![]() Sabtu, 10 Desember 2016 lalu, Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) didukung oleh UN Women dan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), mengadakan Festival Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Let’s End Sexual Violence! di The Warehouse, Plaza Indonesia sebagai penutup peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Isu kekerasan seksual terhadap perempuan hingga saat ini masih menjadi salah satu masalah utama di Indonesia. Apalagi jika melihat berbagai kasus yang naik ke muka publik dan tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Acara ini sendiri terbagi menjadi empat sesi diskusi dengan tema yang berbeda-beda. Satu sesi diskusi yang cukup menarik perhatian adalah sesi diskusi mengenai isu perkawinan anak dalam upaya penghapusan kekerasan seksual. Diskusi ini menghadirkan Fadilla Dwianti Putri (Dila) dari UNICEF dan Kemas Achmad Mujoko (Jojo) dari Aliansi Remaja Independen (ARI) sebagai pembicara. Pembahasan mengenai perkawinan anak pada diskusi ini dimulai dengan pemutaran film dokumenter hasil produksi dan penelitian yang dilakukan oleh ARI. Film pendek tersebut membahas delapan kisah perkawinan anak di tiga kota di Pulau Jawa (DKI Jakarta, DIY Yogyakarta dan Jawa Timur). Film dokumenter ini menceritakan delapan perempuan yang melakukan pernikahan anak dalam bentuk wawancara dengan pelaku pernikahan anak. Film ini sendiri ingin melihat perspektif anak perempuan sebagai korban dalam pernikahan yang mereka jalani. Jojo menjelaskan bahwa latar belakang dibuatnya film dokumenter tersebut adalah karena ingin melihat bagaimana realitas perkawinan anak di lapangan. Film ini juga sebuah upaya yang dilakukan ARI dan Koalisi 18+ kala itu untuk mengajukan usulan kenaikan usia perkawinan menjadi minimal 18 tahun untuk anak perempuan (dalam undang-undang dikatakan usia minimal perkawinan adalah 16 tahun) kepada pemerintah. Meskipun pada akhirnya pemerintah tidak mengabulkan kenaikan usia perkawinan menjadi 18 tahun, film dokumenter ini berhasil menunjukkan realitas perkawinan anak yang sangat merugikan banyak pihak, terutama sang anak yang menjadi korban di dalam pernikahan itu sendiri. Kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan adalah tiga isu penting yang seringkali tidak diacuhkan oleh pemerintah ketika negara melegalkan pernikahan anak. Masalah kesehatan reproduksi adalah permasalahan utama yang menjadi perhatian ketika pernikahan anak terjadi. Banyak pelaku pernikahan anak yang tidak mengetahui informasi mengenai kesehatan reproduksi, termasuk akses terhadap hak-hak kesehatan reproduksi yang diberikan oleh pemerintah (seperti penyediaan alat kontrasepsi dan program KB). Pada isu pendidikan misalnya, banyak pelaku pernikahan anak yang putus sekolah setelah melakukan pernikahan, sehingga tidak melanjutkan pendidikannya. Pada kasus pernikahan anak yang disebabkan oleh Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), seringkali sekolah mengeluarkan siswa/siswinya karena kedapatan mengalami KTD atau pada kasus lain sang siswa/siswi merasa malu untuk melanjutkan pendidikannya karena mengalami KTD dan memilih untuk berhenti bersekolah. Untuk isu ketenagakerjaan, Jojo menceritakan bahwa ada pelaku pernikahan anak yang justru menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) setelah melakukan pernikahan. Jojo melihat ada kecenderungan bahwa seseorang yang terlibat dalam pernikahan anak adalah seorang korban, bukan pelaku. Hal ini dikarenakan adanya faktor kemiskinan dan terbatasnya akses terhadap pendidikan seks untuk anak. Ketika faktor kemiskinan atau kurangnya akses terhadap pendidikan seks mengakibatkan terjadinya KTD, seringkali pernikahan anak dijadikan solusi terhadap permasalahan tersebut. Namun Jojo tidak sependapat dengan solusi tersebut dan melihat bahwa pernikahan anak harus dihapuskan dan dicari solusi atas permasalahan yang timbul karena pernikahan anak. Hal ini menyiratkan bahwa pernikahan anak jauh lebih merugikan anak perempuan. Sejauh ini, ARI sudah melakukan beberapa upaya untuk penghapusan pernikahan anak di Indonesia. Diantaranya dengan melakukan integrasi pengawasan dari ARI, tokoh agama dan tokoh masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia yang mempunyai angka pernikahan yang tinggi seperti Nusa Tenggara Barat, Lombok Barat dan Sukabumi. Sementara itu Dila menyoroti adanya kontradiksi aturan hukum yang terjadi di Indonesia mengenai pernikahan anak. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebetulnya sudah bisa dijadikan alasan untuk menolak pernikahan anak karena dengan jelas menyebutkan bahwa usia 16 tahun masih dikategorikan sebagai anak. Namun, UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, mengizinkan pernikahan anak terjadi karena usia minimum untuk melakukan pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Hukum yang kontradiktif ini diperparah dengan tidak adanya batasan usia minimum untuk orang tua yang ingin menikahkan anaknya yang berumurdi bawah 16 atau 19 tahun. Orang tua bisa mengajukan izin pernikahan kepada pengadilan apabila mereka ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur, sekalipun anak mereka berumur 11 atau 12 tahun mereka tetap bisa melakukan pernikahan yang legal karena pengadilan dapat mengabulkan pernikahan tersebut. Dila juga menyebutkan berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan Koalisi 18+ di tiga kabupaten di Indonesia, pada tahun 2013-2015, terdapat 377 putusan pengadilan mengenai dispensasi pernikahan di bawah umur dan 97% putusannya mengabulkan pernikahan tersebut. Secara umum pernikahan anak juga menyebabkan anak perempuan lebih rentan mendapatkan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), serta 1,5 kali lebih rentan meninggal pada usia di bawah 28 tahun karena komplikasi pada saat melahirkan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2008-2015 menunjukkan bahwa prevalensi pernikahan anak di Indonesia berjumlah 25% yang berarti 1 dari 4 perempuan di Indonesia menikah di bawah umur 18 tahun. Data statistik BPS juga menyebutkan bahwa wilayah yang memiliki angka pernikahan tertinggi adalah Sulawesi Barat, diikuti Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Dila menanggapi hasil penelitian yang dilakukan ARI mengenai pernikahan anak di kota Yogyakarta dan Jakarta yang sesungguhnya merupakan wilayah yang cukup rendah angka pernikahannya. Tetapi Dila menambahkan bahwa rendah bukan berarti tidak terjadi pernikahan anak di wilayah tersebut. Menurut Dila, ada dua pola kunci pernikahan anak di Indonesia yaitu menikah terlebih dahulu baru kemudian hamil dan hamil terlebih dahulu kemudian baru menikah. Namun, seringkali anak perempuan jarang dilibatkan sebagai penentu keputusan terhadap keputusan pernikahan tersebut termasuk memilih calon suami untuk dinikahinya. Dila menambahkan pernikahan pada anak perempuan seringkali terjadi karena sang anak tidak memiliki banyak pilihan untuk hidupnya. Semisal, lokasi sekolah jaraknya jauh dari rumah sehingga memakan banyak waktu, tenaga dan biaya hanya untuk bersekolah, karena itu orang tua memutuskan untuk menikahkan anaknya dibandingkan membiarkan mereka melanjutkan studinya hingga selesai. Sekalipun sang anak menolak untuk menikah, ia tidak memiliki pilihan lain. Hal lain yang menyebabkan anak perempuan lebih memilih menikah pada usia muda adalah karena kurangnya panutan di sekelilingnya yang bisa dijadikan contoh. Hal ini banyak terjadi di daerah semi-urban/rural yang hampir seluruh perempuan di wilayah tersebut menikah pada usia muda, sehingga sang anak merasa bahwa ia pun akan menikah pada usia muda pula. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menghapuskan pernikahan anak di Indonesia khususnya untuk menghindarkan anak perempuan terjebak dalam pernikahan anak. Pertama dengan advokasi hukum untuk menaikkan usia pernikahan menjadi minimal 18 tahun. Kedua, melibatkan anak perempuan terhadap setiap keputusan yang menyangkut dirinya, termasuk untuk masa depan dan pernikahannya. Ketiga, melibatkan komunitas untuk mengubah norma sosial tentang pernikahan anak, dan terakhir, memberdayakan anak perempuan yang telah terlanjur menjalani pernikahan untuk tetap memberikan akses pendidikan, menjadi mentor dan selalu memberikan dukungan kepadanya. Selain diskusi mengenai pernikahan anak, terkait upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan MaPPI FHUI dalam siaran persnya mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan dan penanganan yang tepat bagi korban dan pelaku kekerasan seksual, menjatuhkan pidana yang sesuai dengan harapan masyarakat, dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dengan beberapa catatan yaitu dengan memerhatikan perumusan non competent consent, unsur-unsur pemaksaan hubungan seksual, besaran ancaman pidana dan restitusi sebagaimana terdapat dalam buku yang diluncurkan MaPPI FHUI yaitu mengenai Reformasi pengaturan Tindak Pidana Perkosaan. (Naufaludin Ismail) ![]() Kamis, 8 Desember 2016, kuliah Kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan membincang mengenai “Perempuan dalam Mata Rantai Peredaran Narkotika: Perspektif Hukum Feminis”. Profesor Sulistyowati Irianto, guru besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia membuka kelas tersebut dengan mengungkapkan kegelisahannya mengenai situasi negara Indonesia. Ada permasalahan pada hukum kita. Berdasarkan penelitian yang pernah ia lakukan, Sulis menyatakan mayoritas kasus yang menjerat para penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) baik itu lapas laki-laki, perempuan dan anak adalah kasus narkotika, psikotropika dan obat terlarang (narkoba). Tahun ini, lapas di Semarang, 80% warga binaannya terjerat kasus narkoba, baik sebagai pemakai maupun pengedar. Hal ini menyebabkan lapas menjadi over-capacity. Ironisnya, salah seorang petinggi negara menyatakan bahwa solusi dari over-capacity adalah dengan memberikan remisi pada terpidana tindak pidana korupsi, padahal 80% penghuni lapas merupakan terpidana kasus narkoba. Jika melihat persentase tersebut bukankah yang seharusnya menjadi perhatian negara adalah kasus narkoba? Sulis menekankan pentingnya mempertanyakan bagaimana hukum memosisikan subjek yang rentan, khususnya perempuan di dalam kasus-kasus peredaran narkoba. Ada kebutuhan untuk membongkar bagaimana subjek dirugikan secara sistemik. Pada kasus Merry Utami dan Rani Andriani, dua orang terpidana yang divonis hukuman mati, terdapat pola yang sama yang membuat mereka terjebak dalam perdagangan narkoba . Karena itu dibutuhkan pendekatan hukum yang berperspektif perempuan untuk menjelaskan kompleksitas kasus hukum seperti pada kasus Merry Utami dan Rani Andriani. Pendekatan hukum berperspektif perempuan dikenal sebagai feminist jurisprudence atau feminist legal theory. Poin penting dari pendekatan ini adalah kritik terhadap sejarah dan menjadikan pengalaman perempuan sebagai stand-point. Sulis memaparkan bahwa hukum dibuat berdasarkan kacamata laki-laki, termasuk sejarah juga dibuat oleh laki-laki, karenanya tidak merekam kiprah perempuan dalam kontribusinya terhadap kehidupan bangsa. Sejarah terlalu sibuk dengan narasi-narasi besar, sehingga melupakan narasi-narasi keseharian, dalam hal ini adalah narasi perempuan. Pengabaian terhadap narasi perempuan juga terefleksi dalam berbagai perumusan hukum, yang berimpilkasi pada tidak terjaminnya keadilan bagi perempuan. Menurut Sulis pengalaman perempuan adalah hal yang penting disertakan untuk mengkritisi hukum. “Sejarah Indonesia misalnya, kita tidak diberi tahu mengenai sejarah perjuangan perempuan sebelum kemerdekaan yang sangat luar biasa. UUD 1945 pasal 27 tentang persamaan di muka hukum, bukanlah hal yang terberi melainkan lahir dari perjuangan gerakan perempuan. Hak pilih perempuan pada pemilu pertama di Indonesia juga merupakan hasil dari perjuangan gerakan perempuan Indonesia. Perempuan selalu ada dalam babak sejarah manapun, bahkan hingga saat ini. Gerakan perempuan selalu terintegrasi dalam gerakan masyarakat sipil”, ungkap Sulis. Ia melihat bahwa telah terjadi pendiaman terhadap sejarah perempuan. Lebih lanjut Sulis mengungkapkan metode hukum berperspektif feminis berangkat dari kisah-kisah perempuan. Feminist legal theory hadir sebagai respons atas temuan banyaknya instrumen hukum yang merugikan perempuan, secara khusus mendiskriminasi perempuan. Feminist legal theory juga menyadari bahwa sulit bagi perempuan untuk mendapatkan keadilan di dalam hukum. Sulis mengilustrasikan seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual harus menunjukkan bukti. Hal ini tentu tidak mudah bagi perempuan. Perjuangan untuk melakukan pembuktian kadang kala membutuhkan proses hukum yang begitu lama, tetapi hukuman yang diberikan pada pelaku hanya beberapa bulan. Tentu ini tidak memberikan keadilan bagi korban. Feminist legal theory dapat digunakan untuk menguji pasal-pasal yang dikenakan untuk menghukum perempuan. Ada dua tataran yang dikritisi oleh feminist legal theory yaitu tataran teks dan praktik. Pertanyaan dalam feminist legal theory yang digunakan sebagai tolok ukur untuk melihat bagaimana hukum secara desain merugikan perempuan meliputi (1) Bagaimana identitas dan imajinasi tentang perempuan, termasuk seksualitas, kapasitas, peranan dan nilai-nilai tentang perempuan diproyeksikan oleh hukum? (2) Apakah hukum merefleksikan realitas pengalaman perempuan? Perempuan yang mana? (3) Isu apa yang diatur oleh hukum? (4) Apakah hukum melindungi dan memberi keuntungan pada perempuan? (5) Apakah aspirasi dan perspektif perempuan diperhitungkan oleh hukum? Hukum harusnya memberikan keadilan bagi perempuan, namun dalam beberapa kasus instrumen hukum malah merugikan perempuan. Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pornografi misalnya. Sulis mengatakan Undang-Undang Perkawinan adalah undang-undang yang paling dekat dengan perempuan namun ia juga merupakan undang-undang yang menjerat perempuan. Ada standar ganda di dalamnya. Begitu pula halnya dengan Undang-Undang Pornografi. Undang-Undang ini perlu ada demi menjaga anak-anak agar tidak terpapar konten pornografi, tetapi menjadi persoalan ketika pengalaman perempuan tidak terakomodir di dalam perumusan undang-undang tersebut. Maka yang terjadi adalah objektifikasi tubuh perempuan. Menurut Sulis kritik hukum feminis tidak berhenti pada kritik terhadp teks hukum tapi lebih jauh lagi melakukan kritik terhadap praktik hukum. Salah satu yang perlu dikritisi dan direkonstruksi adalah putusan hakim. Hal ini mengingat di Indonesia masih banyak hakim yang menempatkan dirinya sebagai corong undang-undang. Padahal terdapat kebutuhan untuk menjadikan putusan hakim sebagai sumber hukum yang penting. Sulis menjelaskan bahwa perkembangan hukum sangatlah lambat, sedangkan perkembangan masyarakat sangat cepat, sehingga penting bagi para hakim untuk membuat terobosan melalui putusannya. Berdasarkan penelitian kualitatif yang Sulis lakukan pada beberapa perempuan terpidana mati dalam kasus peredaran narkoba, terdapat relasi terselubung antara kurir narkoba (perempuan) dengan isu perdagangan orang. Menurutnya ada pola berulang dalam kasus kurir narkoba yang ditelitinya. Dalam pola tersebut selalu ada rekrutmen terhadap perempuan. Rekrutmen tidak dilakukan dengan opsi melainkan dengan pengelabuan. Biasanya, mereka (perempuan) dijanjikan pekerjaan, yaitu sebagai penjaga toko atau salon tapi nyatanya para perempuan ini dijebak dalam perdagangan narkoba. Ada pula model pengelabuan dengan menjadikan perempuan sebagai pacar ataupun istri. Setelah proses perekrutan terjadi, kemudian dilakukan proses migrasi, proses ini digunakan oleh sindikat untuk mengisolasi perempuan dari budayanya. Di tempat yang baru perempuan tidak dapat memahami bahasa asing, tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat setempat, sehingga ia tidak dapat meminta pertolongan. Perempuan dalam bisnis narkoba mengalami berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Kasus perempuan yang terjerat dalam perdagangan narkoba cross-cut dengan persoalan perdagangan perempuan. Sulis menyatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan terjebak dalam perdagangan manusia yang menjadikan mereka sebagai kurir narkoba. Pertama, motivasi untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Kedua, ketiadaan keberanian pada diri perempuan untuk menuntut penjelasan dari orang lain, sehingga ia mudah terjebak. Ketiga, keinginan memenuhi perannya sebagai pengasuh utama mendorongnya untuk mencari uang banyak dengan cara mudah. Keempat, kecenderungan perempuan untuk mudah percaya pada orang lain baik itu teman maupun pasangan. Pengabaian pada faktor-faktor tersebut tentu membuat hukum menjadi timpang. Perempuan dirugikan, hal ini diperparah dengan absennya sensitivitas gender pada para aparat penegak hukum dan berbagai ketidaktepatan dalam proses peradilan. Jika faktor-faktor tersebut dipertimbangkan, kasus Merry Utami tentunya tidak akan berujung pada putusan hukuman mati. Ketika faktor kerentanan perempuan diabaikan, maka hukum akan gagal memberikan keadilan bagi perempuan, Merry Utami contohnya. Ia adalah korban dari sistem yang tidak mengakomodir pengalaman perempuan sebagai pertimbangan yang berujung pada hukuman mati. (Abby Gina) ![]() Sabtu, 3 Desember 2016, Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Pusat Studi Wanita Universitas Sumatra Utara (USU) menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 91 Status Perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering & Matematika). Pendidikan publik yang diselenggarakan di Gedung Pusat Penelitian USU menghadirkan Ir. Seri Maulina, M.Si., Ph.D. (Dekan Fakultas Teknik USU), Ambarwati, ST (Guru SMKN 1 Jepara), Andi Misbahul Pratiwi, ST (Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai pembicara dan dimoderatori oleh Anita Dhewy (Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan). Acara ini dihadiri oleh sekitar 60 orang peserta yang terdiri atas dosen, mahasiswa, siswa SMK, aktivis perempuan di Sumatra Utara. Dalam sambutannya Dr. Nurbani selaku Ketua Pusat Studi Wanita (PSW) USU menyampaikan bahwa rendahnya persentase penguasaan perempuan terhadap sains dan teknologi memperlihatkan betapa tajamnya ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki khususnya dalam hal akses dan penguasaan teknologi dan sains. Beberapa hasil penelitian dan statistik juga menunjukkan bahwa laki-laki memegang kendali dalam sains dan teknologi. Di sisi lain budaya dan lingkungan membiasakan anak perempuan sejak kecil telah jauh dari akses dan penguasaan terhadap sains dan teknologi. Akibatnya remaja perempuan maupun perempuan dewasa belajar bahwa teknologi dan sains adalah area milik laki-laki. Ditambah pula adanya stereotip yang menganggap bahwa perempuan tidak mampu memahami sains dan teknologi. Hal tersebut tentu sangat merugikan perempuan salah satunya dalam hal kesempatan lapangan pekerjaan yang pada saat ini semakin menuntut penguasaan sains dan teknologi. Karena itu menurut Nurbani sangat mendesak untuk memberikan pencerahan kepada publik akan pentingnya penguasaan terhadap sains dan teknologi bagi perempuan. Mengingat kemampuan untuk menguasai sains dan teknologi berpotensi menjadi instrumen yang akan mendorong terwujudnya kesetaraan gender. Setelah itu acara disambung dengan sambutan dari Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum yang dibacakan oleh Anita Dhewy. Dalam sambutannya Dewi Candraningrum menyebutkan bahwa setidaknya 90% pekerjaan sekarang membutuhkan keterampilan ICT (Information Communication and Technology). The Commission on the Status of Women (2011, 2014) dan 20 tahun perjalanan Beijing Platform for Action (2015) merekomendasikan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengadvokasi rendahnya perempuan dan remaja perempuan dalam ICT dan STI. Maka dari itu dibutuhkan investasi dan jalan akses untuk diberikan pada anak-anak dan remaja perempuan untuk menutup jurang penguasaannya. Dalam sektor formal, hanya 10% perempuan berada dalam sektor STI. Ini amat kecil sekali dan merugikan perempuan secara global. Salah satu cara untuk mereduksi gap tersebut adalah mengadvokasi sekolah-sekolah kejuruan untuk membuka peluang lebih banyak pada anak dan remaja perempuan. Data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menarasikan bahwa di Indonesia setidaknya ada 6.800 SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).STEM di Indonesia, selain diperkenalkan di sekolah tingkat dasar, menengah dan universitas; secara khusus ada di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Dalam film dokumenter GIZ berjudul Indonesian Women in Science and Technology perihal sosialisasi SMK bagi anak perempuan menarasikan bahwa siswi di SMK yang berbasis STEM (Teknik Pendingin & Tata Udara; Pemesinan; Teknik Kendara Ringan) hanya 2% dibandingkan siswa laki-laki yang hampir 98% untuk kelas X, XI, XII dan XIII, menurut data PDSP Kemdikbud tahun 2015. Defisit anak perempuan dalam SMK dengan basis STEM menegaskan kembali disparitas gender secara nasional. Promosi dan langkah afirmatif untuk memperkenalkan ini pada anak dan remaja perempuan amat penting untuk menutup disparitas ini. Dewi menjelaskan bahwa Pendidikan Publik JP91 kali ini akan membedah pelbagai matra atas gap perempuan dalam ICT, STI, dan STEM. Ia juga mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan keterlibatannya yang luar biasa kepada seluruh pihak yang telah hadir dan mendukung acara ini. Usai pembacaan sambutan dari Pemred Jurnal Perempuan, acara dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter produksi GIZ. Film dokumenter tersebut mendokumentasikan aktivitas siswa perempuan yang menempuh pendidikan di bidang STEMsebagai role-model serta memuat testimoni dari guru pengajar sebagai motivasi bagi perempuan untuk masuk dalam bidang STEM. Dalam film dokumenter tersebut terlihat bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan STEM sangat minim di SMK. Di bidang teknik kendarangan ringan dan teknik pendingin udara perempuan sangat sedikit. Dokumentasi tersebut sangat penting disosialisasikan untuk menarik minat perempuan di bidang STEM. Setelah pemutaran film dokumenter acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Anita Dhewy sebagai moderator. Anita memperkenalkan profil para pembicara kemudian mempersilakan Seri Maulina memberikan paparan yang pertama. Seri Maulina menyebutkan bahwa ada perempuan hebat Indonesia yang telah menorehkan prestasi di bidang STEM dengan menduduki jabatan penting di perusahaan ternama, yaitu Betti Alisjahbana adalah perempuan pertama yang menjadi pimpinan perusahaan IBM di kawasan Asia Pasifik, Karen Agustiawan perempuan pertama yang pernah memimpin PT Pertamina, dan Audist Subekti yang kini memimpin departemen teknis perusahaan 3M Indonesia dan juga Leader Technical Champion untuk Indonesian Chapter Woman Leader Forum. Beliau memiliki keahlian di bidang keselamatan untuk industri perminyakan dan gas.Prestasi yang tersebut menurut Dekan Fakultas Teknik USU ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk berkontribusi besar dalam pengembangan sains dan teknologi. Kemampuan mereka tidak perlu diragukan lagi karena telah mendapat pengakuan bahkan untuk tingkat internasional. Meskipun demikian Seri Maulina mengakui bahwa perempuan masih minim yang menempuh pendidikan di bidang STEM. Ia menyebutkan secara keseluruhan Fakultas Teknik USU memiliki jumlah mashasiswa dengan komposisi 28,93% perempuan dan 71,07% laki-laki dalam kurun waktu 10 tahun (2007-2016).Namun jika dilihat untuk masing-masing program studi (Prodi) yang diikuti, terdapat tiga program studi dimana jumlah perempuan jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu di Prodi Teknik Sipil, Teknik Mesin, dan Teknik Elektro. Persentase jumlah mahasiswi di Teknik Mesin adalah yang terendah yaitu rata-rata hanya 1,98% dengan persentase maksimal 6,67% pada tahun 2013. Namun untuk prodi lain seperti Teknik Industri dan Teknik Kimia, perbedaannya tidaklah begitu signifikan dengan persentase jumlah mahasiswi pada kedua prodi adalah 40,96% dan 44,03%. Sedangkan di prodi Arsitektur dan Teknik Lingkungan, persentase jumlah mahasiswinya adalah sedikit lebih tinggi dibanding jumlah mahasiswa yakni masing-masing 53,14% dan 56,44%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat bidang-bidang tertentu di bagian ilmu teknik yang lebih diminati ataupun terasa lebih soft untuk perempuan. Menurutnya perempuan memiliki potensi besar untuk menguasai bidang STEM. “Dukungan penuh dari keluarga sangat berperan besar untuk mendukung kiprah perempuan dalam pengembangan STEM”, ungkapnya. Setelah paparan dari Seri Maulina, diskusi dilanjutkan dengan paparan dari Ambarwati, Guru SMKN 1 Jepara di Jurusan Nautika Kapal. Ambar mengungkapkan bahwa di SMKN 1 Jepara sangat sedikit perempuan yang menempuh pendidikan STEM. Di Jurusan Nautika Kapal sama sekali tidak ada siswa perempuan, baru pada tahun 2016 ini ia mendapat informasi bahwa ada perempuan yang mau mendaftar di Jurusan tersebut. Hal yang sama juga terjadi di jurusan Teknik Kendaran Ringan, 0% perempuan. Menurutnya banyak faktor yang menyebabkan perempun memiliki jarak dengan bidang STEM. Ia menjelaskan bahwa pembedaan pengasuhan antara anak laki-laki dan anak perempuan sejak kecil menjadi salah satu faktornya. Anak perempuan sejak kecil telah dibiasakan diberikan mainan boneka dan anak laki-laki diberikan mainan robot. “Sejak kecil kita sudah memberikan pembedaan terhadap anak laki-laki dan perempuan, sejak kecil mereka dididik untuk mengenal bahwa teknik adalah dunia anak laki-laki, itu juga yang terjadi pada kita semua hari ini”, ungkap Ambar. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa keputusan anak dalam memilih jurusan di SMK sangat dipengaruhi besar oleh dukungan orang tua kemudian guru dan teman-teman. Ini menunjukkan bahwa untuk mendorong perempuan dalam pendidikan STEM semua harus terlibat bukan hanya guru namun orang tua juga penting. Kemudian paparan dari pembicara ketiga, Andi Misbahul Pratiwi yang menulis tentang perempuan programmer dalam karier dan pendidikan dengan pendekatan teknofeminisme dalam JP 91 Status Perempuan dalam STEM. Andi memulai paparannya dengan menjelaskan bahwa ada diskursus tentang teknologi pada gerakan perempuan. Feminis Liberal berpendapat bahwa rendahnya partisipasi perempuan dalam sains dan teknologi bisa diselesaikan dengan memberikan akses pendidikan yang sama bagi perempuan. Namun menurut Andi Feminis Liberal tidak merumuskan secara lebih luas apakah atau bagaimana teknologi dan institusi teknologi dapat direkonstruksi untuk mengakomodir perempuan. Kemudian menurut Andi terdapat juga pandangan yang berbeda mengenai teknologi dari Feminis Sosialis yang berfokus pada persoalan teknologi dan mesin produksi. Feminis sosialis beranggapan bahwa teknologi produksi membawa dampak negatif untuk pekerja perempuan dan ini menjadi awal mula bagaimana perempuan anti terhadap teknologi. Teknologi industri didesain untuk laki-laki dan didefinisikan maskulin. Dengan demikian memang ada jarak yang dibangun sejak lama antara perempuan dan teknologi. Andi menjelaskan mengenai kondep teknofeminisme yang juga ada di dalam tulisannya, teknofeminisme beranggapan bahwa teknologi adalah sesuatu yang netral gender sehingga penting bagi perempuan juga menguasai teknologi. “Minimnya partisipasi perempuan dalam teknologi akan berdampak bagi ekonomi perempuan, karena hampir 90% pekerjaan memerlukan skill teknologi”, ungkap Andi. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa hanya ada 48 perempuan pemenang Nobel sejak 1901, ini sangat sedikit sekali menurutnya. Andi menjelaskan bahwa untuk menarik perempuan ke dalam pendidikan khususnya pendidikan teknologi diperlukan dorongan dari guru dan keluarga serta partisipas laki-laki sehingga kesetaraan gender bisa terwujud. Menurutnya anak perempuan yang masuk dalam jurusan STEM di SMK seringkali mendapatkan stigma perempuan tomboy dan stereotip negatif, hal inilah yang menurut Andi perlu dibongkar. “Membongkar mitos tentang teknologi perlu dilakukan sehingga perempuan juga dapat mengakses pendidikan teknologi tanpa diberikan stereotip”, tutur Andi. Pendidikan Publik JP 91 ini sangat menarik sekali karena banyak siswi SMK di Medan yang hadir. Para peserta juga aktif mengajukan pertanyaan. Anita Dhewy selaku moderator memberikan 3 sesi pertanyaan karena peserta sangat antusias tentang isu perempuan dan STEM khususnya dalam konteks Sumatra Utara. Setelah itu Anita Dhewy memberikan kesempatan Dani Sofina Sibuea, perempuan satu-satunya di level manajerial PT Bintang Cosmos Indonesia, agen pemegang merek (APM) Mercedes Benz, untuk menanggapi beberapa respons dari peserta mewakili dari pihak swasta. Dani menjelaskan bahwa informasi yang didapatkan oleh masyarakat sangat kurang. Ia mengungkapkan bahwa perusahaan sangat membutuhkan tenaga terampil perempuan di bidang STEM. “Dengan hadirnya perempuan di perusahaan akan menambah ide dan inovasi baru serta membantu dalam problem solving”, ungkapnya. Menurutnya peluang kerja bagi perempuan di bidang STEM sangat banyak dan perusahan sangat membutuhkan tenaga terampil perempuan. Ia menambahkan bahwa penting bagi Indonesia untuk melibatkan perempuan dalam segala bidang termasuk bidang STEM karena Indonesia memiliki jumlah penduduk perempuan yang lebih besar daripada laki-laki—yang merupakan bonus demografi—sehingga pemberdayaan ekonomi perempuan akan berdampak pada peningkatan ekonomi negara. Setelah sesi diskusi dan tanya jawab, Anita Dhewy sebagai moderator memberikan kesimpulan singkat terkait diskusi. Pertama, ia menyebutkan bahwa pembongkaran terhadap mitos teknologi yang maskulin penting dilakukan untuk menarik partisipasi perempuan dalam bidang STEM. Kedua, dukungan dari orang tua sangat penting bagi anak untuk menempuh pendidikan di bidang STEM. Ketiga, sosialisasi pentingnya perempuan masuk dalam bidang STEM perlu melibatkan banyak pihak, pemerintah, swasta serta institusi pendidikan dan perlu diperkenalkan sejak tingkat SMP.Setelah itu, Anita Dhewy menutup diskusi dan dilanjutkan dengan foto bersama. (Andi Misbahul Pratiwi & Anita Dhewy) Arinta Dea Dini Singgi: Hukuman Mati Hanya Obat Penenang & Tidak Menyelesaikan Masalah Narkotika28/11/2016
![]() “Berdasarkan Global Overview on Death Penalty tahun 2015 ada 102 negara yang menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Sedangkan ada 58 negara yang masih mempertahankan hukuman mati, termasuk Indonesia”, ungkap Arinta Dea Dini Singgi, staf Pengembangan Program LBH Masyarakat pada kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan (24/11/2016). Sesi kedua kelas Kaffe Jurnal Perempuan diampu oleh Arinta dari LBH Masyarakat yang membahas tentang hukuman mati dalam instrumen insternasional dan nasional dan berbagi cerita pengalaman melakukan advokasi terhadap terpidana hukuman mati Merry Utami (MU). Ia menjelaskan bahwa di Indonesia umumnya perempuan yang terpidana mati adalah perempuan yang tersangkut kasus Narkotika. Di Dunia ada 33 negara yang menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika. Pada pasal 6 ICCPR, dijelaskan bahwa hukuman mati hanya dapat diberlakukan untuk kejahatan paling serius (most serious crime). Most serious crime menurut resolusi Economic and Social Council of the United Nations (ECOSOC) tahun 1984, terbatas pada kejahatan yang disengaja yang mengakibatkan kematian atau dampak yang sangat serius lainnya (with lethal or other extremely grave consequences). Sedangkan menurut putusan MK No. 2-3/2007, kejahatan narkotika adalah kejahatan paling serius. Padahal Konvensi Narkotika dan Psikotropika mengategorikan beberapa tindak pidana sebagai particularly serious. Inilah yang menurut Arinta menjadi problem di Indonesia, MK menyamakan particularly serious dengan most serious crime, sehingga dalam hukum Indonesia kasus Narkotika dikategorikan sebagai most serious crime. “Dalam instrumen HAM internasional tentang hukuman mati disebutkan bahwa hukuman mati tidak efektif untuk memerangi Narkotika”, tutur Arinta. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa Narkotika adalah isu kesehatan sehingga negara harusnya pengguna Narkotika direhabilitasi bukan dikriminalisasi. Perang terhadap Narkotika melalui mekanisme hukuman matik tidak menyembuhkan adiksi dan negara hanya menghabiskan anggaran saja, karena kita tahu bahwa untuk melakukan eksekusi mati memerlukan biaya yang besar. Dalam kasus terpidana mati Merry Utami, Direktur pengembangan program LBH Masyarakat ini menjelaskan bahawa Merry adalah korban penipuan sindikat Narkotika. Sejak penangkapan pada 2001, Merry tidak didampingi kuasa hukum, Merry juga sudah melakukan upaya hukum, kasasi, banding terhadap kasusnya namun semua ditolak. Selama 15 tahun Merry telah menjalankan hukumannya dengan baik, Ia membuat naskah teater yang diperankan oleh penghuni Lapas. Pada 23 Juli 2016, MU dibawa oleh Kejaksaan Agung dan Jaksa Eksekutor ke Nusakambangan, tanpa ada pemberitahuan ke pihak keluarga. Kemudian pada 26 Juli 2016, MU mengajukan grasi atas hukumannya ke presiden Jokowi. Pada 26-28 Juli waktu kunjungan keluarga dan hanya keluarga inti saja yang boleh menjenguk. 14 orang terpidana mati yang direncanakan akan dieksekusi pada eksekusi mati jilid III disuruh mempersiapkan diri dengan menggunakan pakaian putih dan menulis permintaan terkahir. Pada hari eksekusi mati tersebut ternyata 4 orang yang dieksekusi dan yang lainnya termasuk Merry belum mendapat kepastian hukum. “Tidak ada kejelasan hukum bagi terpidana mati hingga kini, nyawa manusia sepertinya tidak ada ada harganya bagi negara”, ungkap Arinta yang juga kuasa hukum Merry Utami. Arinta mengungkapkan bahwa ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan para terpidana mati saat menjelang eksekusi. Alasan yang dituturkan untuk menghukum mati seseorang yang terlibat kasus Narkotika adalah karena Narkotika membunuh banyak orang. Tapi menurut Arinta jika membunuh adalah kejahatan, apa hak negara untuk membunuh seseorang. “Siapa yang berhak untuk menentukan seseorang berhak mati atau tidak?”, tegas Arinta. Merry Utami hingga hari ini belum mendapatkan kejelasan hukum. LBH Masyarakat sedang mengupayakan untuk mendesak Jokowi agar memberikan grasi pada Merry Utami. Arinta menjelaskan bahwa Merry Utami adalah korban penipuan, sehingga negara harus mampu melihat kasus Narkotika ini bukan hanya dari satu sudut pandang. Ia mengungkapkan bahwa meski kurir yang ditangkap tetapi peredaran Narkotika masih tetap terjadi. Sehingga menurutnya hukuman mati seperti obat penenang saja, tidak mengobati masalahnya. Hukuman mati hanya menenangkan kemarahan masyarakat tapi tidak memberikan solusi atas masalah Narkotika. (Andi Misbahul Pratiwi) Hukuman Mati dan Perempuan: Negara Menghilangkan Kemartabatan Manusia & Tidak Mampu Melihat Konteks21/11/2016
![]() Kamis, 17 November 2016, Kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan kembali diselenggarakan dengan mengangkat tema “Perempuan dan Hukuman Mati”. Kelas Kaffe ini merupakan kerjasama Jurnal Perempuan dengan LBH Masyarakat dan merupakan upaya advokasi terhadap persoalan hukuman mati di Indonesia. Abby Gina selaku koordinator Kaffe memberikan pengantar dan memperkenalkan pengajar dalam kelas Kaffe hari ini. Ia menjelaskan bahwa kelas Kaffe hari ini akan membahas bagaimana kaitannya hukuman mati dalam pandangan feminisme. Pengajar kelas Kaffe adalah Gadis Arivia, pendiri Jurnal Perempuan dan Pengajar di Departemen Filsafat. Gadis Arivia memulai paparannya dengan menyebutkan bahwa telah ada 19 orang yang dihukum mati selama kepemimpinan Jokowi, jumlah ini sangat besar dan disayangkan sekali. Gadis menjelaskan bahwa alasan Jokowi untuk memberlakukan hukuman mati dan menolak grasi adalah untuk memberantas Narkotika, padahal menurut Gadis Narkotika adalah isu kesehatan bukan kejahatan. Gadis menjelaskan bahwa ada 3 teori yang digunakan untuk membuat hukuman. Pertama, teori retributive (teori setimpal) yaitu hukuman diberikan sesuai dengan perbuatan yang setimpal. Kedua, utilitarian (teori hasil) yaitu hukuman diberikan sebagai konsekuensi perbuatan untuk kebaikan masyarakat agar ada hasil yang baik untuk masyarakat. Ketiga, restitusi (teori kompensasi) yaitu keadilan tercapai bila korban diberikan kompensasi. Gadis menjelaskan bahwa 3 teori hukuman tersebut sering digunakan untuk membuat hukum positif. Gadis menjelaskan bahwa sda pandangan lain tentang hukuman yaitu pandangan dari Hugo Bedau. Dalam bukunya Against the Death Penalty (1986) Bedau mengkritik teori keadilan retributive karena terlalu prosedural. Sedangkan menurut Bedau, hukuman mati bukan hanya persoalan prosedural tapi juga persoalan moral. “Hukum mati menurut Jokowi karena narkoba mengakibatkan kematian, maka hukumannya juga adalah nyawa. Bukankah itu balas dendam?”, jelas Gadis. Ia mengungkapkan bahwa hukuman mati telah menghilangkan hak orang untuk direhabilitasi, hukuman mati juga menghilangkan kemartabatan manusia. Lebih jauh Gadis menjelaskan tentang status perempuan dalam hukuman mati yang menurutnya sangat memprihatinkan. Dalam kasus Merry Utami (MU) dan Mary Jane Veloso misalnya, perempuan menjadi korban, ditipu, dimanfaatkan, dan akhirnya menjadi korban. Pada konteks perempuan dalam hukuman mati sangat perlu melihat aspek-aspek yang lebih detail selain fakta bahwa perempuan tersebut membawa atau menjadi kurir narkoba. Gadis mengungkapkan bahwa sistem hukum yang prosedural gagal melihat masalah secara holistik dan tidak melihat konteks. Hukum bukan hanya persoalan hitam-putih, ya-tidak, tetapi ada persoalan konteks. Kemudian, Gadis menjelaskan hukuman mati dalam pandangan feminisme yang menurutnya sangat penting untuk dibahas agar dapat melihat kasus perempuan dan hukuman mati ini secara komprehensif. Teori etika kepedulian Carol Giligan menjelaskan bahwa nilai maskulin dan feminin berbeda. Giligan juga memberikan kritik terhadap teori moralitas Kohlberg yang tidak melihat masalah perempuan. Selanjutnya adalah teori etika feminis dari Alison Jaggar yang menjelaskan bahwa harus ada kepekaan pada persoalan ketidaksetaraan gender, jangan ada asumsi bahwa perempuan dan laki-laki sama situasinya. Hal inilah menurut Gadis yang dialami perempuan dalam kasus narkoba yang akhirnya dihukum mati. Misalnya kasus MU, ia sebelumnya adalah pekerja migran kemudian memiliki pacar dan akhirnya ditipu untuk membawa narkoba. Ada persoalan ekonomi dan pendidikan di sini yang perlu menjadi refleksi, karena kurangnya pendidikan maka perempuan dengan mudah ditipu. Situasi perempuan tidak sama dengan laki-laki. Teori selanjutnya yang dijelaskan oleh pendiri Jurnal Perempuan ini adalah teori dari Catherine McKinnon tentang dominasi, menurut McKinnon harus ada perhatian pada ranah domestik/privat tentang hubungan personal/asmara, keluarga. “Equality before the law, sama di depan hukum itu netral gender, itu tidak bisa diterapkan pada kondisi perempuan sebenarnya, hukum positif sangat bias gender, sehingga perlu feminist legal theory”, tutur Gadis. Hukum positif memisahkan yang privat dan publik, sedangkan perempuan adalah keseluruhan yang privat dan publik sehingga tidak bisa dipisahkan, the private is political. Dalam kasus MU, negara harus melihat konteks, harus ada perhatian pada ranah privat tentang hubungan personal/asmara dan keluarga. “Jika membunuh orang adalah sebuah kejahatan, apa hak negara untuk mengambil nyawa orang?”, tegas Gadis. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Minggu, 30 Oktober 2016, Jurnal Perempuan mengadakan acara Gathering SJP (Sahabat Jurnal Perempuan) wilayah Bali di kediaman Prof. Yudha Triguna yang telah menjadi SJP sejak tahun 2012. Gathering SJP itu bertujuan untuk menampung berbagai masukan dari SJP dan mendiskusikan persoalan yang dihadapai perempuan Bali. Acara dibuka dengan sambutan dari Gadis Arivia, Pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, dengan memaparkan sejarah serta perjuangan JP selama 20 tahun (1996-2016). Gadis mengucapkan terima kasih kepada SJP Bali yang telah berkenan hadir serta mendukung JP selama ini. Ia menjelaskan bahwa JP baru saja berulang tahun yang ke-20 dan menurutnya hal ini tidaklah mudah tanpa dukungan dari berbagai pihak termasuk SJP. Ia menceritakan bahwa sangat sulit membahas feminisme apalagi zaman Orba, bahkan menyebutkan kata ‘gender’ tidak bisa. Pada tahun ini Gathering SJP telah diadakan di Aceh, Yogyakarta dan hari ini di Bali. Ia juga mengakui bahwa diskusi di tingkat lokal penting untuk mengetahui berbagai persoalan perempuan yang sangat bervariasi dan kompleks di daerah masing-masing. Setelah sambutan, Gadis memperkenalkan staf JP dan dilanjutkan dengan sambutan dari Prof. Yudha Triguna. Dirjen Bimas Hindu pada 2006-2014 ini mengungkapkan bahwa ia membaca dan menggunakan JP sebagai bahan referensi pada ceramah akademik maupun keagamaan. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa ada beberapa adat dan budaya di daerah Bali yang sangat mendiskriminasikan perempuan, misalnya mengenai hak waris dan pengasuhan anak, sehingga perlu ada sosialisasi secara akademik maupun dengan pendekatan agama. Selama empat tahun menjadi SJP, ia sangat senang dan puas terhadap kualitas JP yang telah membahas hampir seluruh isu-isu perempuan. Ia mengharapkan bahwa kunjungan JP bisa dilakukan di universitas bukan saja antara para SJP namun juga pada publik, khususnya masyarakat Bali yang masih melakukan diskriminasi terhadap perempuan karena latar belakang budaya. Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan paparan singkat tentang program SJP oleh Himah Sholihah. Menurut koordinator SJP yang biasa dipanggil Ima ini, mayoritas anggota SJP adalah perempuan dan hal ini menjadi tantangan JP untuk mengajak laki-laki turut berkontribusi dalam upaya dokumentasi pengetahuan. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa beberapa SJP Bali adalah mereka yang pernah mengikuti International Conference on Feminism (ICF) di Jakarta pada September silam. Ima menyampaikan bahwa sudah ada 7 perwakilan toko buku SJP di berbagai daerah dan sekarang di Bali akan ada perwakilan toko buku SJP yaitu LBH APIK Bali. Kedepannya diharapkan produk-produk JP dapat tersebar luas sehingga dapat mencerahkan banyak masyarakat Bali. Setelah gathering ini, Ima selaku koordinator akan membuat group WhatsApp khusus SJP Bali agar saling mengenal dekat satu sama lain, sebelumnya group WhatsApp SJP Yogyakarta sudah dibuat untuk menjalin komunikasi yang baik. Setelah itu Anita Dhewy, Sekretaris Redaksi JP menjelaskan tentang terbitan JP selama tahun 2016, mulai dari isu pernikahan anak hingga status perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering & Math). Berbagai topik riset dalam JP juga dijelaskan oleh Anita sekaligus dengan terbitan YJP Press dan aktivisme JP di media sosial. Di era teknologi ini, penting bagi JP untuk juga aktif menyuarakan isu-isu perempuan melalui teknologi digital, website, media sosial, Youtube. Anita menjelaskan bahwa JP juga melakukan kampanye tentang penghapusan pernikahan anak melalui video grafis dan animasi yang disebarkan melalui Youtube dan social media. Kemudian Anita juga mengajak para SJP untuk berkontribusi memberikan tulisan, artikel maupun pengalaman khas perempuan Bali yang dapat disuarakan bersama JP. Acara dilanjutkan dengan mendengar masukan dari SJP. Oka Rusmini sastrawan yang banyak menerbitkan novel yang mengangkat isu tentang persoalan khas perempuan Bali ini menceritakan bahwa perkenalannya dengan JP sudah sejak awal berdiri. Ia sangat mendukung kehadiran JP dan berharap JP dapat masuk di dalam ruang kelas, sekolah maupun universitas. Menurt Oka penting bagi perempuan dan anak perempuan untuk mengetahui ketidakadilan gender sejak dini. Masukan lain datang dari Sita Van Bemmelen seorang sejarawan, akademisi dan merupakan salah satu dewan pengawas LBH APIK Bali. Perempuan Belanda yang sudah lama bergelut dengan isu-isu perempuan ini memberikan masukan agar topik/isu yang akan dijadikan tema JP perlu disosialisasikan lebih awal sehingga penulis dapat mempersiapkan tulisan dengan baik. Kemudian Sita juga menambahkan bahwa penting bagi JP untuk dapat mandiri, tidak bergantung pada funding dan perlu dipikirkan kerjasama-kerjasama lainnya dengan media cetak mainstream. Selain itu Sita juga memberikan kritik sekaligus tantangan pada JP untuk dapat meraih lebih banyak perpustakaan dan Pusat Studi Wanita (PSW) di Indonesia untuk menjadi SJP. Hal yang berbeda dilontarkan oleh Cecilia, ia mengungkapkan bahwa tema-teman di komunitas akar rumput, lokal, perlu diberikan perhatian dan diajak berdiskusi mengenai sensitivitas gender sehingga JP dapat membumi. Lebih jauh Cecilia menganggap penting untuk membuat JP dengan bahasa atau format yang lebih populer. Setelah mendengarkan masukan dari para SJP, Gadis Arivia menanggapi pertanyaan serta masukan dari SJP wilayah Bali. Gadis mengatakan bahwa JP telah memiliki format yang lebih populer yaitu di Blog JP dan Blog Feminis Muda dan diharapkan SJP dapat menulis di website tersebut. Ia menambahkan bahwa selama ini pendanaan memang menjadi hal yang krusial, namun program SJP yang digagas pada tahun 2011 ini sangat berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan JP. Program SJP adalah upaya JP untuk melibatkan pembaca untuk berkontribusi dalam dokumentasi, edukasi serta advokasi mengenai persoalan perempuan yang telah JP lakukan selama ini, maka dengan demikian JP adalah milik kita semua. Gadis berharap SJP Bali yang hadir di sini dapat melakukan diskusi kecil terkait isu-isu perempuan di wilayah Bali, sehingga SJP dapat mewakili JP di tingkat daerah. Gathering SJP wilayah Bali yang dihadiri oleh 17 orang itu diisi dengan diskusi mengenai hal-hal apa saja yang seharusnya JP lakukan di masa datang. SJP yang hadir sangat senang karena menurut beberapa SJP, mereka telah menantikan adanya Gathering SJP di Bali bukan hanya di Jakarta. Mereka berharap kedepannya JP juga dapat masuk di ruang-ruang kelas sekolah maupun universitas dan untuk di wilayah Bali, para SJP sangat antusias dan bersedia mendukung JP. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Perlu ada perubahan paradigma yang mendasar atas semua kebijakan dan praktik pembangunan yang kita lakukan dari yang berpusat pada manusia atau yang menempatkan manusia sebagai subjek, menjadi alam dan manusia sebagai interelasi yang saling merawat. Selain itu dibutuhkan pula perubahan metode menjadi lebih partisipatif yang menekankan keadilan gender sekaligus keadilan lingkungan. Karena itu upaya berjejaring, berelasi dan melakukan aksi nyata menjadi penting dalam merawat alam. Demikian poin-poin penting dari diskusi panel Perubahan Iklim dan HKRS (Hak dan Kesehatan Reproduksi dan Seksual) dalam Konferensi Internasional tentang Feminisme yang diselenggarakan Jurnal Perempuan dalam rangka 20 tahun keberadaan jurnal feminis tersebut pada Sabtu (24/9) di Ballroom Arion Swiss-BelHotel, Jakarta. Diskusi panel menghadirkan pembicara Staf Ahli Menteri Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi, Direktur Walhi Yaya Hidayati dan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum dengan moderator Ketua PPSG UKSW Arianti Ina Restiani Hunga. Dalam paparannya Laksmi mengatakan terdapat beberapa pertimbangan yang menempatkan isu gender sebagai poin penting dalam aksi perubahan iklim. Sejumlah data dan penelitian yang ada memperlihatkan dampak perubahan iklim lebih berpengaruh pada wanita, tidak hanya pada kondisi tubuh tapi juga terhadap peran wanita sendiri. Di sejumlah daerah di Indonesia masih terdapat kesenjangan peran dan keterlibatan yang kemudian menjadikan posisi perempuan lebih rentan dalam konteks menerima dampak perubahan iklim. Kita juga melihat adanya perbedaan peran, status, kekuatan dan ekonomi antara perempuan dan laki laki yang menyebabkan perempuan menjadi bagian kelompok penerima dampak terbesar dari perubahan iklim. Sejak dimulainya perundingan perubahan iklim pada 2001 sudah ada sejumlah keputusan yang menggarisbawahi partisipasi perempuan. Sayangnya keputusan ini belum secara efektif diterapkan di banyak negara termasuk Indonesia. Lebih lanjut Laksmi mengutarakan pada konferensi yang terakhir tahun 2015 dimulai era baru dengan disepakatinya dokumen Paris Agreement atau Perjanjian Paris yang kembali mengakui adanya hak kesetaran gender dan pemberdayaan perempuan. Perjanjian ini menurut Laksmi sedang dalam proses ratifikasi ke dalam UU dan diharapkan pada Oktober nanti selesai. Laksmi menjelaskan sejauh ini upaya yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meliputi kemitraan dan sinergi juga meningkatkan peran, perencanaan dan komunikasi. Karena itu pihaknya mempunyai banyak instrumen seperti AMDAL, KRHS, hingga instrumen penegakan hukum yang dalam setiap prosesnya peran serta kelompok pemangku kepentingan perempuan dan anak menjadi sangat penting. Selain itu Kemen LHK juga mendorong peran perempuan sebagai pionir dalam program-program terkait. Sementara itu Yaya Hidayati menjelaskan sekarang ini perubahan iklim sudah menjadi buzz word, dimana-mana orang membicarakan perubahan iklim, tetapi sering kali hal ini dianggap sebagai hal yang given, kondisi yang terberi. Sehingga yang terjadi kemudian adalah respons yang diberikan tidak melihat penyebab mendasar terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global yang terkait dengan model pembangunan yang ekspansif dan ekstraktif serta tidak memerhatikan keberlanjutan dan penghormatan terhadap bumi dan makhluk lain di luar manusia. Yaya melanjutkan dalam konferensi perubahan iklim yang berlangsung di Paris tahun 2015 lalu terdapat beberapa hal penting yang perlu digarisbawahi terkait kesepakatan para pemimpin negara yang tertuang dalam dokumen Paris Agreement. Untuk pertama kalinya disepakati dokumen yang mengikat secara hukum, artinya berbagai pihak harus meratifikasi. Selain itu untuk pertama kalinya pula ada kesepakatan secara global bahwa semua negara menyatakan kenaikan temperatur harus ditahan atau dihentikan maksimal 2 derajat. Dengan pola dan model pembangunan yang saat ini dianut oleh mayoritas untuk tidak mengatakan seluruh negara di dunia, diproyeksikan akhir dekade ini bumi mengalami kenaikan suhu 3 derajat Celsius. Kondisi ini akan menimbulkan dampak yang sangat luas seperti perubahan musim tanam yang dapat mengakibatkan gagal tanam dan gagal panen. Selain itu musim hujan menjadi semakin pendek namun dengan curah hujan yang lebih tinggi yang memicu banjir bandang, tanah longsor, dst. Sedang musim kemarau menjadi lebih panjang dan sangat ekstrim hingga mengakibatkan kekeringan. Situasi ini akan berdampak besar terutama pada kelompok rentan dalam masyarakat seperti kelompok perempuan yang di Indonesia perannya terkait dengan sektor produksi pangan, pertanian, dll. Menyikapi situasi ini Yaya mengungkapkan koalisi masyarakat sipil merumuskan empat prinsip dasar menghadapi kebijakan perubahan iklim. Pertama, human security, metode mitigasi dan adaptasinya perubahan iklim hendaknya menjamin keamanan dan keselamatan manusia termasuk kelompok rentan. Lebih dari itu pandangan dan pengalaman juga keputusan yang diambil harus benar-benar mempertimbangkan dan memberikan ruang pada kelompok rentan untuk ikut menentukan. Kedua, ecological debt, harus ada mekanisme tanggung jawab dari negara-negara dunia pertama atau negara industri untuk tidak lari dari tanggung jawab atas kerusakan besar terhadap bumi. Ketiga, land rights, penting dipastikan perempuan memiliki hak yang sama dalam membuat keputusan terkait lahan. Keempat production and consumption, perempuan menjadi sasaran dari model ekonomi konsumtif, padahal perempuan memiliki power yang besar untuk menentukan apa yang dikonsumsi oleh keluarganya. Karena itu menjadi penting bagi perempuan untuk memahami proses produksi suatu produk, apakah mengakibatkan perubahan iklim, menimbulkan pelanggaran HAM, dll. Prinsip-prinsip ini menurut Yaya merupakan kekuatan untuk menentukan nasib dunia secara berkelanjutan ke depan. Sementara itu Dewi Candraningrum dalam paparannya menjelaskan temuan Alexander Humboldt yang melakukan perjalanan fenomenal ke Pegunungan Andes, Amerika Latin dan menemukan bahwa migrasi vegetasi tidak hanya bergerak horizontal tetapi juga vertikal, karena bumi semakin panas. Humboldt menulis di Pegunungan Andes vegetasi yang semula berada di ketinggian 500 meter ke bawah telah naik ke atas. Ini berarti perubahan iklim telah mengubah pola cuaca dan pola makan. Saat ini menurut Dewi terdapat problem besar terkait perubahan iklim, panas global dan bencana alam, yakni cara pandang yang menganggap alamlah yang bertanggung jawab dan bukan manusia. Pandangan kita terhadap bencana alam, panas global dan perubahan iklim jika hanya disandangkan pada alam, maka tidak akan selesai. Kita membutuhkan paradigma, pendekatan dan cara melihat alam dengan cara yang berbeda. Sehingga akan melahirkan paradigma yang etis dan bertanggung jawab yang menempatkan manusia sebagai pihak yang bertanggung jawab, maka yang muncul kemudian adalah human made global warming, human made climate change, human triggered natural disaster. (Anita Dhewy) ![]() International Conference on Feminism: Intersecting Identities, Agency & Politics yang diselenggarakan dalam rangka memperingati 20 tahun Jurnal Perempuan dihadiri oleh lebih dari 350 peserta dari berbagai daerah dan peserta internasional. Konferensi ini diselenggarakan selama 2 hari pada tanggal 23-24 september 2016. Pada hari kedua, Konferensi ini diisi dengan 2 sesi diskusi panel, salah satunya adalah diskusi tentang wacana feminisme di Indonesia. Bagaimana feminisme hadir di Indonesia? Apa saja kontribusi feminisme terhadap Indonesia? Sejauh mana feminisme hidup dan membumi? pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab pada sesi diskusi panel III yaitu tentang wacana feminisme di Indonesia. Diskusi ini mengahadirkan Prof. Saskia Wieringa (Universiteit van Amsterdam), Misiyah (Kapal Perempuan) dan pendiri Jurnal Perempuan, Gadis Arivia sebagai pembicara dan Lies Marcoes (Direktur Yayasan Rumah Kitab) sebagai moderator. Lies Marcoes sebagai moderator mempersilakan Saskia Wieringa sebagai pembicara pertama. Saskia Wieringa adalah profesor Universiteit van Amsterdam, ia juga meneliti tentang gerakan perempuan di Indonesia, yaitu Gerwani. Melaui bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, ia memperlihatkan kepada kita semua bahwa pernah ada gerakan perempuan yang sangat progresif di Indonesia pada saat itu. Saskia Wieringa mengungkapkan bahwa Gerwani pada waktu itu adalah organisasi perempuan yang peduli terhadap isu-isu ekonomi perempuan, harga-harga pangan dan pendidikan di tingkat dusun. Gerwani memperjuangkan emansipasi revolusioner, keadilan sosial dan keadilan gender. Lebih jauh Saskia menjelaskan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah penghargaan terhadap perempuan. Jauh sebelum Belanda menjajah, Indonesia telah memiliki budaya kesetaraan, buktinya sejak awal perempuan sudah memiliki hak politik bahkan banyak pahlawan perempuan dan perempuan pemimpin di Indonesia. Menurut Saskia, perempuan Belanda dulu tidak memiliki hak politik. Pengaruh penjajahan Belanda membawa dampak buruk terhadap budaya Indonesia yang telah lama menghargai perempuan. “Budaya Belanda sangat heteronormativitas, setelah dijajah Belanda Indonesia lupa dengan budaya aslinya, ini yang saya sebut dengan postcolonial amnesia”, ungkap Saskia. Lebih jauh Saskia melihat bahwa fundamentalisme telah tumbuh di Indonesia dan banyak anggapan bahwa feminisme adalah datang barat. Menurutnya fundamentalisme membuat Indonesia setelah reformasi reformasi kembali lagi ke masa orde baru dimana gerakan perempuan ditekan. Sehingga menurut Saskia kita perlu terus berjuang dan mendokumentasikannya. Setelah paparan dari Saskia, diskusi dilanjutkan dengan paparan Misiyah dari Kapal Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan). Misiyah adalah juga pengajar sekolah pendidikan feminis di komunitas akar rumput. Pada kesempatan ini ia menjelaskan bagaimana feminisme bisa hidup dan membumi di komunitas. Misiyah mengungkapkan bahwa perlu strategi untuk memperkenalkan feminisme ke komunitas di akar rumput. Misiyah telah memberikan pendidikan feminisme melalui sekolah feminis Kapal Perempuan. Pada kesempatan kali ini ia menunjukan beberapa pernyataan-pernyataan perempuan daerah tentang feminisme. Salah perempuan yang diwawancarai mengungkapkan bajwa sebelumnya ia takut dengan feminisme, ia menganggap bahwa feminisme sama seperti terorisme. Namun setelah ia mengikuti program-program Kapal Perempuan dan sekolah feminis ia menyadari bahwa feminisme itu buka seperti terorisme. “Feminisme adalah upaya memperdayakan perempuan dengan menumbuhkan kesadaran kritis terhadap lingkungannya”, tutur Misiyah. Misiyah mengungkapkan bahwa feminisme bukanlah sesuatu yang abstrak dan jauh sekali dari kita. Sehingga ia yakin bahwa pendidikan feminisme di akar rumput akan dapat membantu membongkar ketidakadilan. Misiyah menggunakan pendekatan ekonomi perempuan untuk dijadikan pintu masuk bagi pendidikan feminisme. "Pendekatan pemberdayaan ekonomi bisa dijadikan strategi untuk pendidikan feminisme di akar rumput", tutur Misiyah. Pendidikan feminis bertujuan untuk menumbuhkan pikiran kritis dan komitmen terhadap isu-isu perempuan. "Kita perlu melakukan konsolidasi gerakan sehingga wacana feminisme ini dapat dibumikan secara masif", ungkap Misiyah di akhir presentasinya. Gadis memulai paparannya dengan menyampaikan bahwa wacana feminisme di indonesia muncul dari organisasi perempuan lalu kemudian ke tingkat universitas. Ini dibuktikan bahwa telah lama perempuan indonesia aktif menyuarakan hak-haknya melalui sistematika organisasi. Tahun 1928 ketika kongres perempuan pertama, perempuan indonesia sudah memikirkan berbagai perosoalan, kongres itu menentang praktik pernikahan anak, mendukung pendidikan bagi perempuan serta, menolak segala bentuk pemaksaan terhadap kebebasan berpakaian terhadap perempuan. Lebih jauh Gadis mengungkapkan bahwa reformasi tahun 1998 adalah buah dari gerakan perempuan. Pada tahun itu gerakan perempuan, Suara Ibu Peduli berhasil breaking the silence, kemudian setelah itu barulah mahasiswa turun ke jalan. Meskipun demikian tetap gerakan perempuan tertutupi oleh gerakan sosial lainnya. Gadis Arivia mengatakan bahwa ulang tahun Jurnal Perempuan yang ke-20 ini sebenarnya bukan untuk kita generasi yang sudah merasakan pahitnya perjuangan, namun untuk mereka yang muda agar terus merawat pengetahuan dan aktivisme gerakan perempuan. Ia juga mengungkapkan bahwa term "gender" tidak bisa lagi digunakan untuk memperjuangkan keadilan. "Pengarusutamaan Gender (PUG) harus kita akui telah gagal, gender hanya bicara representasi yang kosmetik", ungkap Pendiri Jurnal Perempuan ini. Sehingga menurutnya feminisme harus kita ucapkan sebagai upaya pembongkaran terhadap ketidakadilan. Konferensi feminisme hari ini diikut oleh banyak generasi muda, yang menurut Gadis Arivia adalah tanda bahwa feminisme masih tetap hidup. "Feminisme sebagai sebuah gerakan atau ide tentang keadilan dan kesetaraan tetap hidup di tengah tumbuhnya konservatisme di Indonesia", tutur Gadis Arivia. Feminisme adalah indonesia, ia tidak datang dari barat, tapi ia datang dari rahim indonesia, dari kebudayaan indonesia yang menghargai perempuan sudah sejak lama. Sehingga wacana femibisme seharusnyabbukanlah sesuatu yang asing lagi. Feminisme adalah tentang bagaimana membongkar ketidakadilan dan pedagogi feminis adalah bagaimana feminisme itu diajarkan di dalam maupun di luar kelas. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Jumat, 23 September 2016 Jurnal Perempuan menyelenggarakan konferensi internasional feminisme atau International Conference on Feminism dengan mengusung tema “Intersecting Identities, Agency & Politics”. Konferensi internasional feminisme ini diselenggarakan selama 2 hari yaitu pada Jumat dan Sabtu, sehingga hari ini adalah hari pertama konferensi ini. Konferensi ini juga sekaligus dalam rangka merayakan ulang tahun Jurnal Perempuan yang ke-20. Jurnal Perempuan pertama kali terbit pada tahun 1996 dan hingga kini telah menerbitkan 90 edisi jurnal. Dengan demikian pada konferensi ini Jurnal Perempuan edisi 90 Pedagogi Feminis yang terbit pada Agustus lalu juga diluncurkan sebagai penanda 20 tahun kiprah Jurnal Perempuan dalam dokumentasi pengetahuan. JP 90 Pedagogi Feminis ini juga menjadi sangat spesial karena merupakan JP pertama yang mencantumkan nomor akreditasi jurnal ilmiah dari LIPI yang diraih pada Mei 2016 lalu. Maka pada konferensi ini diskusi panel pertama ialah mendiskusikan tentang pedagogi feminis. ![]() Diskusi panel pertama ini menghadirkan Mia Siscawati (Ketua Program Studi Kajian Gender UI), Musdah Mulia (Dosen UIN Jakarta), dan Mies Grijns (Professor University Leiden) sebagai pembicara dan Dewi Candraningrum sebagai moderator. Paparan pertama yaitu dari Mia Siscawati yang mengungkapkan bahwa Program Studi Kajian Gender UI adalah studi gender yang pertama di Indonesia. Mia menceritakan bagaimana pedagogi feminis memainkan peran penting dan hadir dalam naskah-naskah akademik di universitas. Mia memulai paparanya dengan menyebutkan judul tesis lulus Kajian Gender UI yang menurutnya ada keterikatan personal antara mahasiswa sebagai peneliti dengan topik kajiannya. Peneliti memiliki menjadi penulis sekaligus menjadi subjek yang terlibat dan mereka memiliki posisi politik atau stand point dalam terhadap topik yang dipilih. Hal ini menurutnya menggambarkan metodologi feminis yang mereka adopsi. “Metodologi feminis memungkinkan peneliti memberikan perhatian penuh pada situasi yang dihadapi subjek penelitiannya, pendekatan ini tidak lagi menempatkan yang diteliti sebagai objek tapi sebagai subjek yang berhak mendapatkan suara”, ungkap Mia. Lebih jauh Mia menjelaskan bahwa dalam Prodi Kajian Gender sudah mulai diterapkan kajian interseksionalitas atau ketersinggungan. Pendekatan metodologis ini mengkaji persinggungan relasi kuasa dari berbagai dimensi yang memberikan kontribusi bagi langgengnya mekanisme dominasi, opresi maupun diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok marginal lainnya. Sehingga menurut Mia, gagasan interseksionalitas ini memungkinkan peneliti melihat keterkaitan antara isu-isu yang akan diteliti dengan aspek gender, seksualitas, ras, etnisitas, agama dan sosial. Metodologi feminis tidak terlepas dari pedagogi feminis yang diadopsi oleh Prodi Kajian Gender UI. Pedagogi adalah perihal metode belajar dimana mahasiswa bisa merefleksikan apa yang terjadi dalam kehidupannya dan lingkungan sosialnya dengan kaca mata feminisme. Mia juga mengakui bahwa keberhasilan Prodi Kajian Gender UI tidak terlepas dari hubungan yang baik antara akademisi dengan aktivis gerakan perempuan. Relasi baik itu membantu proses belajar mengolah kerangka teori yang begitu rumit menjadi lebih sederhana dengan melihat fenomena di lapangan. Sehingga menurut Mia jejaring ini harus terus dijalin sehingga kritik terhadap universitas yang dianggap menara gading dan susah membumi dapat hilang. Mia berharap kajian kritis di universitas dapat menjawab tantangan di lapangan sehingga dapat saling membantu untuk melakukan advokasi persoalan-persoalan perempuan. ![]() Tidak jauh berbeda dari Mia yang memaparkan tentang pedagogi, Musdah Mulia memaparkan bagaimana pedagogi feminis dalam perspektif islam. Musdah menyebutkan bahwa Departemen Agama secara normatif sudah memiliki program untuk kesetaraan dan keadilan gender. Kemudian setelah Gusdur mengelurkan Instruksi Presiden tentang Pengarusutamaan Gender (PUG), universitas di Indonesia diwajibkan untuk mempunyai pusat penelitian gender. Selain itu kita juga mempunya dua kekuatan besar organisasi perempuan islam, yaitu Fatayat dan Aisyiyah. Kedua organisasi tersebut telah sejak lama memfokuskan diri pada isu-isu perempuan terutama soal kesehatan reproduksi. Menurut Musdah Mulia, kita perlu menyebarluaskan pandangan-pandangan islam yang humanis dan menghargai perempuan sebagai makhluk Allah SWT. Meskipun demikian Musdah mengungkapkan bahwa PUG yang dicanangkan Gusdur 16 tahun yang lalu seharusnya berhasil, namun ternyata tidak. Menurutnya selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini banyak pandangan-pandangan ekstrimis yang menafikan eksistensi perempuan. Dengan demikian pandangan islam yang humanis di masyarakat penting untuk dibangun. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa mayoritas umat islam di Indonesia masih belum mengerti ajaran islam sepenuhnya. Mayoritas umat islam memahami islam sebagai ritual saja, sholat dzakat, naik haji. Namun ketika ditanya bagaimana pandangan islam tentang posisi perempuan, banyak dari kita umat islam yang tidak mengerti. Sehinggan ajaran islam yang sifatnya muamalat, terutama relasi manusia dengan manusia. Visi islam adalah semua manusia adalah khalifah fil ardh, menjadi leader, manager, agent of moral. Dalam konteks seperti ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Misi islam adalah amar ma’ruf nahi munkar, amar ma’ruf adalah upaya-upaya transformasi yang dimula dari diri sendiri sehingga kita lebih baik, lebih positif. Sedangkan nahi munkar adalah upaya-upaya humanisasi, bagaimana kita memanusiakan manusia. Saya merasa bahwa islam adalah agama yang kompatibel dengan prinsip-prinsip feminisme yaitu membangun keadilan. Sehingga menjadi muslim kita harus aktif dan produktif dan pendidikan menjadi kunci utama, pendidikan di masyarakat maupun di tingkat formal. Maka pedagogi feminis diperlukan untuk melihat berbagai isu-isu perempuan dalam islam. Paparan selanjutnya dari Mies Grijns dari Univeristy Leiden. Ia pernah melakukan penelitian tentang pernikahan anak di Sukabumi dan telah dipublikasikan pada JP 88 Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan. Isu pernikahan anak menjadi sangat terkait dengan bagaimana pedagogi feminis penting untuk diperkenalkan sejak dini. Mies Grijns pada paparannya menyebutkan bahwa angka pernikahan anak di Indonesia—meski tidak setinggi di Afrika—namun sangat tinggi di Asia Pasifik. Akibat pernikahan anak korban kekerasan KDRT, korban kekerasan seksual, dan tidak mendapat akses pekerjaan. Sehingga pernikahan anak menjadi salah satu penyebab migrasi penduduk, rentan terhadap pelacuran dan menyumbang pada AKI di Indonesia. Sehingga kita perlu advokasi sistem sistemik. Uji materi UU Perkawinan 1974 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. LSM lokal, akademisi lokal perlu bersatu untuk mencegah pernikahan anak. Di Sukabumi meski bisa terjadi pernikahan bahkan di bawah umur 16 tahun, calon pengantin dinikahkan oleh amil dan tidak perlu ke KUA. Pernikahan anak merupakan persoalan besar Indonesia yang memiliki efek berantai pada pemiskinan perempuan. Sehingga pernikahan anak juga perlu dilihat dengan kajian interseksionalitas, dimana perempuan Indonesia memiliki multisiplitas persoalan budaya, agama, dan kebijakan. Diskusi pedagogi feminis ini kaya dengan berbagai sudut pandangan pembicara. Ketersinggungan antara perempuan dengan berbagai isu sosial di lingkungannya memperlihatkan kita bagaimana kompleksnya persoalan yang dihadapi perempuan dan perlunya kajian interseksionalitas dengan metodologi feminis. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Menerbitkan Jurnal Perempuan adalah suatu tantangan akademis dan kultural yang sangat berat mengingat feminisme seringkali dituduh sebagai Barat. Padahal feminisme tumbuh dari budaya kita dan berasal dari bangsa kita. Pada Kongres Perempuan I tahun 1928 para perempuan yang berkongres ketika itu meskipun tidak memakai kata feminisme, tetapi mereka sudah mengatakan bahwa perempuan harus mandiri, poligami harus ditolak, perempuan harus berdaya, dan itu semua adalah feminisme. Pernyataan ini diungkapkan Gadis Arivia, pendiri Jurnal Perempuan saat membuka acara Konferensi Internasional tentang Feminisme dengan tema Persilangan Identitas, Agensi dan Politik yang diselenggarakan dalam rangka 20 tahun Jurnal Perempuan pada Jumat (23/9) di Ballroom Arion Swiss-BelHotel, Jakarta. Gadis menambahkan sebagai jurnal feminis yang selalu dianggap serupa liyan, keberadaan Jurnal Perempuan yang mampu bertahan hingga 20 tahun membuatnya merasa sangat bersyukur. Gadis mengungkapkan Jurnal Perempuan terbit ketika Orde Baru berkuasa, kala itu penggunaan kata perempuan tidak diperbolehkan, terlebih lagi kata feminisme. Ketika reformasi bergulir yang diawali dari pergerakan aktivisme perempuan pada tanggal 23 Februari 1998 dengan demonstrasi Suara Ibu Peduli (SIP), wacana feminisme kemudian tumbuh subur, begitu pula dengan advokasi pemberdayaan perempuan. Namun ketika pintu demokrasi terbuka lebar, semua kelompok ikut masuk, termasuk kelompok konservatif, situasi inilah yang kita hadapi sekarang. Jadi ketika Orde Baru gerakan perempuan menghadapi negara yang represif, sementara saat ini perjuangan feminisme menghadapi konservatisme agama yang semakin menggerus dan merestriksi perempuan. Karena itu menurut Gadis perjalanan Jurnal Perempuan ke depan adalah melanjutkan cita-cita menegakkan HAM dan memperjuangkan kesetaraan untuk semua. Sementara itu Renee Paxton, Sekretaris Bidang Kemiskinan dan Pembangunan Sosial Kedutaan Australia dalam sambutannya mengungkapkan kebijakan bantuan pemerintah Australia menetapkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai prioritas pembangunan serta menetapkan target yang ambisius yang mengharuskan delapan puluh persen dari semua bantuan pemerintah Australia ditujukan untuk mempromosikan kesetaraan gender. Strategi ini mengidentifikasi tiga bidang prioritas, yang pertama meningkatkan suara perempuan dalam pengambilan keputusan, kepemimpinan dan menciptakan perdamaian. Kedua mempromosikan pemberdayaan ekonomi perempuan dan ketiga mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Renee juga mengungkapkan rasa senangnya karena dalam konferensi ini mitra MAMPU—atau Maju Perempuan Indonesia Untuk Penanggulangan Kemiskinan, yakni program bantuan Australia di Indonesia lewat pemberdayaan perempuan untuk penghapusan kemiskinan—turut mendapat kesempatan untuk mempresentasikan makalah. ![]() Konferensi Internasional Feminisme ini dibuka oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA) Yohana Susana Yembise. Dalam pidato pembukaannya Yohana mengatakan kehadiran Jurnal Perempuan telah secara signifikan memperluas cakupan masyarakat dalam memahami isu-isu gender dalam berbagai pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan, utamanya yang disusun oleh pemerintah dalam perspektif feminisme. Lebih lanjut Yohana mengutarakan mengajak laki-laki berjalan setara dengan perempuan bukan hal yang sepele, mengingat kita tumbuh dalam budaya patriarkal yang cukup kuat. Di sisi lain sudah terdapat beberapa komitmen global yang menjadi perhatian Kementerian PP-PA dan Indonesia terpilih menjadi salah satu negara yang akan membawa perempuan menuju Planet 50:50 tahun 2030. Sehingga tinggal 15 tahun lagi komitmen bersama tersebut harus diwujudkan. Yohana mengungkapkan tugas ini cukup berat dan pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri. Karena itu ia mengajak semua pihak yang hadir dalam konferensi, baik dari kalangan akademisi, NGO, dan lainnya, untuk bersama-sama pemerintah mengangkat kaum perempuan dan melindungi anak-anak perempuan sehingga dapat terwujud negara yang ramah perempuan dan layak anak. Konferensi ini terdiri dari diskusi pleno dan diskusi panel. Diskusi pleno mencakup tiga sesi yang membahas tema Paradigma dan Pedagogi Feminis, Perubahan Iklim dan SRHR, serta Wacana dan Gerakan Feminisme di Indonesia dengan menghadirkan sejumlah pembicara dari dalam dan luar negeri. Sementara pada diskusi panel diisi oleh presentasi makalah dari sebagian peserta yang terbagi dalam 20 tema, yakni Agama dan Feminisme; Kebijakan Publik Berperspektif Feminis; Seksualitas, Tubuh dan Hak Reproduksi; Keadilan untuk Minoritas; Feminisme Lokal, Global dan Transnasional; Buruh dan Pekerjaan; Laki-laki Feminis; Tradisi dan Feminisme; Seni dan Sastra; serta Media dan Jurnalisme. Tercatat sebanyak 102 makalah masuk ke panitia dan sebanyak 64 terseleksi untuk dipresentasikan. Konferensi diikuti oleh 285 peserta dari berbagai daerah di Indonesia serta sejumlah negara seperti Thailand, Amerika, Australia, Hong Kong, Filipina, Belanda, Jerman, dan Malaysia serta sejumlah undangan yang mewakili relasi Jurnal Perempuan. Dalam pembacaan laporan hasil konferensi, salah satu fasilitator Atnike Nova Sigiro mengungkapkan di dalam diskusi panel mereka menemukan bahwa perempuan memiliki kekayaan pengalaman yang bukan saja menyumbang kepada teori-teori feminisme di Indonesia tetapi juga mempunyai kekuatan dalam keterlibatannya di ranah politik. Perempuan dalam persilangan identitasnya adalah subjek dalam berbagai identitas, entah sebagai istri, pembuat kebijakan, lawmaker, policy maker, tetapi sekaligus juga sebagai minoritas di dalam masyarakatnya. Kekuatan perempuan terletak pada agensi perempuan untuk membangun interpretasi yang maskulin dan patriarkis. Perempuan membangun interpretasinya di dalam masyarakat melalui keterlibatan di dalam agensinya. Dia tidak hanya membuat interpretasi, tetapi juga terlibat untuk mengubah mindset laki-laki dan juga publik. Sementara itu Wakil Ketua DPD RI, GKR Hemas dalam pidato penutupnya menyatakan sikap politik Kaukus Perempuan Parlemen RI senapas dengan apa yang sudah dibicarakan dalam forum Konferensi Internasional ini, oleh karena itu hendaknya dapat menjadi langkah bersama untuk mengegolkan lebih banyak lagi kebijakan yang progender. Hemas menambahkan saat ini kita harus bekerja keras untuk melakukan percepatan kesetaraan gender mengingat amanat SDGs sebagai komitmen lanjutan dari MDGs harus dapat diimplementasikan di Indonesia. Jika di tingkat dunia telah dilakukan kampanye 50:50 untuk kesetaraan gender dengan strategi He for She, maka hal ini perlu ditindaklanjuti di Indonesia dengan mulai melibatkan semakin banyak laki-laki dalam menyuarakan keadilan dan kesetaraan gender, sebab perubahan tatanan kehidupan yang adil gender hanya bisa dilakukan secara bersama-sama. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |