![]() Rabu (12/9) bertempat di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat, Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan acara Peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan, sekaligus merayakan Ulang Tahun Yayasan Jurnal Perempuan yang ke-23. Acara ini dihadiri mengundang Dewan Pembina, Dewan Pengawas, Mitra Bestari dan Sahabat Jurnal Perempuan. Acara Peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan memiliki beberapa agenda acara seperti pembacaan puisi yang dipaparkan oleh Debra Yatim (Aktivis) dan Dewi Nova (Penulis), permainan piano oleh Asfinawati (Advokat Hak Asasi Manusia), dan orasi feminis yang disampaikan oleh Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, yang juga merupakan salah satu pendiri Yayasan Jurnal Perempuan. Orasi feminis yang dipaparkan oleh Toeti Heraty diawali dengan penjabarannya mengenai JP 98 Perempuan dan Kebangsaan. Menurut Toeti untuk memperlihatkan relasi antara perempuan dengan kebangsaan perlu ada pembahasan mengenai empat periode besar yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia yaitu (1) Zaman pergerakan anti-kolonial; (2) Awal kemerdekaan 1945-1966 atau orde lama; (3) Zaman orde baru; dan (4) Zaman pasca reformasi (pola ibuisme baru, ibuisme islam politik) Toeti menjelaskan bahwa pada zaman pergerakan anti-kolonial, gerakan perempuan memiliki perspektif yang kuat untuk mempromosikan pendidikan, sebab saat itu pendidikan terbatas hanya untuk kaum aristokrat dan priayi. Toeti menegaskan bahwa pada era ini cukup banyak kongres yang diadakan, salah satunya adalah Kongres Istri Indonesia III pada tahun 1938 dengan tujuan menolak poligami. “Pada era ini Istilah ibuisme dimaknai sebagai ibu bangsa, menunjang nasionalisme dan anti-kolonial. Pada era ini pula perempuan digambarkan dengan ikon sembadra (lemah lembut) dan srikandi (perjuangan)” tutur Toeti. Kemudian, Toeti menjelaskan bahwa pada periode awal kemerdekaan 1945 hingga 1966 (orde lama) tidak ada gejolak yang terlalu terlihat. Pada periode ini penolakan atas poligami menjadi problematis, sebab Soekarno sebagai seorang presiden melakukan poligami. Toeti mengakui bahwa pada periode ini perjuangan tidak banyak terjadi. Hanya saja terdapat emansipasi di bidang pendidikan yang dilakukan oleh Nyi Mangunsarkoro, Ibu Ki Hajar Dewantoro, dan Sri Siti Sukaptinah. Berbeda dengan zaman anti-kolonial dan orde lama. Menurut Toeti zaman orde baru memaknai perempuan sebagai ibu dengan fungsi domestik. Pada periode orde baru perempuan dipolitisasi dan dimobilisasi untuk pembangunan. Organisasi seperti Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dibentuk di bawah program pemerintah dengan tujuan stabilisasi negara. Toeti mengakui bahwa pada periode keempat yaitu zaman pasca reformasi dirinya cukup terkejut, sebab suara perempuan sebagai pribadi semakin terabaikan. Sementara perempuan dimobilisasi untuk kepentingan politik. Periode ini menghasilkan bentuk ibuisme baru yaitu ibuisme islam politik yang berarti perkumpulan sejumlah orang yang memiliki kepentingan dalam menggunakan simbol keislaman. Kemudian, Toeti melanjutkan dengan memaparkan tiga ukuran keberhasilan tumbuhnya islam politik yaitu (1) Simbol kemurnian agama harus diajarkan kepada perempuan; (2) Perempuan mudah dikontrol dengan muhrimnya; dan (3) Perempuan murah untuk dimobilisasi. Jurnal Perempuan 98 Perempuan dan Kebangsaan mencoba memunculkan persoalan bahwa hingga 20 tahun reformasi suara perempuan jarang masuk ke dalam narasi kebangsaan. Oleh karena itu, Toeti Heraty mencoba memunculkan narasi perempuan maupun perspektif feminis dari 100 tahun karya sastra perempuan Indonesia. Bagi Toeti perempuan Indonesia cukup banyak yang menyuarakan feminisme melalui karya sastra. Lewat pembagian tujuh periode Toeti menjabarkan dengan saksama mengenai pembagian periode sekaligus perempuan yang menarasikan feminisme lewat karya sastra, berikut 7 periode yang dipaparkan oleh Toeti: (1) Sastra Perempuan Indonesia (Masa Kolonial 1911-1942) oleh Kartini, Selasih, Suwarsih Djojopuspito, Rukijah; (2) Ibu, Istri, Ibu-isme (1960-Sekarang) oleh Ike Supomo, La Rose, Titie Said, Mira W; (3) Literatur Feminis (1960-Sekarang) oleh NH Dini, Toeti Heraty, Marianne Katoppo, Julia Suryakusuma; (4) Ekspresi subkultur minoritas dari komunitas etnis oleh Ani Sekarningsih, Oka Rusmini, Hanna Rambe, Clara Ng; (5) Marjinalisasi generasi kedua dari keturunan kiri yang ditiadakan oleh Linda Christanty, Leila S. Chudori, Tatiana Lukman; (6) Generasi Baru penulis perempuan dari pesantren oleh Oki Madasari, Abidah el Khalieqy, Erni Aladjai; dan (7) Fragrance Literature oleh Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Laksmi Pamuntjak. Pemaparan Toeti menyoal perempuan dan karya sastra merupakan bukti bahwa sastra dan perempuan terlibat dalam menarasikan sejarah perempuan pada konteks kebangsaan. “Berbicara mengenai perempuan dan kebangsaan, kita tidak bisa melepaskan isu tentang perempuan yang dieksploitasi dan dimobilisasi oleh negara. Ibu diberi status secara diam-diam, tetapi diperdayakan pula.” Tutur Toeti. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa perspektif feminisme harus terus dipromosikan melalui karya sastra maupun gerakan secara nyata dan yang terpenting para feminis untuk jeli melihat persoalan dan kejelian tersebut sebaiknya tidak membuat kita menjadi paranoid. (Iqraa Runi) ![]() Rabu, 12 September 2018, Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan acara Peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan sekaligus Perayaan Ulang Tahun ke-23 Yayasan Jurnal Perempuan. Bertempat di Cemara 6 Galeri Jakarta, acara ini dihadiri oleh Dewan Pembina, Dewan Pengawas, Dewan Redaksi, Mitra Bestari, Penulis, Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dan relasi yang telah setia mendukung aktivisme Yayasan Jurnal Perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Acara ini dibuka dengan persembahan musik dari Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Asfinawati memainkan piano membawakan lagu Melati Suci dan Ibu Pertiwi. Kemudian disusul Debra Yatim yang membacakan puisi berjudul Manifesto karya Toeti Heraty. Acara dilanjutkan dengan sambutan dari Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Dr. Atnike Nova Sigiro, yang menyampaikan rasa terima kasihnya kepada pihak-pihak yang selama ini terus mendukung dan mendampingi Yayasan Jurnal Perempuan hingga menginjak usia yang ke-23. Dalam sambutannya, Atnike mengatakan bahwa topik “Perempuan dan Kebangsaan” sangat tepat diangkat pada JP edisi ke-98 yang terbit pada bulan Agustus lalu karena bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, 73 tahun kemerdekaan, dan #20TahunReformasi. Untuk memperingati Agustus sebagai momen penting bagi Indonesia dan juga Yayasan Jurnal Perempuan yang berulang tahun ke-23 di bulan Agustus lalu, Yayasan Jurnal Perempuan menerbitkan JP 98 Perempuan dan Kebangsaan. Lebih lanjut Atnike menjelaskan bahwa, JP 98 Perempuan dan Kebangsaan mencatat sejarah para ibu bangsa yang turut berpartisipasi pada masa pra-kemerdekaan. Namun, perjuangan para ibu bangsa tersebut sejak masa pra-kemerdekaan hingga pasca reformasi belum dapat sepenuhnya menempatkan perempuan sebagai warga dengan hak yang penuh dan setara. JP 98 Perempuan dan Kebangsaan diterbitkan untuk menjawab pertanyaan siapa dan dimanakah perempuan dalam konsepsi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Atnike menutup sambutannya dengan menyampaikan bahwa di usia Yayasan Jurnal Perempuan yang ke-23, Jurnal Perempuan masih tetap berusaha untuk terus menggali dan menyebarkan pengetahuan perempuan karena Yayasan Jurnal Perempuan meyakini bahwa perjuangan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan adalah perjuangan tanpa tanda titik. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan penyampaian orasi feminis dari Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno yang berjudul “Perempuan dan Kebangsaan”—yang merupakan refleksi pemikiran beliau mengenai isu perempuan dan kebangsaan secara khusus pasca 20 tahun reformasi. Dalam orasi feminisnya, Prof. Toeti Heraty menyampaikan bahwa perspektif feminis masih luput dalam narasi nasionalisme di Indonesia. Ia mengelaborasi hasil bacaanya terhadap JP 98 Perempuan dan Kebangsaan dengan pengetahuannya sebagai feminis dan budayawan di Indonesia. Selain itu, ia juga menjelaskan hasil penelusurannya dalam karya-karya sastra perempuan Indonesia dalam kurun waktu 100 tahun terakhir. Di tengah orasinya, Prof. Toeti turut membacakan dua puisi hasil karyanya yang berjudul, Cintaku Tiga dan Pertarungan Jenis. Selanjutnya, acara diisi oleh Dewi Nova yang menyajikan musikalisasi puisi berjudul Tutur Inong Aceh—yang juga dimuat dalam buku Kumpulan Puisi: Perempuan dan Pertarungannya terbitan YJP Press. Acara berlanjut dengan peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaandengan memberikan terbitan JP 98 secara simbolis kepada SJP dan Relasi Jurnal Perempuan. Dr. Atnike Nova Sigiro (Direktur Yayasan Jurnal Perempuan), Nur Iman Subono (Dewan Redaksi JP) dan Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi JP) memberikan JP 98 kepada Maria Farida (Mantan Hakim Konstitusi Republik Indonesia dan Sahabat Jurnal Perempuan), Indriyani (Yayasan TIFA), Yulia Pratiwi (Sahabat Jurnal Perempuan), Eko Bambang Subiantoro (Sahabat Jurnal Perempuan), dan Megawati Rusdianto (Sahabat Jurnal Perempuan). Perwakilan Yayasan TIFA turut menerima JP 98 sebagai ucapan terima kasih dan juga apresiasi Yayasan Jurnal Perempuan kepada TIFA Foundation atas dukungannya dalam proses penerbitan JP 98. Kemudian, acara dilanjutkan dengan pemberian apresiasi kepada pihak-pihak yang mendukung Yayasan Jurnal Perempuan. Apresiasi dan penghargaan diberikan kepada Bagus Takwin (Sahabat Jurnal Perempuan Kategori Terlama), Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (Sahabat Jurnal Perempuan Kategori Lembaga), Ninuk Pambudi (Sahabat Jurnal Perempuan Kategori Jurnalis), serta kepada Ford Foundation sebagai lembaga donor yang telah mendukung Yayasan Jurnal Perempuan sejak 1997. Acara peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan dan Perayaan Ulang Tahun ke-23 Yayasan Jurnal Perempuan ditutup dengan acara tiup lilin dan potong kue untuk merayakan ulang tahun ke-23 Yayasan Jurnal Perempuan. "Dua puluh tiga bukan angka yang spesial untuk dirayakan, tetapi selalu menyenangkan untuk memperingati bahwa Yayasan Jurnal Perempuan bisa bertahan dari tahun ke tahun. Doakan agar kami bisa terus menghasilkan pengetahuan perempuan untuk kesetaraan dan keadilan bagi perempuan di Indonesia." ujar Atnike saat acara tiup lilin. (Bella Sandiata) ![]() Selasa (4/9) Jurnal Perempuan bersama dengan Komnas Perempuan mengadakan acara Diskusi RUU KUHP dengan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) dan sejumlah anggota DPR RI. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini sedang dalam proses pembahasan yang nantinya akan disahkan pada rapat paripurna. Akan tetapi, ada beberapa pasal yang masih menjadi sorotan publik karena dianggap mencederai hak asasi manusia dan rentan mengriminalisasikan kelompok rentan (perempuan korban perkosaan, anak perempuan, perempuan adat, kelompok minoritas seksual) diantaranya adalah pasal 484, 488, dan 489. Jurnal Perempuan dalam penelitiannya di Jurnal Perempuan 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender berupaya memperlihatkan bahwa RKUHP sebagai suatu produk hukum pidana masih menyudutkan kaum minoritas. Oleh karena itu, Jurnal Perempuan berupaya mengadvokasi sejumlah temuan yang perlu disoroti kembali oleh legislatif selaku pembuat kebijakan. Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan hadir sebagai pemantik diskusi dalam acara tersebut. Sulis membuka diskusi dengan menjabarkan beberapa konsep dasar prinsip hukum dan kaitannya dengan RKUHP. Menurutnya hukum harus memiliki sifat equality before the law, akan tetapi baginya equality before the law tidak dapat diaplikasikan jika masyarakat belum setara. "Jika equality before the law diaplikasikan sebelum hadirnya keseimbangan, maka konsep tersebut akan memenjarakan mereka yang miskin dalam konteks RKUHP dikhususkan menjadi perempuan", ungkap Sulis. Guru Besar Antropologi Hukum tersebut melanjutkan bahwa di dalam RKUHP terdapat pembahasan tentang the living law atau hukum yang hidup. "The living law merupakan hukum yang senyata-nyatanya hadir dalam kehidupan masyarakat, yakni hukum adat, hukum agama, hukum kebiasaan, maupun hukum negara", jelas Sulis. Lebih jauh ia menegaskan bahwa hukum negara bersifat kuat, akan tetapi tidak bisa menjangkau masyarakat adat yang tinggal di pelosok. Oleh karena itu, tidak heran jika hukum adat menjadi hukum yang diaplikasikan dalam keseharian masyarakat adat. Ia menjelaskan bahwa hukum negara akan menjadi the living law jika sudah sampai pada putusan hakim. Baginya dalam era borderless state ini, Indonesia harus memiliki hukum yang kuat yang dapat mengakomodasi pluralitas identitas, budaya dan persoalan bangsanya tanpa harus merenggut hak-hak sebagaian kelompok sebagai warga negara. Di akhir paparannya Sulis memberikan tiga poin masukkan dalam pembahasan RKUHP yakni, (1) Definisi hukum yang hidup perlu diperjelas, agar tidak digunakan untuk mempolitisasi identitas yang bermaksud misoginis; (2) Tidak memasukkan unsur moral dalam RKUHP, karena hukum dan moralitas jika disatukan akan membusukkan satu sama lain; (3) Produk hukum harus menghitung realitas dan pengalaman perempuan. Setelah itu, Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan membahas pasal yang bermasalah dalam RKUHP melalui data-data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2018. Ia menyebutkan bahwa pelaku kekerasan seksual di ranah privat/personal terbanyak adalah pacar. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa banyak terjadi pemaksaan hubungan seksual pada pasangan yang masuk dalam kategori perkosaan. Artinya bila kasus pacaran dianggap perzinaan, tidak sedikit di dalamnya terdapat perempuan korban perkosaan yang sangat mungkin terkena pasal tindak pidana zina. Korban yang seharusnya dilindungi malah berpotensi mengalami kriminalisasi. Demikian pula di ranah publik, Mariana menjelaskan kekerasan seksual menempati posisi tertinggi dengan pelaku terbanyak adalah teman. Artinya dalam wilayah publik pun orang terdekat menjadi pelaku kekerasan seksual dan sangat berpotensi dicap sebagai perilaku zina padahal salah satu pihak merupakan korban. "Data tersebut menunjukkan bahwa moralitas tidak dapat menjadi standar dalam pemidanaan. Kekerasan seharusnya menjadi perhatian utama dalam pemidanaan karena jelas merugikan korban", jelas Mariana. Kemudian Bella Sandiata, Redaksi Jurnal Perempuan juga memaparkan hasil riset mengenai penggunaan pasal 284 KUHP tentang perzinaan dan pasal 285 KUHP tentang perkosaan melalui pengalaman pendamping hukum. "Pasal 284 KUHP yang mangatur perzinaan merupakan pasal dengan delik aduan yang pembuktiannya sangat sulit untuk dilakukan", tutur Bella. Ia menjelaskan bahwa pengalaman pada narasumber yang ia wawancarai menunjukkan sulitnya penyelesaian kasus-kasus perzinaan yang ditangani karena pembuktian dari pasal 284 tidak terpenuhi. Ia menjelaskan bahwa, unsur pembuktian yang sulit dan ancaman hukuman yang hanya sembilan bulan menjadi alasan bagi perempuan korban yang pasangannya melakukan perzinaan untuk lebih memilih bercerai. Lebih lanjut Bella menuturkan bahwa kelemahan juga ditemukan dalam penerapan pasal 285 KUHP yang mengatur tindak pidana perkosaan. Hasil penelitiannya menemukan bahwa pasal tersebut belum dapat memberikan hukuman penjeraan jika dibandingkan dengan penderitaan yang dialami oleh perempuan korban. Lebih jauh lagi, pasal 285 KUHP juga tidak memberikan ruang atau bahkan menutup kemungkinan akan ancaman pidana terhadap perkosaan yang terjadi dalam perkawinan (marital rape). Kelemahan lain dari pasal ini adalah sulitnya seorang istri melaporkan suaminya jika terjadi hubungan seksual di luar keinginannya. "Kelemahan dalam penerapan pasal 285 KUHP tersebut dalam praktiknya di lapangan semakin diperkuat dengan tidak adanya perspektif serta pengetahuan gender dari aparat penegak hukum yang justru kemudian menyudutkan dan menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya", jelas Bella. Erma Suryani Ranik, Wakil Ketua Komisi III DPR RI menyatakan bahwa RKUHP tidak sepenuhnya buruk, sebab pelarangan orang untuk hidup bersama hanya bisa dilaporkan oleh orang terbatas seperti orang tua, suami/istri, dan anak. Pengaduan yang diajukan juga masih bisa dihapus jika dalam waktu satu bulan gugatan dicabut oleh pihak pelapor. Ranik mengaku bahwa dalam politik perlu ada kompromi dan untuk menengahi berbagai pilihan ekstrem, perlu adanya titik temu diantara mereka. Menyoal pasal tentang pencabulan, Ranik menjelaskan bahwa tindakan tersebut tetaplah tindakan pidana baik dilakukan oleh heteroseksual maupun homoseksual. Menurutnya upaya untuk tidak mengriminalisasikan kelompok minoritas melalui RKHUP telah dilakukan. Ia menyampaikan ucapan terima kasih atas masukan dan bantuan para aktivis dalam pembahasan RKUHP. Ranik menegaskan bahwa teman-teman aktivis perlu mengetahui kompromi di dalam dunia politik. Akan tetapi, di luar itu para aktivis juga perlu untuk terus menyuarakan persoalan RKUHP. (Iqraa Runi) ![]() Selasa, 4 September 2018 di Gedung Nusantara 1 DPR RI, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) mengadakan diskusi terbatas dengan Kaukus Perempuan Parlemen dan Komisi 3 DPR RI. Diskusi terbatas tersebut menyoroti sejumlah persoalan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini masih dalam tahap pembahasan DPR dan pemerintah. Atnike Sigiro selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan membuka acara diskusi terbatas mengenai RKUHP tersebut dengan menyatakan bahwa Jurnal Perempuan edisi 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender menampilkan sejumlah potret persoalan pada KUHP yang berlaku dan pada RKUHP. Bagi Atnike RKUHP perlu dicermati secara seksama dalam relasinya terhadap perempuan, anak, buruh migran, disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Menurutnya tanpa adanya sensitivitas terhadap pluralitas pengalaman, sebuah produk hukum berpotensi mendiskriminasi dan menjauhkan akses terhadap keadilan. Lebih jauh Atnike menyatakan bahwa JP 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender yang merupakan seri #20TahunReformasi adalah salah satu bentuk refleksi terhadap realitas berbangsa dan bernegara pasca reformasi. Menurut Atnike tanpa semangat reformasi ide perbaikan hukum, HAM, dan keadilan gender tidaklah memiliki ruang. Atnike berharap agar diskusi yang dilakukan oleh Jurnal Perempuan, Komnas Perempuan dan Komisi 3 DPR RI dapat mendorong penyempurnaan RKUHP sehingga ada dimensi kesetaraan gender dalam RKUHP tersebut. Yunianti Chuzaifah selaku Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan dalam kesempatan itu menyampaikan bahwa revisi RKUHP seharusnya lebih menjaga martabat manusia dan mendekatkan rasa kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Menurut Yunianti, hukum yang ada saat ini lebih bernuansa penghukuman alih-alih menjadi payung hukum. Hal ini dapat dilihat dari sistem penghukuman yang bersifat punitif daripada edukatif, rehabilitatif dan penjeraan. Bagi Yunianti instrumen HAM haruslah dijadikan acuan dalam pembuatan produk hukum dalam upaya menjamin hak-hak dasar manusia. Yunianti juga menyatakan bahwa terjadi kesenjangan pikir dalam hal penolakan terhadap revisi pasal perzinaan. "Ada anggapan bahwa menolak pasal perzinaan dianggap sama dengan mendukung tindak perzinaan, padahal kedua hal tersebut tidaklah sama", tutur Yuni. Penolakan terhadap RKUHP ini seharusnya dipahami sebagai sikap kehati-hatian untuk memastikan agar perempuan tidak dijadikan sebagai sasaran penghukuman. RKUHP yang ada saat ini menurut Yuni berpotensi mengriminalkan 2 juta perempuan yang tidak mencatatkan pernikahannya, termasuk di dalamnya perempuan adat, anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual, karena mereka disimplifikasi sebagai pelaku extra marital sex. Yuni melihat menyatakan bahwa pengalaman perempuan sangat penting untuk diakomodasi dalam perumusan produk hukum. “Reformasi hukum harus mendengar suara korban, mendengar suara perempuan. Bukan hanya demi menjamin hak konstitusional warga negara, melainkan juga demi menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menghargai hak asasi dan menganut hukum yang beradab” tutur Yuni. Dr. Hetifah Sjaifudian, Presidium KPPI RI, Wakil Ketua Komisi 10 DPR RI dan Ketua Perempuan Partai Golkar, menyatakan bahwa sepakat dengan sejumlah isu yang telah disampaikan oleh Yunianti dan Atnike dan menjadikan hal tersebut sebagai catatan penting bagi proses pembuatan RUU KUHP. Menurut Hetifah, 20 tahun pasca reformasi sejumlah regulasi hukum yang ada belum sepenuhnya ramah terhadap perempuan dan belum sungguh-sungguh mendukung keadilan gender. Menurut Hetifah penting agar perspektif gender disertakan dalam setiap regulasi dan mempertimbangkan dampak dari setiap kalimat atau klausul dalam regulasi hukum secara seksama. Menurut Hetifah mendorong agenda keadilan gender di dalam proses pembuatan regulasi legislatif memang sangat sulit mengingat sedikitnya jumlah perempuan di dalam proses tersebut. Dalam kesempatan tersebut, Hetifah juga memberikan apresiasi atas dialog-dialog yang telah dilakukan oleh para akademisi, civil society dan legislator dalam upaya menghasilkan kebijakan yang lebih baik. Diskusi terbatas oleh Jurnal Perempuan, Komnas Perempuan, Komisi 3 dan 10 DPR RI saat itu berupaya mendorong lahirnya produk hukum pidana dalam hal ini KUHP yang menghormati kemanusiaan, menjunjung kesetaraan gender, keadilan dan keadaban bangsa. (Abby Gina) ![]() Senin, 27 Agustus 2018 bertempat di rumah AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat mengadakan konferensi pers tentang RUU (Rancangan Undang-Undang) Masyarakat Adat. Dalam kesempatan itu Muhammad Arman, Devi Anggraini, Khalisa Khalid dan Siti Rahma memaparkan urgensi dari RUU Masyarakat Adat. Nurul Firmansyah selaku moderator menyampaikan bahwa tema konferensi pers tersebut adalah “Bineka adalah Keniscayaan”. Menurut Nurul tema ini menjadi relevan karena masyarakat adat merupakan pilar kebangsaan Indonesia, masyarakat adat lebih dahulu hadir sebelum lahirnya republik Indonesia, dan masyarakat adat juga merupakan manifestasi dari keberagaman. Sehingga menurutnya, kehadiran UU (Undang-Undang) Masyarakat Adat menjadi penting dalam upaya mengakomodasi hak masyarakat adat dan menjamin kebudayaan. Saat ini draft RUU Masyarakat Adat versi DPR RI sudah berada pada tahap pembahasan di Baleg (Badan Legislasi) DRP RI, namun dari segi substansi draft tersebut mengandung sejumlah persoalan karena draft RUU tersebut berpotensi menghilangkan keberadaan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Mengacu pada policy brief yang telah disusun oleh koalisi, setidaknya ada 6 aspek yang perlu diperhatikan dalam membincang hak masyarakat adat yaitu; hak atas wilayah adat, hak atas budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak dan pemuda adat, hak atas lingkungan hidup, hak untuk berpartisipasi. Aspek-aspek ini seharusnya menjadi perhatian dan harus hadir di dalam UU masyarakat adat. Muhammad Arman selaku Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) menyatakan bahwa sejumlah konflik terjadi karena ketiadaan UU khusus yang mengatur tentang masyarakat adat. Setidaknya ada 127 kasus yang dihadapi oleh komunitas masyarakat adat yang berdampak pada pemenjaraan 262 orang. Arman juga mengatakan bahwa terdapat 3,2 juta masyarakat adat yang saat ini terancam hak kewarganegaraannya dan tidak dapat mengakses hak politiknya karena mereka hidup di kawasan konflik yaitu kawasan hutan dan kawasan HGU (Hak Guna Usaha). Arman menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri tidak mau memberikan bukti kependudukan bila masyarakat adat masih menempati daerah konflik tersebut, padahal bukti kependudukan adalah hak warga negara. Khalisah Khalid dari WALHI menyatakan persoalan lain terkait pengabaian pengetahuan masyarakat adat. Khalisa melihat bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan, nilai dan praktik dalam mengelola kekayaan alam dengan keragamannya. Tetapi dalam pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) negara menerapkan perspektif monokultur, artinya pengelolaan SDA mengacu pada satu sumber yaitu pengetahuan modern dan mengabaikan keterlibatan pengetahuan dan pengalaman masyarakat adat. Padahal pengetahuan masyarakat adat merupakan fondasi dari kebudayaan. Persoalan pengabaian pengetahuan masyarakat berdampak pada relasi perempuan di dalam masyarakat. Devi Anggraini dari Perempuan AMAN dalam kesempatan tersebut mengajak para hadirin untuk berefleksi tentang dasar didirikannya negara ini. Menurut Devi semangat berdirinya Indonesia adalah semangat perlawanan terhadap penindasan dan terhadap relasi yang tidak setara. Menurutnya, sedari awal bangsa ini dibangun, sudah ada kesadaran bahwa Indonesia dibangun atas dasar kebinekaan. Ironis bahwa dalam kebangsaan Indonesia, keragaman identitas tergerus sedemikan rupa. “Kami dari Perempuan AMAN, mengikuti proses draft RUU Masyarakat Adat ini, kami sadar betul bahwa banyak masukan terkait perspektif gender yang tidak ada di dalam RUU versi DPR RI, baik di awal gagasan hingga diskusi yang telah cukup panjang di Baleg DPR RI dan AMAN,” tutur Devi. Bagi Devi hal kesetaraan gender penting untuk hadir dalam UU Masyarakat Adat agar dapat memastikan tiap kelompok khususnya minoritas memiliki tempat dalam masyarakat dan untuk menjamin inklusifitas. Artinya tiap kelompok seperti perempuan, anak, pemuda, lansia, disabilitas, kelompok miskin dan lainnya harus terjamin haknya untuk berpartisipasi dan menyuarakan aspirasinya sebagai bagian dari masyarakat tanpa mengalami diskriminasi. RUU Masyarakat Adat seharunya mengenali keberadaan perempuan adat. Menurut Devi perempuan adat mempunyai hak sebagai warga negara, hak individu perempuan adat, hak kolektif perempuan adat dan hak kolektif sebagai bagian dari masyarakat adat termasuk hak kolektif dalam aspek ekspresi budaya. Bagi Devi hak perempuan adat bersifat indivisibility yang artinya dalam satu identitas perempuan adat terdapat keterhubungan hak yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hak kolektif perempuan adat dapat dilihat dari keseharian mereka yang erat dengan pengetahuan lokal, wilayah kelola dan otoritas. Perempuan adat menurut Devi memiliki peran kunci dalam menjamin berlangsungnya keberadaan masyarakat adat karena mereka memiliki pengetahuan soal tenun, benih, perladangan, ritual, pengobatan, persalinan dan lain sebagainya. Berdasarkan pengetahuan-pengetahuan tersebut, perempuan mengambil peran-peran tertentu di dalam masyarakat adat. Melalui peran inilah perempuan memastikan keberadaan dan juga kemandiriannya di dalam masyarakat adat juga negara. Ironis bahwa teradapat kebijakan negara yang alih-alih menjamin hak malah membuat rentan posisi perempuan. Lebih jauh, menurut Devi , peraturan Menteri Kesehatan RI yang mengatur tentang dukun beranak telah menyingkirkan dan bahkan berpotensi mengkriminalkan perempuan adat yang berperan sebagai dukun beranak. Permen Kesehatan RI No. 97 tahun 2014 menyatakan bahwa praktik dukun beranak harus dalam pendampingan bidan, artinya bila perempuan adat yang menjalankan fungsinya sebagai dukun beranak tanpa dampingan bidan maka ia dapat dikriminalisasi. Peraturan semacam ini merugikan perempuan adat yang memiliki pengetahuan, mereduksi peran-peran perempuan dari masyarakat adat di tingkat kampung dan membuat perempuan tercerabut dari pelibatan. Perempuan adat memiliki peran kunci dalam keberlangsungan masyarakat adat karena mereka adalah kelompok yang mampu merepresentasikan nilai adat, jembatan pengetahuan dan menjadi kunci untuk meneruskannya ke generasi mendatang. Perempuan Adat memiliki fungsi tidak hanya dalam kehidupan masyarakat adat tetapi juga dalam memaknai dan menjamin keberlangsungan kebinekaan sebagai identitas bangsa Indonesia. Muhammad Arman menekankan bahwa UU Masyarakat Adat nantinya harus dapat menata ulang hubungan antara Masyarat Adat dengan negara, dengan mengutamakan prinsib-prinsip keadilan, transparasi, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, perlakuan tanpa diskriminasi dan Pro lingkungan hidup. (Abby Gina) ![]() Pada tanggal 5 Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakhiri konflik bersenjata di Helsinki, Finlandia. Kendati konflik bersenjata Aceh telah berakhir secara resmi, siapa sangka jika musuh yang lebih besar justru dihadapi oleh kaum rentan seperti perempuan, anak dan lansia. Kebijakan diskriminatif yang berupa peraturan daerah seperti qanun jinayat membawa perempuan pada pembatasan jam malam, aturan pakaian, dan hukuman yang tidak mengacu pada nilai kemanusiaan. Jumat (24/8) bertempat di Auditorium Perpustakaan dan Kearsipan, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Amnesty International Indonesia, Timang Research Center (TRC) Aceh, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) mengadakan acara Malam Budaya “Demi Damai” untuk merespons situasi yang mengkhawatirkan tersebut. Acara tersebut dipersembahkan untuk Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Zubaidah Djohar, Aktivis Perempuan Aceh, mengungkapkan bahwa acara Malam Budaya “Demi Damai” diadakan untuk memperingati Hari Perdamaian Aceh yang dinyatakan 13 tahun silam untuk menolak lupa terhadap korban konflik, untuk mempertahankan kebudayaan Aceh yang sejatinya telah tergerus dengan adanya qanun jinayat. Menurutnya, perdamaian Aceh membawa masyarakat Aceh berbondong-bondong berlindung pada nilai keagamaan. Namun sayangnya, beberapa nilai keagamaan yang digunakan justru mendiskriminasi perempuan Aceh. Bagi Zubaidah, hal tersebut tentunya mencederai hak perempuan dan kebudayaan Aceh secara umum. “Terbebasnya Aceh dari konflik bersenjata rupanya tidak membawa Aceh pada kesejahteraan, saat ini Aceh mengalami keterpurukan yang cukup serius pada beberapa bidang yaitu ekonomi, pelayanan kesehatan, pendidikan, pemulihan korban konflik”, tutur Zubaidah. Selain itu Melanie Subono, seorang pekerja seni, juga turut menghadiri acara dan menampilkan musikalisasi puisi. Menurut Melanie kesadaran kita semua sebagai manusia seharusnya membawa kita menyuarakan hal yang sama yaitu kemanusiaan. Acara ini juga dihadiri oleh beberapa akademisi dan budayawan seperti Nezar Patria, Melani Budianta, Usman Hamid, Sisters in Danger, Debra Yatim, Riri Khariroh, dan Linda Christanty yang menyumbang puisi, lagu, dan pengalaman mereka saat menjalankan aktivisme di Aceh. Acara ini juga memberi perhatian dan mendorong perdamaian berkelanjutan yang fokus kepada pemulihan korban di wilayah konflik. Selain itu, panitia acara ini juga melakukan penggalangan dana dengan melelang beberapa buku karya Zubaidah Djohar yang berjudul Demi Damai, serta kain dan tas kerajinan dari Aceh. Zubaidah Djohar menegaskan bahwa semua hasil dari penggalangan dana akan disumbangkan kepada perempuan-perempuan Aceh. (Iqraa Runi) ![]() Jumat, 24 Agustus 2018, Malam Penganugerahan Saparinah Sadli 2018 digelar di Bimasena, Dharmawangsa, Jakarta. Anugerah Saparinah Sadli adalah penghargaan dua tahunan untuk memberikan inspirasi kepada masyarakat dan generasi penerus agar terus bekerja demi terciptanya keadilan gender di Indonesia. Acara tersebut sekaligus merayakan ulang tahun Prof. Saparinah Sadli yang ke-92 tahun ini. Anugerah Saparinah Sadli 2018 mengangkat tema “Keteladanan Pemimpin Perempuan dalam Kebinekaan”. Tema ini dipilih karena pentingnya peran perempuan sebagai motor penggerak dan tokoh sentral dalam mewujudkan keadilan dalam kerangka kebinekaan. Saparinah Sadli sendiri dengan tegas mengatakan bahwa kebinekaan harus diperjuangkan dan kita tidak bisa duduk diam. Acara Malam Penganugerahan Saparinah Sadli 2018, mengundang Sinta Nuriyah Wahid untuk memberikan pidato kunci terkait kepemimpinan perempuan dan kebinekaan Indonesia. Sinta dalam pidatonya menjelaskan bahwa perempuan adalah tokoh sentral dalam kehidupan manusia karena perempuanlah yang melahirkan umat manusia. Menurutnya perempuan adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anak manusia, perempuan yang mengajarkan makna hidup, dan perempuan jugalah yang memberikan arti cinta dan kasih sayang. Sehingga baginya perempuan adalah pemimpin, bukan hanya hanya di rumah sebagai pemimpin anak-anaknya tetapi juga di masyarakat dan negara-bangsa. “Kami sebagai orang islam pasti tidak akan lupa dengan adanya sebuah kata-kata mutiara yang mengatakan bahwa perempuan adalah tiang negara, kalau perempuannya baik maka negaranya baik, kalau perempuannya susah maka negara pun demikian”, ungkap Istri Gus Dur tersebut. Sinta Nuriyah Wahid yang juga merupakan alumni Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia—yang didirikan oleh Prof. Saparinah Sadli—menyatakan bahwa perempuan tidak hanya sebagai seorang ibu, tidak hanya sebagai seorang pendidik, tetapi juga seorang pemimpin—yang bisa menentukan kuat dan tidaknya sebuah negara. Dalam konteks negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama, budaya, Sinta berpendapat bahwa tali pengikat Bhinneka Tunggal Ika perlu dirawat dan dijaga bersama. Lebih jauh menurutnya, melalui perempuanlah tali persaudaraan tersebut bisa dijaga. Namun ia menyayangkan situasi perempuan yang masih marginal di Indonesia, terlebih lagi kurangnya apresiasi dan dokumentasi atas karya-karya perempuan di berbagai bidang seperti akademik, teknologi, seni budaya, olahraga hingga aktivisme gerakan keadilan. Menyoal apresiasi dan dokumentasi karya-karya perempuan, Sinta menjelaskan bahwa banyak aktivitas dan gerakan para aktivis perempuan yang hilang begitu saja karena minimnya apresiasi dan sosialisasi dari masyarakat maupun negara. Padahal menurutnya prestasi dan laku juang perempuan semestinya dapat dijadikan role model, sumber inspirasi, pemantik semangat dan keteladanan bagi masyarakat. Sehingga baginya Penghargaan Saparinah Sadli yang diberikan kepada para pejuang keadilan dan kesetaraan merupakan langkah penting dan strategis di tengah situasi masyarakat yang terjebak dalam dinding primordialisme, intoleransi dan arogansi kelompok. “Para pejuang keadilan dan kesetaraan hak ini adalah orang-orang yang ikhlas, bahkan tidak peduli pada publikasi dan apresiasi, mereka adalah orang-orang yang lebih concern pada keadilan sesama. Saya melihat justru orang-orang seperti inilah yang layak mendapat perhatian dan penghargaan, sehingga dengan apresiasi dan Penghargaan Saparinah Sadli, praktik hidup yang baik dapat menjadi teladan dan sumber inspirasi bagi masyarakat”, tutur Sinta Nuriyah Wahid. Tema yang diangkat Anugerah Saparinah Sadli 2018 ini juga merupakan hal penting bagi Sinta Nuriyah, pasalnya tahun ini adalah tahun politik yang banyak menimbulkan ketegangan, intrik dan caci maki yang dapat memancing konflik bagi seluruh anak bangsa. “Pada tahun ini hampir seluruh energi dan perhatian anak bangsa tercurah pada perdebatan yang rawan menimbulkan perpecahan. Dalam kondisi sosial dan suasana emosional masyarakat yang seperti ini, Penghargaan Saparinah Sadli seperti oase yang mengalirkan arus kesejukan di tengah suasana yang panas” jelas Sinta Nuriyah Wahid. Ia berharap Anugerah Saparinah Sadli tahun ini bisa menyadarkan masyarakat akan pentingnya keadilan, kesetaraan hak, kerukunan bangsa dan juga menambah semangat perjuangan penerima anugerah. Penghargaan ini membuktikan bahwa perempuan tidak berjuang sendirian melainkan bersama-sama dalam solidaritas. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() “Anugerah Saparinah Sadli yang telah digagas sejak 2002 dan 2004 menemukan dan memberikan penghargaan kepada perempuan-perempuan Indonesia yang luar biasa. Anugerah ini bertujuan untuk memberikan inspirasi kepada masyarakat dan generasi penerus untuk terus bekerja demi terciptanya keadilan gender”, ungkap Rita Serena Kolibonso dalam sambutannya di acara Malam Penganugerahan Saparinah Sadli 2018 pada Jumat (24/08). Acara tersebut sekaligus merayakan ulang tahun Prof. Saparinah Sadli yang ke-92 tahun ini. Anugerah Saparinah Sadli 2018 mengangkat tema “Keteladanan Pemimpin Perempuan dalam Kebinekaan”. Tema ini dipilih karena pentingnya peran perempuan sebagai motor penggerak dan tokoh sentral dalam mewujudkan keadilan dalam kerangka kebinekaan. Rita Serena Kolibonso yang merupakan ketua panitia Anugerah Saparinah Sadli 2018 mengungkapkan bahwa Anugerah Saparinah Sadli berbeda dengan anugerah atau penghargaan sejenis di Indonesia karena tidak digagas oleh Saparinah Sadli atau keluarganya, melainkan digagas dan dilaksanakan oleh para sahabat dan murid Saparinah Sadli. Menurutnya Saparinah Sadli adalah sosok perempuan inspiratif, seorang perempuan akademisi yang kemudian menjadi pegiat keadilan gender yang gigih, tekun, toleransi, konsisten, sederhana, rendah hati, inklusif dan memiliki integritas yang tinggi. Rita dalam sambutannya juga merasa bangga bahwa para sahabat yang bergabung untuk menyelenggarakan Anugerah Saparinah Sadli bertambah dari waktu ke waktu. Dalam sambutannya Rita juga menyebutkan para penerima Anugerah Saparinah Sadli terdahulu yang adalah juga sosok perempuan inspiratif. Di tahun 2004, penerima Anugerah Saparinah Sadli ialah Maria Ulfah Anshor, seorang perempuan yang aktif dalam memperjuangkan hak reproduksi perempuan. Di tahun 2007, penghargaan diberikan kepada dua aktivis perempuan Aleta Ba’un—yang memperjuangkan hak-hak masyarakat dari perusahaan tambang NTT, dan Mutmainah Korona atas perjuangannya dalam advokasi peraturan daerah yang peka gender di Sulawesi Tengah. Tahun 2010, penghargaan diberikan kepada Nani Zumilarni atas kiprahnya mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan kepala keluarga melalui organisasi PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga). Tahun 2012, penghargaan diberikan kepada aktivis perdamaian Baihajar Tualeka yang secara gigih dan konsisten menggalang kegiatan untuk memelihara perdamaian antar kelompok beragama di Ambon, Maluku. Tahun 2014, penghargaan diberikan kepada Asnaini, Kepala Desa perempuan pertama di Aceh—yang dipilih langsung oleh warga desa Pegasing, Takeon, ia berhasil mendatangkan listrik ke desanya dan mengalokasikan 50% dari dana desa untuk kehidupan perempuan. Tahun 2016, penghargaan diberikan kepada Sri Wahyuningsih, guru SMP yang mendorong arti penting guru sebagai agen perubahan dalam mencegah perkawinan anak bersama dengan Paguyuban Guru Peduli Kesehatan Reproduksi (PGB Kespro) di Kabupaten Bondowoso. Maman Suherman yang merupakan juri dan mewakili para juri Anugerah Saparinah Sadli 2018 lainnya yaitu Bonnie Triyana, Maria Ulfah Anshor, Ani Soetjipto dan Ery Seda, mengungkapkan bahwa empat tahun dalam setiap lima tahun, Indonesia menghadapi ratusan perhelatan Pilkada dan puncaknya Pileg dan Pilpres yang begitu meriah dan marak. Namun di sisi lain, tak jarang terlihat dan terdengar aksi dan narasi-narasi yang sungguh melukai telinga, mata dan hati nurani orang-orang yang peduli dengan Bhinneka Tunggal Ika negeri ini. “Sekubu tidak sekubu menjadi penentu benar-salah, setuju tidak setuju wajib menang menjadi tuntutan utama meski ekor dan sayap sayap Garuda harus dicabut satu persatu dan tinta suci putih dicengkram begitu kuat oleh kokoh kaki Garuda bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika, dikoyakkan, di cakar-cakar, bahkan diinjak, tak mau itu terus berlanjut menjadi pertimbangan utama Anugerah Saparinah Sadli”, ungkap Maman Suherman. Lebih jauh ia menegaskan bahwa, sosok yang terpilih dalam Anugerah Saparinah Sadli adalah sosok yang ramah terhadap kebinekaan dan sosok yang selalu berupaya merekatkan bukan yang meretakkan bangsa. Menurutnya, dalam kerangka berpikir yang lebih luas lagi, membicarakan sosok yang bersangkutan sekaligus membicarakan representasi persoalan yang belum beres—yang menjadi tanggung jawab kita bersama seperti persoalan keadilan gender, diskriminasi, kesempatan yang sama untuk mandiri dan sejahtera. Baginya persoalan tersebut bukan hanya persoalan perempuan, melainkan persoalan kemanusiaan. Di tahun 2018, Anugerah Saparinah Sadli diberikan kepada pejuang hak-hak perempuan nelayan, pendiri organisasi perempuan nelayan Puspita Bahari di Demak dan Sekjen Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Penerima anugerah tersebut ialah Masnuah, perempuan kelahiran 1974 yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan nelayan dan memberdayaan ekonomi perempuan nelayan. Salah satu capaiannya yang luar biasa adalah berhasil memperjuangkan hak perempuan nelayan untuk mendapatkan pengakuan profesi sebagai nelayan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Selain itu ia juga melakukan advokasi dan pemberdayaan untuk perempuan nelayan yang mengalami kekerasan, marginalisasi, dan penelantaraan ekonomi. Masnuah dipilih karena dedikasi dan perjuangan wujudkan keadilan gender dan kebinekaan dalam profesi di sektor perikanan di Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Jumat (10/8) Just Associates Southeast Asia (JASS Southeast Asia) bersama dengan Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia (FAMM Indonesia) mengadakan acara Peluncuran buku Solidarity, Safety and Power Young Women Organizing in Indonesia. FAMM Indonesia merupakan forum yang menyuarakan kepentingan perempuan dari berbagai sektor. Forum ini beranggotakan 350 perempuan muda yang tersebar di 30 propinsi di Indonesia. FAMM Indonesia mengadakan sejumlah program penguatan gerakan perempuan yang bersifat transformatif bagi para perempuan dari berbagai latar belakang berbeda. Nani Zulminarni, salah satu pendiri FAMM Indonesia, menyatakan bahwa derasnya arus fundamentalisme agama dan kekerasan telah berdampak pada tertutupnya ruang sipil dan terkikisnya hak asasi manusia. Selain itu, Nani juga mengatakan bahwa maraknya arus fundamentalisme agama telah membuat para aktivis yang bekerja di pedesaan, masyarakat adat, generasi muda, dan LGBT rentan dipinggirkan, dikriminalisasi, dan distigmatisasi. Pada peluncuran buku Solidarity, Safety and Power Young Women Organizing in Indonesia, Nani menyatakan “Buku Solidarity, Safety and Power Young Women Organizing in Indonesia dibuat untuk melatih perempuan muda dalam dunia aktivisme khususnya dalam dunia kepemimpinan” tutur Nani. Bersamaan dengan kegiatan peluncuran buku Solidarity, Safety and Power Young Women Organizing in Indonesia, JASS Southeast Asia meluncurkan toolkit online yang bernama We Rise. Toolkit online ini dapat dipergunakan untuk membantu aktivis muda dalam mempelajari isu perempuan. JASS Southeast Asia percaya bahwa untuk menciptakan perubahan, kita harus membangun kelompok yang paling berdampak. Melalui We Rise kita dapat mengorganisasi perubahan dengan cara menginformasikan tentang keberadaan dan kerja-kerja kelompok tersebut. Apabila kita mengunjungi laman werisetoolkit.org maka kita akan menemukan empat bagian yang berbeda yaitu:
We Rise dirancang guna menyatukan gagasan, strategi dan juga pengalaman para aktivis muda dari Asia Pasifik dan Afrika. Dalam era digital ini perputaran arus informasi begitu cepat, JASS Southeast Asia berharap agar We Rise dapat menjadi solusi untuk sejumlah tantangan yang dihadapi oleh para aktivis muda dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Asmida Karim, FAMM Indonesia menyatakan “We Rise bertujuan untuk menguatkan aktivis muda dalam wilayah pekerjaan maupun domestik. Di FAMM Indonesia terdapat isu yang amat beragam, oleh karena itu kami berupaya untuk membagikan pengalaman dan juga kerja yang pernah kami lakukan dalam dunia aktivisme melalui We Rise.” Asmida menegaskan bahwa kapasitas FAMM adalah merawat organisasi akar rumput, solidaritas lintas gerakan, dana aksi dan keamanan kolektif dan itu dapat dilihat sebagai buah dari sebuah investasi jangka panjang dalam kepemimpinan aktivis, dan sebagai batu loncatan untuk melakukan aksi publik dan politik. (Iqraa Runi) ![]() Masyarakat adat berkontribusi atas pelestarian hutan, penyediaan bahan makanan, bahan obat-obatan dan praktik hidup yang berkelanjutan. Namun sayangnya masyarakat adat belum mendapatkan perlindungan hukum dan pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara, misalnya dalam penguasaan tanah dan kebebasan beribadah. Di sisi lain saat ini Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat masih dalam proses persetujuan di DPR dan dinilai perlu perbaikan secara substansi karena masih jauh dari semangat pengakuan dan perlindungan. Untuk itu sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Pendukung RUU Masyarakat Adat berdiskusi membahas substansi dan menyusun strategi pengawalan RUU Masyarakat Adat tersebut pada Rabu (1/8) di Jakarta. Devi Anggraini Ketua Umum PEREMPUAN AMAN mengungkapkan memasukkan perspektif gender dalam RUU Masyarakat Adat menjadi tantangan besar. Sejauh ini hak kolektif perempuan adat belum memiliki tempat di berbagai kebijakan mengingat peraturan yang ada lebih mengatur hak-hak individu sementara perempuan adat menghadapi situasi-situasi khusus. Persoalan ini bahkan belum diatur dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Untuk itu RUU Masyarakat Adat diharapkan dapat menjadi ruang hukum yang kuat untuk melindungi hak kolektif perempuan adat. Rukka Sombolinggi Sekretaris Jenderal AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mengatakan terdapat beberapa hal krusial di dalam RUU Masyarakat Adat yang perlu dikritisi. Pertama terkait evaluasi terhadap status masyarakat adat. Pengaturan tentang evaluasi keberadaan masyarakat adat ini dinilai bertentangan dengan semangat pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Hak asal-usul bukanlah pemberian negara, ia merupakan dasar bagi lahirnya hak untuk menentukan nasib sendiri yang kemudian memunculkan hak khusus yang dimiliki masyarakat adat yang disebut Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). FPIC memungkinkan masyarakat adat memberi atau menolak persetujuan atas proyek yang dapat memengaruhi mereka atau wilayah mereka. Kedua proses pendaftaran masyarakat adat dinilai berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat adat. Menurut Rukka proses pendaftaran masyarakat adat sebaiknya murah bagi APBN, mudah bagi masyarakat adat dan sah di mata hukum. Ketiga, persoalan kelembagaan mengingat urusan masyarakat adat sejauh ini ditangani secara sektoral. Untuk itu dibutuhkan sebuah lembaga negara di tingkat nasional untuk mengurusi masyarakat adat yang mempunyai kewenangan pengaturan dan eksekusi. Keempat, upaya pemulihan belum diatur dalam RUU tersebut. Mekanisme pemulihan dibutuhkan karena masyarakat adat telah dan masih mengalami diskriminasi, kekerasan, penggusuran, dan pengabaian hak-haknya. Untuk itu mereka berhak mendapatkan hak atas rehabilitasi dan restitusi. Kelima, terkait judul RUU tentang Masyarakat Adat. Draf awal yang diserahkan Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai inisiator setelah proses diskusi dengan AMAN menggunakan judul RUU tentang Masyarakat Adat dan bukan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat sebagaimana draf yang sedang dibahas pemerintah dan DPR. Sementara itu Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia menegaskan ada tiga hal utama yang perlu diatur secara jelas dalam RUU Masyarakat Adat. Pertama eksistensi perempuan adat, harus ada pengakuan secara eksplisit terhadap hak-hak perempuan adat. Hal ini penting diatur sehingga tidak ada ruang penafsiran dalam hal menghormati dan melindungi hak-hak khas perempuan adat. Kedua eksistensi kerajaan/kesultanan. Ketiga keberadaan organisasi yang lahir dengan berbasis adat. Arimbi menjelaskan RUU Masyarakat Adat perlu meletakkan dengan tegas perbedaan antara komunitas kesultanan, kerajaan dan organisasi adat dengan masyarakat adat. Menurutnya masyarakat Adat memiliki hubungan yang kuat dengan habitat dan wilayahnya sebagai sumber pengetahuan, ekspresi dan sumber penghidupan. Untuk itu definisi tentang masyarakat adat menjadi penting. Tiga hal yang harus tercakup dalam definisi adalah asal-usul leluhur, wilayah dan aturan tingkah laku yang mengatur mereka dan dihormati komunitas tersebut. Ketiga hal ini merupakan ciri khas masyarakat adat yang tidak dimiliki oleh komunitas kesultanan, kerajaan dan organisasi adat. Masukan dari Organisasi Masyarakat Sipil tersebut menunjukkan pemerintah dan DPR perlu membahas RUU Masyarakat Adat dengan jeli dan hati-hati agar semangat pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat benar-benar terwujud. Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan semata-mata untuk kepentingan masyarakat adat. Dengan menyadari keberadaan masyarakat adat sebagai komponen penting bangsa Indonesia yang berperan untuk menunjukkan identitas keberagaman bangsa, menjaga keberlangsungan lingkungan hidup, dan penyumbang pengetahuan dan ekonomi, maka masyarakat sipil perlu ikut mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |