![]() Persoalan stigma dan diskriminasi berbasis Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Body (SOGIEB) hampir pasti terjadi pada komunitas LBT. Sedangkan bentuk kekerasan tersebut tidak mudah dinyatakan dan dikonotasikan dalam perspektif hukum. Kekerasan itu sendiri berlapis dan berlangsung paralel. “Karena definisi SOGIEB belum terakomodasi dalam kebijakan negara,” tutur Indriyati Suparno, komisioner Komnas Perempuan (2015-2019) fasilitator Focus Group Discussion (FGD) yang dihelat oleh lembaga Talita Kum dan didukung oleh Hivos di Hotel Sarila Solo, Jumat (5/12/2014). Menurut catatan, SOGIEB adalah konsep yang mudah dipahami dan sejak tahun 2010 dikaji oleh Universitas Indonesia. “Ada banyak situs di internet. Paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan seksual. SOGIEB belum ada pembicaran oleh negara,” jelas Reny Kistiyanti direktur Talita Kum menambahkan. Ada seruan dari Talita Kum terkait kasus kekerasan kepada perempuan berbasis SOGIEB. Oleh karena catatan kependudukan tidak mengakomodir Priawan, istilah domestik dari female-male, maka ada pihak kepolisian yang malah mengidentifikasi dan membahas orientasi seksual yang bersangkutan. “Usut saja pelanggaran kasusnya, tanpa membahas orientasi seksualnya,” tutur Reny Kistiyanti. Menanggapi pertanyaan Rahayu Purwaningsih dari lembaga SPEK-HAM tentang budaya patriarki yang punya relasi besar dalam membangun relasi manusia apakah dalam relasi sejenis yang disebut homoseksual bentuk kekerasannya seperti apa. Reny Kistiyanti menjawab bahwa di internal juga terjadi pelaku kekerasan terlepas apakah terjadi relasi patriarki atau bukan. “Priawan atau dalam komunitas lain disebut Buchie, mereka mengadopsi relasi heteroseksual, pembagian kerja juga mengacu kepada heteroseksual yang mainstream. Jika bahwa misalnya feminitas tidak hanya di rumah dan harus kerja, maka itu dilakukan. Menurut saya salah satu kunci untuk mencegah kekerasan dalam internal maka lakukanlah relasi dengan kerelaan,” tutur Reny Kistiyanti. Seorang peserta dari Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Surakarta menyarankan agar diskusi lebih diperluas lagi untuk menghindari kerancuan. “Selama ini kami bekerja berdasarkan laporan yang berkembang di masyarakat. Konsep ini sangat bermanfaat dan silakan jika konsep SOGIEB diperkenalkan pula kepada lembaga pendidikan.” Sedangkan Murti dari Bapermas Surakarta menyilakan agar konsep ini perlu dikaji lagi karena unit Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) untuk tahun 2015 Perda belum dibuat. “Silakan berjejaring dengan 40 lembaga layanan di kota Solo. Kami bersiap hadir untuk diskusi-diskusi penanganan kasus berbasis SOGIEB. Dan juga semoga diakomodasi dalam anggaran perubahan tahun 2015,”tutur Murti. Purwanti dari Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta menyampaikan informasi bahwa ada kesepakatan nasional tentang kodefikasi Pemilu 2019 “Ada keterwakilan dari masyarakat marginal termasuk dari LGBT,” tutur Purwanti. Menindaklanjuti diskusi yang berlangsung, Purwanti menawarkan jejaring karena jika bisa bergabung maka akan menjadi pressure terhadap negara. “Isu-isu kesehatan jasmani dan rohani yang menjadi persyaratan dalam CPNS, misalnya, apakah juga akan berimbas kepada LGBT?”pungkas Purwanti. (Astuti Parengkuh) ![]() SOREC (Sociology Research Centre) UGM kembali mengadakan diskusi terbuka pada Kamis, 04 Desember 2014. Diskusi yang dimoderatori oleh Dosen Sosiologi UGM, Desintha Dwi Asriani, merupakan diskusi yang ke empat kalinya diadakan oleh SOREC. Diskusi-diskusi sebelumnya membahas mengenai beberapa topik diantaranya, islam radikal, pemuda dan lingkungan serta citizenship. Sedangkan diskusi ke empat ini membahas mengenai ekofeminisme. Diskusi yang dihadiri lebih dari 30 peserta, baik mahasiswa maupun dosen ini dimulai pada pukul 10.00 WIB di Selasar Timur, Fakultas Ilmu Sosial Politik UGM dengan Dr. Phil. Dewi Candraningrum sebagai pembicara. Dewi yang juga merupakan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan membuka diskusi dengan memaparkan penelitian yang baru-baru ini dilakukannya mengenai perempuan Kendeng yang menduduki wilayah tambang semen. Dewi mengungkapkan, yang dia teliti adalah fakta perempuan Kendeng yang dilihat melalui perspektif gender. Bukan penelitian mengenai semen atau proses hukumnya. Dia menempatkan dirinya sebagai seorang ibu yang mendatangi ibu-ibu lainnya, meneliti rahim mereka, mencatat berapa yang hamil dan perubahan-perubahan apa yang mereka alami. Tegasnya lagi, penelitian ini merupakan penelitian yang sedang hidup, bahkan prematur dan akan terus berkembang. Antroposentrisme Dalam lima tahun terakhir, ukuran pembangunan kita yaitu MDGs (Millenium Development Goals) sangat positivistik dan deterministik, yaitu didasarkan atas manusia. Alam dianggap sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Berkebalikan dengan filsafat ekofeminisme yang menganggap pohon, binatang adalah makhluk yang juga bagian dari diri kita. Bertahun sebelum kita lahir, bila nenek moyang kita hendak menebang pohon mereka melakukan berbagai ritual sebagai penghormatan pada alam. Namun saat ini untuk menemukan pohon-pohon yang besar sangatlah susah. Pada 1970, Foucault dalam sebuah adagiumnya “culture without nature”, Rachel Carson dalam “The Silent Spring”, atau puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Joko Damono menunjukkan pad kita betapa nestapa hidup dimasa manusia menganggap alam bukanlah sebagai makhluk. Sehingga warisan yang kita tinggalkan pada anak cucu kita bukanlah air yang melimpah, udara yang bersih, ataupun pepohonan, karena burung-burung yang menyebarkan vegetasi telah kita penjarakan dalam sangkar-sangkar. Seiring dengan pergantian ukuran pembangunan dari MDGs menjadi SDGs (Sustainable Development Goals) pada tahun 2015, kita ditantang untuk memperbaiki kegagalan paham antroposentrisme, yaitu tantangan untuk mengembalikan eksistensi alam sebagai living being. Contoh yang dekat dalam keseharian kita adalah cara berpakaian. Kita tidak pernah berpikir jauh apa yang terjadi dalam proses pembuatan batik yang kita pakai. Tidak terpikirkan oleh kita mengenai jejak produksi, apakah buruh-buruh yang kebanyakan perempuan dibayar dengan layak? Atau etika konsumsi tentang apakah batik kita menggunakan pewarna alami atau kimia? Ukuran SDGs akan memaksa kita untuk berpikir mengenai tanggung jawab ekologisnya. Dasar Binatang! Pernahkah kita sadar seberapa sering kita mengatribusikan sifat negatif kita pada binatang? Binatang tidak diperlakukan sebagai equal living being. Dalam tulisannya, Dewi mengungkapkan betapa manusia dalam meneguhkan jati dirinya, meminjam metafora-metafora binatang untuk menarasikan perilaku buruknya. Sehingga hampir setiap hari kita menggunakan makian “dasar buaya!” atau “dasar babi!”. Masyarakat modern selalu menempatkan alam dan binatang dalam kaitan instrumentalisasi perikehidupan manusia. Sedangkan perikehidupan selalu dikaitkan dengan kemanusiaan, oleh karena itu identitas manusia selalu diletakkan sebagai superior diantara kedua elemen tersebut. Kita adalah Planet! Dan yang Kita Hadapi adalah Perubahan Iklim “Apa-apa yang ada di dalam diri kita adalah apa-apa yang ada di planet”. Secara metafora, kita bisa mengibaratkan sungai adalah aliran darah kita, tanah adalah daging kita. Dalam materi yang dibagikan, Dewi menuliskan bahwa manusia yang menjadi bagian dari alam memiliki atmosfer ekologis, yang menjadi penghubung dirinya dengan alam, serta menyadarkan dirinya atas kerusakan yang dia perbuat atas alam. Kerusakan-kerusakan atas alam juga salah satunya menyebabkan perubahan iklim. Hal ini yang menjadi tantangan besar modernitas. Dikala media internasional seperti The Guardian, New York Times, selalu menyisihkan satu kolom per minggunya mengenai perubahan iklim/ isu lingkungan, di Indonesia sense of crisis-nya belumlah tinggi. Kita masih sibuk pada upaya modernitas yang gemar menciptakan kebutuhan baru, misal untuk tubuh, kita tidak cukup hanya mandi untuk membersihkan kulit. Kita dipaksa perlu mengoleskan cairan-cairan kimia yang akan diserap oleh kulit, dengan harapan menjadi lebih halus dan cerah. Perempuan dan Bumi Seiring dengan diagungkannya produk kecantikan oleh perempuan, menunjukkan bagaimana perempuan dan bumi dikapitalisasi. Kesadaran dasar dari kerusakan lingkungan adalah memahami perempuan sebagai penerima akibatnya. Disebutkan oleh Dewi, patriarki telah menyusun strategi kategori untuk menjustifikasi eksploitasi, yaitu langit/bumi, pikiran/tubuh, manusia/binatang, ruh/barang. Produk dari kategori tersebut yang akhirnya melahirkan kapitalisasi tubuh perempuan. Lebih jauh Dewi menyatakan bahwa ekofeminisme mensyaratkan demokratisasi sains dan ilmu alam yang selama ini menempatkan alam pada posisi yang tidak jauh lebih tinggi dari dirinya. Alam dan sains, kini bukan semata objek di laboratorium. Kita berkewajiban memberikan kembali hak hidup mereka di bumi, dengan pendekatan yang sensitif dan etis. Dalam hal ini ekofeminisme dibangun berdasarkan akta mengasuh, memelihara dan membangun kehidupan yang berkelanjutan di planet bumi. Dari materi diskusi yang disampaikan, banyak muncul pertanyaan dari peserta. Mulai dari pertanyaan sederhana bagaimana kita harus bersikap di tengah dunia yang sudah didasarkan atas ukuran-ukuran modernisme sampai pada anggapan salah satu peserta mengenai kapitalisme yang di satu sisi dinilai memanjakan perempuan. Menurut Dewi sederhana saja bagaimana kita harus bersikap pada bumi. Mulai dari selalu menghabiskan air yang kita minum, membawa tas sendiri ketika berbelanja, belajar pola hidup subsisten dengan makan makanan lokal/hasil kebun sendiri. Mengenai anggapan kapitalisme memanjakan perempuan, Dewi menolaknya. Menurutnya kapitalisme dan ukuran modernitas menjadikan perempuan sebagai objek nestapa. Seperti disinggung dalam materi yang disampaikan. Perempuan dipaksa untuk terus mengonsumsi kebutuhan-kebutuhan baru agar tubuhnya dianggap “cantik” dalam ukuran modernitas yang seragam dan terkategorisasi. Di tengah diskusi muncul juga pertanyaan dari peserta yang merupakan alumnus Fisipol UGM yang sekarang kebetulan bekerja di salah satu perusahan BUMN. Pertanyaan yang dilontarkan seputar konfirmasi data pada penelitian yang dilakukan Dewi di Kendeng. Konfirmasi data yang ditanyakan lebih mengarah pada proses yang dilakukan oleh perusahaan tambang. Kemudian Dewi menjelaskan dan sekaligus menutup diskusi bahwa data yang ada adalah hasil wawancara dengan ibu-ibu di Kendeng. Dewi juga menegaskan, dia menggunakan matra gender dalam melakukan penelitian pada perempuan yang menduduki daerah tambang tersebut. Sekali lagi, yang menjadi fokus dan ketertarikannya adalah fakta yang ada pada perempuan Kendeng, yang menjadi salah satu catatan pengalaman hidup perempuan. (Indriyani Sugiharto) ![]() Dosen sekaligus Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta TA. Prapancha Hary menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang cair. Dan ketika berbicara tentang psikologi maka setiap orang berbeda dan unik. Mengangkat tema Psikologi dan Seksualitas dalam diskusi publik tentang warna-warni seksualitas perempuan dan hak kesehatan reproduksi yang dihelat oleh Talita Kum dan SPEK-HAM dan didukung oleh Hivos di Griya Solopos Solo, Rabu (3/12/2014), ia mengatakan bahwa seksualitas manusia di satu sisi relatif bebas dari ritme waktu, fleksibel dalam objeknya dan leluasa dalam modalitas ekspresinya. TA. Prapancha Hary juga menyatakan bahwa keberagaman seksual apapun adalah anugerah. “Dalam soal-soal seksualitas, manusia mampu melakukan hampir semuanya. Seseorang dapat menstimulasi imajinasi seksualnya sampai tingkat berahi yang memabukkan. Di sisi lain seksualitas manusia diarahkan dan diberi struktur sangat kaku, misal kultus keperawanan, konsep aurat, permainan dalam pergaulan perempuan dan laki-laki, larangan seks di luar nikah, incest dan bahkan LGBT”, papar Prapancha Hary. Sementara itu, Direktur Talita Kum Reny Kistiyanti memaparkan tentang Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Body (SOGIEB). Dengan latar belakang era heteronormativitas dan gender biner dimana satu-satunya relasi yang direstui oleh masyarakat adalah relasi heteroseksual yang bertujuan prokreasi. Mengutip Galink, Reny menyatakan bahwa seksualitas adalah aspek inti manusia sepanjang hidupnya. Seksualitas meliputi jenis kelamin, identitas dan peranan gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi dipengaruhi oleh interaksi faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah, religi dan spiritual. Dengan bantuan gambar dari Sam Killerman yang mempermudah pengertian konsep SOGIEB bahwa antara seks, gender, orientasi seksual dan ekspresi adalah hal yang terpisah satu sama lain, Reny menyatakan bahwa kampanye SOGIEB baru dilakukan dua tahun terakhir. “Isu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) sudah tidak memadai lagi. Dan harus diingat bahwa kekerasan juga terjadi pada perempuan dengan seksual gender non mainstream,” tutur Reny. Menyinggung tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi berbasis keragaman seksualitas, Endang Listiyani Direktur SPEK-HAM menyampaikan payung-payung hukum yang beberapa sudah diratifikasi di Indonesia seperti DUHAM, CEDAW, ICPD Kairo 1994 serta Beijing Platform tahun 1999. “Tahun 1993 dunia mengatakan Homoseksual bukan dianggap sebagai gangguan jiwa, namun kita punya UU No. 4 tahun 2008 tentang Pornografi yang menganggap homoseksual adalah persenggamanan yang menyimpang. Undang-undang ini diperkuat dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Ini jelas diskriminatif dan mereduksi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual menjadi atas dasar status moralisasi kesehatan,” jelas Endang Listiyani. Ia juga menambahkan bahwa Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi mengatakan bahwa jaminan kesehatan reproduksi masih bersyarat. “Perempuan yang memiliki orientasi seksual non mainstream bahkan di ‘bully’ kalau mengakses layanan. Ini artinya tidak ada jaminan spesifik untuk layanan kesehatan bagi LGBT,” imbuh Endang Listiyani. Tentang peran media dalam sosialisasi SOGIEB, Ichwan Prasetyo jurnalis yang juga Redaktur Solopos sebagai narasumber mengatakan bahwa akan selalu terjadi dialektika dan keberagaman itu selalu ada. Dengan keberagaman maka akan ada idealisme. “Sesuatu yang non mainstream pasti akan menarik, karena ini akan menjadi dialektika. Dan dalam Kode Etik Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) orientasi seksual disinggung secara eksplisit,” jelas wartawan yang juga penguji di AJI ini. Saat sesi diskusi Elizabeth Yulianti Raharjo dari LPH-YAPHI mempertanyakan tentang media yang sering malah menyoroti soal orientasi seksual pada berita-berita kriminal, misalnya, dari sisi dan kemasan sehingga publik mempunyai opini sendiri. “Yang terjadi malah mengeksploitasi korban dan menjadikannya porsi besar,” tutur Elizabeth. Sementara Indriyati Suparno dari SPEK-HAM menyampaikan bahwa konsep SOGIEB masih sangat baru untuk kalangan publik dan stigma masyarakat atas homoseksual, misalnya, masih kental. Ia mempertanyakan tentang penyampaian konsep SOGIEB kepada masyarakat, baik di komunitas sendiri maupun ranah public. Reny Kistiyanti menanggapi pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa pihaknya tidak jemu-jemu untuk mensosialisasikan tentang SOGIEB termasuk hak-hak seksual dan reproduksinya. Salah seorang peserta diskusi, Farida dari Jaringan Radio Komunitas Indonesia menyatakan tentang pentingnya peran media dalam sosialisasi SOGIEB. “Media sulit untuk bersikap netral dan ada kendala salah satunya adalah belum banyak kawan-kawan SOGIEB yang berani untuk muncul,” tutur Farida. Menutup diskusi publik yang berlangsung selama lebih dari tiga jam tersebut, Reni Kistiyanti menyatakan bahwa walaupun menakutkan, pihaknya tidak berhenti dan mulai berdialog dengan kelompok-kelompok pemuka agama. “Kenyataan yang kami hadapi, yang di dalam komunitas saja belum selesai,” pungkas Reny pada diskusi yang dimoderatori oleh Rahayu Purwaningsih tersebut. (Astuti Parengkuh) Wacana yang dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengurangi jam kerja bagi perempuan ditolak oleh sejumlah elemen masyarakat. Jurnal Perempuan, PELITA UI dan ILUNI FHUI (Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia) menggelar Konferensi Pers penolakan terhadap rencana kebijakan tersebut pada Kamis, 4 Desember 2014 di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Wacana ini dinilai akan memberikan dampak yang justru merugikan perempuan. Pendiri Jurnal Perempuan, Gadis Arivia, Ketua ILUNI FHUI, Melli Darsa dan pegawai swasta Ria Ramli yang menjadi narasumber dalam konferensi pers tersebut satu suara untuk mengganti wacana ini dengan isu perempuan lain yang lebih substantif. “Wacana ini memang hanya akan diberlakukan kepada PNS perempuan, tetapi berbahaya apabila perusahaan swasta nantinya akan menerapkannya juga”, ungkap Ria Ramli. “Pemerintah tidak melihat perbedaan jam kerja swasta yang fleksibel. Spesialisasi pekerjaan tidak hanya diukur dari jam kerjanya saja tapi ada juga achievement lain, jadi menurut saya wacana peraturan ini tidak aplikatif”, tambahnya.
Ada banyak isu pekerja perempuan seperti glass ceiling untuk mencapai posisi puncak perusahaan, women on board, dan lainnya yang lebih harus diutamakan. pengurangan jam kerja justru akan merugikan perempuan mengingat perempuan akan semakin sulit mencapai posisi puncak kekuasaan karena kemungkinan mereka tidak ikut dalam rapat-rapat penting sehingga kesempatan perempuan untuk meraih jabatan tinggi menjadi semakin sulit. (Nadya Karima Melati) ![]() “Wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan akan memberikan implikasi yang merugikan perempuan”, demikian pernyataan Gadis Arivia, pendiri Jurnal Perempuan dalam Konferensi Pers Menolak Rencana Wapres dan Menaker RI untuk Pengurangan Jam Kerja bagi Perempuan pada Kamis, (4/12) di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, kawasan Menteng Atas, Setia Budi, Jakarta Selatan. Menurutnya, wacana kebijakan ini tidak didasarkan data dalam pengambilan keputusannya. Karena walaupun wacana ini hanya akan dibebankan kepada Pegawai Negeri Sipil atau PNS, dalam kenyataannya jumlah PNS perempuan menurut data PUSKAPOL UI tahun 2011 masih lebih sedikit daripada jumlah laki-laki, dan semakin mencapai tingkatan eselon jumlah PNS Perempuan semakin menurun. Dalam konferensi yang digelar Jurnal Perempuan bersama ILUNI FH UI (Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan PELITA UI ini, Gadis juga menekankan bahwa wacana ini mendiskriminasikan kemampuan laki-laki dalam mengurus anak karena beban parenting dibebankan hanya kepada ibu, seakan-akan ayah tidak mampu membesarkan anak. Padahal dalam beberapa penelitian mengemukakan bahwa parenting yang dilakukan oleh kedua orangtua lebih memberikan banyak dampak positif terhadap anak. Dan dengan pengurangan jam kerja ini pula, di khawatirkan gaji yang diterima perempuan akan lebih sedikit dibanding laki-laki. Gadis Arivia menyarankan agar pemerintah memilih isu yang lebih substansif, bukan yang tinggi muatan politisnya seperti ini dan berharap wacana ini bisa dihentikan. (Nadya Karima Melati) ![]() Kamis, 4 Desember 2014, Jurnal Perempuan bersama Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) dan PELITA UI mengadakan konferensi pers “Menolak Pernyataan Jusuf Kalla mengenai Pengurangan Jam Kerja bagi Perempuan”. Ketua ILUNI FHUI Melli Darsa memandang perlu mengeluarkan pernyataan bersama tentang penolakan wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan. “Wacana ini tidak berdasarkan data dan kerap bernuansa politik sehingga berpotensi melahirkan peraturan hukum yang diskriminatif”, ungkap Melli. Tentu hal ini tidak sejalan dengan perjuangan yang selama ini dilakukan perempuan dalam bidang pekerjaan. Data yang ada memperlihatkan perempuan belum menduduki posisi-posisi kunci dalam pekerjaan ataupun profesinya. Melli Darsa yang bergelut di bidang hukum memberikan contoh bahwa perempuan yang mencapai karier tertinggi di bidang hukum sangat rendah. Padahal data laki-laki dan perempuan yang mengambil jurusan hukum di tingkat universitas persentasenya masih seimbang. Namun, ketika di dunia profesi, perempuan yang menjadi jaksa 40%, 6,5% menjadi jaksa agung dan hanya ada 1 perempuan dari 10 hakim konstitusi. “Image dalam penegakan hukum Indonesia sangat maskulin”, ujarnya. Melli manambahkan hambatan bagi perempuan untuk mencapai puncak kariernya mencakup hambatan struktural dan kultural. Pemerintah seharusnya menjadi pihak yang cerdas untuk menginisiasi pembuatan peraturan di negeri ini. Melli Darsa berharap pemerintahan Jokowi-JK tidak mengulang kesalahan pemerintahan yang lalu dalam membuat undang-undang, yakni dengan tidak membuat konsep-konsep hukum yang menimbulkan permasalahan di masyarakat. Pemerintah harus berhati-hati dan memiliki pemahaman untuk membuat peraturan, jangan sampai menjadi sebuah kemunduran. Karena menurut Melli peraturan seperti ini tidak efektif dan memungkinkan untuk menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Wacana mengenai pengurangan jam kerja bagi perempuan akan memengaruhi iklim ekonomi. Dengan alasan untuk mengurus anak di rumah adalah bentuk dari domestifikasi perempuan, mengingat bahwa kewajiban mengurus anak bukan hanya tanggung jawab ibu saja melainkan kedua orang tua (parenting). Melli menambahkan bahwa di bidang lawyer banyak perempuan yang berpendidikan tinggi dengan rekam jejak yang panjang, namun tidak diberikan kesempatan oleh regulasi, yang harus kita lakukan adalah bukan membatasi namun memberi motivasi bagi pekerja perempuan untuk mencapai posisi puncak dalam kariernya. (Andi Misbahul Pratiwi) Solo, 2 Desember 2014. Pada Senin 1 Desember berlangsung koordinasi Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Surakarta yang terdiri dari beberapa elemen. JPPAS menyayangkan proses pemberitaan korban kekerasan seksual terduga Raja Solo yang memperlihatkan diri korban di televisi dan foto bayi korban di beberapa media. Jaringan ini mengeluarkan pernyataan sebagai berikut. (dc)
PRESS RELEASE Kami adalah Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (JPPAS) yang terdiri dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat, Ormas dan individu (LPH YAPHI, SPEKHAM, ATMA, YKPS, Ekasita, Bina Bakat, SARI, WKRI Cab. Surakarta, Jurnal Perempuan, Jejer Wadon, PPSG UKSW) yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak di Kota Surakarta dengan ini menyatakan keprihatinan terhadap berita yang berkembang di media terkait Kasus Kekerasan Seksual yang menimpa At yang diduga dilakukan oleh Raja Solo. Keprihatinan kami tersebut berupa : 1. Tidak adanya perspektif keberpihakan kepada Korban (At) dari Tim Kuasa Hukum atau pendamping. Hal tersebut terbukti dengan adanya penyebarluasan informasi di media mengenai kelahiran korban, penyebutan dengan jelas lokasi rumah sakit tempat At melahirkan bahkan yang lebih parah adalah memuat foto anak At. Hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip perlindungan anak (terbaik untuk anak, hak tumbuh kembang, hak hidup, hak partisipasi) seperti yang tercantum dalam UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, KHA (Konvensi Hak Anak), CEDAW (Convention on the Elimination of Discriminations Against Women). Selain itu bagi korban kekerasan seksual sangatlah penting untuk mendapatkan privasi terkait dengan identitas. 2. Ketidakpedulian yang menyebabkan kesalahan fatal Tim Kuasa Hukum atau Pendamping dalam hal penandatanganan Surat Kuasa oleh Bu Kumoro yang dianggap sebagai Bude At (seperti yang disampaikan oleh Asri Purwanti kepada JPPAS dalam pertemuan pada tanggal 18 Oktober 2014 di Kantor SPEKHAM), padahal seperti kita ketahui bahwa At masih mempunyai ayah kandung. Dengan demikian surat kuasa tersebut cacat hukum. 3. Keberadaan At yang tinggal di rumah Bu Kumoro yang dianggap sebagai Bude At, padahal dari hasil investigasi yang dilakukan oleh JPPAS dan dikuatkan oleh Bapak Suparno, SH sebagai Kanit Reskrim Polres Sukoharjo dalam bedah kasus pada hari Jumat, 25 November 2014 di YKPS bahwa Rumah Bu Kumoro biasa dipakai untuk berkumpul anak-anak remaja seusia At yang diduga dieksploitasi. 4. Pernyataan dari Tim Kuasa Hukum atau Pendamping yang mewacanakan perubahan status anak yang dilahirkan At menjadi adik At. Hal tersebut sangat bertentangan dengan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terkait dengan asal-usul anak yang menjadi hak dasar bagi anak. 5. Pernyataan dari Tim Kuasa Hukum atau Pendamping yang akan meminta bantuan jaminan pendidikan, kesehatan, sembako kepada DPRD Sukoharjo. Hal tersebut perlu dikritisi sebab kebutuhan utama At sejak awal yang harus dipenuhi adalah layanan psikologi karena At sebagai korban kekerasan seksual yang masih berstatus anak. Berdasarkan hal-hal di atas maka kami meminta agar:
Hormat Kami Haryati Panca Putri, SH Koordinator JPPAS Contact Person : Fitri Junanto (081548332290) Elizabeth Yulianti Raharjo (081805841001) ![]() Pendiri Firma Hukum Melli Darsa & Co. sekaligus Ketua Dewan Pembina YJP Melli Darsa menyatakan hukum menjadi seksis dan patriarkis akibat pewarisan hukum dari zaman Belanda yang belum dibenahi. Hal tersebut terjadi karena hukum tidak pernah dijadikan prioritas utama dalam pembangunan selama beberapa kali periode pemerintahan. Padahal, untuk mencapai Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur dibutuhkan ketegasan hukum agar rakyat memiliki kepercayaan terhadap pemerintahan. Ketidaktegasan hukum berimplikasi pada subjek hukum yang paling marginal yaitu perempuan dan anak-anak miskin. Dalam diskusi yang berlangsung di acara Gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dengan tema “Evaluasi Penegakan Hukum untuk Perempuan”, dan bertempat di kediaman Melli Darsa di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Sabtu (29 November 2014) tersebut Melli Darsa mengungkapkan bahwa kemajuan perempuan di suatu negara ditentukan oleh jumlah perempuan yang mampu mencapai posisi-posisi puncak. Karena pola pengambilan keputusan pasti bersifat patriarkis dan perempuan jika kuantitasnya sedikit dalam posisi pengambilan keputusan secara psikologis akan enggan mengungkapkan keadaannya. Disinilah pentingnya Women on Board, ujarnya lagi. Komposisi perempuan sebagai penegak Hukum pun belum mencapai angka yang diharapkan. Jumlah Perempuan di Mahkamah Konstitusi hanya 11%, disusul Mahkamah Agung 9,7%, Kementerian Hukum dan HAM 18,1% dan Kejaksaan 41%. Melli Darsa juga menekankan pentingnya posisi dan pandangan perempuan serta etika kepedulian (Ethics of Care) dalam pengambilan keputusan pada pos-pos dan posisi yang penting. (Nadya Karima Melati) ![]() Sabtu, 29 November 2014, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menyelenggarakan gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) di kediaman ibu Melli Darsa, S.H., LL.M selaku Ketua Dewan Pembina YJP dan pendiri Firma Hukum Melli Darsa & Co. Pada momen tersebut tentunya YJP juga mengadakan diskusi dengan tema “Evaluasi Penegakan Hukum untuk Perempuan”, selaku pembicara yaitu Melli Darsa dan Rocky Gerung. Rocky membuka pembicaraannya dengan menganalisis gramatikal hukum yang jika kita amati ternyata setiap pasal dalam diktat hukum dimulai dengan kata “barangsiapa” yang diperuntukkan sebagai subjek hukum. Namun kata “barangsiapa” sebenarnya adalah sebuah gramatikal laki-laki yang menunjukkan bahwa subjek hukum adalah kaum laki-laki. Rocky Gerung Dosen filsafat FIB Universitas Indonesia melanjutkan, “Dibalik subjek hukum itu ada sebuah sejarah panjang tentang penyingkiran perempuan dalam hukum”. Rocky mengibaratkan bahwa hukum itu seperti lorong dalam rumah yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, dimana jika batas dari lorong dilalui maka perlu hukum untuk mengaturnya, sehingga sebenarnya hukum berawal dari ruang privat, dari kamar tidur, dari lorong rumah, dari ruang domestik. Seluruh aktivitas hukum menjadi aktivitas publik, hukum mengatur perselisihan di ruang publik dimana ruang publik telah dikuasai oleh laki-laki. Lebih lanjut Rocky mengungkapkan bahwa Undang-undang Kekerasan Dalam Tumah Tangga (KDRT) adalah upaya bring justice back into the home yang selama ini dirampas oleh peradaban laki-laki. Tubuh perempuan adalah sumber diskriminasi ekonomi, sosial, budaya. Ketidakadilan ekonomi mungkin masih bisa diatasi oleh perbaikan regulasi, namun ada hukum kultural dimana setiap orang dikendalikan oleh peraturan moral dan perempuan lagi-lagi tidak mendapatkan keadilannya. Keseimbangan alam mengatakan bahwa semua orang berhak mendapat keadilan di meja hukum, dari wacana itulah lahir teori hukum feminis yang digunakan untuk mereduksi hukum dimana kaum feminis memperjuangkan agar pengalaman perempuan bisa dijadikan sumber hukum baru, bukan hanya ethics of rights namun ethics of care juga dilibatkan. Selama cara berpikir hukum tidak direvisi maka diskriminasi hukum terhadap perempuan akan terus berlangsung. Hukum masih dipalsukan oleh kepentingan patriarki. Melli Darsa adalah contoh perempuan ekstrem yang berusaha menerobos langit-langit kekuasaan laki-laki di bidang hukum. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Korban terbanyak dari tragedi Mei ’98 adalah kaum perempuan. Dibentuknya Komnas Perempuan merupakan upaya untuk menghapuskan kekerasan yang terjadi pada perempuan, demikian pernyataan Ketua Sub Komisi Pemulihan Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, dalam Seminar bertajuk “Membangun Mekanisme Pelaporan Korban Kekerasan Seksual” di di Auditorium Gedung X FIB Universitas Indonesia pada (26/11). Meskipun deklarasi HAM universal sudah ada namun secara spesifik dan sistematis perempuan mengalami kekerasan berbasis gender. Forum Pengadaan Layanan di dalam Komnas Perempuan bertugas membantu penanganan kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan. Seringkali negara memfokuskan diri pada hukuman bagi pelaku dan mengabaikan pemulihan korban. Di sinilah Komnas Perempuan turut membantu memulihkan kondisi psikologis korban. Menurut Nurherwati, kekerasan seksual kerap kali mendapatkan penyangkalan dari sosial. Jika korban tidak berani muncul dan hukum tidak dapat membuktikan tidak berarti faktanya tidak ada. Diperlukan adanya perspektif HAM dan gender untuk memahami posisi perempuan di dalam masyarakat. Jika pisau analisis tidak digunakan dengan benar maka stigma pada korban akan muncul. Pisau itu digunakan untuk membedakan korban dan pelaku. Pembelaan pada korban ada pada pisau analisis yang seringkali luput oleh para penegak hukum. Nurherwati menambahkan prinsip penanganan korban pelecehan seksual di Komnas Perempuan berbasis pada korban. Di sini para konselor menjadi pendengar dan diharapkan berempati dan berpihak pada korban. Tanpa rasa keberpihakan, korban akan takut bercerita dan cenderung menyalahkan dirinya. Maka yang diperlukan bagi pendamping korban pelecehan adalah perspektif dalam menganalisis kasus. Perspektif sangat penting untuk mengasah kemampuan dalam menyusun kronologi peristiwa yang sesuai dengan fakta. Selain menjadi pendengar, pendamping melakukan intervensi kritis. Misalnya di dalam kasus korban pelecehan atau kekerasan yang merasa menjadi pihak yang patut disalahkan. Pandangan ini harus dihilangkan dari korban. Setelah intervensi, pendamping kemudian membantu menyusun strategi dalam menempuh jalur hukum. Dalam seminar ini dijelaskan beberapa karakteristik mengenai kekerasan seksual. Salah satunya adalah pelaku seringkali merasa bahwa tindakannya dapat dibenarkan dikarenakan alasan “suka sama suka”. Hal itu menguatkan keragu-raguan korban bahwa ia telah mengalami pelecehan dan kekerasan. Nurherwati memberikan beberapa tips penanganan spesifik yang dapat dilakukan oleh para pendamping seperti memberikan informasi kepada korban tentang hak atas tubuh, penguatan bagi korban yang merasa bersalah dan pentingnya peran keluarga sebagai bagian utama dari perlindungan bagi korban. (Johanna Poerba dan Lola Loveita) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |