![]() Saya pertama kali mendengar kata postfeminisme dalam kelas paradigma feminis yang diajar oleh Ikhaputri Widianti. Aneh sekali, saya pikir feminisme dengan tiga gelombang dan dalam masing-masing gelombang berisi banyak lagi variasinya. Itu tenyata belum cukup. Feminisme sebagai Ilmu dan gerakannya ternyata punya banyak sekali jenis dan cabang. Feminisme sebagai sebuah gerakan memang universal, tapi tidak menyatukan. Karena perempuan berbeda-beda, dan patriarki--yang lebih tua dari kitab suci, punya bentuk berbeda-beda pada setiap wilayah. Hal ini yang membuat feminisme jadi beragam. Postfeminisme saya ketahui sebagai teori terakhir pada pemetaan teori feminisme. Teori ini dianggap kelanjutan dan bisa juga dianggap sebagai masa ketika feminisme dianggap selesai. Postfeminisme juga dilihat sebagai kritik terhadap feminisme gelombang kedua yang membuat feminisme menjadi sebuah slogan dengan memasukan kata atau label ‘perempuan’ dalam sesuatu yang membuat sesuatu tersebut seakan-akan menyuarakan feminisme. Tulisan ini mencoba melihat bagaimana postfeminisme dilihat dalam konteks perempuan Indonesia khususnya kelas menengah perkotaan. Postfeminisme, Feminisme Masa Kini? Dalam tulisan Angela McRobbie berjudul Post Feminism and Popular Culture. Postfeminisme merupakan kritik kultural atas feminisme yang dipopulerkan oleh media massa seperti televisi dan iklan, membawa perempuan pada belitan ganda (double entanglement). Belitan ganda antara kapitalisme dan media massa menjebak perempuan dalam dilema baru, antara nilai-nilai konservatif dan keberhasilan feminisme yang membuat perempuan menjadi mandiri dan bebas memilih. Nilai-nilai konservatif seperti menikah, mempunyai anak, berpenampilan menarik tidak hilang seiring dengan kesadaran perempuan dan kemampuannya untuk memilih dengan sadar dan bebas. Media meyakini, melalui budaya populer, ada sebuah permasalahan baru yang merupakan dampak dari feminisme yakni ketakutan akan kesendirian dan kepedulian pada diri sendiri. Keadaan tersebut yang dijadikan kesempatan oleh Kapitalisme untuk mengarahkan perempuan-perempuan muda ini melakukan konsumsi untuk menyenangkan dirinya sendiri dan menciptakan budaya baru, konsumerisme. Postfeminisme juga dianggap sebagai kritik terhadap feminis gelombang kedua dengan slogannya “thanks to feminisme” yang diproyeksikan bahwa feminisme yang diangap sudah selesai dengan tercapainya hak-hak perempuan dalam politik, kepemilikan, dan hukum. Feminisme menjelma menjadi kata-kata yang identik dengan gerakan feminisme seperti feminis, femininitas, feminin, perempuan dan gender dilekatkan pada segala hal dan membuat seakan-akan feminisme benar-benar masuk ke segala bidang dan menjadi bukti keberhasilan (atau justru kegagalan) dari feminisme. Belum lagi pukulan balik dari gerakan feminisme, kehadiran orang-orang yang menolak, bahkan anti dengan feminisme yang ‘liar’ dan identik dengan kelompok Femmen. Beberapa dari kelompok anti feminisme kadang menyebut dirinya sebagai Menininist[1]. Adanya pukulan balik dari gerakan feminisme, belitan ganda antara nilai-nilai konservatif yang tidak membebaskan di satu sisi digiringnya perempuan pada jebakan konsumerisme menghadirkan gelombang feminisme keempat, yang disebut Gadis Arivia dalam kuliah Postfeminisme di UGM (2/5/2016) lalu, feminisme masa kini. Obral Feminisme Dalam kasus Indonesia, kritik postfeminisme bisa dipakai untuk mengkritik kebijakan pengarusutamaan gender yang dianggap gagal. Kebijakan pengarusutamaan gender dilakukan dengan memasukan kata ‘perempuan’ kemudian ‘gender’ sebagai pengganti perempuan. Dan dengan menyematkan kata tersebut maka mampu menghasilkan sebuah kebijakan yang adil gender. Kebanyakan kata ‘perempuan’ atau ‘wanita’ dalam kebijakan sering digunakan untuk membuat suatu kebijakan tersebut pro-perempuan. Padahal penggunaa terminologi perempuan, gender, wanita atau feminis yang dilakukan oleh kapitalisme seperti mengangkat perempuan untuk dihempaskan kembali. Contoh yang bisa dilihat akhir-akhir ini adalah diluncurkannya bus khusus wanita berwarna merah jambu pada perayaan hari Kartini 21 April oleh DKI Jakarta. Alih-alih memberikan bus transjakarta khusus wanita[2] (atau ruangan khusus wanita lainnya) lebih baik pemerintah mendukung peraturan yang menjamin tubuh perempuan di ruang publik, bukan justru memisahkan jenis kelamin agar terkesan ‘aman’. Pemerintah di sini, mengambil jalan pintas dengan memisahkan ruang publik antar jenis kelamin bukan menjamin keamanan tubuh perempuan atau memberikan pemahaman bahwa melecehkan perempuan adalah sebuah tindakan kriminal (dalam KUHP perkosaan dan pelecehan terhadap perempuan hanya dikategorikan sebagai tindakan asusila). Menyedihkannya lagi, hal ini dilakukan untuk merayakan hari Kartini. ‘Obral’ kata-kata perempuan banyak juga kita temui apabila mendekati hari-hari khusus perempuan seperti hari Ibu 22 Desember, Women’s International Day, atau hari Kartini 21 April. Kita akan menemukan banyak iklan bertebaran menyajikan diskon khusus untuk pembeli perempuan untuk produk make up, tas, ataupun sepatu. Dan kini kapitalisme mengobral kata ‘perempuan’ semakin lebih canggih dengan embel-embel agama. Kata perempuan dan Islam dilekatkan untuk sesuatu yang dianggap pro-perempuan muslimah dalam produk khusus seperti susu kalsium khusus perempuan muslimah. Belitan Ganda Hijabers Media massa membuat ukuran bahwa feminisme dianggap sudah selesai dengan menghasilkan perempuan-perempuan yang mandiri, memiliki penghasilan, memiliki pilihan dan sistem hidupnya tersendiri tetapi masih berkutat dalam pikiran penampilan, berat badan, gaya hidup sehat, dan ‘membutuhkan lelaki sebagai pasangan hidup yang cocok’. Perempuan Indonesia berterimakasih pada Kartini yang memperkenalkan ‘emansipasi’[3] memberikan model perempuan untuk meraih pendidikan dan pekerjaan seperti laki-laki. Ideologi gender Orde Baru yang menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja yang bisa diberikan upah murah (karena bekerja bukanlah peran utama bagi perempuan). Tapi hal ini juga membuka kesempatan perempuan untuk memiliki pekerjaan walau tetap harus berkarier sebagai ibu. Pada masa reformasi, mulai tumbuh kembali gerakan-gerakan dan organisasi perempuan yang membuat perempuan kini sudah memiliki kesadaran dan bangga akan identitas keperempuanannya. Khususnya pada perempuan perkotaan, dewasa ini seiring dengan semakin luasnya kelas menengah Indonesia[4] dan Islamisasi. Saya mengambil contoh postfeminisme yakni komunitas Hijabers. Hijabers adalah sebutan yang disematkan pada perempuan muslim Indonesia perkotaan yang memilih secara sadar untuk menggunakan jilbab sebagai bentuk ibadah dan syarat untuk menyempurnakan agama Islam dengan negosiasi untuk tetap menjadi menarik dengan memodifikasi jilbabnya dan menjadikannya selain sebagai ibadah, juga bagian dari fashion. Dalam pandangan saya, Hijabers adalah contoh dari postfeminisme. Perempuan muda masa kini yang berada dalam belitan ganda tersebut. Para hijabers hampir seluruhnya berasal dari perempuan muda kelas menengah perkotaan yang mengenyam pendidikan tinggi, masuk ruang publik dan memiliki pekerjaan dan penghasilan sendiri. Kemudian, perempuan hijabers masih berhadapan dengan nilai konservatif seperti berpenampilan cantik sesuai syariat, keinginan untuk menikah dengan pasangan yang cocok, menggunakan hijab sebagai bagian untuk menolak identitas perempuan modern ‘ala Barat’. Dan di satu sisi perempuan hijabers ini ditaklukan oleh konsumerisme. Hijab yang awalnya sebagai pakaian muslim biasa dijadikan sebuah komoditas dan tidak tanggung-tanggung Dolce & Gabbana, merk fashion ala Barat terkenal, kini ikut mengeluarkan koleksi pakaian muslimahnya.[5] Keterputusan Feminis Apakah feminisme benar-benar sudah selesai? Kita tidak memungkiri beda permasalahan tiap-tiap lokasi yang dialami perempuan yang berbeda. Akan tetapi kita juga tidak bisa menyangkal kata ‘feminis’ dan ‘perempuan’ akan menjadi jangkar bagi pemikiran dan gerakan feminis untuk kesetaraan. Jikalau saya sebagai generasi Millenial melihat situs 9gag.com[6], saya menemukan backlash yang kencang dari para anti feminisme. Bisakah kita berdialog dengan orang-orang yang sudah alergi terhadap feminisme kalau begitu? Bisakah kita mengambil subtansi dari feminisme dan mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari tanpa menggunakan label ‘feminis’ dan perempuan? Mengambil substansi dari feminisme saya rasa tidak menghentikan feminisme itu sendiri. Catatan Akhir: [1] Meninist adalah sindiran terhadap Feminist, bergerak pada media populer seperti Twitter dan LINE lihat berita selengkapnya dalam https://www.buzzfeed.com/rossalynwarren/men-are-calling-themselves-meninists-to-take-a-stand-against diakses 6 mei pukul 9:39 WIB [2] “Tampilan Bus Transjakarta Khusus Wanita” dalam http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/21/14091871/Tampilan.Bus.Transjakarta.Pink.Khusus.Wanita diakses 5 mei 2016 pukul 23:22 WIB [3] Emansipasi dianggap berbeda dengan feminisme yang dianggap ala Barat. Emansipasi adalah kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan feminisme disamakan dengan pseudo-feminisme yang menginginkan perempuan lebih tinggi drajatnya dari laki-laki. Emansipasi dengan Feminisme dibeda-bedakan melalui media budaya populer seperti yang saya temukan dalam website populer konsultasi percintaan http://kelascinta.com/women/feminisme-emansipasi-setara diakses 6 mei 2016 pukul 9:46 WIB [4] Kelas menengah muncul di desa-desa tetapi khususnya pada perkotaan. Karena kelas menengah berasal dari pola konsumsi bukan pola pendapatan dan penentuan klasifikasi tentang kelas menengah di Indonesia diukur berdasarkan kepemilikan ponsel dan sepeda motor dalam rumah tangga. lihat Gerry van Klinken, 2016, “Demokrasi, Pasar, dan Kelas Menengah yang Asertif” dalam In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota Menengah, Jakarta: KITLV dan Yayasan Pustaka Obor hlm 1-2 [5] “8 Desainer dan Brand Luar Negeri yang Mengeluarkan Koleksi Hijab Baju Muslim” dalam http://kawankumagz.com/Fashion/8-Desainer-Dan-Brand-Luar-Negeri-Yang-Mengeluarkan-Koleksi-Hijab-Baju-Muslim diakses 6 mei 2016 pukul 1:25 WIB [6] 9gag.com adalah situs jokes yang berisi meme atau lelucon bergambar yang ebrsifat internasional, populer sejak tahun 2009. Menurut dugaan saya, 9gag mempelopori budaya meme yang populer di Indonesia melalui dunia virtual media sosial. Budaya meme dari 9gag kemudian berkembang emnjadi situ serupa dengan cita rasa lokal seperti 1cak.com meme comic indonesia sampai dagelan.co ![]() Judul : Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX Penulis : Peter Carey dan Vincent Houben Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Cetakan I : Maret, 2016 Halaman : xiv + 114 ISBN : 978-602-6208-16-3 Pada Agustus 1900, RA Kartini (1879-1904) sebagai salah satu pengamat dan penulis budaya Jawa terpenting menulis, “Kami perempuan Jawa terutama sekali wajib bersifat menurut dan menyerah. Kami harus seperti tanah liat yang dapat dibentuk sekehendak hati.” Kartini menggunakan pronomina ‘kami’: sekian banyak perempuan Jawa yang dia saksikan, perjuangkan, dan sekaligus menjadi keprihatinan terbesarnya.
Bagi Kartini, juga pejuang hak emansipasi perempuan berikutnya, semua itu menjadi pertanyaan penting: “Apa sebab wanita sampai dapat dijadikan objek kesenangan laki-laki, seakan mereka tidak mempunyai pikiran dan pendapat atau perasaan sendiri? Apa sebab kaum laki-laki sampai menganggap wanita sebagai sebuah ‘golek’, sebuah boneka, barang mati yang boleh diperlakukan semaunya, seolah-olah wanita itu bukan manusia?” Di sinilah buku kecil Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, karya sejarawan Peter Carey dan Vincent Houben, menjadi penting. Karya karier awal dua sejarawan kawakan ini mencoba menelusuri kuasa dan pengaruh wanita Jawa dalam arus politik, pergerakan militer, penjaga tradisi budaya, kepenulisan sastra, penjunjung agama, pembimbing-pendidik anak-anak (penguasa) Jawa, pemelihara trah pertalian wangsa, sebagai pengusaha, dan pengendali finansial politik. Semua ruang publik dan domestik ini menjadi arena kajian penting buku dua sejarawan tersebut. Abad ke-18 dan ke-19, atau era sebelum Kartini, biasanya disebut sebagai era pemerintahan kolonial yang sesungguhnya (high colonial period) yang terbentang antara Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830 M) dan awal pendudukan militer Jepang (1942-1945). Bagi Carey dan Houben pada awal sebelum Perang Jawa dan masa-masa sesudahnya adalah masa yang krusial dalam menelusuri perubahan peran dan kuasa perempuan Jawa, sebelum begitu terpengaruh kuasa kolonialisme Eropa yang didominasi lelaki patriarkis sekaligus sebelum kuasa Islam-Jawa patriarkis begitu dominan. Di pinggir surat seorang residen Jogja, Marsekal Daendels (1808-1811) menulis catatan yang penuh sentimen male chauvinist (pemujaan kejantanan): “perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya ada urusan pribadi!” Tokoh veteran Perang Revolusi Prancis dan Perang Napoleon ini, juga penguasa atau birokrat kolonial Belanda berikutnya, menyadari bahwa perempuan Jawa sering begitu kuat menentukan arus politik dan budaya dan dengan sendirinya mengancam hasrat kolonialisme Eropa. Dalam catatan Serah Terima Jabatan (Memorie van Overgave), meski begitu didominasi kaum lelaki, terkadang ada catatan tokoh perempuan Jawa yang begitu berpengaruh. Salah satu tokoh perempuan Jawa yang begitu berpengaruh secara politis militer, politik keraton, pendidikan anak raja, dan sebagainya adalah Ratu Ageng Tegalrejo/Raden Ayu Serang (ca. 1732-1803). Dia adalah permaisuri pertama raja pertama Jogja (Sultan Mangkubumi) yang menjadi komandan pertama “Korps Srikandi” kesultanan. Dia memiliki keahlian naik kuda, menggunakan senjata, dan paham strategi perang. Di usia cukup dewasa, bekas prajurit èstri ini pindah ke Tegalrejo, menjadi pengikut tarekat Shaţţārīyah, dan terutama mengangkat-mengasuh Pangeran Diponegoro sebagai anak-didik terpentingnya sampai dewasa. Saat terjadi Perang Jawa, perempuan kesatria sakti dan pertapa ini angkat senjata memimpin pasukan berkekuatan 500 orang melawan Belanda. Tentu dua sejarawan itu wajib mengisahkan korps prajurit èstri yang terkenal sebagai pasukan elite. Para perempuan ningrat itu terlatih dan piawai menggunakan aneka senjata seperti tameng, busur, panah beracun, tombak, tulup, atau bedil, selain dilatih menari, menyanyi, dan memainkan musik. Dalam buku hariannya, Jan Greeve (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) mencatat hasil kunjungannya ke Surakarta (Solo) pada 31 Juli 1788: prajurit perempuan menembakkan salvo “dengan teratur dan tepat sehingga membuat kita kagum” sambil “menembakkan senjata tangannya [karben kavaleri] sebanyak tiga kali dengan sangat tepat…diikuti tembakan senjata kecil [artileri].” Jika selama ini sering terdengar pemberontakan dan kudeta oleh kaum lelaki, Carey dan Houben mengingatkan akan pentingnya kuasa dan peran Ratu Kedaton dan Ratu Kencono, dua aktor kunci pemberontakan gagal sang anak, Raden Mas Muhammad (Pangeran Suryèngologo) terhadap Sultan Yogya ketujuh pada 1883 di Kedu. Tentu saja peran sentral perempuan (ningrat yang tak mesti berdarah biru) Jawa adalah sebagai ibu dan sekaligus sebagai pendidik-pengajar, yang cukup sering memicu perseteruan internal keraton dalam perebutan penobatan putra mahkota. Peran ini memosisikan perempuan sebagai penjaga wali setia adat Jawa. Selain itu, banyak perempuan Jawa menguasai tradisi tulis-menulis, seperti Raden Ayu Purboyoso (ca. 1756-1822) yang terkenal mahir aksara pegon (Jawi gundul) dan memiliki koleksi versi Jawa karya sastra Islam Arab. Maka, melalui karya kecil dan penting ini, Carey dan Houben hendak mengingatkan: priyayi dan perempuan Jawa, setidaknya sampai akhir Perang Jawa, memiliki dan menikmati kebebasan dan kesempatan bertindak dan mengambil inisiatif pribadi yang lebih luas daripada saudari perempuan mereka pada akhir abad ke-19, seperti pada zaman Kartini. Dua sejarawan ini juga hendak merevisi citra Raden Ayu di Jawa sebagai “boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri...perempuan elok namun kepalanya kosong”, seperti yang tersebar dalam banyak literatur (sastra) kolonial Belanda. Memang, kajian yang dilakukan dua sejarawan ini masih tahap pengantar ringkas tapi cukup luas, sebagaimana diakui keduanya. Setidaknya, mereka berhasil menyimpulkan bahwa memudarnya kuasa perempuan model matriarki gaya Polinesia sedikit banyak dipengaruhi oleh Islam dan terutama kolonialisme Eropa khususnya Belanda yang tak menghendaki kuasa besar perempuan termasuk ambisi Raden Ayu Sekar Kedaton menjadi raja Jawa. Yang jelas, perempuan Jawa pra-Kartini, seperti terpapar dalam lembar buku ini, jauh lebih berkuasa dan perkasa. ![]() Judul buku : Perempuan di Titik Nol Pengarang : Nawal El Sadaawi Penerbit : Yayasan Obor Indonesia Tahun Terbit : 2002 “Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja; untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka.” (Nawal El Saadawi 2002, h. 149)
Kutipan diatas merupakan sepenggal dialog yang terdapat pada novel Perempuan di Titik Nol yang ditulis Nawal El Saadawi. Novel ini mengisahkan sisi gelap yang dihadapi perempuan-perempuan Mesir di tengah kebudayaan Arab yang kental dengan nilai-nilai patriarki. Ketika perempuan masih mengalami ketimpangan hak dan tidak tidak pernah mendapatkan hak yang sama seperti yang didapatkan laki-laki. Seperti halnya bangsa Arab, budaya patriarki menjadi salah satu dasar perdebatan akan kedudukan perempuan dalam masyarakat dan masih menuai konflik. Mengenai hak-hak perempuan yang kurang terjamin, kebebasan dalam dunia politik, serta kungkungan hierarkis suami membuat perempuan terbelakang dalam segala kesempatan, mengalami diskriminasi, kekerasan, serta kemiskinan. Negeri Arab yang dikenal dengan kondisi perempuan yang amat terbelakang menghadirkan sejuta cerita mengenai perempuan korban budaya patriarki. Nawal El Saadawi seorang doktor berkebangsaan Mesir menghadirkan sebuah novel yang menunjukkan perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama dan untuk mendapatkan perubahan nilai dan sikap laki-laki Mesir terhadap perempuan yang sepenuhnya belum tercapai. Lewat tokoh Firdaus, Nawal menguak sebuah alur cerita yang sangat pedas, keras, dan berani yang mengandung jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perempuan yang diderita, dirasakan, dan dilihat oleh perempuan itu sendiri. Perempuan di Titik Nol merupakan novel yang menghadirkan figur perempuan yang mengalami ketidakadilan dalam budaya patriarki. Ia adalah seorang perempuan yang diciptakan oleh masyarakat yang sangat laki-laki menjadi makhluk kelas kedua yang berarti inferior. Firdaus: Identitas Perempuan yang Dinomorduakan “Jika salah satu anak perempuan mati, ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti itu ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.” (Nawal El Saadawi 2002, h. 26) Hidup di tengah-tengah keluarga patriarkat sudah dirasakan oleh Firdaus sejak kecil. Hidup di tengah keluarga miskin, tak jarang Firdaus merasakan dan melihat seorang ayah diperlakukan seperti seorang raja oleh istri dan anak-anaknya. Seorang laki-laki (ayah) diperlakukan sebagai individu nomor satu di antara individu-individu lainnya. Relasi ini menunjukkan ketidaksetaraan di dalam sebuah keluarga, bahwa di posisi inipun perempuan mengalami dampak budaya patriarki. Begitu juga dalam lingkungan sosial, tokoh Firdaus kerap mengalami ketidakadilan sosial karena ia seorang perempuan. Saat Firdaus memasuki masa remaja, ia ingin sekali belajar di Kairo mengikuti jejak pamannya. Namun, ia tidak diperbolehkan belajar di sana karena dia adalah seorang perempuan. “Apa yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus?” Lalu saya menjawab: “saya ingin ke El Azhar dan belajar seperti paman.” Kemudian paman tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk kaum pria saja. El Azhar merupakan suatu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh laki-laki saja, dan paman merupakan salah seorang dari mereka. Dan dia adalah seorang laki-laki. (Nawal El Saadawi 2002, h. 22 dan 30) Dalam budaya patriarki seorang perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua atau yang disebut liyan oleh Simone De Beauvoir. Konstruksi masyarakat yang menganggap bahwa wilayah perempuan adalah pada arena domestik menciptakan suatu hubungan yang terdominasi dan tersubordinasi, hubungan antara perempuan dan laki-laki bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan yang dominan sedangkan perempuan subordinat (laki-laki menentukan, perempuan ditentukan). Akibat adanya ketimpangan relasi ini tak jarang perempuan dibatasi ruang geraknya antara privat dan publik. Privat bermuara pada wilayah rumah tangga yang stereotipnya diperuntukan bagi perempuan, kemudian wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara diperuntukkan bagi laki-laki. Budaya patriarki juga yang membuat perempuan inferior lantaran tubuhnya. Keadaan inilah yang membuat perempuan mengalami diskriminasi dalam segala hal baik ekonomi, politik maupun sosial. Dalam esainya yang berjudul “Inti Problematika Perempuan Mesir”dalam Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan (2007), Nawal pernah mengemukakan bahwa mayoritas kaum laki-laki dari Partai Sosialis Arab menganggap bahwa menghimpun kekuatan politik kaum perempuan adalah pemikiran yang salah dan dianggap sebuah usaha untuk memecah belah barisan persatuan kaum laki-laki dan perempuan. Ini juga dianggap usaha mengalihkan perjuangan dari tujuan pokoknya, baik dalam bidang politik maupun ekonomi, sehingga menjadi perseteruan antara kaum laki-laki dan perempuan. Relasi Patriarki terhadap Tubuh Perempuan Dalam budaya patriarki, sisi laki-laki yang sangat dominan menciptakan identitas perempuan menjadi makhluk kelas dua. Akibat budaya patriarki ini sejak kecil Firdaus kerapa kali mengalami tindak kekerasan dan sewenang-wenang dari laki-laki. Ayah Firdaus adalah sosok yang ditakuti dalam keluarganya. Sebagaimana dalam budaya patriarki, ayah mempunyai peranan dominan dalam keluarga. Tak jarang Firdaus mendapatkan kekerasan dari ayahnya yang membiarkannya lapar dan membasuh kaki ayahnya apabila sedang kedinginan. Ayahnya pula yang menciptakan identitas Firdaus sebagai pelayan rumah tangga pengganti ibunya. Pelecehan seksual kerap kali didapatkan oleh Firdaus dari pamannya sejak kecil. “Saya melihat tangan paman saya bergerak-gerak dibalik buku yang sedang Ia baca menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya.”(Nawal El Saadawi 2002, h. 20). Perlakuan inilah yang nantinya membentuk identitas Firdaus menjadi perempuan lacur. Ketika Firdaus memasuki usia remaja, ia dinikahkan oleh pamannya kepada seorang laki-laki bernama Syekh Mahmoud seorang laki-laki tua yang berperangai kasar dan kikir. Firdaus ditukar dengan mahar yang sangat mahal. Dalam rumah tangganya tidak jarang Firdaus mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya karena dia adalah seorang istri dan seorang perempuan. “Pada suatu peristiwa ia memukul badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya pergi dari rumah dan pergi ke rumah paman.”(Nawal El Saadawi 2002, h. 63) Identitas Firdaus sebagai seorang perempuan yang dianggap sebagai makhluk kelas dua membuat Firdaus pasrah menerima perlakuan kekerasan dari suaminya. Di tengah-tengah budaya patriarki kejadian tersebut dianggap lumrah, ketika seorang suami memukul istri. Bahkan pamannya berkata bahwa ia juga sering memukul istrinya. Kewajiban seorang istri ialah kepatuhan yang sempurna. Pengalaman demi pengalaman yang dialami oleh Firdaus sejak kecil memberikan pelajaran kepada Firdaus bahwa identitasnya sebagai seorang perempuan hanyalah dijadikan sebagai objek yang dapat ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. perlakuan sewenang-wenang yang diterima Firdaus mengajarkan bahwa ia juga pantas menerima sebuah kebebasan, tanpa kontrol dan siksaan dari laki-laki. Dalam kondisinya yang miskin Firdaus lebih memilih menjalani profesinya sebagai pelacur. Dalam mencapai kesusksesan menjadi pelacur yang bebas tersebut, Firdaus sampai pada permenungan bahwa peran laki-laki dalam budaya patriarki mempunyai peran besar membentuk tubuhnya menjadi pelacur. “Saya tahu bahwa profesi saya diciptakan oleh seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak.” (Nawal El Saadawi 2002, h. 133) Diskriminasi Perempuan dalam Aspek Sosial, Ekonomi, dan Politik Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu berbagai negara dibelahan bumi mengadakan demonstrasi besar-besaran melawan kekerasan terhadap perempuan atau yang dikenal dengan istilah femicide. Di Indonesia sendiri angka kekerasan terhadap perempuan meningkat drastis, menurut Catatan Akhir Tahun 2014 Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Tidak hanya sampai di situ, berbagai Perda diskriminatif kemudian muncul mengatur tubuh perempuan, misalnya larangan beraktivitas malam bagi perempuan oleh pemerintah kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Berbagai bentuk penindasan pun kerap kali diberitakan dialami oleh perempuan. Penindasan tersebut dapat dialami dengan berbagai bentuk, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, serta pemecatan di tempat kerja. Tidak jarang pula kita sering disuguhi dengan berita diskriminasi lainnya, seperti anggapan tentang baik tidaknya tubuh perempuan, larangan bagi perempuan beraktivitas malam, larangan bagi perempuan memakai celana, serta peraturan-peraturan diskriminatif lainnya. Tindak diskriminatif dalam bidang pekerjaan sangat terlihat. Nilai patriarkal yang menganggap bahwa tempat perempuan adalah di rumah dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan dengan menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja tambahan yang dapat digaji dengan murah, tanpa jaminan sosial dan hak-hak kerja lainnya. Begitu juga dalam bidang politik, budaya patriarkis mengonstruksikan bahwa yang berhak memerintah adalah seorang laki-laki. Budaya patriarkis menciptakan suatu mitos bahwa ruang perempuan adalah mengurus rumah tangga (domestik) sedangkan wilayah publik atau politik dianggap sebagai ruang bagi laki-laki. Tidak heran jika sampai saat ini jumlah perempuan dalam jabatan publik masih sangat minim. Dalam budaya patriarki identitas perempuan diidentikkan dengan sifat lemah lembut dan membutuhkan perlindungan untuk membuatnya semakin lemah dan mudah didominasi. Mitos yang diciptakan tentang perempuan dalam budaya patriarki menghalangi perempuan untuk mengembangkan kekuatan serta potensi yang ada pada tubuhnya dan bukan untuk membuatnya kuat serta mampu bertahan dan berkreasi dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Di dalam budaya patriarki kelemahan tubuh perempuan dijadikan sebagai kelemahan absolut sebagai jenis kelamin kedua. Jonathan Manullang (Kurator Film) [email protected] & Yulaika Ramadhani (Bergiat di Community for Interfaith and Intercultural Dialogue Indonesia) [email protected] ![]() Ideologi Orde Baru menuntut perempuan Indonesia untuk selalu memberi dukungan total bagi sang suami dari balik layar, dan seringkali tanpa kebebasan yang cukup guna mengekspresikan pribadinya sendiri. Lebih lanjut, ideologi tersebut mengurung perempuan secara harfiah—ruang geraknya terbatas di area sekitar rumah yang diwakili slogan populer “dapur, sumur, kasur”. Keterbatasan perempuan ini turut tertuang dalam khasanah sinema nasional secara umum pada masa itu. Setelah OrdeBaru runtuh dan sinema nasional kembali menggeliat, muncul sebuah fenomena anyar terkait cara bertutur sinematik yang berusaha melepaskan diri dari konstruksi ideologi tersebut. Salah satu contoh menonjol fenomena ini adalah keberanian sineas mengeksplorasi tema seksualitas perempuan. Rhavi Bharwani memaparkan kepasrahan seorang sinden terhadap tradisi berbau seksualitas di sebuahkampung dalam ImpianKemarau. Nia Dinata mengamati relasi lesbian di Berbagi Suami. DjenarMaesa Ayu mengisahkan relasi antara seorang perempuan korban kekerasan seksual dengan laki-laki yang sudah berkeluarga melalui Mereka Bilang, Saya Monyet. Di ranah film pendek kita mendapati Edwin yang menampilkan kesadaran naluriah seorang perempuan tentang kapan dan bagaimana dirinya tengah diperhatikan oleh laki-laki lewat A Very Boring Conversation. Yang masih segar dalam ingatan tentu saja About A Woman, film arahan Teddy Soeriaatmadja yang berfokus pada gejolak hasrat seorang janda paruh baya terhadap anak laki-laki remaja. Lola Amaria ikut meramaikan keragaman penggarapan tema seksualitas perempuan melalui debut penyutradaraannya bertajuk Betina.Namun pilihan yang ia ambil sungguh unik: menghadapkan seksualitas perempuan—secara konvensional disepakati sebagai proses awal kelahiran—dengan antitesisnya: kematian. Sebuah kombinasi paradoks yang sejatinya masih jarang dilirik oleh film-film Indonesia. Lola bermain dengan banyak sekali atribut simbolik dalam debutnya ini. Atribut-atribut ini dapat kita temukan dalam relasi sosial dan pemaknaan kematian yang senantiasa berkelindan dengan bahasan seksualitas Betina, sang karakter utama. Oleh karena itu, cara terbaik untuk menjelaskan kedalaman dimensi Betina adalah dengan mendedah dan melucuti atribut-atribut simbolik di sepanjang film. Terdapat dua macam relasi sosial dalam film, yaitu relasi protagonis dengan keluarga dan protagonis dengan masyarakat. Relasi keluarga tercermin dari hubungan Betina dengan ibunya yang tidak dekat alias berjarak secara emosional. Depresi berkepanjangan sang ibu membuat proses tumbuh besar Betina serba kekurangan kasih sayang. Konsekuensinya, sang anak mencari pemenuhan dari hal-hal lain, seperti menghabiskan banyak waktu bersama sapi peliharaannya. Pada bagian klimaks malah terlihat sekali pembuat film meniatkan posisi ibu dan anak sebagai sebuah antagonisme. Hal ini menyepakati nilai-nilai yang mengarahkan seorang anak yang ingin melepaskan diri dari otoritas maternal [1]. Keberjarakan dengan sang ibu tersebut hadir guna menonjolkan identitas sang anak sebagai subjek yang berhak atas orientasi seksualnya sendiri. Teori tersebut mengamini pernyataan Chodorow [2] bahwa anak perempuan lantas memasrahkan dirinya pada hukum yang tunduk pada ayah, pada anak laki-laki, lalu mencari pengganti ayah seraya sesekali menengok ke belakang demi meyakinkan keterpisahannya dari ibu. Di sisi lain, kedua tokoh ini memiliki kesamaan pula, yakni dalam hal keabsenan figur laki-laki. Seorang perempuan kehilangan suami dan seorang anak perempuan tumbuh tanpa kasih sayang ayah. Dari sini, Lola menggiring penonton kepada jenis keabsenan lain: fungsi seksual suami istri. Konsekuensi paling mencolok dari keabsenan terakhir jelas berupa lahirnya fantasi-fantasi seksual dari kedua belah pihak. Sembari film berjalan, Lola kemudian tampak berkonsentrasi membawa penonton menilik seksualitas perempuan secara khusus dalam dimensi psikososial. Dimensi ini meliputi faktor-faktor psikis (emosi, pandangan, dan kepribadian) yang berkolaborasi dengan faktor sosial, yakni tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya secara seksual [3]. Dimensi ini hadir secara gamblang melalui interaksi Betina dengan para tokoh laki-laki di sekelilingnya. Secara khusus, antusiasme dan kerinduan protagonis kepada sosok pemimpin prosesi pemakaman menjadi paradoks bagi berbagai gestur penuh hasrat dari hampir seluruh tokoh laki-laki atas tubuhnya. Betina selalu senang mendengar berita kematian. Ia kerap tampil bersemangat dan kegirangan menyambut kabar duka apapun. Ia sadar bahwa kematian adalah satu-satunya jalan guna bersua dengan pemimpin prosesi pemakaman yang diam-diam ia sukai. Melalui peristiwa kematian pula kita dapat menyaksikan perwujudan sisi emosional karakter Betina. Di titik ini, Lola tampak sengaja melawan stigma perempuan yang sering dinilai pasif dan tidak responsif, meski tetap menempatkan laki-laki selaku agresor seksual. Bukti penempatan laki-laki selaku agresor bertebaran sepanjang film. Bandar susu yang melecehkan Betina di bagian pembuka, pemilik peternakan sapi yang mencoba memerkosanya, serta kecenderungan seksual Luta terhadap tubuh Betina. Contoh-contoh ini menegaskan metafora bagi kondisi di dunia nyata: kaum laki-laki masih amat digdaya dalam konteks penguasaan tubuh lawan jenis. Lebih jauh, adegan-adegan tersebut agaknya ingin menyindir bahwa seks tidak semata-mata mengemban fungsi reproduksi, tetapi juga rekreasi. Yang menarik, Lola kemudian memukul balik unsur-unsur maskulin tersebut. Tidak tanggung-tanggung, ia ‘membunuh' semua laki-laki yang berniat menguasai tubuh Betina. Pembunuhan terhadap semua karakter laki-laki selaku agresor seksual sekaligus melenyapkan pembahasan tentang relasi kuasa. Konsekuensinya, kita tidak menemukan satupun laki-laki pemegang kuasa atas tubuh perempuan di lingkup keluarga bahkan level masyarakat. Sebagian dimatikan sementara sebagian lagi sempat berusaha menasbihkan kendali atas tubuh Betina walau berakhir dengan kegagalan. Frederich Engels dalam The Origin of the Family, Private Poperty and State merumuskan bahwa pembatasan peran perempuan dimulai dari kepemilikan pribadi. Sejak lahir ia telah disosialisasikan sebagai milik laki-laki, sebelum menikah ia bergantung dan menjadi milik sang ayah, sedangkan ketika menikah ia menjadi milik suami [4]. Mengacu pada hal itu, keabsenan sosok suami, ayah, dan pasangan laki-laki di film ini seakan memberi gambaran yang lebih luas tentang posisi dan peran perempuan yang bebas dari kuasa laki-laki. Kelangkaan laki-laki juga menghasilkan suatu kondisi dimana perempuan menjadi pihak superior, baik secara populasi maupun politis. Di sini pembuat film seakan ingin menyuguhkan situasi utopis yang bersih dari gangguan libido laki-laki. Namun di sisi lainkelangkaan laki-laki justru mengganggu proses alami seksualitas seorang perempuan, sehingga tarik ulur kekuasaanpun masih terjadi, ditandai oleh kecemburuan Betina terhadap sang ibu pasca berduaan bersama pemimpin prosesi pemakaman. Kecemburuan tersebut sedemikian kuat memengaruhi pribadi Betina sampai mampu mendorongnya untuk membunuh ibunya sendiri. Tak pelak, pembunuhan ini meresmikan Betina sebagai pemegang kuasa mutlak atas bermacam keadaan yang mungkin terjadi selanjutnya. Windu Jusuf pernah menyebutkan, motif kematian pada film umumnya berperan sebagai semacam vanishing mediator [5]. Karakter-karakter dalam cerita pasca kematian dibawa menuju situasi baru. Posisi kematian sebatas menunjukkan perubahan pola-pola relasi. Melalui Betina, Lola Amaria melampaui premis tersebut. Ia menasbihkan kematian sebagai agen ganda: pengubah pola-pola relasi sekaligus juga pintu masuk pembahasan seksualitas. Kematian sebagai pengubah pola relasi tercermin lewat dua peristiwa: kematian Luta dan kematian ibu Betina. Pemakaman Luta menjadi ajang pertemuan ibu Betina dengan sang pemimpin prosesi pemakaman. Bila kita cermat memerhatikan prosesi pemakaman dalam film, penonton mampu mendeduksi sebuah informasi anyar mengenai tugas lain pemimpin prosesi pemakaman. Tugas khusus ini ia jalankan di lokasi spesifik yang tersembunyi serta jauh dari pengamatan publik: rumah pribadinya yang terletak di tengah-tengah area pemakaman. Di sana, ia ‘menghibur’ para janda atau kerabat perempuan yang ditinggal oleh almarhum sanak saudaranya segera setelah prosesi pemakaman usai. Di titik ini, fungsi rekreasi seks berkembang sedemikian rupa. Ia menjadi sebentuk upaya menenangkan gejolak emosional yang muncul akibat duka mendalam. Semacam terapi bagi jiwa yang tengah kehilangan. Hal menarik berikutnya yang patut kita telaah adalah ritual 'penghiburan' melalui seks tersebut. Pemimpin prosesi pemakaman menghidangkan sejenis jamur sembari merapal mantra. Ibu Betina memakan jamur itu sambil mengulangi mantra yang sama sampai akhirnya ia jatuh tertidur. Menurut keterangan tekstual di awal film, jamur ini berjenis Psilocybe atau jamur tahi sapi. Jamur tersebut berpotensi menimbulkan halusinasi berkelanjutan bahkan sampai mengakibatkan kematian. Berhenti pada fungsi halusinogen jamur, penonton dibiarkan memeriksa ulang pernyataan awal mereka perkara penghiburan. Hubungan seks antara pemimpin prosesi pemakaman dan ibu Betina di layar bisa jadi punya dua kemungkinan. Hubungan seks itu berada pada alam bawah sadar tapi bisa juga berada pada alam sadar. Kemungkinan pertama menegaskan fantasi ibu Betina selaku janda yang kehilangan figur laki-laki dalam kehidupan seksual, sedangkan kemungkinan kedua sungguh menjadi bentuk kenakalan pembuat film menggambarkan seksualitas perempuan. Sebagaimana fungsi halusinogen jamur pada umumnya, Psilocybe juga memiliki efek samping berupa kecenderungan adiktif. Ibu Betinapun kembali ke rumah sebagai seorang pecandu, dan sialnya, ia harus berhadapan dengan sang putri yang kadung cemburu. Adegan makan malam sesaat sebelum pembunuhan terjadi adalah bukti gamblang betapa akutnya level kecanduan si ibu sehingga ia mulai mengeluarkan respons-respons spontan yang sangat mengganggu. Sementara bagi Betina, respons-respons absurd ini dengan cepat terakumulasi bersama rasa benci yang terlanjur mengakar dalam hatinya. Akumulasi itu menghasilkan sebuah gagasan brutal yang kelak mengkhianati sosoknya sebagai anak. Kematian sang ibu memang berhasil mengantarkan Betina pada 'kedudukanterhormat' dalam prosesi pemakaman. Ia akhirnya mendapat keistimewaan guna dihibur secara eksklusif oleh sang pemimpin prosesi—meskipun berakhir pada kekecewaan lain: sebuah kematian pamungkas yang begitu sinis walau sesungguhnya berniat memproteksi seksualitas dan eksistensi Betina. Segala pengalaman dan perlakuan seksual yang dialami Betina jelas mencerminkan realitas sosial kita saat ini. Model patriarki masyarakat kita menunjukkan bahwa perempuan wajib tunduk pada laki-laki, terkekang ketika hendak menentukan jalan hidup pribadi, serta tabu mengekspresikan seksualitas di muka publik. Yang lebih parah, perempuan masih sebatas objek gairah. Ia senantiasa harus waspada menghadapi penggerayangan tiada henti, seringkali dari berbagai sisi. Dari segi struktur, Lola terhitung cermat memanfaatkan setiap elemen di filmnya. Pemilihan jamur tahi sapi sebagai medium fantasi (maupun alat membunuh)selaras dengan latar belakang karakter utama selaku pemerah susu sapi. Kemudian pada bagian penutup, setelah Betina sadar bahwa semesta tak pernah berkonspirasi mewujudkan keinginan terdalamnya, sang sutradara menggambarkan keputusasaan protagonis lewat satu shot yang amat ciamik berlatar kandang sapi. Menilik lebih jauh, adegan-adegan erotis di kandang sapi pula yang ia gunakan untuk menyatakan bahwa dalam hal seksualitas, manusia tak ada bedanya dari binatang. Seperti judul film saja yang luar biasa sarkas itu: Betina. Ah, Lola bisa saja! Referensi [1] Barbara Creed, The Monstrous Feminine: Films, Feminisme, and Psychoanalysis (London: Routledge, 1993) [2] Nancy Chodorow, dalam Rosemary Putnam Tong, Feminist Though: A More Comprehensive Introduction (St. Leonards NSW: Allen and Unwin, 1998] [3] Made Oka Negara. 2005. Mengurai Persoalan Kehidupan Seksual dan Reproduksi Perempuan. Dalam Jurnal Perempuan Vol 41. [4] Frederich Engels. 1884. The Origin of the Family, Private Poperty and State. Zurich: Marx/Engels Selected Works. Bisa diunduh di sini https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/origin_family.pdf [5] Windu Jusuf. 2011. Enter the Void: Kematian yang semakin Akrab. Diakses di http://cinemapoetica.com/enter-the-void-kematian-yang-semakin-akrab/pada tanggal 29 Februari 2016 Unsiyah Siti Marhamah (Mahasiswa Islam dan Kajian Gender, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga) [email protected] ![]() Kejadian 65’ sepertinya tak lekang oleh waktu untuk dibahas kembali baik dalam tataran akademis maupun sebagai cerita dalam wacana keseharian, termasuk novel dengan tema 65’. Peristiwa 65’ sungguh tragis, memakan jutaan orang, perlu dicatat mereka mempunyai nama. Sejarah yang menjadikan hitam dan putih bagi sebagian kalangan namun sangat meninggalkan luka pahit dan kesunyian bagi korban, keluarga korban dan bagi mereka yang menjunjung tinggi human rights. Saskia Melalui Novel The Crocodile Hole berusaha mengungkap kebenaran tragedi 1965 yang telah membuat perhatian dunia internasional sehingga muncul International People’s Tribunal (IPT) 1965. Dengan berbagai macam usaha akhirnya IPT 1965 telah mencapai puncaknya setelah setengah abad kejadian messacre ini berlalu. Penokohan pada novel ini berangkat dari cerita tentang identitas Tommy yang datang dari Belanda dan motif keberadaanya di Indonesia. Tommy adalah seorang narrator, investigator, sekaligus protagonis, meskipun disini ia bukan superior. Di tahun 1980, Tommy datang ke Indonesia untuk melakukan sebuah penelitian, tujuannya adalah untuk menulis beberapa artikel terkait sejarah di Indonesia terkhusus kasus 1965. Dalam perjalanan penelitiannya, ia banyak menemukan fakta-fakta yang ganjil dimana sejarah yang diketahui khalayak umum pada masa itu justru sama sekali bertentangan dengan apa yang diperolehnya dalam penelitian, terlebih menyoal Gerwani. Tommy adalah seorang peneliti yang mempunyai ambisi kuat untuk mengetahui bagaimana Gerwani apakah terlibat atau tidak dalam peristiwa 65’. Melalui bantuan beberapa orang Indonesia yang menemaninya saat berada di Indonesia, diantaranya Tante Sri, dia melakukan investigasi tentang peristiwa genosida terburuk pada masa itu dan perihal informasi atau stigma terhadap Gerwani. Tante Sri banyak menceritakan sejarah yang (di)rahasia(kan) di tahun yang disebut sebagai penindasan ideologi dan fantasi seksual, melalui informasi yang didapat dari orang-orang yang benar-benar mengalami masa kelam itu, sebut saja Galeng di penjara pada tahun 1965. Sempat beberapa tahun di penjara laki-laki sebelum akhirnya dipindahkan ke Pulau Buru. Pulau Buru adalah tentang kelaparan dan penyiksaan yang tak tertahankan. Tante Sri sempat ditangkap kemudian selama beberapa tahun ia mendapat pukulan dan hajaran. Tante Sri dan Galeng, mereka berdua adalah orang-orang yang membela Soekarno, yang ketika itu Soekarno masih menjadi presiden secara resmi. Mereka mencetak dan mendistribusikan pamflet yang berisi pembelaan terhadap orang-orang yang benar, hingga suatu ketika Soekarno direhabilitasi. Komisi Tante Sri berharap pembunuhan dan penyiksaan akan segera terhenti, dan akan terjadi gencatan, sehingga kehidupan akan berjalan kembali normal. Bukankah Soekarno selalu melindungi mereka? sayangnya, bintang itu telah pudar. Kisah-kisah di penjara-penjara telah diceritakan kepada Tommy. Galeng dan Tante Sri menyatakan kepadanya fakta-fakta secara singkat dengan kalimat yang ringan (Wieringa, 2015). Diceritakan juga mengenai kejadian-kejadian di dalam penjara yang horor melebihi rumah hantu. Mereka telah mencium bau yang sama, yaitu bau busuk yang mengerikan, mendengar bunyian kunci dan bergaung suara hentakan boots prajurit. Di tahun 1980, Tommy mencium kekejaman yang terjadi pada 15 tahun yang lalu. Tommy menghirup bau busuk dari pipa pembuangan air kotor di kamar mandinya. Lalu, membawanya pada lubang kecil di lantai dimana ia biasa menyelesaikan urusan-urusannya. Seperti ada aroma besi yang baunya menyengat? Membuat pingsan? Bekas lumuran darah di lantai? Luka bernanah? Ada yang menarik dari novel Saskia, ialah fakta yang disampaikan melalui karya sastra. Hal tersebut bisa dibuktikan melalui beberapa buku diantaranya Plantungan: Pembuangan Tapol Perempuan. Sumiyarsari menuliskan “Suasana penjara yang berada di Plantungan mengisahkan bagaimana para Tapol mereka telah kehilangan hak-hak asasinya, kemudian mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh, belum lagi mengalami pelecehan seksual. Apa yang dilakukan oleh para penjaga Tapol sungguh amoral, namun menutup-nutupinya dengan meningkatkan program-program keagamaan yang ada di sel tahanan agar terlihat menjunjung tinggi moral” (Sumiyarsi, 2010,:117). Selanjutnya, isi dari novel The Crocodile Hole menyoal pada masa orde baru, telah ditemukan organisasi perempuan sudah tidak sekuat organisasi senior mereka yaitu Gerwani. Seolah, organisasi perempuan yang ada telah dibatasi ruang geraknya, tidak lagi kritis dengan masalah-masalah politik, mereka cenderung dikotakkan dalam lingkup domestik semisal mendatangi pesta suami-suami mereka yang kala itu sebagai pejabat negara, kemudian perkumpulan ibu-ibu PKK dan arisan. Kesemuanya itu bagi Tommy sangat aneh, karena Gerwani yang dikenal sebagai organisasi perempuan yang diakui kuat secara internasional mengalami kemunduran dan kehilangan eksistensinya. Asumsi Tommy atas kejadian ini semua aialah adanya pengendalian organisasi perempuan oleh kekuasaan orde baru. Selain tentang Gerwani, novel ini juga menceritakan bagaimana ketidakterlibatan Gerwani dengan PKI. Meskipun anggota Gerwani adalah keluarga komunis, namun bukan menjadi alasan yang pasti bahwa anggota Gerwani juga PKI. Memang ada kecocokan antara ideologi Gerwani dan PKI, yaitu sama-sama memperjuangkan sosialisme. Artinya, menganggap bahwa perempuan bisa ke luar dari ranah domestiknya kemudian untuk mengekspresikan keinginan perempuan seperti misalnya masuk dalam anggota legislatif. Ketika itu beberapa pimpinan Gerwani menjadi anggota DPR, tujuan mereka adalah untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Dalam perjalanannya Gerwani ikut bagian dalam perjuangan politik PKI. Pada tahun 1961, hubungan antara Gerwani dan PKI dinyatakan secara terbuka hingga akhirnya salah seorang tokoh feminis pendiri Gerwis, yaitu S.K. Trimurti mengundurkan diri, karena diangkatnya tema-tema sosialis dan komunis (Hikmah, 2007:173), Sedangkan dalam novel The Crocodile Hole Tante Sri diceritakan sebagai salah satu informan Tommy yang selalu memberikan informasi atas apa yang dia butuhkan terkait Gerwani. Banyak anggapan bahwa Gerwani dituduh sebagai anggota PKI, namun faktanya sampai dengan dinyatakan organisasi terlarang, Gerwani masih belum secara resmi menjadi bagian dari organisasi perempuan PKI yang legal. Meskipun, sudah ada perencanaan untuk bergabung ketika terselengggara konferensi persiapan kongres V Desember 1965 (Hikmah, 2007:173). Hal senada juga dituliskan oleh Saskia bahwa meskipun kedekatan hubungan antara anggota Gerwani dan PKI, kemudian apa yang diusung oleh PKI sesuai dengan garis ideologi Gerwani, namun secara resmi Gerwani tidak pernah berafiliasi dengan PKI (Saskia, 1998.:23). Jadi bisa dikatakan secara ringkas bahwa hubungan Gerwani dan PKI adalah hubungan yang mendua dan rumit. Sedangkan keterlibatan Gerwani dalam peristiwa 65, berdasarkan kisah hidup Sulami, beliau mengatakan “Pada bulan September tahun 1965 itu, DPP masih sempat bersidang tiga kali. Sama sekali tak pernah membicarakan terjadinya G30S. Dengan demikian, tidak juga ada surat instruksi apapun ke daerah, misalnya instruksi mengikuti latihan sukawati untuk ikut serta dalam gerakan itu. Jadi, organisasi kami tak ada sangkut pautnya dengan G30S. Semua kegiatan waktu itu tertuju pada persiapan kongres. Pada tanggal 1 Oktober 1965 itu pun sepi, tidak ada orang lain kecuali saya bersama seorang aktivis bagian terjemahan dan dua orang supir, seorang pegawai Poliklinik Anak “Melati” milik DPP Gerwani, memang di hari-hari biasa kesibukan luar biasa karena panitia kongres ada disitu. Kami tahu kejadian itu pada jam enam, oleh salah seorang wakil DPP yang datang secara mengejutkan memberitahukan bahwa dini hari tadi telah terjadi penculikan dan pembunuhan atas beberapa anggota Dewan jenderal di lubang buaya, tempat latihan para sukawan pertahanan rakyat (Sulami, 1999: 2-3). Novel ini juga mengangkat tema seksualitas, dimana Tommy yang telah banyak diceritakan diatas, mempunyai hubungan asmara dengan seorang perempuan bernama Dede. Hubungan mereka tak banyak diketahui namun bagi orang-orang yang dekat dengannya mengetahui hal demikian. Mereka cenderung menyetujuinya. Disinilah terdapat pesan dibalik novel yang banyak menceritakan mengenai kebenaran sejarah juga mengambil langkah untuk mengangkat hal yang tabu seperti masalah seksualitas. Namun, itu adalah dahulu, kini para penulis bebas berekspresi menuliskan apa yang ingin mereka tulis. Novel The Crocodile Hole berdasarkan riset ilmiah Prof. Saskia E Wieringa di tahun 1980-an mengenai kekerasan yang dialami perempuan-perempuan Gerwani. Hasil penelitian ini pun sudah dibukukan dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Sudah selayaknya dibaca sebagai pengetahuan kebenaran sejarah agar masyarakat mampu mengambil pelajaran dari masa lalu yang sangat kelam. selain itu sastra digunakan sebagai salah satu medium untuk mencapai kebenaran. Seperti halnya yang dikatakan bahwa : “Sastra adalah jalan keempat ke kebenaran... setelah jalan agama, jalan filsafat dan jalan ilmu pengetahuan.” (Andries Teeuw) Tak ayal lagi pembelajaran atas kejadian massacre yang luar biasa, yang tak kalah penting adalah pelurusan sejarah bahwa fitnah yang ditujukan kepada anggota Gerwani adalah murni rekayasa kepemimpinan Soeharto kala itu. Gerwani sebelum 65 dikenal sebagai gerakan perempuan yang sangat kuat, pro terhadap perjuangan perempuan dan politis sehingga dikhawatirkan akan mengganggu ketertiban negara. Keinginan pemimpin diktator untuk menguasai Indonesia secara keseluruhan mengundangnya untuk melakukan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Untuk itu gerwani telah mencapai kehancuran baik dari segi ideologi maupun politiknya pasca genosida pada 30 September 1965. Berdasarkan data forensik terbaru kejadian 65 yang telah menghabiskan nyawa lebih dari tiga juta orang, kemudian ratusan ribu terluka baik secara psikis maupun fisik. Semoga sejarah tidak berulang, Allohuma firlahum. Daftar Pustaka : Wieringa, Saskia E. 2015. The Crocodile Hole. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , 1998. Kuntilanak Wangi: Organisasi-organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950. Jakarta : Kalyana Mitra. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , 2010. Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia. Yogyakarta : Galang Press. Sumiyarsi Siwirini C. 2010. Plantungan: Pembuangan Tapol Perempuan. Yogyakarta : Pusdep Universitas Sanata Dharma. Hikmah Diniah. 2007. Gerwani bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia. Yogyakarta : CarasvatiBooks. Sulami. 1999. Kisah nyata wanita di penjara 20 tahun karena tuduhan makar dan subversi, perempuan, kebenaran dan penjara. Jakarta : Cipta lestrari. Majalah BHINNEKA. 2015. Surabaya : Yayasan Bhinneka Nusantara. ![]() Isu gender, ekologi dan kemiskinan tidak dapat dilihat secara terpisah di era yang sudah menjelang posmodern ini. Kompleksitas permasalahan yang terjadi di Indonesia hari ini tidak dapat memaksa kita untuk menutup mata atas ketidakadilan terhadap perempuan, atas eksploitasi sumber alam dan situasi kemiskinan yang melanda wilayah-wilayah, dari pelosok desa hingga perkotaan. Perjuangan Kartini di masa lalu sudah semestinya dilanjutkan, untuk membebaskan belenggu kebodohan, untuk keluar dari lingkar kemiskinan, dan untuk keberlangsungan ekologi dan generasi. Berbicara tentang isu perempuan, terutama perempuan pedesaan, tidak terlepas dari isu lingkungan dan isu kemiskinan. Masih hangat dalam ingatan kita tentang perjuangan sembilan perempuan asal Rembang, Jawa Tengah, yang membekam kaki mereka dengan semen. Sembilan perempuan tersebut adalah korban eksploitasi lingkungan yang terjadi di wilayah mereka, pegunungan Kendeng. Mereka yang hidup miskin (dimiskinkan) dan menjadi penonton atas eksploitasi di tanah mereka sendiri. Wajar jika mereka ingin lepas dari jerat yang menghancurkan alam yang menjadi sumber bagi hidup mereka. Apa yang bisa mereka lakukan? Demo di depan istana, menyemen kaki mereka, pertanda protes, berharap suara mereka di dengar. Keputusan tetap berasal dari atas. Perempuan di Indonesia sudah sejak lama ditindas oleh kebijakan-kebijakan yang tidak memihak. Eksploitasi alam adalah salah satunya, lewat pembangunan perusahaan-perusahaan secara masif yang kian menggusur kebudayaan asli—notabenenya identik dengan perempuan. Alam memiliki hubungan erat dengan perempuan, banyak kebudayaan nusantara yang menunjukkan bahwa perempuan menjaga alam bak menjaga anak mereka sendiri, seperti pada kebudayaan Dayak di Kalimantan Barat. Perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam, ekofeminis berpendapat ada hubungan kenseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi (Tong 1998, h.359). Sembilan perempuan Rembang menyuarakan pembebasan alam tempat mereka bernaung, mencari makan dan melahirkan, membangun generasi-generasi penerus bangsa. Rembang merupakan tempat R.A. Kartini mengembuskan napas terakhir, tidak ada salahnya sembilan Srikandi dari Rembang itu disebut sebagai Kartini masa kini. Kegigihan dan keberanian mereka untuk membela kaumnya yang tak berdaya akibat tangan-tangan penguasa; patriarki. Pergolakan emansipasi era kini tidak hanya dapat dilakukan dengan berdemo, berjemur di tengah terik matahari; melainkan melalui tulisan-tulisan bagi kaum tertindas dan tak berdaya. Namun bagaimana mereka dapat menulis jika pendidikan saja mereka tidak punya. Banyak kartini-kartini di Kalimantan yang hanya bisa terdiam bisu karena ketidakberdayaan. Sawah dan ladang mereka dijadikan lahan sawit, hutan mereka dijadikan lahan sawit dan lahan tambang. Environmentalis yang berorientasi manusia menekankan bahwa kita akan membahayakan diri kita sendiri jika kita membahayakan lingkungan. Dalam esainya yang secara luas dimuat dalam berbagai antologi, “The Land Ethic”, Aldo Leopold menulis bahwa kita harus memikirkan alam sebagai “mata air energi yang mengalir melalui siklus tanah, tumbuhan, dan binatang” (Tong 1998, h. 363). Leopold percaya bahwa bumi adalah suatu sistem kehidupan, suatu persimpangan elemen yang saling berkait dan saling bergantung dengan sangat rumit, yang berfungsi sebagai keseluruhan organisme, jika terdapat satu elemen saja yang sakit maka keseluruhan sistem akan sakit juga, dan satu-satunya cara untuk mengobatinya adalah dengan merawat dan menyembuhkan bagian yang sakit. Tangan-tangan lembut perempuan merupakan tangan penjaga dan perawat alam yang paling magis. Oleh karena itu isu ekologi dan isu perempuan tidak dapat dipandang sebagai suatu masalah yang terpisah. Tangan-tangan ganas penguasa menjadikan hutan tempat satwa bernaung menjadi lahan produktif perkebunan sawit di berbagai daerah di Kalimantan dan Sumatra. Lewat campur tangan penguasa jugalah lahan pertanian Rembang rata menjadi pabrik pengolahan semen. Lalu dimana lagi perempuan-perempuan miskin mencari makan untuk menghidupi anak-anak mereka, jika tanah mereka telah di rampas.
Pandangan ekofeminisme merupakan varian yang relatif baru dari etika ekologis, istilah ekofeminisme sendiri muncul pertama kali pada tahun 1974 dalam buku Françoise d’Eaubonne yang berjudul Le Féminisme ou la mort. Dalam buku ini diungkapkan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam (Tong 1998, h. 366). Perusakan alam sama dengan kekerasan terhadap perempuan, terdapat kaitan erat antara pemenuhan kebutuhan (ekonomi) dengan rusaknya lingkungan. Lebih dari sebagian penduduk Indonesia menggantungkan hidup pada alam. Jika alam rusak dan sumber pangan tidak lagi menjangkau rakyat kecil maka tidak menutup kemungkinan bencana kelaparan akan mewabah di pelosok-pelosok negeri. Pada sejarah masa lalu, R.A. Kartini juga mengalami konflik batin dan ketakutan di awal, hingga akhirnya tumbuh tekad dan keberanian untuk merampas kemerdekaan kaumnya (perempuan—Jawa) yang pada waktu itu dikekang dan dibatasi untuk menimba ilmu, bahwasanya perempuan hanya menunggu dipinang dan dimadu saja. Perlawanan Kartini melalui surat-suratnya yang dibukukan berjudul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya" tahun 1911, Kartini berbicara tentang kondisi perempuan pribumi, dan juga kondisi sosial yang terjadi saat itu, di mana perempuan benar-benar termarginalkan. Pada tahun 1922, buku itu terbit dalam versi bahasa melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, dan pada tahun 1938 menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang yang ditulis versi Armijn Pane. Pemikiran Kartini mengubah maindset orang-orang Belanda zaman itu terhadap perempuan Jawa. Perhatiannya terhadap status perempuan di Indonesia juga menjadi perhatian bagi negara-negara luar. Sejarah pergerakan Kartini melalui tulisan ini patut kita lanjutkan dalam generasi sekarang dan generasi ke depan. Bukti perjuangan Kartini-Kartini dari berbagai daerah patut kita apresiasi dan dukung, seperti Mama Aleta Ba’un (Mama=sebutan untuk ibu) dan yang baru-baru ini sembilan Srikandi Rembang. Jika perempuan dapat melahirkan generasi-generasi baru, tanah tidak akan dapat melahirkan tanah, lalu ke mana generasi-generasi itu akan tinggal? Berbagai eksploitasi terjadi di depan mata kita; mulai dari eksploitasi alam dan perusakan lingkungan hingga kepada eksploitasi manusia dan berbagai kekerasan sebagai akibat dari situasi politik. Arus globalisasi sudah merambah dan cukup mengusik kehidupan tenteram di pedesaan, bahkan mungkin “desaku yang indah dan asri” akan menjadi kenangan masa lalu bagi negeri ini, ketika yang berdiri pabrik-pabrik, yang berkicau burung-burung raksasa dan alam tinggal menangis. “Karena kita tidak bergembira bukan karena memotong padi; kita bergembira karena memotong padi yang kita tanam sendiri”—Multatuli. Witriyatul Jauhariyah (Mahasiswi Jurusan Islam dan Kajian Gender Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga) [email protected] ![]() Einer Wegener dan Gerda Wegener adalah sepasang seniman (pelukis) dan ilustrator terkenal di Kopenhagen Denmark. Karyanya memukau banyak orang sebab menyuguhkan lukisan yang membawa imajinasi ke dalam dunia nyata. Pernikahan mereka sangat bahagia sebab mereka saling mendukung dalam karier masing-masing. Kehidupan yang mereka jalani pada awalnya berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Hingga pada suatu hari Gerda melukis dengan tema “Portraits of Lili” (seorang penari balet yang ia beri nama Lili). Karya Gerda ini mendapat respons positif dari masyarakat Copenhagen pada tahun 1920-an. Ketika temannya yang berprofesi sebagai penari balet (Ulla Paulson/Amber Heard) tidak dapat berpose menjadi modelnya, Gerda meminta bantuan Einer untuk berperan sebagai Lili dan mengenakan baju balet lengkap dengan atribut serta makeup-nya untuk menyempurnakan lukisannya itu. Einer setuju dengan permintaan istrinya, ia mencoba menjadi seorang wanita penari balet hingga akhirnya ia merasa nyaman dengan menjadi seorang perempuan. Di situlah awal munculnya daya tarik Einer terhadap perempuan, ketika berperan sebagai Lili ia merasa menjadi diri yang sesungguhnya, ia menyadari sisi feminin dalam dirinya. Berpenampilan sebagai seorang perempuan menjadikan dirinya bebas dan merasa menikmati kehidupan yang ia impikan selama ini. Krisis identitas dalam diri Einer menghadirkan gejolak dalam pernikahan Gerda. Rasa haru tak terbendung ketika Gerda memberi kebebasan kepada Einer menikmati perannya sebagai seorang perempuan, walaupun dalam hati kecilnya ia kecewa dan ingin suaminya kembali menjadi Einer seorang pria sejati. Rasa cinta yang dimiliki Gerda mengalahkan egoismenya dan rela melepaskan Einer menjadi perempuan seutuhnya demi kebahagiaan pasangannya. Einer kemudian melakukan operasi pergantian kelamin tetapi operasi tersebut gagal karena infeksi menyerang tubuhnya, dia mati dengan bahagia karena berhasil bermetamorfosisis menjadi seorang perempuan seutuhnya. Operasi yang dilakukan Einer ini adalah operasi pergantian kelamin pertama yang dilakukan di dunia. Film ini diperankan oleh pemenang Academy Award Eddie Redmayne (Einer Wegener/Lili Elbe) dan Alicia Vikander (Gerda Wegener) dan disutradarai oleh Toom Hooper serta dirilis pada 27 September 2015. Film ini berangkat dari kisah nyata hasil adaptasi novel yang diambil dari buku harian yang ditulis Lili Elbe kemudian diterbitkan pada tahun 1933 dengan judul Man Into Woman. Novel ini menceritakan tentang perempuan transgender (Lili) dalam memperjuangkan identitas gendernya. Keberanian dan semangatnya menjadi inspirasi bagi para transgender dan komunitas pergerakan transgender di seluruh dunia sampai saat ini. Kasus yang terjadi pada Einer (Lili) merupakan salah satu bentuk dari ragam variasi seksualitas. Seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang hidupnya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi (WHO,2002). Seksualitas menyangkut banyak aspek kehidupan dan diekspresikan dalam bentuk perilaku yang beraneka ragam. Seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang mengalami, menghayati dan mengekspresikan diri sebagai makhluk seksual. Maka tidak ada istilah normal atau abnormal dalam perspektif seksualitas. Seksualitas berbeda dengan seks, ia merupakan sesuatu yang kompleks dan sensitif. Ruang lingkupnya lebih luas, meliputi perilaku, sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan norma serta orientasi. Sifatnya yang sensitif karena menyangkut hal yang pribadi, sementara kompleksitasnya meliputi aspek kehidupan seperti keluarga, agama, pendidikan, gender, hukum dan lain-lain. Jika menggunakan kacamata Judith Butler (Teori Queer) dalam kasus Einer, maka hal ini lazim terjadi. Sebab menurut Butler baik seks, gender, maupun orientasi seksual adalah sesuatu yang sifatnya cair (fuid), tidak alamiah, dan berubah-ubah. Oleh karena itu, kasus transgender bukanlah suatu penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas manusia yang didasarkan atas tindakan performatif (Butler 1990, h. 96). Dalam teori performativitas, gender adalah drag (sebuah pertunjukan), dimana mereka mencoba mempertunjukkan agar terlihat seperti laki-laki atau perempuan (yang secara anatomis berbeda dengan dirinya). Pertunjukan itu mereka ulang-ulang, sederhananya jika seseorang ingin dikatakan sebagai laki-laki maka harus mempraktikkan ekspresi maskulin, jika tidak maka ia dikatakan bukan laki-laki. Padahal perilaku maskulin tidak selalu diasosiasikan dengan identitas laki-laki. Lebih jauh Butler berpendapat bahwa tidak ada identitas gender dibalik ekspresi gender, identitas gender terbentuk melalui pengulangan ekspresi gender sehingga hasilnya terlihat seperti asli (Butler seperti dikutip Hendri Yulius dalam Jurnal Perempuan 87 Vol. 20 N0. 4 Nov 2015, h. 130). Senada dengan Butler, Suryakusuma (seperti dikutip Hendri Yulius dalam Jurnal Perempuan 87 Vol. 20 N0. 4 Nov 2015, h. 123) dalam esainya “Konstruksi Sosial Seksualitas: Sebuah Pengantar Teoritis” memetakan studi seksualitas dalam dua pendekatan umum, yaitu esensialis dan non esensialis. Pendekatan esensialis melihat bahwa seksualitas manusia adalah sesuatu yang bersifat ahistoris, alamiah, tidak dapat berubah (externally unchanging), asosial, dan merupakan bawaan sejak lahir (given). Pendekatan ini banyak diadopsi oleh ilmu kedokteran, psikologi dan psikiatri. Maka tak heran jika transgender atau transeksual, diidentifikasi sebagai sebuah penyimpangan atau deviasi sosial dan penyakit. Sementara pendekatan non esensialis melihat bahwa subjek merupakan produk dari konstruksi sosial yang kompleks, karenanya ia tak dapat direduksi ke dalam satu kategori monolitik ilmiah. Pendapat ini dipengaruhi oleh aliran antropologi strukturalis, psikoanalisis dan marxisme, karenanya kasus yang terjadi pada transgender atau transeksual tidak dianggap sebagai penyimpangan. Mereka berkesimpulan bahwa seksualitas tidak terlepas dari konstruksi sosial. Untuk itu studi seksualitas adalah bagian dari ilmu sosial sekalipun masih merupakan sesuatu yang asing. Sementara Michael Foucault (filsuf yang mempunyai kontribusi besar dalam kajian seksualitas) berpendapat bahwa seksualitas merupakan produk wacana yang diciptakan oleh kuasa tertentu (power-knowledge relations), ia telah melepaskan seksualitas dari determinisme biologis. Apa yang dianggap normal dan abnormal saat ini merupakan produk dari praktif diskursif yang diciptakan oleh kekuasaan. Sebagai contohnya, konsep ketabuan dan abnormalitas selalu berubah-ubah. Artinya bisa jadi transgender dikeluarkan dari kategori gangguan jiwa. Baginya, setiap orang dilahirkan sebagai biseksual. Pendidikan seksual dan lingkungannya akan membentuk mereka menjadi heteroseksual, homoseksual atau biseksual. Maka dalam hal ini, yang disebut sebagai heteroseksual bukanlah manipulasi gen, akan tetapi akibat dari proses sejarah dan kebudayaan. Melihat kasus Einer Wegener (Lili Elbe) jika dianalisis menggunakan kacamata Foucault, maka Einer adalah korban dari produk wacana yang diciptakan oleh kuasa tertentu. Laki-laki diidentikkan dengan ekspresi maskulin sementara perempuan diidentikkan dengan ekspresi feminin. Di luar kategori itu maka dianggap sebagai suatu penyimpangan atau dalam bahasa psikologi adalah gangguan kejiwaan. Oleh kerana itu harus direhabilitasi agar kembali normal. Padahal menurut Butler, laki-laki tidak harus berekspresi maskulin, ia bebas berekspresi maskulin dan feminin sebab ekspresi gender adalah konstruksi sosial yang sifatnya relatif dan berubah-ubah. Bisa jadi seorang laki-laki menggunakan busana apapun sesuai dengan keinginannya tanpa mempertimbangkan jenis kelaminnya. Begitu pula dengan perilaku seksualnya, ia bebas memilih pasangannya apakah sesama jenis atau berbeda. Maka dalam kategori ini, tidak ada yang disebut sebagai homoseksual atau heteroseksual. Film ini bergenre biografi dikemas dalam kisah drama yang apik dan menarik, serta alurnya mudah dipahami. Film ini juga menyedot perhatian dunia sebab mengusung misi khusus yaitu isu gender dan menggunakan media untuk berbicara tentang hak asasi manusia. Di sisi lain pemeran utama dalam film ini menyajikan kompleksitas emosi yang menyiksa secara menawan, sehingga memberi sentuhan performa yang cantik dan sayang untuk dilewatkan. Selamat Menikmati Perbedaan! ![]() Pada mulanya membaca Lelaki Harimau, novel karya Eka Kurniawan, saya tidak mempunyai ekspektasi apapun. Pengetahuan saya tentang penulis pun tidaklah terlalu banyak—saya tahu gaya tulisannya surealis itu saja. Namun dari obrolan yang sering muncul dengan kawan-kawan penikmat sastra, Eka Kurniawan adalah sedikit dari novelis laki-laki yang berkualitas. Sapardi Djoko Damono misalnya menilai tidak ada novelis laki-laki Indonesia sebaik Pramoedya Ananta Toer. Maka membaca novel ini lebih kepada memuaskan hasrat penasaran saya terhadap karya yang menjadi perbincangan khalayak ramai mengingat beberapa waktu lalu masuk nominasi Bookman Prize. Pada bagian awal terasa alur penceritaan yang lambat. Eka Kurniawan bertutur secara perlahan dengan kalimat-kalimat yang panjang. Diksi yang dia pakai tidaklah rumit, kata yang muncul terdengar sederhana, apa adanya mudah dipahami. Misalnya ketika Eka Kurniawan mengeksplorasi seksualitas—adegan persetubuhan—dia memilih kata “menungging” dan “menyodok”. 'Di sana Nuraeni menungging, serupa kuda, dan Komar bin Syueb menyodok dari belakangnya' (h.70). Tanpa mempertontonkan kecanggihan metafora, diksi Eka tetap renyah. Malahan gaya tuturnya yang tidak rumit menjadikan setiap detail cerita (ter)baca dengan jelas. Meskipun demikian dia bercerita secara runut, fokus pada karakter yang hendak dia ceritakan. Pembaca akan dibawa menyelami masing-masing karakter yang muncul dalam setiap babak cerita. Tidak ada tokoh yang muncul dalam novel ini secara tiba-tiba tanpa diketahui jalinan hubungan antar tokoh. Semua tokoh memiliki peran dalam membangun cerita utuh Lelaki Harimau. Perempuan-perempuan Korban Monster Patriarki Tema besar dalam Lelaki Harimau adalah dendam dan amarah, selayaknya harimau kelaparan yang siap menerkam mangsanya, begitu kira-kira kesan awal ketika membaca beberapa ulasan dan tanggapan tentang novel ini. Saya pribadi mempunyai persepsi yang berbeda setelah merampungkan novel ini dua kali. Setidaknya kepekaan saya terhadap isu perempuan membawa saya untuk mendalami narasi perempuan yang terkandung dalam Lelaki Harimau. Memang dengan judul dan tokoh utamanya Margio—satu dari sekian karakter laki-laki, novel ini terasa aroma maskulinitas yang menyengat—Eka Kurniawan pun, penulis adalah laki-laki. Lalu bagaimana narasi perempuan dalam novel ini? Tentunya menarik untuk dilihat lebih mendalam. Setidaknya saya telah menghitung tokoh perempuan dalam Lelaki Harimau berjumlah 7. Tujuh perempuan tersebut mengelompok dalam 2 keluarga besar. Nuraeni, Mameh, dan Marian ada dalam keluarga Komar bin Syueb—ayah dari Margio, tokoh utama. Sementara lainnya, Kasia, Laela, Maesa Dewi, dan Maharani merupakan istri dan anak-anak dari Anwar Sadat. Dalam cerita utuhnya keluarga Komar bin Syueb dan Anwar Sadat terlibat dalam konflik yang rumit. Kedua keluarga dari kasta yang berbeda ini dipertemukan dalam kondisi yang menyenangkan namun berakhir dalam sebuah tragedi. Nuraeni, ibu dari Margio adalah istri yang dinikahi Komar bin Syueb. Pria ini adalah laki-laki desa yang gagal dalam perantauan lalu kembali ke desa dan kemudian menikah. Lewat perjodohan—gaya menikah dalam tradisi lama yang sebenarnya masih bisa dijumpai saat ini—Syueb menikahi Nuraeni. Kehidupan rumah tangga yang dialami Nuraeni pasca menikah dengan Komar bin Syueb tidak berjalan membahagiakan. Lelaki dengan penghasilan pas-pasan—hanya tukang cukur pinggiran—tidak bisa diharapkan Nuraeni mampu membahagiakannya. Setidaknya masalah ekonomi dan tabiat Komar yang tidak menjadi suami yang baik membawa petaka yang berkepanjangan. Kemiskinan struktural biasanya memang membawa dampak dalam kehidupan rumah tangga. Nuraeni kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Perlakuan kasar yang diterimanya semakin menjadi-jadi karena Nuraeni kerap melawan. Perlawanan dari perempuan yang tidak sepenuhnya merdeka sejak pertama kali memutuskan menikah.
Sementara Kasia, perempuan dari hartawan desa yang mempunyai warisan tanah yang luas dipersunting Anwar Sadat. Pelukis yang terobsesi dengan Raden Saleh dan memiliki karya-karya patung yang murahan. Menikahi Kasia karena hartanya dan kemudian dia pensiun sebagai seniman amatiran. Nasib Kasia agaknya sedikit beruntung dari Nuraeni. Dirinya tidak menerima perlakuan kasar suaminya. Namun kelakuan suaminya tidak kalah menjijikkan dari Komar bin Syueb. Anwar Sadat adalah tipikal lelaki ongkang-ongkangan, main serong dan merendahkan perempuan.
Baik Nuraeni maupun Kasia sama-sama menjadi korban dari lelaki yang tidak lebih adalah parasit dalam rumah tangganya. Keduanya menjalankan kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia yang membuat mereka beradaptasi dan akhirnya masing-masing memiliki mekanisme bertahan yang tangguh. Nuraeni sudah mempan dengan perilaku berangasan dan kasar suaminya. Nuraeni menciptakan dunianya sendiri dan melupakan suami yang kerjanya hanya muntap seisi rumah. Dia sering mengobrol di dapur bersama temannya, panci, yang membuatnya sering dinilai sinting, pun oleh anak-anaknya. Sementara Kasia yang harus menerima kenyataan suaminya tukang main perempuan punya penilain sendiri terhadap rumah tangganya. Tidak penting seberapa banyak Anwar Sadat meniduri perempuan, asalkan tidak beranak pinak dengan pelampias nafsunya. Sikap ini mungkin dilatarbelakangi oleh Kasia yang merupakan perempuan mandiri. Profesi bidan desa yang telah dijalaninya bertahun-tahun membuatnya terlalu remeh mengurusi perilaku miring suaminya. Terlebih dia mandiri secara ekonomi, sementara Anwar Sadat hanya seniman gagal yang tidak bisa dibanggakan. Dengan demikian pengalaman Nuraeni dan Kasia tidak lagi sekadar fiksi, namun juga mewujud dalam fakta sosial yang dekat. Ada banyak Nuraeni dan Kasia di luar Lelaki Harimau. Mereka, perempuan rumah tangga, terdomestikasi, korban KDRT. Ataupun Kasia, perempuan berkarier mapan namun mempertahankan rumah tangganya yang kacau, mengalah pada laki-laki sundal. Pengalaman Nuraeni dan Kasia lekat dengan isu-isu perempuan, dulu dan sekarang. Isu-isu Perempuan dalam Lelaki Harimau Dengan menjajarkan dua tokoh perempuan yang mendapat sorotan utama dalam narasi Lelaki Harimau, Nuraeni dan Kasia, novel ini menjejalkan beberapa tema kunci dalam isu-isu perempuan. Memang isu-isu perempuan yang muncul begitu kasar. Jika pembaca tidak peka dan dekat dengan isu feminisme, cerita Nuraeni dan Kasia terasa banal. Sekadar bumbu drama–kisah kehidupan tragis rumah tangga—yang mengalir mengantarkan kisah Margio, si Lelaki Harimau memangsa korbannya. Bagi saya tokoh utama dalam novel ini adalah Nuraeni dan Kasia, dua perempuan yang dinarasikan sebagai korban lelaki parasit dan sundal. Lewat tokoh Nuraeni selain isu KDRT juga tentang pernikahan anak. Komar bin Syuaeb yang kala itu hampir berusia 30 tahun menikahi Nuraeni di usia 16 tahun. Laiknya tradisi yang masih berlangsung dari dulu sampai sekarang, Nuraeni terjerumus dalam pernikahan anak melalui mekanisme perjodohan–tentang pernikahan anak bisa dilihat dalam edisi terakhir Jurnal Perempuan. Faktor penyebab terjadinya pernikahan anak salah satunya adalah kemiskinan, narasi yang dilakoni Nuraeni. Petaka pernikahan anak selalu berlanjut dalam episode kekerasan dalam rumah tangga. Kemiskinan dan pernikahan anak menjadi variabel jitu yang melahirkan kekerasan dan kehidupan rumah tangga neraka. Kekerasan dalam rumah tangga banyak rupanya, salah satunya adalah marital rape, atau pemerkosaan dalam rumah tangga juga menu utama yang menjadi turunan KDRT. Sebagaimana yang dialami Nuraeni berikut ini.
Kisah Nuraeni juga menuturkan bahwa keluar dari wilayah domestik tidak selamanya membuat perempuan merdeka. Keluar dari jerat Komar bin Syuaeb, Nuraeni bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pikirnya selain menghindari neraka di rumah, dia mencari penghiburan sekaligus menjadi mandiri. Namun Nuraeni harus mengalami pelecehan seksual disaat dirinya terbebas dari wilayah domestik.
Pelecehan seksual yang dialami Nuraeni relevan dengan teori patriarki yang disampaikan Sylvia Walby dalam Theorizing Patriarchy. Anggapan bahwa dengan keluar dari wilayah domestik dan beralih ke ruang publik perempuan akan terbebas dari opresi patriarki tidak sepenuhnya benar. Di ruang publik monster patriarki berubah bentuk, bukan lagi suami atau laki-laki dalam keluarga, tapi majikan ataupun atasan bisa lebih kejam mengeksploitasi perempuan. Persis yang menimpa Nuraeni, perlakuan Anwar Sadat majikannya tidak lebih dari monster patriarki yang malih wujud. Sementara itu Kasia tidak banyak membawa isu perempuan yang diceritakan. Yang menonjol dari sosok Kasia adalah sosok perempuan mandiri, mapan secara finansial, yang mempertahankan pernikahannya. Isu perselingkuhan mewarnai kehidupan rumah tangga Kasia, yang ditutupinya bertahun-tahun. Pengorbanan yang harus ditanggungnya atas nama rumah tangga. Epilog: Monster Patriarki Bernasib Tragis Perempuan-perempuan dalam Lelaki Harimau adalah perempuan-perempuan yang ditindas, perempuan-perempuan yang dikalahkan, dan perempuan-perempuan yang dinistakan. Mereka adalah korban dari monster patriarki yang kasat mata. Monster patriarki itu adalah suami yang melakukan kekerasan terhadap istri, atau ayah yang mencabuli anak, atau pun majikan yang melecehkan bawahannya secara seksual. Permasalahan yang selama ini menjadi isu advokasi perempuan terwakili dalam kisah perempuan-perempuan Lelaki Harimau. Jelas dan bernas! Meskipun diawali dengan kekalahan dan ketertindasan, perempuan-perempuan ini beroleh kemenangan yang tampaknya diberikan karena keberpihakan penulis. Komar bin Syueb, suami ongkang-ongkangan yang ringan tangannya membuat Nuraeni menanggung memar lahir batin akhirnya mati, sekarat dengan dosa-dosanya. Sampai-sampai mayatnya ditolak lubang makamnya sendiri. Sementara Anwar Sadat, lelaki cabul tukang serong, tidak lebih baik, malahan lebih nahas. Kematiannya dinistakan sedemikian rupa. Kepalanya terputus dari badannya, diterkam macan ngamuk. Kematiannya dirayakan dengan kubangan darah yang menggenapi kengerian nasibnya. Baik Nuraeni dan Kasia, sama-sama dingin menanggapi kematian dua monster ini. Demikian fiksi yang dinarasikan Eka Kurniawan dalam tuturan yang mengalir pelan namun pasti mengarah pada nasib tragis. Mungkin saja secara adaptif Eka Kurniawan mencuplik isu-isu perempuan lalu mengemasnya dalam bumbu dendam Lelaki Harimau. Tampaknya Eka Kurniawan secara tidak langsung melahirkan mitos baru. Monster Patriarki bernasib tragis. Hantu Anwar Sadat dan Komar bin Syueb akan membayangi siapapun (monster) patriarki. Jangan coba-coba menjadi Anwar Sadat ataupun Komar bin Syueb! Petuah yang tidak bertele-tele, mengerikan! Atem Kornadi (Departemen Sosiologi Pascasarjana FISIP, Universitas Padjajaran Bandung) [email protected] ![]() Abstrak Dramatisasi perjuangan perempuan dan anak guna memperoleh keadilan dalam berbagai aspek kehidupan berlangsung sangat alot dan berliku. Isu Kekerasan seksual yang sedang marak diperbincangkan di Indonesia saat ini telah menempatkan perempuan dan anak sebagai korban dalam rentang masa yang sangat lama dan cenderung menjadikan mereka sebagai pihak yang selalu disalahkan. Negara masih tampak merangkak dalam menyelenggarakan upaya perlindungan dan belum mampu menjamin seutuhnya keamanan perempuan dan anak, begitu juga produk hukum yang ada saat ini belum bisa menjawab kegelisahan mereka. Terdapat ketimpangan-ketimpangan dalam menyikapi permasalahan kekerasan seksual, hal itu tidak terlepas dari nilai budaya patriarki yang membentuk hierarki kekuasaan laki-laki dengan memosisikan perempuan dalam relasi yang berhak dikuasai termasuk dalam hal seksualitasnya dan akan menyebar ke dalam relasi kekuasaan yang lebih luas seperti dalam lingkup keluarga hingga negara. Tulisan ini mencoba menganalisis kompleksitas permasalahan dalam menyikapi kekerasan seksual yang menjerat perempuan dan anak-anak melalui gagasan secara deskriptif dengan berbagai tinjauan. Kata Kunci: Kekerasan seksual, Perempuan dan anak, Perlindungan, Hukum Pendahuluan Negara merupakan sebuah asosiasi yang direfleksikan melalui otoritas kekuasan suatu kepemimpinan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan badan-badan kelengkapan negara lainnya yang secara hukum maupun moral berkewajiban melakukan tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan negara. Berkenaan dengan itu negara harus mampu menciptakan Kehidupan rakyat yang damai, sejahtera dan memberikan perlindungan dari tindakan ataupun upaya-upaya yang dapat mengancam keselamatan bagi setiap warganya, tanpa terkecuali juga berlaku bagi anak-anak. Negara yang diwakili oleh pemerintah sebagai perangkat primer dalam penyelenggaraannya harus mampu mencegah, menekan bahkan menghapuskan setiap tindakan-tindakan yang dapat mengancam keselamatan anak baik secara fisik maupun psikis. Sebagai negara yang telah berkomitmen dalam deklarasi A world fit for Children (WFC) pada 27th United Nation General Assembly Special Session on Children pada tahun 2001, berarti pemerintah Indonesia telah menyatakan diri bahwa negara siap mengupayakan dan melaksanakan program-program yang memiliki tujuan utama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan yang dapat menghancurkan kehidupan anak. Seperti yang terkandung dalam bidang-bidang yang menjadi perhatian khusus dalam deklarasi tersebut yang meliputi 4 pokok seperti, promosi hidup sehat, (promoting healthy lives), penyediaan pendidikan yang berkualitas (providing quality education), perlindungan terhadap pelecehan, eksploitasi dan kekerasan (protecting against abuse, exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/AIDS (combating HIV/AIDS).[1] Bentuk-Bentuk kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia sangat beragam, mulai dari penyiksaan, eksploitasi hingga kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual terhadap anak memang tengah menjadi sorotan di Indonesia, meski kasusnya bukanlah yang tertinggi dibanding beberapa negara-negara lain. Akan tetapi bentuk kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia merupakan fenomena gunung es, banyak kasus-kasus yang tidak muncul ke permukaan, ini bisa saja dikarenakan ada kaitannya dengan kondisi sosial budaya masyarakat, yang menganggap kejahatan seksual sebagai aib keluarga dan tidak perlu diungkapkan kepada siapapun termasuk melaporkannya kepada yang berwenang. Pandangan dari perspektif lainnya belum ada kejelasan hukum yang secara tegas mendeklarasikan perlindungan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Selama ini kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa anak masih ditangani di bawah dasar hukum perlindungan perempuan dan anak dan tidak spesifik pada kasus kekerasan seksual. Hal ini memperlihatkan bahwa negara masih mengesampingkan perhatiannya dalam menanggulangi anak-anak korban kekerasan seksual. Payung hukum yang selama ini digunakan untuk mengatasi masalah kejahatan anak masih sangat minim, misalnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, muncul sebagai buah hasil dari reaksi masyarakat yang menyoroti maraknya tindakan kejahatan anak yang terjadi pada tahun 2000-an. Akan tetapi setelah terbitnya undang-undang tersebut kejahatan terhadap anak tidak berhenti begitu saja bahkan cenderung meningkat dan lebih mengarah pada tindakan-tindakan kejahatan seksual, dan belum ada aturan yang spesifik menangani hal tersebut. Tindakan-tindakan kejahatan seksual pada anak seiring waktu seolah tiada berhenti, misalnya kasus yang terjadi pada tahun 2014 yang membuat gempar masyarakat Indonesia yakni adanya tindak kejahatan seksual pada murid yang terjadi di Jakarta International School (JIS) yang dilakukan oleh beberapa petugas kebersihan bahkan menyeret guru berkebangsaan Kanada yang diduga juga turut terlibat.[2] Kemudian yang tidak kalah menghebohkan ialah kasus pembunuhan yang disertai pelecehan seksual yang menimpa bocah perempuan bernama Angeline di Denpasar Bali pada tahun 2015 yang diduga dilakukan oleh seorang pembantu,[3] namun pada akhirnya turut menyeret ibu angkat korban sebagai tersangka. Kejadian ini ikut mengguncang keselamatan anak di Indonesia. Badan hukum maupun perlindungan anak seakan mendapat tamparan besar bahwa kenyataan yang menimpa anak-anak di Indonesia masih belum sepenuhnya bisa diatasi dan ini menjadi alarm yang akan selalu mengingatkan bahwa perlindungan terhadap anak belum terselenggara dengan baik dan menjamin sepenuhnya keamanan anak. Perlindungan hukum ataupun upaya-upaya penanganan terhadap kasus kejahatan dan juga korban kekerasan seksual yang dinilai masih kurang optimal ini dapat menjadi alasan banyak keluarga yang enggan melaporkan kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak mereka. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada jumlah data yang kurang akurat terkait kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak sehingga semakin sulit untuk ditindaklanjuti. Menyadari masih kurangnya payung hukum yang mengatur secara spesifik mengenai kekerasan seksual inilah maka keberadaan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual membawa sedikit angin segar bagi perempuan dan anak-anak di Indonesia. Akan tetapi RUU ini masih menjadi diskursus yang cukup panjang di parlemen dan hingga saat ini belum menemukan titik terang untuk mencapai kesepakatan pengesahan. Beranjak dari kondisi inilah tulisan ini ingin mencoba mendiskusikan terkait bagaimana upaya negara dalam merefleksikan perlindungan terhadap kasus kekerasan seksual yang difokuskan pada kejahatan-kejahatan seksual yang menimpa anak-anak selama ini di Indonesia melalui pendekatan deskriptif yang lebih menjelaskan melalui tinjauan-tinjauan teoritis dan berdasarkan fenomena-fenomena yang ada. Kekerasan Seksual: Kejahatan yang Berkepanjangan Mengekang Perempuan dan Anak Sejak Berabad-abad yang lalu setiap manusia yang terlahir secara biologis dengan organ reproduksi yang berjenis kelamin perempuan sudah rentan mendapatkan pelecehan, bahkan pada peradabannya perempuan sering diperlakukan sebagai pelampiasan nafsu laki-laki. Tindakan pelecehan seksual ini sudah berlangsung sejak lama, misalnya adanya budak perempuan yang dianggap seperti barang yang harus tunduk dan siap melakukan apa saja yang diperintah oleh tuan atau pemiliknya. Di zaman Romawi kuno, banyak budak-budak perempuan yang harus merelakan tubuhnya hanya untuk memenuhi keinginan berahi tuannya. Para pria pemilik budak wanita dapat secara bebas melakukan hubungan seksual dengan budaknya, sehingga kadang-kadang pria kaya membeli budak wanita yang cantik dengan tujuan menikmati tubuhnya. Banyak budak yang dibebaskan jika sudah tua, itu pun jika mereka dapat hidup sampai usia tua.[4] Fenomena-fenomena seperti itu di zaman modern ini hanya mengalami pergeseran makna mengingat perempuan hingga saat ini masih merupakan objek yang selalu diposisikan sebagai subordinat laki-laki. Bentuk-bentuk kekerasan atau kejahatan seksual mudah terjadi begitu saja, terlebih lagi cenderung terjadi di lingkungan terdekatnya. Kejahatan-kejahatan seksual tidak hanya terjadi dalam bentuk-bentuk prostitusi ataupun perdagangan perempuan dan anak (human trafficking) akan tetapi kejahatan seksual semakin masif terjadi di lingkungan kesehariannya. Guna memahami tindakan kekerasan atau pelecehan seksual lebih jauh, perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual? Atau definisi dari kekerasan seksual itu sendiri melalui pandangan-pandangan konseptual. Kekerasan seksual adalah semua bentuk ancaman dan pemaksaan seksual (M. Irsyad Thamrin dan M. Farid 2010, Yuwono 2015). Dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual apabila terdapat ancaman (verbal) dan atau pemaksaan (tindakan). Jadi kekerasan seksual tidak hanya berupa tindakan-tindakan kejahatan yang dialami secara fisik namun dapat berupa ucapan yang termasuk mengancam yang menimbulkan ketakutan dan memberikan dampak secara psikologi. Begitu juga yang dimaksud kekerasan seksual terhadap anak ialah pemaksaan, ancaman, atau keteperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual. Aktivitas seksual tersebut meliputi melihat, meraba, penetrasi (tekanan) pencabulan, dan pemerkosaan (Paramastri et al. 2010). Dampak yang kemudian ditimbulkan dari tindakan kekerasan seksual tersebut dapat berupa dampak fisik, psikologi dan sosial. Dampak fisik seperti luka-luka atau robeknya selaput dara bagi perempuan dan di bagian-bagian lainnya, sedangkan dampak psikologi meliputi trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan bahkan keinginan atau percobaan bunuh diri serta dampak sosial seperti perlakuan sinis masyarakat di sekelilingnya, ketakutan terlibat dalam pergaulan dan sebagainya (Orange dan Brodwin 2005, Paramastri et al. 2010). Setiap daerah di Indonesia tanpa terkecuali rawan terjadi tindak kekerasan seksual terkhusus pada perempuan dan anak. Kompleksitas isu yang terkait dengan permasalahan perempuan memang masih terdapat kenyataan adanya nilai budaya yang tidak mendukung tercapainya kesetaraan gender, meski diakui saat ini di Indonesia pergerakan-pergerakan pengarusutamaan gender sedang berkembang, akan tetapi tetap saja masih berlangsung ketimpangan gender dalam kehidupan bersama yang membuat perempuan mengalami bentuk-bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi secara seksual. Permasalahan ini dapat dikatakan karena terdapat hierarki berdasarkan jenis kelamin yang mempolitisasi seksualitas berupa dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan sebagai subordinat di lingkungan manapun mereka sehingga dalam kategori sosial menguntungkan laki-laki. Latar belakang budaya patriarki yang cukup mendasar turut mengambil andil dalam permasalahan ini yang turut memengaruhi produk perundang-undangan. Misalnya pasal 31 ayat (3) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa, “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” Hal ini akan menimbulkan pemahaman bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas keluarga. Bahkan dalam melakukan tindakan-tindakan kekerasan, dominasi kekuasaan tersebut masuk dalam relasi gender dan seksualitas. Sama halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Zgouride dan Zgouride (2000) ‘…the work place, and politics is sexism, or prejudice and discrimination of gender. Fundamental to sexism is the assumption that men are superior to women’. Topik ini sebenarnya sudah disoroti sejak dulu oleh kelompok-kelompok feminis, terutama feminis radikal yang menyoroti dua konsep utama, yaitu patriarki dan seksualitas. Istilah patriarki pada awalnya digunakan oleh Max Weber untuk mengacu pada suatu sistem sosial politik tertentu dimana seorang ayah, berkat posisinya dalam rumah tangganya bisa mendominasi anggota jaringan keluarga luasnya dan menguasai produksi ekonomi dari kesatuan kekerabatan tersebut. Kemudian istilah ini diambil alih oleh para feminis radikal pada tahun 70-an; feminis radikal yang mengacu ke aspek sistemik dari subordinasi perempuan sebagai akibat adanya patriarki; patriarki tidak hanya memaksa perempuan menjadi ibu, tetapi juga menentukan kondisi keibuan mereka. Ideologi patriarki yang mengobjekkan seksualitas perempuan bisa tampak dalam kekerasan seksual yang muncul sehari-hari dalam gejala pemerkosaan, pornografi, iklan dan media massa. Meskipun tidak ada kesepakatan terkait arena utama terjadinya dominasi laki-laki tersebut dalam ideologi (saptari dan Holzner, 1997). Sama halnya dengan perempuan yang rentan menjadi korban tindak kekerasan seksual, anak-anak menempati posisi yang hampir serupa dan lebih cenderung mengalami bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sangat kompleks. Kondisi lingkungan tidak lagi mampu menjamin terhindarnya anak-anak terhadap kekerasan seksual, seiring adanya interaksi langsung antara anak dengan orang-orang dewasa sehingga risiko-risiko terjadinya kekerasan seksual sulit terhindarkan. Lingkungan-lingkungan yang seharusnya melindungi anak-anak pun beralih menjadi tempat yang paling berisiko terjadinya praktik kriminal ini. Seperti di sekolah yang lumrahnya tempat penyelenggaraan pendidikan baik berupa moral maupun intelektual tidak lagi menjamin hal tersebut. Lingkungan sekolah kini justru menjadi sangat berpotensi bagi munculnya tindakan kekerasan seksual karena hubungan antara orang dewasa dan siswa akan lebih sering terjadi tanpa adanya pengawasan dari pihak keluarga. Selain itu bentuk relasi kekuasaan antara guru dan murid terkadang juga sangat menjerat. Cukup sulit menelusuri sumber yang memicu terjadinya kekerasan seksual, karena faktor-faktor yang menyebabkan praktik-praktik kriminal tersebut sangat beragam, namun untuk melacak sumbernya boleh meminjam gagasan Sigmund Freud. Menurut Sigmund Freud setiap manusia memiliki libido (nafsu berahi) yang selalu menuntut untuk dilampiaskan. Namun demikian tuntutan untuk melampiaskan libido yang bersarang pada tubuh manusia itu tidak selalu dapat direalisasikan oleh manusia, penyebabnya karena adanya norma-norma sosial, seperti norma agama, kesusilaan, dan hukum (Yuwono, 2015). Terhalangnya manusia untuk merealisasikan libido inilah yang membuatnya semakin terpenjara dalam diri manusia dan selalu memberontak untuk dilampiaskan hingga keinginan berahi tersebut sangat sulit dikendalikan. Banyak cara dilakukan oleh orang-orang untuk mengendalikan hasrat tersebut, seperti melakukan perjalanan, berolahraga, menyibukkan diri dengan pekerjaan dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini merupakan pengalihan yang bersifat positif. Namun yang kemudian menjadi masalah adalah ketika manusia tidak mampu menampung hasrat dari libido tersebut dan tidak mampu mengalihkannya dalam bentuk-bentuk aktivitas positif. Maka yang terjadi ialah pengalihan dalam tindakan-tindakan negatif baik dengan menyalurkannya pada bentuk-bentuk berbayar (prostitusi) atau yang lebih parah dalam tindakan-tindakan kriminal (pemaksaan). Pelampiasan dalam bentuk negatif inilah yang dijadikan jalan pintas oleh pelaku-pelaku kekerasan seksual dalam masyarakat yang seakan tak pernah henti mengintai dan siap menerkam perempuan dan anak-anak. Realitas Kekerasan Seksual pada Anak Anak merupakan generasi bangsa yang negara wajib melindungi, memberikan hak-haknya untuk tetap hidup damai, aman dan sejahtera. Di Indonesia peraturan yang mengatur perihal anak terdapat dalam beberapa cakupan, namun masih tampak tumpang tindih. Secara hukum ruang lingkup dari kekerasan seksual terhadap anak masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, maka dalam pandangan hukum pidana ini yang dimaksud dengan kekerasan seksual terhadap anak adalah kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada orang berusia di bawah 16 tahun. Pendefinisian tentang anak juga memiliki perbedaan terutama dalam penetapan usia, yang disesuaikan dengan konteksnya. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut definisi World Health Organization (WHO), batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2014). Perkembangan kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di Indonesia semakin memprihatinkan. Akhir-akhir ini kejahatan yang menyangkut pelecehan seksual anak semakin mencuat sejak tahun 2000-an ditambah lagi media-media semakin mem-blow up tindakan-tindakan kekerasan seksual tersebut ke permukaan, sehingga tindakan kriminal jenis ini yang dulunya sangat jarang didengar dan bahkan tabu untuk dibicarakan bertransformasi menjadi konsumsi publik yang tak terhindarkan. Pusat data dan informasi nasional perlindungan anak Indonesia mencatat, selama periode 2010-2014 terjadi lebih dari 21 juta kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut sebanyak 42 hingga 58 persen merupakan kasus kejahatan seksual terhadap anak. Selebihnya kasus kekerasan fisik dan penelantaran anak. Data kejahatan seksual terhadap anak juga mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada 2010 tercatat 2.046 kasus diantaranya 42 persen merupakan kejahatan seksual, pada tahun 2011 terjadi 2.462 kasus, diantaranya 58 persen merupakan kejahatan seksual, 2012 meningkat lagi menjadi 2.637 kasus diantaranya 62 persen merupakan kejahatan seksual. Peningkatan cukup besar terjadi pada 2013 yaitu 3.339 kasus dengan jumlah kejahatan seksual sebesar 62 persen. Kemudian pada tahun 2014 (Januari-April) telah terjadi 600 kasus dengan jumlah korban 876 orang, diantaranya 137 kasus adalah pelaku anak (www.cnnindonesia.com). Sedangkan selama tahun 2015 kasus pelecehan seksual didominasi terjadi pada anak-anak. Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) seperti yang diungkapkan oleh Arist Merdeka Sirait selaku ketua Komnas PA bahwa terhitung sejak Januari hingga Agustus lalu, tercatat dari 1.726 kasus yang melibatkan anak-anak, terdapat sekira 58 persen perkara pelecehan seksual. Berarti ada sekira 1.000 kasus pelecehan seksual seperti sodomi, pemerkosaan, inses, dan lain-lain. Selebihnya kasus kekerasan fisik serta penelantaran (news.okezone.com). Bentuk-bentuk kekerasan seksual banyak terjadi namun pada kenyataannya masih banyak yang tidak mengenalinya bahkan termasuk penegak hukum itu sendiri. Sangat penting untuk diketahui bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang memiliki cakupan sangat luas diantaranya, pemerkosaan, sodomi, seks oral, sexual gesture (serangan seksual secara visual termasuk eksibisionisme), sexsual remark (serangan seksual secara verbal), pelecehan seksual, pelacuran anak dan sunat kelentit pada anak perempuan (M. Irsyad Thamrin dan M. Farid 2010, Yuwono, 2015). Sedangkan khusus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan sendiri hasil pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan selama 15 tahun (1998-2013) mencatat terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang terjadi,[5] yakni:
Kekerasan seksual yang terjadi tidak lagi mengenal waktu dan tempat, tindakan-tindakan kejahatan tersebut bisa terjadi di mana dan kapan saja. Pelaku juga sulit dideteksi, kejahatan seksual justru tidak lagi mengenal istilah tetangga, keluarga dan orang asing, semuanya berpotensi melakukan tindakan kejahatan tersebut dan orang terdekat memiliki potensi yang lebih tinggi yang biasanya terjadi di lingkungan keluarga. Maria Advianti Wakil Ketua KPAI pernah mengungkapkan bahwa anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan lokus kekerasan pada anak ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6 persen di lingkungan sekolah dan 17,9 persen di lingkungan masyarakat. Bahkan 78,3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya.[6]6 Sama halnya apabila kita melihat fakta di lapangan atau fakta yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan bahwa kasus kekerasan seksual justru banyak terjadi di kehidupan pribadi (personal), yakni kekerasan seksual yang terjadi sering dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti yang dijelaskan sebelumnya, baik itu tetangga, saudara, bahkan sekalipun keluarga kandung termasuk ayah, kakak dan adik dan orang-orang terdekat lainnya tanpa terkecuali. Fakta seperti ini tidak bisa menutupi lagi bahwa lingkungan keluarga yang dianggap sebagai tempat yang paling nyaman dan tempat berlindungnya semua anggota keluarga justru akan dengan sangat cepat berubah menjadi lingkungan yang justru menghancurkan anggota keluarga itu sendiri terutama perempuan dan anak. Sementara laki-laki dalam lingkungan keluarga lebih superior oleh karenanya menjadi subjek yang paling dominan dalam melakukan kekerasan tersebut. Jika dipandang dari aspek sosiologis, kekerasan seksual biasa terjadi di lingkungan domestik (rumah tangga) dan juga lingkungan publik atau tempat kerja. Anak-anak dan perempuan yang mengalami kekerasan seksual tidak terlepas dari pola relasi antara laki-laki dan perempuan maupun orang dewasa dan anak-anak yang berlaku baik pada masyarakat sederhana (pedesaan) maupun masyarakat kompleks (masyarakat modern/perkotaan). Dari aspek sosiologis, kejahatan seksual yang menimpa perempuan dipandang tidak terlepas dari fakta sosial adanya nilai dan norma yang masih bias gender yang secara struktural menempatkan kekuasaan pada laki-laki. Hal ini membuat posisi tawar perempuan—yang terkadang menjadi orang yang “dirumahkan”—menjadi lemah karena semua berjalan atas kepentingan laki-laki. Begitu juga anak, yang di dalam lingkungannya baik lingkungan keluarga, pendidikan, maupun sosial tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang di sekitarnya dan juga dirinya sendiri. Sehingga pola kekerasan seksual yang menjerat anak-anak akan didominasi atas ketidakberdayaan anak-anak untuk menentang tindakan-tindakan kekerasan seksual tersebut yang cenderung dilakukan oleh orang-orang dewasa dan atau sesama anak-anak yang cenderung pernah menjadi korban atas tindakan yang sama sebelumnya, sehingga pola-pola tersebut kembali diterapkan kepada teman yang dianggap bisa dikendalikan. Hukum Versus Kejahatan Seksual Anak di Indonesia Di dalam aturan hukum Indonesia khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah kekerasan seksual dapat ditemui pada pasal 285 KUHP, dalam pasal ini ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum karena memerkosa, dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun. Namun istilah kekerasan seksual lebih sering dijelaskan dengan istilah perbuatan cabul yang diatur dalam pasal 289 sampai dengan pasal 296 KUHP. Istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Dalam pengertian tersebut, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/ kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul, yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba buah dada dan sebagainya (R. Soesilo, 1995). Pendefinisian kekerasan seksual atau pelecehan seksual yang dimasukkan ke dalam permasalahan asusila ini sebenarnya menjadi permasalahan dasar yang akan menggiring pemahaman-pemahaman bahwa kejahatan-kejahatan seksual seperti pemerkosaan atau pencabulan akan lebih dipandang sebagai tindakan kejahatan terhadap moral yang seharusnya lebih tepat disebut sebagai kejahatan kriminal.[7] Kesalahan dalam penetapan istilah maupun makna tersebut tidak boleh dianggap sepele, karena perbedaan kata inilah yang kemudian akan membentuk pola pemikiran masyarakat dalam memahami istilah dan tertanam mendasar menjadi asumsi-asumsi masyarakat secara berkepanjangan yang akan sulit digeser. Tidak heran jika pandangan dengan istilah kejahatan kesusilaan yang bahkan didukung dalam KUHP ini menjadi bumerang sendiri untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual, karena dengan pendefinisian “kejahatan asusila” inilah yang membuat korban kekerasan seksual, dalam konteks ini perempuan dan anak, menjadi lebih memilih menutup mulut dan sulit melaporkan tindakan kejahatan yang telah mereka alami. Sehingga pencarian keadilan bagi korban kekerasan seksual akan sulit ditegakkan. Pengategorian ini tidak melihat secara mendalam permasalahan utamanya secara utuh mengenai apa sebab maupun bagaimana akibat terjadinya tindakan-tindakan kriminal tersebut yang merugikan korbannya baik secara fisik, psikologi dan sosial. Pandangan mengenai “asusila” pada masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang mengikat, karena masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai dan budaya ini, yang kemudian selalu dikaitkan dengan masalah moral. Dalam konteks pendefinisian kekerasan seksual sebagai kejahatan asusila, maka tidak hanya pelaku yang mendapatkan label “tidak bermoral” akan tetapi secara tidak langsung turut menggiring korban yang mendapatkan perlakuan tindakan kejahatan asusila tersebut mendapat label yang serupa. Sebagai contoh terjadi pemerkosaan yang dialami oleh remaja perempuan, jika digunakan istilah kejahatan kesusilaan yang dipandang sebagai tindakan tidak bermoral, maka kejahatan yang dialami korban akan menimbulkan kekhawatiran yang mendalam karena takut munculnya cap perempuan tidak bermoral dan bahkan menyeret keluarganya menjadi keluarga yang tidak bermoral. Dengan kata lain dalam hal ini seakan-akan korbanlah yang disalahkan. Kekhawatiran-kekhawatiran seperti inilah yang kemudian menyebabkan korban maupun keluarga menjadi bungkam karena dianggap bukan lagi sebagai permasalahan kejahatan tetapi permasalahan aib keluarga yang harus ditutupi. Alasan-alasan seperti ini jugalah yang dapat membebaskan pelaku dari jeratan hukum, karena korban lebih memilih menutupi kasus tersebut dibanding melaporkannya ke pihak berwenang, maka pelaku akan merasa bebas mengulangi tindakan kekerasan seksual tersebut. Sedang korban yang tidak hanya terluka secara fisik namun juga psikis akan mengalami tekanan yang berkepanjangan bahkan mengalami traumatik mental, kemungkinan yang lebih parah apabila korban memilih bunuh diri karena tidak lagi mampu menampung kekhawatiran dan label yang akan diterimanya sebagai perempuan yang tidak bermoral. Oleh karenanya untuk dapat melihat pemahaman kesusilaan ini tidak hanya dari sudut pandang pemahaman individu saja namun akan lebih baik didasarkan atas pemahaman umum secara mendalam dan utuh. Sehingga pemaknaan istilah kekerasan seksual (tindakan kriminal) dan kejahatan kesusilaan dipahami masyarakat secara utuh yang kemudian kasus kejahatan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak tidak lagi tersandung dengan masalah nilai dan moral, melainkan kasus yang dianggap seutuhnya sebagai tindakan kriminal. Masalah Penanganan kasus kekerasan seksual pada anak tidak sebatas mengenai pengategorian kekerasan seksual tersebut termasuk kejahatan asusila atau krimanal saja, namun hukum Indonesia masih tampak setengah hati dalam menindak kasus-kasus kekerasan seksual yang menyangkut anak. Adanya diskriminasi tersebut tampak dalam menyikapi laporan atau pengaduan, yakni di dalam KUHP dikenal adanya istilah delik aduan dan delik murni (biasa).[8] Delik aduan yakni kasus kejahatan yang terjadi akan diproses apabila adanya pengaduan dari pelapor. Untuk konteks pelapor ini sendiri belum jelas aturannya lalu siapa yang berkewajiban menjadi pelapor, apakah anak selaku korban itu sendiri, orang terdekat dan siapa? hal ini turut mengundang permasalahan. Dengan begitu dalam kasus kekerasan seksual yang dialami anak akan sangat sulit terselesaikan, mengingat penanganan kasus mensyaratkan adanya laporan. Jadi apabila tidak ada laporan, maka kasus tersebut tidak ditangani atau ditutup. Nah, yang jadi permasalahan siapa yang akan melaporkan kasus tersebut? Haruskah korban yang melaporkannya, yang secara mental pasti sudah tertekan dan status anak-anak yang disandangnya belum cukup mampu memahami kekerasan yang dialaminya, belum lagi apabila korban mendapatkan ancaman-ancaman dari pelaku. Kemudian haruskah saksi yang melapor, lalu bagaimana jika tidak ada saksi atau saksi enggan melapor, lalu haruskah orang tua atau keluarga, bagaimana jika yang melakukan kekerasan seksual justru orang tua atau keluarga mereka sendiri maka sangat kecil kemungkinan tindakan tersebut akan dilaporkan. Walaupun kasus-kasus tersebut cenderung dilaporkan namun persoalan-persoalan yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan kemungkinan yang akan dialami dalam kasus kekerasan seksual anak. Maka delik aduan yang diberlakukan untuk kasus kekerasan seksual anak harus ditinjau kembali karena memperlihatkan bahwa hukum yang ada masih setengah hati dan tampak belum menanggapi dengan serius permasalahan anak. Berbeda dengan kasus kekerasan yang dialami oleh orang dewasa yang langsung dianggap delik murni, yakni akan diproses meskipun tidak adanya aduan atau laporan. Guna menemukan titik terang dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual yang telah mengalami fase cukup panjang ini, maka tindakan-tindakan preventif, advokatif dan penghapusan kekerasan seksual harus gencar disuarakan dan dilakukan. Adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan tawaran hukum yang harus dengan sigap dirumuskan, RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual ini merupakan salah satu langkah yang paling solutif untuk menyikapi permasalahan kekerasan seksual di Indonesia. Mendukung hal itu Komnas Perempuan sedang berjuang untuk mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan masuk dalam prolegnas tahun 2016, hal ini guna mewujudkan masa depan bangsa Indonesia yang bebas dari bentuk-bentuk kekerasan terkhusus kekerasan seksual. Dalam upaya mendorong RUU ini agar masuk dalam prolegnas jangka menengah dan prioritas prolegnas 2016,[9] maka Komnas Perempuan merekomendasikan kepada:
Adapun bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual meliputi: pelecehan seksual, kontrol seksual, pemerkosaan, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, dan perlakuan dan penghukuman lain yang tidak manusiawi yang menjadikan seksualitas sebagai sasaran dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan (www.cnnindonesia.com). RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini nantinya harus disinkronkan dengan produk hukum lain yang terkait misalnya KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Penghapusn Kekerasan dalam Rumah Tangga dan lainnya, serta materi-materi lainnya yang tidak hanya menyangkut masalah penanganan pelaku namun juga materi yang terkait dengan penanganan korban, sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini memiliki aturan yang jelas dan rinci serta nantinya tidak terjadi tumpang tindih seperti banyak permasalahan rumusan undang-undang yang terjadi selama ini. Penutup Tindakan kejahatan kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak maupun perempuan jangan pernah diperlakukan sebagai tindakan yang berbeda, cukup dipahami bahwa kekerasan dalam bentuk apapun yang merugikan anak-anak maupun perempuan merupakan tindakan kriminal yang semua orang berkewajiban memutus rantai tindakan tersebut. Jangan sampai ada sikap diskriminatif dalam menyikapi permasalahan ini, baik kekerasan seksual pada anak maupun perempuan, bukan lagi suatu fenomena yang baru, bentuk kekerasan atau pelecehan seksual ini sudah mengalami fase yang sangat lama dan tercatat dalam gulungan sejarah yang cukup panjang yang hingga saat ini selalu mendampingi kehidupan anak-anak dan perempuan dan selalu siap menggiring mereka kedalam lembah pelampiasan nafsu. Permasalahan kekerasan seksual ini sudah sangat kompleks oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini seharusnya tidak lagi terkendala hal-hal substantif yang tidak perlu diperdebatkan, namun aktualisasi dan penetapan kebijakan yang lebih terfokus. Apapun bentuk kekerasan seksual atau persetubuhan dengan anak di bawah usia 16 tahun menurut hukum sudah masuk ranah tindak pidana namun juga tidak semestinya dibatasi atau diukur dengan ketentauan KUHP saja tetap juga perlu diukur secara biologis dan psikologis. Dengan menggunakan kedua ukuran ini dan dikombinasikan dengan ketentuan KUHP diharapkan anak mendapatkan perlindungan dari bentuk-bentuk kekerasan seksual (Yuwono, 2015), dan diharapkan dapat diterapkan pada kasus kekerasan yang dialami perempuan yang memiliki permasalahan serupa. Dengan demikian berpijak dari pemikiran Yuwono (2015) satu hal yang dapat mengendalikan tindakan-tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh anak, yakni apabila ada kesadaran dan kontrol kolektif, seperti yang tersirat dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002 pasal 20 yang berbunyi: negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap perlindungan terhadap anak. Bunyi dalam pasal tersebut telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara termasuk pemerintah hendaknya saling melindungi dengan cara mengontrol satu sama lain, tanpa adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang menyangkut kepentingan individu semata. Kontrol kolektif yang merupakan perangkat normatif dari KUHP ini harus dijadikan pijakan guna memerangi tindakan-tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak dan perempuan. Hanya saja fakta masih maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia saat ini memperlihatkan bahwa perangkat kontrol kolektif yang diamanatkan ini berhenti hanya sekadar rumusan saja dan belum menunjukkan adanya kontrol kolektif secara nyata. Ini menjadi pertanyaan yang harus kita jawab masing-masing, apakah diri kita sendiri sudah memiliki kesadaran akan kontrol kolektif? Jadi kesadaran akan kontrol kolektif dijadikan sebagai senjata yang amunisinya ialah produk-produk hukum seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang disinkronkan dengan undang-undang lain yang terkait yang diharapkan secara bertahap dapat menghentikan bahkan menghapus tindakan kekerasan seksual yang merenggut perempuan dan anak-anak. Daftar Pustaka Paramastri, Ira et al. 2010, “Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children” dalam Jurnal Psikologi Vol.37 No. Juni 2010 (pp: 1-12). R. Soesilo 1995, KUHP Serta Komentar-Komentarnya, Politeia, Bogor. Saptari, Ratna dan Holzner, Brigtte 1997, Perempuan Kerja dan Perubahan sebuah Pengantar Studi Perubahan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Yuwono, Ismantoro Dwi 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Zgourides, George D And Zgourides, Christie S. 2000, Cliffs Quick Review Sociology, IDG Books Worldwide, United States Of America. Cnn Indonesia. “Komnas Perempuan Dorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”. 20 Februari 2015: 13:02 WIB.http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151108105400-12-90170/komnas-perempuan-dorong-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual/ Okezone.com. “Selama 2015, 1.000 Kasus Pelecehan Seksual terhadap Anak” 22 Februari 2015: 12:39 WIB. http://news.okezone.com/read/2015/10/06/337/1226763/selama-2015-1-000-kasus-pelecehan-seksual-terhadap-anakPusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Catatan Belakang: [1] Paramastri, et al,. 2010. Jurnal Psikologi Volume 37, No.1, Juni 2010:1-12 Early Prevention Toward Sexual Abuse On Children. [2] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/04/150402_vonis_jis_bantleman [3]http://regional.kompas.com/read/2015/06/10/21470601/Polisi.Sebut.Angeline.Alami.Kekerasan.Seksual.Sebelum.Dibunuh [4]https://id.wikibooks.org/wiki/Romawi_Kuno/Sosial/Perbudakan ,Banyak dari para budak, terutama di Spanyol dan Prancis selatan, bekerja di ladang dan menggarap lahan pertanian miliki orang kaya. Ada pula budak yang bekerja di rumah orang kaya. Mereka biasanya bertugas sebagai pengasuh anak, juru masak, pelayan, pembersih, pengurus kuda, pencuci, pengajar, dan akuntan. Para budak jenis ini ada yang memiliki keluarga, Anak-anak yang terlahir dari budak seringkali dijual dan dijauhkan dari orang tua mereka. Para budak ini juga sering dipukuli dan jarang memperoleh makanan yang layak. [5] Dokumen Komnas Perempuan:http://www.komnasperempuan.go.id/15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan/#more-14183 [6] KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat: http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/ [7] Lihat,Kekerasan Seksual: Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan Tulisan yang diolah dari dokumen Komnas Perempuan berjudul “Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani” dan Jurnal Perempuan edisi 71 tentang “Perkosaan dan Kekuasaan. [8] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4edef75d5869e/adakah-delik-aduan-yang-tetap-diproses-meski-pengaduannya-sudah-dicabut [9] Komnas Perempuan mendesak DPR segera memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas 2016: http://www.suara.com/news/2015/11/24/090655/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-didesak-masuk-prolegnas Siti Khuzaimah (Mahasiswi Pascasarjana Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) [email protected] ![]() Judul : Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam: Teori dan Praktik Penyunting : Andy Dermawan Cetakan : Pertama, 2006 Percetakan : Yogyakarta, Kurnia Alam Semesta Tebal : xiii + 206 halaman: 14,5 cm x 21 cm ISBN : 979-8598-30-X Penulis : Alimatul Qibtiyah Akhir-akhir ini, isu LGBT ramai di setiap sudut kota. Spanduk-spanduk bergelantungan dengan tulisan “LGBT, Haram!”, “Tolak LGBT”, “Kawasan ini bebas dari LGBT”. Apa sebenarnya motif penulisan kata-kata tersebut? Apakah hanya spanduk yang dibuat sebagai kampanye selayaknya pencalonan wakil ketua legislatif? Ataukah spanduk yang dibuat untuk mewakili aspirasi masyarakat yang sarat makna? Selain itu, demo terjadi di mana-mana. Kerusuhan mewarnai situasi kampanye LBGT. Semangat membara dan berapi-api tampak di setiap wajah para pendemo. Lagi-lagi pertanyaan saya, apa yang mereka inginkan? Karena penasaran, akhirnya saya terpaksa bertanya kepada kelompok tersebut. Apa sih maksud dari tulisan di spanduk itu? Dan siapa sih LGBT itu?
Dengan sigapnya, seseorang di antara mereka menjawab, “Kami menolak LGBT, LBGT adalah perbuatan terkutuk, tidak manusiawi dan haram. Mereka itu banci-banci yang tidak bermoral. Mereka bukan manusia, tidak waras, berkelakuan seperti binatang.” Pernyataan para pendemo semakin membuat saya kebingungan. Bukan karena jawaban mereka, tapi berasal dari mana jawaban-jawaban itu muncul? Jawaban itu di dapatkan dari kamus Bahasa Indonesia atau dari sumber yang tidak jelas asal-usulnya. Jika saya menggarisbawahi kata “haram”, maka menurut hemat saya ada kaitannya dengan keagamaan. Urusan halal dan haram diatur dalam undang-undang syariat Islam yang terkristal dalam bentuk fikih. Tapi apakah benar agama telah menyatakan menolak LGBT? Sebatas pengetahuan saya, agama yang saya anut sejak lahir tidak pernah mengajarkan tentang LGBT, hanya saja dalam Alquran disinggung kisah nabi Luth. Namun, mereka (para pendemo) dengan getolnya menyuarakan bahwa LBGT bertentangan dengan agama. Dari sinilah pertentangan dan kecamuk dalam hati mulai muncul. Saya terpaksa mempertanyakan ajaran agama yang selama ini saya yakini kebenarannya. Hingga usia 20 tahun, bu nyai dan pak kiai di pondok belum pernah menyinggung persoalan LBGT. Kitab-kitab yang dipelajari cukup beragam, namun tidak diketemukan catatan kecil tentang LBGT. Untungnya kini alat canggih bisa membantu saya menemukan kepanjangan kata LGBT yaitu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. LGBT adalah orientasi seksual yang dimiliki manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Ternyata LGBT memiliki arti yang sederhana. Hanya orientasi seksual, bukan barang berbahaya seperti narkotik jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Narkotik dapat berupa obat yang berfungsi menenangkan saraf dan menghilangkan rasa sakit seperti ganja dan opium. Narkotik berupa obat-obatan yang dapat dikonsumsi manusia. Sedangkan LGBT hanyalah orientasi seksual yang sangat abstrak dan tidak dapat dilihat secara kasat mata. Jadi menurut hemat saya LGBT berbeda dengan narkotik yang membahayakan (jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang) dan tidak bisa dihukum haram. Selebihnya kata “menolak”. Jika yang mereka tolak adalah sebuah orientasi seksual yang abstrak, bagaimana cara mengetahuinya? Jangan-jangan yang mereka tolak bukan orientasi seksual seperti apa yang saya pikirkan, tapi segelintir orang yang disebut banci. Pertanyaan saya selanjutnya, bukankah yang disebut banci adalah manusia? Jika memang selama ini yang disebut banci adalah manusia, apakah patut manusia menyebut sesamanya dengan sebutan banci? Jika merunut penciptaan manusia, setidaknya ada tiga tahapan kejadian yaitu nutfah (saripati berupa sperma), ‘alaqah (segumpal darah), dan mudghah (segumpal daging). Kemudian Tuhan menciptakan manusia dari jiwa yang satu, dijadikan daripadanya pasangan baginya...Tuhan menjadikan (manusia) dalam perut ibu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Tuhan yang memiliki kerajaan. LGBT dalam hal ini berarti bukan manusia, melainkan orientasi seksual yang bisa jadi bagian dari ciptaan Tuhan (given). Ironis, para pendemo menyuarakan “Tolak LGBT”, “LGBT haram”. Maksud dari “tolak” dan “haram” ditujukan kepada manusia dan tindakan para LGBT. Jika yang ditolak adalah tindakan manusia yang menyimpang itu masuk akal. Tindakan menyimpang dalam hal ini dapat disandingkan dengan korupsi, keduanya sama-sama amoral. Namun, jika yang ditolak orientasi seksual, bagaimana hal itu bisa terjadi? Penyimpulan ini sungguh tergesa-gesa. Akibat keterbatasan pengetahuan dan pemahaman yang kurang tepat, semua tindakan para pendemo jadi salah kaprah. Sangat disayangkan jika masyarakat di sekitar kita semena-mena mengadili dan mengartikan LGBT secara buta. Tindakan semacam itu dapat mencederai nilai kemanusiaan itu sendiri. Ahli hukum pun jika tidak mempelajari kasus dengan benar, maka ia rentan mendekonstruksi kebenaran. Sama halnya dengan masyarakat yang mencampuradukkan LGBT dengan pengertian banci, perbuatan amoral, dan menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Saya khawatir, jangan-jangan selama ini masyarakat belum pernah belajar tentang pendidikan seksual. Sehingga argumen-argumen yang disampaikan dan disosialisasikan semuanya ngawur. Kesalahan pemahaman terhadap LGBT dapat berakibat fatal, namun belum banyak disadari pentingnya belajar seksualitas. Seksualitas adalah suatu aspek penting dalam kehidupan yang menekankan aspek fisik, sosial, emosi, spiritual, budaya, ekonomi, dan etnik yang dialami manusia. Cakupan dari seksualitas meliputi perkembangan seksual, penciptaan manusia, perbedaan anatomi seksual laki-laki dan perempuan, hasrat seksual, orientasi seksual, hubungan seksual, masturbasi, aborsi, alat kontrasepsi, perzinaan, khitan, dan mut’ah (hal 1). Sebuah karya Alimatul Qibtiyah berjudul Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam: Teori dan Praktik, setidaknya komprehensif menyediakan informasi penting seputar pendidikan seksualitas. Perlu dipahami bahwa pendidikan seks berbeda dengan pendidikan seksualitas karena cakupannya lebih luas. Tidak hanya berhubungan dengan reproduksi, seksualitas juga berkaitan dengan kebiasaan/adat-istiadat, agama, seni, moral, dan hukum. Kehadiran buku ini dapat mengonter kenyataan sebagian masyarakat muslim yang menolak membicarakan persoalan seksualitas. Sebenarnya jika mau jujur, agama Islam menjunjung tinggi kesantunan mempelajari pengetahuan apapun, terlebih soal seksualitas. Sehingga dengan hadirnya buku ini dapat memberi informasi bagi remaja muslim agar terhindar dari dampak negatif atas kesalahpahaman seksualitas. Selebihnya juga dapat mendorong pendidikan dalam dunia Islam untuk merumuskan pendidikan seksualitas yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Secara formal, pendidikan seksualitas dapat mengubah perilaku, baik menunda atau mengurangi perilaku seksual dini, orang yang tidak setuju dengan hubungan seks di luar pernikahan akan terhindar dari tertularnya penyakit HIV dan kehamilan yang tidak diinginkan. Membahas persoalan seksualitas tidaklah mudah, terutama di kalangan/institusi keluarga. Orang tua merasa ragu dan malu menjawab pertanyaan anak-anak remaja tentang seksualitas (hal 65). Padahal sering ditemui anak-anak kecil yang bertanya tentang adik bayi di dalam perut ibunya. Anak-anak pun sebenarnya berhak mendapat pendidikan seksualitas sejak dini, tentunya sesuai dengan porsinya bukan menggunakan bahasa orang dewasa yang sudah mereka pahami. Islam mengakui bahwa seksualitas adalah sesuatu yang natural dalam kehidupan manusia. Islam secara positif melihat seksualitas dan merupakan bagian dari ajaran Islam. Seks dan seksualitas tidak bertentangan dengan spiritualitas, bahkan merupakan rahmat Allah. Islam mengatur kesucian hubungan anak manusia melalui pernikahan. Oleh karena itu, sudah saatnya pendidikan seksualitas dimulai sejak dini. Buku ini terdiri dari 3 bab. Bab I pendahuluan, berisi tentang diskursus seksualitas dan pendidikan seksualitas dalam kajian Islam. Bab II tentang penciptaan dan perkembangan manusia dalam konsep Islam. Bab III tentang Islam dan problematika poligami. Bab IV tentang pendidikan seksualitas dalam Islam. Bab V tentang pendidikan seksualitas pada penciptaan dan perkembangan manusia, disertai dengan contoh aplikasi kurikulum penciptaan dan perkembangan manusia, aplikasi kurikulum tentang poligami Islam dan kumpulan materi pembelajaran. Kritik terhadap buku ini, kurikulum pendidikan seksualitas dalam Islam pada tulisan ini belum terimplementasi. Oleh karena itu, materi dalam buku ini belum dapat diuji dan diukur tingkat keefektifannya. Topik-topiknya perlu dikembangkan seperti persoalan aborsi, hubungan seksual, alat kontrasepsi dan lain-lain. Kurikulum ini ada baiknya jika dimulai pada tingkat SMP agar para remaja lebih dini mengenal pendidikan seksual secara benar. Buku ini sangat relevan dibaca, dipelajari oleh para ilmuwan, civitas akademik, maupun siswa/i yang hendak belajar seksualitas. Khususnya para santri yang sudah belajar seksualitas dari kitab kuning (‘uquddulujjain), buku ini dapat dijadikan referensi pengetahuan baru yang sesuai dengan ajaran Islam. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |