![]() “Gejala radikalisme dan fundamentalisme merupakan reaksi terhadap perkembangan sosial dan bagian dari dinamika dalam masyarakat modern”, ungkap Ulil Abshar Abdalla dalam kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan pada Jumat lalu (2/06). Lebih jauh Ulil menjelaskan bahwa radikalisme dan fundamentalisme merupakan pemahaman agama literallistik yang merupakan gejala khas perkotaan. Di perdesaan Ulil menjelaskan bahwa corak keagamaannya merupakan communitarian, yaitu masyarakat berkerumun di sekitar tokoh keagamaan yang karismatik dan menjadi rujukan bersama. Sedangkan di dalam masyarakan modern perkotaan menurut Ulil ikatan tradisional tersebut rusak dan kemudian orang-orang mulai mencari ketenangan baru, otoritas keagamaan baru yang telah sebenarnya menjadi corak kegamaan di desa. “Para otoritas baru sebagian besar ada bukan karena penguasaan hermeneutik islam yang mendalam melainkan karena faktor-faktor yang tidak berkaitan langsung dengan kepakaran tersebut”, ungkap Ulil. Terkait pernyataannya terebut Ulil menjelaskan bahwa wacana islam di perkotaan yang dipengaruhi para otoritas baru tersebut memiliki dua kemungkinan, pertama coraknya penuh dengan bahasa kemarahan atau yang kedua adalah bahasa sufisme, spiritualisme baru, mistisisme. Keduanya merupakan respons terhadap situasi politik, ekonomi, budaya dalam masyarakat perkotaan. Wacana keislamanyang dihadirkan oleh para otoritas baru tersebut menurut Ulil hadir untuk memenuhi kebutuhan masyrakat islam perkotaan yang kehilangan ‘induknya’. Lebih jauh Ulil mengungkapkan bahwa wacana keislaman semacam itu berbeda jauh dengan generasi-generasi sebelumnya yang lebih membuka dan memosisikan diri dengan eksistensi keagamaan yang berbeda. “Corak wacana keislaman yang karakter pokoknya penuh dengan bahasa kemarahan berimplikasi besar terhadap perempuan”, ungkap Ulil. Perempuan menjadi pembicaraan penting dalam wacana keislaman fundamentalisme dan radikalisme, Ulil mengungkapkan bahwa perempuan dianggap sebagai unsur penting penanda budaya, culture marker, sehingga ada konstruksi bahwa jika komunitas atau kelompok islamis tersebut kalah dalam penguasaan dan pengendalian perempuan maka seluruh bangunan perjuangan menjadi rusak. Akibatnya perbincangan publik terkait kebijakan yang menyoal perempuan dan apa yang dianggap moralitas publik menjadi sulit dilakukan. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Jumat, 26 Mei 2017, kuliah kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) VI Jurnal Perempuan membincangkan mengenai “Sejarah Poligami dan Islam”. Dr. Nur Rofiah (Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran) mengampu kelas pada malam itu. Rofiah memulai kelas dengan memberikan sedikit gambaran dan penjelasan mengenai praktik poligami yang sudah berlangsung berabad-abad lalu di seluruh peradaban maupun dari praktik poligami yang dilakukan oleh berbagai agama di muka bumi ini. Tercatat bangsa Babilonia, Siria, dan Persia pra Islam, tidak mengadakan pembatasan mengenai jumlah perempuan yang dikawini oleh seorang laki-laki. Bagi Bangsa Israel, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa yang kemudian menjadi adat atau kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan istri. Bangsa Eropa seperti Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang sudah melakukan praktik poligami jauh sebelum Islam datang. Begitu pun bangsa Timur Tengah seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Bangsa Afrika, India, Tiongkok dan Jepang juga berpoligami. Bahkan ada raja Tiongkok yang beristri sampai 30.000 orang. Masyarakat Sparta bahkan melarang lelaki beristri lebih dari seorang, kecuali dalam keadaan tertentu. Sebaliknya, perempuan boleh mempunyai suami lebih dari seorang (poliandri). Rofiah juga menjelaskan bahwa agama Like di Tiongkok memperbolehkan poligami sampai 130 orang. Agama Hindu melakukan poligami secara meluas. Seorang Brahma berkasta tinggi, boleh mengawini perempuan sebanyak yang ia ingini. Dalam agama Yahudi, laki-laki dapat menikahi banyak istri dengan syarat mampu membiayai. Sejumlah kaum Yahudi yang ahli di bidang agama menganjurkan agar setiap pria beristri tidak lebih dari empat orang. Akan tetapi, golongan Yahudi Qurra tidak mengakui keabsahan pembatasan jumlah istri karena agama bani Israel membolehkan seorang lelaki mempunyai istri berapa saja tanpa batasan. Tetapi selanjutnya, poligami dilarang oleh sidang muktamar Rabi di Worms pada abad ke-11. Namun kaum Yahudi Timur Tengah lazim melakukan poligami. Sedangkan agama Kristen melalui kaum reformer Jerman yang terdiri dari pemuka Nasrani, mengakui sahnya perkawinan dengan istri kedua dan ketiga bersama istri pertama. Keputusan itu dilaksanakan hingga abad ke-16 Masehi. Namun tiga abad kemudian, Sekte Mormon, sebuah sekte yang berafiliasi pada Gereja The Church of Jesus Christ of Latter Day Saint yang didirikan oleh Joseph Smith di tahun 1830 M menyerukan: “Keterikatan pria kepada seorang istri adalah soal yang tidak wajar“. Martin Luther mempunyai sikap yang toleran dan menyetujui status poligami Philip dari Hesse. Tahun 1531 kaum Anabaptis mendakwakan poligami. Sedangkan agama Islam dipahami oleh masyarakat luas sebagai agama yang memperbolehkan poligami hingga empat istri dan belum ada forum terbuka yang melarang poligami di dalam Islam. Rofiah juga menyebutkan bahwa alasan utama praktik poligami masih dilakukan hingga saat ini adalah karena faktor relasi gender yang tidak seimbang dan budaya patriarki yang begitu kental. Rofiah menjelaskan bahwa sejarah Islam dan poligami sebetulnya tidak lepas dari riwayat nabi-nabi di dalam Alquran yang secara eksplisit menceritakan tentang praktik poligami yang mereka lakukan. Tercatat Nabi Ibrahim AS, Ya’qub AS, Musa AS, Daud AS, Sulaiman AS, dan Muhammad SAW melakukan praktik poligami. Bahkan, dalam kasus Nabi Sulaiman AS, beliau menikah sebanyak seribu kali (sebagian menyebutkan 700 istri dan 300 selir). Nabi Muhammad SAW sendiri melakukan pernikahan sebanyak dua belas kali. Sebenarnya, praktik poligami ini tidak lepas dari tradisi Arab pra Islam yang tidak mengenal jumlah maksimum bagi seorang laki-laki yang ingin melakukan poligami. Hal ini dikarenakan dalam sejarahnya, perempuan pernah diragukan sebagai manusia utuh, berbeda dengan laki-laki yang dianggap manusia paripurna. Keadaan Arab pra Islam yang tidak membatasi jumlah poligami yang boleh dilakukan oleh laki-laki direspons oleh Islam dengan membatasinya sebanyak empat orang istri saja. Hal ini tertuang dalam surat An-Nisa ayat 2-3 sebagai berikut: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pembatasan poligami menjadi empat di dalam Islam juga tertuang dalam salah satu riwayat HR. Imam Syafi’i dalam Musnadnya yang menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW, menganjurkan sahabatnya yang baru memeluk Islam agar menceraikan istri-istri mereka dan memilih 4 saja diantara mereka. Rofiah mengatakan ada sekelompok orang yang memercayai bahwa sebetulnya jumlah poligami yang diperbolehkan adalah sebanyak 9, apabila mengacu pada surat An-Nisa: 3 (2+3+4 = 9), tetapi hal ini dianggap menyimpang dan hampir sebagian besar ulama sepakat bahwa di dalam Islam, poligami dibatasi hingga 4 saja. Rofiah memberikan pandangannya terhadap tafsir surat An-Nisa: 3 yang dijadikan landasan banyak orang untuk melakukan praktik poligami. Ada poin-poin yang coba dibahas oleh Rofiah yang mungkin selama ini luput oleh kita ketika kita menafsirkan surat An-Nisa: 3 ini. Pertama, surat An-Nisa: 3 seringkali dipotong begitu saja padahal surat An-Nisa: 3 adalah kelanjutan dari An-Nisa ayat 2 yang membicarakan tentang perempuan yatim dan berdosanya kita apabila memakan harta mereka sehingga lebih baik dinikahkan saja perempuan yatim tersebut daripada kita memakan hak mereka. Poin kedua yang dijelaskan oleh Rofiah terkait An-Nisa: 3 adalah konteks ketika ayat itu diturunkan, perilaku monogami dalam perkawinan di Arab kala itu adalah sesuatu yang tidak lazim. Sehingga, ketika An-Nisa: 3 turun maka konteks ayat ini adalah sebagai alat untuk menyesuaikan tradisi Arab yang sudah terbiasa dengan praktik poligami. Poin ketiga adalah perihal fakta bahwa sekalipun nabi Muhammad SAW mempunyai dua belas istri, beliau terlebih dahulu menjalani pernikahan monogami dengan Siti Khadijah selama 28 tahun sebelum akhirnya selama 8-10 tahun sisa hidupnya melakukan poligami. Poin keempat adalah mengenai sikap adil yang menjadi syarat utama dalam melakukan poligami. Rofiah kemudian menjelaskan mengenai perilaku adil adalah syarat mutlak karena apabila poligami tidak dilandaskan oleh keadilan, maka pernikahan tersebut akan penuh dengan kesengsaraan. Perihal keadilan ini bahkan sangat tegas diwahyukan Allah SWT pada An-Nisa: 3. “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Tafsiran surat An-Nisa: 3 seringkali dijadikan sebagai ayat untuk menjustifikasi perilaku poligami, tetapi bagi Rofiah ayat ini sebenarnya lebih menganjurkan monogami dibandingkan dengan poligami itu sendiri karena manusia diragukan untuk dapat berlaku adil. Perilaku manusia yang cenderung tidak dapat berlaku adil ini kembali ditegaskan melalui surat An-Nisa: 129 yang berbunyi: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Jika surat An-Nisa: 3 dianggap menganjurkan pernikahan poligami, maka sesungguhnya surat An-Nisa: 129 mempertegas bahwa poligami akan sangat sulit dilakukan sekalipun kita sebagai manusia ingin berlaku adil. Hal ini tentu menyiratkan bahwa sesungguhnya pernikahan yang dianjurkan dalam Islam adalah pernikahan monogami. Nabi Muhammad SAW dalam riwayat Bukhari diceritakan menolak dengan tegas poligami yang akan dilakukan terhadap putrinya Fatimah bahkan mempertegas ucapannya sebanyak tiga kali untuk menolak poligami yang akan dilakukan oleh Ali terhadap putrinya. Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Shahih Bukhari, j.16, h.253, nomor hadis 4829, Jami’ul Ushul, j. 12, h. 162, nomor hadis 9026). Pertanyaan yang akan diajukan oleh orang-orang adalah, jika Nabi Muhammad SAW membenci poligami mengapa lantas beliau tetap melakukan praktik poligami? Rofiah menjelaskan bahwa ada latar belakang yang sangat kuat mengapa beliau melakukan poligami. Alasan pertama adalah karena beliau merupakan rasul yang diutus langsung oleh Allah SWT sehingga pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang beliau kerjakan akan berhubungan langsung dengan Allah SWT. Alasan berikutnya mengapa Nabi Muhammad SAW melakukan poligami adalah adanya alasan khusus. Seperti pernikahannya dengan Zainab binti Jahsy, beliau melakukan pernikahan tersebut untuk mencontohkan kepada pengikutnya bahwa anak angkat selamanya adalah anak angkat (Nabi Muhammad SAW menikahi Zainab yang merupakan mantan istri anak angkatnya) atau pada kasus pernikahannya dengan Maria al-Qibthiyah seorang budak dari Mesir yang dihadiahkan oleh pengusaha Mesir kepada Nabi Muhammad SAW, sebetulnya untuk menunjukkan bahwa perbedaan kelas sosial bukanlah penghalang untuk melakukan pernikahan. Poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW juga sebagai bentuk kepeduliannya terhadap janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya karena berperang bersama Nabi Muhammad SAW. Rofiah menyimpulkan sebenarnya ada perbedaan praktik poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan umatnya. Para laki-laki yang melakukan poligami seringkali hanyalah alasan untuk melegalisasi nafsu seksualnya. Rofiah kemudian menyimpulkan bahwa pernikahan poligami adalah sasaran antara untuk menuju pernikahan monogami yang lebih direstui Allah SWT karena semakin jauh dari unsur ketidakadilan. Rofiah juga mengutip ucapan Syekh Muhammad Abduh dalam al-Manar yang mengatakan bahwa poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman. Hal ini juga sama dengan apa yang disebutkan oleh KH Quraish Shihab yang mengatakan bahwa poligami sebenarnya adalah “pintu darurat” di dalam perkawinan. Poligami bukanlah jalan utama apalagi tujuan di dalam sebuah pernikahan. Rofiah juga sepakat dengan cendekiawan muslim Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Sunnah Monogami, beliau mengatakan bahwa sesungguhnya poligami adalah strategi meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi di mana nilai sosial seorang perempuan apalagi janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Islam membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami. Rofiah kemudian menutup kelas KAFFE VI ini dengan mengatakan bahwa surat An-Nisa: 3 yang seringkali dianggap sebagai justifikasi untuk melakukan poligami harus dipahami dari sisi yang lain (ayat monogami) sebagai bentuk pengakuan islam atas keberadaan dan kesetaraan untuk perempuan. Selain itu, kita dapat memahami tafsiran surat An-Nisa: 3 mengenai poligami ini sebagai bentuk sasaran sementara untuk menuju pernikahan monogami sebagai tujuan akhir, sebagaimana kita memaknai ayat-ayat perbudakan yang ada di dalam Alquran sebagai usaha Islam untuk menghapuskan perbudakan sebagai tujuan utamanya. (Naufaludin Ismail) ![]() Senin (22/5) Jurnal Perempuan menggelar Gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) bagi para SJP Papua di Jayapura. Acara yang berlangsung di kantor Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) ini selain diikuti oleh SJP juga dihadiri oleh mitra kerja YPKM dan diisi dengan sharing pengalaman pendampingan dan penguatan yang dilakukan oleh masing-masing pihak selama ini. Dokter Fitri Riadini yang sejak 2013 bertugas sebagai dokter kebidanan dan kandungan di Jayapura, mengungkap pada tahun 2006/2007 ditemukan 2 persen kasus HIV/AIDS pada populasi umum di Papua yakni pada ibu rumah tangga atau bukan kelompok berisiko tinggi. Situasi tersebut membuat Ria merasa terpanggil dan mendorongnya untuk melanjutkan studi mendalami bidang kebidanan dan kandungan. Ria menuturkan akses informasi dan layanan kesehatan sangat terbatas terutama pada masyarakat dengan pendidikan rendah, sehingga biasanya mama-mama datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk berbagai kasus, baik kesehatan reproduksi maupun kesehatan secara umum sudah dalam kondisi yang buruk, maka pelayanan kesehatan yang diberikan lebih bersifat kuratif, pengobatan dan rehabilitatif. Sementara seharusnya akses kesehatan dimulai dari tingkat promotif dan preventif. Untuk itu Ria mengajak rekan-rekan kerjanya di YPKM untuk meningkatkan layanan kesehatan yang bersifat preventif dan promotif agar akses tersebut dapat terbuka. Maka kemudian mereka mencoba melakukan pendekatan kelompok di gereja maupun di kampung-kampung. Masalah yang mereka hadapi sangat banyak, yakni terkait dengan aspek budaya, agama, kondisi geografis, dan pendidikan. Lebih lanjut Joiz Erlely dari YPKM menuturkan lembaganya mendampingi perempuan dengan HIV/AIDS, sebagian dari mereka putus sekolah dan 80 persennya berganti-ganti pasangan. Joiz menuturkan kadang perempuan yang ditawari untuk melakukan tes VCT (voluntary counseling and testing) merasa perlu untuk meminta izin pada suami terlebih dahulu dan bila suami tidak mengizinkan, maka perempuan tersebut batal melakukan VCT, dengan kata lain keputusan terkait kesehatan reproduksinya juga ditentukan oleh sang suami. Persoalan yang dihadapi dalam melakukan pendampingan adalah terdapat perempuan yang memiliki karakteristik mobilitas yang tinggi yang berpengaruh terhadap konsistensi dalam pemeriksaan dan pengobatan yang harus dilakukan secara terjadwal. Karena itu, Joiz menuturkan lembaganya berupaya untuk melibatkan keluarga pasien dalam proses pengobatan. Sementara untuk perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks, meskipun pihaknya selalu menganjurkan agar mereka meminta pelanggannya menggunakan kondom, tetapi hal tersebut tidak selalu dilakukan. Saat ini Joiz dan rekan-rekannya di YPKM berupaya untuk mengubah pola pikir kelompok dampingannya bahwa kesehatan merupakan hal yang penting, sehingga kesadaran untuk melakukan pengobatan ketika sakit datang dari diri sendiri, dan bukan karena ada dorongan dari LSM atau yang lainnya. Sementara itu, Mama Mientje Uduas dari KKW-Papua menuturkan di daerah dampingannya di wilayah di dekat perbatasan masyarakat masih sering menjodohkan anaknya meskipun usianya masih sangat muda dan paman punya peran untuk menentukan perkawinan, bukan orang tuanya. Selain itu di daerah tersebut masih terdapat kebiasaan yang tidak memperbolehkan perempuan melahirkan di rumah, mereka harus dibawa ke pinggir sungai dan melahirkan di sana seorang diri. Sementara itu, kekerasan dalam rumah tangga juga banyak terjadi yang salah satunya dipicu oleh minuman keras. Karena itu, Mama Mientje berupaya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang relasi gender yang setara. Anita Sihombing dari DPPPA-KB (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana) Provinsi Papua mengatakan pergantian kepala daerah akan berpengaruh terhadap perubahan regulasi dan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan melahirkan kebijakan yang campur aduk. Karena itu, menurutnya data sangatlah penting sehingga DPPPA-KB melakukan pendataan profil gender dengan data terpilah bekerja sama dengan BPS (Badan Pusat Statistik). Anita yang sebelumnya aktif di LP3A (Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Papua menuturkan kasus kekerasan berbasis gender di Papua cukup banyak, selain itu masih terdapat juga kebiasaan kawin tukar dan di sisi lain pengetahuan perempuan tentang organ dan kesehatan reproduksi sangat terbatas. Untuk itu upaya untuk mendorong adanya Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi) Perlindungan Perempuan dan Anak terus dilakukan dan tahun 2013 lahir peraturan daerah tersebut. Pertemuan sore itu diakhiri dengan komitmen dari masing-masing lembaga untuk melakukan pertemuan kembali tiga bulan mendatang guna menguatkan jaringan yang fokus pada isu kesehatan reproduksi. (Anita Dhewy) ![]() “Tubuh perempuan adalah milik perempuan, tubuh yang menjadi subjek bukan objek, tubuh yang bebas dari diskriminasi”, ungkap Gadis Arivia selaku Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan dalam acara Pendidikan Publik HKSR dan Kebijakan Pembangunan Senin 22 Mei 2017 di Ballroom Grand Abe Hotel, Jayapura. Gadis menuturkan bahwa persoalan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) bukanlah persoalan di ranah privat saja tapi juga menjadi persoalan di ruang publik sehingga perlu diintegerasikan dalam kebijakan nasional. "Kebijakan kesehatan nasional Indonesia belum berbasis pada hak dan kebutuhan kesehatan masyarakat terutama perempuan", ungkap Gadis. Menurutnya rahim perempuan yang sehat merupakan penanda masyarakat yang sehat begitu pun sebalikanya jika masyarakat penuh kekerasan berarti kekerasan terhadap perempuan akan terus terjadi. Pendidikan Publik HKSR dan Kebijakan Pembangunan merupakan kerjasama Jurnal Perempuan dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Cenderawasih dengan dukungan Ford Foundation. Acara yang dihadiri 180 peserta dari berbagai kalangan di Jayapura ini merupakan media untuk menyebarkan informasi terkait isu-isu hak dan kesehatan seksual dan reproduksi kepada perempuan papua dan seluruh stakeholder sekaligus peluncuruan JP 93 HKSR dan Kebijakan Pembangunan yang baru saja terbit. Pendidikan Publik ini dibuka oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Cenderawasih, Dr. Nomensen Steffan Mambraku. Acara ini menghadirkan Dr. Agnes (Pusat Studi Wanita Universitas Cenderawasih), Tahi Ganyang Butarbutar (Direktur Eksekutif Yayasan Pemerhati Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua) dan Fotarisman Zaluchu (Penulis JP 93 & Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU) sebagai pembicara dan Anita Dhewy (Pemred Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Agnes dari Pusat Studi Wanita Uncen memaparkan data hasil penelitian PSW dan data-data dari hasil penelitian dari UNDP terkait isu kekerasan terhadap perempuan di Papua. "Perempuan sepanjang hidupnya mengalami kekerasan terus menerus, entah itu kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun kekerasan ekonomi", ungkap Agnes dalam paparannya. Dari hasil penelitian ada sekitar 45% laki-laki yang melakukan kekerasan akan marah jika diminta pasangan untuk menggunakan kondom. Lebih dari 50% laki-laki menganggap bahwa kehamilan adalah tanggung jawab perempuan saja. Hasil kajiam ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara kekerasan dengan keputusan menggunakan alat kontrasepsi. Menurut Agnes masih banyak keluarga di Papua yang menolak program Keluarga Berencana (KB) karena dianggap akan menghentikan regenerasi masyarakat Papua. Padahal menurut Dr. Agnes program KB merupakan upaya untuk memastikan kesehatan reproduksi perempuan, memastikan bahwa jarak kehamilan harus diperhitungkan, memastikan bahwa keputusan memiliki anak adalah juga keputusan perempuan sebagai pemilik tubuh, memastikan bahwa sudah ada kesiapan mental, fisik dan ekonomi untuk memiliki anak. Menurut Agnes perlu ada sosialisasi terkait HKSR secara komprehensif termasuk soal program KB. Agnes mennyebutkan beberapa tantangan terkait isu kesehatan perempuan di Papua antara lain, 1) persoalan Seks dan reproduksi masih tabu dibicarakan, 2) Pemakaian alat kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan belum disadari oleh pasangan, 3) Masih ada budaya patriarki yang mengakar seperti relasi kuasa antara suami dan istri, persoalan budaya dan peran gender. Selanjutnya ialah paparan dari Tahi Ganyang Butarbutar (Direktur Eksekutif YPKM Papua). YPKM adalah organsasi yang melakukan penanganan HIV/Aids terhadap perempuan Papua. YPKM memiliki 5 lokasi pelayanan yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Nabire, Kabupaten Kepulauan Waropen. Tahi Ganyang Butarbutar menjelaskan bahwa prevalensi HIV/Aids di Papua tahun 2016 adalah 26.973 (angka ini merupakan angka kumulatif dari tahun ke tahun Dinas Kesehatan Provinsi Papua). Berdasarkan data Tahi menjelaskan bahwa penduduk yang tinggal di dataran rendah jauh lebih tahu cara mencegah HIV dibandingkan penduduk di dataran tinggi. Sedangkan soal pengetahuan HIV Komprehensif menurut Tahi jmlahnya masih sedikit sekali baik penduduk yang tinggal di dataran tinggi maupun yang tinggal di dataran rendah dengan akses baik maupun tidak. Berdasarkan data yang diapaparkan Direktur Eksekutif YPKM ini, selama tahun 2016 ada 480 orang yang melakukan VCT di 5 wilayah yaitu Wamena, Sentani, Nabire, Serui dan Jayapura, terdapat 249 orang perempuan yang melalukan VCT dan yang didampingi oleh YPKM sebanyak 44 orang perempuan. Kenapa perempuan dengan HIV/Aids di Papua tinggi? Menurut Direktur Eksekutif YPKM, ada persoalan berlapis yang harus dihadapi perempuan Papua yaitu persoalan Miras, adat, seks bebas, KDRT, narkotika dan tindak kriminal lainnya yang akhirnya kebanyakan perempuan dengan HIV/Aids adalah korban. Menurut Tahi perlu ada edukasi terhadap masyarakat khususnya perempuan agar berani mengatakan TIDAK pada pasangan jika sudah diketahui bahwa terinfeksi virus HIV/Aids. Lebih jauh Tahi menjelaskan bahwa budaya juga memengaruhi pengetahuan dan pandangan masyarakat lokal terkait kesehatannya. Di beberapa daerah misalnya, ada pandangan bahwa ganggungan keseimbangan fisik merupakan akibat dari roh jahat, santet, fui-fui dan sebagainya. Terkait persoalan perempuan dan HIV, Tahi mengakui bahwa akses perempuan terhadap layanan kesehatan masih terbatas dan laki-laki cenderung kurang mendukung perempuan ketika terinfeksi HIV. Setelah paparan dari Tahi Ganyang Butarbutar, selanjutnya ialah paparan dari Fotarisman Zaluchu yang tulisannya dimuat dalam JP 93 dengan judul “Kematian Ibu: Masihkah Perempuan Memiliki Hak Hidup? (Sebuah Sudi Kasus di Pulau Nias). Laki-laki yang juga seorang Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara ini menjelaskan isu kematian ibu di Nias dalam kacamata antropologi kesehatan. Ia mengungkapkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sangat tinggi, wilayah terluar Indonesia memiliki risiko paling tinggi AKI. Lebih jauh Fotarisman menjelaskan bahwa ada konsep 4T dan 3T yang menjadi faktor penyebab terjadinya kematian ibu. Konsep 4T ialah Terlalu muda, Terlalu Sering, Terlalu dekat, Terlalu tua, sedangkan 3T ialah Terlambat mengenali bahaya, Terlambat membawa, Terlambat mengambil keputusan. Fotarisman menjelaskan di Nias perempuan yang menikah sangat dihormati, dimuliakan, dihargai. Salah satu adat pernikahan di Nias yaitu adanya mahar yang sangat tinggi—dianggap sebagai bentuk menghargai perempuan, mahar dibayarkan dalam bentuk babi, yang kemudian kepala babi dan minuman yang disediakan saat pesat pernikahan dinikmati oleh tamu laki-laki. Dalam ritual pernikahan juga ada acara fotu yaitu ceramah untuk pengantin perempuan yang isinya adalah perintah agar istri patuh terhadap suami. Hal ini menurut Fotarisman menunjukkan bahwa budaya patriarki menjadi problem penindasan perempuan. Dalam ritual pernikahan perempuan seakan-akan diberikan kemuliaan dan dihargai, namun setelah menikah kebanyakan perempuan harus bekerja di ladang, hasil kerja mereka digunakan untuk membayar mahar pernikahan yang kebanyakan dari hasil berhutang. Setelah menikah peran gender ada dalam struktur keluarga bukan hanya antara suami dan istri tapi juga antara ibu mertua dan menantu. Peran gender direproduksi melalui peran sebagai ibu mertua yang bertugas mengantar dan mengawasi menantu untuk pergi ke ladang. “AKI di Nias sangat tinggi, proses bersalin yang umumnya dibantu oleh dukun desa sangat berisiko tinggi bagi hidup perempuan, proses bersalin tersebut mengandalkan kekuatan fisik”, ungkap Fotarisman. Ia menjelaskan bahwa proses bersalin mayoritas perempuan di Nias itu masih dibantu oleh dukun dan mengandalkan kekuatan fisik, meskipun ada beberapa Puskesmas di sana namun mayoritas perempuan tidak memilih dibantu oleh bidan desa karena aksesnya sulit. “Di Nias ada anggapan bahwa proses bersalin harus cepat-cepat dilakukan karena ketakutan akan roh jahat yang akan masuk dalam tubuh perempuan melalui rahim, setelah bersalin plasenta juga tidak boleh dipotong dan dibiarkan keluar sendiri”, tutur Fotarisman. Lebih jauh Fotarisman mengungkapkan kekecewaanya terhadap sistem kesehatan nasional yang membiarkan perempuan-perempuan di daerah terpencil menghadang nyawa sendirian karena tidak tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai. Ia juga mengungkapkan bahwa setelah menikah tubuh perempuan menjadi bukan milik perempuan lagi tapi menjadi milik lingkungan sosialnya, tubuh perempuan telah diambil alih karena peran gender yang tidak setara. Menurutnya persoalan mendasar dari tragedi kematian ibu disebabkan karena perempuan tidak menjadi subjek atas kesehatan reproduksinya sendiri. Setelah paparan dari ketiga pembicara, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan diskusi. Acara yang dihadiri oleh 180 orang peserta dari berbagai kalangan di Jayapura ini berlangusung interaktif, banyak pertanyaan yang dilontarkan. Salah satu tanggapan datang dari Imelda Baransano (Pekerja GKI) yang mengungkapkan bahwa perlu perhatian penting terkait kesehatan perempuan di Papua. Imelda pernah menulis tentang perempuan yang mengorek sampah saat malam hari untuk makanan babi namun belum ada respons dan tindak lanjut terkait fenomena tersebut dari pemerintah. Menurut Imelda, kesehatan perempuan belum menjadi prioritas, padahal jika perempuan tidak sehat maka keluarganya akan tidak sehat dan seterusnya yang kemudian menjadi siklus. Anita Dhewy selaku moderator menjelaskan bahwa persoalan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) haruslah menjadi perhatian bersama seluruh pihak lintas disiplin ilmu, khususnya di Papua. Anita mengungkapkan bahwa kerja-kerja untuk memberdayakan perempuan dan kesehatan perempuan masih panjang dan diskusi ini merupakan salah satu langkah strategis untuk bersama-sama mewujudkan status kesehatan perempuan Papua yang lebih baik. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() “Dalam analisis wacana kritis, kita harus menyadari bahwa ada problem bahasa, mengutip dari Mikhail Bakhtin bahwa ada probelm heteroglossia, multilanguagedness, seringkali kita menganggap dalam berbahasa hanya menggunakan satu bahasa, padahal sebenarnya tidak”, ungkap Ikhaputri Widiantini dalam kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan pada Jumat (21/04/2017) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Ikhaputri menjadi salah satu pembicara dalam Kaffe seri Analisis Wacana Kritis yang telah memasuki pertemuan keempat—yang merupakan pertemuan akhir kuliah Kaffe seri ini. Dalam pertemuan keempat ini, topik yang dibahas adalah Analisis Wacana Kritis dan Feminisme. Ikhaputri yang merupakan dosen Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya menjelaskan bahwa dalam mempelajari analisis wacana kritis penting untuk tahu bahwa ada persoalan yang mendasar yaitu pada bahasa, maka pada kuliah Kaffe ini Ikhaputri mendekati persoalan bahasa dalam analisis wacana kritis dengan pemikiran Julia kristeva tentang semiotika. Ikhaputri menjelaskan bahwa tidak semua problem gender itu berbicara khusus tentang problem feminisme, sebaliknya ketika berbicara problem feminisme memang akan ada isu gendernya tapi bisa jadi kita tidak melulu membahas isu gender tersebut, bisa saja isu gender tersebut dijadikan sebuah diskursus, sebuah teori besar. Maka pada proses itu kerap kali ada kebingungan untuk mempraktikan teori besar atau menurunkannya pada tataran praktis yaitu bahasa. Menurut Ikhaputri analisis wacana kritis ini dapat digunakan untuk memindahkan apa yang ada dalam teori ke wilayah praktis—yang bukan hanya pengalaman tapi juga pemahaman. “Dalam analisis wacana kritis pengalaman tidak cukup kuat untuk dijadikan alat analisis, melainkan harus adanya pemahaman juga. Misalnya pengalaman kekerasan seksual harus bisa dijadikan practice untuk memahami kekerasan seksual itu sendiri, ini poin penting penggunaan bahasa dalam analisis wacana kritis”, tutur Ikhaputri. Lebih jauh dosen Filsafat UI sekaligus pendiri Komunitas Ungu ini menjelaskan bahwa analisis wacana kritis feminisme digunakan untuk membongkar logika yang salah dalam masyarakat—logika patriarkal, yang kemudian melanggengkan mitos dan stereotipe gender melalui bahasa. Ikhaputri melanjutkan bahwa analisis wacana kritis feminisme berfokus pada transformasi sosial dan keadilan gender dengan membongkar problem gender dalam bahasa. “Berangkat dari analisa Mikhail Bakhtin, ternyata kita mempunyai multi makna dalam pembahasaan, sementara di wilayah bahasa yang patriarkal ada kecenderungan untuk menghilangkan multi makna tersebut”, tutur Ikhaputri. Ashley Graham seorang model yang biasanya dijuluki big size model/plus size model, yang kemudian menolak julukan tersebut dan mengungkapkan bahwa ingin disebut my size model, merupakan contoh yang diberikan Ikhaputri tentang bagaimana bahasa digunakan atau dimainkan dalam tataran praktis. Ikhaputri menjelaskan bahwa bahasa kerap kali dianggap hal kecil namun bisa jadi secara tidak sadar kita menggunakan bahasa yang diskriminatif dan tidak memberdayakan dalam kehidupan sehari-hari. Ikhaputri menjelaskan bahwa pada mulanya bahasa sebagai alat tidaklah bergender, namun ketika bahasa itu masuk dalam dunia maskulin dan misoginis, pada akhirnya bahasa berjenis kelamin. Pada beberapa bahasa kita dapat menemukan klasifikasi gender, misalnya bahasa Perancis, Spanyol, Rusia, Jerman. Mengutip Luce Irigaray, Ikhaputri menuturkan bahwa bahasa yang netral gender adalah bahasa yang paling berbahaya karena diam-diam menyimpan bias gender, contohnya adalah bahasa Indonesia. Misalnya banyak ungkapan yang bias seperti “wah dapet cewek baru, mau test drive dulu ya”, padahal menurut Ikhaputri konsep ‘test drive’ atau ‘mobil’ itu sendiri tidak ada jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan, namun karena bahasa tersebut netral gender, maka kerap kali bahasa lebih bias. Ikhaputri menjelaskan bahwa menurut Julia Kristeva perempuan sulit masuk dalam ruang publik karena ada problem bahasa. Perbedaan pengalaman antara perempuan dan laki-laki membuat perempuan tidak memiliki jembatan antara bahasanya, perempuan kerap kali tidak bisa menurunkan pengalamannya ke dalam wilayah practice/wilayah bahasa. Dalam bahasa semiotik karena tidak ada tanda per tanda maka tidak ada pembakuan, hal ini sejalan dengan apa yang disebut Bakhtin multilanguagedness, metafora setiap teks pasti memiliki multi makna. Bahasa dalam tataran simbolik memberikan makna singular sehingga menutup kemungkinan bagi perempuan untuk masuk dengan pemaknaan berbeda dalam proses pemaknaan masyarakat (publik). Norma, bahasa, pengetahuan masyarakat yang berada di ruang publik, membuat identitas perempuan tidak stabil dan terasing dari dirinya sendiri, ini yang disebut Kristeva sebagai chora—jarak sebelum masuk ke ruang publik. “Begitu banyak bahasa dan tanda yang ingin disampaikan oleh perempuan, tetapi tidak mungkin disampaikan karena norma simbolik belum membuat persetujuan dalam ruang publik”, tutur Ikhaputri. Lebih jauh Ikhaputri menjelaskan tentang semiotik chora dan penandaanya yaitu bahwa chora feminin perlu memberikan tanda, meninggalkan jejak sehingga bahasa yang beredar dalam ruang simbolik tahu dan memiliki referensinya. Bahasa simbolik adalah bahasa yang referensial sehingga chora feminin perlu meninggalkan jejak agar dapat ditarik sebagai penandaan dalam ruang simbolik. Contohnya adalah ketika perempuan marah kemudian dikaitkan dengan menstruasi, padahal tidak ada kaitannya kemarahan dengan siklus menstruasi perempuan, karena sesungguhnya pengalaman menstruasi tiap perempuan berbeda-beda dan hal ini gagal dipahami dalam ruang simbolik. Hal lainnya adalah ketika perempuan menstruasi, ia kerap kali menggunakan kata ‘dapet’ atau ‘M’, perempuan enggan menggunakan kata ‘menstruasi’ untuk merepresentasikan apa yang terjadi terhadapnya. Hal-hal seperti itu yang menurut Ikhaputri gagal dipahami dalam ruang simbolik. Keterputusan ruang semiotika dan publik pada akhirnya bukan hanya menjadi persoalan perempuan, karena sesungguhnya laki-laki juga kehilangan penandaannya demi diterima di ruang simbolik. Mantra menjadi salah satu contoh bahasa simbolik yang bekerja dalam ruang publik. Ikhaputri menuturkan bahwa dalam mantra subjek terlibat dalam bahasa dan hal ini bisa membuat hubungan yang erat antara bahasa dengan subjeknya sehingga terhindar dari keterasingan identitas simbolik. Hal ini tidak terjadi pada teks Undang-Undang atau kebijakan publik, yang sesungguhnya tidak melibatkan subjek di dalamnya—khususnya perempuan. Begitu juga pada interpretasi teks kitab suci yang kerap kali bias gender, menurut Ikhaputri penandaan dalam setiap ayat di kitab suci terletak pada kesejarahaanya, sehingga penting melihat asal usul turunnya ayat tersebut agar dapat menghadirkan keadilan gender. “Semiotika bisa menjadi salah satu pisau analisis wacana kritis feminisme”, ungkapnya. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Studi wacana kritis (critical discourse studies/CDS) merupakan suatu perspektif, suatu pengambilan posisi atau sikap di dalam disiplin studi wacana yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti analisis wacana, psikologi, sejarah, ilmu-ilmu sosial atau linguistik. Dengan pendekatan multidisiplin, maka studi wacana kritis berambisi mendemistifikasi ideologi dan kepentingan yang sudah dibekukan di dalam bahasa atau wacana. Pernyataan ini dipaparkan Haryatmoko saat menjelaskan gagasan Teun van Dijk tentang studi wacana kritis di kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) yang diselenggarakan Jurnal Perempuan, Kamis (20/4) di kantor Jurnal Perempuan. Haryatmoko menjelaskan van Dijk tidak menggunakan istilah analisis wacana kritis melainkan studi wacana kritis dengan penekanan pada pendekatan sosio-kognitif. Mirip dengan analisis wacana kritis dari pemikir lain, pada studi wacana kritis juga terdapat hubungan antara yang linguistik dengan yang makro, antara bahasa dengan ilmu-ilmu sosial yang lain. Teun van Dijk memilih istilah studi wacana kritis karena studi ini tidak hanya melibatkan analisis kritis, tetapi juga teori kritis dan penerapan-penerapannya yang kritis. Studi wacana kritis berupaya untuk mempelajari bagaimana wacana mereproduksi dominasi sosial, yaitu penyalahgunaan kekuasaan oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain, juga bagaimana kelompok yang didominasi melakukan perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan itu melalui wacana juga. Jadi studi wacana kritis berangkat dari premis bahwa bahasa bisa menghasilkan dominasi dan ketidakadilan untuk itu studi wacana kritis berupaya membongkar ketidakadilan tersebut. Dengan demikian, studi wacana kritis memihak pada korban. Lebih lanjut Haryatmoko memaparkan prinsip-prinsip dasar dalam melakukan analisis wacana dari van Dijk serta langkah-langkah untuk melakukan penelitian studi wacana kritis. Selain menjelaskan tentang studi wacana kritis dari van Dijk, kuliah malam itu juga diisi dengan pembahasan penerapan analisis wacana kritis pada film dengan mengupas film Lost in Translation. Peserta yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti mahasiswa, dosen dan praktisi media dipandu melakukan analisis wacana dengan mengikuti langkah-langkah yang ada. (Anita Dhewy) ![]() Senin, 17 April 2017, Perempuan Indonesia Anti Kekerasan melaporkan akun facebook DA ke Polda Metrojaya atas unggahan status DA pada tanggal 12 Maret 2017 yang menyuarakan seruan kebencian berupa pembenaran atas pembunuhan dan pemerkosaan apabila mendukung salah satu pasangan calon gubernur DKI Jakarta. Mereka beralasan status DA dianggap telah merendahkan martabat perempuan sebagai ciptaan Tuhan, bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, serta dapat berdampak pada pelabelan, stigma, diskriminasi, kekerasan dan kebencian terhadap perempuan. Perempuan Indonesia Anti Kekerasan berpandangan bahwa kasus ini adalah kasus sentimen politik terhadap salah satu calon pasangan gubernur DKI Jakarta. Mereka melaporkan kasus ini murni karena persoalan seruan pemerkosaan di muka umum yang dianggap telah melanggar hak asasi perempuan. Ada 29 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 173 individu dari berbagai latar belakang mendukung aksi pelaporan ini. LBH APIK dan LBH Jakarta berperan sebagai kuasa hukum untuk pelaporan kasus ini. Perempuan Indonesia Anti Kekerasan yang kemarin bertolak ke Polda Metrojaya, melaporkan DA dengan pasal 156 KUHP tentang ujaran kebencian di muka umum. Mereka sempat berdebat dengan aparat polisi terkait pasal tuduhan yang akan dipergunakan untuk menjerat DA. Kepolisian menganjurkan untuk menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjerat DA dalam kasus ini. Tetapi, Perempuan Indonesia Anti Kekerasan menolak menggunakan pasal dalam UU ITE karena dianggap pasal karet yang sering kali disalahgunakan. Helga Worotitjan, salah satu perwakilan Perempuan Indonesia Anti Kekerasan mengatakan bahwa pasal 156 KUHP lebih tepat digunakan untuk menjerat pelaku dalam kasus ini dibandingkan UU ITE yang kerap kali diselewengkan. “Kami bersikukuh untuk melaporkan DA dengan tuduhan pasal 156 KUHP karena UU ITE adalah pasal karet yang sering kali salah sasaran, bahkan banyak para kawan kami sesama aktivis sering kali dijerat dengan UU ITE ketika mereka menyatakan pendapatnya tentang ketidakadilan. Maka dari itu, kami akan tetap melaporkan kasus ini dengan tuduhan pasal 156 KUHP.” Perempuan Indonesia Anti Kekerasan telah menyelesaikan proses BAP (Berita Acara Pemeriksaan) di Polda Metrojaya kemarin dan mengajak semua lapisan masyarakat untuk tetap mengawal kasus ini agar pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. (Naufaludin Ismail) ![]() Jumat, 7 April 2017, kuliah Kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) V Jurnal Perempuan membincang mengenai “Analisis Wacana Kritis Dalam Politik”. Rocky Gerung mengampu kelas pada malam itu. Rocky membuka kelas dengan menjabarkan sedikit sejarah dan perbedaan mendasar mengenai Diskursus/Discourse dan Analisis Wacana Kritis (AWK)/Critical Discourse Analysis (CDA). Menurutnya diskursus tidak pernah netral, selalu ada kepentingan di baliknya, hal inilah yang dijadikan alasan para analis wacana kritis untuk mengajukan kecurigaan pada diskursus yang selama ini telah terjadi. Rocky menerangkan bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara Diskursus dengan AWK, yakni tentang pemaknaan bahasa dalam kehidupan. “Diskursus” sepakat dengan ahli linguistik yang menganggap bahwa bahasa adalah hal yang mengatur segala bentuk kegiatan manusia, sehingga bahasa adalah hal paling utama yang mendeterminasi kehidupan kita. Dalam diskursus, bahasa dianggap mendahului manusia dan karenanya kita terikat secara struktur dengan bahasa. Rocky memberikan analogi teka-teki silang (TTS) untuk menggambarkan bagaimana diskursus bekerja. Apabila ada sebuah TTS dengan petunjuk: Jurnal feminis terbaik di Asia Tenggara misalnya, dengan huruf akhir “N”, maka sudah pasti jawabannya adalah “Jurnal Perempuan”, tidak mungkin diisi dengan jawaban lain semisal “Zakir Naik” karena strukturnya memang sudah demikian, Zakir Naik berakhiran huruf “K” bukan huruf “N”. Hal ini sebenarnya menggambarkan bagaimana bahasa secara struktur dan grammar sangat membatasi ide-ide pembaruan yang mungkin ada namun tidak terlihat. Di sisi lain, AWK berusaha membongkar itu semua. Apabila mengaitkan kembali dengan analogi TTS di atas, maka cara kerja AWK adalah dengan mempertanyakan siapa yang membuat TTS tersebut dan apa tujuannya sehingga saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut? AWK bertujuan untuk mengungkap power atau kekuasaan yang ada di balik diskursus selama ini. AWK juga berfungsi sebagai alat untuk membongkar relasi kuasa yang mendukung sebuah diskursus sehingga tercipta sebuah ketidakadilan. Cara kerja AWK, apabila disederhanakan adalah dengan selalu mencurigai sistem bahasa dan skeptis terhadapnya. Sehingga, Rocky menyimpulkan setidaknya ada dua hal mengapa diskursus dapat menciptakan ketidakadilan apabila kita tidak menggunakan AWK sebagai pisau analisisnya. Pertama, diskursus selalu bergantung pada struktur bahasa dan grammar yang mengikat. Kedua, karena bahasa adalah sesuatu yang mengikat dan membatasi, maka membuat proses peradaban menjadi tidak adil dan inhuman. Diskursus sejatinya harus memasukkan autentisitas dari sebuah keadaaan, namun karena bahasa yang begitu mengikat, maka yang terjadi adalah sebuah ketidakadilan. Rocky berpendapat bahwa Ketidakadilan ini paling terasa dialami oleh perempuan. Feminisme adalah pisau analisis yang paling tajam untuk menganalisis ketidakadilan yang terjadi pada perempuan dari aspek manapun, entah politik, ekonomi, pendidikan, sistem kelas, dan lain sebagainya. Titik tolak keberatan feminisme terhadap diskursus menurut Rocky adalah dikarenakan beban kultur yang sudah terlanjur patriarkis sehingga menyebabkan perempuan mengalami standar ganda dalam kehidupan. Titik tolak kritik selanjutnya dari feminisme terhadap diskursus adalah mengenai struktur bahasa yang sangat maskulin sehingga selalu menguntungkan laki-laki. Oleh karena itu tidak heran bila ada upaya akademis dari para pemikir feminis untuk mengubah sistem bahasa yang patriarkis, seperti yang dilakukan Helene Cixous, Julia Kristeva dan Luce Irigaray, atau pemberontakan seperti yang dilakukan bell hooks yang menolak untuk menuliskan namanya dengan huruf kapital karena ia anggap bahwa huruf kapital adalah simbol superioritas maskulin dan patriarki. Rocky mencontohkan diskursus yang mendiskriminasi perempuan pada aspek kehidupan dunia kejiwaan. Seorang perempuan yang gagap, cemas dan bingung di ruang publik, akan dianggap mengalami penyakit kejiwaan delirium oleh masyarakat. Sebetulnya, bisa jadi perempuan ini selama hidupnya terjebak dalam diskursus yang menwajibkan ia menjadi seorang yang pasif di ruang publik. Dengan demikian, AWK dalam kacamata feminis adalah sebuah upaya untuk mencapai emansipasi dan reegalitarisasi. Lebih lanjut Rocky menjelaskan bahwa diskursus sifatnya selalu melanggengkan kekuasaan, ada sistem hierarki, dan menjadikan bahasa sebagai institusi yang secara ketat membatasi ide-ide baru. Diskursus selalu kaku dan baku sehingga tidak memberikan ruang untuk analisis lain pada suatu ide. Ia mencontohkan diskursus tentang ginjal di dunia kedokteran yang didefinisikan sebagai organ tubuh semata yang berfungsi untuk mengatur salah satu sistem ekskresi manusia. Dunia kedokteran tidak akan melihat ginjal sebagai sesuatu yang menunjukkan sisi manusiawi seorang manusia seperti apakah ginjal tersebut milik seorang laki-laki atau perempuan dengan keadaan tertentu. Rocky juga mencontohkan diskursus politik yang dibuat oleh pemerintah suatu negara dalam mengampanyekan suatu program, seperti program ajakan pemerintah Singapura kepada warga negaranya untuk mempunyai anak, dengan sebuah infografis yang menunjukkan berbagai keuntungan yang akan didapatkan oleh warga negara Singapura apabila memiliki anak (lihat di sini). Dari infografis tersebut dapat terlihat animasi seorang ayah yang menggendong bayinya, hal ini mungkin untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa masalah maternitas adalah persoalan laki-laki juga sehingga ada peran fatherhood di situ, ia sekaligus ingin mengatakan bahwa kesetaraan gender sudah tercipta dalam masyarakat Singapura. Rocky memberikan analisisnya terhadap kampanye pemerintah Singapura ini. Menurutnya, dengan AWK kita bisa melihat sisi lain yang diinginkan pemerintah Singapura dari program ini. Pertama, Rocky berpendapat bahwa negara sebetulnya takut untuk memberikan asuransi kepada kelompok lansia karena dianggap tidak produktif, sehingga memilih untuk menyubsidi anak yang baru lahir agar bisa produktif nantinya dan menghasilkan pajak bagi negara. Kedua, sebetulnya program ajakan untuk memiliki anak dari pemerintah Singapura ini ada nuansa rasisme di dalamnya. Secara logis, apabila ingin menambah penduduk dari suatu negara, cara yang paling efektif adalah dengan mendatangkan imigran ke negara tersebut, tetapi pemerintah Singapura memilih untuk mengampanyekan untuk tidak takut memiliki anak di Singapura. Analisis yang ketiga dari Rocky adalah mengenai permasalahan kelas. Menurut Rocky, program pemerintah Singapura ini sejujurnya ditujukan kepada kaum kelas menengah ke atas dikarenakan kaum kelas bawah akan sulit mendapatkan akses kesehatan yang layak dan terjangkau di Singapura. Analisis terakhir yang dikemukakan Rocky terhadap kampanye ini adalah betapa sebenarnya diskursus mengenai ajakan memiliki anak dari pemerintah Singapura ini diskriminatif terhadap kelompok LGBT, karena pemerintah Singapura tidak memberikan akses kepada kelompok LGBT untuk mempunyai anak dalam kampanyenya (Heteronormatif). Rocky mengatakan bahwa AWK dapat digunakan sebagai pisau analisis diskursus apapun termasuk sastra ataupun mitos yang memberikan ketidakadilan pada struktur peradaban kita. Ia kembali mencontohkan bahwa selama ini kita terkurung dalam pemahaman bahwa dalam kasus Pandawa vs Kurawa, kita akan selalu menganggap bahwa Pandawa adalah pihak yang baik dan suci tanpa kita pernah menganalisisnya lebih jauh terhadap cerita tersebut. Contoh lain adalah mengenai mitos Medusa yang dianggap sebagai perempuan yang dikutuk dan dianggap monster oleh masyarakat Athena pada waktu itu karena bercinta dengan Poseidon sang dewa lautan. Analisisnya kemudian menunjukkan bahwa sebenarnya Medusa diperkosa oleh Poseidon, lalu dijatuhi hukuman dengan dikutuk karena sistem masyarakat yang patriarkis dan selalu menyalahkan perempuan. Tetapi, dari kisah Medusa pula kita bisa mengambil kesimpulan bahwa harapan akan selalu ada ketika sebuah kepedihan melanda. Hal ini terlihat dari mitos Medusa yang menceritakan bahwa setelah Medusa mati dan kepalanya dipenggal oleh Perseus, dari tetesan darahnya muncul makhluk mitologi lain bernama Pegasus. Dari berbagai contoh analisis di atas dengan menggunakan AWK terhadap berbagai jenis diskursus, sesungguhnya tujuan utama AWK adalah untuk membongkar rezim politik yang selalu diuntungkan oleh diskursus karena didukung sistem bahasa yang kaku sekaligus patriarkis. AWK adalah sebuah pisau analisis yang sangat dekat dengan penelitinya karena ia terlibat langsung dengan output yang dihasilkan dari kritiknya sekaligus melibatkan subjek peneliti untuk menyuarakan Audacity of Hopes. AWK juga membatasi subjek peneliti untuk tidak jatuh sebagai seorang fatalis ataupun nihilis, serta AWK berfungsi untuk membatasi bahasa agar tidak menjadi institusi tunggal yang menjadikan sistem peradaban menjadi kaku dan terbatas pada ide-ide baru sekaligus menciptakan hierarki. AWK dan feminisme selalu tune in untuk membahas ketidakadilan dan menyuarakan emansipasi. AWK dalam perspektif feminis digunakan untuk membongkar dan menghancurkan sistem bahasa yang maskulin dan patriarkis—atau sering disebut sebagai Phallogosentrisme atau Logos Spermatikos—sehingga menimbulkan banyak ketidakadilan terhadap perempuan seperti membanalkan dan membenarkan pemerkosaan terhadap perempuan. Rocky menutup kelas malam itu dengan sebuah kesimpulan bahwa AWK/CDA adalah wake up call untuk melihat permasalahan ketidakadilan, meningkatkan kewaspadaan kita pada potensi krisis dan pembalikan keadaan politik yang mungkin terjadi, sekaligus menimbulkan reaksi positif akan adanya Politics of Hope. (Naufaludin Ismail) ![]() Kamis, 6 April 2017, kuliah pertama KAFFE (Kajian Filsafat dan Feminisme) 5 berlangsung di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. KAFFE 5 membahas mengenai Analisis Wacana Kritis (AWK). Kuliah ini diikuti oleh 30 peserta dengan latar belakang yang beragam, seperti mahasiswa, dosen, pekerja sosial, konsultan, penulis, dll. Pertemuan pertama KAFFE 5 diampu oleh Dr. Haryatmoko, pengajar di Universitas Sanata Dharma, Departemen Filsafat (FIB UI), Pascasarjana Komunikasi (FISIP UI), UGM, UNAIR,UNIBRAW, dan PTIK. Ia telah menghasilkan berbagai buah pikiran yang tertuang dalam buku dan yang baru diterbitkan berjudul Critical Discourse Analysis. Pembahasan AWK dalam buku Critical Discourse Analysis inilah yang menjadi dasar perkuliahan pertama KAFFE 5. Haryamoko membuka kuliah KAFFE dengan memaparkan sejarah singkat AWK. Menurutnya, metode Analisis Wacana Kritis merupakan metode baru dalam penelitian ilmu sosial budaya. Pada tahun 1991 beberapa tokoh seperti Van Dijk, Fairclough, G. Kress, Van Leeuwen dan Wodak mengadakan pertemuan, dan momen tersebut dianggap sebagai peresmian metode AWK sebagai metode penelitian dalam ilmu sosial dan budaya. Para pionir AWK ini merumuskan tiga postulat. Pertama, semua pendekatan harus berorientasi pada masalah sosial dengan pendekatan lintas ilmu, setidaknya dibutuhkan pemahaman mengenai teori linguistik dan teori sosial untuk menggunakan metode AWK, kedua, tujuan utama dari AWK adalah demistifikasi ideologi dan ketiga, reflektif dalam penelitian. Lebih lanjut Haryatmoko menjelaskan bahwa ada empat langkah metode AWK Fairclough. Pertama, fokus pada ketidakberesan sosial dalam aspek semiotiknya. Ketidakberesan sosial bisa berupa kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, prasangka negatif, dan kurangnya kebebasan. Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk menangani ketidakberesan sosial itu. Ketiga, mempertimbangkan apakah tatanan sosial itu membutuhkan ketidakberesan sosial tersebut. Keempat, mengidentifikasi cara-cara yang mungkin untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Ada perbedaan mendasar antara AWK dengan Analisis Wacana, ungkap Haryatmoko. Dalam analisis wacana (objektif), peneliti harus mengambil jarak, hubungan dengan teks bersifat objektif, dan peneliti tidak melibatkan diri. Sedangkan dalam AWK, peneliti telah menentukan posisi, berpihak dan membongkar ketidakberesan sosial. Karakteristik AWK ini mendapat pengaruh dari Pemikiran Kritis (Mazhab Frankfurt). Tokoh-tokoh Pemikirian Kritis seperti Gramsci, Althusser, Bakhtin, Foucault dan Bourdieu memberikan banyak sumbangan penting terhadap metode AWK. Gramsci, menyumbangkan gagasan penting mengenai hegemoni dalam AWK. Hegemoni Gramsci menunjukkan bahwa kekerasan tidak terjadi secara koersi melainkan melalui budaya, dalam hal ini adalah bahasa. Althusser, dalam pengembangan AWK menunjukkan bahwa ideologi bukanlah sesuatu yang abstrak melainkan bagian dari kegiatan konkret atau praksis sosial. Bakhtin, menyumbangkan gagasan bahwa tanda-tanda linguistik merupakan materi ideologi. Foucault, melihat bahwa wacana bukan sekadar kata, tapi praksis sosial. Bourdieu, menjelaskan bahwa bahasa adalah instrumen kekuasaan atau yang disebut sebagai doxa. Doxa adalah kebenaran partikular yang diberlakukan sebagai kebenaran universal. Hal ini menjadi pintu masuk kekerasan simbolik. Haryatmoko menyatakan bahwa kekerasan simbolis adalah kekerasan yang korbannya menyetujui menjadi korban. Kekerasan simbolis menjadi pintu masuk kekerasan psikis dan fisik. Haryatmoko menjelaskan bahwa kekerasan simbolis ini menjadi penting untuk dikenali agar kita dapat mencegah dan memutus mata rantai kekerasan. Ia mencontohkan tentang kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga. Menurut Haryatmoko, kekerasan fisik di dalam rumah tangga bermula dari penerimaan terhadap kekerasan simbolik lewat bahasa, simbol dan representasi. Karena itu upaya melawan kekerasan harus dilakukan sejak di tataran simbolik dengan membongkar wacana, simbol dan representasinya. Dari perspektif AWK, bahasa sudah mengandung ideologi, membawa kepentingan dan merupakan instrumen kekuasaan. Bahasa tidaklah netral, untuk itu perlu dilakukan demistifikasi ideologi dan kekuasaan, ungkap Harytmoko. AWK menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi melainkan bagian dari strategi kekuasaan. Oleh karena itu, dibutuhkanlah pembongkaran hubungan antara bahasa dan ideologi dengan cara menunjukkan pemaknaan bahasa di dalam hubungan kekuasaan dan hubungan sosial. Dimensi moral dan politik pada metode AWK menghasilkan cita-cita akan perubahan sosial dan politik. Yang menarik dari AWK adalah metode ini telah menunjukkan posisinya yang berpihak pada korban dan mereka yang membutuhkan perubahan sosial. (Abby Gina) ![]() “Kami tidak anti pembangunan, kami tidak anti semen, kami tidak anti industrialisasi, pemerintah harus berhati-hati dalam pembangunan dan memikirkan implikasinya dalam jangka panjang, kasus Kendeng adalah salah satu satu dari banyaknya kasus pembangunan yang hanya menjadikan amdal dokumen teknis saja”, tutur Suraya Afif, Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia pada Konferensi Pers Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari di Gedung Rektorat UI Salemba, Rabu (3/4/2017). Konferensi Pers ini merupakan bentuk seruan moral dari para akademisi yang mendukung gerakan petani Kendeng untuk mempertahankan tanah dan ruang hidupnya dari kerusakan ekologi akibat adanya pabrik semen. Dalam konferensi pers ini turut hadir sebagai pembicara yaitu Mia Siscawati, PhD (Universitas Indonesia), Dr. Satyawan Sunito (Institut Pertanian Bogor), Dr. Herlambang Wiratraman (Universitas Airlangga), Prof. Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia), Syukron Salam, M.H (Universitas Negeri Semarang), dan Suraya Afif, PhD (Universitas Indonesia). Para akademisi tersebut tergabung dalam Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari yang menyerukan bahwa penting untuk mengembalikan kedaulatan ruang hidup dan ekologi rakyat Kendeng Utara. Dalam rilisnya, mereka mendesak pemerintah untuk tidak mengabaikan manusia dan ruang hidupnya dalam setiap proses pembangunan. Hal ini ditegaskan kembali oleh Suraya Afif bahwa pemerintah dan ilmuwan perlu belajar dari masa lalu, seperti kasus Lapindo misalnya. Menurutnya jika pembangunan tidak berkualitas maka akan merugikan banyak pihak. Suraya mengungkapkan bahwa akademisi memiliki peran penting dalam proses pembangunan untuk itu seruan moral ini hadir sebagai kritik terhadap pembangunan pabrik semen di Rembang yang sejak awal sudah melanggar prinsip-prinsip pembangunan dan tidak memerhatikan kelangsungan hidup masyarakat dan ekologi Kendeng Utara. Tentang Pembangkangan Hukum Dr. Herlambang dalam konferensi pers ini turut mengemukakan pendapatnya tentang proses hukum yang telah ditempuh masyarakat Kendeng. Menurutnya masyarakat di wilayah Pegunungan Kendeng telah menempuh jalur hukum yang diakui secara sah oleh sistem kenegaraan Indonesia, yaitu melalui jalur peradilan. Berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No.99/PK/TUN/2016, dosen Universitas Airlangga ini mengungkapkan bahwa sudah jelas rakyat telah menang dan fakta-fakta lapangan jelas menunjukkan bahwa penambangan akan merusak ekologi Pegunungan Kendeng. Namun Herlambang menyayangkan, meskipun rakyat telah menempuh jalur peradilan hingga level Mahkamah Agung, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo tidak menghargai putusan tersebut. “Padahal dengan jelas putusan tersebut mencabut mandat bukan merevisi, tetapi malah dipelintir bahwa putusan MA tersebut adalah adendum sehingga perlu ada perbaikan dokumen amdal dan lain-lain”, ungkap Herlambang. Ia menegaskan kembali bahwa putusan MA dengan jelas membatalkan izin pabrik semen di Rembang sehingga ini harus dipahami oleh Ganjar Pronowo—yang setelah adanya putusan MA mengeluarkan izin baru terhadap pabrik semen di Rembang. Herlambang yakin bahwa masyarakat telah menggunakan cara-cara yang benar, mulai dari jalur hukum di level daerah hingga pusat, mulai dari membangun tenda di depan pabrik Semen Indonesia Rembang hingga Istana Presiden Jakarta, mulai dari dari aksi long march hingga cor kaki. Menurutnya masyarakat bukan hanya berjuang untuk diri mereka sendiri namun untuk kedaulatan pangan Indonesia dan saatnya para akademisi keluar dari tembok universitas untuk bersama-sama melihat hal ini bukan lagi pada tataran teoritis tapi praksis. “Kebijakan itu harus didasari oleh landasan hukum yang jelas, putusan MA itu jelas bahwa izin pabrik semen di Rembang dibatalkan, Ganjar harusnya memahami dan menghargai putusan tersebut”, tutur Syukron Salam menyambung apa yang dipaparkan Dr. Herlambang sebelumnya. Syukron merupakan akademisi yang selama ini terlibat langsung dalam proses advokasi untuk masyarakat Kendeng. Ia mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik, maka semestinya para pendidik dapat melihat secara jernih persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah pegunungan Kendeng. Ia menjelaskan bahwa ada 2 hal penting yang dapat dilihat secara dekat oleh para akademisi dan masyarakat umum, pertama adalah tentang pembangunan yang melibatkan sumber daya alam yang seharusnya mengindahkan sisi-sisi ekologis, kedua adalah tentang pembangkangan hukum yang dilakukan Guberbur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang menerbitkan izin baru untuk pabrik semen di Rembang pasca putusan MA. Kedua hal tersebut menurut Syukron perlu dilihat secara kritis oleh para akademisi. Kendeng Lebih dari Sebuah Gunung Berbicara Pegunungan Kendeng, berarti kita juga sedang membicarakan Pulau Jawa. Faktanya Pegunungan Kendeng merupakan bentang karst yang berfungsi sebagai penyimpanan air utama, jika terjadi kerusakan karst sukar untuk diperbarui karena karst adalah bentukan alam sejak 470 juta tahun yang lalu. Rusaknya karst berarti juga rusaknya ruang hidup dan ekologi bukan hanya di sekitar pegunungan Kendeng namun di Pulau Jawa. Berdasarkan rilis yang dikeluarkan Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari disebutkan bahwa Pulau Jawa memiliki luasan karst paling kecil di Indonesia dan kondisi hutannya kini kritis. Dengan luas hutan dan karst yang semakin mengecil membuat Pulau Jawa rentan terhadap bencana alam seperti banjir, longsor, abrasi, kekeringan, dll. Melemahnya daya dukung ekologis Pulau Jawa adalah juga karena tekanan dari maraknya pertambangan batu gamping dan bahan baku semen terhadap kawasan karst. “Sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sudah ada penelitian yang menyebutkan bahwa ekosistem Jawa sudah mengalami krisis”, jelas Dr. Satyawan Sunito. Sebagai dosen di mata kuliah ekologi sosial, Dr. Satyawan mengungkapkan bahwa pembangunan di tulang-tulang pulau Jawa seperti di pantai utara dan selatan Jawa telah menunjukkan secara jelas kepada kita bahwa dampaknya sangat luas. Kerusakan pesisir Jawa akibat kawasan industri dan pembongkaran hutan-hutan mangrove membuat perubahan sosial dan ekologi yang signifikan. Menurutnya hal ini disebabkan oleh pembangunan yang tidak terencana dan tertata dengan baik sehingga berakibat pada pemiskinan petani-petani kecil, hilangnya lahan-lahan pertanian, dan hilangnya ruang hidup masyarakat. Dr. Satyawan menyayangkan pemerintah yang hanya mempromosikan keberlanjutan pertanian dan kedaulatan pangan di saat event tentang pertanian saja. Namun di saat event pembangunan hal-hal tersebut dilupakan begitu saja. Kita tahu bahwa sebelum adanya amdal, cekungan ait tanah (CAT) Watuputih telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, hal ini dikhianati oleh para akademisi dan praktisi yang menyusun amdal pabrik semen. Pembangunan infrastruktur memang harus dilakukan, Indonesia sebenarnya ketinggalan, seharusnya pembangunan infrastruktur sudah sejak 40 tahun yang lalu. Namun industri ekstraktif harus dilakukan dengan bijaksana, tata kelola pembangunan di Jawa harus memerhatikan manusia dan lingkungan. Jika Dr. Satyawan melihat Kendeng sebagai sebuah kesatuan ekologi pulau Jawa, Prof. Sulistyowati Irianto, seorang antropolog, mengajak kita untuk melihat Kendeng bukan hanya sebagai sebuah Karst tapi sebagai manusia dan budaya. Prof. Sulis mengungapkan bahwa penting bagi para akademisi dari lintas disiplin ilmu untuk bersatu mendukung perjuangan masyarakat Kendeng dan melihat persoalan ini dengan kejujuran akademik. Menurut Sulis dari perspektif kebudayaan yang berfokus pada manusia, ada sistem pengetahuan dan sistem hukum adat dalam peristiwa penolakan pabrik semen di Pegunungan kendeng. Kedua sistem tersebut lahir dari relasi sosial dan kesejarahan masyarakat di lokasi setempat. Sulis menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sistem pengetahuan adalah adanya pengetahuan masyarakat lokal tentang relasi manusia dengan alam semesta, dengan sang khalik, dengan ibu Bumi, yang kemudian secara turun-temurun pengetahuan lokal ini diwariskan dan membuat mereka terus merawat bumi. Kedua yaitu tentang sistem hukum adat yang lahir karena kebutuhan untuk mengatur tata hubungan antar warga, hukum adat ini menurut Sulis mengatur apa yang dianggap boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga demi kelangsungan hidup bersama. Prinsip dalam hukum adat terkait sumber daya alam pada masyarakat pertanian adalah "tanah hilang, kami punah". Maka dengan adanya pabrik semen di Pegunungan Kendeng, sama artinya dengan mencerabut mereka dari ruang hidupnya, yang berarti meniadakan mereka. Dengan hadirnya pabrik semen, mereka bukan hanya kehilangan ruang hidup, tapi juga terpapar oleh partikel semen yang akan merusak tanah, sumber air, tanaman, dan kesehatan mereka. Tentang Perempuan Dalam perspektif feminis pembangunan pabrik semen tidak bisa dilihat sebagai sebuah proyek pembangunan semata, tetapi pembangunan pabrik semen adalah hasil dari paradigma pembangunan yang buta gender. Menurut Mia Siscawati proses pembangunan yang tidak menjadikan manusia dan alam sebagai subjek utamanya akan mengabaikan ruang hidup dan dampak pembangunan terhadap manusia dan ekologi. Lebih jauh, Mia menjelaskan tentang perkebunan sawit di Kalimantan Barat yang berdampak pada ekologi dan sosial budaya. Tidak hanya itu, Mia memaparkan bahwa perkebunan sawit merusak tanah dengan menggunakan pestisida dan bahan kimia, dampaknya kemiskinan terjadi dan itu berwajah perempuan. Oleh karena perampasan ruang hidup tersebut, perempuan dan anak menjadi korban perdagangan manusia, angka HIV/AIDS tinggi, terjadi krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan. Pembangunan yang tidak menjadikan manusia dan alam sebagai subjek akan mengakibatkan krisis lingkungan, krisis ekologi, krisis kemanusiaan, yang kesemuanya berwajah perempuan. Paradigma pembangunan yang tidak menjadikan manusia dan alam sebagai subjek utama menurut Mia Siscawati akan berimplikasi bukan hanya pada kerusakan alam tapi juga ketidakadilan gender. Menurutnya Indonesia harus belajar dari proyek pembangunan masa lalu—yang jelas telah memerkosa alam—dengan memberikan perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan serta dampaknya pada perempuan dan anak. Ulasan Mia Siscawati di atas, sejalan dengan filosafi Ibu Bumi yang menjadi landasan masyarakat adat Sedulur Sikep dalam berjuang mempertahankan sumber daya alam, kedaulatan pangan dan keberlangsungan hidup manusia. Dalam perlawanan masyarakat Kendeng menolak pabrik semen bisa dilihat wajah-wajah perempuan, para ibu, para perempuan petani yang hadir untuk membela ruang hidupnya yang terancam rusak akibat hadirnya pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Kehadiran Kartini Kendeng dalam perjuangan pemertahanan ekologi bukan sesuatu yang apolitis, tentu ini merupakan bentuk gerakan perempuan yang menyadari bahwa ada kedekatan spiritual dan fungsional antara Bumi sebagai pemberi kehidupan dengan perempuan. Tanah dan air menjadi aspek penting bagi kehidupan perempuan, tanah adalah tempat dimana ia menanam makanan dan air adalah kebutuhan dalam pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD) tahun 1994 di Kairo, isu Sexual and Reproductive Health and Rights Program (SRHR)/Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dimasukkan sebagai salah satu bagian dari indikator pembangunan, sehingga sudah seharusnya Nawacita Presiden Joko Widodo tentang reforma agraria juga memasukkan dimensi gender. (Andi Misbahul Pratiwi) Catatan: Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari terbuka untuk para akademisi/peneliti yang ingin bergabung mendukung pemertahanan ekologi pegunungan Kendeng. Narahubung: Mia Siscawati (081317546550). |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |