Sebagai narasumber dalam diskusi yang dihelat Jejer Wadon bersama LPH YAPHI dengan tema “Perempuan dalam Politik Massa: Generasi 65, 98 dan Reformasi”, Mbah Arjo Sutiyem (94) adalah sosok perempuan yang mampu membuat peserta terbelalak ketika melihat dan mendengar beliau menceritakan pengalamannya sewaktu menjadi aktivis di tahun 1951-1965 di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Pada masanya, Mbah Arjo Sutiyem adalah sosok perempuan biasa yang sehari-hari adalah seorang petani desa dan penjual sirih. Dalam penuturannya, ia pertama kali mengenal sebuah organisasi ketika menjual sirih di pasar desa Jatinom, Kecamatan Klaten Jawa Tengah. Suatu hari, dalam perjalanan pulang ia melihat banyak perempuan di suatu rumah di Jatinom yang disangkanya sedang ada perkabungan, tetapi ternyata bukan, menurut penjelasan dari warga sekitar yang pada waktu itu berjalan dibelakangnya, keramaian tersebut adalah perkumpulan ibu-ibu yang sedang berdiskusi. Singkat cerita, dengan ajakan salah satu warga yang memberitahukan kegiatan perempuan-perempuan tersebut, akhirnya mbah Arjo Sutiyem ikut melihat dan mendengarkan apa yang didiskusikan dalam perkumpulan tersebut. Ternyata perkumpulan tersebut adalah perkumpulan perempuan yang diberi nama GERWIS (Gerakan Wanita Istri Sedar). GERWIS adalah salah satu organisasi gerakan perempuan yang memperjuangkan pembagian hak waris yang sama antara perempuan dan laki-laki, anti poligami, anti poliandri dan pro monogami. Tertarik dengan isu yang diperjuangkan, mbah Arjo Sutiyem memutuskan untuk bergabung dalam organisasi Gerwis di desa Jatinom. Secara diam-diam apa yang didapat dari perkumpulan organisasi tersebut ditindaklanjutinya dengan memberikan penyadaran kepada perempuan khususnya bagi para istri-istri tentang pentingnya menolak poligami, poliandri dan menuntut hak yang sama atas hak waris di wilayah tempat tinggalnya. Pada awal penyadaran kepada perempuan-perempuan, terdapat 10 perempuan di dusunnya yang sepakat dengan apa yang ia sampaikan dan lakukan. Kemudian agar itu menjadi kepedulian bersama akhirnya 10 orang tersebut dibagi menjadi 5 kelompok untuk bertugas memberikan penyadaran di dusun-dusun lain sampai pada akhirnya para perempuan di desanya sadar akan hak dan posisi nasibnya pada waktu itu sehingga mbah Arjo Sutiyem bersama perempuan yang lain mendeklarasikan cabang GERWIS di Musuk, Boyolali pada tanggal 2 Februari 1952 dan posisi beliau menjadi Ketua GERWIS. Maju dan tumbuhnya organisasi GERWIS dengan baik di Musuk, Boyolali tidak bisa dilepaskan dari organisasi GERWIS di wilayah lain khususnya di Jatinom Klaten. Ketika pada tahun 1954 GERWIS Cabang Klaten berubah nama menjadi GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), GERWIS di Musuk Boyolali juga menjadi oraganisasi GERWANI. Dalam gerakannya, GERWANI selalu melebarkan sayapnya ke desa-desa lain hingga mencapai 20 desa di Kabupaten Boyolali. Sebagai inisiator dan penggerak, mbah Arjo Sutiyem selalu berada pada posisi yang strategis, beliau menjabat sebagai ketua bidang keorganisasian GERWANI di Kabupaten Boyolali. Dengan posisi tersebut, mbah Arjo Sutiyem bersama perempuan-perempuan lain mulai meningkatkan kampanye dan memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Selain itu juga melakukan gerakan pengentasan buta huruf dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan yang belum bisa membaca. Dan untuk keberlangsungan organisasi, perempuan-perempuan yang tergabung dalam GERWANI setiap bulan melakukan arisan dan iuran wajib untuk mendanai segala aktivitasnya. Pada tahun 1957 GERWANI melakukan re-organisasi dan pada waktu itu pula mbah Arjo Sutiyem tidak memegang jabatan dalam struktur organisasi. Meskipun demikian, beliau selalu aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan organisasi. Mulai dari peralihan pimpinan nasional dari presiden Soekarno ke presiden Soeharto, kemunculan berbagai organisasi di masyarakat hingga munculnya paham komunis, memberikan dampak yang sangat luar biasa bagi beliau dan perempuan-perempuan lain dalam gerakannya. Pada tahun 1965 di bawah pimpinan presiden Soeharto, aktivis-aktivis yang dianggap sebagai penganut paham komunis diangkut bersama-sama, kemudian dibunuh dan dikubur secara massal. Pada waktu itu mbah Arjo Sutiyem adalah salah satu korbannya, tapi ia tidak sampai dibunuh. Ia mengisahkan, pada waktu itu terdapat 19 laki-laki yang dianggap menganut paham komunis yang diangkut dan dibawa ke salah satu hutan di lereng Gunung Merapi, dan dari 19 orang tersebut, satu diantaranya meninggal terlebih dahulu sehingga tinggal 18 orang yang pada waktu itu dilucuti dan dijemur di bawah terik matahari. Mbah Arjo Sutiyem yang pada waktu itu sudah tidak menjabat dalam organisasi GERWANI ikut diangkut dan diserahkan ke tentara oleh saudaranya sendiri karena dianggap sebagai salah satu perempuan yang aktif dan membahayakan. Dalam penahanan beliau mendapat perlakuan yang sama dengan para tahanan yang lain. Pakaiannya dilucuti sampai tidak ada satu helai pun kain di tubuhnya. Ia masih merasa beruntung karena rambutnya panjang jadi dapat menutupi kemaluannya sehingga tidak dapat dilihat oleh tahanan laki-laki. Sampai tiba pada waktunya, 18 tahanan tersebut dibawa ke salah satu tempat yang sudah digali menjadi lubang yang cukup besar dan mereka dibunuh dengan senapan kemudian dikubur di dalamnya. Tersisa satu orang yaitu mbah Arjo Sutiyem, ketika akan dibunuh muncul percakapan diantara dua tentara yang akan mengeksekusi, berikut kutipannya: Tentara 1: ”Apa orang yang sudah tua (Arjo Sutiyem) ini juga akan kamu bunuh?” Tentara 2: “ini kalau tidak saya bunuh akan membahayakan.” Tentara 1: ”Sudah dia dibiarkan saja, nanti lama-kelamaan juga mati sendiri.” Dari percakapan tersebut, akhirnya mbah Arjo Sutiyem dibuang di dapur umum. Selama di dapur umum setiap hari ia ditodong dan diintimidasi dengan kata-kata “Ini apa..ini apa, kamu tahu nggak ini buat,…apa…ini bisa buat mati kamu…” ungkap seorang tentara yang menodongkan pistol ke kepalanya saat dalam pembuangan. Kemudian datanglah seorang tentara yang menawarkan pembebasan dirinya tapi dengan sebuah syarat, berikut kutipan percakapannya: Tentara: “Kamu mau bebas?” Mbah Arjo: ” Iya.” Tentara: “Kamu saya bebaskan, tapi kalau ada perkumpulan-perkumpulan kamu langsung laporkan ke saya.” Mbah Arjo: ”Jarak rumah dengan sini kan jauh pak, harus menempuh waktu 3 jam, nanti kalau saya lapor, kumpulan pasti sudah bubar.” Tentara: “Ya sudah, kamu menjadi pedagang keliling saja, nanti kalau ada aktivitas-aktivitas di masyarakat, kamu laporkan.” Mbah Arjo: “Orang mengenal saya bukan sebagai seorang pedagang keliling, jadi kalau saya tiba-tiba jadi pedagang keliling, pasti dia akan mencurigai saya.” Tentara: “Ya sudah kamu saya lepaskan, tapi kamu datangi keluarga dan kerabat-kerabatmu, tapi setiap satu minggu kamu laporan ke sini.” Mbah Arjo: “Iya pak, saya akan laksanakan.” Apa yang disampaikan mbah Arjo Sutiyem diakhir kutipan wawancara tersebut beliau lakukan dan setiap satu minggu ia laporan, tapi ia tidak menginformasikan apa-apa. Yang ia sampaikan adalah bahwa beliau sekadar bersilaturahmi layaknya keluarga tanpa ada perbincangan yang lebih. Satu minggu kemudian suami mbah Arjo yang waktu itu juga aktivis BTI (Barisan Tani Indonesia) meninggal dengan gantung diri. Sepeninggal suaminya, mbah Arjo mendapat kebebasan yang tak bersyarat. Meskipun demikian kebebasannya ternyata tidak diiringi dengan penerimaan masyarakat khususnya kaum perempuan pada waktu itu. Beliau mendapat caci maki dan intimidasi dari berbagai kalangan baik dalam bentuk perkataan maupun dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Ia memandang selama dalam penahanan telah terjadi indoktrinasi besar-besaran. Hal tersebut terlihat dari perubahan sikap teman-teman perempuannya yang awalnya baik dan ramah kemudian memusuhi dan mengasingkannya. Kondisi tersebut dipertegas dengan dihilangkannya organisasi-organisasi perempuan dan diganti dengan PKK dan DHARMA WANITA. Sampai pada suatu ketika beliau bertemu dengan salah satu tokoh masyarakat yang menawarkan sesuatu kepadanya, yaitu jika dirinya ingin selamat dan hidup tenteram, maka diminta untuk tutup telinga, mata dan mulut serta diminta untuk memilih partai GOLKAR (Golongan Karya) dengan simbol pohon beringin. Menurutnya, itulah awal keterputusan generasi dalam gerakan perempuan Indonesia. Pembungkaman Gerakan Perempuan Melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) pemerintah orde baru yang dipimpin Soeharto mampu membungkam perempuan selama 32 tahun. Melalui 10 pokok program kerja PKK, perempuan disibukkan dengan kerja-kerja domestik seperti mengurus anak, memasak, menjaga kebersihan lingkungan dll. Doktrin pemerintah orde baru telah masuk ke alam bawah sadar generasi-generasi berikutnya, khususnya perempuan. Kita bisa membandingkan misalnya, sebelum orde baru perempuan bebas mengekspresikan dirinya dengan berorganisasi dan terbiasa pulang malam, tapi sekarang perempuan pulang malam justru mendapat label sebagai perempuan tidak baik oleh masyarakat. Dalam urusan domestik, dulu sebelum orde baru, ini merupakan pekerjaan bersama baik perempuan maupun laki-laki, tetapi sekarang lebih cenderung menjadi pekerjaan perempuan. Dan jika seorang perempuan sudah berkeluarga, maka ia mempunyai kewajiban mutlak untuk mengurus anak dan urusan domestik, sehingga ketika perempuan menjadi pekerja di ranah publik, dia pun juga harus menyelesaikan pekerjaan domestik terlebih dahulu. Bahkan ketika tidak diminta oleh suami, istri merasa bahwa urusan domestik adalah urusan utamanya sebelum berangkat kerja atau aktif di ruang publik. Sehingga menjadi hal yang terlihat lumrah bahwa banyak perempuan yang berhasil dalam bidang akademis namun kemudian hilang perannya ketika harus masuk dalam kehidupan rumah tangga. Meskipun sekarang muncul organisasi-organisasi perempuan yang bertebaran hampir di penjuru wilayah di Indonesia, tapi organisasi-organisasi tersebut seakan kehilangan ruhnya. Sebelum orde baru berkuasa, organisasi perempuan menjadi sebuah gerakan yang dalam aktivitasnya dibarengi dengan pendidikan politik kepada masyarakat khususnya perempuan, sehingga perempuan sadar akan hak-haknya dan mereka merasa memiliki nasib yang sama. Akan tetapi organisasi-organisasi perempuan yang ada sekarang justru cenderung hadir sebagai tuntutan proyek dan berjalan sendiri-sendiri tanpa diiringi dengan pendidikan politik bagi masyarakat khususnya perempuan. Perjuangan mbah Arjo Sutiyem serasa menjadi sia-sia ketika semuanya dimatikan oleh makhluk yang namanya orde baru. Karena itu penting rasanya kita tahu dan mencari fakta sejarah yang selama ini dihilangkan. Dan akan lebih berarti jika kita mampu menumbuhkan rasa kepedulian pada diri kita dan menumbuhkan kepedulian itu kepada orang lain atas kondisi bangsa yang tidak menentu.
0 Comments
Yulianti Muthmainnah (Mahasiswi Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah) [email protected] Kelahiran Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merupakan bagian dari memorialisasi bangsa. Atas tuntutan masyarakat sipil, terutama kelompok perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara atas berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 dan diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Enam belas tahun menjalankan mandat menciptakan situasi kondusif bagi penghapusan pelbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan telah menempatkan Komnas Perempuan sebagai role model lembaga nasional hak asasi manusia/LNHAM di tingkat internasional yang memiliki mandat spesifik. Begitu signifikannya peranan Komnas Perempuan, Navanethem Pillay (Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB) mengatakan, “Saya terkesan pada kekuatan dan keteguhan Komnas Perempuan yang bekerja dengan aktif melindungi hak perempuan, lembaga ini adalah vital untuk melindungi hak di Indonesia” saat kunjungan resminya ke Indonesia tahun 2012. Landasan kerja Komnas Perempuan yakni Konstitusi UUD 1945, Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Undang-undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam atau tidak Manusiawi (CAT), dan Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 1993. Ruang lingkup kerja Komnas Perempuan mulai dari tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional, tidak memiliki kantor perwakilan daerah, dan dijalankan oleh 15 Komisioner dan Badan Pekerja. Siapa Layak? Komisioner periode 2010–2014 telah selesai menjabat. Pada 13 Agustus lalu, para calon komisioner telah menjalani uji publik. Sebagai rangkaian mekanisme memilih komisioner yang transparan dan akuntabel, uji publik dimaksudkan agar masyarakat luas dapat secara langsung berdialog, menilai visi misi, dan merekomendasikan atau tidak para calon. Dari 79 calon yang mendaftar, 45 orang dinyatakan layak mengikuti uji publik. Setelah uji publik, wawancara mendalam dengan lima orang tim independen untuk menjaring 30 bakal calon yang kemudian akan diserahkan ke Sidang Paripurna Komnas Perempuan. Komisioner Komnas Perempuan memang bukan manusia setengah dewa yang multi talent. Tetapi, perspektif adil gender, keberpihakan pada kelompok minoritas dan marginal, bebas bias kelas dan pengalaman berjibaku dengan isu dan perjuangan hak asasi perempuan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi. Mereka juga dituntut bekerja secara independen, bebas dari kepentingan politik/pasar tertentu, mencerminkan pluralitas dalam setiap mekanisme kerja dan komposisi anggota. Sejumlah masalah utama kerap dihadapi Komnas Perempuan, seperti varian dan angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, dikategorikannya LNHAM—atau ditingkat internasional dikenal dengan sebutan National Human Rights Institution (NHRI)--sebagai lembaga ad hoc, ide dileburnya LNHAM (Komnas Perempuan, Komnas HAM, dan KPAI) dan dikelompokkannya LNHAM dalam lembaga non struktural (LNS), tata kelola administrasi dan keuangan yang belum mencerminkan perlindungan untuk saksi dan korban kekerasan karena menggunakan mekanisme dan standar pelaporan dana negara yang rigid dan detail menyebutkan nama dan alamat, serta pemahaman publik yang beragam tentang LNHAM. Tanggung Jawab Bersama Sebuah negara yang demokratis dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM mensyaratkan adanya NHRI yang bertugas memantau implementasi HAM, memastikan tidak terjadi pelanggaran HAM, berfungsi sebagai koreksional, check and balance, dan memberikan rekomendasi pada pemerintah terkait pemenuhan HAM oleh negara. Ide pembentukan NHRI sudah dimulai sejak tahun 1946, oleh PBB, NHRI ibarat teman dekat yang berskala nasional. Prinsip-prinsip Paris 1991 (Paris’s principles) serta International Coordinating NHRI Committee (ICC) menyebutkan bahwa NHRI/LNHAM tidaklah bersifat ad hoc melainkan sebagai lembaga negara yang permanen dan independen. Hal ini karena tidaklah mungkin negara bisa memantau dirinya sendiri secara objektif, bahkan kadangkala negara berpotensi menjadi pelaku pelanggaran HAM, sehingga dibutuhkan lembaga yang dapat memberikan penilaian pada pelanggaran-pelanggaran atau pengabaian pemenuhan HAM yang dilakukan oleh personil negara baik secara individu maupun sebagai lembaga. Pemikiran bahwa NHRI/LNHAM adalah lembaga ad hoc kemungkinan dikarenakan penggunaan kata “komisi” sebagai nama institusi tersebut. Padahal tidak ada acuan atau standar baku untuk menamai NHRI/LNHAM. Penamaan di berbagai negara sangatlah beragam, ada yang menyebut sebagai Commission, Ombudsment, Institution ataupun lembaga nasional HAM seperti di Indonesia. Nama biasanya tergantung dari region, tradisi yang berkembang atau bahkan situasi umum yang berlaku, yang terpenting adalah mandat yang dimiliki. Menjaring calon komisioner Komnas Perempuan ibarat menambang emas dalam campuran pasir kerikil. Artinya, komisioner terpilih adalah orang-orang yang sudah tahu akan melakukan apa untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dan bukanlah orang-orang yang masih harus belajar. Untuk itulah, kepada tim independen dan anggota sidang paripurna diharapkan dapat menentukan komisioner yang tepat untuk menjabat. Nadya Karima (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Indonesia) [email protected] Ketika melintasi terowongan Casablanca. Banyak dari kita mengikuti anjuran mitos yang ada, membunyikan klakson. Seakan-akan kita takut pada kuntilanak merah yang akan melintas. Modernisasi berusaha menerjemahkan mitos-mitos menjadi logos (ilmu pengetahuan), melalui tulisan ini mari kita mencoba membedah mengapa kuntilanak menjadi ikon hantu yang ditakuti oleh banyak orang dan muncul sebagai bintang film di film horor indonesia. Kuntilanak, secara fisik pada umumnya memiliki rambut panjang hitam menjuntai, berpakaian putih dan punya suara tawa yang khas. Kuntilanak adalah perempuan. Kuntilanak adalah perempuan yang menjadi korban perkosaan dan meninggal dengan janin dalam kandungannya serta menakut-nakuti kaum pria untuk membalas dendam karena tidak bertanggung jawab telah memerkosa dan menghamilinya. Mengapa kuntilanak bisa menjadi hantu dan meneror warga? Karena kuntilanak tidak diberikan kesempatan berbicara atas apa yang telah menimpa dirinya. Kuntilanak semasa hidupnya dituduh perempuan muda yang menggoda sehingga ia diperkosa. Padahal apakah benar kuntilanak menggoda atau memang para lelaki ini tidak bisa menjaga pikirannya untuk memiliki tubuh perempuan? Hingga perkosaan terjadi dan kuntilanak hamil pun tetap ia yang disalahkan. Sampai mati pun, ia diberikan imaji sosok yang menakutkan dan tertawa pilu. Kuntilanak adalah perempuan yang terviktimisasi. Merujuk pada istilah yang digunakan oleh ilmu kriminologi, viktimisasi adalah keadaan menyalahkan korban atas kerugian yang ia derita (biasanya perkosaan). Viktimisasi rentan terjadi pada kasus perkosaan. Seringkali masyarakat menyalahkan korban perkosaan yang dianggap berpakaian terlalu seksi dan memancing berahi pemerkosa, atau korban pemerkosaan yang pulang malam sehingga diperkosa, atau korban perkosaan adalah wanita penggoda karena diasosiasikan hawa adalah penggoda yang membuat adam terusir ke bumi. Menurut data korban perkosaan dari Rifka Annisa Women’s Center tahun 2004, korban perkosaan bisa siapa saja, berdasarkan umur termuda berumur satu tahun hingga 70tahun. Dari data tersebut kita tidak bisa memberi kesimpulan bahwa perempuan muda dan cantik rentan diperkosa. Viktimisasi terhadap korban perkosaan membuat korban bungkam karena disalahkan akibat kerugian yang menimpa dirinya. Dan kuntilanak, hanya bisa tertawa yang sebenarnya merupakan ironi dari kepedihannya sebagai korban perkosaan tapi justru tidak bisa membela diri dan bercerita tentang apa yang dia rasakan. Kuntilanak malah dicap buruk oleh masyarakat dan menjadi hantu. Dan kita, masyarakat yang melakukan viktimisasi, ketakutan atas eksistensi kuntilanak. Perempuan-perempuan korban viktimisasi ini tidak mampu berbicara akan apa yang menimpa dirinya, sehingga ia hanya bisa membalas dendam terhadap apa yang telah terjadi padanya. Dan pelekatan imaji menyeramkan juga terjadi karena korban dibungkam oleh rasa takut dan bersalah sehingga muncul pemikiran ”dendam kuntilanak”. Sebenarnya, kuntilanak ini hanya perlu didengarkan, dan berhentilah menghakimi korban perkosaan dengan asumsi perempuan tidak baik yang rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Kita lebih takut terhadap dendam kuntilanak, bukan pada asumsi dan konstruksi terhadap tubuh perempuan. Perempuan lebih mudah diasosiasikan pada hal yang berbau jelek dan buruk sehingga hantu perempuan terkadang lebih jahat, hanya mengincar pria-pria yang dulu menyakiti dirinya, memperkosa dia hingga menjadi hantu. Para feminis posmodern atau feminisme gelombang ketiga menolak keberpihakan terhadap kasus perkosaan melainkan bersikap. Bagaimana kita yang sudah masuk era posmodern ini memaknai kasus perkosaan dan menolak viktimisasi perempuan terhadap kasus yang menyangkut seksualitas. Perempuan harus mampu menuliskan pengalaman kebertubuhannya. Seperti yang digencarkan oleh Julia Kristeva dan Luce Irigaray. Perempuan dan laki-laki memiliki alat kelamin yang berbeda secara biologis, maka pengalaman kebertubuhannya pun sudah pasti berbeda. Sayangnya, sistem patriarki membuat akses perempuan pada tubuhnya sendiri terabjeksi. Perempuan dijauhkan dengan tubuhnya karena perempuan harus tetap pada labelnya sebagai perempuan baik-baik. Padahal, ketidaktahuan perempuan tentang tubuhnya yang membuat perempuan rentan terhadap pelecehan seksual. Perkosaan terjadi akibat adanya relasi kuasa. Dengan memahami dan mengenal tubuh kita sendiri, kita bisa menguasai tubuh kita, sehingga kita mampu memahami dan menggunakan kuasa kita atas tubuh kita sendiri. Dekonstruksi terhadap posisi perempuan yang subordinat dari laki-laki bisa dilakukan. Hal ini dapat menghilangkan relasi kuasa yang memungkinkan terjadinya perkosaan. Kolonisasi tubuh perempuan. Perempuan harus mampu menguasai tubuhnya, mematahkan patriarki untuk menghapus relasi kuasa. Sehingga tidak ada lagi kuntilanak yang tertawa pilu. Catatan: Tulisan ini terinspirasi oleh The Power of Horror karya Julia Kristeva yang membahas mitos Medusa. Sebelumnya juga ada novel karangan Toety Heraty penulisan ulang karya sastra Calon Arang: Korban Patriarki. Winanti Praptiningsih (Karyawati Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta) [email protected] Kaum perempuan di Indonesia masih terbelenggu oleh nilai-nilai budaya yang masih melekat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pemahaman tentang keperempuanan di Indonesia banyak ragamnya tergantung pada suku, kelas sosial dan agama. Sebagian besar masyarakat berharap agar perempuan mampu menjadi ibu dan istri, itulah yang disebut sebagai perempuan utama. Tujuan perempuan dilahirkan ke dunia seakan-akan hanyalah untuk menikah dan merawat keluarga. Pandangan ini mengakibatkan hampir semua perempuan dipojokkan ke dalam urusan-urusan reproduksi dan domestik seperti menjaga rumah dan mengasuh anak. Bahwa keberhasilan dan kemampuan seorang perempuan selalu diukur dari keberhasilan mereka untuk mengelola rumah tangga. Kodrat perempuan seringkali disebut sebagai pembenaran atas perbedaan tugas laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai “konco wingking” dimana peran pengambilan keputusan perempuan hanya terpenjara pada ranah privat/keluarga. Bahkan dalam sistem budaya jawa menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga. Perempuan berada dalam posisi sulit untuk menemukan jati dirinya bahkan tidak berani untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Mereka menjadi terikat secara sistemik sehingga semakin terpenjara di dunia yang tidak merangsang pertumbuhan kepribadiannya. Konsep ibu rumah tangga sebagai penanggung jawab urusan keluarga yang dibawa ke dalam ranah publik mampu memengaruhi cara pandang dan sikap sosial masyarakat terhadap perempuan. Perempuan didoktrin bahwa mereka bekerja layaknya tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan apalagi kekuasaan. Setinggi apapun posisi mereka, tetap saja kedudukannya lebih rendah dibandingkan laki-laki. Mitos tentang perempuan memang terasa melekat erat dalam diri perempuan, sehingga menekan ruang geraknya agar tidak bergerak terlalu berlebih. Setiap tindakan perempuan yang dianggap progresif hampir selalu menuai kritik. Bahkan masyarakat Jawa mengatakannya sebagai sesuatu hal yang saru atau tabu, sehingga perempuan dianggap tidak patut jika melanggar konsensus sosial itu dan dipandang menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Di sisi lain, perempuan diklaim untuk turut berperan serta memajukan pembangunan bangsa. Peran ganda perempuan disebut-sebut sebagai justifikasi bahwa selain mengurus rumah, perempuan juga berkewajiban untuk berkiprah aktif dalam pembangunan. Peran mereka di ranah publik tidak serta merta mampu melepaskan tanggung jawabnya terhadap rumah tangga. Di satu sisi perempuan dituntut aktif dalam pembangunan, namun di sisi lain perempuan terikat oleh nilai-nilai tradisional yang masih diyakini oleh masyarakat. Peran perempuan di ranah publik untuk berorganisasi pun masih mengikuti budaya “ikut suami”. Organisasi Dharma Wanita, Organisasi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga, Persatuan Istri Anggota Dewan, Bhayangkari, dan organisasi perempuan lainnya cenderung menguatkan peran laki-laki dan tidak terlepas dari perannya untuk keluarga. Semakin tinggi posisi ataupun status sosial istri dalam sebuah organisasi, akan turut menyumbang peningkatan status suami di ranah publik. Kebebasan ruang gerak perempuan di ranah publik apalagi politik sejatinya merupakan kebebasan semu. Perempuan seakan-akan telah memiliki “pagar” yang tidak boleh dilanggar atas kodratnya sebagai perempuan. Mereka dikondisikan patuh atas pembatasan itu dan menerimanya sebagai sebuah kebenaran. Konstruksi sosial masyarakat memberikan cara pandang yang berbeda terhadap sosok perempuan. Pertama, agama-agama di dunia memiliki pembatasan atas tubuh perempuan. Perempuan dianggap kurang mempunyai kemampuan berpikir yang memadai sehingga perlu untuk selalu didampingi, dididik bahkan dilindungi. Kedua, perempuan diyakini memiliki kelemahan fisik yang bersumber dari kemampuan reproduksinya. Sesungguhnya perempuan memiliki kelebihan biologis dibandingkan laki-laki akan tetapi dalam konsep sosial masyarakat kelebihan ini dipandang sebagai kelemahan perempuan. Ketiga, perbedaan derajat sosial budaya. Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi oleh kaum laki-laki atas kaum perempuan seakan-akan sudah menjadi akar sejarah panjang dan mendarah daging. Perempuan selalu ditempatkan sebagai the second human being (manusia kelas kedua) atau pun jenis kelamin kedua yang berada di bawah superioritas kaum laki-laki. Keempat, sejarah tidak berpihak pada perempuan. Kisah Adam dan Hawa membawa perempuan dalam sebuah tarikan sejarah panjang. Dari awal kisah itu bermula, perempuan dianggap sebagai sumber bencana dan kerusakan. Perempuan dianggap sebagai manusia penggoda yang mengakibatkan Adam turun ke bumi setelah tergoda untuk memakan buah terlarang. Sejak saat itu, kemana pun perempuan pergi semestinya didampingi, dilindungi dan dibimbing agar tidak “menggoda” manusia lain. Kelima, perbedaan perspektif. Dikotomi pembedaan laki-laki berperan dalam ranah publik dan perempuan dalam ranah privat membawa perempuan semakin terpenjara di rumah. Mereka akan merasa bersalah apabila meninggalkan keluarga ataupun melepaskan tanggung jawab mereka sebagai ibu rumah tangga. Beberapa poin di atas sedikit banyak ikut menyumbang cara pandang masyarakat terhadap perempuan. Konsep pemaknaan perempuan yang diwacanakan terus-menerus di dalam kehidupan sosial masyarakat itulah yang memunculkan alasan mengapa perempuan tidak pantas memasuki dunia politik. Dalam perkembangan peradaban manusia, rasionalitas modern berusaha membawa masyarakat menuju abad pencerahan dimana manusia mampu melepaskan mitos dan berpijak pada logos menuju emansipasi pengetahuan. Perkembangan pola berpikir manusia telah mengubah pandangan tentang perempuan. Semula perempuan hanya mengurus ranah domestik kini mulai berkembang ke ranah publik, terutama dalam berpolitik. Yulianti Muthmainnah (Mahasiswi Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah) [email protected] Idul Adha, dikenal pula dengan Lebaran Haji atau hari raya kurban, akan segera tiba. Kurban selalu identik dengan sejarah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail melalui mimpi (al-ru’ya al-shadiqah/mimpi yang benar). Dialog antara ayah dan anak pun terjadi. Dengan berat hati dan penuh keikhlasan, Ibrahim, sang ayah menceritakan mimpinya pada sang anak. Ismail yang kala itu berusia antara enam sampai tujuh tahun, mengizinkan ayahnya menjalankan perintah Sang Khalik tanpa rasa ragu (QS. Ash-Shaffaat: 102). Dengan penuh ketakwaan, mereka pergi menuju Jabal Qurban (gunung kurban), membaringkan leher Ismail di atas sebuah batu dan pedang siap diayunkan untuk menjalankan perintahNya. Namun Allah berkehendak lain, Ismail diganti dengan seekor hewan. Sehingga Ibrahim tidaklah menyembelih Ismail tetapi seekor hewan (QS. Ash-Shaffaat: 103-107). Ismail adalah anak dari istri kedua Ibrahim, Siti Hajar. Ismail dan Hajar tinggal terpisah dari Ibrahim. Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di Mekkah dengan beberapa potong roti dan sebuah guci berisikan air. Ketika Hajar kehabisan air dan makanan ia melihat air di arah timur yang ternyata hanya fatamorgana. Hajar pun berlarian antara bukit Sofa dan Marwah hingga tujuh kali, namun tak pula mendapatkan air. Ismail terus menangis. Ia menghentak-hentakkan kakinya di tanah. Atas izin Allah, hentakan kaki Ismail mengeluarkan air. Hajar yang kegirangan berteriak “zami-zami”. Tempat ini kemudian dikenal dengan sumber mata air Zam-zam. Kisah Hajar menjadi salah satu ritual Ibadah Haji yakni berlari-lari kecil antara bukit Sofa dan Marwah. Sedangkan kisah Ibrahim dan Ismail menjadi penanda sejarah kurban. Kurban merupakan ibadah dalam bentuk menyembelih hewan ternak. Penyembelihan hewan kurban adalah simbol mendekatkan diri pada Tuhan sebagai bentuk ketakwaan (QS. Al-Hajj: 36-37). Bagi umat muslim yang memiliki kelebihan harta maka hendaknya mereka menyembelih hewan kurban dan membagi-bagikan dagingnya untuk orang-orang fakir miskin (QS. Al-Hajj: 36). Demikianlah kisah kurban selalu kita dengar setiap tahun dan berulang. Sebuah dialog antara Tuhan, Ibrahim, dan Ismail. Lantas dimanakah peran Siti Hajar, ibunda Ismail, dalam dialog di atas? Perempuan yang di(ter)hilangkan dalam sejarah kurban Siti Hajar mulanya budak perempuan yang dihadiahkan Raja Mesir kepada Ibrahim. Siti Sarah, istri pertama Ibrahim, berinisiatif mengizinkan Ibrahim menikahi Hajar dalam rangka mendapatkan keturunan karena Ibrahim telah berusia 100 tahun. Atas pernikahan itu, lahirlah Ismail. Sarah, perempuan tercantik kala itu, yang juga sangat mencintai Ibrahim merasa sedih melihat kemesraan mereka setiap saat. Allah pun memerintahkan Ibrahim membawa Hajar dan Ismail hijrah (berpindah) ke Mekkah dan meninggalkan mereka di sana. Hajar memang sempat bertanya mengapa ia harus pindah dan ditinggalkan, tetapi Hajar menerimanya. Mengorbankan kebahagiaan yang baru sebentar ia rasakan bersama Ibrahim atas nama menjalankan perintah Sang Khalik. Kerasnya kehidupan di Mekkah menjadi penanda pengorbanan Hajar membesarkan Ismail seorang diri, tanpa suami. Sedangkan di sisi lain, Ibrahim kembali pada Sarah yang melahirkan bayi bersama Ishaq (QS. Ash-Shaffaat: 112). Pengorbanan Hajar lainnya adalah ketika perintah kurban datang, Hajarlah yang mengasah pedang dan memastikan pedang tersebut benar-benar tajam agar tak menyakiti anak kesayangannya. Sebuah pengorbanan luar biasa dari tangan yang membesarkan Ismail selama tujuh tahun tanpa suami, tangan itu pula yang mengasah pedang. Selain Hajar, adakah pengorbanan Sarah? Sarah, atas permintaan Ibrahim, bersedia menjadikan dirinya sebagai saudara perempuan Ibrahim tatkala Raja Mesir menanyakan identitasnya. Karena jika ia mengaku sebagai istri Ibrahim, maka raja yang terkenal memiliki ratusan istri tanpa sungkan akan mengambil Sarah dari sisi Ibrahim. Pengorbanan Sarah yang kedua adalah kesediaan dirinya dimadu. Sebuah pengorbanan luar biasa dari seorang perempuan yang mencintai pasangannya. Selain itu, karena pernikahan tersebut, secara otomatis Sarah memerdekakan Hajar dari status budak menjadi manusia merdeka (Ibnu Sahid As-Sundy dalam Samudra Cinta Sarah dan Ibrahim a.s). Akan tetapi, pengorbanan Sarah dan Hajar tak jua diperdengarkan dalam kisah kurban. Setiap tahun, para muballigh/penceramah hanya menyuarakan dialog antara Ibrahim dan Ismail. Hampir tak pernah saya mendengar kisah Sarah dan Hajar dikumandangkan. Mengapa history, bukan herstory? Hilangnya kisah Sarah dan Hajar dalam peringatan Hari Raya Kurban menjadi penanda tidak dianggapnya kisah perempuan dalam tiap sejarah manusia. Tak berlebihan kiranya jika Simone de Beauvoir menyebutkan perempuan sebagai second sex. Sebagai jenis kelamin kedua di dunia, tentu saja sejarah perempuan dianggap tidak perlu dibahas dan didengar. St. Sunardi dalam Mencari Profil Pendidikan Kritis mengisahkan bagaimana Paulo Freire, tokoh pendidikan kritis di negara-negara Amerika Latin senantiasa menuliskan bait-bait manusia dengan kata “man”. Kata-kata ini yang kemudian ditentang Abha Bhaiya dan Kalyani Menon Sen sebagai tanda menghilangkan sejarah perempuan, karena selalu mengidentifikasi manusia sebagai laki-laki. Perilaku ini yang tampaknya dilakukan sejarawan muslim ketika menulis dan menceritakan sejarah masa lalu dengan tokoh utama laki-laki, tanpa perempuan. Kesadaran akan pentingnya menyuarakan sejarah perempuan sebagai bagian dari sejarah manusia (perempuan dan laki-laki) menjadi titik tolak para sejarawan feminis mengubah persepsi kita tentang masa lalu. Maggie Humm dalam Ensiklopedia Feminism setidaknya menuliskan ada tiga pendekatan yang dilakukan sejarawan feminis yakni mendefinisikan kembali metode dan kategori—terutama konsep periodisasi, memfokuskan pada jenis kelamin bersamaan dengan analisa ras dan kelas sebagai cara mengidentifikasi ungkapan-ungkapan stereotip bagi perempuan dan terakhir mentransformasikan pemahaman kita mengenai perubahan sosial dan bagaimana lingkup domestik dan publik dibedakan. Dengan optimis, para feminis mengusulkan bahwa kebenaran subjektif sejarah kita akan membawa pada kesadaran perempuan secara kolektif. Atas desakan feminis, pendekatan itu diadopsi PBB. Preambul Piagam PBB versi awalnya menuliskan “equal rights among men” diubah menjadi “equal rights among men and women”. Demikian pula Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) mulanya mengonsepkan “all men” untuk menyebut semua manusia, diubah menjadi “all human being”. Lantas, apakah sejarawan muslim masih berkutat pada history tanpa mau membaca kembali bagaimana history itu muncul? Adakah niatan tulus untuk memosisikan perempuan dan laki-laki setara, sama-sama berkontribusi membangun sejarah? Bagaimana seandainya Sarah tak mendorong Ibrahim menikahi Hajar, atau Hajar yang enggan membesarkan Ismail, maka mungkin hingga kini tak kan ada sejarah kurban. Untuk itu, sekecil apapun perempuan menorehkan sejarah, saya meyakini itulah kontribusi terbaik perempuan bagi peradaban kita. Selamat Hari Raya Kurban. Andi Misbahul Pratiwi (Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Gunadarma dan Ketua Umum LISUMA) [email protected] Politik pada hakikatnya adalah upaya untuk merebut kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan di Indonesia masih didominasi laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga hingga tingkat politik formal. Berdasarkan sensus penduduk 2010, saat ini Indonesia memiliki237.641.326 penduduk, dengan jumlah perempuan sebanyak 118.010.413 jiwa dan laki-laki sebanyak 119.630.913 jiwa serta seks rasio 101, yang berarti terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Dengan jumlah penduduk perempuan yang sangat besar, apakah kepentingan politik perempuan telah diakomodir oleh negara, dalam hal ini pemangku kebijakan? Apakah posisi pengambilan keputusan hari ini telah diwarnai oleh perempuan? Apakah kepentingan perempuan dalam ranah domestik dan publik telah diakomodir? Dan apakah keterwakilan perempuan di ranah publik adalah sebuah urgensi politik? Cendekiawan Sue Thomas melontarkan lima alasan mengapa perempuan perlu meningkatkan partisipasinya dalam politik atau meningkatkan proporsi keterwakilannya dalam jabatan politik (Thomas dan Wilcox 1998, dalam Bennion, 2001). Pertama, kesempatan yang sama bagi kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, untuk memangku jabatan politik bisa meningkatkan legitimasi pemerintahan demokratis yang mengklaim mewakili semua warga negaranya. Kedua, warga negara percaya bahwa semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka tingkat kepercayaan dan dukungan terhadap pemerintah akan meningkat dan hal ini bisa membantu menciptakan pemerintahan yang lebih stabil. Ketiga, perempuan merupakan kelompok talenta yang besar. Kemampuan, titik pandang dan ide-ide mereka dapat menguntungkan masyarakat dengan melibatkan pemegang jabatan laki-laki dan perempuan sekaligus. Keempat, pemerintahan yang merangkul pemimpin laki-laki dan perempuan menyampaikan pesan kepada kaum muda laki-laki dan perempuan juga warga negara dewasa dari semua kelompok umur, bahwa dunia politik terbuka bagi semua orang dan semua golongan, tidak hanya sebagai wilayah eksklusif laki-laki. Alasan ini didasarkan pada legitimasi, stabilitas, dan pemanfaatan sumberdaya. Kelima, alasan mengenai pentingnya memasukkan perempuan dalam jajaran pemimpin politik dilandasi oleh fakta bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai pengalaman hidup berbeda. Dengan adanya perbedaan ini, laki-laki dan perempuan bisa saling mengisi dan menyempurnakan peran masing-masing. Secara khusus, pembagian tugas berdasar gender yang berkelanjutan di tempat kerja maupun di rumah dapat berubah menjadi cara tersendiri untuk memandang usulan legislasi dan agenda politik berbeda, karena jiwa pengabdian, pemeliharaan, dan religiositas yang mereka punyai, diharapkan akan memberikan cara yang berbeda dalam kepemimpinan. UU Pilkada yang pada hari jumat 26 September disahkan dalam sidang paripurna DPR RI masih sarat akan perdebatan, tidak hanya pasca disahkannya UU ini, namun ketika UU ini masih menjadi rumusan pun sudah menuai kontraversi. UU Pilkada yang mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD ini sarat dengan kepentingan politik. Selain itu sejumlah faktor dijadikan alasan untuk kembali ke sistem pemilihan tidak langsung, diantaranya anggaran yang terlalu besar untuk pilkada langsung, politik dinasti dan integritas kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini bisa dilihat pada beberapa pasal, sebagaimana pada bagian keenam pasal 24 ayat (1) bahwa “pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil pemilihan dan pembahasan hasil uji publik dalam pemilihan gubernur dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi” dan sebagaimana pasal 26 ayat (1) dalam RUU Pilkada bahwa “setiap anggota DPRD memberikan suaranya hanya kepada 1 (satu) calon”. Meskipun menuai pro dan kontra, UU Pilkada tetap disahkan dan perjalanan demokrasi kita berjalan mundur kembali pada masa Orde Baru dimana pemilihan kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota diselenggarakan dan dipilih oleh DPRD. Pengesahan UU Pilkada ini mengandung makna bahwa keterwakilan perempuan akan kembali tak mendapat ruang dan kehilangan ruhnya. Pasca Orde Baru, partisipasi politik perempuan mengalami peningkatan dan tentunya berbanding lurus dengan kenaikan persentase perempuan sebagai pemegang keputusan. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan bulan Juni 2005. Sejak saat itu mulai bermunculan kepala daerah perempuan yang berintegritas dan berdedikasi tinggi untuk daerahnya. Mulai tahun 1945 hak perempuan untuk memilih telah diakui dan posisi perempuan dalam politik berlangsung secara fluktuatif. Berikut daftar kepala daerah yang dipilih langsung pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Berdasarkan data diatas terbukti bahwa Pilkada melalui mekanisme pemilihan langsung telah membuka kesempatan bagi perempuan yang mempunyai kemampuan untuk menduduki posisi pemegang keputusan, yaitu kepala daerah. Jika dibandingkan dengan pilkada tidak langsung tentunya sangat jauh berbeda, bahkan pada era pilkada tidak langsung perempuan belum mewarnai posisi kepala daerah. Tentunya UU pilkada dengan mekanisme langsung dipilih oleh rakyat adalah salah satu affirmative action bagi kaum perempuan selain UU pemilu tahun 2003 pasal 65 ayat 1 mengenai kuota 30 % keterwakilan perempuan di legislatif.
Peningkatan angka kepala daerah perempuan sejak pilkada langsung masih belum bisa mengakomodir dan mangadvokasi semua permasalahan-permasalahan perempuan di ranah domestik maupun publik. Dengan dipersempitnya kesempatan perempuan menjadi kepala daerah, siapakah yang akan mengadvokasi kepentingan-kepentingan politk perempuan? Kaum laki-laki? Seperti dijelaskan Mansour Fakih (2001:14)
Pada era kepemimpinan SBY juga UU Pilkada ini mengalami pembahasan ulang sampai akhirnya diputuskan untuk kembali menggunakan mekanisme tidak langsung yaitu pemilihan melalui DPRD. Dengan mekanisme seperti itu, timbul sebuah kekhawatiran atas menyempitnya ruang perempuan di ranah publik. Memang bukan sebuah jaminan bahwa pilkada dengan mekanisme tidak langsung secara otomatis akan menurunkan persentase perempuan sebagai kepala daerah, namun berdasarkan historical data yang ada kita bisa belajar untuk membuat future plan keterwakilan perempuan. Belum genap 10 tahun perempuan bisa bernafas lega karena terbukanya kesempatan-kesempatan berkarya di ranah publik, sekarang ruang itu sedikit demi sedikit ditutup kembali. Representasi perempuan di legislatif belum mencapai 30%, dengan mekanisme pilkada dipilih oleh DPRD, memunculkan pertanyaan apakah calon kepala daerah perempuan yang mempunyai kapasitas dan integritas akan dapat terpilih? Jawabannya tidaklah sederhana, mengingat ini bukan hanya persoalan persaingan gender namun persaingan koalisi partai pengusung dan money politics dikalangan anggota dewan, sehingga tidak menutup kemungkinan integritas dan kapabilitas calon dijadikan nomor kesekian, bahkan sistem demokrasi dari rakyat untuk rakyat ini bisa mengerucut menjadi sistem pemerintahan oligarki. Sekali lagi memang tidak ada jaminan apapun terhadap perempuan pada kedua mekanisme tersebut, namun yang perlu dipertimbangkan kembali adalah mekanisme pilkada mana yang lebih membuka ruang bagi perempuan untuk menjadi kepala daerah. Wajah politik Indonesia hari ini ternyata belum memberi ruang terhadap perempuan. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotip telah menciptakan ketidaksetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marginalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya guna memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yang nantinya akan memberikan perubahan pandangan terhadap budaya patriarki dalam masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya pemimpin politik perempuan dalam hal ini kepala daerah akan sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpin politik laki-laki. Referensi: Jurnal Perempuan Vol. 17 No. 4, Desember 2012, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta Danu Ramdhana, Politik Gender dan Demokrasi, 2013 http://id.wikipedia.org/Pemimpin_wanita_di_indonesia Yulianti Muthmainnah (Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah dan Mahasiswi Paramadina Graduate School of Diplomacy) [email protected] Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi bukan hanya selaras dengan ajaran Islam, tetapi juga mendukung perlindungan dan jaminan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, terutama perempuan korban perkosaan. Muktamar Internasional yang dihadiri negara-negara Islam di Zagreb, Kroasia, 2012, menghasilkan fatwa perempuan korban perkosaan boleh melakukan aborsi. Demikian disampaikan Syekh Yusuf Qardhawi. Alasannya, perkosaan itu bukan kehendak mereka, mereka pun tidak menanggung dosa akibat perbuatan itu, sehingga mereka boleh melakukan aborsi. Di Indonesia, terjadi pro dan kontra terkait aborsi. Kelompok yang menolak berpatokan pada larangan agama dan hak anak untuk hidup terlepas dari apapun status dan kondisi yang dialami sang ibu/perempuan hamil tersebut. Sedang kelompok yang mendukung berpandangan bahwa agama memperbolehkan untuk kondisi darurat, tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia di Asia Tenggara juga kondisi fisik dan trauma psikis perempuan korban perkosaan yang harus mendapatkan hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Pemerintah menyetujui pelaksanaan aborsi secara aman, legal, dan berstandar. Aborsi diatur sangat ketat, melalui tahapan yang panjang (Pasal 31–39). Persetujuan keluarga diharuskan bila aborsi karena indikasi kedaruratan medis (Pasal 35). Pada korban perkosaan, usia kehamilan sesuai kejadian perkosaan dengan bukti surat dokter, keterangan penyidik, psikolog, dan ahli (Pasal 34). Aborsi pun baru bisa dilakukan setelah melalui tahapan konseling (Pasal 37), dilakukan oleh dokter berstandar, bukan untuk tujuan materi (Pasal 35–36) dan harus dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota (Pasal 39). Apabila perempuan korban perkosaan membatalkan rencana aborsinya setelah konseling, maka selama hamil, harus terus didampingi konselor, anak yang dilahirkan dari perkosaan dapat diasuh keluarga atau menjadi anak asuh negara (Pasal 38). Hilangnya jaminan kepastian hukum, potensi pelanggaran hak perempuan korban dan risiko memunculkan pengabaian ada dalam Pasal 39, rumusannya tidak membatasi jangka waktu keluarnya surat izin dari kepala dinas. Apakah visum et repertum tidak cukup? Bagaimana jika surat tak kunjung keluar? Padahal janin kian tumbuh dan aborsi hanya bisa dilakukan dengan syarat usia kehamilan dibawah enam minggu (Pasal 75 (ayat 2) UUK). Memahami Perkosaan Perkosaan merendahkan martabat perempuan dan melanggar HAM. Deklarasi PBB Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993, mendefinisikan perkosaan sebagai setiap perbuatan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun privat. Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court) memasukkan perkosaan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang ditanganinya sejak 2002. Perkosaan terjadi karena adanya relasi kuasa yang tidak setara antara korban dan pelaku. Kate Millet mengatakan perkosaan sebagai cara sosial yang efektif untuk menundukkan dan mempermalukan suatu komunitas. Dengan perbuatan itu laki-laki merasa menang, perempuan korban dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan, ingin “bersenang-senang” dengan gerombolan laki-laki lainnya, menganggap rendah perempuan, menganggap perempuan milik laki-laki, ingin memamerkan kuasa dan membuktikan kekuatan dirinya (Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape The War Against Women in Bosnia-Herzegovina). Pandangan Agama Perkosaan berbeda dengan zina. Zina, perbuatan hubungan seksual diluar nikah, biasanya dilandasi kesenangan atau suka sama suka. Hukuman pezina yang belum menikah adalah dicambuk 100 kali (jild) atau dilempari baru (rajam) bagi yang telah menikah. Sedangkan perkosaan terjadi karena paksaan/ancaman. KH Husein Muhammad, meng-qiyas-kan pemerkosa seperti “muharib” (penyerang dalam perang) sehingga harus dihukum berat. Islam sangat memperhatikan nasib perempuan. Kedatangan Islam justru mengangkat derajat perempuan dari bukan siapa-siapa dan dapat diwarikan menjadi seseorang yang kelahirannya dirayakan melalui aqiqah. Perempuan (manusia) makhluk mulia ciptaan Allah SWT (Q.S. Al-Isra:70), perempuan dan laki-laki diciptakan dari substansi (nafs) yang sama (Q.S. An-Nisa:1), perempuan memiliki kedudukan setara dan sederajat dengan manusia lainnya (Q.S al-Hujurat:13). Alquran telah mengharamkan hubungan yang saling melecehkan antara manusia (Q.S al-Hujurat: 11). Jika melecehkan saja diharamkan Alquran apalagi menyerang dan menghinakan perempuan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas sesuatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa dan karena dipaksa melakukannya.” Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada Muktamar Tarjih XXII di Malang, 1989, mengeluarkan Putusan berkenaan dengan hukum abortus. Kesimpulan singkat dari Putusan tersebut; (1) abortus provocatus criminalis atau aborsi yang dilakukan tanpa indikasi medis yang jelas adalah haram, (2) abortus provocatus medicinalis atau aborsi yang dilakukan karena alasan medis dapat dibenarkan lantaran darurat, yaitu adanya kekhawatiran atas keselamatan, kesehatan ibu waktu mengandung, melahirkan berdasarkan hasil konsultasi dengan para ahli. Perempuan korban perkosaan, rata-rata mengalami trauma luar biasa, bahkan banyak dari mereka ingin bunuh diri. Karena itu, sepatutnya kita berpihak pada mereka. Paha mama yang duduk di tengah sanggar itu berwarna lain. Mama itu sudah cukup umur, nenek-nenek, tapi masih rajin datang ke sanggar untuk membuat noken. Beberapa kali aku singgah ke sanggar itu sering mendapati mama tua itu sedang asyik dengan nokennya. Pernah sekali aku melihatnya duduk bertelanjang dada membelakangi tungku kecil—tampaknya mama tua sedang butuh menghangatkan tubuhnya—sambil menganyam noken. Paha mama berwarna lain itu agaknya karena memintal. Sanggar Semenawut berada di kampung Ats, salah satu kampung di Distrik Atsy Kabupaten Asmat. Sanggar ini khusus untuk mama-mama. Nama sanggar diambil dari nama istri moyang Ats. Dorang[1] percaya dengan memberi nama moyang maka roh moyang akan memberi perlindungan. Mama Monika, yang dituakan di sanggar ini, bercerita, “Roh moyang beri semangat, anyam noken tidak ada rasa lelah.” Menganyam noken bisa dilakukan dimana saja tanpa harus di sanggar. Yang membuat berbeda adalah rasa kebersamaan. Sanggar memberi semangat. Ada pembeda yang cukup mencolok antara laki-laki dan perempuan di tanah lumpur ini. Orang-orang Asmat percaya—tidak bisa diganggu gugat—bahwa hanya perempuanlah yang boleh tahu noken dan laki-lakilah yang boleh tahu ukir. Pembagian peran untuk nguri-uri ciri khas Asmat diperankan berdasarkan jenis kelamin. Mama-mamalah yang bertugas membuat noken dan bapa-bapa membuat ukiran. Jika dibalik maka pamali. Membuat satu noken membutuhkan proses panjang, dari mengambil bahan mentah hingga menganyam dan noken siap pakai. Tidak boleh sembarangan mengambil bahan baku untuk membuat noken. Semua ada aturan mainnya. Membuat noken sangat ramah lingkungan dan merawat persaudaraan. Sangat jarang ditemui mama-mama pergi ke dusun[2] sendirian. Biasanya mama-mama akan pergi berombongan ke dusun untuk mencari bahan-bahan noken atau pangkur[3] sagu. Bahan baku anyaman noken terbuat dari akar muda pohon pandan yang masih bergelantungan, disebut dengan nama bou. Mengambil akar muda ini tidak boleh berlebihan, secukupnya saja. Tidak ada istilah ambil banyak sekalian agar tidak usah bolak-balik ke dusun. Bahan lainnya adalah pucuk sagu muda yang terbuka disebut dengan junum. Selain itu dibutuhkan pucuk sagu muda yang tertutup biasa disebut pisis. Untuk menambah semarak noken (aksesori) dibutuhkan bahan-bahan lainnya seperti: jua (pisau rumput untuk memberi warna), tuwus (daun cuamek[4]), tisen (manik-manik warna putih), derek (manik-manik warna merah), pife (bulu tulang sayap kasuari) dan yothefak (bulu tulang burung mambruk bagian sayap dan ekor). Ambil yang dibutuhkan saat ini bukan saat esok. Kepercayaan untuk mengambil sagu dan bahan-bahan noken dari dusun yang diukur berdasarkan kebutuhan itu dipercayai turun temurun. Jika ada jawaban ‘itu sudah dari moyang’ artinya tidak usah dipertanyakan, ikuti saja. Tidak ada mama-mama yang berani melanggar aturan itu. Dibalik aturan yang tidak pernah dipertanyakan mama-mama tersebut tersimpan makna yang mendalam untuk menjaga ekosistem hutan. Orang-orang Asmat belum mempunyai kebiasaan menanam sagu (jiwa peramu), semua tumbuh dan berkembang biak dengan sendirinya. Maka mengambil secukupnya adalah jalan terbaik agar ekosistem tetap terjaga. Hal itu berbeda dengan mengambil pohon-pohon lainnya, seperti kayu besi atau pohon-pohon yang kualitasnya baik (nilai ekonomis/komersialisasi). Ada banyak kisah tentang penebangan liar. Bisa dipastikan yang melakukan penebangan liar (mengambil sesuka hati) itu bukanlah mama-mama. Satu pohon sagu rata-rata menghasilkan 2 caufa[5] junum/pisis. Sehari hanya boleh mengambil junum/pisis paling banyak dari 5 batang sagu. Tidak boleh ambil berlebih karena akan ada akibatnya (pamali). Junum/pisis tersebut diambil secara bersama-sama (bantu membantu), bukan satu orang ambil sendiri-sendiri. Hasilnya dibagi-bagi. Selesai ambil dari satu pohon sagu berpindah ke pohon yang lain dengan cara yang sama (jangan sampai merusak sagu, karena sagu belum saatnya dipangkur). Kebersamaan selalu dijaga karena kondisi alam. Pohon sagu tidak bisa dikatakan pohon ukuran kecil ketika sudah menghasilkan junum/pisis. Ada cerita lain dibalik kebersamaan tersebut. Mama Monika berkata “dong ambil sendiri takut setan to”. Pada dasarnya situasi alamlah yang membuat suasana kebersamaan itu terjaga. Tatkala alam masih belum “ternodai” maka kebersamaan itupun masih akan terus terjaga. Takut setan itu hanyalah alasan kecil yang sebenarnya tidak berlaku secara umum. Benar dorang memercayai adanya roh jahat (roh penggoda) yang tinggal di pohon-pohon tertentu. Selesai mengambil bahan-bahan secukupnya maka tiba saatnya pulang dari dusun. Bahan-bahan tadi digunakan sesuai dengan selera. Pada dasarnya ada dua macam noken. Perbedaan itu akan memengaruhi aksesori yang akan digunakan. Noken dengan bahan dasar akar pandan biasanya menggunakan aksesori bulu sayap/ekor burung bangau. Noken tersebut bukan hasil pintal tapi anyaman biasa. Berbeda dengan bahan dasar junum. Junum tersebut dikupas, ambil kulit luar yang tipis (yang tebal dibuang). Junum siap dipintal. Proses pintal adalah junum digulung-gulung diatas paha/betis (daerah kaki)[6]. Ketika menggulung junum diberi pelumas—biasanya dengan air ludah, seperti menghitung uang jari dijilatkan lalu mulai hitung uang lagi. Sekarang ada juga yang menggunakan pelumas pintal dengan air, beberapa bapa-bapa menggunakan abu tungku untuk pelumas pintal. Hasil pintal tersebut diberi nama semen. Bahan yang harus diproses lainnya adalah pisis. Pucuk sagu tersebut dibelah dua—berdasarkan garis yang sudah ada—lalu diikat ujungnya dan siap dianyam. Noken buatan mama-mama yang bahan dasarnya diambil dari dusun tersebut semua ramah lingkungan. Ketika tiba waktunya nanti noken itu rusak (karena dimakan usia) tidak ada sampah yang akan merusak tanah. Noken tersebut akan menyatu dengan tanah. Dari alam kembali lagi ke alam. Hasil anyaman noken tidak hanya digunakan oleh mama-mama saja. Mama-mama “tahu noken” tapi semua orang boleh memakai noken. Catatan Belakang: [1] Dorang sebutan untuk mereka (jamak) [2] Dusun artinya hutan. Tempat berburu atau mencari sagu, jarak rumah dengan dusun tidak bisa dikatakan dekat [3] Pangkur maksudnya proses mengambil sagu, mulai dari menebang hingga menyarikan tepung sagu. [4] Nama asmat buah manis [5] Satuan ukuran untuk satu buah [6] Proses mengulung-gulung diatas paha/betis hanya berlaku untuk perempuan. Jika laki-laki yang memintal maka menggunakan telapak kakinya. Biasanya laki-laki memintal dari bahan pohon fu. Hasil pintalan tersebut bukan untuk membuat noken tapi menghiasi ukiran, tombak, perahu, ikat kepala, alat penikam dll. Asmat, salah satu kabupaten yang ada di Papua termasuk kabupaten baru, hasil pemekaran dari Merauke. Kabupaten ini dikenal juga dengan nama Kota Papan atau Kota Lumpur. Jauh sebelum pemerintah hadir di tengah-tengah orang-orang Asmat, Gereja, melalui orang-orang misionaris—karenanya segala sesuatu terkait dengan gereja diberi sebutan misi—datang menyapa dan tinggal bersama. Hal itu membuat Asmat identik dengan agama katolik. Bahkan kehadiran misionaris di tengah masyarakat Asmat, yang hidup meramu dan tinggal di bevak[1]--menjadi ciri khas orang Asmat untuk bertahan hidup—telah ada sebelum Papua bersatu dengan Indonesia. Hadirnya pemerintah ditanah lumpur ini membuat masyarakat seolah-olah mempunyai “tuan baru ditanahnya”. Pemerintah datang membawa “aturan main” yang mau tidak mau harus diterima oleh seluruh penduduk di negeri ini tak terkecuali Asmat. Sekarang Asmat dengan jati dirinya harus berdiri diatas “kepentingan” adat, gereja dan pemerintah dalam waktu yang bersamaan. Semua mempunyai jalurnya sendiri-sendiri. Kepentingan-kepentingan yang hadir di tengah-tengah masyarakat Asmat ini tidak serta merta mampu menyejahterakan semua pihak (laki-laki, perempuan dan anak-anak). Perjuangan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki pun tidak dimulai hari kemarin (baik oleh gereja, pemerintah bahkan adat itu sendiri). Negara dengan “jargonnya” bernama Milennium Development Goals (MDGs) masih dalam tahapan proses. Bahkan dipenghujung tahun pun MDGs masih saja samar, apakah semua tujuan-tujuan itu sudah tergapai. Bukan barang baru lagi deklarasi milenium menghasilkan delapan target yang ditandatangani oleh 147 kepala negara dan kepala pemerintahan. Saat itu Indonesia diwakili oleh presiden, yaitu Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada KTT Milenium di New York AS, 6-8 September 2000. Delapan tujuan itu antara lain: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (Laporan tahunan Bappenas, 2002). Delapan tujuan itu saya ambil tiga poin yang saling berdekatan, yaitu: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu. Orang-orang Asmat masih memercayai adanya “keyakinan lokal” yang tidak bisa disamaratakan begitu saja. Kepercayaan itu sangat mungkin menuai kritik ketika berbicara tentang kesetaraan gender. Mari kita angkat salah satu contohnya. Ada dua hal yang menjadi ciri kas Asmat, ukir dan noken. Dua barang itu akan mudah ditemui ketika penyelenggaraan pesta budaya[2]. Ukir dan noken seolah mempunyai jenis kelamin, hanya laki-laki yang boleh tahu ukir dan hanya perempuan yang boleh tahu noken. Bulan Juni tahun 2014 kemarin saya bertemu dengan mama-mama, tergabung dalam kelompok WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia), di Paroki Basim[3]. Salah satu bahan pembicaraan dalam pertemuan itu adalah kesetaraan gender. Seperti yang diharapkan tujuan MDGs tentang mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Bukan hal mudah tentunya berbicara tentang gender dihadapan mama-mama yang masih asing dengan istilah kesetaraan gender itu sendiri. Pintu masuk yang lebih mudah dipahami adalah melalui budaya. Barang apa yang hanya boleh dibuat oleh perempuan dan barang apa yang hanya boleh dibuat laki-laki. Semua mudah sekali menjawab. Noken milik perempuan dan ukir milik laki-laki. Berulang kali saya tanya, “Apakah tidak boleh anak kecil laki-laki bermain-main membuat noken? Apakah boleh anak kecil perempuan bermain-main membuat ukir?” Semua menjawab seperti lagu refrain di semua rumpun yang ada di Asmat, “Perempuan tahu noken, laki-laki tahu ukir”. Apakah pembedaan itu akan berakibat bias gender? Tergantung kita melihatnya dan sangat tidak bijaksana jika urusan tujuan MDGs hanya dinilai dari ukir dan noken. Urusan mendasar—terkait dengan kebutuhan dasar dan hak dasar—lebih penting untuk diperjuangkan. Meskipun tidak bisa dipungkiri dibalik “komersialisasi ukir dan noken” terjadi ketidaksetaraan. Pesta budaya menampilkan semua budaya lokal yang ada, dari semua hal itu hanya ukir yang menjadi pusatnya, memang berdasarkan sejarahnya pesta budaya ada karena seni ukir. Seiring berjalannya waktu, pesta budaya identik dengan lomba ukir yang muaranya adalah “uang”, agaknya terjadi pergeseran makna. Pada dasarnya ukiran itu memiliki nilai sakral dan nilai keaslian. Berkaitan dengan pesta budaya, hasil ukiran akan dihargai lebih dari 10 juta—jika masuk nominasi menang. Berbeda nasib dengan noken—atau hasil karya mama-mama lainnya—sebagus-bagusnya noken, harga tertinggi yang pernah ada adalah 10 juta, bergantung dengan anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Jalan buntu ketika berkisah tentang pemberdayaan perempuan berkiblat pada budaya lokal. Akses ekonomi terhambat karena hasil karya perempuan hanyalah pelengkap saja ketika pesta budaya[4] tiba, bahkan dalam acara paling “berkelas” sekalipun tidak ada afirmative action. Bukan berarti pula pesta budaya itu salah. Pesta budaya mempunyai sejarahnya sendiri. Yang harus ditekankan adalah peluang pemberdayaan perempuan untuk kesejahteraan bersama itu terbuka lebar (akses ekonomi). Orang Asmat menggantungkan hidupnya dari alam maka keselamatan alam harus dijaga. Jika ditengok lebih jauh lagi maka hasil karya perempuanlah yang mampu menjaga keseimbangan alam. Noken hanya bisa dihasilkan dari bahan yang boleh diambil pada waktunya. Semua ada batasnya, tidak boleh ambil berlebih. Junum (pucuk sagu yang terbuka) dan pisis (pucuk sagu yang tertutup) maksimal hanya boleh diambil 5 batang dalam sehari setiap mama. Aturan moyang ini tidak ada yang berani melawan. Pamali[5]. Sedangkan seni ukir berpotensi untuk tidak menjaga keseimbangan alam ketika pengukir hanya mengikuti selera pasar. Tidak sembarangan orang bisa mengukir suatu motif, ada kalanya sebelum ukir ada pestanya (upacara adat) terlebih dahulu. Nilai sakral tergerus oleh selera pembeli. Pengukir tidak lagi menghitung berapa kebutuhan ukiran sehingga butuh pohon berapa. Ketika ada pesanan ukiran maka menebang pohon tanpa peduli dengan keseimbangan alam dianggap hal lumrah—hitungannya, dusun penghasil kayu masih jauh lebih luas dibandingkan kampung untuk bermukim. Pater Vince Cole, MM, satu-satunya misionaris dari luar negeri yang masih tinggal di Asmat lebih dari 25tahun, mengungkapkan, “Para pengukir terpengaruh dengan motif modern dan mengikuti selera pembeli sehingga mengabaikan motif ukiran aslinya. Dengan kata lain, nilai kas ukiran mulai bergeser kepada nilai uang”[6]. Ritual-ritual yang harusnya dijaga serta memilih dan memilah kayu yang boleh ditebang tidak lagi menjadi syarat utama. Salah satu contoh, seorang pengukir senior di Atsy tidak lagi menghiraukan pentingnya aturan dalam membuat ukiran salawaku[7]. Ukiran itu pesanan seseorang sehingga pekerjaannya terkesan buru-buru, tebang kayu dihutan, diambil batangnya saja, lalu diukir di rumah dalam waktu relatif singkat. Lepas dari itu yang paling fatal adalah ukiran salawaku tidak boleh dibuat rombongan tapi dibuat sendiri, sesuai dengan fungsinya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa isu penebangan liar—jika tidak ingin dikatakan menebang tanpa batas—lebih banyak terjadi daripada pengambilan kayu untuk ukiran. Hal itu jelas merusak kesimbangan alam. Senso[8] ada dimana-mana sekarang, dan yang punya akses untuk menggunakan alat penebang itu dijamin hanya laki-laki. Terlihat sangat jelas bahan dasar membuat ukir dan noken berbeda proses tapi keduanya membutuhkan keseimbangan alam. Pembuatan noken menghasilkan karya luar biasa jika bahan dasar yang diambil sesuai aturan. Meskipun mama-mama tidak pernah tahu tentang apa itu teori keseimbangan ekosistem tapi dorang (mereka) lah pelaku sejati. Mama-mama merawat alam sesuai petunjuk moyang. Tapi siapa peduli tentang hasil karya mama-mama yang bisa membuat berdaya perempuan dan ramah lingkungan ini harusnya dihargai sama tingginya dengan seni lainnya? Dan siapa yang akan angkat bicara pentingnya keadilan akan hasil seni yang seolah berjenis kelamin itu. Seperti yang diungkapkan oleh Dony Danardono[9] “Pengabungan konsep tentang keadilan dan kepedulian ini sangat canggih dan menunjukkan bahwa etika kepedulian tak bisa menyelesaikan masalah bila tak diwujudkan dalam etika keadilan (aturan hukum)”. Maka pemberdayaan perempuan melalui budaya lokal akan tersingkir tatkala aturan hukum tidak turut membantunya, di sisi lain permasalahan yang hampir merata di semua tempat juga belum terselesaikan dengan baik (KDRT, pernikahan dini, permasalahan kesehatan reproduksi, perempuan sebagai makhluk kelas dua[10], dll). Aturan hukum hanya bisa dibuat oleh negara, sebagai bagian dari kewajiban negara untuk melindungi masyarakat, bukan dibuat oleh gereja ataupun adat—aturan adat hanya berlaku di satu rumpun saja, tidak berlaku secara umum. Tersendatnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan ini senasib dengan upaya negara untuk menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu di Asmat. Temuan lapangan[11], 5 dari 11 lembar kertas yang kubawa ini menjawab dengan tegas bahwa di rumahnya pernah ada bayi meninggal. Tak ada yang menjawab 1 bayi, pasti 2 atau 4 bayi pernah meninggal di dalam keluarga tersebut. Usia yang mengisi lembaran ini paling tua 35 tahun. Misal pun dia menikah umur 15 tahun, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, bisa dihitung ada anaknya yang meninggal dalam waktu dekat ini. Kejadian ini bukan menceritakan zaman dulu, bukan zamannya Sukarno ataupun Suharto. Temuan lapangan[12] serupa juga terjadi di kampung lain. Salah satu pertanyaan dalam studi rumah tangga saat pertemuan kampung ini terkait tentang kesehatan, yaitu: pernah ada bayi/anak meninggal? Berapa? Kutanya satu per satu mama-mama yang ikut dalam pertemuan. Takjub, heran, haru. Entah pernyataan apa yang pas untuk menggambarkan situasi hati ini ketika melihat jawaban mama-mama ini. Sebanyak 50% menjawab pernah, ironisnya dari setengah yang menjawab pernah itu jumlah bayi yang meninggal tidak hanya sekali. Hasilnya sama dengan kampung yang diceritakan di atas. Anak yang meninggal ada 2 hingga 4 usia bayi. Peserta yang ikut pertemuan kampung itu ada 10 mama-mama usia produktif (35-45th). Jadi inikah yang disebut dengan mengurangi angka kematian bayi? Dan parahnya penyebab kematian bayi-bayi itu bukan “sakit mahal” tapi hanya panas muntah berak (muntaber) yang harusnya bisa diberi pertolongan pertama jika akses informasi tersampaikan dengan baik. Selain akses informasi kebutuhan untuk mendekatkan akses layanan penting dilakukan. Hal itu agaknya sudah disadari oleh banyak pihak, di sisi lain tidak mudah mendapatkan pekerja kesehatan yang bersedia tinggal di daerah-daerah pedalaman. Ada banyak alasan yang menyertai permasalahan itu sehingga terkesan seperti “benang ruwet”. Daerah geografis kabupaten Asmat tergolong unik. Transpotasi utama adalah perahu. Kampung satu dengan yang lain terpisahkan oleh sungai—kebanyakan sungai dalam ukuran besar. Air bersih bergantung pada hujan, air rawa termasuk air bersih tapi letaknya jauh dari kampung karena harus pergi ke dusun/hutan, serta isu hak dasar lainnya, tak terkecuali masuknya pengaruh-pengaruh dunia luar yang tidak terbendung. Kesehatan masih menjadi barang mahal. Memang benar ada banyak layanan kesehatan yang berbunyi “gratis”. Tapi di Asmat kebutuhannya berbeda. Sarana transpotasi yang tidak mendukung, ikut berkonstribusi pada tersendatnya akses layanan kesehatan gratis tersebut. Apapun alasannya itu, perempuan Asmat masih rentan dengan kebutuhan dasar berupa kesehatan (ibu) dan masih menjadi sasaran empuk untuk “kampanye” (objek). Catatan Belakang: [1] Bevak adalah gubuk sederhana yang digunakan untuk tinggal sementara di hutan ketika mencari makan. [2] Sebuah kegiatan yang dimulai tahun 1981 dan diprakarsai oleh Gereja untuk mempersatukan antar rumpun dan menjaga budaya. Usia pesta budaya lebih dari seperempat abad, tahun 2014 genap berusia 30 tahun. Ada 4 kali tahun tidak diadakan pesta budaya karena alasan tertentu. Kegiatan ini diselenggarakan setiap bulan oktober. Kegiatan seleksi ukiran dan noken atau hasil karya lain mama-mama diadakan disetiap wilayah (dulunya semua tahapan kegiatan berpusat di Agats saja), puncak acara diadakan di ibukota kabupaten (Agats). Tahun ini pesta budaya akan diselenggarakan tanggal 9-14 Oktober 2014. [3] Paroki ini terdiri dari 4 kampung di pusat distrik Fayit dimana jumlah pendatang semakin bertambah banyak. [4]Karya mama-mama diikutkan dalam pesta budaya belum lama, dimulai sekitar tahun 2008 (hasil wawancara dengan Pak Pius dari kampung Ats, salah satu peserta lomba ukir yang lolos tahun ini). Mulai tahun 2003 pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk penyelenggaraan pesta budaya, bujet itu tidak sama setiap tahunnya. Selama penyelenggaraan paling besar tahun 2013 mencapai 1,2 Milyar, paling sedikit berkisar diangka 400-an juta (hasil wawancara dengan Pak Erick sarkol, komisi budaya keuskupan Agats). [5] Ungkapan ini diceritakan oleh Mama Monika dari Sanggar Semenawut dan diamini oleh anggota yang ada di situ ketika wawancara ini. [6] Diambil dari majalah Fu (media Keuskupan Agats), Edisi No.21 Desember tahun 2011 hal 46. [7] Ukiran dalam perisai, biasanya motifnya tulang dan simetris. Fungsi utama perisai untuk melindungi diri bukan kelompok. [8] Menebang pohon dengan alat gergaji mesin. [9]Buku seri I Kajian Ekofeminisme: Ekofeminisme dalam tafsir agama, pendidikan, ekonomi dan budaya (hal 53). [10] Ketimpangan terjadi dalam hal “kuasa perahu”. Hanya laki-laki yang boleh membuat perahu sedangkan perempuan merawatnya. Perahu dilambangkan sebagai “kejantanan” dan tidak semua laki-laki bisa membuat (punya) perahu. Ada analogi “tidak ada perahu maka tungku dingin (karena tidak bisa pergi mencari makanan sehingga tungku tidak berasap artinya tidak bisa makan). Tidak bisa membuat perahu dianggap sebagai cowut (perempuan) yang hanya bisa menerima saja.” Disarikan dari artikel yang ditulis oleh Onesius Otenieli Daeli dengan judul CI: Suatu Kunci Untuk Memahami Gender Diantara Masyarakat Asmat Papua Indonesia. [11] Kegiatan rangkaian PRA (Participatory Rural Appraisal) di kampung Sanem yang jumlah KK-nya ada 33 ini difasilitasi oleh Yayasan SATUNAMA dan DELSOS (Komisi Pemberdayaan Sosial Ekonomi di Keuskupan Agats) pada tanggal 17 Agustus 2014. [12]Kegiatan rangkaian PRA (Participatory Rural Appraisal) di kampung Sona (ada 95 KK) dan Erme (ada 166 KK) ini difasilitasi oleh Yayasan SATUNAMA dan DELSOS (Komisi Pemberdayaan Sosial Ekonomi di Keuskupan Agats) pada tanggal 8-11 Juli 2014. Masih hangat dalam benak saya, pelajaran sejarah tentang bagaimana Yunani dianggap sebagai negara-kota yang selalu menjadi titik awal kita jika hendak berbicara tentang konsep di masa kini dan di masa mendatang. Tidak banyak pula dari kita yang mau dan mampu melihat kronologis dari peristiwa yang telah berabad-abad lamanya untuk direfleksikan sekarang, terutama, jika hendak bicara tentang kedudukan perempuan. Sebagaimana kita yang selalu memakai bahasa latin untuk melekatkan menjadi istilah, Demokrasi yang selalu kita tarik cikal bakalnya adalah negara-kota Yunani, Agora, yang memiliki kebiasaan berbicara di dalam suatu podium dimana kita semua berkedudukan sama dan saling berbicara, bahkan berdebat didalamnya. Tentu saja rekonstruksi demokrasi yang selalu kita hadirkan dalam imajinasi kita memiliki catatan seperti budak dan perempuan tidak ikut serta bersuara karena dianggap bukan warga negara. Diskusi filsafat dengan pembicara Rocky Gerung dan dimoderatori oleh Gadis Arivia[1] yang adalah pendiri Jurnal Perempuan, mengembalikan saya pada ingatan imajinasi yang saya temukan di lembaran buku Dunia Sophie ketika SMA. Suatu podium besar dimana semua orang berhak bersuara. Menyampaikan pendapatnya. Saling berargumentasi agar ilmu pengetahuan bisa terus berkembang. Tapi sekarang, mungkin beberapa catatan bisa dihapus seperti perempuan, kini sudah dianggap sebagai warga negara. Sebagai mahasiswa sejarah saya menilik kembali ke belakang. Pada apa yang telah manusia lalui hingga sampai di titik yang sekarang. Berbekal imajinasi tentang podium diskusi masa Yunani, saya menelaah apa yang telah perempuan lakukan hingga kesadarannya terbangun dan mendapati dirinya adalah seorang manusia yang dijadikan perempuan[2]. Di Eropa sendiri banyak hal terjadi hingga perempuan bisa mengembalikan dirinya menjadi manusia, walau masih dalam proses, tapi sesungguhnya proses tidak akan pernah berhenti. Kita bisa menilik jalannya Merkantilisme dan kebangkitan awal Kapitalisme, jalannya revolusi industri di Inggris, Revolusi Prancis, Kelahiran Amerika, Kebangkitan Asia. Semua (His)tory yang membawa gerakan perempuan ikut serta walau lebih terlihat seperti gerakan parsial. Jauh sebelum revolusi berkibar, perempuan sebagai manusia telah memiliki kesadaran untuk menjadi manusia. Tetapi ketika itu, waktu dan ruangnya belum tepat. Dinamika politik, sosial, budaya yang terus berjalan dinamis digiring waktu membuka peluang bagi perempuan mematenkan kesadarannya. Mengatakan pada dunia bahwa ia juga ingin diperlakukan sebagai manusia, sebagai warga negara. Menjadi bagian dari story. Berakhirnya perang dunia mengobrak-abrik pula pemikiran modern yang menggunakan filsafat sebagai semen untuk membangun arogansi sehingga dianggap sahih, menjadi absolut, kaku, dan melegalkan kekerasan. Dari sana pula kita melihat kesalahan tindakan yang telah kita lakukan selama ini. Setelah banyak darah tumpah, perang yang menimbulkan janda dan penderitaan, lingkungan yang hancur digerogoti alat-alat besi, kita sampai di titik jenuh dan gerakan perempuan menggeliat dari rahim New Left[3] di Amerika. Melalui globalisasi dan modernisasi perempuan menancapkan kedudukannya dalam sejarah, berupaya menularkan kesadarannya ke banyak perempuan lain di seluruh dunia. Walau lebih sering ditulis sebagai pemeran pembantu di dalam sejarah, apalagi di sejarah kita, sejarah Indonesia yang ditulis oleh tangan patriarki[4], pelan-pelan perempuan di seluruh dunia berproses melalui meme yang menghidupkan kembali perempuan sebagai manusia. Melalui tulisan, gerakan perempuan bangun dan kemudian bangkit. Walau sekali lagi, masih proses. Hal tersebut membawa kita pada masa sekarang. Tidak lagi hanya laki-laki yang mengisi podium dan berbicara, kini ada perempuan dalam podium tersebut dan punya hak untuk ikut berbicara. Saya katakan proses karena nyata-nyatanya, dalam kuliah tersebut para pembicara dan penanya masih dari kalangan laki-laki. walaupun sudah ada Denisa sebagai pembuka acara dan Gadis Arivia sebagai moderator. Kita belum mencapai perempuan sebagai warga negara secara utuh. Kita masih berproses, perempuan hanya hadir dan malu bicara. Usaha kita masih belum cukup, jalan kita masih panjang. Dan sembari menulis ini, saya berpikir ulang, apa yang telah saya lakukan dan apa yang harus saya lakukan setelah ini. Dalam bingkai waktu saya akan terus berupaya untuk menyebarkan kesadaran. Atau sebenarnya saya sendiri juga masih belum sadar. Catatan Belakang: [1] Diskusi Filsafat berjudul “Filasafat dan Arogansi” pada tanggal 19 September 2014 di FIB UI [2] Simone de Beauvoir dalam Bukunya The Second Sex (1949) yang banyak dikutip menuliskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan dijadikan perempuan. [3] New Left pada tahun 1960-an bernama gerakan Kiri Baru yang membawa nafas-nafas tentang kemanusiaan, kesetaraan dan feminisme masuk di dalamnya. [4] Baik Soekarno yang mengeluarkan buku berjudul Sarinah (1936) yang meng’ideal’kan perempuan, begitu pula Soeharto yang mengeluarkan kebijakan terhadap perempuan yang disebut oleh Julia Suryakusuma sebagai Ibuisme Negara. Dua-duanya memosisikan perempuan adalah bagian dari laki-laki karena itu berhak diatur. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |