![]() Perempuan abad 21 adalah perempuan bebas, merdeka. Stereotip 3M alias Masak, Macak, Manak adalah olok-olok masa lampau yang tak berlaku di zaman penuh gemerlap modernitas. Perempuan sudah begitu jauh melampaui dan menembus tapal sekat domestik hingga di jalanan dan di media cetak maupun elektronik penuh dengan citra perempuan, sebuah citra paradoks yang sayangnya terbatas pada obsesi imajinasi iklan. Citra perempuan adalah citra kecantikan yang diwakili oleh tubuh langsing, kulit putih mulus, serta rambut hitam lurus. Perempuan dalam obsesi iklan hanyalah salah satu contoh bagaimana kapitalisme menjadikan manusia tak lebih dari sekadar objek-objek tanpa entitas ruh, akal serta imajinasi. Kita akan menengok para perempuan heroik, nun jauh di Kabupaten Rembang, tepatnya di jalur Pegunungan Kendeng. Hampir enam bulan kaum perempuan melakukan aksi menentang pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia (Tbk) yang mereka anggap akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan alam tempat mereka tinggal. Aksi dipimpin oleh Yu Sukinah bersama 88 Ibu lainnya dimana tercatat 7 orang diantaranya hamil (Candraningrum dalam Seminar Ekofeminisme di Jurusan Sosiologi FISIP UNS, 2014). Mereka teguh tinggal di tenda-tenda, menyuarakan kehendak menolak industrialisasi di kawasan karst jalur Pegunungan Kendeng. Mereka lantang berteriak agar para komprador kapitalis tidak merampas hak hidup mereka, sebab alam bagi mereka adalah kehidupan. Pegunungan Kendeng adalah Ibu yang memberikan limpahan air kehidupan bagi masyarakat Kabupaten Pati, Rembang dan Blora. Kapitalisme merongrong perempuan. Perempuan bergerak melawan kapitalisme. Buku berjudul Ekofeminisme II, Narasi Iman, Mitos, Air & Tanah (Jalasutra,2013) menarasikan berbagai upaya industri dalam mengapitalisasi perempuan dalam berbagai wajah mengerikan. Perempuan di satu sisi menjadi alam yang tinggi dan luhur seperti tergambar dalam idiom ibu pertiwi, gunung, laut. Di sisi lain, perempuan berdasar mitos-mitos dalam masyarakat juga sering disamakan dengan konotasi negatif, yaitu dengan tanah (lahan garapan), bunga, ayam, malam dan bulan. Narasi perempuan yang bekerja juga menyisakan ironi dalam industri-industri rumahan. Perempuan bekerja membatik di rumah (home workers), industri memanipulasi rumah yang berubah menjadi industri (secara fisik maupun ruh) dengan sistem POS (Putting Out System). Relasi produksi informal memanfaatkan perempuan dan ruang domestik perempuan sebagai arena produksi batik dengan upah yang sangat rendah atas nama efisiensi biaya. Pandangan bahwa perempuan bekerja hanyalah sebagai tambahan (daripada menganggur saja tanpa produktivitas) mengesahkan pemberian upah rendah pada perempuan. Akibatnya, jamak kita lihat pabrik-pabrik hari ini lebih senang mempekerjakan perempuan sebagai buruh, daripada laki-laki. Melalui POS, industri tidak perlu menyediakan tempat, peralatan kerja, fasilitas kerja dan pendukungnya seperti air, listrik, peralatan batik, dan lainnya (Hunga, 2013:189). POS adalah juga gabungan wajah penindasan kembar antara patriarki dan kapitalisme ketika industri tidak menyediakan jaminan biaya bagi pekerja seperti makan, transpor, kesehatan, dan kecelakaan. Inilah manipulasi ruang domestik yang mewujudkan cita-cita besar kapitalisme, yakni minimalisasi cost production yang berasal dari tenaga manusia untuk menghasilkan jumlah produksi sebesar-besarnya. Skema industri rumahan menghasilkan efek yang tak sesuai dengan keuntungan berupa upah tambahan, yakni kerusakan ekologis yang serius dan mengancam. Setiap tahunnya, industri batik memproduksi kadar emisi CO2 tertinggi di antara sektor UKM lainnya, yang umumnya merupakan hasil dari ketergantungan akan bahan bakar (minyak tanah) dan penggunaan listrik yang tinggi. Sejumlah besar UKM batik juga masih menggunakan lilin, pewarna kimia serta pemutih secara berlebihan yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat (Hunga,2004; Clean Batik Initiative, The German-Indonesian Chamber of Industry and Commerce-EKONID, 2011). Industri rumahan dengan pola POS membuka peluang kerusakan ekologis skala rumah tangga dan perkampungan tanpa mendapat jaminan rehabilitasi lingkungan dari Pemerintah maupun industri. Gerakan Ekofeminisme Perspektif ekofeminisme mempromosikan strategi perlindungan relasi perempuan dan hak-haknya terkait alam dan lingkungan. Identitas ekologis penting untuk dibangun melalui agenda-agenda politik yang membentuk kesadaran dan perilaku perempuan terhadap lingkungan. Ekofeminisme membongkar ihwal keterkaitan manusia dengan alam yang tidak terkait gender. Perempuan Indonesia jamak memiliki kearifan khas perempuan mengenai bagaimana mengelola sumber daya lokal. Perempuan Indonesia mempunyai pengetahuan yang mendalam dan sistematis mengenai proses-proses alam serta meyakini bahwa keyakinan alam harus selalu dipulihkan. Narasi restrukturisasi ekonomi global yang mengapitalisasi perempuan dan alam harus dilawan, bukan dengan culture based tapi nature based. Antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat wacana membuat kehendak akan kebenaran mengesampingkan kehendak akan kehidupan. Kehendak akan kebenaran modernitas dan globalitas mengesahkan mesin-mesin menggantikan hubungan intim manusia dengan alam. Kita telah semakin jauh dengan paparan Rozsak (1992) dalam Candraningrum (2014) yakni,”Ecopsychology seeks to heal the more fundamental alienation between the person and the natural environment.” Manusia telah mengalienasikan diri dari alam. Upaya penyatuan manusia dengan alam yang biasa termanifestasi dalam berbagai upacara, syukuran dan perjamuan tradisional adalah takhayul dalam narasi modernitas.
1 Comment
Andi Misbahul Pratiwi (Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Gunadarma dan Ketua Umum LISUMA) [email protected] ![]() Banyak dari kita mengenal kisah Mahabharata dari cerita nenek moyang sampai dengan serial televisi. Kisah tentang kelima pandawa yang tersohor di kerajaan hastinapura, tentang pecahnya perang Bharatayudha, tentang para kurawa yang selalu menyimpan dendam, dan tentang perempuan-perempuan tangguh yang berpengaruh dalam masyarakat patriarki. Semenjak epik terpanjang dari india ini difilmkan di televisi semua kalangan usia ikut meraba-raba alur kisahnya. Mahakarya ini sungguh menyajikan sebuah pesan kehidupan. Bagaimana sebuah kemenangan dan kekalahan tidak berarti apapun ketika dendam masih terpelihara mengalahkan nila-nilai kehidupan yang apik. Sebuah kisah yang diawali dengan ratapan kesedihan sang raja, Drestarastra, serta diakhiri dengan kedamaian luar biasa yang dicapai dari pertarungan harga diri, pergulatan emosi dan pematangan berpikir para pelakunya. Sang Arjuna pun menjadi idola kaum hawa. Dengan wajah yang rupawan dan mengambil peran seorang bijaksana, Arjuna pun menghipnotis dunia, saya sebagai seorang awam ikut terbawa menikmati alur kisah ini bersama sang Arjuna. Memanjakan mata saya mengikuti setiap episodenya dan belajar bahwa ternyata ada perempuan hebat di belakang, di samping dan di depan sang Arjuna. Seorang perempuan yang ruangnya terbatasi oleh kultur patriarki. Siapakah dia? Seperti apa rupanya? Sejauh mana pemikirannya? Perempuan itu bernama Drupadi, anak perempuan yang dipertaruhkan ayahnya, Abiyasa, karena rupanya yang elok. Pelelangan tubuh itupun dimenangkan oleh Arjuna. Tubuh Drupadi tidak mendapat eksistensinya pada saat itu, dia tidak dapat memilih untuk tidak dipertaruhkan, karena dia merasa ayahnya adalah penanggung jawab atas dirinya. Seperti teori tentang manusia yang dikemukakan oleh Sartre seorang filsuf eksistensialis bahwa filsafat eksistensialisme mengenai “Ada” terdiri dari 3 klasifikasi, yaitu, (1) Being in it self (tidak berkesadaran, objek), (2) Being for it self (sadar, subjek), (3) Being for others (sadar, hubungan antara subjek, hubungan sosial). Dari klasifikasi tersebut maka Sartre berusaha mendefinisikan eksistensi manusia, keberadaan manusia, kehadiran manusia sebagai suatu yang disebut “Ada”. Manusia adalah sebagai subjek, berarti manusia ada dalam kategori kedua (being for it self), kemudian bagaimana manusia itu bisa dikatakan sebagai subjek? Sarte mengatakan bahwa untuk menjadi subjek manusia harus bebas, harus memilih, harus bertanggung jawab. Manusia itu harus memiliki eksistensi yang berarti dapat menentukan hidupnya, bukan esensi yang hanya ditentukan pilihannya. Manusia adalah arsitek bagi hidup mereka sendiri. Bertolak dari teori Sarte mengenai eksistensialisme, maka jika Drupadi tidak dapat menolak untuk dipertaruhkan, ketika dia tidak dapat mengontrol kepemilikan tubuhnya, ketika dia tidak bisa mandiri dalam memilih dan bertanggung jawab, maka bisa dikatakan pada memoar itu Drupadi ditempatkan sebagai objek, sebagai benda, sebagai properti kepemilikan ayahnya, sebagai budak patriarki. Arjuna memenangkan Drupadi dalam sebuah arena pertarungan dan menjadikannya istri yang sah, kemudian membawa Drupadi ke istana Hastinapura. Arogansi relasi kuasa Arjuna untuk memenangkan Drupadi dan ketidakberdayaan gadis cantik pada saat itu membawa Drupadi menjadi seorang istri dari lima laki-laki anak raja yaitu Pandawa (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa). Sebagai seorang perempuan yang bisa dikatakan poliandri, Drupadi harus melayani kebutuhan seksual suami-suaminya di kerajaan Hastinapura, dalam epik ini diceritakan bahwa setelah Drupadi melayani suaminya maka dia akan bersuci pada sebuah api kudus. Kita tahu bahwa cerita mengenai Mahabharata tentunya sangat erat kaitannya dengan perselisihan antara kurawa dan pandawa. Pada salah satu memoar wiracarita ini, kurawa menantang Yudhistira untuk bermain dadu, singkat cerita dengan latar belakang Yudhistira yang tidak terlalu mahir bermain dadu, kalahlah sang pangeran bijak ini dengan kurawa. Pada babak pertama harta benda sudah dipertaruhkan, pada babak kedua permainan dadu inipun Yudhistira kalah dan harus mempertaruhkan harga dirinya dan saudara-saudaranya, namun Yudhistira tetap melanjutkan permainan dan akhirnya dengan terpaksa mempertaruhkan Drupadi, untuk kedua kalinya Drupadi dijadikan bahan taruhan. Harta kekayaan Yudhistira pun sudah diserahkan kepada kurawa sehingga dia jatuh miskin, kemudian pada hari itu juga kurawa menyeret Drupadi ke istana Kuru dan memberitahukan bahwa ia telah dimenangkan oleh para kurawa dalam permainan dadu melawan Yudhistira (suaminya). Pada kegetiran perasaan Drupadi itu, Bisma berkata kepada kurawa bahwa, orang yang tidak memiliki kekayaan tidak bisa mempertaruhkan milik orang lain, tapi di sisi lain, Bisma menyimpulkan seorang istri harus selalu berada dibawah perintah dan kebijaksanaan suami. Namun bagaimana mungkin seorang suami mempertaruhkan istrinya kepada para penjahat, sungguh situasi ini menjelaskan betapa besar tembok patriarki. Bahkan kurawa mengatakan bahwa Drupadi adalah seorang perempuan yang bersuami lima, maka dia pantas untuk ditelanjangi di hadapan majelis kuru. Dengan rambut yang acak-acakan dan pakaian yang hampir lepas karena diseret oleh Dursasana, Drupadi termakan amarah. Tidak gentar Drupadi menjawab dengan berani bahwa raja Yudhistira telah diundang untuk bermain dadu dalam perjamuan ini, meskipun mereka tahu bahwa Yudhistira tidak punya keterampilan bermain dadu, dan Yudhistira telah dijebak untuk melawan penjudi jahat. “Bagaimana bisa kemudian dikatakan Yudhistira telah mempertaruhkan sesuatu dengan sukarela”, dengan tegas Drupadi melontarkan pertanyaan itu didepan majelis istana Kuru. Drupadi menegaskan bahwa ia adalah menantu Kurawa, ia adalah istri yang sah raja Yudhistira dan tindakan mereka hanya membuat Kurawa itu kehilangan harga diri. Kembali Drupadi menegaskan, ia masih ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaannya: apakah Drupadi dianggap dimenangkan atau tidak? Tidak ada satupun majelis kuru yang menjawab pertanyaan Drupadi. Singkat cerita majelis Kuru melepaskan Drupadi dari perbudakannya akibat pertaruhan. Sepenggal kisah yang saya deskripsikan diatas, dapat kita ketahui bahwa dalam sebuah epik Mahabharata ada sosok perempuan tangguh yang mempertahankan harga dirinya, yang saya sangat kagumi adalah keberaniannya untuk membela dirinya bahkan suaminya yang telah mempertaruhkan dirinya, tanpa menyulut api peperangan. Dengan demikian Drupadi telah menunjukkan eksistensinya sebagai seorang manusia, seorang perempuan yang berhak dan bertanggung jawab atas tubuh dan pilihannya. Kekuatan dan keberanian Drupadi menguatkan statusnya sebagai tokoh perempuan mandiri yang layak dipuja. Masyarakat India seantero negeri mengaitkan Drupadi dengan pemujaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di India Selatan, kultus Drupadi sangat kuat. Mereka memiliki kuil yang dipersembahkan untuk Drupadi dan ia dipuja sebagai dewi. Terlepas dari kisah bahwa ia memiliki lima suami, di India Selatan Drupadi disembah sebagai dewi yang perawan, yang memurnikan penyembahannya dari dosa dan membawa keselamatan. Pusat kultus Drupadi dikenal sebagai Gingee di Arcot Selatan, Tamil Nadu, India. Gingee diakui sebagai kuil utama sang dewi dan seringkali kuil-kuil baru menggunakan batu Gingee atau tanah Gingee untuk mengukuhkan citra sebagai kuil Drupadi. Pemujaan terhadap Drupadi juga tersebar diseluruh Tamil Nadu dan sekitarnya, bahkan hingga ke tempat-tempat yang jauh seperti Sri Lanka, Singapura, Fiji, dan Pulau Reunion[1]. Catatan Belakang: [1] Sharma, Kavita A. Terj. Perempuan-Perempuan Mahabharata. Jakarta: Gramedia, 2013. Terj. The Queens of Mahabharata, 2006. ![]() Jokowi mengangkat delapan menteri perempuan dalam Kabinetnya, artinya terjadi kenaikan kuota perempuan hingga 100% dibanding pemerintah sebelumnya dalam kamar eksekutif, ini bisa dikatakan prestasi. Tetapi prestasi tidak hanya soal kuota. Susi Pudjiastuti yang akhir-akhir ini menjadi media darling, menyedot perhatian publik dan sukses menjadi simbolisasi citra baru perempuan. Seperti yang lama diperjuangkan gerakan feminis konstruktivis, sosok Ibu Menteri Perikanan dan Kelautan ini berhasil mengubrak-abrik citra perempuan baik-baik yang standarnya sangat patriarkis. Perempuan pemilik maskapai penerbangan Susi Air ini menunjukkan bahwa perempuan mampu dilihat dari kapabilitasnya dalam bekerja dan berkarya. Perempuan yang baik tidak harus mementingkan percintaan dan mengutamakan memiliki pasangan yang baik dibandingkan pekerjaan yang baik seperti yang selalu disebutkan dalam majalah dan tabloid wanita. Terlebih, media sosial menyebarkan gambar dalam bentuk meme akhir-akhir ini perihal Susi yang bertato, merokok, dan mempunyai suami pilot WNA disandingkan dengan Ratu Atut yag dianggap memiliki seluruh standar perempuan baik-baik tetapi tersandung kasus korupsi. Jokowi melakukan langkah yang tepat dalam melihat perempuan dari kemampuannya bukan dari kulitnya, penampilannya, dan pendampingnya. Lihat saja bagaimana sejarah “kelupaan” mencatat kehebatan kepemimpinan Cleopatra dan hanya memosisikan Cleopatra dalam seksualitasnya bersama pria-pria, Mark Antony dan Julius Caesar atau sejarah tidak memberikan perhatian pada kehebatan Elizabeth II dalam memimpin Inggris. Masyarakat terjebak pada citra perempuan yang merupakan tulang rusuk, pelengkap dan selalu saja perempuan tidak dilihat sebagai subjek. Secara simbolik pula, pada hari pelantikan Kabinet, Jokowi mendobrak kebiasaan memakai kebaya dan rok bagi perempuan. Pada pelantikan kabinet, kita bisa melihat para menteri perempuan yang dilantik menggunakan batik dan celana! Susi sebagai satu-satunya yang menggunakan Kebaya dan kain justru disorot, padahal hanya ia satu-satunya yang mengikuti rules berpakaian yang selama bertahun-tahun diterapkan istana ketika acara resmi pelantikan. Tampaknya pemerintahan Jokowi serius dalam mendukung kesetaraan gender. Hal ini dikonfirmasi pula oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan perkataan, “Menteri perempuan dan laki-laki sama saja, kita lihat dari hasil kerjanya”. Tampaknya, kita bisa berharap bahwa perempuan pada akhirnya bisa diperlakukan sebagai manusia bukan lagi sekadar pelengkap dimulai dari pemerintahan Kabinet Kerja, kini. ![]() Dua tahun lalu saya mencoba hal baru dengan bergabung pada klub olahraga setingkat Universitas. Saya bergabung di Unit Selam Universitas Gadjah Mada, melakukan kegiatan penyelaman yang termasuk dalam olahraga paling ekstrem. Olahraga ekstrem dapat dipahami dengan kegiatan yang bisa memacu adrenalin, olahraga ini biasanya fokus pada menaklukkan rasa takut diri sendiri dan menghadapi tantangan alam. Olahraga ekstrem juga memerlukan pendidikan dan keterampilan khusus, bahkan beberapa diantaranya perlu lisensi. Dua tahun bergabung di klub selam membuat saya betah dengan kehidupan organisasi dan kegiatan lapangan bersama banyak teman laki-laki. Bila ditanya mengapa laki-laki? Karena jumlah anggota perempuan dalam klub selam saya lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Saya tidak begitu bermasalah dengan banyaknya laki-laki dalam berkegiatan di organisasi. Namun setiap penerimaan anggota baru, klub selam sedikit kesulitan mendapatkan calon anggota perempuan. Hal semacam ini tidak terjadi hanya pada klub selam, namun juga klub olahraga ekstrem lainnya, misalnya klub pecinta alam setingkat universitas. Dari obrolan dengan ketua klub pecinta alam MAPAGAMA (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada), dari jumlah keseluruhan anggota selama tiga tahun terakhir 2011-2013 yaitu 59 orang, hanya terdapat 11 perempuan. Berawal dari situ, saya kemudian mencari tahu mengapa perempuan, khususnya di universitas saya enggan untuk bergabung di klub olahraga ekstrem. Saya memulai obrolan santai dengan teman yang tidak bergabung pada klub olahraga ekstrem. Salah satu teman laki-laki saya mengatakan sudah biasa bagi laki-laki melakukan olahraga ekstrem, karena kondisi fisiknya bisa dibilang lebih kuat dari perempuan. Menurutnya juga, mayoritas perempuan memang tidak lebih kuat secara fisik dari laki-laki, namun karena ingin menyalurkan hobi, sebagian dari mereka tetap memilih bergabung dengan klub olahraga ekstrem. Anggapan sebagian orang mengenai pembedaan laki-laki dan perempuan perihal kekuatan fisik juga dibenarkan oleh berbagai penelitian ilmiah yang sering saya dengar. Saya teringat pada sebuah diskusi kecil dalam mata kuliah kritik budaya yang saya ambil beberapa waktu lalu. Dalam grup kecil kami berdiskusi mengenai perempuan yang jarang atau tidak dilibatkan dalam “menulis” sejarah. Seorang teman berpendapat, penelitian mengenai perempuan yang mengedepankan emosi ketimbang logika, akan membuat sebuah pengetahuan tidak objektif. Saya mulai merasa tidak nyaman dengan pembenaran yang didasarkan atas penelitian-penelitian ilmiah dengan memojokkan perempuan. Terkadang saya juga mempertanyakan, mungkin saja penelitian itu sengaja dilakukan untuk membuat kita semua terus berpikir bahwa perempuan tidak lebih kuat dari laki-laki, lemah, sehingga tidak layak bekerja berat atau melakukan olahraga ekstrem. Sebagai perempuan, kami hanya pantas dan anggun ketika kami di dapur. Berbeda lagi dengan teman perempuan saya yang juga memilih untuk tidak bergabung dengan klub olahraga ekstrem. Dia mengungkapkan dua alasan yang membuat jumlah perempuan lebih sedikit ketimbang laki-laki dalam klub olahraga ekstrem. Yang pertama yaitu sulitnya izin dari orangtua, serta olahraga ekstrem yang dianggap sebagai kebutuhan laki-laki. Dalam anggapan di masyarakat misalnya, laki-laki dianggap lebih menarik bila mempunyai fisik yang kuat. Namun perempuan tidak diberi stigma seperti itu. Perempuan akan dianggap lebih menarik justru bila mereka tidak melakukan kegiatan atau olahraga yang tidak berhubungan dengan adrenalin, seperti memasak dan menyanyi. Dari obrolan dengan teman yang tidak melakukan olahraga ekstrem dapat saya simpulkan bahwa, anggapan mengenai keterbatasan fisik perempuan menjadi alasan utama minimnya keterlibatan perempuan dalam olahraga ekstrem. Lalu saya mencoba membuktikan kebenaran anggapan tersebut dengan meminta pendapat teman di klub olahraga ekstrem yang juga sering berkegiatan dengan perempuan. Semuanya membenarkan mengenai sedikitnya jumlah perempuan ketimbang laki-laki di klub olahraga ekstrem. Namun sewaktu saya ajukan pernyataan mengenai kekuatan fisik perempuan yang tidak lebih kuat dari laki-laki membatasi perempuan dalam olahraga ekstrem, mereka menolak anggapan tersebut. Berasal dari pengalaman, selama berkegiatan dengan perempuan mereka tidak banyak menemui kesulitan. Sebagian besar latihan yang diterapkan untuk anggota laki-laki dan perempuan juga sama. Ukuran kekuatan atau ketahanan fisik itu didasarkan pada kedisiplinan seseorang berlatih. Banyak juga perempuan yang berprestasi dalam keterlibatannya di olahraga ekstrem. Misalnya, Aryati Larasati yang mendapatkan peringkat ketiga dalam kejuaran olahraga kayak se-Asia Tenggara. Dalam hal ini, teman dari MAPAGAMA UGM bisa berbangga diri karena membuktikan pada kita semua bahwa seorang perempuan bisa melawan stigma atas fisik yang lemah dan tidak lebih kuat dari laki-laki. Saya juga tidak perlu mempertimbangkan berbagai penelitian ilmiah untuk berani mengatakan “Sebagai perempuan, kondisi fisik tidak membatasi saya untuk melakukan olahraga ekstrem!” Winanti Praptiningsih (Karyawati Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta) [email protected] ![]() Menarik untuk mengulas berbagai respons terhadap susunan Kabinet Kerja Jokowi. Saya mencoba membatasi untuk membaca diskursus yang berkembang terutama pada menteri-menteri perempuan Jokowi. Ada delapan menteri perempuan dalam tubuh kabinet Jokowi. Ini berarti jumlah kursi menteri perempuan terbanyak yang pernah ada dalam sejarah pemerintahan Indonesia. Jika diukur dalam porsi kuantitas maka tentu dengan adanya pertambahan ini kita perlu mengapresiasinya. Catatan tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulas bagaimana figur keseluruhan dari delapan menteri perempuan tersebut. Saya lebih tertarik untuk membaca fenomena tanggapan dan diskursus publik terhadap salah satu menteri perempuan yakni Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Setidaknya respons publik yang cukup ramai terhadap Susi Pudjiastuti menyangkut kepercayaan atas kapasitas, integritas dan moralitas. Ketiga hal itu tentu saya akan dekati dengan berbagai persoalan politik wacana tubuh perempuan dan juga kuasa pengetahuan atas perempuan terutama pada korpus isu soal rokok, tato dan gelar pendidikan. Kalangan yang sinis terhadap figur perempuan pemilik Maskapai Susi Air ini lebih banyak mempersoalkan aspek kelayakan moral perempuan seperti penampilan yang non-mainstream, tidak punya gelar pendidikan tinggi, bertato dan punya kebiasaan merokok. Penampilan dan tubuh perempuan lebih banyak disorot dan sering dilekatkan dengan karakter “perempuan yang tidak baik” dan lebih jauh mungkin sebagai “perempuan tidak bermoral”. Mungkin ini juga bisa berlaku bagi tubuh laki-laki, tetapi catatan ini akan jauh berbeda jika diarahkan untuk tubuh perempuan. Barangkali problem ini tak semata hanya pada persoalan perbedaan atas tubuh laki-laki dan tubuh perempuan melainkan sudah menyangkut persoalan kuasa politik dan ideologi yang masih hidup hari ini. Dalam soal tato misalnya, hingga hari ini masih dianggap sebagai sebuah praktik budaya yang menyimpang dan bahkan diangap sebagai sebuah kultur yang bertentangan dengan moralitas mainstream. Tato selalu dikonstruksikan sebagai kriminal dan penjahat. Bahkan pada masa Orde Baru tato bisa dianggap sebagai musuh negara seperti halnya juga fenomena “rambut gondrong” yang juga pernah dilarang dan ditabukan pada masa-masa itu sebagai berandalan dan kaum kriminal. Tato bahkan hingga hari ini masih tidak dilihat secara kritis sebagai bagian kultural seperti yang diyakini suku-suku tertentu di Indonesia. Tato juga tidak dibaca sebagai bagian kultur seni modern yang hari-hari ini semakin digandrungi oleh masyarakat dan harus kita hargai sebagai bagian ekspresi kebudayaan. Tidak mengherankan ketika kemunculan fenomenal Susi Pudjiastuti kemudian diarahkan semata pada persoalan karena dia bertato. Jauh dari itu, sejarah politik Indonesia juga pernah memberikan contoh tragis bagaimana tato dan tubuh perempuan menjadi bagian praktik penegasan kuasa. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana ketika tragedi politik 1965, rezim Soeharto pada waktu itu menjalankan politik penangkapan dan pemenjaraan kaum perempuan yang diangap terlibat PKI menggunakan cara pendekatan politik atas tubuh perempuan bahkan sampai pada taraf yang paling harafiah. Banyak kesaksian yang pernah tercatat pada pengakuan perempuan-perempuan yang dituduh PKI dalam catatan sejarah tentang tragedi 1965 menunjukkan bahwa tato tubuh adalah sesuatu yang binal dan amoral. Pada berbagai operasi penangkapan, perempuan-perempuan diminta membuka penutup tubuhnya untuk melihat apakah dalam tubuh perempuan ada tato lambang Palu Arit atau tidak. Sebuah gambaran atas bentuk pelecehan tidak hanya pada tubuh perempuan tetapi juga pada bagaimana tato sejatinya dipahami dan dikonstruksi. Praktik serupa juga pernah diberlakukan pada peristiwa-peristiwa konflik seperti di Aceh terhadap perempuan-perempuan yang dianggap aktivis GAM. Kembali praktik kuasa politik bersentuhan dengan tubuh perempuan. Pada persoalan rokok sejatinya juga hampir memiliki nasib serupa. Oleh sebagian pandangan mainstream, perempuan perokok masih selalu dipahami sebagai sesuatu yang lekat dengan amoralitas. Kasusnya akan sedikit berbeda jika diberlakukan pada laki-laki. Merokok masih dianggap sebagai kosumsi laki-laki. Bukankah sejatinya ini juga sebagai persoalan politik diskriminasi tubuh perempuan? Tentu saja diakui bahwa perdebatan tentang budaya merokok yang kemudian dikaitkan dengan bagaimana sosok dan moralitas kepribadian dipahami, hingga hari ini juga masih berlangsung tak hanya menyangkut soal perempuan. Di luar isu kontroversi kesehatan tentang merokok yang kemudian menjadi pertimbangan berbagai kebijakan, merokok juga menyangkut isu-isu berkait dengan moralitas keagamaan dan bahkan politik. Saya ingat bagaimana Orde Baru mengonstruksikan moralitas dengan rokok. Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI karya sutradara Arifin C. Noer, digambarkan sosok pimpinan PKI, DN Aidit sebagai seorang perokok berat. Dalam sebagian adegan film tersebut, sosok Aidit yang sejatinya dalam realitas bukan perokok digambarkan sebagai perokok untuk menambahkan aspek keseraman dan kesadisan seperti halnya film-film mafia umumnya. Korpus pergunjingan tak hanya pada persoalan rokok dan tato, isu tidak adanya gelar pendidikan tinggi juga menjadi hal yang dipermasalahkan. Pertama, karena Susi adalah satu-satunya menteri yang menjabat di pemerintahan dengan berbekal ijazah SMP. Keberhasilan kerja yang dicapai sebelumnya oleh Susi kemudian tenggelam oleh ketidakyakinan apakah seorang yang bependidikan rendah akan mampu menjadi seorang pemimpin sebuah kementerian yang cukup besar cakupan tanggung jawab dan mandat kerjanya. Jika dibaca secara semiotik dalam kultur yang masih mengagungkan kuasa laki-laki dalam hal kerja dan kepemimpinan, seorang pemimpin harusnya mereka yang mempunyai kecerdasan dan kepintaran serta keahlian sebagaimana secara formal itu dibuktikan dalam pencapaian jenjang pendidikan. Hal ini mampu mengingatkan kita pada aspek historis bagaimana perempuan adalah subjek yang tidak terlalu penting untuk mengenyam pendidikan. Dan dalam arti itu juga, maka seyogyanya ia tidak layak memimpin dan hanya pantas bekerja pada wilayah domestik. Persis seperti cerita yang selalu diulang dalam buku pegangan wajib Bahasa Indonesia bagi anak-anak Sekolah Dasar pada era Orde Baru : “Bapak Budi kerja di kantor dan Ibu Budi memasak di dapur”. Mungkin lain soal jika Susi diganti oleh Eka Cipta Wijaya Pemilik Sinar Mas Grup atau Tirto Utomo pendiri Aqua atau Bill Gates atau sosok Mark Zuckerberg yang kesemua dari mereka adalah tidak menyelesaikan pendidikan tinggi tetapi menjadi sosok inspiratif yang banyak dikagumi orang. Mungkin persoalan Susi hanya satu, yakni karena dia “perempuan” dan bukan “laki-laki”. Maka label tidak berpendidikan, perokok dan bertato telah melengkapi bagaimana mata kuasa diskriminatif masih terus hidup dalam politik kita dan bahkan merambah pada aspek dimensi yang paling sublim. Dalam kultur pikir yang masih timpang dan bias ini pula, maka wajar jika sosok Susi Pudiastuti yang mampu menghadirkan figur fenomenal ini kemudian oleh sebagian publik yang sinis sepertinya belum bisa diterima dalam superego moralitas mainstream mereka. Bahkan banyak orang mengutuknya sebagai sebuah kesalahan. Wajah politik yang menghadirkan sosok baru sekaligus fenomenal seperti Susi Pudjiastuti sejatinya justru menjadi pemancaing dan pemantik bagaimana kesiapan mental kita sebagai bangsa yang ingin bergerak maju, bisa menerima dan menghargai hal tersebut. Revolusi mental sejatinya bukan perkara jauh di luar sana, melainkan adalah dekat dengan bagaimana nalar pikir dan kepekaan kita sendiri ditantang untuk bisa memilah secara kritis mana yang perlu digunakan untuk memajukan bangsa dan mana mentalitas pikir yang perlu kita tinggalkan. Saya pikir pemikiran yang hanya diletakkan pada kecenderungan diskriminatif dan bias kuasa gender seyogyanya harus sudah dibuang jauh. Winanti Praptiningsih (Karyawati Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta) [email protected]d ![]() Gagasan awal kehidupan demokrasi adalah pemberian ruang penghargaan atas kedaulatan dan partisipasi rakyat dalam kehidupan politik negara. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan bentuk ruang demokrasi di tingkat lokal. Rakyat mampu berperan dalam proses penentuan “wajah” keterwakilan mereka di tingkat dewan pemerintahan daerah. Pilkada langsung mampu menjadi upaya untuk menghindari praktik oligarki yang sangat kental di zaman orde baru. Oleh karenanya, Pilkada tidak melalui mekanisme DPRD akan tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada langsung mampu “mendidik” rakyat dalam berpolitik dan mampu memberikan ruang publik demokratis secara lebih luas: pertama, rakyat dilatih untuk berdaulat dan langsung memilih para pemimpinnya. Kedua, pilkada langsung mampu menjadi modal sosial terciptanya habitus dan mentalitas berkewarganegaraan dalam arti yang lebih luas. Ketiga, melalui pilkada langsung rakyat bukan hanya menjadi “massa mengambang” yang mudah disandera dan dibajak oleh telikungan oligarki politik. Masih lekat dalam ingatan kita, Orde Baru mampu menyisakan trauma politik tersendiri bagi rakyat. Tak jarang rakyat merasa enggan untuk terlibat dalam tataran politik negara. Sebagian besar rakyat merasa tidak ingin rumit dan terlibat jauh dalam politik yang sarat dengan intrik. Ya, mereka terepresi secara politik. Bagaimana stigma PKI maupun Gerwani menjadi kontrol negara untuk membatasi ruang gerak politik rakyat di era Orde Baru. Ketakutan menjadi alasan rakyat mundur dari kancah perpolitikan negara. Reformasi, saat itulah udara kebebasan mulai muncul ditandai dengan tumbangnya Orde Baru di tahun 1998. Rakyat mulai terlibat dalam politik. Terciptanya multipartai dan pemilu langsung, memberikan ruang demokrasi bagi rakyat. Perempuanpun memiliki hak yang sama dalam pemilu, satu suara perempuan berarti satu suara rakyat. Pemilu tahun 2009 merupakan pemilu demokratis Indonesia. Ada peran tangan-tangan rakyat didalamnya secara langsung, pun dengan perempuan. Posisi perempuan di parlemen pun menduduki persentase yang cukup menggembirakan. Angka 18% persen menjadi langkah awal geliat perempuan di panggung parlemen. Bahkan hadirnya presiden perempuan pertama di Indonesia, Megawati Soekarnoputri di era reformasi, mampu memberikan geliat harapan dan kebebasan perempuan dalam politik. Beberapa poin ini tentunya mampu memberikan nafas kegigihan baru bagi gerakan perempuan untuk memperjuangkan hak-hak politiknya. Pemilu tahun 2014 merupakan saat dimana perempuan mempunyai harapan terhadap peningkatan keterwakilan politiknya di lembaga legislatif. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hak suara perempuan mencapai 92.791.321 orang sedangkan hak suara laki-laki mencapai 93.086.694. Pada Pemilu 2014 perempuan menyumbang suara hampir 50 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Akan tetapi jumlah suara perempuan belum signifikan menyumbang perolehan suara bagi perempuan yang duduk di kursi parlemen. Dari data pemilu 2014, didapatkan bahwa jumlah perempuan di parlemen hanya sebesar 17%. Bahkan dari data yang diperoleh Jurnal Perempuan pada edisi 82 dapat dilihat bahwa terdapat indikasi peningkatan pencalonan caleg perempuan berbanding terbalik dengan keterpilihan caleg perempuan. Tahun 2009 caleg perempuan tercatat 34,86% dengan jumlah perempuan terpilih sebanyak 18,03%. Pada pemilu 2014, pencalonan perempuan meningkat menjadi 37,27% dengan jumlah perempuan terpilih menurun 17,32%. (Anita Dhewy, Jurnal Perempuan: Vol 19 No.3 Agustus 2014, Hal. 102) Fenomena ini tentunya sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pertama, dengan jumlah hak suara yang “hampir sama” terjadi ketimpangan luar biasa dalam porsi kedudukan perempuan di parlemen. Kedua, begitu banyaknya “wajah” yang dipilih, tentunya perempuan yang mencalonkan/dicalonkan semestinya berupaya agar mampu dikenal baik oleh masyarakat baik dari segi visi misi maupun kiprah perjuangannya kelak di parlemen. Tentunya perjuangan atas keberpihakan. Ketiga, perlu upaya yang sistematis untuk membangun kesadaran politik perempuan. Memilih bukan sekadar hanya “urun suara”, akan tetapi merupakan bentuk upaya kebebasan kaum perempuan untuk berdaulat secara politik. Bagaimana masa depan perempuan pasca Pemilu 2014? Belum kering kegundahan perempuan atas ketimpangan perolehan kursi yang terjadi, tiba-tiba kita dihadapkan pada pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) No.1/2014. UU Pilkada No.1/2014 menjadi agenda pembajakan suara perempuan di ruang politik. Apabila dilihat dari kacamata demokrasi, tentunya pengesahan Undang-undang itu merupakan langkah mundur kehidupan demokrasi itu sendiri. Hiruk pikuk kesetaraan suara rakyat atas partisipasinya dalam kedaulatan politik tentunya hanya akan kembali menjadi wacana. Penerapan UU Pilkada tentu akan kembali menjadi pembajakan demokrasi dan menggoreskan catatan trauma panjang rakyat dalam membangun mimpi publik membentuk negara demokratis pun dalam ruang politik perempuan. Suara perempuan pada pemilu tahun 2014 turut menyumbang proses pergulatan politik negara dan menentukan “sosok terpilih” di parlemen yang diberikan mandat kepercayaan dan harapan untuk memperjuangkan hak perempuan. Harapan itu kemudian ditelikung dengan upaya pembungkaman kebebasan bersuara dalam ruang demokrasi politik lokal, dan ini adalah sebuah awal wajah politik negara. Kekecewaan dan kemarahan itu hadir memunculkan gelombang penolakan dari sebagian besar masyarakat sipil dan menjadi bukti bahwa masyarakat semakin cerdas dan kritis terhadap penetapan sebuah kebijakan politik. Mereka berupaya secara gigih dan serius agar hak politik mereka tidak kembali tersesat dalam kebobrokan oligarki elit. Kemarahan rakyat adalah kemarahan kaum perempuan, karena suara perempuan telah “dibajak” untuk membuat kebijakan politik yang tidak berpihak pada rakyat. Jadi kepalkan tangan kiri kita, tolak UU Pilkada! Referensi: Jurnal Perempuan Vol. 19 No. 3, Agustus 2014, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki, Skandal Demokrasi di Indonesia, 2013, Kanisius, Yogyakarta Andi Misbahul Pratiwi (Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Gunadarma dan Ketua Umum LISUMA) [email protected] ![]() Bertolak dari apa yang diungkapkan novelis Inggris Virginia Woolf mengenai perempuan dalam fiksi, “seorang perempuan harus mempunyai uang dan ruang bagi dirinya sendiri untuk menulis fiksi, dan itu membiarkan hal besar tetang sifat perempuan dan sifat fiksi tidak terpecahkan”, perlu digarisbawahi bahwa terdapat dua syarat penting yang harus terpenuhi yaitu perempuan harus punya uang dan ruang untuk bisa melakukan sesuatu demi kemajuan dirinya. Bukan hanya dalam konteks menulis fiksi, namun bisa jadi dua hal itu “uang dan ruang” perlu terpenuhi ketika perempuan berkarier di dunia politik. Kebutuhan akan ruang dalam berpolitik tentu dibutuhkan oleh perempuan maupun laki-laki. Apakah ruang berpolitik yang diberikan kepada perempuan sudah membuka kesempatan perempuan? Mengingat bahwa pada pemilu 2014 terjadi penurunan jumlah perempuan di parlemen. Apakah ada upaya peningkatan trust terhadap wakil rakyat perempuan? Mengingat bahwa anggota legislatif tahun 2009 ada yang tersandung kasus korupsi besar. Lewat tulisan ini kita akan bersama-sama menelusuri sejauh mana kebutuhan akan ruang dan uang bagi perempuan untuk berpolitik. ![]()
Berdasarkan tabel di atas, secara kuantitas persentase keterwakilan perempuan DPR-RI periode 2014-2019 mengalami penurunan yaitu menjadi sekitar 17% atau 97 orang perempuan, dari total 560 anggota DPR-RI. Pada tahun 2009-2014 persentase keterwakilan perempuan mencapai 18% atau sebanyak 103 orang. Meskipun demikian, jika diakumulasi keterwakilan perempuan dari periode 1999-2004 s.d 2014-2017 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 9% menjadi 17,3% .
Di masa orde lama dan baru (1955-1997), upaya negara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan secara khusus di dalam parlemen masih belum dilakukan. Tindakan afirmasi terhadap keterwakilan perempuan baru terlahir di masa reformasi, tepatnya ketika pemilu 2004 dilangsungkan. Pemilu 2004 telah mengakomodir affirmative action dengan diterapkannya kuota minimal 30% keterwakilan perempuan pada saat pencalonan anggota legislatif, itu menunjukkan bahwa ada sebuah narasi kebijakan yang memberikan ruang terhadap perempuan untuk berpolitik secara kompetitif dan bukan berarti memberikan jalan ‘tol’ bagi perempuan. Narasi kebijakan ini tentunya perlu diiringi dengan kapabilitas perempuan di ranah politik untuk menjadi wakil rakyat, tidak semata-mata diberikan jalan pintas bagi perempuan untuk menduduki kursi karier politiknya. Sehingga perempuan perlu memanfaatkan itu sebagai sebuah ruang yang terberi. Implikasi terhadap UU Pemilu tahun 2003 pasal 65 ayat 1 mengenai kuota minimal 30% itu maka akan ada minimal 1 nama bakal calon legislatif (caleg) perempuan pada setiap 3 nama bakal calon setiap partai. Ruang administratif yang telah dibuka tentunya tidak berarti memberikan peluang besar terpilihnya caleg perempuan. Dalam hal ini besar kecilnya peluang terpilihnya caleg memiliki kecenderungan terhadap nomor urut yang diberikan. Pada pemilu 2004 caleg dengan nomor urut 1 mencapai 73,6% yang berhasil menduduki kursi legislatif, kemudian 19% untuk nomor urut 2 dan 0,6% dengan nomor urut 5. Dapat disimpulkan bahwa caleg dengan nomor urut kecil memiliki kesempatan yang lebih besar untuk masuk menjadi anggota legislatif. Sedangkan tercatat di dalam daftar calon tetap pemilu 2004, hanya 9,17% caleg perempuan yang ditempatkan pada nomor urut satu. Inilah yang menjadi salah satu faktor mengenai ruang tadi. Nomor urut ditentukan oleh partai dimana caleg yang memiliki kapabilitas pengetahuan dan materi yang diunggulkan oleh partai. Menyoal mengenai nomor urut ini berarti perempuan perlu menciptakan ruangnya sendiri dan tidak hanya mengandalkan ruang yang terberi (kuota 30%). Sehingga menurut saya perlu diciptakan sebuah ruang konstruksi kepercayaan kader partai terhadap caleg perempuan dan perlu dibuktikan dengan uji publik yang dipubllikasikan sehingga nantinya akan menjadi domino effect terhadap rakyat sebagai pemilih. Disini perempuan perlu menunjukkan kemampuannya secara kompetitif agar dapat menduduki nomor strategis dalam pencalonan, inilah yang dimaksud dengan ruang yang perlu diciptakan. Dalam percaturan politik modern, mengenai ruang yang diberi dan diciptakan memiliki pengaruh penting, namun selain itu kebutuhan akan dana politik untuk membiayai kampanye turut memainkan peranan utama di arena kompetisi politik. Hampir semua peserta pemilu masih beranggapan, jika kemenangan dalam suatu kontes electoral di tentukan dengan seberapa masif kampanye politik yang dilakukan. Pada pemilu 2014, iklan politik membanjiri media massa nasional kita. Media massa memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan opini publik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lukman Hakim, “Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan persepsi memengaruhi sikap dan perilaku seseorang”. Selain itu, Jurgen Habermas mengemukakan “Language (media massa melalui bahasa yang digunakan) is also a medium of domination and social force”, dari pendapat di atas dapat kita kerucutkan bahwa ternyata berita-berita melalui media cetak maupun elektronik dapat menggiring opini publik sehingga bisa menjadi alat dominasi ataupun kekuasaan. Dengan model kampanye di televisi, koran, bahkan dunia maya untuk memberikan citra terbaik bagi sang caleg tentunya membutuhkan dana (uang) yang tidak sedikit. Fenomena kampanye politik melalui media massa ternyata tidak sebatas terkait dengan soal uang, mengingat ruang di media massa seperti televisi ini pun terbatas. Contoh yang paling jelas terlihat misalnya ANTV dan TVOne yang dimiliki pengusaha Aburizal Bakrie yang juga ketua umum partai Golkar, sehingga iklan dan program-programnya tentunya untuk menaikkan elektabilitas partai dan caleg. Begitu juga dengan Metro TV dan harian cetak Media Indonesia Group yang dimiliki oleh Surya Paloh. Kemudian MNC Group dan harian cetak Sindo yang berada dibawah kepemilikan Hary Tanoesoedibjo. Ketiga pemilik media di atas bukanlah pengusaha biasa namun juga praktisi politik. Maka disadari ataupun tidak, ini akan berdampak pada kecenderungan media tersebut mengarahkan gagasan-gagasan politik dan pencitraan tokoh partai masing-masing. Ternyata dalam persaingan politik bukan hanya dibutuhkan uang yang relatif tinggi untuk modal, namun ada ruang khusus yang tidak dapat dimiliki semua caleg, terlebih lagi caleg perempuan. Sehingga lobi politik dan relasi jaringan juga diperlukan untuk dapat mengakses ruang-ruang elitis tersebut sebagai salah satu strategi kampanye. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan rata-rata biaya kampanye caleg sebesar 1,18 miliar. Angka itu memiliki tingkat kewajaran dan peluang terpilihnya caleg besar. Berikut ini tingkat kewajaran investasi politik caleg DPR: (1) dibawah Rp 787 juta: kurang/sedikit, (2)Rp 787 juta-Rp 1,18 miliar: optimal, (3)Rp 1,18 miliar-4,6 miliar: wajar dan peluang terpilih besar, (4) Rp 4,6 miliar-9,3 miliar: tidak wajar, (5) diatas 9,3 miliar: tidak rasional. Data diatas memberikan sebuah pemandangan mengenai kalkulasi kebutuhan untuk kampanye politik. Sekali lagi bahwa ongkos politik di negeri ini tidak murah. Para caleg perlu memutar otak bagaimana mendapatkan dana kampanye tersebut. Kembali pada pernyataan Woolf mengenai uang dan ruang, menurut saya, seorang perempuan untuk dapat memenuhi syarat penting tersebut memerlukan sebuah strategi yang andal. Tidak hanya mengandalkan ruang yang terberi melalui tindakan afirmasi maupun kebijakan-kebijakan publik yang diberikan, perempuan juga harus menyiasatinya dengan menciptakan ruang sendiri bagi dirinya bahkan golongannya. Dengan basis pengetahuan yang baik mengenai politik, maka ruang politik pun akan memilih perempuan. Kemudian perihal kebutuhan akan uang dalam kontes politik tentunya menjadi hal yang mutlak ada, namun uang tidak selalu menjamin seberapa besar ruang yang didapat. Tentunya ketika dalam hal teknis ruang dan uang sudah terpenuhi maka yang menjadi PR penting bagi kaum perempuan adalah mengenai pendidikan politik dan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat perempuan berdasarkan Meritokrasi[1]. Sehingga keterwakilan perempuan di legislatif memiliki pengaruh secara substansi bukan hanya deskripsi memenuhi UU pemilu tahun 2003 pasal 65 mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan. Perempuan di legislatif perlu memiliki value dan power lebih sehingga dapat menjadi wakil rakyat yang diandalkan dan menepis paradigma masyarakat mengenai keterwakilan di legislatif meningkatkan angka korupsi dikalangan politisi perempuan. Daftar Pustaka 1. Ringkasan Laporan, “Penelitian perempuan dan politik”, women research institute-IDRC, 2009 2. http://lukmanhakim.multiply.com/journal/item/11 diakses pada tanggal 22 oktober 2014, pukul 19.00 Wib 3. http://www.puskapol.ui.ac.id/press-release/profil-anggota-legislatif-2014-2019-potensi-dominasi-fraksi-makin-kuat.html diakses pada tanggal 22 oktober 2014, pukul 20.00 Wib 4. Martany Dina, Signifikansi Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia, 2014 Catatan Belakang [1] Meritokrasi menitik beratkan kemampuan dan kelebihan seorang individu berdasarkan kepada kualitas pribadi tanpa dipengaruhi faktor keturunan, Bahasa, agama, status sosial, gender, dsb. ![]() “Gue enggak percaya kalau kita berasal dari tanah, gue kan berasal dari sperma. Mungkin iya gue mati jadi tanah”. Perkataan ini keluar dari mulut teman saya ketika kami sedang berbincang-bincang tentang kekuasaan Ilahi. Sebagai bangsa Indonesia yang dipayungi Pancasila, kami tentunya bertuhan dan (harus) beragama, agama kami adalah agama mayoritas penduduk Indonesia yaitu Islam. Agama Islam sendiri memiliki tiga sumber hukum Islam sebagai pedoman sehari-hari kita bertindak yaitu Alquran, Hadis, dan Ijtihad. Merujuk pada sumber pertama yaitu Alquran tentang penciptaan manusia, esai kali ini akan membahas tanah sebagai tempat manusia berasal, hidup dan mati. Budaya patriarkis menonjolkan penciptaan manusia yang sibuk berdebat tentang penafsiran literal terhadap air mani sebagai awal penciptaan manusia bukan kepada tanah. Dan ayat yang dirujuk adalah surat Al Mu’minun Ayat 12-16 berisi: وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ – (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ – (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ – (14) ثُمَّ إِنَّكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ لَمَيِّتُونَ - (15) ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ – (16) Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan nuftah dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat. [Al Mu’minun: 12 – 16] Kebanyakan Tafsir akan merujuk pada penciptaan manusia secara aktif dari air mani (sperma) menyampingkan tahapan pertama bahwa manusia berasal dari saripati tanah مِنْ سُلَالَة مِنْ طِين secara akal memang lebih mudah bagi kita untuk memaknai penciptaan manusia yang berasal dari air mani karena muncul secara harafiah. Silakan lihat di buku-buku agama pelajaran SD-SMP-SMA semua memfokuskan keajaiban Alquran yang nyata menjabarkan penciptaan manusia oleh air mani tapi hanya sedikit saja yang menyinggung tanah dalam penciptaan manusia. Sehari-hari kita menjejak bumi, tanah, dunia. Kita tidak pernah jauh dari tanah. Apapun yang kita makan semuanya berasal dari tanah. Air yang kita minum dilabelnya terpampang jelas “Sumber mata air pegunungan”, sapi dan kambing Iduladha yang kemarin kita makan, sehari-harinya menyantap rumput yang tumbuh di atas tanah, bahkan beras yang kita makan setiap hari tumbuh diatas tanah. Kita tidak bisa hidup tanpa tanah, kita memang tergantung dengan tanah. Dalam studi feminisme, tanah merupakan representasi dari tubuh perempuan. Karena merujuk pada ayat tersebut, tanah adalah segalanya. Tanah adalah tempat darimana kita berasal. Tanah adalah rahim, tanah adalah tubuh perempuan. Kata Dunia yang kita kenal sekarang pun berasal dari serapan bahasa Turki yaitu Dunya. Dunya adalah nama dari perempuan cantik. Mengapa perempuan? Karena tubuh perempuan bukan saja lambang kesuburan tapi perempuan adalah kesuburan itu sendiri. Betapa terpananya orang-orang dari jazirah Arab melihat keindahan alam Indonesia dimana sungai-sungai mengalir jernih, bukit hijau terhampar. Indonesia adalah citra surga yang kitab suci ceritakan. Maka apa lagi yang hendak kita sangsikan dari krusialnya tanah dalam hidup kita? Mungkin kita harus merevisi buku-buku pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah untuk kembali memahami dan mengajarkan kembali pemahaman akan posisi perempuan dan status tubuh perempuan yang justru paling berperan dalam proses penciptaan manusia. Bahwa tubuh perempuan adalah sebuah berkah kesuburan, bukan aib jadi tidak perlulah ditutup-tutupi. Masih hangat dalam benak saya puisi “Di Negeri Tujuh Ribu Rok” karya Zubaidah Djohar. Selama ini kita menganggap posisi perempuan sebagai subordinat, pelengkap, tulang rusuk sedangkan pada kenyataannya kamu tidak bisa hidup tanpa perempuan, tubuhnya. Tanpanya bahkan kamu tidak bisa lahir ke dunia ataupun bertahan disana, dan tanpa tubuh perempuan, (D)unia tidak ada. ![]() Melintaslah ke kawasan Sudirman dan Setia Budi pada pukul empat sampai lima sore, maka kalian akan menemukan perempuan berkaki besi menggunakan high heels dan rok pendek, dengan pakaian eksekutif mentereng berjalan kaki menuju stasiun, halte Trans Jakarta atau metromini, taksi dan berbagai kendaraan lainnya, untuk pulang ke rumah masing-masing. Tidak dipungkiri, semakin hari semakin deras arus perempuan memasuki ruang-ruang publik. Era reformasi memungkinkan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan sama seperti laki-laki. Untuk kelas menengahnya kita bisa melihat barisan perempuan kaki besi di perkantoran Jakarta, untuk kelas bawah kita bisa berjalan ke pinggir, mengalihkan pandangan kita ke kota-kota penunjang yang menjadi kawasan-kawasan pabrik seperti Bekasi, Cibinong, Tangerang untuk melihat buruh-buruh pabrik perempuan bubaran pabrik[1] dan akibatnya, angkot berjejer berbagi lahan dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, yang membuat macet lalu lintas di sekitar. Pengusaha ternyata lebih menyukai perempuan untuk dipekerjakan, karena perempuan dinilai lebih ulet, tekun, dan mudah diatur, disamping untuk menjunjung kesetaraan gender[2]. Alasan lainnya mempekerjakan perempuan adalah karena perempuan mau dibayar murah. Jika mempekerjakan laki-laki berarti mempekerjakan kepala rumah tangga yang menanggung beban seluruh keluarga, berbeda halnya mempekerjakan perempuan yang dianggap hanya menanggung dirinya sendiri. Ketika mereka cuti hamil dan menyusui atau jika mereka single yang kemudian menikah, maka beban dan tanggung jawab akan dilimpahkan ke suami dan mereka akan mengundurkan diri, jadi perusahaan dengan mudah melepas mereka dan merekrut yang lebih baru dan mau dibayar murah. Perlahan tapi pasti, dan jika sejarah berjalan linier, akan timbul pergeseran di ruang publik dan privat. Beban ganda yang selama ini dilimpahkan pada perempuan akan mulai bergeser dan akan muncul pergeseran peran antara perempuan dan laki-laki di ruang publik dan privat. Tentu saja hal ini harus diamati betul oleh pemerintah dalam membuat kebijakan. Sebagai contoh, kebijakan perbankan harus memperhitungkan posisi perempuan sebagai kepala rumah tangga. Pembelian rumah melalui KPR atas nama perempuan dan pinjaman ke bank atas nama perempuan harus dimungkinkan karena kini lebih banyak perempuan bekerja. Persoalan upah dan kontrak kerja di kalangan pegawai dan buruh perempuan yang kebanyakan berstatus pekerja kontrak harus diawasi dengan ketat karena telah dimulai pengambilalihan peran pencari nafkah sehingga hak-hak perempuan pekerja harus diperhatikan betul. Laki-laki sendiri bagaimana? Akibat dari feminisasi buruh, laki-laki apabila ia terdesak dan tidak lagi mendapat kesempatan untuk bekerja, maka ia harus mengalah masuk ruang privat, berperan sebagai bapak rumah tangga. Harus mau bertukar peran. Karena apabila perempuan dibuat untuk menjadi superwomen, maka merujuk pada teori The Selfish Genes dari Dawkins, gen laki-laki tidak akan sintas karena dianggap lemah. Maka laki-laki, bisa saja punah. Acara televisi tentang masak-masak misalnya, dulu ada Rudi Chairuddin dan Bara Patiradjawane, sekarang Farah Quinn dan Marinka menjadi ikon masak memasak. Bukan, ini bukan gerakan feminisasi tapi justru efek dari feminisasi ruang publik. Penonton acara masak memasak tidak lagi para perempuan tetapi para pria sehingga televisi pun harus memberikan pengisi acara yang menarik bagi pemirsanya. Kemudian, jika laki-laki berada di ruang privat, akankah mereka rentan terhadap kekerasan? Mungkin hal ini dapat terjadi jika perempuannya yang justru bersikap patriarkis. Bila demikian yang terjadi, maka kita hanya bertukar peran akibat gerakan feminisme tetapi tidak mencabut patriarki dari tempatnya bernaung. Dengan kata lain perempuan berhasil memasuki ruang publik tapi justru perempuan melakukan pelecehan terhadap laki-laki karenanya. Dalam situasi demikian, sesungguhnya patriarki masih bersemayam dalam tubuh kita. Catatan Belakang: [1] Bubaran Pabrik adalah istilah yang dipakai penduduk setempat untuk menjelasakan kemacetan akibat jam pulang buruh. [2] Istilah menjunjung kesetaraan gender dengan konotasi negatif menjadi lazim digunakan para pengusaha untuk mengemukakan alasannya lebih menyukai merekrut perempuan sebagai pegawai dibandingkan laki-laki. ![]() Satu bulan sudah saya menjejaki dunia sebagai manusia mandiri. Dunia di mana setiap manusia khususnya perempuan harus menempati status sosial yang dikekalkan di masyarakat. Kebebasan seorang perempuan harus terbatasi oleh aturan masyarakat, perempuan lajang dilarang berjalan sendirian, dilarang untuk keluar malam dengan atau tanpa laki-laki. Perempuan penuh mitos yang membelenggu, dimanakah harus saya taruh kemerdekaan berpikir dan berkreasi? Peran gender dalam masyarakat ternyata juga dapat menyebabkan subordinasi terhadap perempuan dalam aktivitas organisasi. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional menjadikan perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin dan ini berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting. Subordinasi dapat terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa misalnya, dahulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya juga akan ke dapur. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari pemahaman gender yang minim. Saya pernah menemukan kasus tentang salah satu calon anggota DPRD Kab. Banyumas yang tidak bisa memenangkan pemilihan legislatif karena dia lebih dikenal dengan nama suaminya. Saat dirinya menjajaki kursi pileg hanya sedikit saja orang yang mengenalnya sebagai “perempuan merdeka”. Fenomena lain yang saya temui adalah ayah saya sebagai Pegawai Negeri Sipil menuntut ibu saya untuk menenggelamkan nama pemberian orang tuanya. Latar belakang ibu yang hanya sebagai ibu rumah tangga dan populer karena suami yang memiliki peran kuat di masyarakat maupun organisasi, memaksanya dikenal dengan nama suami, bukan namanya sendiri. *** Tentang organisasi Dharma Wanita, Dharma Wanita Persatuan adalah organisasi kemasyarakatan yang menghimpun dan membina istri Pegawai Negeri Sipil RI dengan kegiatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, ekonomi dan sosial budaya serta tidak terkait dengan kekuatan politik manapun, tetapi hak berpolitik anggota tetap dihormati. Secara garis besar, tujuan organisasi Dharma Wanita adalah mewujudkan kesejahteraan anggota dan keluarganya melalui peningkatan kualitas sumber daya anggota untuk mendukung tercapainya tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kegiatan yang dilaksanakan Dharma wanita persatuan diarahkan untuk: (a) Mengutamakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari pengurus dan anggota; (b) Memilih kegiatan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kesempatan organisasi; (c) Dalam melaksanakan kegiatan mendahulukan yang penting sesuai dengan skala prioritas; (d) Mengutamakan kualitas penanganannya daripada kualitas yang ditangani, serta diupayakan secara tuntas; (e) Menjaga citra yang baik sebagai istri pendamping aparat pemerintah di tengah masyarakat yang dinamis. Sedangkan fungsinya adalah sebagai wadah untuk melakukan pembinaan, perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok organisasi. Di samping tugas dan fungsi pokok yang ada di dalam kelompok organisasi dharma wanita persatuan, organisasi tersebut juga memiliki tujuan yaitu mewujudkan kesejahteraan anggota dan keluarganya melalui peningkatan kualitas sumber daya anggota guna mendukung tercapainya tujuan nasional. Wewenang pengurus organisasi Dharma Wanita adalah (1) Menetapkan kebijaksanaan teknis organisasi berdasarkan hasil musyawarah nasional, anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan juga kebijaksanaan organisasi satu tingkat diatasnya; (2) Mengesahkan organisasi, pengurus dan atau ketua satu tingkat dibawahnya; (3) Melaksanakan pembinaan organisasi pada unsur pelaksana di lingkunganya; (4) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan dan kebijaksanaan yang dilakukan oleh unsur pelaksana di lingkungannya; (5) Melaksanakan program dan kegiatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada organisasi satu tingkat di atasnya. Kewenangan anggota hanya sebatas kewenangan normatif yang harus dipatuhi. Sepanjang perjalanannya, organisasi dharma wanita hanya memiliki kegiatan yang monoton dan tidak inovatif. Tidak ada isu keperempuanan yang dibahas di dalamnya, padahal harapannya organisasi ini bisa mencegah istri dari tindakan kekerasan yang barangkali dialaminya dalam keluarga. Peran sebagai istri para pejabat pemerintahan akan membawa mereka pada arus identitas patriarki. Secakap apapun istri seorang PNS golongan II tidak akan menjadikannya sebagai ketua dharma wanita di salah satu instansi. Sebaliknya istri seorang pejabat Eselon II yang tidak memiliki kemampuan memimpin organisasi, siap tidak siap, mau tidak mau harus mau menjadi ketua dharma wanita. Dengan menyandang nama suaminya, istri seorang pejabat tersebut mendapatkan kehormatan lebih dan mendapatkan “fasilitas sosial” yang lebih baik. Jadi, jangan heran jika kegiatan dharma wanita yang sering terlihat hanya arisan, studi banding, dan seminar kecantikan. Penyadaran akan pentingnya memaksimalkan kegiatan dharma wanita selain kegiatan di atas seharusnya menjadi perhatian para pegiat gender dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Fenomena yang sering terjadi hari ini adalah bagaimana peran dan fungsi seorang ibu atau istri rumah tangga dianggap lebih rendah dari peran ayah atau suami yang bekerja dan mendapatkan upah secara materiil dan dianggap sebagai titik ukur dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Anggapan atas keistimewaan laki-laki sebagai pemilik kuasa tertinggi sebagai seorang pencari nafkah inilah yang kemudian menimbulkan penyingkiran kerja perempuan baik sebagai istri atau ibu. Bahwa kerja perempuan dalam relasi keluarga dianggap sebagai peran kedua karena fungsi domestik yang dijalankannya tidak mendapatkan upah atau gaji secara materiil seperti halnya laki-laki. Aktivitas perempuan dalam sektor domestik pada organisasi binaan seperti Dharma wanita seharusnya mulai dibenahi secepat mungkin agar kehebatan seorang perempuan dapat terwadahi dengan baik. *** Saya selalu mendengar di setiap pertemuan dharma wanita yang mengungkapkan bahwa laki-laki pada umumnya lebih mengutamakan logika dari pada perasaan, sedangkan perempuan lebih mengutamakan perasaan daripada logika. Sehingga tidak jarang, perempuan dianggap tidak dapat menjadi pemimpin atau menduduki suatu jabatan tertentu. Tetapi pernahkah Anda mempertanyakan dalil atau dasar ungkapan tersebut? Dapatkah dibuktikan secara ilmiah? Tidakkah ungkapan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah itu mengakibatkan diskriminasi dan ketidakadilan? Saya rasa ungkapan semacam itu sudah seharusnya dimasukkan dalam keranjang sampah, bukan hanya karena tidak ada pembuktian ilmiah, tetapi juga akan menimbulkan bentuk-bentuk ketidakadilan dan pembatasan hak-hak tertentu pada salah satu pihak, yaitu perempuan. Kondisi perempuan dalam organisasi yang terkungkung dalam beban identitas patriarki membuat saya semakin gerah, kenapa? Karena perempuan tidak dapat melakukan suatu hal tanpa mendapat izin suaminya, walaupun hal tersebut baik untuk kesejahteraan keluarganya. Saya amat meyakini bahwa perempuan-perempuan yang bergerak pada sektor domestik merupakan nuklir dahsyat bagi negeri ini. Melihat posisi perempuan pada organisasi Dharma Wanita yang saya temui selama ini membentuk anggapan bahwa perempuan dapat saling menjatuhkan. Sehebat apapun seorang perempuan, jika mereka merupakan istri seorang yang tidak memiliki kehebatan sosial maka tidak akan hebat pula kariernya di ranah sosial. Ini juga akan memengaruhi konsepsi akan perannya di masyarakat, pemikirannya selalu berasal dari keputusan suaminya. Peran perempuan di sebuah organisasi binaan seperti Dharma Wanita belum dapat dikatakan sebagai tindakan yang memberdayakan secara maksimal. Penguasaan dan dominasi masih sangat dipengaruhi oleh peran domestiknya. Maka diperlukan sebuah penyadaran dan kesadaran perempuan sebagai individu untuk berusaha membebaskan dirinya dari identitas patriarki yang kuat. Sebagaimana dikatakan Soekarno, “Dan kamu, wanita Indonesia, achirnja nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saja memberi peringatan kepada kaum laki-laki untuk memberi keyakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perdjoeangan, tetapi kamu sendiri harus mendjadi sadar, kamu sendiri harus terdjun mutlak dalam perdjoeangan”. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |