Pernah dikatakan bahwa karyanya mirip karya Gayatri Spivak, Indah Darmastuti kaget, apalagi jika dilihat sampul buku yang berjudul Makan Malam Bersama Dewi Gandari tersebut adalah karya desain kawan sejawatnya yang bekerja di perusahaan batik. Indah Darmastuti, novelis asal Solo yang cerpen-cerpennya kerap terbit di media nasional, seperti Jawa Pos, Femina dan Nyata, menghimpun karya-karya tersebut sehingga mewujud buku dengan tema tunggal tentang perempuan. Dihadiri oleh 15 anggota Komunitas Jejer Wadon, buku Makan Malam Bersama Dewi Gandari menjadi bahan diskusi di samping buku dengan tema yang sama, kumpulan esai Dongeng Ibu karya feminis asal Solo, Fanni Chotimah, Minggu (17/4). Sekar Putri, yang menjadi pembedah buku Makan Malam Bersama Dewi Gandari mengatakan bahwa ia melihat karakter-karakter perempuan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi dengan sederhana tetapi cukup menjadi persoalan yang sangat bervariasi yakni persoalan sehari-hari yang dekat dengan kita. “Ceritanya sederhana, plotnya juga. Buat saya menyenangkan untuk lebih mendalami karakter yang ingin diangkat oleh seperti apa, saya mampu untuk menikmatinya,”ungkap Sekar Putri. Masing-masing karakter perempuan-perempuan yang ditulis di buku Makan Malam Bersama Dewi Gandari sama-sama menyimpan perasaan cinta. Meski tidak digarap lebih menggigit lagi seperti harapan Sekar Putri, namun problem perempuan yang diangkat menjadi tema lumayan semakin serius menginjak judul ketiga buku ini. Di cerpen ketiga berkisah tentang perempuan yang mendapatkan pekerjaan, namun dijadikan pekerja seks. Mereka menghadapi siksaan lelaki yang selalu menggunakan tongkat di mana dia membuat perempuan pekerja ini patuh dan dia akan menyiksa dengan tongkat itu jika ada yang tidak berkenan. Cerita ini pendek namun lumayan dramatis ketika perempuan itu mencintai pelanggannya. Pelanggannya mati ketika dia menanti perempuan yang bernama Debora tersebut. Dia meninggal dalam masa penantiannya. Menunggu Debora melayani tamu, padahal dia sudah menyiapkan cincin untuk melamar tapi akhirnya tidak terlaksana. Judul kelima “Raisha dan Sekotak Tanah” ini menarik. Tanah adalah ibu bagi semua makhluk , mama yang ada bagi semua yang ada di dunia. Dua kalimat ini yang disampaikan kepada anak kecil, yang ibunya meninggal ketika dia masih kecil dan judul ini adalah persahabatan anak kecil yang bernama Raisha. Kemudian cerita juga berkisah tentang Mayang, seseorang yang hampir menjadi ibu tetapi karena sebuah kecelakaan bayi yang dia kandung harus gugur bersama suaminya. “Perahu Rongsok”, penggambaran yang cukup pelik tentang pekerja perempuan yang telah bekerja tetapi dia tidak pernah menerima upah. Sebagai hak-hak pekerja sampai nasib membawa mereka kembali ke rumah tanpa membawa apa pun. Jadi ada tiga cerita berkisah tentang perempuan dan pekerjaannya di luar rumah yang cukup berisiko yang akhirnya terjadi di cerita ini mereka bekerja tanpa menerima upah. Indah Darmastuti mengaku belajar dari pengarang lain seperti Dorothea Rosa Herliany, dan Oka Rusmini. “Saya membaca bahwa sejarah perempuan adalah sejarah penderitaan. Karena kita melihat, yang satu Gandari dan satunya Kunti. Kalau Gandari sebenarnya dia tidak cinta sama Destarastra tetapi dia mau mengungkapkan tidak mau, alasannya adalah empati terhadap suaminya. Dia diberkati dengan rahim yang bisa hamil 100 anak tetapi mati semua, yang satunya hanya anak lima tetapi hidup semua. Jadi dua orang ini berbicara tentang seorang ibu, mana yang paling menderita. Saya hanya mengangkat bahwa menjadi perempuan itu selalu tidak mudah. Berlomba-lomba menonjolkan kesuksesannya tetapi menonjolkan seberapa menderitanya,”jelas Indah saat bercerita tentang cerpen Makan Malam Bersama Dewi Gandari. “Ashima, Titip Rindu untuk Calcuta” cerita kesembilan ini lumayan panjang dan Indah menuliskannya agak terbolak balik. Dan yang menarik adalah si Ashima adalah perempuan India yang dijodohkan oleh orang tuanya. Perjodohan tidak berlangsung baik. Mereka sampai punya anak tetapi anaknya mati ketika Ashima sedang mempersiapkan makanan dan suami yang dijodohkan bukan orang yang toleran dengan pekerjaan yang dikerjakan di rumah sampai mereka kehilangan anak laki-laki. Ashima sendiri mengaku pernikahannya tidak bahagia. Karena anaknya meninggal saat disajikan makanan, dia dianggap oleh keluarga suami sebagai perempuan pembawa sial. Perbincangan dengan buku lainnya, Dongeng Ibu, kumpulan esai karya Fanny Chotimah adalah berangkat dari lomba menulis yang diselenggarakan oleh Majalah Femina. “Gado-gado adalah esai keseharian tentang kebaikan lalu saya ingat tentang dongeng ibu saya tentang cerita dongeng dalam bahasa Sunda dengan kerja keras, saya mendapat amanat dari dongeng itu bahwa setiap penderitaan mengajar kita agar bisa keluar dari masalah, menjadi pribadi yang mandiri. Saya kaitkan lagi dengan sosok-sosok yang saya temui di dunia nyata. Dulu di Sriwedari itu ada yang namanya Mbah Kucing. Semua dongeng itu saya ceritakan lagi kepada anak saya. Intinya kebaikan itu tidak hanya kita bagi kepada manusia tetapi semua makhluk. Saya pikir kita harus berpihak dan memilih. Saya jelas berpihak kepada perempuan dan kemanusiaan. Jadi apa pun yang terasa menyenggol itu semua, yang keluar jalur dari koridor kemanusiaan atau yang menindas kemanusiaan, saya suarakan,”pungkas Fanny Chotimah. (Astuti Parengkuh) Kekerasan simbolis yang beroperasi melalui bahasa atau wacana, simbol dan representasi merupakan jalan bahkan pembenaran bagi lahirnya kekerasan psikologis dan fisik. Karena itu upaya melawan kekerasan harus dilakukan sejak di tataran simbolik dengan membongkar wacana/bahasa, simbol dan representasinya. Demikian pernyataan Haryatmoko, pengajar Universitas Sanata Dharma dan Universitas Indonesia, kepada para peserta Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) di kantor Jurnal Perempuan, Kamis (21/4). Lebih lanjut Haryatmoko menjelaskan gagasan-gagasan Pierre Bourdieu yang dapat membantu untuk memahami dan membongkar bentuk-bentuk dominasi yang ada di sekitar kita yang mekanismenya bekerja secara halus melalui kekerasan simbolis. Kuliah yang diberikan Haryatmoko tersebut merupakan bagian dari program Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) yang diselenggarakan Jurnal Perempuan. Program Kaffe pertama yang dimulai bertepatan dengan peringatan hari Kartini ini membahas tema “Postrukturalisme: Membongkar Bentuk-Bentuk Dominasi dan Kekerasan Simbolis”. Selain Haryatmono, Program Kaffe pertama juga menghadirkan Gadis Arivia dan Rocky Gerung sebagai pengajar. Koordinator program Kaffe Abby Gina dalam sambutan pembukaan menjelaskan bahwa Kaffe hadir sebagai respons atas kondisi dunia yang saat ini menghadapi sejumlah persoalan, seperti tergerusnya nilai kemanusiaan, praktik dominassi dan ketidakadilan. Karena itu Kaffe hadir untuk membangun kembali refleksi kritis tiap individu dan membuka horizon baru dalam melihat realitas kehidupan sosial. Kaffe juga menawarkan fondasi kesetaraan dan moralitas manusia dalam memastikan keadilan gender. Untuk itu Kaffe diharapkan membawa perubahan baik pada tataran pemikiran dan juga pada praksis sosial. Program Kaffe pertama diikuti oleh 27 peserta yang memiliki latar belakang yang beragam, seperti mahasiswa, dosen, pekerja sosial, konsultan, penulis, dll. Pada kuliah pembukaan ini hampir semua pengajar Kaffe ikut hadir seperti Robertus Robert, Atnike Sigiro, Daniel Hutagalung, Musdah Mulia, Rocky Gerung dan Gadis Arivia. Kaffe mengambil bentuk kuliah serial dengan membahas tema yang berbeda setiap bulan dan berlangsung setiap minggu pada hari Kamis dengan menghadirkan pengajar yang kompeten di bidangnya. Pada bulan Ramadan nanti program Kaffe akan hadir dengan tema “Islam dan Feminisme”. (Anita Dhewy) Jumat, 15 April 2016, Millennium Challenge Account (MCA) Indonesia meluncurkan Temuan Kunci Studi Penyusunan Definisi Resmi Usaha Milik Perempuan di Hotel Bidakara, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Badan Pusat Statistik (BPS), pemerintah daerah, peneliti, serta perempuan pengusaha dari berbagai sektor industri. Bonaria Siahaan sebagai Direktur Eksekutif MCA Indonesia mengungkapkan bahwa ia sangat bersyukur karena publikasi studi penyusunan definisi usaha milik perempuan dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. “Studi ini merupakan bagian dari komitmen MCA Indonesia untuk mengintegrasikan gender ke dalam program Compact Indonesia sekaligus sebagai kegiatan lanjutan dari survei gender dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah dilaksanakan pada tahun 2014”, papar Bonaria dalam sambutannya. Tujuan utama dari studi ini menurut Bonaria adalah untuk menyusun definisi resmi usaha milik perempuan yang inklusif dan mampu menggambarkan situasi terkini perempuan pemilik usaha di Indonesia. Bonaria juga mengharapkan definisi ini nantinya dapat dijadikan acuan dalam pengumpulan data mengenai jumlah dan dinamika usaha milik perempuan Indonesia serta dapat membantu berbagai pihak dalam mengidentifikasi usaha milik perempuan dalam program, kebijakan serta penelitian terkait. Acara ini juga menghadirkan Sarah Sadiqa, Deputi Bidang Monitoring-Evaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi LKPP, untuk memberikan sambutan. Sarah menyampaikan bahwa selama ini tidak ada definisi resmi usaha milik perempuan. Dunia usaha biasanya hanya mendefinisikan usaha berdasarkan bidangnya atau fokus usahanya, seperti industri, jasa dsb. “Saya rasa mainstreaming gender dalam dunia usaha maupun pengadaan barang amat penting, selain untuk mengetahui sejauh mana kontribusi perempuan pengusaha terhadap perekonomian namun juga untuk memberikan akses seluas-luasnya terhadap usaha milik perempuan”, papar Sara mengakhiri sambutannya. Dalam acara ini juga staf ahli Menteri PPPA, Sri Danti Anwar diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato kunci terkait isu perempuan pengusaha di Indonesia. Sri Danti Anwar mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi tidak terlepas dari seberapa besar laki-laki dan perempuan ikut terlibat. Ekonomi di era digital ini menunjukan bahwa Indonesia adalah pengguna internet terbesar nomor 3 di dunia yaitu sebanyak 88,1 juta orang dan 40 juta perempuan mengakses internet. “Perempuan pengusaha mikro dan kecil menengah dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan keluarga, ini peluang besar”, papar Sri Danti Anwar. KPPPA mengharapkan nantinya definisi usaha milik perempuan sifatnya inklusif, fleksibel, mainstreaming gender, dan sustainable. Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan paparan temuan kunci definisi usaha milik perempuan oleh Marisna Yulianti dari MCA Indonesia. Marisna menjelaskan bahwa studi penyusunan definisi usaha milik perempuan ini diawali oleh survei gender dalam pengadaan barang dan jasa pada tahun 2014 kerjasama LKPP dan Bappenas. Tujuannya studi ini, 1) untuk melihat analisis gender apa saja yang ada dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, 2) untuk mengadopsi definisi resmi usaha milik perempuan yang nantinya akan diintegrasikan terhadap data agar dapat dilihat sejauh mana akses perempuan terhadap dunia usaha. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif di 8 kota besar di Indonesia dengan metode diskusi, desk review, lokakarya antara pemerintah dan non pemerintah, asosiasi, universitas, serta perempuan pelaku usaha. Marisna menjelaskan bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi perempuan dalam menjalani sebuah usaha. Kendala internal antara lain, 1) beban ganda, 2) kurangnya percaya diri, 3) tidak berani mengambil risiko, 4) kurangnya kapasitas dalam mengelola keuangan dan manajemen bisnis. Kemudian kendala lainnya datang dari eksternal yaitu, 1) sulit mendapatkan modal, 2) sulit mendapatkan dokumen usaha atas nama perempuan (biasanya atas nama suami), 3) sulitnya akses pemasaran, 4) sulit dapat dukungan keluarga. “Ketiadaan definisi resmi mengenai usaha milik perempuan menyebabkan tidak adanya data nasional mengenai jumlah dan dinamika usaha milik perempuan”, sambung Marisna. Ia juga mengungkapkan bahwa ada 3 negera di dunia yaitu Amerika, Kanada dan India yang telah memiliki definisi resmi serta kriteria seperti apa sehingga usaha tersebut dapat dikatakan sebagai usaha milik perempuan. Kriteria tersebut adalah kepemilikan modal, manajemen perusahaan, kontrol dan tanggung jawab risiko, dan tenaga yang didominasi perempuan. Dengan kriteria tersebut maka usaha yang dijalankan dapat dikategorikan sebagai usaha milik perempuan di negara-negara tersebut. Sebelum mendefinisikan apa dan seperti apa usaha milik perempuan, Marisna menjelaskan bahwa definsi ini diharapkan memang cocok dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang beragam. “Terminologi perusahaan yang digunakan di tiga negara tersebut, kami rasa kurang pas dengan wajah industri di Indonesia, karena perusahaan adalah usaha yang sudah memiliki banyak pegawai sedangkan tujuan kami adalah menjaring seluruh data usaha yang dilakukan perempuan dari hulu ke hilir secara menyeluruh termasuk usaha perempuan penjual ikan dan sayur di pasar”, tutur Marisna. Prinsip utama definisi ini nantinya adalah bersifat fleksibel dalam aplikasi dan penggunaanya dapat strategis, tidak diskriminatif dan tidak menyulitkan perempuan, harus sesuai dengan kondisi Indonesia dan dapat diadopsi oleh pemerintah untuk membuat kebijakan. Definisi usaha milik perempuan hasil studi MCA Indonesia sebagai berikut:
Dewi Candraningrum: Kampanye Sosial tentang Pemasungan Orang dengan Gangguan Jiwa Penting Dilakukan2/4/2016
Menanggapi keprihatinan atas maraknya dan tingginya angka pemasungan terhadap difabel skizofrenia atau psikososial, biasa disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), Dewi Candraningrum, pemimpin redaksi Jurnal Perempuan mengatakan bahwa penting bagi kita untuk terus melakukan kampanye sosial. “Orang dengan gangguan jiwa, anak dengan autisme, serta anak difabel lainnya berbeda dengan anak-anak ‘normal’. Siapapun Anda perlu membukakan pintu untuk mereka,” ujar Dewi Candraningrum. Bercerita tentang pengalamannya sebagai ibu dari seorang anak dengan autisme, Dewi Candraningrum mengatakan bahwa dirinya banyak melakukan trial and error dan tidak pernah berputus asa. “Anak saya minta dibelikan piano. Setiap hari selama tiga bulan saya ajari sampai lancar. Anak saya belajarnya secara visual, dia lebih terampil membaca not balok daripada a,b,c,d,”imbuh Dewi Candraningrum dalam diskusi memperingati Hari Perempuan Internasional yang diselenggarakan oleh Komunitas Jejer Wadon bersama Silent Tears Australia dan didukung The Sunan Hotel, Minggu (27/3). Acara yang bertajuk “Saatnya Perempuan Difabel Bicara” menghadirkan pula dua pembicara, Denise Beckwith dan Belinda Mason dari Silent Tears Australia. Denise Beckwith mengatakan bahwa difabel tergantung dengan keluarga dan orang tuanya. Dia diajarkan oleh keluarganya dengan filosofi baru dan bisa hidup seperti yang lain. “Difabel di sini (Indonesia-red) dipandang hal yang memalukan. Saya dan Belinda beruntung sebagai seorang difabel dewasa bahwa keluargalah yang harus berjuang bahwa anaknya memiliki difabilitas. Ini lebih pada penerimaan keluarga,” jelas Denise Beckwith. “Ini hari ketiga kami belajar tentang inklusivitas yang berawal dari pemberdayaan masyarakat. Ini menarik untuk saya sebagai seorang difabel dan bekerja untuk advokasi difabel. Hal terpenting dalam kerja hari ini adalah bagaimana orang-orang bekerja untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada,” kata Belinda Mason. Utami, perempuan difabel pegiat Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Solo berbagi pengalaman hidupnya. “Dulu waktu kecil saya diasingkan oleh orang tua. Mungkin orang tua saya malu, lalu saya disekolahkan di Yogya. Setelah mengenal penerjemah, orangtua saya mulai percaya. Anggapan awam, tuli itu bodoh. Padahal tuli itu bisa melukis, memasak dan pekerjaan apa saja asal ada kesempatan. Anggapan masyarakat masih melekat. Stigma difabel masih menguat. Difabel masih dianggap ‘aib’,” ungkap Utami. Menyinggung tentang kebijakan, Denise Beckwith menambahkan bahwa Australia memiliki sistem kebijakan yang bagus, “Sistem ini saya tidak menyangkal. Indonesia punya cara lain dengan dukungan dari komunitas-komunitas. Menjadi modal yang besar untuk menyuarakan kebutuhan yang besar. Komunitas akan lebih kuat. Sistem kebijakan yang bagus harus dimiliki. Indonesia sedang menyesuaikan cara pandang menjadi inklusi,” terang Denise. Dewi Candraningrum yang pernah tinggal dua tahun di Australia bersama anak dengan autisme membenarkan bahwa dukungan negara (komunitas) di Indonesia tidak sama dengan di Australia. “Saya bisa memahami bahwa orangtua di sini “sendiri”. Karena jaring sosial tidak seperti negara-negara maju. Saya hanya mampu membandingkan dengan keponakan, misal kalau lebaran tiba, bahwa tidak akan ada makanan dengan gula, tepung, karena kalau tantrum bisa dua jam lebih. Saya dan keluarga bergaya hidup orang desa yang tidak pernah jajan. Orang dengan difabilitas itu kondisional, kita orang tua menyesuaikan.” Acara diskusi yang dimoderatori oleh Fanny Chotimah dan dihadiri oleh para pegiat difabel, perempuan dan anak serta kepemudaan dan lintas agama tersebut difasilitasi oleh The Sunan Hotel dengan program CSR. Retno Wulandari, selaku general manager The Sunan Hotel mengatakan bahwa pihaknya tidak hanya berpikir tentang keuntungan saja tetapi juga dampak sosial. “Acara seperti ini bisa menjadi edukasi publik,” pungkas Retno Wulandari. (Astuti Parengkuh) Mibnasah Rukamah Koordinator Lapang Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) wilayah Sukabumi menjadi salah satu narasumber dalam acara diskusi “Akhiri Pernikahan Anak” yang digagas oleh Jurnal Perempuan dengan dukungan Kedutaan Kanada dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2016 di restoran Amigos Kemang, Jakarta Selatan. Mibnah—begitu biasanya ia dipanggil—menjelaskan bahwa banyaknya praktik pernikahan anak di daerah pedesaan khususnya dikarenakan masih banyaknya pandangan masyarakat yang menganggap bahwa menikah harus disegerakan jika sudah ada calon pasangandan jika perempuan menikah di usia lebih dari 25 tahun akan menjatuhkan martabat keluarga. Menurutnya selain motif agama dan sosial, pernikahan di usia dini juga dipicu oleh faktor ekonomi masyarakat dan pendidikan rendah sehingga menjadi alasan untuk menikahkan anak sebagai jalan untuk keluar dari kemiskinan dan mengurangi beban keluarga. Hal ini juga diperparah dengan perputaran ekonomi dan peluang lapangan pekerjaan di daerah pedesaan yang minim. Selain alasan-alasan di atas terdapat juga alasan menikah karena pergaulan bebas sehingga anak-anak remaja telah melakukan hubungan seksual sebelum ada ikatan pernikahan. Kemudian banyak yang beranggapan bahwa bahwa anak harus menurut kepada orang tua termasuk dalam urusan memilih pasangan dan menikah, sehingga hak anak untuk memilih jodohnya tidak ada. Mibnah mengungkapkan bahwa banyak dampak buruk akibat pernikahan di usia dini yaitu salah satunya adalah dampak psikologis. “Pada usia anak yang seharusnya masih bermain dan mengenyam pendidikan namun ia harus dibebani oleh urusan rumah tangga yang banyak, sehingga ini bisa jadi pemicu perceraian bagi pasangan muda”, jelas Mibnah. Perceraian lebih kerap terjadi karena kontrol terhadap diri masih kurang. Kemudian ia juga menyebutkan beberapa kasus pernikahan anak biasanya dilakukan secara nikah siri atau nikah secara agama saja dan tidak dicatatkan di KUA. Hal ini menurut Mibnah membuat perempuan dan anaknya menjadi rentan terhadap kekerasan dan rentan untuk tidak dipenuhi haknya sebagai istri dan anak. Ia juga menemukan bahwa banyak anak-anak yang lahir tidak memiliki akta kelahiran karena orang tua mereka tidak memiliki surat nikah. "Mereka yang sudah menikah di usia dini perlu didampingi dan diberikan pelatihan agar tahu dan mampu untuk mengurus anak-anak mereka terutama perihal administrasi hukum", jelas Mibnah. Perempuan yang telah lama berkecimpung di organisasi Pekka ini juga menjelaskan beberapa upaya yang telah dilakukan Pekka untuk melindungi hak-hak perempuan serta usaha-usaha pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Beberapa agenda yang telah dilakukan Pekka diantaranya: 1) mengadakan pelatihan paralegal Pekka untuk tokoh perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat desa, 2) menyediakan informasi dalam bentuk buku saku, leaflet, poster, buletin dan video, 3) memberikan pendampingan terhadap kasus yang dihadapi anggota Pekka dan masyarakat sekitarnya, 4) memfasilitasi proses sidang isbat nikah, pencatatan buku nikah dan akta kelahiran dan masih banyak lagi ungkapnya. Dengan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi akar rumput diharapkan dapat menekan tingginya angka pernikahan anak dan juga memberi wawasan atas pentingnya hak-hak kesehatan reproduksi perempuan serta hal-hal administratif yang perlu diurus untuk kepentingan pemenuhan hak pendidikan bagi anak-anak nantinya. (Andi Misbahul Pratiwi) Selasa 8 Maret 2016, Jurnal Perempuan dengan dukungan Kedutaan Kanada merayakan Hari Perempuan Internasional (HPI) di restoran Amigos, Jl. Kemang Selatan I, Jakarta Selatan. Pada Hari Perempuan Internasional—yang dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya--Jurnal Perempuan menyerukan #AkhiriPernikahanAnak. Isu pernikahan anak menjadi sangat penting karena merupakan masalah yang tak kunjung selesai dan berkorelasi terhadap tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)—yang merupakan kegagalan Indonesia dalam MDGs. Persoalan pernikahan anak harus dihadapi bersama melibatkan berbagai pihak yang peduli. Jurnal Perempuan mengkaji isu ini secara akademis yang didokumentasikan dalam JP 88 “Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan”. Acara perayaan HPI yang dihadiri oleh lebih dari 150 peserta ini berlangsung meriah dengan acara diskusi, pentas seni, pemutaran video dan pameran foto—yang merupakan dokumentasi sejarah pergerakan perempuan Indonesia dan juga hasil perjalanan panjang Jurnal Perempuan selama hampir 20 tahun. Perayaan ini dimulai pukul 15.30 WIB dan dibuka oleh Anita Dhewy selaku pembawa acara dengan menjelaskan pengantar tentang HPI dan aktivisme Jurnal Perempuan dalam penerbitan serta perjuangan kesetaraan di Indonesia. “Hari Perempuan Internasional adalah sebuah hari yang didedikasikan untuk merayakan keberhasilan pencapaian perempuan dalam berbagai bidang sekaligus menjadi penanda perjuangan perempuan untuk meraih kesetaraan dan keadilan”, jelas Anita. Setelah itu acara dilanjutkan dengan sambutan dari pendiri Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), Gadis Arivia. Dalam sambutannya Gadis Arivia mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung terselenggaranya acara ini yaitu Kedutaan Kanada dan Ford Foundation. Kemudian pendiri Yayasan Jurnal Perempuan ini juga menyapa dan berterima kasih kepada para pembicara dan tamu undangan dari berbagai daerah yang telah hadir salah satunya dari Indramayu dan Papua Barat. “Hari Perempuan Internasional dirayakan setiap satu tahun sekali, setidaknya dalam satu tahun sekali itu kita dapat mengingat perjuang perempuan-perempuan hebat di seluruh dunia yang telah berkontribusi banyak dan tanpa mereka kita tidak akan berada di sini, kita harus menjadi dan melahirkan perempuan-perempuan hebat yang nanti di masa depan akan menjadi tonggak bangsa ini”, tutur Gadis Arivia. Setelah memberikan sambutan Gadis Arivia mengundang H.E Donald Bobiash (Duta Besar Kanada untuk Indonesia) untuk memberikan sambutannya. H.E Donald Bobiash mengungkapkan bahwa Kedutaan Kanada mendukung kegiatan yang mempromosikan hak-hak perempuan dan berterima kasih kepada tamu undangan yang telah hadir dalam perayaan ini. “Pemerintahan Kanada berkomitmen untuk memajukan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, salah satu tindakan Perdana Menteri adalah menunjuk 15 orang menteri laki-laki dan 15 orang menteri perempuan, 50% kuota kabinet kerja untuk perempuan”, jelas H.E Donald Bobiash. Setelah sambutan dari Duta Besar Kanada, acara dilanjutkan dengan menyayikan lagu “Indonesia Pusaka” oleh seluruh peserta diiringi dengan resital piano Marusya Nainggolan. Kemudian acara perayaan Hari Perempuan Internasional ini masuk dalam sesi diskusi yang dipandu oleh Dewi Candraningrum, Pemred Jurnal Perempuan, selaku moderator diskusi. Diskusi ini menghadirkan Zumrotin K. Soesilo (Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan dan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) sejak 2014, Kanya Eka Santi (Sekretaris Ditjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial), Mibnasah Rukamah (Koordinator Perempuan Kepala Keluarga wilayah Sukabumi). “Pada tahun 2014 hati kita dilukai oleh kasus pedophilia terduga Raja Solo, Jurnal Perempuan 88 kami persembahkan untuk kita semua, khusus dilukis menyamari korban terduga Raja Solo. Menjelang usia 17 tahun ia diperkosa, sehingga seorang anak melahirkan bayi. Saya kira tidak ada yang bisa merampas hati kita sejauh ini selain apa yang terjadi pada anak-anak kita”, tutur Dewi. Setelah itu Dewi menyilakan Zumrotin K. Soesilo untuk menjelaskan dan berbagi pengalaman di lapangan karena beliau merupakan salah satu perempuan hebat yang berani mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi perihal usia pernikahan yang perlu dinaikkan. Zumrotin K. Soesilo menjelaskan bahwa perjuangan untuk menaikkan usia pernikahan perempuan sudah dimulai dari wilayah akar rumput, dari daerah-daerah. Ia membagi kisahnya ketika melakukan pelatihan di daerah, “Ketika saya akan memberikan pelatihan-pelatihan, saya meminta Pemda setempat untuk membuat MoU, perjanjian untuk kemudian tahap selanjutnya harus ada APBD yang disalurkan ke masyarakat perihal advokasi kesehatan reproduksi perempuan dan perihal pernikahan anak. Saya ingin pemerintah juga punya komitmen atas ini”, papar Zumrotin. Ia juga menyesalkan keputusan MK yang tidak mengabulkan permohonan untuk menaikkan usia pernikahan bagi perempuan, karena sudah jelas undang-undang kita ini masih banyak yang saling tumpang tindih satu sama lain. Namun Zumrotin tetap optimis bahwa meskipun judical review tersebut ditolak masih ada jalan lain yaitu mendorong pemerintah daerah untuk mengeluarkan Perda larangan pernikahan anak, seperti yang dilakukan Bupati Gunung Kidul. “Bonus demografi kita akan menjadi bencana jika kita tidak bisa mengakhiri pernikahan anak. Pernikahan anak menyebabkan kemiskinan, ketertinggalan pendidikan serta ancaman bagi kesehatan reproduksi perempuan”, jelas Zumrotin. Paparan selanjutnya disampaikan oleh Kanya Eka Santi, Sekretaris Ditjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI. Ia mengungkapkan secara jelas bahwa UU Pernikahan Indonesia bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. “Kehamilan di usia remaja memiliki risiko lebih tinggi sehingga berpotensi besar menyumbang AKI”, tutur Santi. Di akhir paparanya ia mengungkapkan bahwa untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia kita perlu mengurangi angka pernikahan anak, “Salah satu program Kementerian Sosial adalah good parenting untuk menekan angka pernikahan anak”, jelas Santi. Sebelum masuk ke paparan dari pembicara selanjutnya, Dewi Candraningrum menyilakan Eka Budianta untuk membacakan puisi, para peserta turut hanyut dalam kegetiran puisi Eka Budianta. Setelah itu acara dilanjutkan dengan paparan dari Mibnasah Rukamah (Koordinator Perempuan Kepala Keluarga wilayah Sukabumi). Mibnah—begitu biasanya ia dipanggil—menjelaskan bahwa pernikahan anak bukan hanya berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan saja namun juga pada psikologis perempuan tersebut, karena belum siap secara mental untuk mengurus anak. “Seharusnya mereka punya waktu untuk bermain dan mengenyam pendidikan tinggi”, tutur Mibnah. Kemudian ia juga menyebutkan beberapa kasus pernikahan anak biasanya dilakukan secara nikah siri atau nikah secara agama saja dan tidak dicatatkan di KUA. Hal ini menurutnya membuat perempuan dan anaknya menjadi rentan terhadap kekerasan dan rentan untuk tidak dipenuhi haknya sebagai istri dan anak. Ia juga menemukan bahwa banyak anak-anak yang lahir tidak memiliki akta kelahiran karena orang tua mereka tidak memiliki surat nikah. Setelah paparan dari pembicara selesai, Dewi Candraningrum selaku moderator menyilakan Marusya Nainggolan menampilkan resital piano sebelum acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Seluruh peserta menikmati resital piano yang indah dari Marusya yang merupakan mantan Direktur Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Setelah selesai Dewi menyilakan tamu undangan untuk memberikan pertanyaan maupun tanggapan atas isu pernikahan anak yang baru saja dibahas oleh para pembicara. Setelah sesi tanya jawab acara dilanjutkan dengan pembacaan Cerpen oleh Dewi Nova Wahyuni yang merupakan salah satu Cerpenis feminis Indonesia, Dewi Nova membawakan Cerpen “Bulan Dicuri Bapak” dengan iringan akustik. Pembacaan Cerpen oleh Dewi Nova membuat suasana syahdu dan seluruh peserta hening. Acara diskusi berlangsung interaktif karena peserta turut menyumbang pemikiran, pengalaman dan keluh kesah perihal pernikahan anak di Indonesia. Diskusi ini juga amat meriah karena selingan pembacaan puisi, resital piano dan pembacaan Cerpen yang menarik. Sementara acara diskusi selesai, Helene Viau (Konselor Politik dan Hubungan Masyarakat Kedutaan Kanada untuk Indonesia) menjelaskan secara singkat mengenai program Girls Not Bride dan menampilkan slide kisah anak-anak di dunia yang menikah di usia anak dan terjerat dalam rantai kemiskinan. Waktu menujukkan pukul 18.00 WIB, Anita Dhewy selaku pembawa acara menyilakan para tamu undangan untuk menikamati makan malam yang telah disediakan dan kembali ke tempat masing-masing untuk menyaksikan pemutaran video #AkhiriPernikahanAnak produksi Jurnal Perempuan. Sementara acara makan malam berlangsung, staf ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), Silviana membacakan pidato Menteri Yohana Yembise sebagai closing statement. “Pemerintah harus bekerja bersama-sama dengan masyarakat untuk mengakhiri pernikahan anak yang berdampak pada pemiskinan yang berantai”, tutur Silviana. Setelah seluruh rangkaian acara yang dimulai dari sambutan, diskusi hingga closing statement acara perayaan terus dilanjutkan dengan pentas seni yaitu: 1) penampilan Simponi (Sindikat Musik Penghuni Bumi) yang lagu-lagunya merupakan kritik sosial terhadap banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan, 2) pembacaan puisi oleh Olin Monteiro untuk para korban perkosaan dan kekerasan seksual, 3) pembacaan puisi oleh Ikhaputri yang didedikasikan untuk anak-anak perempuan Indonesia, 4) resital piano Marusya Nainggolan, 5) hiburan musik oleh Play Back Band. Perayaan ini berlangsung meriah dan peserta masih banyak yang bertahan hingga penghujung acara. Selamat Hari Perempuan Internasional! (Andi Misbahul Pratiwi) Mengutip data yang dikeluarkan Unicef Indonesia pada 2015, Kanya Eka Santi, Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial mengungkapkan bahwa satu dari enam perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Ini berarti terdapat 340.000 perempuan di bawah umur yang menikah tiap tahunnya dan sebanyak 50.000 dari jumlah tersebut menikah sebelum berumur 15 tahun. Mereka yang menikah pada usia muda ini hampir semuanya terpaksa berhenti dari sekolah. Data-data ini dikemukakan Kanya Eka Santi ketika menjadi pembicara dalam Diskusi Akhiri Pernikahan Anak yang digelar dalam rangka Perayaan Hari Perempuan Internasional oleh Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Kedutaan Kanada pada Selasa (8/3) di Kemang, Jakarta. Lebih lanjut Kanya mengungkapkan, ironisnya Undang-Undang Perkawinan No 1/1974 pasal 7 ayat 1 masih mengizinkan anak perempuan menikah pada usia 16 tahun (sementara usia minimum menikah untuk laki-laki adalah 19 tahun) bahkan pada ayat kedua memungkinkan lebih muda dari 16 tahun dengan hanya meminta persetujuan pejabat setempat. Sementara di sisi lain Undang-Undang Perlindungan Anak melarang perkawinan usia anak. Pasal 1 menyatakan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu menurut Kanya pernikahan anak harus dihentikan karena memiliki dampak buruk terhadap kesehatan anak perempuan. Hal ini mengingat kehamilan pada usia remaja berisiko tiga hingga tujuh kali lipat terhadap kematian ibu dibandingkan kehamilan pada rentang usia 20-35 tahun. Kanya menjelaskan data secara global menunjukkan komplikasi kehamilan adalah penyebab kematian terbesar kedua untuk remaja perempuan usia 15-19 tahun.selain itu bayi yang dilahirkan oleh ibu berusia remaja memiliki risiko 50% lebih tinggi untuk meninggal di saat lahir. Singkatnya, kehamilan pada usia remaja memiliki dampak negatif terhadap tumbuh kembang remaja tersebut dan janin yang dikandungnya. Kanya juga mengatakan bahwa perkawinan pada usia anak berkontribusi pada pelestarian rantai kemiskinan khususnya pada perempuan. Berdasarkan data World Bank, Perempuan yang menikah pada usia anak dan terputus pendidikannya akan semakin terpuruk baik pada aspek modal sosial (kecakapan hidup, pendidikan, kesehatan termasuk kesehatan reproduksi), kepemilikan aset, dan jejaring sosial. Karena itu menurut Kanya Kementerian Sosial membangun sistem kepedulian dan kesadaran yang berkelanjutan di seluruh lapisan masyakarat (caring community). Selain itu Kemensos juga menjalankan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) untuk penguatan keluarga, berupa (1) Program Good Parenting, penguatan kemampuan keluarga dalam mengasuh anak, memenuhi hak anak dan bertanggung jawab penuh terhadap masa depan anak serta (2) Temu Penguatan Anak dan Keluarga yang memberikan muatan tentang perkawinan anak , dampak dan upaya pencegahannya, pemberian asistesi keluarga secara psikososial , ekonomis dan spiritual. Kemensos juga berupaya untuk membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang pencegahan perkawinan anak. (Anita Dhewy) Zumrotin K. Susilo: Pernikahan Anak Rampas Hak Anak Perempuan atas Pendidikan dan Kesehatan10/3/2016
Dalam acara Diskusi Akhiri Pernikahan Anak yang diadakan oleh Jurnal Perempuan dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional (08/03/2016), Zumrotin K. Soesilo menyampaikan materi mengenai pengalamannya selaku aktivis sekaligus ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Zumrotin mengatakan bahwa dahulu aborsi dilarang dengan alasan apapun namun sekarang aborsi diizinkan dengan alasan kesehatan ibu dan anak. Namun berdasarkan pengalaman di lapangan YKP mendapati kenyataan bahwa banyak perempuan yang diperkosa kemudian mengalami trauma dan setelahnya hamil seringkali melihat kehadiran janin sebagai pengingat dari tragedi yang mereka alami. Para perempuan yang menjadi korban ini seringkali tidak siap secara psikologis untuk membesarkan anak. Oleh karena itu Zumrotin berpendapat bahwa izin melakukan aborsi seharusnya juga mempertimbangkan hal ini. Zumrotin menceritakan bahwa ia terbiasa memberikan pendidikan terkait ekspresi seksual bagi anak-anak di berbagai kabupaten. Menurut Zumrotin, ekspresi seksual yang ia ajarkan bukan berkaitan dengan aktivitas seksual melainkan mengenai bagaimana seorang manusia berinteraksi dan menunjukkan kasih sayang atau afeksi pada pasangannya dengan tepat. Ekspresi seksual yang tepat dapat memberikan dampak positif pada pribadi manusia. Seringkali pandangan atau penafsiran agama yang tidak tepat menjadi salah satu faktor pendorong pernikahan anak. Terdapat pandangan bahwa ketika perempuan sudah mengalami menstruasi, ia sudah pantas untuk dinikahkan. Pandangan keliru lainnya adalah pernikahan dini merupakan jalan untuk mengurangi angka perzinaan. Bagi Zumrotin, pandangan-pandangan ini keliru karena tidak ada korelasi antara usia pernikahan dengan perzinaan. Berapapun usia seseorang, kemungkinan bagi manusia untuk melakukan perzinaan sama besarnya. Zumrotin menyatakan bahwa pernikahan anak memberi dampak yang luar biasa buruk terutama pada perempuan. Pernikahan anak merampas hak anak perempuan atas pendidikan dan kesehatan. Jika kondisi ini dibiarkan terus berlangsung maka tentu saja tidak akan berdampak baik bagi pembangunan bangsa dan negara karena anak perempuan, sama halnya dengan anak laki-laki, memiliki potensi dan kemampuan yang sama besarnya sebagai generasi penerus bangsa. (Johanna Poerba) PERNYATAAN PERS EKSAMINASI PUBLIK ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 30-74/PUU-XII/2014 TENTANG BATAS USIA PERKAWINAN Hari ini tanggal 25 Februari 2016 LBH APIK Jakarta melalui jaringan perempuan dan jaringan pemerhati anak melakukan Eksaminasi Publik atas putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi No 30-74/PUU-XII/2014 di Hotel Acacia Kramat Raya.
Menurut Ratna Batara Munti, direktur LBH APIK Jakarta, Eksaminasi ini dilakukan karena putusan MK tersebut menarik perhatian publik, pro dan kontra dalam masyarakat, serta terdapat dissenting opinion, sehingga LBH APIK Jakarta sebagai bagian masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak anak perempuan memandang penting untuk menguji kualitas putusan. Dari sisi hak-hak anak perempuan, putusan tersebut diskriminatif, berpotensi menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap anak perempuan, dan menghambat akses hak-hak dasarnya. Salah satu dampak dari pernikahan anak adalah tertutupnya akses pendidikan, sedangkan anak mendapatkan haknya untuk belajar 12 tahun wajib belajar. Namun faktanya, anak yang dinikahkan terhenti keberlanjutan pendidikannya. Eksaminator dalam Eksaminasi Publik ini adalah Prof. Irwanto (Akademisi), Ibu Erna Sofwan (Mantan Hakim Pengadilan Negeri tahun 1964-2001), Ibu Nursyahbani Katjasungkana (Pengacara Publik, Aktivis HAM Perempuan). Acara ini dihadiri oleh pihak-pihak terkait yaitu Komnas HAM, Ombudsman RI, BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, KUA, Pengadilan Agama Se-DKI, Pengadilan Negeri se-DKI, Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, Pengadilan Tinggi Jakarta, Mahkamah Konstitusi, Kepolisian, Jaringan perempuan dan pemerhati anak. Eksaminator, Ibu Erna Sofwan Sjukrie, SH menyampaikan bahwa dengan ditolaknya Judicial Review tentang usia perkawinan oleh MK sangat bertolak belakang dengan pasal 26 1(c) UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Anak menurut pasal 1 UU Perlindungan anak adalah 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Eksaminator lainnya, yaitu Prof. DR. Irwanto, Ph.D sebagai Pakar Bidang Perlindungan Anak sangat menyesalkan, dan MK sebaiknya sebagai kelengkapan negara berbasis rencana pembangunan nasional yang dilandasi oleh Konstitusi dan bukan oleh kitab suci. Sedangkan Eksaminator, Ibu Nursyahbani Katjasungkana, SH sebagai aktifis HAM/Ahli Hukum dengan tegas, menyatakan para hakim konstitusi itu juga lupa bahwa hukum kolonial (Pasal 288 KUHP) ada ketentuan bahwa menikahi perempuan dibawah umur adalah kejahatan. Belanda sejak 100 tahun lalu sudah mampu melakukan intervensi berdasarkan fakta sosial tetapi mengapa kita tidak bisa? Praktik pernikahan anak sudah mencapai situasi darurat karenanya pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis untuk mengatasinya, diantaranya dengan mengeluarkan Perpu dan Perda pencegahan pernikahan anak serta menghapus dispensasi perkawinan. Selain itu dibutuhkan juga kerjasama dan komitmen dari para pihak terkait untuk mencegah dan mengurangi pernikahan anak serta membangun kesadaran masyarakat atas dampak buruk pernikahan anak. Demikian kesimpulan Seminar Nasional “Praktik Perkawinan Anak: Mematikan Harapan dan Cita-cita Generasi Muda di Indonesia” yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (18/2). Acara yang diselenggarakan oleh Kalyanamitra, Jurnal Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia dan YLBH APIK ini dihadiri oleh sejumlah kalangan seperti pelajar, akademisi, LSM dari sejumlah daerah serta media. Acara dibuka dengan sambutan oleh Konselor Politik dan Hubungan Masyarakat, Kedutaan Besar Kanada di Indonesia, Helene Viau dan Ketua Kalyanamitra, Listyowati. Helene mengungkapkan bahwa pernikahan anak merupakan pelanggaran hak asasi anak dan mengancam pendidikan serta membahayakan kesehatan anak perempuan. Kedutaan Kanada menanggapi isu ini dengan menggunakan sudut pandang hak asasi manusia dan pembangunan. Helene mengatakan Kanada mendukung upaya pencegahan pernikahan anak di tingkat nasional dan akar rumput dengan bekerja sama dengan LSM yang fokus di isu tersebut. Sementara Listyowati mengungkapkan bahwa pernikahan anak bukanlah isu baru, upaya advokasi sudah dilakukan sejak lama namun hingga kini pernikahan anak masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Usai sambutan acara dilanjutkan dengan keynote speech oleh Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Lenny Nurhayanti Rosalin. Dalam paparannya Lenny mengungkapkan bahwa KPPPA telah melakukan sejumlah upaya untuk menghentikan pernikahan anak salah satunya diintegrasikan lewat program Kabupaten dan Kota Layak Anak. Lenny menjelaskan terdapat 31 indikator—yang dijabarkan dari konvensi hak anak—yang harus dipenuhi untuk menjadi kota layak anak. Salah satu indikatornya adalah angka usia perkawinan pertama di bawah 18 tahun. Indikator lain adalah adanya Forum Anak, baik di tingkat kabupaten/kota, kecamatan maupun desa/kelurahan. Lewat Forum Anak, seorang anak diharapkan dapat menjadi pelopor, untuk memengaruhi peer group-nya, sekaligus pelapor atas praktik pernikahan anak yang terjadi di lingkungannya. Seminar ini menghadirkan empat pembicara yang membahas pernikahan anak dari aspek yang berbeda, yakni Iklilah Muzayyanah (Pusat Riset Gender PPS UI), Maria Ulfah Anshor (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Bhakti Pertiwi (Perwakilan Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta) dan Dian Kartikasari (Koalisi Perempuan Indonesia). Dalam paparannya Iklilah mengungkapkan bahwa praktik perkawinan anak dipandang sebagai alternatif jalan keluar atas kekhawatiran terjadinya zina, atas mitos dan stigma, atas peralihan tanggung jawab amanah dan atas keamanan terutama dalam situasi konflik. Pandangan bahwa anak merupakan beban ekonomi ikut mendorong praktik pernikahan anak karena perkawinan juga berarti mengurangi biaya hidup, biaya kesehatan, biaya pendidikan, dll. Di sisi lain, pandangan bahwa anak merupakan aset ekonomi juga berkontribusi atas terjadinya pernikahan anak yang bentuknya dapat berupa kawin kontrak, kawin utang, kawin trafficking, kawin cina buta, dsb. Selain itu pandangan yang memosisikan anak sebagai penjaga nama baik juga mengakibatkan anak harus kawin ketika ia menjadi korban pemerkosaan, korban pelecehan seksual, korban inses, dicurigai telah berzina, hamil tidak diinginkan, dsb. Sementara itu Maria ulfah mengungkapkan bahwa UU Perlindungan Anak (PA) secara tegas menyebutkan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun. Dalam pasal 26 juga disebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Lebih lanjut Maria mengutarakan bahwa teori hukum menyatakan undang-undang yang diterbitkan paling baru adalah yang wajib diterapkan dan menjadi acuan menggantikan undang-undang yang lama. Jika teori tersebut dilaksanakan, maka putusan MK mengenai penolakan judicial review UU Perkawinan tidak perlu dipermasalahkan karena UU Perkawinan sudah batal demi hukum, bisa ditinggalkan dan digantikan dengan UU Perlindungan Anak. Maria menambahkan dari aspek struktur hukum, aparat penegak hukum tidak menganggap perkawinan anak sebagai pelanggaran hukum. Ini dapat dilihat dari tidak adanya tindakan yang diambil penegak hukum terhadap orang tua yang menikahkan anaknya misalnya. Di sisi lain kesadaran masyarakat tentang hukum dan praktik perkawinan belum mengacu pada UU PA. Selain itu praktik perkawinan anak dianggap sebagai budaya yang dibenarkan oleh agama. Meskipun demikian terdapat beberapa daerah yang telah mengupayakan sejumlah langkah pencegahan praktik perkawinan anak, salah satunya Kabupaten Gunung Kidul. Bhakti Pertiwi mengutarakan bahwa Pemkab Gunung Kidul telah mengeluarkan Perbup Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak. Adapun program yang dijalankan di tingkat kecamatan antara lain berupa penandatanganan kesepakatan bersama untuk pencegahan perceraian, pernikahan usia dini dan penurunan angka kematian ibu dan bayi. Ada juga pemberian penghargaan bagi desa-desa yang angka pernikahan anaknya nol, yakni Gedangsari Award. Selain itu semua kecamatan melaksanakan pendidikan pranikah bagi remaja dan pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswa-siswi. Menurut Bhakti langkah-langkah tersebut telah berhasil menurunkan pernikahan usia anak dan perkara dispensasi kawin baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Sementara itu di tingkat nasional, keberadaan Perpu Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mengatasi lambannya perubahan hukum. Dian Kartikasari mengungkapkan Perpu dibutuhkan karena terdapat situasi darurat. Mengacu pada data BPS (Badan Pusat Statistik) tercatat sepanjang tahun 2014 terdapat 911.644 perkawinan anak. Sementara perkawinan di usia anak sesungguhnya merupakan fenomena gunung es, sehingga jumlah perkawinan di usia anak yang tidak tercatat jauh lebih banyak daripada jumlah perkawinan di usia anak yang tercatat. Situasi kegentingan juga ditunjukkan oleh dampak negatif perkawinan anak terhadap kesehatan anak, tumbuh kembang anak dan terhadap keluarga akibat lingkaran kemiskinan yang dihasilkan. Lebih jauh Dian menjelaskan draf Perpu yang pembahasannya difasilitasi oleh KPPPA ini secara tegas menyebutkan tiga poin penting yakni batasan usia perkawinan minimal adalah 18 tahun, menghapus dispensasi nikah dan mewajibkan kementerian dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk melakukan pencegahan pernikahan anak. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |