menjadi konsekuensi nyata bagi mereka yang berani meluruskan rambutnya. Tahun 2009, ketika saya berkunjung ke kota Ambon, saya menemukan sejauh mata memandang bahwa banyak sekali perempuan Ambon yang tak lagi memiliki rambut keriting mereka. Tante saya yang berkali-kali rebonding akhirnya terpaksa membeli wig karena rambutnya sudah mulai habis rontok. Rebonding tanpa disadari telah melunturkan identitas tubuh dan budaya mereka, berikut ancaman kebotakan. Selama bertahun-tahun, kita pernah mendapat kabar bahwa ada perempuan yang menderita eating disorder karena ingin langsing. Selama bertahun-tahun, kita pernah menjadi korban untuk menjadi cantik. Kita melukai tubuh untuk menjadi putih walaupun kenyataannya ras kita mengkodratkan kulit kecokelatan. Selama bertahun-tahun, kita belajar merekonstruksi fungsi wajah. Mata yang fungsinya untuk melihat mulai kelopaknya ditempeli warna-warni eye shadow. Bibir yang digunakan untuk berbicara, makan, dan mencium dibubuhi gincu. Bulu mata dan alis yang fungsinya untuk melindungi mata, kita otak-atik dengan bulu mata ‘anti badai’ atau men-atonya seperti logo iklan sepatu Nike. Selama bertahun-tahun, kita juga lupa bahwa tubuh menangis kesakitan setiap kali kita mereparasinya untuk memenuhi satu kata mutlak yaitu cantik. Tubuh telah menjadi persoalan pelik perempuan yang berusaha dibongkar oleh para feminis. Naomi Wolf adalah salah satu nama yang muncul dalam gerakan feminis gelombang ketiga di Amerika yang terkenal lewat bukunya The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women (1991). Ia mungkin bukan seorang akademisi yang aktif mengajar, tetapi sebagai lulusan Universitas Yale dan Oxford yang berprofesi sebagai penulis, jurnalis dan konsultan politik, Wolf telah memilih berada di jalur para aktivis feminis. Sewaktu kuliah di Universitas Yale, ia pernah mengalami pelecehan seksual oleh professornya, Harold Bloom, dan karena kasusnya tak mendapat respon dari kampus, Wolf dengan berani membawanya ke ruang publik. Karya-karya Wolf banyak berbicara tentang seksualitas perempuan, antara lain Fire With Fire (1993), Promiscuities: The Secret Struggle For Womanhood (1997), Misconception (2001), dan Vagina: A New Biography (2012). Melalui karyanya, Wolf ingin membicarakan dan menguatkan perempuan-perempuan untuk mengenal, menerima, memilih, dan merayakan seksualitas mereka. Dalam buku The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women, Wolf (2002:1-2) mengawali buku ini dengan menunjukkan bahwa selama ini perempuan-perempuan kulit hitam, kulit cokelat, maupun kulit putih di Amerika berhadapan dengan mitos kecantikan untuk menjadi perempuan yang sempurna yaitu memiliki tubuh tinggi, langsing, putih, dan berambut pirang. Kulit wajah mereka tidak boleh memiliki cacat sedikit pun dan lingkaran pinggang mereka haruslah sekecil betul ukurannya. Setiap pagi, para perempuan bangun tidur dengan perasaan yang tak nyaman tentang tubuh mereka. Fenomena eating disorder atau operasi pembesaran payudara hanyalah salah satu upaya mereka untuk memenuhi mitos kecantikan itu. Wolf menilai bahwa ada usaha dari industri kecantikan (kosmetik dan fashion) yang menjadi induk semang dari sistem patriarki untuk mengontrol kebebasan perempuan. Alih-alih menindas mereka secara langsung, patriarki dalam industri kecantikan menyerang perempuan dengan mitos kecantikan. Mitos kecantikan merupakan alat feminisasi perempuan yang membuat mereka terpenjara dalam ketidakpuasan terhadap tubuhnya, rasa tidak bisa memuaskan laki-laki, bahkan membenci dirinya sendiri (Wolf, 2002:10). Wolf menyebut bahwa mitos kecantikan lahir dari idealiasi yang melayani tujuan atau kepentingan tertentu. Wolf menyamakan mitos kecantikan di era modern seperti alat penyiksaan “iron maiden” atau konsep feminine mystique dari Betty Friedan yang awalnya dikira sudah tak mungkin terjadi lagi. Sayangnya, berkat iklan (media massa), mitos kecantikan yang sudah disuntikkan hegemoni patriarki terus-menerus direproduksi. Perempuan diserang secara fisik dan psikologis terhadap peran-peran mereka dengan cara menempatkan mereka dalam perasaan tidak pantas dan tidak nyaman. Berdasarkan pemikiran Wolf, kapitalisme dan patriarki sekali lagi bekerja sama untuk meraih tujuan yang berbeda. Ayu Utami dalam kumpulan esainya Si Parasit Lajang (2013:54) menyatakan bahwa kapitalisme memang hidup dari ketidakpuasan diri konsumen sehingga mereka terus-menerus mengonsumsi. Di satu sisi, patriarki terus-menerus mereproduksi dirinya untuk melanggengkan kekuasaan mereka atas kelompok yang tersubordinasi. Dengan kata lain, jika kapitalisme hidup dari uang perempuan, patriarki dengan berbagai cara berusaha menundukkan perempuan. Industri kecantikan menciptakan mitos tentang kecantikan. Mitos kecantikan dipelihara dan dipromosikan secara besar-besaran oleh media massa. Mitos kecantikan itu kita nikmati melalui figur perempuan di majalah-majalah kecantikan, para aktris yang filmnya kita tonton, para penyanyi tanah air yang belakangan membingungkan.Kita sebenarnya senang pada suaranya atau pada penampilan fisiknya, serta hegemoni kecantikan yang tiap hari dan berulang-ulang kita tonton melalui iklan di televisi. Pertanyaannya dari mana asal mitos kecantikan? Masing-masing budaya memiliki konstruksi sendiri tentang apa yang disebut cantik. Suku Karen di Thailand akan memandang cantik perempuan yang lehernya panjang seperti pula suku Dayak di Indonesia yang melihat cantik perempuan bertelinga panjang. Orang kulit putih mengidealkan kulit kecokelatan (yang biasa dilakukan dengan cara tanning) sementara orang Indonesia ingin sekali punya kulit putih (biasanya dengan pakai krim pemutih). Perempuan yang memiliki rambut lurus ingin memiliki rambut keriting dan perempuan berambut keriting ingin meluruskan rambutnya. Sebagai sebuah konstruksi kecantikan, idealisasi itu tidak abadi. Ia berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman dan kepentingan. Konstruksi tidak perlu ditakuti selama sebagai perempuan kita telah memiliki pengetahuan dan mengenal diri sendiri. Dengan demikian, kepercayaan diri atas keunikan diri sendiri akan tumbuh dengan sendirinya. Hal yang mengerikan adalah mitos. Mitos hanya akan hidup bila dipelihara dan masyarakat mengamini. Mitos ini jika tidak segera dilupakan, akan mengubah semua perempuan menjadi boneka yang sama dan seragam. Hari ini saya menonton iklan shampoo di televisi dan tertawa. Konstruksi rambut ideal hari ini adalah rambut berwarna hitam, panjang, dan ikal bergelombang. Itu jenis rambut saya! Daftar Pustaka: Utami, Ayu. 2013. Si Parasit Lajang. Jakarta: KPG (diterbitkan pertama kali oleh Gagas Media tahun 2003). Wolf, Naomi. 2002. The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women. New York: Harper Collins (diterbitkan pertama kali tahun 1991). |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |