![]() Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP/16 Days of Activism Against Gender Violence) yang berlangsung pada tanggal 25 November hingga 10 Desember merupakan kampanye internasional yang mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama organisasi masyarakat sipil menggelar rangkaian acara selama 16 hari tersebut setiap tahunnya. Melalui siaran pers Peluncuran Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dilaksanakan pada hari Jumat, 23 November 2018, Komnas Perempuan menyatakan bahwa banyaknya pengaduan dan kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani dan terlindungi disebabkan oleh ketiadaan payung hukum yang dapat memahami dan memiliki substansi tentang kekerasan seksual. Pada siaran pers tersebut, komisioner Komnas Perempuan, Azriana, Masruchah, dan Mariana Amiruddin secara bergantian membacakan pernyataan siaran pers 16HAKTP yang mengangkat judul "Korban Terus Bertambah, Segera Bahas dan Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual". Komnas Perempuan menyatakan bahwa kekerasan seksual masih terabaikan dalam berbagai ranah. Dalam ranah institusi pendidikan, kasus kekerasan yang dialami oleh mahasiswa UGM menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih dianggap bukan pelanggaran berat di institusi pendidikan dan belum adanya prioritas pemulihan bagi korban. Terabaikannya unsur kekerasan seksual dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebabkan usaha pembelaan diri yang dilakukan oleh ibu Baiq Nuril yang merupakan korban kekerasan seksual secara verbal justru menjadi bumerang bagi dirinya. Tren kekerasan terhadap perempuan di dunia maya (cyberspace), masih menjadi kasus yang sering diterima pengaduannya oleh Komnas Perempuan sepanjang tahun 2017. Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Migran Perempuan juga tidak luput dari jerat kekerasan seksual. Sepanjang tahun 2017, Komnas Perempuan menerima 10 pengaduan kasus PRT dan pekerja migran perempuan yang menjadi korban perdagangan perempuan yang disertai dengan kekerasan fisik, seksual, dan juga kriminalisasi. Komnas Perempuan menyampaikan bahwa tren kekerasan seksual menunjukkan bahwa kebutuhan payung hukum RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat diperlukan untuk melindungi kelompok rentan dari kekerasan seksual. Maka dari itu dalam kampanye 16HAKTP tahun ini, Komnas Perempuan mendesak para badan eksekutif dan legislatif untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mendesak Presiden Republik Indonesia agar memberikan arahan kepada Pemerintah untuk memperhatikan kasus kekerasan seksual dalam proses penyusunan payung hukum agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memiliki ketepatan substansi, serta mendesak masyarakat untuk berpartisipasi dan mengawal proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui kampanye #GerakBersama. Dalam kampanye 16HAKTP tahun ini, Komnas Perempuan telah menyusun sejumlah agenda bersama jaringan masyarakat sipil yang tergabung dalam jaringan #GerakBersama. Selain itu, Komnas Perempuan juga menyatakan telah melakukan audiensi kepada beberapa pihak lainnya seperti Grab, KBR 68H, Google Indonesia, HelloMotion, Majalah Tempo, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, @America, dan masih banyak lainnya untuk terlibat dalam kampanye 16HAKTP. Pada tanggal 8 Desember 2018 juga akan dilakukan karnaval budaya dengan tema “Pawai Akbar Mendorong Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” sebagai puncak dari acara 16HAKTP. Pada siaran pers tersebut juga hadir Valentina Sagala dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan, Luviana dari Indonesia untuk Kemanusiaan, dan Dea Safira Basori dari Indonesia Feminis, ketiganya mewakili Aliansi Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Pengesahan RUU P-KS. Valentina Sagala dalam kesempatan tersebut juga membacakan pernyataan siaran pers dari Aliansi Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Pengesahan RUU P-KS yang mendesak DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU P-KS yang berperspektif korban. Luviana dan Dea Safira Basori serta beberapa rekan dari organisasi yang tergabung dalam jaringan #GerakBersama turut menyampaikan agenda dari masing-masing organisasinya dalam kampanye 16HAKTP. (Bella Sandiata) ![]() Perempuan Nelayan Di Tengah Konflik Agraria “Perempuan nelayan tidak dapat bekerja dan memberi makan anak-anak bila laut tercemar, kontaminasi lumpur pada laut membuat suami-suami kami tidak dapat bekerja ke laut”, ungkap Fitriyati, seorang perempuan nelayan Banyuawangi. Kecemasan ini disampaikan Fitriyati pada diskusi umum yang diselenggarakan oleh KIARA (Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Perikanan) di Ruang Ke:Kini, Jakarta pada hari Senin (19/11). Konflik agraria dan kerusakan lingkungan berdampak langsung pada hidup perempuan nelayan. Fitriyati menyatakan bahwa proyek tambang emas di Gungung Tumpang Pitu, Banyuwangi telah memicu sejumlah bencana ekologis. Pasalnya di tahun 2016 telah terjadi banjir lumpur yang disebabkan oleh proyek tambang emas, menyebabkan tangkapan laut, khususnya gurita menurun drastis. Banjir lumpur membuat para nelayan berhenti melaut. Selain menderita kerugian ekonomis, Fitria beserta warga lain terus dihantui ketakutan akan terjadinya banjir lumpur yang lebih dahsyat lagi. Menurut Fitriyati, protes dan penolakan terhadap proyek tambang Tumpang Pitu telah dilakukan oleh warga setempat, alih-alih aspirasi mereka diakomodasi oleh negara, malah banyak diantara para perempuan nelayan yang dikriminalisasi dengan tuduhan memprovokasi masyarakat. Persoalan yang dilontarkan oleh Fitria adalah salah satu potret perempuan nelayan dalam konflik agraria. Pusat Data dan Informasi KIARA menemukan bahwa terdapat beberapa permasalahan agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain adalah marginalisasi masyarakat pesisir dari pulau-pulau kecil yang disebabkan oleh pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) untuk investasi pembangunan wisata bahari. KIARA menemukan bahwa proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) membutuhkan biaya yang amat besar yang tidak dapat diakomodir oleh APBN. Sehingga pemerintah kemudian menggunakan skema utang luar negeri untuk membiayai proyek tersebut. Dalam diskusi umum tersebut, Susan Herawati, Sekjen KIARA menyatakan bahwa pola perampasan ruang hidup masyarakat pesisir termanifestasi dalam beragam wajah, yakni proyek reklamasi, pertambangan pesisir, laut dan proyek pariwisata. Menurut Susan ada persoalan besar dalam memaknai dan menerapkan reforma agraria dalam relasinya terhadap masyarakat pesisir dan masyarakat pulau-pulau kecil. Bagi Susan ada kegagapan negara dalam mengartikulasikan konsep reforma agraria karena gagasan tersebut hanya sekadar dipahami dan diterapkan dalam praktik pembagian atau pemberian sertifikat lahan, padahal reforma agraria sejatinya harus berani mengubah struktur kepemilikan lahan baik di darat maupun laut. “Reforma agraria dalam konteks pesisir, negara harus mengakui empat hak konstitusional masyarakat pesisir yaitu hak untuk melintas, hak untuk mengelola, hak untuk mendapatkan manfaat, dan hak untuk memiliki lingkungan yang bersih dan sehat”, tutur Susan. Konflik agraria berdampak pada kehidupan para perempun nelayan. Perempuan nelayan menghadapi ketidakadilan berlipat. Selain harus berjuang di tengah konflik agraria, perempuan nelayan juga berada dalam pertarungan memperjuangkan pengakuan atas profesi sebagai nelayan. UU No. 7 Tahun 2016 belum mengakomodasi pengakuan atas perempuan nelayan. Implilasinya adalah hanya 21.793 asuransi yang diberikan kepada perempuan nelayan, dari 1.108.852 asuransi nelayan yang ada. Padahal ada 3,9 juta perempuan nelayan terlibat dalam produksi perikanan, mulai dari praproduksi hingga pascaproduksi. KIARA mencatat bahwa hingga saat ini terdapat 37 daerah pesisir Indonesia yang direklamasi. Proyek tersebut telah merenggut hak konstitusional 500.000 masyarakat pesisir. Tumpang tindih peruntukan wilayah pesisir yang bias, pada akhirnya merugikan dan memiskinkan masyarakat pesisir, khususnya perempuan. Permasalahan utama dalam isu agraria adalah siapa yang dominan dalam penguasaan lahan dan siapa yang diuntungkan dari keberlangsungan sebuah proyek. Susan menyatakan bahwa konflik agraria yang dihadapi oleh masyarakat pesisir terjadi karena terenggutnya akses dan wilayah masyarakat terhadap laut karena proyek tambang, reklamasi, dan pariwisata yang tak jarang berimplikasi pada kerusakan lingkungan. Merespons isu perempuan nelayan dalam konflik agraria, Yustus Maturbongs, Asisten Ombudsman RI bidang agraria mengatakan bahwa penting agar aspirasi dan kepentingan masyarakat pesisir termasuk perempuan diakomodasi. Artinya, perempuan perlu diberikan akses pada informasi terkait dokumen pertanahan juga administrasi. Selain itu, perempuan juga harus dilibatkan dalam public hearing dan pengambilan keputusan bersama. Masih menurut Yustus, penting juga untuk melakukan analisis dampak lingkungan yang mempertanyakan dampak kerusakan ekologis terhadap perempuan dan anak. Hal ini perlu dilakukan dalam upaya menjamin aksesibilitas sumber daya alam secara adil. (Abby Gina) ![]() Kamis (15/11) bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, KAFFE (Kajian Filsafat dan Feminisme) yang ke-12 dengan tema “Moral Politik” diselenggarakan. Pada pertemuan kedua kelas diampu oleh Robertus Robet (Ketua Jurusan Sosiologi UNJ) dengan topik “Moral Politik Machiavellian”. Di awal kelas, Robertus Robet memulai pembahasan dengan menjelaskan perbedaan moral dan etika. Robet menjelaskan bahwa moral lebih mengarah pada pemahaman atas ide kebaikan, sedangkan etika menyoal pertimbangan tindakan atau perbuatan baik. “Berbicara mengenai moral, kita harus terlebih dahulu membahas moral Kantian, sebab moral Kantian yaitu deontologis adalah cikal bakal perkembangan bahasan moral selanjutnya” tutur Robet. Robertus Robet mengungkapkan bahwa moral Kantian bersifat mengikat batin seseorang dan juga berlaku mutlak. Misalnya jika ada seorang pengemis, maka kita harus memberikannya uang tanpa mengintrogasi terlebih dahulu. Dengan sifatnya yang mutlak tersebut, biasanya moral deontologis dikenal sebagai moral yang tidak memisahkan cara dan tujuan seseorang dalam berbuat baik. Misalnya, jika seseorang melakukan hal baik untuk mencapai tujuan yang baik maka tindakan tersebut bisa dikatkan bermoral. Sedangkan jika seseorang ingin mencapai tujuan baik melalui cara yang buruk maupun sebailknya, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan bermoral. Moral deontologis biasanya digunakan oleh politik libertarian. Berbeda dengan deontologis, moral teleologis menurut robet lebih mengacu pada tujuan. Moral telelologis tergantung pada cara, melainkan berfokus pada tujuan. Selama sebuah tindakan dilakukan untuk tujuan yang baik, maka tindakannya bisa dibenarkan sebagai yang bermoral. Moral telelologis biasanya digunakan oleh politik komunitarian. Selain itu, Robertus Robet juga menjelaskan tentang moral politik Machiavellian yang selama ini sering dianggap sebagai moral politik yang durjana. Dalam buku The Prince yang ditulis oleh Nicolo Machiavelli dapat dikatakan bahwa moral politik Machiavellian cenderung menghalalkan segala cara. Moral politik yang digunakan oleh Machiavelli bahkan bisa dikatakan berada di luar paham deontologis maupun teleologis. Menurut Robet, selama ini Machiavellian berupaya membangun politik yang memiliki satu tokoh sentral. Tokoh sentral ini yang nantinya akan memberi keputusan baik maupun buruk. Sebab menurut moral politik Machiavellian, politik adalah menyoal keputusan. Oleh karena itu, diperlukan adanya tokoh sentral yang dapat memainkan perannya di dalam politik. Selanjutnya, Robertus Robet juga menjelaskan tentang moral politik Machiavellian yang mengibaratkan politik sebagai virtue and fortuna. Menurutnya politik itu adalah sebuah ketidakpastian. Seperti virtue and fortuna yang berarti di antara kebajikan dan perempuan. Mengapa perempuan? Karena dalam sejarah yang misoginis selama ini perempuan dianggap sebagai sebuah ketidakpastian. Robet juga menjelaskan bahwa politik memiliki paradoksnya sendiri. Sebab seseorang sering merasa jengah dalam politik namun juga selalu ada keinginan untuk ikut serta dalam politik. Robertus Robet juga mengungkapkan bahwa moral politik Machiavellian sangat berpegang teguh pada tindakan penguasa. Sebab menurutnya, politik ada jika penguasa menentukan tindakan di antara virtue and fortuna. Politik yang dianggap bermoral adalah politik yang menentukan pilihan kendati pilihan tersebut membahayakan negaranya. Robet kembali menjelaskan bahwa di dalam buku The Prince terdapat penjelasan bahwa kebajikan setiap orang itu berbeda. Masyarakat akan mengatakan bahwa kebajikannya adalah liberty dan penguasa akan mengatakan bahwa kebajikannya adalah membuat keputusan walaupun gila. Robet menganggap bahwa perbedaan pandangan tentang kebajikan akan membuat keinginan penguasa dengan rakyat tidak bertemu. “Pernyataan dari Laclau itu benar tentang masyarakat atau society yang tidak pernah selesai dan berjalan terus, hal ini akibat adanya perbedaan pandangan tentang kebajikan si rakyat dan si penguasa”, Robet menjelaskan. Dalam pemaparannya, Robet menjelaskan bahwa moral politik Machiavellian menganggap suasana politik tidak selalu ada. Melainkan politik ada hanya saat terjadi tragedi besar. Misalnya, runtuhnya kekuasaan Soeharto baru bisa dikatakan sebagai suasana politik menurut Machiavellian. Kemudian, moral politik Machiavellian mengasumsikan adanya dua peran yakni the rule of law dan the rule of man. The rule of law akan berfungsi pada situasi baik-baik saja. Misalnya, negara bisa dengan mudah diatur menggunakan kebijakan dan peraturan daerah saat dalam masa baik-baik saja. Akan tetapi, perlu ada the rule of man saat situasi negara memburuk. The rule of man digunakan untuk memutuskan suatu tindakan yang dapat mengubah siatuasi politik maupun negara. Robet mengakui bahwa sampai hari ini dirinya belum menemukan tokoh Indonesia yang tindakannya sesuai dengan moral politik Machiavellian. Akan tetapi, penguasa yang sesuai dengan moral politik Machiavellian ada. “Abraham Lincoln adalah salah satu pemimpin yang sesuai dengan buku The Prince, pada saat itu ia berani menghapuskan perbudakan dan poligami, keputusan itu sangat gila pada masanya, terjadi banyak perang saudara tetapi Lincoln menjamin dengan keputusan tersebut Amerika akan menjadi negara yang baru”, pungkas Robet. (Iqraa Runi) ![]() "Ada kebutuhan akademis untuk mengevaluasi politik", pernyataan tersebut dilontarkan oleh Rocky Gerung pada pertemuan pertama Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) ke-12 yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan pada hari Kamis, 8 November 2018. Pada pertemuan pertama KAFFE ke-12 yang bertema "Moral Politik" tersebut, Rocky Gerung membahas mengenai filsafat politik. Melanjutkan pernyataan di atas, Rocky menjelaskan bahwa politik tidak hanya dapat dievaluasi oleh tim sukses sebagai elit politik, tetapi juga warga negara yang memiliki kepentingan dengan masa depan politik bangsa. Tidak hanya berdasarkan pada kepentingan semata, namun menurutnya masyarakat perlu untuk mengevaluasi politik karena adanya kebutuhan untuk membaca seluruh permasalahan politik. Rocky mengatakan bahwa pemilu merupakan alat untuk menyelesaikan permasalahan politik tetapi pemilu juga dapat menimbulkan permasalahan politik apabila tidak ada evaluasi kritis dari masyarakat. Rocky menjelaskan bahwa politik sendiri sesungguhnya merupakan suatu persoalan etis karena pada awalnya politik adalah upaya untuk mendistribusikan keadilan. Filsafat politik sendiri muncul setelah adanya gejala-gejala patologis dalam politik. Rocky menyampaikan bahwa pertanyaan yang muncul dari gejala patologis tersebut adalah; mengapa politik yang tadinya adalah ideal berubah jadi buruk sehingga dibutuhkan evaluasi terus menerus? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut Rocky diperlukan filsafat politik. Peran utama dari filsafat politik adalah mengevaluasi kondisi politik serta mengevaluasi antara "election" dan"decision".Rocky menjelaskan bahwa maksud dari kesenjangan dua hal tersebut ialah kekecewaan publik atas hasil pilihannya yang justru terpilih larut dalam kekuasaaan. Lebih lanjut Rocky membahas mengenai dasar dari filsafat politik. Ketika berbicara mengenai filsafat politik maka terdapat tiga hal yang akan terus dibahas yaitu, keadilan (justice), kebebasan (freedom),dan kedaulatan (sovereignity). Rocky menjelaskan tiga hal tersebut dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti; bagaimana mendistribusikan keadilan hingga tidak ada disparitas? Bagaimana kebebasan seorang individu bisa dimaksimalkan tanpa menghalangi kebebasan individu lain? Bagaimana agar ketertiban kehidupan politik dijamin oleh kekuasaan yang sah? Rocky menjelaskan bahwa politik sejak awal merupakan pertanyaan-pertanyaan tentang apa itu masyarakat yang adil, apa itu masyarakat yang memelihara kebebasan, dan apa itu masyarakat yang pemerintahnya berdaulat berdasarkan legitimasi dari rakyat. Namun, menurut Rocky hal tersebut merupakan konsep awal filsafat politik yang saat ini sudah tidak lagi dibahas lebih lanjut. Pada masa kini, filsafat politik mengalami pergeseran konsep karena munculnya persoalan etis baru dalam masyarakat, yaitu lingkungan (enviroment). Jauh sebelum adanya pergeseran etis masalah lingkungan, gerakan perempuan telah lebih dahulu melakukan interupsi dalam filsafat politik yaitu dengan ethics of care. Hal tersebut terjadi karena tiga konsep dasar filsafat politik seluruhnya memihak laki-laki, Rocky menjelaskan bahwa para feminis menyatakan apabila relasi gender belum diselesaikan maka keadilan, kebebasan, dan kedaulatan hanya akan dinikmati oleh laki-laki. Adanya pergeseran nilai etis dalam masyarakat memberikan suatu corak tersendiri bagi filsafat politik. Pada masa sekarang ini, masyarakat melihat pergerakan politik tidak hanya dalam konteks hak politik dan demokrasi tapi juga bagaimana lingkungan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat yang akhirnya pun berpengaruh pada kontestasi politik. Meski adanya perubahan nilai etis dalam masyarakat, nilai-nilai dasar filsafat politik sesungguhnya tetap dan tidak pernah berubah. Konsep keadilan, kebebasan, dan kedaulatan merupakan tiga hal dasar yang terus dan tetap menjadi indikator evaluasi dalam politik. Pada akhirnya filsafat politik merupakan alat evaluasi dari kekuasaan yang berkuasa untuk memeriksa kembali apakah keadilan, kebebasan, dan kedaulatan berpihak pada masyarakat. (Bella Sandiata) ![]() Femina bersama P&G mengadakan acara Indonesian Women’s Forum pada 8-9 November 2018 yang bertempat di Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan. Acara tersebut memiliki beberapa agenda seperti konferensi, kelas master, dan pameran. Pada hari Jumat (9/11) terselenggara konferensi yang berjudul “Siapa Bilang Gak bisa” yang menghadirkan Anggun Cipta Sasmi (Penyanyi), Silvia Halim (Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta), Najwa Shihab (Jurnalis dan Pendiri Narasi TV), Devi Asmarani (Co-Founder Magdalene) sebagai pembicara dan Petty S. Fatimah (Pemimpin Redaksi Majalah Femina) sebagai moderator. Pada acara tersebut Anggun Cipta Sasmi mengungkapkan bahwa perempuan perlu memiliki keberanian. Ia merasa beruntung memilih mengejar cita-citanya di usia yang masih belia yakni 20 tahun. “Usia 20 tahun ego saya masih tinggi, tetapi saya mempergunakan itu untuk mengejar cita-cita saya dan jika diingat saya merasa beruntung karena saat itu saya membuat keputusan”, tutur Anggun. Namun menurut Anggun ada yang berbeda ketika ia sudah memiliki anak. Baginya, perempuan yang mengejar cita-cita memang harus mengorbankan waktu untuk keluarga. Anggun mengaku bahwa selama 11 tahun anaknya lahir, Anggun empat kali absen pada ulang tahun anaknya. “Uniknya, mengapa jika seorang ayah absen pada ulang tahun anaknya itu menjadi hal biasa, sedangkan jika ibunya yang absen itu menjadi hal yang luar biasa buruk”, tegas Anggun. Selain itu Silvia Halim menyampaikan pendapatnya tentang peran perempuan pekerja. Silvia mengakui bahwa perempuan khususnya di dunia teknik mengalami diskriminasi kerja. Diskriminasi tersebut terjadi karena adanya anggapan bahwa teknik adalah zona yang sangat maskulin, sehingga ada anggapan perempuan tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut. Silvia mengaku awalnya ia bekerja di Singapura untuk bidang infrastruktur, pekerjaan cukup menjanjikan dari segi materi. Akan tetapi, penawaran datang dari Basuki Tjahaja Purnama (Mantan Gubernur DKI Jakarta) untuk membangun Jakarta. “Desember 2015 pak Basuki menemui profesional muda Indonesia, ia memberikan dialog dan mengajak kami para profesional muda untuk pulang dan membangun Indonesia”, tutur Silvia. Bagi Silvia tak mudah menjadi perempuan yang bekerja di dunia teknik. Akan tetapi, ia selalu memiliki tekat bahwa perempuan juga harus duduk di depan meja bersama para petinggi yang kebanyakan laki-laki. Sementara itu Najwa Shihab ikut serta menceritakan kegelisahannya dalam menentukan masa depan untuk dirinya sendiri. Bagi Najwa tidak mudah melepaskan perusahaan yang selama 17 tahun sudah ia tinggali. “Kadang saya menangis di depan suami saya sambil bertanya apakah pantas saya membuang semua yang sudah saya bangun sampai sejauh ini, tetapi saya mencoba pahami bahwa keputusan tidak akan menemukan waktu yang tepat, jadi saya hanya memutuskan dengan keberanian untuk membangun Narasi TV dan saya senang melakukan hal itu”, tutur Najwa. Kemudian, Devi Asmarani juga menyampaikan pengalamannya sebagai jurnalis. Menurut Devi pengalamannya sebagai jurnalis di The Jakarta Post membawanya berkeinginan untuk membangun perusahaan berita. Namun keterbatasan dana membuatnya membangun perusahaan berita berbasis web. “Saat itu saya tidak punya modal yang besar, akhirnya kami membuat Magdalene berbasis web yang simple”, Devi menjelaskan. Ia mengakui bahwa belum banyak media yang secara khusus membahas perempuan. Oleh karena itu, Magdalene berupaya membangun media yang ramah terhadap narasi dan perspektif perempuan. Sebab media mainstream seringkali membisukan narasi perempuan. (Iqraa Runi) Pembukaan Indonesian Women's Forum 2018, Femina Ajak Perempuan Jadi Pemilih dan Pemimpin Cerdas8/11/2018
![]() Rabu malam, 7 November 2018, diskusi "Perempuan dan Politik" menjadi pembuka rangkaian acara Indonesian Women's Forum (IWF) 2018 yang diselenggarakan oleh Majalah Femina. Acara yang diperkirakan akan mempertemukan lebih dari 2000 pengusaha perempuan se-Indonesia ini akan berlangsung pada 8-9 November 2018 di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Dalam acara malam pembukaan IWF 2018 tersebut, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa hadir sebagai pembicara. Jurnal Perempuan merupakan salah satu knowledge partner dalam acara Indonesian Women's Forum 2018. Acara pembukaan yang diselenggarakan di Raffles Hotel Jakarta Selatan ini diawali dengan makan malam bersama para tamu undangan. Menurut Svida Alisjahbana (CEO Femina Group), pemilihan tema "Perempuan dan Politik" sebagai topik diskusi pada malam pembukaan IWF 2018 relevan dengan konteks tahun politik 2019 dan hasil riset yang dilakukan Femina, Accenture dan Jurnal Perempuan tentang pemimpin pilihan perempuan. "Kita akan berbagi wawasan tentang kekuatan wanita dalam dunia politik, juga tentang pentingnya bagi perempuan dan juga laki-laki menjadi pemilih yang bertanggung jawab dan sadar saat menggunakan hak suaranya dalam setiap proses pemilu", jelas CEO Femina Group tersebut. Ia menyebutkan bahwa hampir setengah penduduk Indonesia ialah perempuan yaitu sebesar 49% dan sekitar 50.4% dari daftar pemilih potensial di tahun 2019 adalah perempuan. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa Femina, Accenture dan Jurnal Perempuan melakukan survei terkait pemimpin pilihan perempuan yang hasilnya cukup disayangkan karena 22% dari responden (perempuan) lebih memilih pemimpin laki-laki. Hasil riset tersebut menemukan tiga alasan perempuan lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin karena identitas gendenrnya, yaitu karena laki-laki mobilitasnya lebih tinggi daripada perempuan, laki-laki dianggap lebih rasional, dan laki-laki dianggap lebih berwibawa. Menurut Svida hasil riset tersebut menjadi pemantik menarik untuk didiskusikan bersama. Khofifah Indar Parawansa dalam diskusi tersebut menuturkan sepenggal pengalamannya meniti karier di dunia politik. Ia menceritakan bahwa tidak mudah bagi perempuan untuk meyakinkan publik akan kemampuannya sebagai pemimpin di ruang publik. Ia menuturkan bahwa ia pernah ditolak oleh para Kyai untuk menjadi ketua Komisi 8 DPRI RI pada tahun 1993. "Seorang Kyai mendatangi saya, dan berkata, Khofifah pemimpin itu harus laki-laki", ungkap Khofifah. Ia menjelaskan bahwa perempuan sebagai pemimpin haruslah bernegosiasi dengan banyak hal, dengan dirinya, dengan lingkungannya dan dengan kemampuannya. Meskipun sebenarnya keputusan fraksi tidak bisa dipatahkan oleh siapapun, namun ia tetap rendah hati, alih-alih mengabaikan pernyataan Kyai tersebut, Khofifah justru mengunjungi satu per satu para anggota Komisi 8 untuk minta restu. "Saya sowani satu per satu, Kyai sepuh, yang ada di komisi 8 waktu itu, saya nuwun sewu keputusan fraksi saya ditugasi jadi pimpinan komisi 8, beliau menyampaikan: saya sebetulnya tersinggung dan berat hati tapi bu Khofifah sudah silaturahim ke rumah saya dengan ikhlas menerima bu Khofifah sebagai pimpinan saya", ungkapnya. Selain menyoal sulitnya mendapatkan dukungan politik di kalangan elit politik, Khofifah juga menjelaskan bahwa masyarakat juga perlu diberikan kayakinan untuk menaruh kepercayaan pada pemimpin atau politisi perempuan. Ia sendiri menyiapkan waktu khusus untuk menyapa dan mendengar pendapat masyarakat. Ia menceritakan bahwa pada masa kampanye Pilgub Jawa Timur, dirinya setiap hari pergi ke pasar. Menurutnya pasar adalah spirit dan energi yang baik untuk memulai hari, selain karena pasar adalah pusat berkumpulnya masyarakat yang masif tetapi juga karena di pasarlah ia dapat mendengar berbagai aspirasi masyarakat--yang mayoritas perempuan. Sebagai pemimpin perempuan ia sendiri merasa memiliki tanggung jawab untuk mendorong lahirnya pemimpin perempuan lainnya, yang ia tanamkan adalah optimisme bahwa perempuan bisa. Hal penting yang juga dituturkan ialah soal pembagian waktu antara pekerjaan dan keluarga. Khofifah menceritakan bahwa ia dan suaminya memiliki kesepakatan untuk berbagi peran di rumah tangga. Ia bertanggung jawab atas sekolah, kehidupan keagamaan dan perilaku anak. Sedangkan suaminya bertanggung jawab atas kesehatan, olahraga, kesenian anak-anak mereka. "Jadi di meja kerjanya (suami) itu ada KMS atau Kartu Menuju Sehat, jadi dia yang tahu anak saya imunisasi kapan, jadi dimanapun dia bertugas beliau akan kasih tahu saya dan beliau akan berusaha mengantarkan anak ke dokter, karena kesehatan tugas ayah", ungkap Khofifah. Menurutnya pembagian tugas seperti ini sangat membantu dirinya dalam menjalani karier politik. Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, memberikan apresiasi kepada Khofifah Indar Parawansa karena aktivismenya sebagai politisi dan atau pemimpin perempuan, baik di level legislatif maupun eksekutif. Atnike pada diskusi tersebut menjelaskan bahwa perempuan masih mengalami berbagai hambatan untuk menjadi pemimpin. Ia menjelaskan bahwa bias gender terhadap pemimpin perempuan tidak hanya bekerja pada masyarakat umum tetapi juga pada diri perempuan. Merujuk dari hasil riset yang dilakukan Femina, Accenture dan Jurnal Perempuan, Atnike menjelaskan bahwa masih banyak perempuan yang merasa kurang yakin atas kemampuan perempuan menjadi pemimpin maupun politisi. "Hasil survei menunjukkan 70% lebih responden terlibat dalam pemilu untuk melakukan tugas sebagai warna negara, 60% lebih menyatakan mereka ikut dalam pemilihan karena ingin ada perubahan", jelas Atnike. Meskipun kedua hal tersebut mendominasi secara positif, artinya perempuan menyadari tanggung jawab sebagai negara dan perempuan memiliki keinginan untuk perubahan, namun pada perihal preferensi memilih pemimpin perempuan ada kesenjangan. Bias gender dari pemilih hanya salah satu faktor, menurut Atnike beban ganda yang dialami perempuan dalam ruang publik dan domestik juga menjadi faktor penghambat lainnya yang membuat perempuan ragu ataupun tertatih-tatih berkarier di ranah politik. Tidak adanya pembagian kerja di dalam rumah tangga membuat perempuan yang berkarier di dunia publik memiliki dua jam kerja, yaitu jam kerja di ruang domestik dan publik. Menurutnya penting untuk berkomunikasi dengan pasangan dan membangun relasi yang setara antara suami dan istri sehingga pembagian kerja bisa diharmonisasikan. "Hal ini tidak mungkin bisa diatasi tanpa ada kesadaran untuk saling membantu dalam pengelolaan rumah tangga, atau dalam kerja-kerja perawatan atau care work yang selama ini dilekatkan dengan perempuan", jelas Atnike. Menyoal kuota 30% untuk perempuan di legislatif yang tak kunjung tercapai, Atnike menegaskan bahwa kaderisasi partai politik selama ini pun tidak cukup memadai. Namun menurutnya hal tersebut bukan hanya spesifik berdampak pada kualitas caleg perempuan tetapi juga laki-laki. Tidak adanya kaderisasi kader partai yang sehat membuat perempuan memiliki hambatan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki, yaitu mulai dari level dirinya, keluarga hingga komunitas dalam hal ini partai politik. "Caleg perempuan itu dicalonkan bukan dipersiapkan sebagai caleg yang mampu tapi hanya untuk memenuhi 30% ada, hal yang sama juga dialami caleg laki-laki", tutur Atnike. Lebih jauh ia menjelaskan tentang biaya politik di Indonesia yang sangat tinggi. Menurutnya kapabilitas perempuan untuk terjun di politik juga ditentukan dengan kapabilitas perempuan di dalam bidang ekonomi. Sehingga menurut Atnike, acara Indonesian Women's Forum 2018 juga sangat relevan dalam konteks perempuan dan politik, yaitu dalam mendorong partisipasi perempuan dalam politik. "Pada politik perempuan kita bicara mengenai aspirasi dan kepentingan perempuan di dalam politik, sedangkan perempuan dan politik itu kita bicara agensi perempuan dan bagaimana perempuan turut serta di dalam politik", jelas Atnike. Menurutnya perbincangan publik mengenai perempuan dan politik kerap kali sempit, hanya sebatas menjadi politisi atau pemimpin. Padahal menurut Atnike, perempuan dan politik juga adalah menyoal peran warga negara untuk turut aktif dan kritis dalam pemilu, pilkada, ataupun dalam berbagai keputusan politik. Dengan demikian, menurut Atnike, perempuan juga seharusnya memikirkan kepentingannya dalam politik, misalnya kepentingannya dalam perumusan undang-undang yang terkait kesehatan reproduksi, kekerasan seksual dan sebagainya. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Putri Sulung Reformasi, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), merayakan hari jadinya yang ke-20 pada tanggal 15 Oktober 2018. Untuk memperingati usianya yang telah menginjak dua dasawarsa, Komnas Perempuan mengadakan diskusi "Refleksi 20 Tahun Upaya Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia", pada hari Rabu, 31 Oktober 2018 di Hotel Sari Pacific Jakarta. Acara tersebut dibuka dengan sambutan dari Azriana Manalu, Ketua Komisioner Komnas Perempuan, dan pidato kunci dari Jaleswari Pramodhawardhani (Deputi V bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden Republik Indonesia). Pada pidato pembukanya, Azriana menyampaikan bahwa tidak ada perubahan apapun terkait kondisi perempuan pasca dua puluh tahun reformasi. Lebih jauh, Azriana menjelaskan bahwa perlindungan terhadap hak-hak perempuan mengalami kemajuan dalam satu sisi dan juga kemunduran di sisi lainnya. Menurutnya, hal positif dapat dilihat dari terdapat sejumlah peraturan tingkat nasional maupun regional yang melindungi hak-hak perempuan. Namun, Komnas Perempuan juga mencatat terdapat 421 kebijakan diskriminatif di daerah yang menjadi faktor penghambat bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Azriana juga menyoroti mengenai perempuan pembela HAM (Women Human Rights Defender/WHRD) yang tersebut dalam empat Undang-Undang namun tidak ada satupun yang menyebutkan mengenai perlindungan dalam bentuk jaminan keamanan maupun hukum bagi para perempuan pembela HAM secara spesifik. Jaleswari dalam pidato kuncinya memberikan penegasan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu kekerasan yang berdampak bagi aspek kehidupan sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan politik perempuan. Namun, perlindungan bagi perempuan dalam dua puluh terakhir sangat jauh dari kata tercukupi atau bahkan mumpuni. Menurutnya, dua puluh tahun merupakan perjalanan yang panjang dan berliku bagi Komnas Perempuan untuk bekerja dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Jaleswari mengatakan bahwa perkembangan teknologi dan juga keterlibatan media memiliki peranan penting dalam membantu kerja Komnas Perempuan dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan ke depannya. Pada acara inti yakni, Refleksi 20 Tahun Upaya Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia, diadakan diskusi panel yang terbagi menjadi tiga tema, yaitu, "Reformasi Hukum dan Kebijakan untuk Pemenuhan HAM Perempuan dalam Dua Dekade Reformasi"; "Dua Dekade Reformasi dan Pengembangan Sistem Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan"; dan "Perlindungan Perempuan Pembela HAM dalam Dua Dekade Reformasi". Diskusi panel yang dilaksanakan serentak dan diikuti oleh para tamu undangan--yang merupakan para aktivis gerakan perempuan--tersebut diharapkan dapat memberikan suatu resolusi untuk masing-masing topik. Dalam diskusi panel tema ketiga yang difasilitasi oleh Tati Krisnawati, menghadirkan Hasto Atmojo Suroyo (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK) dan Arimbi Heroepoetri (Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan) sebagai pemantik diskusi. Tati membuka diskusi dengan menyampaikan terlebih dahulu mengenai perempuan pembela HAM yang luput dari perhatian negara, padahal beban kerja yang dimiliki oleh para perempuan pembela HAM sangat berat dan juga penuh tantangan. Arimbi memantik diskusi dengan menyampaikan definisi dari perempuan pembela HAM yang dapat diartikan sebagai siapapun yang melakukan pembelaan kepentingan perempuan tanpa melihat batasan gender. Diskusi pun dimulai dengan pembahasan mengenai kerentanan perempuan pembela HAM yang berawal dari isu tentang rendahnya kesadaran perempuan pembela HAM akan bahaya yang mengancam mereka. Para perempuan pembela HAM sering kali tidak menyadari bahwa dirinya pun manusia biasa yang dapat jatuh sakit dan juga memiliki keterbatasan lainnya, hal ini diungkapkan oleh para aktivis perempuan yang hadir dalam diskusi tersebut. Para peserta forum menyampaikan beberapa poin permasalahan bagi perempuan pembela HAM yang berasal dari diri mereka sendiri, antara lain, lupa untuk menjaga kesehatan, tidak bijak dalam mengatur keuangan pribadi, dan tidak peduli akan waktu. Selain itu, faktor eksternal yang menjadi penyebab kerentanan perempuan pembela HAM adalah para pelaku pelanggar HAM seperti korporasi, negara, maupun Aparat Penegak Hukum (APH) yang seringkali menyudutkan dan bersikap sewenang-wenang pada perempuan pembela HAM. Sehingga masyarakat yang mudah terprovokasi oleh isu-isu yang dipolitisasi pun juga menjadi ancaman bagi para perempuan pembela HAM yang dapat membahayakan hidup mereka dalam melakukan pekerjaannya. Dalam kaitannya mengenai perlindungan bagi para perempuan pembela HAM, Hasto menyampaikan bahwa negara melalui LPSK telah berupaya untuk memberikan perlindungan bagi para pembela HAM tanpa melihat gendernya. "Tidak ada yang berbeda (antara perempuan dan laki-laki) untuk perlindungan bagi para pembela HAM", ujar Hasto. Hal tersebut dinilai menjadi polemik tersendiri bagi forum karena perempuan memiliki kerentanan yang spesifik dan tidak bisa disamakan kebutuhan perlindungannya dengan laki-laki. Peserta forum mengidentifikasi bahwa ada kebutuhan utama bagi para perempuan pembela HAM adalah pengetahuan yang komprehensif akan bahaya yang mengancam dirinya dalam melakukan pekerjaannya, seperti mendapatkan ancaman dari pihak tidak dikenal hingga serangan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Sehingga dibutuhkan suatu kesadaran bagi para perempuan pembela HAM akan risiko pekerjaan yang dijalaninya. Di akhir diskusi para peserta forum sepakat bahwa perlindungan dari negara unyuk para perempuan pembela HAM sangat diperlukan demi menjamin keselamatan para perempuan pembela HAM yang rela mempertaruhkan hidupnya dalam menjalankan pekerjaannya. Strategi yang diusulkan forum dalam upaya perlindungan bagi perempuan pembela HAM adalah upaya penegasan definisi dari perempuan pembela HAM untuk mendapatkan pengakuan dari negara dan masyarakat. Hal tersebut dibutuhkan agar elemen negara dan masyarakat tidak menjadi pihak yang membahayakan para perempuan pembela HAM ketika mereka melakukan pekerjaannya. (Bella Sandiata) ![]() Selasa (30/10) bertempat di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Aliansi Bersama Mengakhiri Diskriminasi, Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang terdiri dari 49 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pegiat isu perempuan dan buruh mengadakan acara diskusi bersama untuk meyikapi diskriminasi, kekerasan dan pelecehan yang terjadi di dunia kerja, khususnya kekerasan berbasis gender. Hal tersebut juga sejalan dengan perjuangan International Labour Organization (ILO) terkait konvensi perlindungan dari diskriminasi, kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Acara diskusi tersebut menghadirkan oleh Ema Liliefna (Ketua K2N-KSBSI), Lita Anggraini (Jala PRT), Sumiyati (Serikat Pekerja Nasional), Fitri (Migrant Care), Lilis Mahmudah (Konfederasi Serikat Pekerja Nasional) dan Mutiara Ika Pertiwi (Perempuan Mahardika) sebagai pembicara. Pada acara tersebut, Ema Liliefna menyampaikan bahwa konvensi ini akan memasuki pembahasan final dalam tiga sidang perburuhan internasional dari tahun 2018 sampai dengan 2020. Ema menyatakan bahwa pengusaha dan pemerintah memiliki keberatan dalam menyikapi isu Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). “Jarang Perusahaan mau mengakui bahwa ruang kerja berkaitan dengan ruang privat atau rumah tangga. Padahal penelitian yang dilakukan oleh ILO menunjukkan tidak jarang istri masih diancam sampai ke kantor apabila terjadi KDRT di rumahnya”, tutur Ema. Bagi Ema perlu ada pendekatan serius kepada perusahaan agar dapat menyuarakan hal yang sama yakni melindungi perempuan di lingkungan kerja. Sementara itu, Lita Anggraini menyampaikan konvensi ini lahir karena desakan dan penelitian dari berbagai negara anggota ILO untuk memberikan mandat pada negara dalam membuat kebijakan yang memperhatikan hak pekerja. “Syarat tinggi badan, jenis kelamin, dan ras masih menjadi ukuran yang diwajarkan dalam dunia profesionalitas, hal ini tentunya menjadi batasan bagi seseorang untuk bekerja, padahal seharusnya bekerja membutuhkan kualitas skill” tutur Lita. Kemudian, Fitri mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki arus migrasi buruh yang tinggi, namun belum memiliki kebijakan yang memadai dalam menangani persoalan yang dialami para pekerja migran. Fitri mengakui bahwa Indonesia masih kental dengan budaya patriarki dan diskriminasi pada pekerja apalagi pekerja perempuan. Selain itu Fitri juga mengungkapkan bahwa Migrant care menemukan ketertindasan buruh migran memiliki tiga fase. Pertama, fase sebelum bekerja. Pada fase ini buruh migran tidak diberikan pendidikan yang memadai oleh biro Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Kemudian, pada fase saat bekerja, sering ditemukan buruh migran mengalami pelecehan baik verbal maupun non-verbal dari majikan. Yang terakhir adalah fase setelah bekerja. Pada fase ini buruh migran sering mendapat bayaran yang tidak sesuai, tidak jarang pula nasib buruh migran berakhir pada eksekusi mati. “Pejuangan buruh migran perlu didukung, pagi tadi Migrant Care mendapat kabar bahwa Tuti Tursilawati dieksekusi mati di Arab Saudi tanpa ada notifikasi” tutur Fitri. Selanjutnya, Lilis Mahmudah menyatakan dukungannya atas konvensi ILO tersebut, karena menurutnya konvensi tersebut dapat mengatur persoalan dari hulur ke hilir. Menurut Lilis, selama ini terdapat banyak kasus kekerasan di ruang kerja. Akan tetapi, kasus ini tidak pernah diusut karena keterbatasan perlindungan bagi kaum buruh. Kemudian Mutiara Ika juga menyatakan dukungannya atas konvensi ILO guna mengakhiri diskriminasi di dunia kerja. Ika menekankan bahwa masyarakat perlu mengingat adanya beban ganda yang dilimpahkan kepada perempuan baik secara sosial maupun budaya. “Tidak jarang kita temukan perempuan bekerja di pabrik lalu sampai di rumah harus bekerja mengurus rumah”, tutur Ika. Ia juga menyatakan bahwa yang harus diperhatikan juga adalah cara untuk membongkar beban ganda, bukan sekadar mengatur cara bertahan pada beban ganda. (Iqraa Runi) Aliansi Bersama Mengakhiri Diskriminasi, Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja: 1. KSBSI 2. KSPI 3. KSPSI-CAITU 4. SPN 5. KSPN 6. KPBI 7. Perempuan Mahardhika 8. JALA PRT 9. SINDIKASI 10. YayasanPerlindungan Insani 11. Kalyanamitra 12. SP TSK-SPSI 13. GERKATIN (Tuli) 14. Institut KAPAL Perempuan 15. JOUDI 16. Rumpun Gema Perempuan 17. YAPESDI 18. SPRT Sapulidi DKI Jakarta 19. SPRT Tangerang Selatan 20. SPRT Tunas Mulia 21. SPRT Merdeka 22. RUMPUN Tjoet Njak Dien 23. RUMPUN 24. TURC 25. Koko.Dirgantoro Opal Communication 27. Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR 28. SPRT Bandar Lampung 29. KIDUNG 30. Migrant Care 31. Institut Perempuan 32. KSARBUMUSI 33. Mitra ImaDEI 34. PPDI Kota Padang 35. www.konde.co 36. LARD Mataram 37. Dewi Keadilan 38. SPRT Paraikatte 39. Asosiasi LBH APIK Indonesia 40. Labor Institute Indonesia. 41. FSPM 42. KOY 43. LBH Jakarta 44. Garteks 45. KOWANI 46. LBH Apik Jakarta 47. SBMI 48. Jurnal Perempuan 49. LIPS Refleksi 20 Tahun Komnas Perempuan: Kontribusi dan Strategi Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan1/11/2018
![]() Pada 31 Oktober 2018, Komnas Perempuan merayakan hari jadi yang ke-20. Reformasi adalah penanda kelahiran lembaga negara yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia tersebut. Bertempat di halaman kantor Komnas Perempuan, acara ulang tahun tersebut dirayakan dengan rangkaian acara dari pukul 7 hingga 9 malam. Salah satu kegiatannya adalah melakukan refleksi 20 tahun Komnas Perempuan melalui pemikiran para kolega, mitra dan aktivis seperjuangan Komnas Perempuan. Kristi Poerwandari dan Usman Hamid adalah dua diantaranya. Kristi Poerwandari yang merupakan pendiri Yayasan pulih menyampaikan bahwa Komnas Perempuan adalah suatu komisi nasional yang penting dan unik. Menurutnya keunikan Komnas Perempuan terletak pada cara menghapus kekerasan pada perempuan yaitu melalui advokasi dan pemulihan. Bagi sosok yang telah lama berkecimpung di dunia pemulihan dan psikologi tersebut, aktivitas advokasi dan pemulihan adalah pekerjaan yang sama pentingnya dan kerap kali sulit dilakukan bersamaan, namun Komnas Perempuan gigih mengupayakan keduanya berjalan selaras. Pemulihan sendiri menurut Kristi perlu dimaknai secara luas agar dapat berjalan seiringan dengan advokasi. Ia memberikan contoh dalam kasus perkosaan yang pelakunya adalah keluarga inti kerap kali korban enggan melaporkan kasus tersebut. Pada kasus tersebut menurut Kristi, advokasi dan pemulihan perlu bersinergi agar korban tidak menjadi korban kembali. "Pemulihan dalam makna luas bisa digunakan karena korban bisa dilihat sebagai sosok utama yang kepentingannya perlu didahulukan, baik dalam proses hukum maupun perihal traumanya", jelas Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tersebut. Kristi menjelaskan bahwa pemulihan itu dilakukan pada individu atau kelompok untuk dapat berdaya, bahagia, mandiri, dan menghilangkan kekacauan batinnya. Ia juga menjelaskan bahwa Komnas Perempuan memiliki 5 prinsip dalam pemulihan yaitu, berbasis hak, perspektif perempuan korban, multidimensi, berbasis masyarakat, dan berkesinambungan. Kelima prinsip tersebut menurut Kristi adalah upaya Komnas Perempuan untuk mendukung korban agar tidak memunculkan persoalan baru. Lebih jauh, Kristi menjelaskan bahwa Komnas Perempuan juga memiliki mekanisme advokasi yang dalam prosesnya tidak boleh menyebabkan korban menjadi korban lagi. "Komnas Perempuan memiliki prosedur advokasi yaitu setiap strategi advokasi harus didiskusikan dengan korban dan dilaksanakan dengan persetujuan korban, terutama dengan memberikan dan menjelaskan opsi dan risiko atas strategi yang diambil", jelas Kristi. Dengan demikian menurut Kristi, proses advokasi dan pemulihan tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Usman Hamid, Direktur Amensty Internasional Indonesia juga diundang untuk memberikan refleksi. Dalam refleksinya Usman mengungkapkan bahwa Komnas Perempuan adalah kristalisasi gerakan perempuan yang setelah begitu lama direndahkan oleh sistem otoritarianisme orde baru atau militerisme Orba. Usman menjelaskan gerakan Suara Ibu Peduli yang telah mendahului gerakan mahasiswa 1998 merupakan bukti bahwa gerakan perempuan adalah gerakan masyarakat sipil yang tidak bisa dianggap remeh. Usman juga menjelaskan bahwa protes kenaikan harga susu yang dilakukan Suara Ibu Peduli adalah suatu abstraksi dari krisis moneter yang terjadi saat itu. "Kemudian ada gerakan masyarakat anti kekerasan yang melawan kekerasan orde baru, kekerasan yang menyasar tubuh perempuan. Komnas perempuan lahir dari rahim reformasi", jelas Usman. Lebih jauh, Usman Hamid mengungkapkan bahwa Komnas Perempuan pada masa awal berdiri kesulitan mencari role model--karena tidak ada negara yang memiliki lembaga negara seperti itu. Kemudian, Komnas Perempuan merujuk ke belakang, mengadopsi CEDAW sebagai basis perjuangannya. Menurut Usman, Komnas Perempuan juga telah mengambil sebagian pekerjaan Komnas HAM yaitu penyelidikan berbagasi kasus HAM seperti kasus Timor hingga tragedi 1965. Tak hanya itu, bahkan Komnas Perempuan, gerakan perempuan dan gerakan sosial bersama-sama berhasil melahirkan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). "UU PKDRT memulai suatu babak baru untuk keberanian dalam kehidupan dan untuk keberanian bersuara melawan kekerasan", jelas Usman. Bagi Usman, Komnas Perempuan berbeda dengan gerakan hak asasi manusia lainnya di dunia yang mayoritas meninggalkan "agama". Usman menjelaskan bahwa Komnas Perempuan melibatkan banyak tokoh agama dalam kerja-kerjanya kemajuan perempuan, sehingga berbeda dari kebanyakan gerakan HAM di dunia yang meninggalkan agama atau melepaskan diri dari belenggu agama yang kerap kali dianggap melegitimasi kekerasan. Sebaliknya Komnas Perempuan merebut agama untuk bersama-sama memberikan kesetaraan dan keadilan. "Dua puluh tahun Komnas Perempuan, kita menemukan bahwa ada bukti gerakan sosial atau dalam konteks ini gerakan perempuan bisa bertahan lama", jelas Usman. Menurut Usman, keberadaan Komnas Perempuan yang mulanya adalah gerakan sosial dan kemudian bertransformasi menjadi lembaga negara juga harus diperkuat peran-perannya oleh negara. Ia berharap Komnas Perempuan dapat menjadi lembaga negara yang memiliki kekuatan seperti KPK atau LPSK sehingga angka kekerasan terhadap perempuan dapat diturunkan. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Kamis (18/10) bertempat di Grand Cemara Hotel, Jakarta Pusat, Kalyanamitra mengadakan acara diskusi publik “Menuju Posyandu yang Adil Gender dan Berkualitas”. Acara ini menghadirkan oleh Adriansyah (Kepala Bidang Pembangunan Bappeda DKI Jakarta), Titin Muktini (Pemda DKI Jakarta) dan Ruth Indiah Rahayu (Peneliti) sebagai pembicara. Listyowati (Ketua Kalyanamitra) dalam sambutannya menyampaikan bahwa kalyanamitra memiliki fokus untuk mendorong Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada goal 3 tentang menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia dan goal 5 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Guna mendorong tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut, Kalyanamitra membuat program Audit Gender Partisipatif (AGP) untuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di tiga tempat yaitu Kelurahan Cipinang Besar Utara, Kelurahan Pejaringan, dan Desa Banjaraya. Pada Audit Gender Partisipatif (AGP) untuk layanan Posyandu tim Kalyanamitra menemukan sejumlah permasalahan seperti kurangnya pendidikan sensitifitas gender dan kurangnya sosialisasi kepada kader posyandu terkait pengetahuan perkembangan gizi anak dan ibu. Bagi Kalyanamitra Posyandu sebagai lembaga masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu jalan untuk mencapai tujuan goal 3 dan 5 dari SDGs. Oleh karena itu, Kalyanamitra memberikan rekomendasi bagi pemangku kebijakan yakni menjadikan posyandu sebagai bagian penting dalam proses pembangunan, mengalokasikan anggaran yang cukup untuk semua program Posyandu, memastikan adanya program pendidikan dan pelatihan kader, memberikan dana insentif untuk kader, menyelenggarakan pendidikan sensitifitas gender, dan melakukan upaya Pengarusutamaan Gender (PUG). Dalam acara tersebut Titin Muktini mengungkapkan bahwa minimnya dukungan pada Posyandu disebabkan oleh kebijakan yang tumpang tindih misalnya pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2011 dituliskan perlu adanya sosialisasi, rapat koordinasi, konsultasi, workshop, dan lomba. Sementara itu tidak tertulis jelas mengenai anggaran untuk menjalankan program tersebut. Bagi Titin, tumpang tindihnya kebijakan akan berdampak pada hilangnya rasa tanggung jawab sebuah instansi sehingga saling melempar tanggung jawab. "Tidak jarang kader posyandu kebingungan untuk mengurus kebutuhan posyandu, untuk itu perlu ada perbaikan yang signifikan pada kebijakan yang mengatur posyandu", tutur Titin. Sementara itu, Adriansyah mengungkapkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pada pasal 354 bab 14 telah mengatur tentang partisipasi masyarakat. Pada undang-undang tersebut juga diatur tentang kewenangan atributif lurah, camat, dan walikota untuk mengoordinasikan masyarakat dalam pemberdayaan. Sehingga menurut Adriansyah kader posyandu perlu jeli dalam menanyakan pendanaan dan sosialisasi, sebab menurutnya peran lurah, camat, dan walikota hanya sebatas pada urusan koordinasi. Adriansyah melanjutkan bahwa persoalan minimnya anggaran untuk posyandu masih diupayakan. "Pada tahun 2018 anggaran untuk posyandu DKI Jakarta sebesar Rp 120.000.838.298 hanya saja angka ini harus dibagi, sehingga tiap posyandu hanya mendapatkan Rp. 300.000 setiap bulannya", pungkasnya. Ruth Indiah Rahayu menyatakan bahwa dirinya melakukan penelitian pada tahun 2013 tentang Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Hasil temuannya adalah Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) memiliki 10 program yaitu (1) Penghayatan dan pengamalan Pancasila; (2) Gotong royong; (3) Pangan; (4) Sandang; (5) Perumahan dan Tata Laksana Rumah Tangga; (6) Pendidikan dan Ketrampilan; (7) Kesehatan; (8) Mengembangkan kehidupan berkoperasi; (9) Kelestarian Lingkungan Hidup; (10) Perencanaan sehat. Posyandu sebagai salah satu bagian dari PKK fokus pada program kesehatan saja. “Mengapa isu kesehatan hanya berfokus pada kesehatan anak? Padahal penting untuk mengangkat isu kesehatan ibu secara bersamaan. Selama ini kita hanya fokus bahwa PKK dibentuk dari rezim orde baru yang mendomestikasi perempuan. Padahal kita perlu mengingat bahwa yang harus dilakukan adalah merebut PKK dan mengubah prinsip dasar menjadi ramah gender agar PKK tidak dikuasai sejumlah elit” ungkap Ruth. Bagi Ruth PKK perlu direvitalisasi agar ada regenerasi. Selain itu, PKK juga perlu memberi ruang untuk pemikiran baru masuk dan mengisi prinsip PKK seperti kesehatan yang fokus pada kesehatan anak dan juga ibu agar tidak ada kesenjangan diantara keduanya. (Iqraa Runi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |