Pada tanggal 13 Juni 2021, Prof. Dr. Toeti Heraty menutup usia di usianya yang ke-87 di Jakarta. Semasa hidupnya, Toeti mengabdikan diri pada berbagai bidang, seperti filsafat, feminisme, HAM, budaya, seni dan sastra. Ia mencita-citakan dan juga mengupayakan ilmu yang bersifat lintas disiplin dan multidisiplin. Mengingat begitu luasnya kiprah Toeti dalam dunia akademisi, aktivisme, sosial dan budaya, Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan sebuah diskusi untuk mengenang Ibu Toeti Heraty.
Misi utama agama hadir di dunia ini adalah menghadirkan kedamaian, cinta kasih dan membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Semua agama mengajarkan agar manusia hidup saling mengasihi dan bertindak adil terhadap seluruh ciptaan, secara khusus umat manusia tanpa memandang gender dan seksualitasnya. Manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sehingga ia dituntut untuk bercermin pada sifat-sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Adil untuk diaktualisasikan dalam realitas kehidupan nyata, sehingga wajah dunia ini menjadi dunia yang penuh cinta kasih, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan.
![]() Oleh Abby Gina Yayasan Jurnal Perempuan bersama Yayasan Plan Internasional Indonesia pada tanggal 3 Juni, 2021, menyelenggarakan sebuah webinar dengan tema "Penghapusan Praktik Perkawinan Anak di Indonesia dari aspek Sosial, Agama dan Hukum Pasca Pengesahan UU Perkawinan No. 16 tahun 2019". Adapun pembicara yang diundang adalah Dra. Hj Badriah Fayumi, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (Kupi); Shagiar Maulana, Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa Kabupaten Lombok (KAPAD); Drs. Ahmad Nur MH, Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan Prof. Alimatul Qibtiyah Sag. MSi, Komisioner Komnas Perempuan. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya melanjutkan perjuangan pencegahan dan penghapusan perkawinan anak di Indonesia. Perempuan Aman mengadakan pembukaan Temu Nasional Perempuan AMAN III secara virtual (online) dengan menggunakan Zoom Meeting (16/4). Temu Nasional (TEMUNAS) Perempuan AMAN merupakan forum pengambil keputusan tertinggi organisasi Perempuan AMAN yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat (PP) sekali dalam 5 tahun. Forum ini berwenang di antaranya untuk menetapkan Statuta, Garis-garis Besar Program Kerja, menetapkan dan mengukuhkan anggota-anggota Dewan Nasional, memilih dan menetapkan Ketua Umum, dan mengesahkan anggota. TEMUNAS kali ini dihadiri oleh Dewan Nasional Perempuan AMAN, Dewan Pakar Perempuan AMAN, pengurus dan anggota wilayah pengorganisasian Perempuan AMAN, dan peninjau dari undangan perwakilan dari berbagai lembaga / organisasi dan donor (lokal, nasional, dan internasional), serta lembaga-lembaga pemerintah.
Konde.co bekerja sama dengan Komnas Perempuan mengadakan peluncuran hasil riset dan diskusi tentang Pemberitaan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) oleh Media (8/4). Riset ini dilakukan oleh Widya Primastika, Lestari Nurhajati dan Marina Nasution pada bulan Januari hingga Maret 2021.
Dalam rangka memperingati hari perempuan internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya, Komunitas Mahasiswa Filsafat (KOMAFIL) Universitas Indonesia dan Jurnal Perempuan menyelenggarakan diskusi publik dengan tema membongkar maskulinitas filsafat dan ilmu pengetahuan melalui perspektif feminis (26/3). Dalam kegiatan ini, Prof. Dr. Gadis Arivia, dosen sosiologi gender Montgomery Collage, Maryland – Amerika Serikat, yang juga adalah pendiri Yayasan Jurnal Perempuan memberikan kuliah.
![]() Human Rights Watch (HRW) meluncurkan sebuah laporan yang berjudul “Aku Ingin Lari Jauh: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia” (18/03). Laporan setebal 130 halaman, berjudul “’Aku Ingin Lari Jauh’: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia,” mendokumentasikan bagaimana berbagai peraturan pemerintah mewajibkan anak perempuan dan perempuan untuk mengenakan jilbab, busana Muslim yang menutupi kepala, leher, dan dada. Peraturan-peraturan tersebut diterapkan di lingkungan sekolah negeri, lingkungan PNS dan kantor-kantor pemerintah. Laporan ini juga mengangkat kasus-kasus diskriminasi yang dialami oleh pelajar perempuan dan guru di berbagai wilayah di Indonesia. ![]() Sekolah Pascasarjana UGM mengadakan Seminar Great Thinker dengan tema “Seyla Benhabib dan Pandangannya tentang Posisi Politik Gerakan Perempuan” (18/03). Kegiatan tersebut dilakukan secara daring dan diikuti 140 peserta. Hilda Ismail, mewakili Dekan Pascasarjana UGM membuka acara Seminar Great Thinker. ![]() Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2021, Komunitas Mahasiswa Filsafat (Komafil) bekerja sama dengan Jurnal Perempuan, menyelenggarakan sebuah diskusi publik dengan tema “Membongkar Hegemoni Maskulin: Gerakan Perlawanan Perempuan dalam Seni” (12/03). Diskusi yang diadakan daring ini menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu: Syarif Maulana S.IP, MI.Kom (Inisiator “Kelas Isolasi”), Aprina Murwanti PhD, S.D (Dosen Pendidikan Seni Rupa UNJ/ Pekerja Seni Profesional), dan Ikhaputri Widiantini, M.Si (Dosen Program Studi Ilmu Filsafat – Universitas Indonesia). Sebagai pembuka diskusi, Syarif Maulana memaparkan berbagai aliran dalam seni, khususnya yang berkembang di Eropa. Syarif Maulana menjelaskan perdebatan antara seni yang berwatak borjuis yang kemudian dikritik oleh seni aliran realisme sosial yang memberikan agenda perubahan dalam karya seni. Syarif Maulana menjelaskan beberapa praktik seni yang digunakan untuk membongkar konsumerisme di dalam kapitalisme. Mengutip Linda Nochlin, Syarif Maulana menjelaskan untuk terjun dalam dunia seni seorang perempuan membutuhkan individualitas yang memberontak terhadap masyarakat dan menolak peran gender yang dilekatkan kepada perempuan, seperti menjadi istri atau ibu. Sehingga peminggiran perempuan di dalam seni bukan disebabkan oleh hormon atau kondisi biologis perempuan, melainkan akibat dari institusi dan sistim pendidikan yang ada. Narasumber kedua, Apriani Murwanti mengangkat bahwa perbedaan karakter figur perempuan yang diproduksi oleh laki-laki dan perempuan menggambarkan praktik maskulinitas dalam seni di Indonesia. Menurut Apriani Murwanti, perupa laki-laki, dengan contoh karya lukisan, cenderung menggambarkan figur perempuan dari kacamata laki-laki dengan tubuh yang cantik sebagaimana gambaran cantik yang berkembang di dalam masyarakat. Ia memberi contoh bagaimana Basuki Abdullah menggambarkan Nyi Roro Kidul sebagai sosok yang cantik dan berkuasa. Sementara perupa perempuan, menurut Apriani Murwanti, menampilkan sosok perempuan yang lebih beragam dan ditampilkan berdampingan dengan alam. Karya-karya perupa perempuan pasca tahun 2000 menampilkan pesan-pesan yang lebih ekspresif. Apriani menceritakan bagaimana karya seni perupa perempuan sempat dilarang menampilkan simbol ‘lingga-yoni’ yang merupakan simbol kelamin laki-laki dan perempuan. Contoh ekspresi dalam karya perupa perempuan lainnya adalah ‘Butter Dance’, karya Melati Suryodarmo, berupa sebuah tarian di atas lantai yang dilapisi mentega. Karya ini menggambarkan kekuatan perempuan dalam menghadapi kejatuhan. Dalam penutup presentasinya Aprina Murwanti mengingatkan bahwa dimensi kesetaraan gender tidak cukup dilihat dari perupa atau pekerja seni, tetapi juga rantai produksi di dalam produksi seni, seperti kurator, pendidik, jurnalis, dan sponsor. Situasi hari ini, menurut Aprina Murwanti cukup berpihak kepada perempuan, namun masih perlu didukung oleh berbagai aktor dalam rantai produksi seni tersebut. Ikhaputri Widiantini dalam diskusi memaparkan presentasi yang berjudul ‘Abjeksi Tubuh Horor Perempuan Seni dan Suara Perempuan’. Ikhaputri menyatakan bahwa studi feminisme menjadi penting sebab memberi perhatian terhadap peminggiran perempuan dalam seni dan filsafat. Konsep estetika dalam seni, khususnya seni tinggi, tidak memberikan ruang bagi ‘everyday asthetic’, seni hanya menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang ‘indah’. Menurut Ikhaputri, sebagai respons terhadap peminggiran pengalaman perempuan dalam seni, feminisme post-modern kemudian berusaha mempengaruhi proses kreasi seni dengan mengangkat pengalaman perempuan yang personal dengan mengangkat “tubuh yang mengerikan”. Menurut Ikhaputri, pengalaman personal perempuan yang ditampilkan dalam seni kerap dianggap sebagai sebuah abjek yang menghasilkan perasaan horor. Misalnya gambaran perempuan sebagai kuntilanak, peristiwa menstruasi, yang secara estetis dianggap horor atau menjijikan. Abjek menjadi pemahaman penting dalam teori seni dan feminisme, sebab kehadiran abjek adalah subversi/perlawanan terhadap pemaknaan yang telah dianggap tetap dan stabil. Dalam feminisme, seni abjek menyuarakan suara dan pengalaman yang didiamkan dan disembunyikan dari masyarakat. Ikhaputri mempercontohkan kisah ‘Si Manis Jembatan Ancol’ sebagai perwujudan seni abjek. Kisah ini dianggap sebagai sosok yang horor, padahal kisah ini sesungguhnya menggambarkan pengalaman kekerasan seksual terhadap perempuan. Ikhaputri menggunakan pemikiran Julia Kristeva untuk menjelaskan konsep ‘abject’ sebagai proses estetis. Rasa rasa jijik (disgust) terhadap tubuh dan pengalaman perempuan merupakan pengalaman estetis yang positif, sebab emosi yang ditimbulkan oleh karya seni sebagai bagian dari pemahaman dan apresiasi. Abject kemudian mengubah pengalaman audiens terhadap ambiguitas pengalaman perempuan di dalam karya seni. Menutup presentasinya Ikhaputri menjelaskan bahwa ambiguitas pengalaman perempuan yang diangkat dalam karya seni akan memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru terhadap peniadaan (void) terhadap pengalaman perempuan. Seni menjadi penting bagi feminisme karena merupakan jembatan interaksi bagi perempuan yang bersuara lewat karya. (ANS) ![]() Rabu (10/3/21), Chevening Indonesia & Timor Leste mengadakan webinar #BeALeader yang mengangkat topik “Mencapai Kesetaraan Gender Melalui Pendidikan. Kegiatan yang diadakan dalam rangka Hari Perempuan Internasional ini menghadirkan alumni program beasiswa Chevening yang berbagi pengalaman dan tantangan yang mereka hadapi terkait peran pendidikan yang berkontribusi pada kesetaraan gender. “Kekuatan pendidikan mampu mengubah kehidupan (the power education will transfer life)”, demikian disampaikan Miranda Thomas, Direktur Sekretariat Chevening di London. Hal tersebut juga diakui para narasumber yang bergerak di bidang yang selama ini masih didominasi laki-laki. “Seperti diketahui, bidang jurnalisme masih sangat male dominated, sarat stereotip terhadap perempuan dan masih sering ditemukan pandangan yang bias gender terhadap perempuan”, ujar Citra Dyah Prastuti, Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio 68 (KBR68). Citra alumni Chevening yang lulus dari School of Oriental Studies – University of London, mengungkapkan pengalamannya dalam mengelola stasiun berita di mana kepemimpinan perempuan masih sering diragukan, keputusannya dipertanyakan, dianggap emosional. Sementara itu, Livia Istania Iskandar, alumni Chevening yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berpendapat bahwa perempuan harus bekerja tiga kali lebih keras untuk berada dalam posisi strategis sebagai pemimpin. Menurutnya, ada kualitas-kualitas stereotip yang dilekatkan hanya terhadap perempuan, misalnya perempuan yang asertif cenderung dianggap agresif. Menurut Livia, pendidikan merupakan cara dalam menembus hambatan tersebut. Karenanya, menurut Livia, perempuan harus memiliki cita-cita dan mengetahui apa yang ingin dilakukan. Menurut Livia, sebagai pemimpin, perempuan bisa mengembangkan kebijakan yang pro-perempuan, yang dapat mendukung perempuan lain untuk terus berkarir. Ia menyebutkan contoh yang paling sederhana adalah penyediaan ruang laktasi atau ruang penitipan anak bagi perempuan berkeluarga yang juga bekerja. Narasumber lainnya adalah Sukma Violetta, seorang komisioner dari Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sukma menjelaskan bahwa meskipun ketentuan-ketentuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah menjamin kesetaraan, namun implementasinya masih belum sesuai dan masih terdapat banyak hambatan. Ia mencontohkan dalam ketentuan poligami, yang diketahui masyarakat secara umum adalah hanya memerlukan ijin istri pertama sebagai prasyarat. Namun menurutnya, yang tepat adalah butuh ijin pengadilan, dan hal ini sering diabaikan para pelaku poligami. Ketiga narasumber yang merupakan alumni Chevening ini menceritakan bahwa kesempatan untuk menikmati pendidikan tinggi telah memberikan bekal yang berguna mereka sebagai perempuan untuk berkembang di dalam berbagai bidang yang masih timpang gender, seperti hukum dan jurnalisme. (Dewi Komalasari) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |