![]() Rabu, 6 Desember 2017 di UNAIR (Universitas Airlangga), Surabaya, Jurnal Perempuan mengadakan kegiatan Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan. Dalam kesempatan tersebut Prof. Dr. Emy Susanti, MA, dosen Sosiologi FISIP UNAIR, menjadi salah satu narasumber. Prof. Emy membuka pembahasannya dengan memaparkan bahwa kegiatan kenelayanan adalah pemanenan makanan liar terbesar di dunia. Namun demikian kesadaran masyarakat atas realitas tersebut masih amat rendah. Prof. Emy menambahkan bahwa profesi nelayan memiliki arti penting bagi dunia karena puluhan juta orang di seluruh dunia hidup dan bergelut sebagai nelayan, khususnya di Asia. Menurut Emy, ada persoalan pembagian kerja berdasarkan gender dalam pembahasan kenelayanan dan perikanan. Hingga saat ini, menangkap ikan di perairan pesisir dan laut dipandang sebagai wilayah kerja laki-laki. Pekerjaan ini juga membawa risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang tinggi sehingga dipandang tidak sesuai untuk perempuan. Pada praktiknya perempuan di rumah tangga nelayan turut melakukan berbagai pekerjaan penting di sektor perikanan. Namun perannya dianggap sebagai peran ‘informal’ sehingga kerja-kerja ini jarang mendapat gaji atau upah. Menurut Emy, ketiadaan perlindungan kerja pada nelayan perempuan juga adalah implikasi lain dari anggapan bahwa kerja perempuan adalah kerja informal. Emy mengungkapkan bahwa secara tradisional perempuan dianggap memiliki peran yang amat penting dalam dalam perikanan skala kecil dan industri, khususnya pada proses pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Pada praktiknya, dalam dunia nelayan ada juga perempuan yang terlibat menangkap ikan, memiliki perahu sendiri, bahkan telah banyak pula yang menjadi pengusaha ikan perikanan. Artinya, perempuan sesungguhnya terlibat dalam seluruh proses kenelayanan. Menurut Emy, memaknai kerja perempuan sebagai kerja “membantu” adalah salah satu sebab mengapa kerja-kerja perempuan dalam kenelayanan dipandang tidak memiliki nilai ekonomis. Emy menyebutkan beberapa persoalan yang kerap menimpa perempuan nelayan yaitu: nilai pekerjaannya dinggap tidak ada atau undervalued, nilai kerjanya dilihat sebagai perpanjangan ruang domestik, keterbatasan data dalam menarasikan multidimensionalitas kerja perempuan nelayan. Dalam presentasinya Emy memaparkan bahwa studi-studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa perempuan pedagang ikan menjadi kelompok termiskin dalam rantai pengolahan dan penjualan. Diskriminasi gender menyebabkan nilai rendah dilekatkan pada pekerjaan perempuan. Perempuan dianggap sebagai mahluk domestik, semua keterampilannya didapat secara alamiah dan tidak diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan. Anggapan semacam inilah membuat kerja perempuan menjadi tidak bernilai. Pemaknaan yang bersifat reduktif ini membatasi perempuan untuk mengakses berbagai kesempatan seperti akses terhadap kredit, teknologi pengolahan, fasilitas penyimpanan dan pelatihan. Tanpa teknologi penyimpanan misalnya, perempuan menjadi sulit untuk mempertahankan ikan segar, dan dapat menderita kerugian pasca panen yang cukup besar. Emy menyampaikan bahwa pembahasan mengenai perempuan nelayan bertujuan untuk menghasilkan sebuah perubahan. Kaum akademisi dapat memberi masukan dalam pembuatan kebijakan. Kaum akademisi perlu melakukan antisipasi pada tahap kebijakan. Prof. Emy lebih lanjut berpendapat bahwa untuk memastikan pengarus utamaan gender dalam dunia kenelayanan ada beberapa aspek yang harus diperhatikan. Pertama, aspek ‘pemberdayaan perempuan’ harus dijadikan sebagai indikator dalam menilai kontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan, mulai dari skala kecil sampai dengan skala besar. Kedua, penting pula untuk memberikan perhatian dan memasukkan isu gender untuk pengembangan akuakultur, dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam pelatihan manajemen, produksi benih dan kewirausahaan. Ketiga perlu ada peningkatkan rasio laki-laki dan perempuan yang dilatih atau berpartisipasi dalam pengembangan kapasitas dalam penelitian dan manajemen perikanan. Keempat, penting untuk mempertimbangkan dan memasukkan isu gender dalam kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat nelayan dan terakhir data ketimpangan gender dan peran perempuan dalam komunitas nelayan harus dijadikan sebagai dasar kebijakan untuk komunitas nelayan dan budidaya perairan. Prof. Emy menekankan pentingnya perspektif feminisme untuk memahami sisi multidimensi dari kerja perempuan. Kerja perempuan harus dipahami dari dua dimensi yaitu kerja produksi dan reproduksi. Dengan pendekatan tersebutlah kerja perempuan nelayan dapat dikenali, diakui dan dihargai. (Abby Gina). ![]() Rabu, 6 Desember 2017, Jurnal Perempuan menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan bekerjasama dengan Program Studi Magister Sosiologi Universitas Airlangga dan Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Seluruh Indonesia (ASWGI) didukung oleh Ford Foundation. Abby Gina, Redaksi Jurnal Perempuan adalah salah satu pembicara dalam Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan yang diadakan di Gedung Adi Sukadana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Dalam kesempatan tersebut Abby yang juga merupakan salah satu penulis JP 95 memaparkan hasil penelitian yang dilakukan bersama Gadis Arivia tentang status perempuan petambak udang di Bumi Dipasena Lampung. Penelitian tersebut menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam. Responden penelitian tersebut adalah perempuan petambak Bumi Dipasena yang tergabung dalam Bareta Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). "Dipasena merupakan tambak udang terbesar di Indonesia, dibalik kesuksesan produksi udang di Bumi Dipasena, ada peran besar para perempuan petambak perempuan", tutur Abby Gina. Menurut hasil temuannya, perempuan petambak terlibat dalam seluruh proses petambakan namun kerja-kerja mereka masih dianggap sebagai kerja domestik. Menurut Abby, dengan tidak diakuinya kerja produksi perempuan petambak artinya pembangunan nasional tidak mengakomodasi kepentingan perempuan. Abby menceritakan bahwa akses jalan menuju Bumi Dipasena sangatlah buruk, meskipun Bumi Dipasena memiliki sejarah sebagai tambak udang terbesar se-Asia Tenggara, sehingga perempuan di sana harus menempuh perjalanan yang panjang untuk bisa mengakses rumah sakit. Salah satu informan dalam penelitian tersebut bahkan harus mengangkat rahimnya karena harus menempuh perjalanan darat selama 8 jam dengan kondisi jalan yang sangat buruk saat hendak melahirkan. Selain tidak adanya pengakuan terhadap kerja-kerja perempuan petambak, infrastruktur juga menjadi persoalan bagi perempuan petambak di Bumi Dipasena. Abby menjelaskan bahwa manusia memiliki hak untuk kehidupan dan penghidupan yang layak. Dalam pendekatan kapabilitas manusia yang digagas Nussbaum, manusia diandaikan memiliki kapasitas untuk melakukan sesuatu dan menjadi sesuatu, namun dalam praktiknya manusia tidak memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi dalam dirinya. Lebih jauh 10 kategori kapabilitas yang ditawarkan Nussbaum yaitu, 1) Kehidupan, 2) Kesehatan tubuh, 3) Integritas tubuh, 4) Pancaindra, imaginasi dan pemikiran, 5) Emosi, 6) Kemampuan berpikir etis, 7) Afiliasi, 8) Makhluk hidup lainnya, 9) Bermain, 10) Mengendalikan lingkungan sendiri. Merujuk pada pendekatan kapabilitas manusia yang ditawarkan oleh Nussbaum, kehidupan yang layak adalah saat seseorang memiliki kesempatan untuk menentukan pilihannya. Buruknya infrastruktur di Bumi Dipasena diartikan sebagai menjauhkan manusia dari aksesnya terhadap kapabilitas dan keadilan. Manusia menjadi sulit atau tidak bisa menjalankan fungsinya untuk bertindak dan untuk menjadi. "Apabila seseorang melakukan sesuatu karena ketiadaan pilihan itu berarti orang tersebut belum memiliki kapabilitas", tutur Abby. Lebih jauh Abby menguraikan bahwa perempuan petambak di Dipasena tidak diberi akses terhadap layanan kesehatan yang layak oleh negara, bahkan tak jarang perempuan petambak melakukan sterilisasi karena situasi yang memaksa. Abby menjelaskan bahwa sebelum menjadi tambak udang dengan model mandiri seperti saat ini, Bumi Dipasena awalnya dikelola dengan model inti-plasma. Dalam skema inti-plasma, infrastruktur Bumi Dipasena amatlah baik, namun setelah putus hubungan dengan perusahaan, seluruh fasilitas dicabut. Jalan-jalan rusak berat, fasilitas kesehatan minim, listrik dan air bersih menjadi langka. Pada kasus di Bumi Dipasena, perempuan menjadi kelompok yang paling rentan dalam menghadapi realitas tersebut. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan bahwa perempuan petambak perempuan di Bumi Dipasena menginginkan rekognisi atas kerja mereka. Mereka ingin menjadi bagian dari organisasi Persatuan Petambak Pengusaha Udang Wilayah Lampung (P3UW) namun cara pandang masyarakat yang bias menyingkirkan mereka dari partisipasi di ruang publik. Perempuan petambak udang di Bumi Dipasena juga ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan organisasi P3UW dan diakui identitasnya sebagai petambak dalam Kartu Tanda Penduduk. "Dengan tidak diterimanya perempuan petambak sebagai anggota P3UW dan tidak diakuinya mereka sebagai petambak maka sesungguhnya masyarakat dan negara telah mengabaikan kapabilitas afiliasi perempuan petambak", tegas Abby. Menurut Abby, pembangunan idealnya menyoal kehidupan manusia, pembangunan seharusnya memastikan bahwa manusia dapat berkontribusi dan berkembang secara maksimal dalam masyarakat, pembangunan juga harus menjamin kemartabatan manusia. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Senin, 4 Desember 2017 bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan ketiga Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) 9: Berpikir Kritis berlangsung dengan penuh antusias dari peserta yang datang langsung maupun daring. Pertemuan ketiga KAFFE 9 ini membahas topik tentang logika sebagai validitas argumen. Rocky mengawali kelas dengan mengajukan pertanyaan bagaimana menyatakan sebuah argumentasi yang logis ketika sedang melakukan diskursus publik. Secara sederhana Rocky menjelaskan bahwa hal utama dan pertama yang harus dilakukan seseorang sebelum berargumentasi adalah menjernihkan konsep atau kerangka berpikir terlebih dahulu. Rocky kemudian menyatakan bahwa konsep adalah mata uang yang sah di dalam berargumentasi maka, konsep harus bersih dari segala prasangka, konvensi dan yang paling penting adalah terbebas dari logical fallacies (kesesatan berpikir). Selain menjernihkan konsep, hal lain yang menurut Rocky perlu diperhatikan ketika kita sedang berargumentasi adalah dengan memvalidasi argumen tersebut. Rocky menjelaskan terdapat tiga teori kebenaran untuk menguji validitas sebuah argumen. Teori kebenaran pertama adalah korespondensi, dalam teori kebenaran korespondensi, sebuah pernyataan atau argumen dinyatakan valid atau benar jika argumen atau pernyataan itu memiliki fakta empiris yang bisa kita saksikan dengan panca indra kita. Teori kedua adalah teori koherensi, dalam teori kebenaran koherensi, untuk mengatakan sebuah argumen valid atau tidak adalah dengan melihat pernyataan atau argumen itu memiliki kesesuaian antara satu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui dan diterima secara inheren di dalam cara berpikir logis. Teori kebenaran yang ketiga adalah teori kebenaran pragmatik. Di dalam teori kebenaran pragmatik, sebuah pernyataan atau argumen dianggap valid apabila argumen atau pernyataan tersebut diukur dengan kriteria apakah pernyataan atau argumen tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan dan argumen adalah benar, jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Ketiga teori kebenaran ini harus dijadikan landasan berpikir ketika kita berargumen. Perihal lain yang tidak boleh dilupakan ketika kita berargumen adalah dengan membedakan narasi deskripsi dan eksplanasi. Menurut Rocky, ketika kita mendeskripsikan sesuatu, kita tidak bisa memberikan pernyataan tesis dari sebuah narasi yang kita ucapkan, sedangkan ketika melakukan eksplanasi terhadap sebuah hal berarti kita melihat keterkaitan antara variabel dengan lingkungan pendukungnya sekaligus menguji variabel tersebut sehingga menjadikannya sebuah eksplanasi. Rocky mencontohkan bagaimana cara kita mendeskripsikan dan menjelaskan sebuah spidol. Mendeskripsikan spidol berarti hanya mengutarakan warna spidolnya, bentuk fisik spidolnya, posisi spidolnya di mana, dan lain sebagainya. Tetapi, ketika kita memberikan eksplanasi tentang spidol, kita melihat apa kegunaan spidol tersebut, siapa yang menggunakan spidol tersebut, bagaimana rantai produksi spidol tersebut, siapa yang membuatnya dan lain sebagainya. Pembedaan antara deskripsi dan eksplanasi ini menjadi penting dalam berargumentasi agar kita tidak salah sasaran dalam menjelaskan persoalan yang terkait di dalam perdebatan argumen tersebut. Persoalan terakhir yang tak kalah penting untuk diperhatikan ketika kita berargumen adalah dengan membedakan term abstraksi dan universal. Abstraksi menurut Rocky berarti melucuti segala identitas dan atribut yang melekat pada suatu hal hingga ia menjadi konsep yang paling fundamental. Sedang yang disebut dengan universal, adalah menambahkan segala bentuk atribut dan kategori pada suatu hal. Rocky mencontohkan abstraksi dari seorang yang bernama Hasan misalnya adalah being. Sedangkan Hasan menjadi universal apabila dilekatkan dengan segala identitas, kategori dan atribut seperti Hasan yang seorang dokter menjadi Hasan yang seorang dokter ahli bedah dan seterusnya sebebas kita menambahkan variabel pada hal yang kita argumentasikan. Pembedaan ini menjadi penting agar kita tak lagi awam dalam beragumentasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan validitasnya secara logis. (Naufaludin Ismail) ![]() Kamis, 30 November 2017 bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan kedua Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) 9: Berpikir Kritis berlangsung dengan penuh semangat dari peserta yang datang langsung maupun daring. Pertemuan kedua KAFFE 9 ini membahas topik tentang membedakan pengetahuan dan opini. Rocky membuka kelas dengan penjelasan singkat mengenai fakta. Menurut Rocky, pengetahuan adalah sesuatu yang koheren, permanen dan stabil secara konsep atau dalam bahasa Inggris disebut unchangeable. Sedangkan opini dapat berubah-ubah setiap waktu dan bersifat temporer. Rocky merujuk pada kisah Plato untuk melihat asal muasal dari pembedaan pengetahuan dan opini. Menurut filsafat Plato, segala sesuatu yang kita lihat secara indrawi bukanlah sesuatu yang nyata karena bisa dirasakan secara berbeda-beda oleh setiap orang. Plato lebih menekankan pada hal-hal yang ideal untuk mencapai kebenaran pengetahuan. Berangkat dari sejarah filsafat ini, pengetahuan menurut Rocky dimaksudkan sebagai obsesi manusia untuk tidak terjebak pada opini yang seringkali menyesatkan. Rocky kemudian menjelaskan lebih mendalam mengenai perbedaan antara pengetahuan dan opini berdasarkan filsafat Plato yang menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan modern saat ini. Menurut Rocky, pengetahuan selalu berkaitan dengan abstraksi sedangkan opini melekat dengan persepsi. Rocky kemudian mencontohkan bagaimana kita selalu menyebutkan berbagai jenis kursi seperti kursi hitam, kursi taman, kursi yang berkaki empat, kursi yang terbuat dari kayu dan lain sebagainya, hal ini adalah cara kita mengopinikan sesuatu. Sedangkan “kursi” adalah hasil abstraksi yang sebenarnya dari berbagai jenis kursi yang kita sebutkan tadi dan itulah yang disebut sebagai pengetahuan. Dari pembedaan antara opini dan pengetahuan, kita sudah bisa menebak bahwa pengetahuan menjadi salah satu hal yang fundamental untuk melatih diri agar berpikir kritis. Kita sering berpikir tidak kritis karena kita dipimpin oleh believe (rasa percaya) dan bukan reasoning (cara berpikir logis). Rocky menjelaskan ada beberapa metode yang bisa kita gunakan untuk mendapatkan pengetahuan yaitu, verifikasi, falsifikasi, dan dialektika. Metode verifikasi menghasilkan pengetahuan karena dapat dibuktikan kebenarannya oleh panca indra serta menghendaki adanya bukti empiris terhadap suatu hal atau hipotesis sebelum ia dijustifikasi sebagai pengetahuan. Verifikasi menggunakan metode induktif untuk mendapatkan pengetahuan sehingga pengetahuan yang dihasilkan adalah hasil generalisasi dari fakta yang ditemukan dalam beberapa sampel. Berbeda dengan verifikasi, metode falsifikasi berangkat dari asumsi bahwa sesuatu dianggap sebagai pengetahuan yang stabil jika ia bisa dipersalahkan atau disanggah. Falsifikasi diperkenalkan oleh Popper dengan maksud untuk menjauhkan pengetahuan dari doktrin yang sifatnya memang tidak bisa disanggah. Pengetahuan haruslah bisa diperbarui seiring dengan ditemukannya fakta terbaru atas pengetahuan yang telah kita percayai sehingga ia tidak menjadi doktrin. Metode Dialektika dipergunakan untuk mendapatkan pengetahuannya dari proses Tesis-> Antitesis-> Sintesis. Antitesis sebenarnya sudah terkandung dalam tesis yang kemudian menguji dirinya sendiri melalui kontranya. Dialektika bertujuan untuk mengembangkan proses bernalar yang dinamis untuk memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen-argumen yang kontradiktif di dalam dirinya sendiri sehingga dicapai pengetahuan yang rasional. Rocky mengemukakan ketiga metode ini sangat penting digunakan agar kita bisa mendapatkan bekal pengetahuan untuk dapat berpikir kritis dengan jernih. Ketika kita dapat membedakan antara opini dan pengetahuan, maka kita memiliki tambahan alat tempur untuk menjadi lebih kritis. Berpikir kritis menurut Rocky juga berfungsi untuk membawa kita pada lokus persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar kita. Berpikir kritis dengan berdasarkan fakta dan pengetahuan bahkan sangat berpengaruh dalam upaya pembuatan kebijakan publik yang adil bagi semua warga negara. (Naufaludin Ismail) ![]() Senin, 27 November 2017 bertempat di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan, kelas perdana Kaffe 9 diselenggarakan. KAFFE 9 mengangkat tema “Berpikir Kritis” dengan menghadirkan Rocky Gerung sebagai narasumber. Jurnal Perempuan melalui kelas KAFFE mengangkat tema ini dalam upaya untuk memulihkan akal sehat publik yang akhir-akhir ini sulit dijumpai. Kelangkaan akal sehat publik dapat dengan mudah ditemukan pada media sosial. Media sosial idealnya menjadi sumber berkembangnya ilmu pengetahuan, namun kenyataan yang kita jumpai justru kebalikannya. Hari-hari ini media sosial malah menjadi tempat berkembangnya kebencian, provokasi dan segala bentuk ketidakadilan. Realitas ini mau tidak mau mengantarkan kita pada pertanyaan tentang keberlangsungan demokrasi. Berpikir kritis ternyata bukan sekadar urusan akademis, tetapi ia beririsan langsung dengan kehidupan politik, kehidupan bernegara. Absennya kritisisme berkontribusi pada fenomena pengerasan ideologi, karena sentimen dan bias kognisi beredar dalam media. Banalitas adalah endemi yang tidak hanya menjangkiti masyarakat secara luas, tapi juga menjangkiti percakapan akademis. Menurut Rocky, masyarakat saat ini cenderung abai pada substansi dan berfokus pada sensasi. Saat ini momen berpikir kritis adalah sebuah kelangkaan, sehingga penting dilakukan upaya-upaya untuk mengaktifkan kapasitas kritis manusia. Mengaktifkan pikiran kritis artinya mempertanyakan apa yang terjadi. Menurut Rocky bernalar yang keliru (logical fallacy) adalah hal yang perlu diperhatikan dalam memproduksi pikiran kritis. Bernalar yang keliru pertama-tama terjadi karena alur pikiran yang tidak sesuai dengan pakem logika, namun selain itu bernalar yang keliru juga dapat terjadi karena gangguan kognisi pada mental seseorang. Rocky mengungkapkan bahwa gangguan kognisi bisa terjadi karena nalar tidak lagi dipimpin oleh pikiran melainkan oleh keinginan. Dengan kata lain, logika tidak lagi beroperasi dan bias kognisi telah mendominasi. Rocky menyatakan bahwa logika dan kontrol terhadap bias kognisi adalah hal yang dapat dipelajari, namun ada situasi di mana seseorang malas untuk mengambil risiko dan mengambil jalan pintas pada believe. Artinya, seseorang tidak lagi mengandalkan penalaran tetapi memilih untuk melandaskan argumennya pada fundamen-fundamen tertentu seperti metafisik, teologis dan kultural. Menurut Rocky, setidaknya ada 3 hal yang harus selalu diwaspadai dalam memastikan aktivitas berpikir kritis yaitu: bernalar yang keliru, bias kognisi dan fanatisme terhadap nilai. Kritik adalah hal yang esensial dalam menjamin keberlangsungan momen berpikir kritis. “Berpikir kritis artinya mengurai dan menganalisis berbagai macam problem, menganalisis artinya melakukan kritik,” ungkap Rocky. Kritik adalah hal yang penting dalam upaya melakukan analisis, namun seringnya orang berfokus pada solusi. Kritik yang tanpa menghasilkan solusi dianggap sebagai kesia-siaan. Padahal menurut Rocky solusi bukanlah esensi dari kritik. Melakukan kritik artinya kita sedang menjalankan fungsi primer sebagai manusia. Berpikir kritis artinya bercakap dalam ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik. Ironisnya, hari-hari ini orang mengidap resistensi terhadap kritik. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya pembangunan. Rocky mengungkapkan bahwa makna demokrasi adalah menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat dan mempertanggungjawabkannya kembali pada rakyat. Dengan demikian, kritik seharusnya dipahami sebagai upaya untuk melakukan evaluasi terhadap mandat demokrasi itu sendiri. Kritik melekat dalam demokrasi. Rocky mengungkapkan bahwa demokrasi hanya dapat diaktifkan dengan melakukan kritik, sehingga menolak kritik dalam upaya menghidupi demokrasi adalah bentuk inkonsistensi dalam penalaran. Menolak kritik artinya menolak demokrasi. Saat ini kita dihadapkan pada sebuah kondisi di mana terjadi ketidakcukupan dalam melakukan kritik atas sebuah persoalan. Sebuah kondisi di mana masyarakat cenderung cepat beraksi daripada terlebih dahulu melakukan refleksi. Rocky menyatakan bahwa kritik haruslah tiba pada lapisan terakhir sebuah persoalan dan mampu melihat yang tidak terpikirkan. Kritik adalah sarana pembebasan, karena hanya melaluinya masyarakat dapat keluar dari wilayah doktrinasi. (Abby Gina) ![]() Lahirnya sebuah film tak sekadar sebagai perwujudan gagasan sang film maker, namun menjadi medium kontemplasi diri. Baik bagi sang sutradara itu sendiri, juga bagaimana menggugah kita, yang duduk di hadapan layar. Khususnya dengan mengangkat hal-hal sederhana yang lekat dengan keseharian kita. Salah satunya dapat langsung dirasakan ketika menonton "Kisah di Hari Minggu" (2017), sebuah film pendek garapan Adi Marsono, sutradara asal Yogyakarta. Lewat film pendek berdurasi 8 menit ini, penonton diajak berhenti dan merenung akan apa yang luput atau kadang tak kita sadari dalam kehidupan sehari-hari. Film ini sendiri berkisah tentang seorang istri sekaligus ibu dari dua orang anak yang sedang melakukan pekerjaan domestik sehari-hari sebagai seorang ibu rumah tangga. Mempersiapkan anak berangkat ke sekolah, mempersiapkan sarapan, sementara suaminya masih tidur seakan tidak peduli kesibukan istrinya. Saat istri meminta suami untuk mengantar anak ke sekolah, namun sang suami tetap melanjutkan tidurnya. Hal ini membuat istri marah, mengguyur suaminya yang masih tidur dengan air, lalu memutuskan mengantar anaknya ke sekolah sendiri. Hingga kemudian pulang, dan menyadari bahwa itu adalah hari minggu. Di satu sisi, pekerjaan yang sifatnya repetitif, termasuk urusan domestik rumah tangga tanpa disadari bisa membuat orang lupa akan waktu. Seperti apa yang tampil di film tersebut. Di sisi lain, mengingatkan kita bahwa pekerjaan, bukan hanya yang dilakukan di luar rumah dan menghasilkan uang seperti yang dominan dilakoni seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Bahwa sesungguhnya seorang ibu di rumah juga bekerja. Namun berbeda dengan bekerja pada umumnya, yang menghasilkan uang, pekerjaan domestik rumah tangga tak mengenal hari, termasuk hari Minggu yang kerap dijadikan hari rehat bagi kaum pekerja. Sebuah penutup yang sesungguhnya memiliki makna mendalam di film ini, ketika sang suami memutuskan membantu istrinya mencuci piring. Hal ini pun berangkat dari apa yang dirasakan Adi Marsono sendiri. Menurutnya seseorang dinilai bekerja jika menghasilkan uang. Sementara pekerjaan lain, khususnya urusan domestik yang dilakoni oleh para perempuan yang mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga, belum mendapatkan respect serupa. Sebuah paradigma yang lahir dan tumbuh sejak lama dalam konstruksi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. "Selama ini saya dan mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia, menganggap bahwa bekerja adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan gaji. Sebaliknya, jika tidak mendapatkan gaji itu bukan bekerja," kata Adi. Hal ini yang kemudian membentuk ketidaksetaraan rasa hormat bahkan dalam sebuah keluarga. Sebuah problematik di tataran sosial masyarakat Indonesia hingga hari ini. Yang juga tak dipungkiri dirasakan langsung oleh Adi di masa mudanya. "Dari pola pikir itu, waktu kecil, saya lebih hormat pada ayah saya. Kalau tidak hormat saya tidak dapat uang jajan, karena dia yang mencari uang. Sementara dengan Ibu saya justru lebih berani. Ini yang kemudian saya sadari hari ini, padahal banyak perempuan Indonesua mengerjakan pekerjaan domestik yang tak kalah beratnya, tapi kurang dihormati," tambahnya. Film ini sendiri tampil sederhana, se-sederhana apa yang ingin dituturkan. Tak banyak dialog yang dihadirkan. Lebih pada percakapan tubuh dalam melakoni aktivitas sehari-hari dalam sebuah rumah. Hal ini yang kemudian membuat film ini mudah diterima karena menjadi sesuatu yang tak asing bagi yang penonton. Ditonton Secara Utuh Tak hanya "Kisah di Hari Minggu", beberapa film pendek lainnya yang dikemas dalam sebuah program bertajuk "Are We There Yet?" dalam 3rd Minikino Film Week yang ditayangkan di Fame Hotel, Sunset Road, Kuta Kamis (12/10) juga menghadirkan berbagai persoalan diri yang dekat dan mungkin pernah dialami oleh penontonnya. Layover (Trevor Zhou, 2017), Unravelling The Ocean's Veil (Sob o Véu da Vida Oceânica/2017), Transit (Aline Helmcke), Doug and Walter (Aline Helmcke, 2016), Backstory (Joschka Laukeninks, 2016), Speaking of Love (Christian Heinbockel, 2017) dan ditutup oleh Kisah di Hari Minggu atau Sunday Story (Adi Marsono, 2017). Satu dengan yang lain hadir dengan kemasan gaya dan narasi yang berbeda. Ada yang hadir dengan komedi satir, romansa, kesendirian dan berbagai rasa dalam perjalanan kehidupan. Namun memiliki satu kesamaan rasa ketika menonton mereka semua (film, red.) secara utuh dalam durasi total 78 menit. Waktu yang memang tidak sebentar bahkan hampir seperti menonton satu buah film panjang atau features. Pemilihan film, menurut Fransiska Prihadi, Program Director 3rd Minikino Film Week, pun dilakukan sedemikian rupa mana yang akan ditaruh di awal sebagai pembuka, tengah hingga yang menjadi penutup dengan mempertimbangkan mood dan grafik emosi orang yang akan menonton film tersebut. (Cisilia Agustina) ![]() Jumat, 6 Oktober 2017, di pertemuan ke-4 KAFFE tentang Ekofeminisme, Rocky Gerung berbicara mengenai etika lingkungan. Ia membuka kelas dengan melemparkan sebuah pernyataan, “Etika artinya keharusan, normativitas yang basisnya adalah argumen. Sesuatu disebut mempunyai masalah etis bila ia menuntut justifikasi rasional terhadap suatu problem”. Sebuah persoalan dikatakan sebagai persoalan etis bukan karena dia berkait dengan keyakinan atau kebiasaan, tetapi karena adanya susunan pikiran untuk mengatifkan argumentasi. Etika selalu berupa konfrontasi argumen. Etika lingkungan dianggap sebagai a new kind of ethic. Etika pada awalnya berfokus hanya pada persoalan kemanusiaan, tapi seiring perkembangan etika, terjadi pergeseran perspektif. Cara pandang antroposentrisme bergerak menjadi biosentrisme dan kemudian menjadi ekosentrisme. Dulu subjek etika terbatas pada manusia, tapi sekarang kita mengenali hak hewan, hak tumbuhan, hak sungai, hak gunung dan sebagainya. Dasar etika lingkungan adalah memberikan dasar argumen mengapa hal-hal ini memiliki hak. Etika lingkungan menyediakan fondasi rasional tentang status moral suatu hal. Rocky menyatakan bahwa ekofeminisme menuntut keterlibatan yang berasal dari pengalaman atau situated knowledge. Artinya, seorang ekofeminis haruslah membangun argumen berdasarkan pengalaman yang down to earth. Menjadi seorang ekofeminis, tambah Rocky, artinya pernah memiliki pengalaman ketidakadilan (dalam kaitannya dengan alam), pengalaman tersebut membekas dan membentuk sistem pengetahuan bagi diri. Rocky mengingatkan bahwa kita harus selalu awas untuk memeriksa nilai yang terselubung di balik sebuah tindakan yang mengatasnamakan perjuangan lingkungan. Penting untuk memeriksa, apa landasan perjuangannya. Apakah karena tren? Kepentingan ekonomi atau sebuah perjuangan dalam upaya mempertahankan dan merayakan kemartabatan? Kekuatan dan konsistensi sebuah perjuangan akan bergantung pada titik pijaknya. Etika tidaklah beku, ia berevolusi. Menurut Rocky salah satu penyebab eksploitasi terhadap alam adalah aspek teologis yang menyerukan pesan tentang penguasaan atas alam demi kemakmuran manusia. Artinya secara hierarki posisi manusia berada di atas alam, bagi Rocky gagasan semacam itu saat ini tidak relevan—tidak beradab. Perubahan paradigma dari yang antroposentris ke ekologisentris memiliki dampak radikal. Ia berdampak pada subjek hukum. Terdampak dari paradigma antroposentris, subjek hukum selama ini eksklusif pada manusia, namun seiring dengan perubahan paradigma dari yang antroposentris ke ekosentris, subjek hukum pun mengalami perluasan. Dulu subjek hukum terbatas pada manusia, saat ini hukum berupaya mengakomodasi yang bukan manusia. Rocky memberikan sebuah ilustrasi bahwa pohon memiliki hak untuk membela diri, untuk mempertahankan eksistensinya melalui pengampunya (baca: masyarakat adat). Hal ini senada dengan kesejarahan perempuan dalam hukum. Dulu perempuan bukan subjek hukum karena ia tak memiliki hak bicara, namun feminisme mengubah status tersebut. Perempuan yang semula unspeakable menjadi unstoppable. Menurut Rocky tentu perubahan tersebut menghasilkan sejumlah konsekuensi dan kontroversi, namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa telah hadir new kind of ethic. Feminisme adalah penyokong bagi seluruh perjuangan kelompok marginal. Feminisme mengambil sebuah inisiatif untuk menghasilkan sebuah egalitarianisme model baru. Di dalam etika feminis yang disebut ethic of care lahir konsep baru mengenai keadilan. Dulu keadilan hanya berfokus pada ethic of rights, saat ini feminisme memperluas gagasan tersebut. Keadilan berfokus pada ethic of care, karena kita mengalami persoalan disparitas, hierarki dsb. Gagasan feminisme juga berdampak pada perubahan paradigma lingkungan. Ekofeminisme yang disponsori oleh feminisme menghasilkan gagasan mengenai hak-hak alam. Ekofeminisme menurut Rocky harus berdiri pada standpoint. Menjadi seorang ekofeminis artinya mengambil risiko untuk bertentangan dengan politik makro, untuk itu dibutuhkan konsistensi dalam perjuangan ekofeminisme. Standpoint ekofeminisme adalah situated knowledge. Bagi ekofeminisme, argumen memperjuangkan lingkungan adalah karena pengalaman penderitaan yang dihasilkan oleh ketiadaan perlindungan terhadap lingkungan. Ini artinya pengalaman hidup menghasilkan sebuah pengetahuan baru. Ada autentisitas di dalamnya. Namun demikian, ekofeminisme standpoint memiliki kelemahan secara akademis yakni ia mudah jatuh ke dalam esensialisme yang meyakini bahwa yang cocok dengan alam hanyalah perempuan, anggapan bahwa biologi perempuan memang secara kodrati telah tune in dengan alam, konsekuensinya adalah ethic of care eksklusif milik perempuan dan laki-laki tidak menjadi bagian di dalamnya. Menurut Rocky, bisa jadi kerangka pikir demikian jatuh pada kerangka patriarki. Sebuah anggapan bahwa hanya perempuan yang mampu membaca alam, hanya perempuan yang mampu memproduksi ethic of care. Jebakan ini harus dihindari agar kita tidak menjadi seorang ekofeminis yang menikmati arogansi patriarki. Menjadi ekofeminis artinya memiliki sikap etis yang basisnya adalah new kind of justice. (Abby Gina) ![]() Sabtu, 30 September 2017 berlangsung acara gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) sekaligus pisah sambut Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan yang baru, Atnike Sigiro. Acara dimulai dengan sambutan dari Livia Iskandar selaku pemilik rumah tempat berlangsungnya gathering dan pisah-sambut direktur eksekutif Jurnal Perempuan yang baru. Acara dilanjutkan dengan sambutan dari Mariana Amiruddin, perwakilan dari Dewan Redaksi Jurnal Perempuan yang menyampaikan harapannya agar Jurnal Perempuan terus maju karena eksistensi bukan hanya milik SJP, tetapi juga milik seluruh masyarakat agar Indonesia semakin maju lewat bacaan dari Jurnal Perempuan. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan singkat dari Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy mengenai hal-hal yang telah Jurnal Perempuan lakukan selama tahun 2017 ini, termasuk kegiatan KAFFE, terbitan YJP Press, dan penjelasan Sistem Open Journal System (OJS) lalu dilanjutkan dengan perkembangan jumlah SJP terkini. Acara dilanjutkan dengan mendengarkan masukan dari para SJP untuk kemajuan Jurnal Perempuan. Masukan pertama untuk Jurnal Perempuan disampaikan oleh Faiqoh (Peneliti di Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama), ia menginginkan agar Jurnal Perempuan bisa menyentuh sampai level akar rumput agar perubahan kesetaraan gender bisa terasa sampai ke kalangan yang paling bawah. Hal kedua yang menjadi harapan Faiqoh adalah agar Jurnal Perempuan bisa mengambil peran dalam pengambilan keputusan kebijakan publik untuk perempuan agar nantinya Jurnal Perempuan bisa manjadi agen perubahan untuk perempuan Indonesia. Masukan kedua disampaikan oleh Atashendartini Habsjah (Wakil Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Nasional), beliau menyampaikan masukannya kepada Jurnal Perempuan agar bisa memberikan pendidikan feminis kepada guru-guru di Indonesia karena guru adalah ujung tombak perubahan untuk generasi muda. Masukan kedua dari Atas adalah agar Jurnal Perempuan memberikan pendidikan feminis kepada anak laki-laki juga karena peran laki-laki dibutuhkan di dalam perjuangan kesetaraan gender. Masukan terakhir disampaikan oleh Sjamsiah Ahmad (Aktivis Senior Pergerakan Perempuan dan Ketua Pengurus Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik), beliau menyampaikan masukannya terkait sikap misoginis publik yang menganggap bahwa perempuan yang membaca Jurnal Perempuan adalah hal yang salah padahal, menurut beliau Jurnal perempuan mempunyai peran yang penting untuk kesetaraan gender di Indonesia. Sebagai acara puncak, Gadis Arivia memberikan refleksi kritis atas perjuangannya selama 21 tahun mendirikan Jurnal Perempuan sekaligus mengenalkan Atnike sebagai Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan yang baru. Gadis menceritakan bahwa kepergiannya bukan berarti ia berhenti menyuarakan keadilan untuk perempuan di Indonesia. Ia merasa sudah waktunya Jurnal Perempuan untuk melakukan regenerasi kepemimpinan agar semangat feminisme bisa terus berkobar pada generasi berikutnya. Atnike sebagai Direktur Eksekutif baru Jurnal Perempuan merasa terharu dan bangga bisa menjadi bagian dari keluarga Jurnal Perempuan karena selama ini biasanya ia terlibat dalam perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) namun, ia percaya dengan frasa terkenal Hillary Clinton bahwa “Women's rights are human rights” dan berkomitmen untuk terus memperjuangkan pencerahan dan kesetaraan perempuan di Indonesia. Acara malam itu ditutup dengan persembahan kenang-kenangan berupa lagu dari Abby Gina dan Gery Andri selaku perwakilan seluruh staf Jurnal Perempuan untuk Gadis yang selama ini telah merawat Jurnal Perempuan selama 21 tahun lamanya. Selamat berjumpa kembali bu Gadis, Selamat datang di keluarga Jurnal Perempuan mbak Atnike! (Naufaludin Ismail) ![]() Jumat, 29 September 2017, bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan ketiga Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) VIII: Menyoal Ekofeminisme disambut antusias dan aktif oleh seluruh peserta kelas ini. Nur Hidayati atau yang akrab disapa Yaya, selaku Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menjadi pengampu kelas pada malam hari itu. Yaya menyampaikan presentasinya pada malam itu dengan tema Perjuangan “Lingkungan Hidup” yang Feminis. Yaya yakin bahwa perempuan dan kerusakan ekologi memiiliki hubungan yang cukup erat dikarenakan kerusakan ekologi dan lingkungan yang terjadi pada saat ini jauh lebih merugikan perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga butuh adanya perjuangan melestarikan lingkungan yang berperspektif feminis untuk kesejahteraan perempuan. Yaya membuka kelas pada malam itu dengan pemaparan data Walhi mengenai bencana ekologis (bencana ekologis adalah bencana alam yang tidak bisa dicegah seperti gunung meletus atau tsunami dan juga bencana alam yang terjadi karena campur tangan manusia karena merusak keseimbangan alam seperti banjir, longsor, dll) yang menimpa Indonesia pada tahun 2016 lalu, bahwa ternyata sudah terjadi 2.342 bencana ekologis sepanjang tahun 2016 dan menyebabkan kematian sebanyak 522 jiwa serta sekitar 3 juta jiwa harus mengungsi dan menderita akibat bencana ekologis yang terjadi. Jika merujuk pada data yang dimiliki oleh Walhi, maka akan terlihat jelas bahwa bencana ekologis yang terjadi di Indonesia selama tahun 2002-2016 terus meningkat terutama bencana alam yang dipicu oleh perilaku manusia seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung (disebabkan oleh faktor pemanasan global). Hal ini menunjukkan bahwa manusia salah dalam mengelola lingkungan dan alamnya, sehingga menyebabkan bencana ekologis. Salah satu faktor penyebab kerusakan alam dan lingkungan oleh manusia adalah karena adanya ketimpangan ekonomi-politik di seluruh dunia. Secara mudah dapat diartikan bahwa ketimpangan ekonomi-politik, ini akhirnya menyebabkan korporasi mengeksploitasi alam secara masif untuk mendapatkan profit secara besar-besaran sehingga korporasi akan melihat alam sebagai komoditas yang harus terus-menerus dieksploitasi tanpa memikirkan konservasi dan perbaikan atas kerusakan alam yang telah mereka lakukan. Ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan oleh korporasi ini akhirnya menyebabkan sumber-sumber agraria dan sumber daya alam lainnya dikuasai oleh korporasi. Hal ini bisa terus berlangsung karena kebijakan dan peraturan perundang-undangan di sektor agraria dan pengelolaan sumber daya alam berpihak pada korporasi dengan dalih pembangunan infrastruktur dan membuka lapangan baru bagi masyarakat luas. Pada akhirnya negara melalui institusi pemerintahannya, menjadi bagian dari konflik agraria dan sumber daya alam yang secara tidak langsung berkontribusi pada bencana ekologis yang terjadi saat ini. Yaya mengungkapkan hubungan antara penguasaan sumber kehidupan alam dengan manusia bisa dianalisis dengan menggunakan teori Ekologi Politik. Yaya mengutip ini dari Mia Siscawati, seorang dosen Kajian Gender Universitas Indonesia yang berkonsentrasi pada perjuangan lingkungan dan feminisme. Menurut Yaya teori Ekologi Politik sebagai pisau analisis mulai dikembangkan pasca tahun 1945 dan merupakan pertemuan antara tiga pendekatan yaitu Cultural Ecology (Anthropology & Geography), Community/Human Ecology dan Hazards/Disasters Studies. Pada awalnya, teori Ekologi Politik dikembangkan untuk menganalisis masalah akses dan kontrol sumber daya alam dan pengembangan dari pendekatan ekonomi politik. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan Ekologi Politik digunakan untuk mengkaji aspek politik, ekonomi, dan sosial yang menjadi penyebab utama degradasi lingkungan hidup dan deplesi kekayaan alam. Kajian Ekologi Politik kontemporer meletakkan komunitas tidak hanya sebagai objek dari kekuasaan, regulasi dan kepemerintahan. Komunitas tidak dilihat sebagai entitas tunggal yang homogen, tapi entitas plural yang heterogen (terbentuk akibat perbedaan kelas sosial, etnisitas, umur, jenis kelamin, status perkawinan, wilayah hidup, mempunyai kedekatan dengan pusat kekuasaan atau tidak). Teori Ekologi Politik ini secara sederhana bertujuan untuk melihat bahwa peradaban masyarakat saat ini tidak bisa dilihat secara hierarkis (anggapan bahwa masyarakat kota lebih penting dari masyarakat desa, misalnya) karena misalnya seperti hal makanan, rantai makanan masyarakat di perkotaan masih bergantung pada masyarakat desa sehingga kesejahteraan dan kelestarian ekologis harus diperhatikan untuk kebaikan bersama. Menurut Yaya, untuk meneruskan perjuangan lingkungan hidup yang feminis, teori Ekologi Politik ini bisa dijadikan pisau analisis pertama sebelum menaruh perspektif feminis di dalam kerangka berpikirnya. Teori Ekologi Politik Feminis sendiri merupakan kerangka pikir feminis yang digunakan untuk mengeksplorasi pengetahuan perempuan tentang tubuhnya, relasi tubuh perempuan dengan alam, dan pengetahuan perempuan (baik individu maupun kolektif) dalam pengurusan alam dan sumber-sumber kehidupan. Pengalaman pribadi perempuan, termasuk yang diungkapkan dalam pola komunikasi khas perempuan, termasuk pengetahuan perempuan mengenai alam yang selama ini lekat dengan diri mereka. Pada teori Ekologi Politik Feminis, perempuan tidak dianggap sebagai entitas yang homogen. Aspek kelas, etnisitas, usia, seksualitas, status perkawinan, wilayah hidup, merupakan aspek penting yang membuat setiap perempuan memiliki keragaman pengalaman, peran, fungsi, dan posisi sehingga perbaikan hidup perempuan harus menjadi fokus dalam upaya perjuangan keadilan ekologis. Perjuangan keadilan ekologis yang feminis ini masih terus dihadapkan dengan pandangan Anthroposentris, yang melihat bahwa manusia adalah pusat kehidupan sehingga alam bebas untuk dieksploitasi demi kemakmuran umat manusia. Pandangan ini harusnya diubah menjadi pandangan Ecosentris yang melihat bahwa manusia dan alam sama pentingnya karena manusia dan alam memiliki interaksi dan hubungan timbal balik yang sama-sama menguntungkan untuk keberlangsungan kehidupan manusia, terutama perempuan yang selama ini lebih dirugikan akibat kerusakan dan bencana ekologis yang terjadi. (Naufaludin Ismail) ![]() "Menjaga ekologi bukan hanya untuk manusia saja, tapi ekologi juga ada hewan-hewan dan bumi itu sendiri“, tutur Mama Aleta Baun saat memulai kelas Kajian Filsafat dan Feminisme VIII yang mengangkat tema ekofeminisme pada Jumat, 22 September 2017 di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Mama Aleta Baun adalah perempuan pejuang lingkungan dari Mollo, namanya mulai dikenal sejak ia secara konsisten dan gigih memimpin aksi tolak tambang untuk menyelamatkan kawasan Gunung Mutis, Timor Tengah Selatan. Ia mendapatkan penghargaan Goldman Environmental Prize tahun 2013 dan Yap Thiam Hien Award 2016 atas jasanya dan kegigihannya memperjuangkan lingkungan hidup. Bagi Mama Aleta manusia harus memikirkan keselamatan ekologi karena keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup bergantung pada keberlangsungan ekologi. Mama Aleta memiliki keyakinan bahwa Tuhan telah membagi alam secara adil, ada yang bisa dimanfaatkan manusia ada yang memang menjadi milik alam. “Tuhan sudah membagi alam, ayam hutan, kuskus, monyet adalah milik alam, sedangkan apa yang kita pelihara sudah dibagi menjadi milik manusia”, tutur Aleta Baun. Maka menurutnya manusia tidak boleh serakah mengambil apa yang menjadi milik alam. “Ketika tambang marmer masuk, pemerintah mengatakan bahwa tambang itu adalah pembangunan, banyak juga peneliti yang mengatakan bahwa tidak akan ada dampak apa-apa ketika tambang masuk”, ungkap Mama Aleta. Padahal menurutnya batu yang berpori itu menyimpan banyak air, “Ketika hujan, air jatuh dari langit ke pepohonan di hutan, lalu mengalir ke dahan kayu, kemudian jatuh ke bebatuan dan air tersimpan di sana sehingga masyarakat tidak kekeringan”, jelas Mama Aleta. Lebih jauh ia juga menceritakan tentang perjuangan perempuan Kendeng yang menolak pabrik semen. Menurutnya karena Pegunungan Kendeng maka pertanian alami masyarakat bisa tetap berjalan, namun jika Pegunungan Kendeng di tambang maka akan memengaruhi kehidupan masyarakat di sana juga. “Air dari gunung membawa humus tanah ke pertanian, maka tanah akan tetap subur”, tutur Mama Aleta. Bagi masyarakat Mollo, alam adalah kesatuan hidup yang tidak bisa terpisahkan satu sama lain, jika satu bagian dari alam dicerabut maka tidak ada keseimbangan lagi. “Gunung adalah tulang, tanah adalah daging, air adalah darah, hutan adalah rambut”, tegas Mama Aleta. Menyoal pembangunan, Mama Aleta menjelaskan bahwa masyarakat tidak anti terhadap pembangunan, menurutnya kita juga butuh pembangunan dan tidak boleh mengunci diri, namun pertanyaan selanjutnya yang dilontarkan mama Aleta adalah: pembangunan seperti apa? Apakah pembangunan yang merusak keberlangsungan hidup alam dan manusia? Baginya pengetahuan yang kita dapat selama ini adalah dari alam, sehingga jika alam rusak maka ada pengetahuan yang hilang terutama pengetahuan perempuan—yang selama ini dekat dengan alam—seperti menenun, meracik obat-obatan dari hutan, dll. Kerusakan alam sangat berdampak langsung bagi perempuan yang selama ini dibebani dengan kerja-kerja domestik seperti mengambil air, menyiapkan pangan dan pakaian. Mama Aleta dan masyarakat adat di Mollo yang ikut menolak tambang berkeyakinan bahwa di dunia ini ada tiga hal yang harus dihormati yaitu Tuhan, leluhur dan alam. Oleh karena itu dalam setiap perjuangannya mereka selalu memulai dengan ritual adat yang ditujukan pada Tuhan, leluhur dan alam. Masyarakat adat di Mollo memiliki prinsip bahwa mereka akan menjual apa yang bisa mereka buat seperti tenun dan obat-obatan, sedangkan tanah, gunung, batu tidak bisa mereka buat/ciptakan, maka mereka tidak akan menjualnya. “Bumi yang sekarang kita tinggali bukan milik kita, kita hanya meneruskan apa yang telah dijaga oleh leluhur kita, nantinya kita pun akan kembali pada bumi, maka kita harus merawat bumi yang telah menyusui kita, memberikan kehidupan, dan kesejahteraan”, tutur Mama Aleta. Bagi Mama Aleta tanggung jawab merawat bumi adalah tanggung jawab bersama, laki-laki menemukan rumah dan perempuan menemukan tenun untuk membungkus tubuh, keduanya memiliki kontribusi yang sama besarnya bagi keberlangsungan hidup. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |