Jumat, 15 September 2017, pertemuan pertama kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) VIII yang mengambil tema Menyoal Feminisme dimulai. Diampu oleh Dr. Gadis Arivia, ia membawakan topik yang cukup menarik pada malam itu dengan membahas posisi ekofeminisme di dalam teori feminisme. Gadis memulai kelas dengan pemaparan awal berupa teori lingkungan arus utama untuk mengetahui letak ekofeminisme di dalam kerangka besar teori lingkungan. Untuk memulai diskursus mengenai teori lingkungan, ada 3 hal yang harus diperhatikan untuk memahami bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk memahami etika lingkungan. Pertama, ada sebuah pertimbangan moral bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran mempunyai tanggung jawab moral terhadap yang nonmanusia (termasuk alam, hewan, dsb). Kedua, alam harus dianggap sebagai subjek yang memiliki rasionalitas, bahasa dan jiwanya sendiri agar kita bisa memahami alam sebagai sebuah subjek, bukan objek. Ketiga, ada nilai intrinsik dan ekstrinsik pada alam sehingga kita bisa memahami alam sebagai sebuah subjek karena alam secara langsung memberikan pengaruh yang besar terhadap hidup kita. Gadis kemudian mulai menjelaskan tentang teori-teori lingkungan arus utama sebagai pintu masuk kita untuk memahami ekofeminisme. Mengutip Karen J. Warren, Gadis menjelaskan bahwa ada empat kategorisasi arus utama teori lingkungan yang selama ini menjadi perdebatan di dunia akademis. Paradigma yang pertama adalah paradigma House yang berarti hanya sedikit tanggung jawab moral manusia pada nonmanusia dengan kata lain poros paradigma ini masih antroposentris. Salah satu tokoh pemikirnya adalah Garett Hardin dengan teori “Lifeboat Ethics”, yang berarti seperti sekoci penyelamat dalam artian urusi diri masing-masing terlebih dahulu. Paradigma yang kedua adalah paradigma Reformist yang mengartikulasikan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk sebagian nonmanusia. Salah satu teori dalam paradigma ini dikemukakan oleh Peter Singer, melalui bukunya yang berjudul Animal Liberation yang mengatakan ketika kita mengetahui ada makhluk lain yang bisa merasakan rasa sakit, maka secara moral ia patut diakui keberadaannya. Paradigma yang ketiga adalah paradigma Mixed Reform and Radical yang meluaskan batasan kepentingan moral pada tanah, air, binatang, dsb, dengan mengedepankan integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Aldo Leopold dianggap sebagai salah satu tokoh yang menganut paradigma ini. Sekalipun paradigma ini sudah lebih maju dibandingkan paradigma House atau Reformist, nuansa antroposentris masih ada pada paradigma ini karena masih menganggap perlindungan spesies lain akan memberikan kebermanfaatan untuk manusia juga pada akhirnya. Paradigma yang keempat adalah paradigma Radical dengan sub alirannya yaitu Deep Ecology, Bioregionalism, Social and Political Ecology dan Ekofeminisme. Pertanyaan mengapa ekofeminisme diletakkan di dalam paradigma radikal sebenarnya bisa dijawab oleh enam konsep dasar di dalam ekofeminisme yaitu pertama, kehidupan sebagai yang aktif, interaktif, prokreatif, relasional, kontekstual. Kedua, alam harus keluar dari keterjebakan moral antroposentris. Ketiga, alam selalu hadir dalam kondisi manusia. Keempat, hubungan nonhierarkis antara alam dan manusia. Kelima, hubungan nondominasi karena hierarki adalah konstruksi sosial. Keenam, otherness sebagai yang setara. Enam konsep dasar ini menurut Gadis yang membuat ekofeminisme menjadi berbeda dengan teori lingkungan arus utama lainnya, sekalipun nantinya tetap ada perdebatan mengenai ekofeminisme dan ekofeminin. Gadis menjelaskan bahwa ekofeminisme sendiri dimulai oleh seorang perempuan bernama Françoise d’Eaubonne pada tahun 1974 yang menyatakan bahwa ada keterkaitan antara alam dan perempuan. Pertanyaan yang kerap kali muncul adalah apakah dengan menghubungkan perempuan dengan alam adalah sebuah penindasan atau pemberdayaan? Mendeskripsikan penderitaan atau menganalisis mengapa penindasan terjadi? Gadis kemudian menerangkan bahwa apabila kita terjebak pada konsep bahwa perempuan sama dengan alam dari sisi feminitasnya saja seperti perempuan bisa melahirkan sama dengan alam yang memberikan kehidupan (Ibu bumi) atau bibir perempuan sama merahnya dengan buah delima dan contoh-contoh lain yang mengasosiasikan perempuan dengan keindahan alam, maka itu bukanlah ekofeminisme melainkan ekofeminin dan jelas itu adalah penindasan terhadap perempuan. Gadis kemudian menambahkan bahwa menurut Warren, posisi ekofeminisme adalah dengan melihat keterkaitan perempuan dengan alam dari sudut pandang yang sama yaitu penindasannya, bukan sisi feminitas perempuan yang sebelumnya telah dijelaskan. Women other and other nature dijadikan konsep utama untuk melihat perjuangan perempuan yang membela alam. Ketika melihat perempuan yang membela alam, bukan lantas iya sepaham dengan paradigma ekofeminisme. Ekofeminin sendiri hanya terbatas membuat alam atau ekologi menjadi feminin dengan mengasosiasikan sisi-sisi feminin yang pada umumnya ada pada perempuan padahal sebagaimana kita pahami bersama, sisi feminin yang dilekatkan pada perempuan adalah konstruksi sosial. Gadis menuturkan bahwa ekofeminisme bukan hanya melihat penindasan yang terjadi pada perempuan dan alam saja, melainkan penindasan yang terjadi pada subjek liyan lainnya seperti kelompok LGBT, kelompok agama minoritas, dan etnis minoritas lainnya. Menurut Gadis, ekofeminisme bukan ekofeminin karena ekofeminisme tidak hanya menghubungkan perempuan dengan alam, tetapi nenentang ism of domination seperti rasisme, kelasisme, heteroseksisme, ableism, ageism, kolonialisme, dsb. Pemahaman yang dikaitkan dengan penindasan, subordinasi, dominasi terhadap perempuan. Untuk menguji sebuah gagasan atau gerakan perempuan itu benar-benar feminisme atau bukan cukup mudah. Misalnya pada kasus ibu-ibu Kendeng vs. PT. Semen Indonesia, bukan status ibu-ibunya yang kita lihat, melainkan apakah yang diperjuangkan oleh mereka benar-benar bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang telah hilang karena alam dan lingkungan hidup mereka dirusak oleh korporasi sehingga perempuan-perempuan di sana mengalami gangguan kesehatan reproduksi misalnya. Pada akhirnya, ekofeminisme adalah sebuah gagasan dan gerakan yang percaya bahwa feminisme mempunyai peluang untuk menghentikan dominasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi pada alam dengan menganggap bahwa alam bukanlah entitas liyan yang tidak penting untuk diperjuangkan kelestariannya. (Naufaludin Ismail) Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Lampung menyelenggarakan Pendidikan Publik Jurnal Perempuan edisi 94 dengan tema Pekerja Rumah Tangga Domestik dan Migran pada Jumat, 29 Agustus 2017 di Gedung Rektorat Universitas Lampung. Kegiatan tersebut dihadiri oleh sekitar 140 peserta dari kalangan akademisi, mahasiswa, LSM, pegawai pemerintahan dan media. Dr. Yusnani Hasyimzum, dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut. Ia menyoroti persoalan sistem hukum Indonesia dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap PRT (Pekerja Rumah Tangga). Yusnani mengungkapkan meskipun 14 tahun telah berlalu tapi hingga sekarang RUU Perlindungan PRT belum juga disahkan. Menurutnya kehadiran UU Perlindungan PRT amat dibutuhkan dalam upaya memberikan definisi sekaligus sebagai bentuk pengakuan bahwa PRT adalah pekerja. Sehingga menjadi penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT karena jika tidak, PRT akan selalu berada pada posisi yang rentan terhadap diskriminasi, berbagai tindak kekerasan dan bahkan terjerat dalam sebuah sistem perbudakan modern. Yusnani melihat bahwa para PRT mengerjakan berbagai pekerjaan domestik yang sangat penting. Kerja-kerja mereka mendukung kerja para majikan namun ironisnya hak-hak mereka sebagai seorang pekerja sering tidak diperhatikan. Sejumlah persoalan seperti jam kerja yang tidak menentu, kerja melebihi waktu kerja para pekerja pada umumnya, ketidakjelasan waktu cuti, kerja lembur yang tidak berbayar, dan berbagai tindak kekerasan adalah kondisi-kondisi yang sering ditemui dalam profesi PRT. Menurut data Pusat Penelitian dan Pengembangan Informasi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Provinsi Lampung merupakan penyumbang PRT terbesar ke-4 pada tahun 2016. Oleh karena itu, persoalan PRT seharusnya menjadi perhatian bersama, khususnya oleh Pemerintah Daerah Lampung. Yusnani melihat bahwa mayoritas PRT adalah perempuan dan tidak sedikit di antara mereka adalah PRTA (Pekerja Rumah Tangga Anak). Baginya PRTA sangatlah rentan, karena tidak jarang mereka bekerja pada situasi kerja yang tidak layak. Yusnani memaparkan bahwa pelanggaran hak yang paling umum menimpa PRT adalah dalam soal upah. Sering kali PRT dibayar dengan upah yang tidak layak. Salah satu pihak yang bertanggung jawab akan persoalan ini adalah yayasan penyalur. Ia menyatakan sering kali yayasan penyalur PRT tidak membuat kontrak kerja yang jelas dan tidak ada keseragaman antar kontrak kerja, sehingga hak dan kewajiban PRT dan majikan menjadi berbeda antara satu yayasan dengan yayasan lain. Hal ini sesungguhnya disebabkan tidak adanya aturan yang jelas yang dapat dijadikan acuan dan bersifat mengikat. Perlu ada kesamaan tujuan bahwa kontrak kerja harus menjunjung keadilan dan kesetaraan. Di sisi lain, kesadaran PRT mengenai hak-hak mereka juga perlu ditingkatkan, agar mereka menyadari saat hak-hak mereka dilanggar oleh majikan dan tidak menerimanya sebagai sebuah kewajaran. Yusnani berpendapat dalam upaya memenuhi dan menjamin hak-hak PRT ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, para stakeholder harus saling bersinergi untuk menegakkan hukum atau aturan-aturan terkait hak-hak pekerja. Kementerian Ketenagakerjaan dan Aparat Penegak Hukum harus saling bekerja sama bila terjadi pelanggaran hak PRT. Kedua, harus ada UU Perlindungan PRT yang menjamin sebuah kepastian hukum. Artinya sebuah aturan yang jelas dan tidak mengandung bias. Selain itu penting juga agar substansi dari sebuah UU dipahami oleh majikan dan juga PRT. Ketiga, penting untuk mengubah persepsi masyarakat tentang kerja PRT. Budaya mengeksploitasi PRT harus dihapuskan. Dibutuhkan masyarakat yang sensitif atas pemenuhan hak-hak PRT. (Abby Gina) “Salah satu ciri khas yang menarik dari relasi antara majikan dan PRT adalah relasi sosial yang dibangun bukan relasi pekerjaan”, tutur Ida Ruwaida Noor Penulis JP 94 pada acara Pendidikan Publik dan Peluncuran JP 94 Pekerja Rumah Tangga Domestik dan Migran di Gedung Rektorat Universitas Lampung (29/08/2017). Ida Ruwaida Noor yang merupakan Dosen Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia ini menjadi salah satu pembicara dalam acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan dan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dalam acara ini Ida memaparkan beberapa temuan penting dari hasil studi lapangan yang ia lakukan di 3 wilayah yaitu Makassar, Surabaya dan Bandung—hasil kerja sama Pusat Kajian Sosiologi UI dengan International Labour Organization (ILO). Ia menjelaskan bahwa sering kali relasi yang dibangun antara majikan dan PRT adalah relasi kekeluargaan sehingga apa yang dikerjakan PRT tidak dianggap sebagai aktivitas bekerja, misalnya beban dan waktu kerja yang tak berbatas. Menurut Ida relasi antara majikan dan PRT perlu dikaji karena berkaitan dengan upaya untuk mendorong lahirnya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang semangatnya adalah untuk pemenuhan hak-hak PRT sebagai pekerja. Garis penting studi yang dilakukan Ida Ruwaida adalah untuk menumbuhkan kesadaran publik, majikan menjadi salah satu stakeholders yang disasar. Ida menjelaskan bahwa ada 3 aktor utama yaitu PRT, negara dan majikan, sehingga relasi majikan dengan PRT juga penting untuk diangkat guna menumbuhkan kesadaran publik yang diasumsikan dapat mendorong negara untuk mewujudkan UU Perlindungan PRT. “Memberikan pengetahuan dan kesadaran tentang hak-hak PRT kepada majikan penting karena tanpa kesadaran dari mereka situasi kerja layak tidak mungkin terwujud”, tutur Ida. Selanjutnya Ida menjelaskan secara umum kondisi yang dihadapi PRT Indonesia saat ini yang belum mendapatkan situasi kerja layak, masih mengalami kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, kekerasan seksual dan diskriminasi hukum. Misalnya PRT korban kekerasan seksual ketika diperiksa oleh Polisi malah disalahkan, dianggap perempuan nakal dan sebagainya. Hal-hal seperti ini yang sebetulnya sedang diperjuangkan. “UU Perlindungan PRT bukan hanya melindungi PRT tapi juga majikan”, tegas Ida. Lebih jauh Ida menjelaskan bahwa Intervensi struktural melalui advokasi kebijakan yang dilakukan teman-teman aktivis selama ini mengalami hambatan berupa isu kultural atau budaya, yaitu masih banyak anggapan bahwa PRT adalah pembantu, bukan sebagai pekerja, dan dianggap pekerjaan yang tidak membutuhkan kompetensi. Ida menjelaskan bahwa faktor sistem kepribadian juga menjadi tantangan, ia tidak memungkiri bahwa PRT yang bekerja asal-asalan itu memang ada, tapi menurutnya kita tidak bisa menggenaralisasi perihal itu. Bahkan ketika misalnya UU Perlindungan PRT ini berhasil diwujudkan maka teman-teman PRT harus siap karena sudah dianggap sebagai pekerja, maka di dalam dunia kerja ada usaha untuk meningkatkan kompetensi. Perubahan sistem kepribadian ini diharapkan dapat mengubah sistem kebudayaan tadi, jadi relasi yang dibangun adalah relasi pemberi kerja dan pekerja, relasi yang setara dan berkeadilan. “Seringkali kita bilang bahwa TKW yang dikirim ke Arab Saudi itu sebagai bentuk perbudakan, padahal yang kita lakukan di dalam rumah sendiri adalah hal yang sama, dengan tidak memenuhi hak-hak PRT sebagai pekerja maka itu adalah bentuk perbudakan”, jelas Ida. Temuan penting dari studi Ida Ruwaida yang berjudul “Kondisi Kerja Layak bagi PRT di Mata Majikan: Hasil Studi di Makassar, Surabaya, dan Bandung” dalam JP 94 antara lain, 1) PRT sebagian besar adalah perempuan muda dalam rentang usia 18-20 tahun dan untuk Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) 15-17 tahun; 2) Ibu muda biasanya mempekerjakan PRT live-in (tinggal di rumah majikan) dengan alasan untuk menjaga sekaligus menjadi teman untuk anaknya; 3) Rata-rata pendidikan PRT adalah Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP); 4) Sebagian majikan menganggap PRT sebagai pekerja, mereka mengakui kerja-kerja PRT namun jika ditanya mengenai hak-hak pekerja seperti kontrak kerja, gaji minimum, jaminan kesehatan dan jam kerja, sebagian besar majikan tidak setuju dan tidak melakukan kontrak kerja tertulis. Dari temuan tersebut Ida mengungkapkan bahwa profesi PRT sangat bias gender dan kelas, dengan demikian sangat rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Hal lain yang juga penting adalah, temuan bahwa sebagian majikan masih menerapkan double standart pada PRT, di satu sisi PRT dianggap sebagai pekerja, tapi dalam hal pemenuhan hak-hak sebagai pekerja, majikan cenderung memilih-milih. Alasannya juga bervariasi, ada yang mengatakan bahwa PRT bukan pekerjaan yang membutuhkan keahlian jadi tidak perlu ada kontrak kerja, jam kerja tidak perlu dibatasi dan jenis pekerjaan tidak perlu dinegosiasi, mereka menganggap bahwa pekerjaan domestik bisa dilakukan perempuan dengan mudah. “Isu asuransi dan jaminan kesehatan juga menjadi tanda tanya besar, tidak banyak majikan yang mendaftarkan BPJS untuk PRT”, tutur Ida. Lebih jauh menurutnya jika ada persoalan kekerasan yang terjadi antara majikan dan PRT, maka PRT tidak bisa melaporkan persoalan tersebut ke Dinas Tenaga Kerja karena PRT belum masuk dalam defisini pekerja, bukan wilayah Disnakertras untuk menyelesaikannya. Persoalan lain seperti hak untuk berserikat juga menjadi salah satu yang diperjuangkan. “Ada kecenderungan majikan tidak konsisten, double standart, yaitu mengakui PRT sebagai pekerja namun memperlakukan PRT berbeda dengan pekerja lainya, mulai dari beban kerja, jam kerja, kualifikasi bekerja, itu yang membedakan kondisi PRT dengan pekerja lainnya”, ungkap Ida. Sehingga menurutnya pemupukan pengetahuan dan kesadaran bagi majikan juga harus berjalan beriringan dengan advokasi di level struktural. (Andi Misbahul Pratiwi) Sebanyak 472 orang perempuan dari berbagai kabupaten/kota di Lampung bekerja di provinsi lain terutama Batam sepanjang Januari-Juni 2017. Mereka bekerja di sektor informal, seperti pekerja rumah tangga, penjaga toko dan babysitter. Sementara itu, terdapat 3.876 perempuan dari berbagai wilayah di Provinsi Lampung yang bekerja di luar negeri khususnya di sektor nonformal sepanjang Januari-Juni 2017. Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Taiwan yakni sebanyak 2.055 perempuan diikuti Hongkong sebanyak 900 perempuan dan Singapura sebanyak 497 perempuan. Sektor nonformal meliputi pekerja rumah tangga dan babysitter. Sedang pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri di sektor formal yakni di pabrik, jumlahnya relatif sedikit yaitu 410 orang. Data-data ini dipaparkan oleh Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri pada Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja, Nurhanisda ketika menjadi pembicara dalam acara Pendidikan Publik dan Peluncuran JP94 Pekerja Rumah Tangga Domestik dan Migran yang diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan bersama Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Selasa (29/8) di Gedung Rektorat Universitas Lampung. Nurhanisda menambahkan bahwa Dinas Tenaga Kerja mewajibkan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT) untuk menyampaikan laporan atas penempatan dan perekrutan tenaga kerja yang dilakukan baik untuk dalam provinsi, antar provinsi maupun luar negeri sebagai bentuk kontrol pemerintah. Lebih lanjut Nurhanisda mengungkapkan seseorang disebut pekerja jika ia mendaftarkan diri sebagai pekerja dan memiliki kartu kuning, dan dari segi umur minimal 18 tahun. Nurhanisda menjelaskan hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur PRT atau pekerja sektor informal dalam negeri, berbeda dengan pekerja sektor formal dan pekerja sektor informal luar negeri, yang sudah diatur lewat peraturan hukum yang jelas dan mendetail. Menurutnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 2 tahun 2015 tentang Perlindungan PRT belum berjalan. Ia mengapresiasi langkah yang dilakukan Damar, LSM yang bekerja untuk isu PRT, yang mengajukan usulan Peraturan Walikota (Perwali) tentang Perlindungan PRT. Mengingat jumlah PRT sebagian besar ada di daerah kota atau di Bandar Lampung, maka disarankan oleh Kepala Dinas agar perwali dimulai dari wilayah Bandar Lampung. (Anita Dhewy) Sabtu, 26 Agustus 2017 bertempat di SMA 1 PSKD, Jakarta Pusat, Feminist Fest diselenggarakan dengan meriah. Salah satu rangkaian acara dari Feminist Festival ini adalah seri panel diskusi dengan berbagai tema yang berkaitan dengan isu-isu feminisme terkini. Salah satu diskusi yang diadakan pada hari itu membahas mengenai Perempuan dalam Politik. Narasumber diskusi panel ini adalah Nihayatul Wafiroh, Nita Wakan, Sahat Farida, dan Nursyahbani Katjasungkana. Diskusi dimulai dengan pertanyaan mendasar seperti mengapa perempuan harus masuk ke dalam dunia politik, apa hal yang melatarbelakangi mereka untuk berkecimpung di dunia politik, dan apa sebenarnya hambatan yang harus dihadapi perempuan ketika ingin bergelut dalam dunia politik di Indonesia? Persoalan klasik seperti kuantitas vs kualitas dalam mendorong perempuan agar bisa berkecimpung di dunia politik dibahas dalam diskusi panel ini. Satu sisi kita melihat bahwa kebijakan kuota 30% jumlah perempuan di DPR sebetulnya secara garis besar dapat dilihat sebagai upaya penyetaraan perempuan di dunia politik, namun di sisi lain seperti yang didiskusikan di dalam panel ini, kita sepakat bahwa hanya segelintir perempuan yang benar-benar mempunyai perspektif feminisme dan ingin menyuarakan hak-hak perempuan ketika sudah berada di lembaga legislatif. Kebanyakan dari perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR mempunyai hubungan dengan keluarga mereka (suami atau ayahnya) yang telah lebih dahulu menjadi tokoh politik berpengaruh di daerah mereka masing-masing, sehingga kemudian banyak perempuan yang mendompleng nama suami atau ayahnya untuk bisa bertarung di dunia politik. Oleh karena itu, isu kuantitas vs kualitas ini akan menjadi perdebatan yang akan selalu hadir dalam setiap diskursus perwujudan keadilan untuk perempuan di dalam politik. Kehadiran perempuan di dunia politik selalu menjadi perdebatan ketika ia hanya maju karena mengekor kesuksesan keluarga atau suaminya, bukan karena keinginan pribadinya. Salah satu pengalaman menarik yang diceritakan oleh Nursyahbani Katjasungkana ketika ia menjabat sebagai anggota DPR RI tahun 2004-2009 dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Provinsi Jawa Timur, adalah berhasil disahkannya 15 UU dengan perspektif gender. Baginya, ketika perempuan sudah berhasil memasuki dunia politik, maka tugas ia selanjutnya adalah menyambung suara hati perempuan Indonesia lainnya yang sering kali dijerat dengan kebijakan yang salah sasaran dan lebih cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Ia menyesalkan terjadinya kemunduran pada pemerintahan saat ini terkait pengesahan UU yang berperspektif gender. Meskipun sudah 13 tahun RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) bergulir, namun belum juga disahkan. Padahal kita semua tahu mayoritas PRT adalah perempuan dan dengan tidak kunjung disahkannya RUU ini menunjukkan perjuangan perempuan dan kelas di Indonesia masih membutuhkan perhatian khusus. Perjuangan perempuan di dunia politik harus terus berjalan agar kebijakan yang berperspektif feminis bisa diwujudkan. Lalu bagaimana dengan tantangan yang harus dihadapi perempuan ketika ingin memasuki dunia politik yang dianggap kejam dan sangat maskulin? Nursyahbani mengatakan bahwa pintu pertama yang harus dilewati perempuan ketika ingin berkiprah di dunia politik adalah dengan mengetahui 40 hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Perempuan mungkin secara perangkat hukum tidak dilarang untuk berkecimpung di dunia politik, namun secara kultural hambatan itu akan selalu ada. Perempuan sering kali mendapat beban ganda ketika ingin menggeluti karier di dunia politik seperti tetap harus menjadi istri yang baik di rumah, harus selalu berpikir rasional bukan emosional, dan lain-lain. Hal ini akan terus ada selama budaya patriarki selalu menghantui setiap langkah perempuan ketika mereka ingin mengambil keputusan atas pilihan hidupnya. Perempuan adalah individu otonom yang setara dengan laki-laki dalam hal apapun termasuk di dalam dunia politik. Perempuan sering kali diragukan dapat membuat kebijakan yang rasional karena di dalam kesehariannya perempuan hanya terbiasa dengan hal-hal domestik. Padahal, slogan The personal is political adalah core value dalam membuat kebijakan yang berpihak pada perempuan. Semua hal menjadi urusan politik ketika kita membicarakan keadilan dan kesetaraan untuk perempuan. Bermula dari urusan-urusan personal dan privat seperti domestikasi perempuan, kita bisa membuka kunci ketidakadilan yang selama ini menimpa perempuan lalu kita bisa membuat kebijakan untuk menghilangkan ketidakadilan tersebut. Keempat narasumber sepakat bahwa perjuangan perempuan di dalam politik tidak melulu harus ikut ke partai politik tertentu lalu masuk ke dalam lembaga pemerintahan, perempuan bisa memulai dari bergabung dengan organisasi atau komunitas yang berkaitan dengan isu perempuan apapun apabila ingin berkecimpung di dunia politik, karena narasi besar perjuangannya adalah sama yaitu memperjuangkan hak perempuan agar bisa mendapatkan keadilan dan kesetaraan di negara ini. Keberadaan perempuan di dalam dunia politik bukanlah ancaman bagi laki-laki, perempuan yang berkiprah dan terlibat dalam dunia politik tidak lain adalah sebuah usaha untuk membuat kebijakan yang adil setara untuk semua pihak, terutama perempuan. (Naufaludin Ismail) Minggu, 27 Agustus 2017, Feminist Festival 2017 yang diselenggarakan di SMA 1 PSKD Jakarta memasuki hari kedua. Acara yang mengangkat tema “Masa Depan Itu Feminis” telah diselenggarakan sejak sabtu 26 Agustus lalu. Pada hari kedua ini salah satu tema diskusi yang diangkat adalah “Relevansi Feminisme”, dengan menghadirkan Henny Supolo, Nurlan Silitonga dan Hannah Al-Rasyid sebagai pembicara. Relevansi feminisme dalam pendidikan, kesehatan dan pembangunan berkelanjutan menjadi tiga poin utama yang dibahas dalam diskusi ini. “Kebihnekaan dan Kemanusiaan adalah semangat feminisme”, ungkap Henny Supolo dalam awal pembicaraanya. Henny Supolo merupakan pendiri Yayasan Cahaya Guru, ia aktif menyelenggarakan pelatihan kebhinekaan bagi guru-guru di seluruh Indonesia. Dalam paparannya Henny Supolo menjelaskan bahwa intoleransi justru hadir di dalam sekolah, padahal menurutnya sekolah seharusnya menjadi lokasi penyemaian nilai-nilai kebhinekaan, kebangsaan dan kemanusian yang paling pertama. “Nilai dan semangat feminisme ada dalam nilai-nilai tentang kemanusian dan kebhinekaan dan sekolah seharusnya menghadirkan semangat itu di dalam ruang-ruang kelasnya”, tutur Henny. Lebih jauh Henny menjelaskan bahwa meskipun ia tidak secara eksplisit menggunakan terminologi feminisme dalam gerakannya, namun nilai-nilai feminisme juga turut dijelaskan dalam materi-materi yang diajarkannya, baginya hal pemilihan kata adalah sebuah strategi dan politik bahasa, karena sesungguhnya terminologi kebhinekaan dan kemanusian lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Lebih jauh Henny menjelaskan bahwa dalam dunia pendidikan bias dan ketidakadilan gender masih mengakar, misalnya masih banyak orang tua yang memilih untuk menikahkan anak perempuan mereka dibanding menyekolahnya dengan asumsi beban keluarga akan berkurang. Ia berharap Sekolah Guru Kebhinekaan yang dirintis dapat menumbuhkan kesadaran, mengubah kondisi, dan memengaruhi kebijakan yang ada. “Di sekolah ini, kami mengajarkan tentang nilai-nilai kemanusian dan kebhinekan yang didalamnya juga ada nilai-nilai feminisme, kemudian kami mengajak guru-guru untuk merefleksikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-sehari, dalam pengalaman-pengalaman yang mereka alami”, tutur Henny. Pembicara kedua ialah Nurlan Silitonga, pendiri lembaga Angsamerah. Nurlan menjelaskan bahwa rasa bahagia adalah hal terpenting bagi diri manusia. Dengan merasa bahagia manusia akan berpikir secara sehat dan memiliki semangat yang positif untuk membuat keputusan apapun di dalam hidupnya. Ia menceritakan bahwa ayah dan ibunya adalah seorang feminis karena mendorong dirinya untuk terus sekolah dan harus sama berprestasinya dengan laki-laki. “Ayah saya mengajarkan saya menjadi feminis, kita perlu mengajak lebih banyak laki-laki untuk menjadifeminis”, ungkap Nurlan. Baginya kesehatan akan bisa dicapai dengan kecintaan terhadap diri terlebih dahulu, setelah itu maka cara berpikir sehat (healthy mind) akan dimiliki oleh perempuan. Ia menjelaskan bahwa jika perempuan bahagia maka ia tentu mencintai dirinya, tubuhnya, kesehatan reproduksinya, melakukan Pap Smear, tes VCT dll. Demikian juga untuk membuat keputusan untuk melakukan hubungan seksual atau tidak, ia akan menentukan dengan bebas, tanpa paksaan dan tahu apa konsekuensinya. Kesadaran yang demikian menurut Nurlan akan dimiliki oleh perempuan jika ia bahagia, maka kesehatan akan berjalan disampingnya. Paparan selanjutnya ialah dari Hannah Al-Rasyid, aktris yang aktif menyuarakan isu-isu feminisme, Hannah juga menjadi SDG Mover untuk kesetaraan gender di United Nations Indonesia. Pada awal pembicaraanya Hannah menceritakan bahwa kesadaran akan stuasi yang tidak setara, diskriminasi dan kekerasan ia alami saat ia pindah ke Jakarta. Beberapa hal yang ia alami membuat ia sadar bahwa sebagai perempuan, ia mengalami diskriminasi hampir di semua aspek. Ia menceritakan bahwa ia pernah mengalami cat call sedangkan teman laki-lakinya tidak, kemudian ia juga dianggap sebagai aktris yang tidak bisa diajak kerjasama jika ia memprotes atau mengkritisi sesuatu hal dalam proses pembuatan film sedangkan jika teman laki-lakinya melakukan hal yang sama, mereka malah didengarkan dan masukannya diberikan perhatian penuh. Pertanyaan seperti: “Kenapa potong rambut pendek?”, “Kapan menikah?”, sering ia dapatkan, baginya hal tersebut adalah tanda bahwa masih banyak masyarakat belum memiliki kesadaran dan pengetahuan feminisme. Sebagai seorang public figure ia sadar bahwa ia memiliki cukup pengaruh bagi masyarakat di sekelilingnya, sehingga ia memanfaatkan hal tersebut untuk mengampanyekan tentang kesetaraan gender melalui media sosial—meskipun ia kerap menuai kritik dari beberapa orang yang menganggap bahwa pernyataannya terlalu politis. “Bagi gue prestasi perempuan bukan diukur dari ia menikah atau tidak, aktris perempuan juga tidak didefinisikan dari ia menjadi duta produk kecantikan atau tidak, ya gue tahu itu pilihan perempuan, tapi please jangan mendikte apa yang harus dilakukan perempuan dan mendiskriminasikan perempuan yang lain”, ungkap Hannah. Aktivisme sebagai duta SDG untuk kesetaraan gender, membuat Hannah belajar banyak tentang isu-isu feminisme—meskipun ia akui bahwa keluarganya sangatlah feminis, bahkan ia sebagai anak perempuan didorong untuk menempuh pendidikan yang berkualitas bagus. Sama halnya dengan Henny Supolo yang menggunakan strategi bahasa dalam gerakannya, Hannah juga mengakui bahwa beberapa program UN di Indonesia juga menggunakan strategi yang sama, misalnya mengampanyekan kesetaraan gender dengan program #He4She atau pengahpusan kekerasan terhadap perempuan, jadi menurut Hannah tidak menggunakan kata feminisme atau kesetaraan gender itu sendiri. Hal tersebut merupakan upaya untuk menyederhanakan konsep feminisme, membawanya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat, dengan demikian dukungan akan semakin banyak. “Kesetaraan gender merupakan isu yang besar sekali, ada soal kekerasan, ada tentang sanitasi, air bersih, lingkungan, kesehatan, jadi kita harus berupaya membuatnya dalam konsep yang kecil dulu, yang mudah dipahami masyarat, berdasarkan pengalaman mereka, saya rasa situasi akan lebih baik karena di ruangan ini semua mendukung kesetaraan gender”, ungkap Hannah. (Andi Misbahul Pratiwi) Asean Literary Festival 2017 menghadirkan Karlina Supeli dalam program "Ruang Tengah", sebuah sesi khusus yang menyajikan diskusi dengan para tokoh intelektual dan sastrawan yang berpengaruh. Pada hari sebelumnya program "Ruang Tengah" telah menghadirkan Martin Aleida, Arswendo Atmowiloto, Goenawan Mohamad, dan pada 6 Agustus 2017 giliran Karlina Supeli, ia adalah perempuan satu-satunya yang dihadirkan dalam program "Ruang Tengah" Asean Literary Festival 2017. Dalam diskusi “Ruang Tengah”, Karlina Supeli menceritakan beberapa bagian hidupnya, seperti saat ia dan kawan-kawan aktivis perempuan berjuang untuk menurunkan rezim Soeharto melalui gerakan Suara Ibu Peduli. Selain itu ia juga menjelaskan bagaimana pandangannya terhadap ujaran kebencian di media sosial sebai sebuah fenomena sosial. Baginya banyaknya ujaran kebencian dan hoax di media sosial adalah dampak dari kedangkalan berpikir masyarakat Indonesia, ia juga menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Baginya keberadaan media sosial menjadi tantangan, bisa menjadi alat untuk memajukan diri tapi di satu sisi bisa menjadi boomerang. Hal yang ia jelaskan lainnya adalah tentang maskulinitas ilmu pengetahuan, pada pembahasan ini ia banyak merujuk pada pengalaman pribadinya sebagai seorang astronom, filsuf dan seorang feminis—meskipun ia lebih senang menyebut dirinya sebagai seoarang pengajar filsafat dibandingkan seorang filsuf. Karlina Supeli mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan, sains, teknologi masih maskulin. Dalam banyak bidang keilmuan seperti sains, matematika dan teknologi kerap kali perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. “Marie Curie yang telah memenangkan Nobel dua kali saja tidak bisa masuk Akademi Sains Paris karena dia perempuan”, tutur Karlina Supeli. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa dalam bidang filsafat juga masih maskulin, pasalnnya ia adalah satu-satunya dosen tetap di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Merujuk pada pengalamannya, Karlina menceritakan bahwa ketika masa orientasi Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung, pertanyaan pertama yang ia dapatkan dari seorang senior adalah: “Kenapa kamu masuk jurusan laki-laki”. Ketika ia menempuh studi di Inggris hal serupa juga ia alami. Karlina menceritakan bahwa ketika ia berusaha menyelesaikan soal matematika selama 3 hari, kemudian mempresentasikannya, dan ternyata ia berhasil, komentar dari dosennya adalah: “Otak kamu adalah otak laki-laki”. Karlina mengakui bahwa ia tidak mengalami diskriminasi secara struktural namun menurutnya pelabelan tersebut berpengaruh terhadap kecenderungan pelajar perempuan memilih jurusan. Selain itu, faktor dorongan orang tua juga berpengaruh besar terhadap pilihan-pilihan anak. Dalam bidang filsafat, pandangan terhadap ketidakmampuan perempuan untuk berpikir juga telah ada sejak lama. “Aristoteles menggolongkan perempuan, budak, dan anak-anak dalam kategori setengah manusia, sehingga tidak memiliki hak politik, kemudian pemikiran Jonh Stuart Mill sangat berpengaruh, ia mengungkapkan bahwa perempuan memiliki kemampuan berpikir yang sama dengan laki-laki sehingga perempuan harus diberikan hak politik”, tutur Karlina. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa ada ketidakadilan yang terjadi, meskipun sifatnya tidak institusional, namun pengalaman-pengalaman ketidakadilan itu pasti dihadapi perempuan. Sehingga baginya hal ini juga merupakan sebuah perjuangan, pertama adalah memperjuangkan proses pendidikan yang sejak awal mengajarkan kesetaran bagi anak-anak dan generasi muda, kemudian yang kedua adalah mengakui bahwa kapasitas nalar dan akal budi laki-laki dan perempuan sama. “Umat manusia akan kehilangan kontribusi yang sangat besar, kalau perempuan dianggap aneh atau tidak boleh menekuini atau memilih bidang keilmuan tertentu”, tegas Karlina. (Andi Misbahul Pratiwi) Minggu, 6 Agustus 2017 bertempat di Gedung Tjipta Niaga, Kawasan Kota Tua Jakarta, diskusi The Future is Feminist yang merupakan salah satu rangkaian acara dari The 4th Asean Literary Festival menghadirkan Clara Chow dari Singapura, Tra Nguyen dari Vietnam, dan Alanda Kariza dari Indonesia sebagai narasumber. Ketiganya adalah para penulis perempuan yang menyuarakan feminisme melalui tulisan-tulisannya. Mereka bertiga dianggap sebagai penulis perempuan yang hebat karena bisa menginspirasi perempuan-perempuan di negaranya untuk menyadarkan akan pentingnya keadilan dan kesetaraan perempuan melalui buku dan tulisan-tulisan mereka. Dipandu oleh Kate Walton sebagai moderator, acara diskusi ini sungguh menarik untuk diikuti karena melihat feminisme sebagai sebuah keniscayaan keadaan di masa depan dari perspektif penulis perempuan dari berbagai negara. Diskusi dimulai dengan pemaparan ketiga narasumber tentang persoalan dan keadaan perempuan di negara mereka masing-masing. Clara memaparkan bahwa di Singapura perempuan sudah mulai menguasai posisi-posisi strategis di dunia politik maupun ekonomi. Hal ini terbukti dengan majunya seorang perempuan keturunan Malaysia sebagai salah satu kandidat terkuat untuk pemilihan Presiden Singapura pada bulan September mendatang. Clara merasa sangat optimis bahwa Singapura bisa mengejar ketertinggalan kesetaraan gender yang selama ini terjadi di sana. Tidak begitu jauh berbeda, Tra menjelaskan bahwa ia cukup optimis dengan perjuangan kesetaraan perempuan di negaranya. Bagi Tra, para perempuan di sana berjuang sangat keras untuk mendapatkan hak-haknya. Tra melihat bahwa kesetaraan untuk perempuan di Vietnam masih akan bernuansakan ideologi sosialisme, namun bagi Tra hal ini bukanlah masalah karena ia optimis negaranya akan membawa kesetaraan untuk perempuan. Alanda kemudian membagi pendapatnya tentang masa depan feminisme di Indonesia yang menurutnya masih banyak dilema di dalamnya, terutama dilema yang menimpa perempuan itu sendiri. Bagi Alanda perempuan Indonesia sering kali ragu atas keputusan-keputusan yang akan mereka ambil menyangkut masa depan mereka. Hal ini menurut Alanda dikarenakan Indonesia kekurangan tokoh panutan (role model) perempuan hebat yang bisa dijadikan contoh untuk kesuksesan mereka. Alanda menyebut baru beberapa tahun belakangan ini saja kita punya sosok menteri perempuan yang begitu hebat dalam kepemimpinannya seperti Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti. Jika ketiga narasumber sepakat bahwa feminisme adalah sebuah keniscayaan di masa depan maka pertanyaan intinya adalah bagaimana menerapkan nilai-nilai dan semangat feminisme di dalam kehidupan mulai dari sekarang? Alanda berpendapat bahwa semangat feminisme bisa dimulai dari diri kita sendiri. Setiap orang harus percaya bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara pada hakikatnya. Yang harus dilakukan kemudian adalah dengan menumbuhkan kepercayaan bahwa perempuan mempunyai kemampuan dan aksesibilitas untuk melakukan apapun yang mereka inginkan selama pilihan tersebut dilakukan secara sadar. Clara kemudian menambahkan bahwa salah satu tantangan masyarakat saat ini untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan untuk perempuan adalah persoalan internalized sexism yang sering kali tidak disadari oleh orang-orang atau bahkan dari kalangan feminis sendiri, seperti terbiasa mengasosiasikan warna atau mainan tertentu kepada anak-anak. Clara percaya mengajarkan feminisme sedari dini kepada anak-anak adalah cara paling mujarab untuk mencapai keadilan dan kesetaraan untuk perempuan di masa depan. Tentu hal yang dilakukan harus dimulai dengan hal-hal yang halus, seperti mulai mengajarkan anak-anak untuk bebas memilih mainan, warna dan teman tanpa ada batasan apapun, karena dari sinilah akar-akar seksisme bisa dicabut. Clara kemudian membayangkan feminisme di masa depan adalah feminisme yang sangat genderless dalam pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan bahkan, ia membayangkan mungkin di masa depan laki-laki bisa mengandung dan melahirkan dengan kecanggihan teknologi yang ada. Tra kemudian menyampaikan perspektifnya tentang bagaimana cara paling efektif untuk menumbuhkan semangat feminisme di masyarakat. Baginya, suara dan pendapat seseorang harus dihargai terlepas dari siapapun yang menyampaikan karena baginya, feminisme di masa depan tidak akan berjalan tanpa adanya rasa percaya dan sikap saling menghargai di antara masyarakatnya. Persoalan yang disampaikan Tra sangat masuk akal karena perempuan sering kali dilihat sebagai individu liyan yang terpisah dari masyarakat secara general. Perempuan harus terus diperbolehkan untuk menyuarakan pendapat dan suaranya agar feminisme di masa depan dapat benar-benar terwujud. Oleh karena itu, seberat apapun perjuangan yang harus dilakukan untuk menuju masyarakat feminis merupakan tanggung jawab kita semua tanpa terkecuali agar benar-benar bisa mewujudkan kesetaraan dan keadilan untuk perempuan di seluruh dunia tanpa terkecuali dan masa depan adalah feminis bukanlah harapan utopis belaka. (Naufaludin Ismail) “Mungkinkah laki-laki menjadi feminis?” adalah pertanyaan yang dilontarkan Gadis Arivia untuk membuka kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan pada Kamis (27/07/17). Dalam pertemuan keempat ini, Gadis Arivia sebagai pembicara hendak merefleksikan kembali seluruh materi yang telah didapat para peserta Kaffe pada 3 pertemuan sebelumnya, mulai dari perdebatan filosofis tentang feminis laki-laki, peran laki-laki dalam menghapus kekerasan terhadap perempuan, hingga tentang kerja-kerja domestik. Gadis memulai kelas dengan pertanyaan filosofis yaitu, mungkinkah laki-laki menjadi feminis? Ia menjelaskan bahwa perdebatan tentang pertanyaan tersebut dimulai dari argumen bahwa laki-laki tidak memiliki pengalaman kebertubuhan yang sama dengan perempuan, maka bagaimana caranya laki-laki menjadi seorang feminis. Gadis menyebutkan filsuf laki-laki yang sejak ribuan tahun yang lalu telah menuliskan perempuan dalam karya-karyanya. Plato dianggap sebagai seorang feminis laki-laki pertama karena menyatakan bahwa perempuan mampu untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara dalam karyanya The Republic (360 SM). Pada buku V, Plato menyebutkan bahwa “They differ only in their comparative strength or weakness”, mereka (laki-laki danperempuan) hanya berbeda dari kekuatan dan kelemahannya. Jadi menurut Plato laki-laki dianggap memiliki kekuatan dan perempuan cenderung dianggap lemah, maka hanya itu saja perbedaanya, tapi tetap ia mengungkapkan bahwa perempuan mampu untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara. Kemudian pemikiran Plato tersebut dikritik oleh Lynda Lange karena menempatkan perempuan dalam kategori yang lemah dan laki-laki yang kuat, jadi masih ada persoalan dalam pemikiran Plato. Feminis laki-laki yang kedua adalah Práxedis Guerrero seorang pejuang revolusioner dari Meksiko melawan opresi dan diktator dan anggota dari Partido Liberal Mexicano (PLM). Dalam karya esainya “The Woman”, Práxedis Guerrero berargumen bahwa “Women cannot live as free companions of men because custom opposes it, because violation of custom brings disdain, mockery, insults and curses…Because of this, the emancipation of women encounters a hundred opponents for every man who defends it or works for it”. Menurutnya perempuan tidak bisa otonom karena tradisi yang mengekang mereka, jika perempuan menghendaki kebebasan maka ia akan dilecehkan, dihina dan diejek. Tokoh feminis laki-laki lainnya adalah John Stuart Mill, Seorang pemikir sosial dan politik dari Inggris. John Stuart Mill berkontribusi pada perkembangan intelektual feminis abad 19, ia turut memperjuangkan hak perempuan dalam politik. Dalam karyanya The Subjection of Women, Ia menyebutkan bahwa perempuan harus memiliki kebebasan, dengan kebebasan maka ia akan bermartabat sebagai manusia, maka dengan demikian perempuan harus memiliki hak dan status politik yang setara dengan laki-laki. “Women were deprived of their freedom and dignity by the state and by social custom…Women’s unequal political status could not be justified by claims about women’s so-called feminine nature because what was known about women’s ”nature” was entirely shaped by the inequalities under which they had always lived”. Bukan hanya di Barat, pemikiran tentang pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan juga lahir di Timur. Qasim Amin seorang feminis laki-laki dari Arab, ia belajar di Cairo dan Perancis dalam bidang hukum. Qasim Amin mengeritik kolonialisme dan imperialisme Barat dengan mengedepankan hak-hak perempuan. Dalam karyanya The Liberation of Women, ia mengungkapkan bahwa masyarakat Mesir harus dibebaskan dari posisi inferior dengan terlebih dahulu membebaskan perempuan dari praktik cadar, menghapus perkawinan paksa, dan hukum perceraian yang tidak adil. Menurutnya perempuan juga harus berpendidikan agar dapat mewujudkan bangsa yang maju. Sedangkan di Indonesia yang dianggap yang pertama kali memberikan dukungan terhadap perempuan secara terang-terangan di ruang publik adalah Soekarno. Ia menulis buku yang berjudul Sarinah (1947), dalam bukunya ia menyebutkan, “Banjak orang jang tidak mengerti apa sebabnja saja anggap kursus-kursus wanita itu begitu penting. Siapa jang membatja kitab jang saja sadjikan sekarang ini,-jang isinja telah saja uraikan di dalam kursus-kursus wanita itu dalam pokok-pokoknja-akan mengerti apa sebab saja anggap soal wanita itu soal jang amat penting. Soal wanita adalah soal-masjarakat!” Gadis menuturkan bahwa feminis laki-laki telah ada sejak lama dan menurutnya laki-laki memiliki peran dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia menyebutkan dari beberapa tokoh di atas ada berbagai macam alasan mengapa laki-laki menjadi feminis, ada laki-laki yang mengagungkan perempuan karena biologis, ada laki-laki yang sadar bahwa perempuan juga memiliki hak asasi manusia, ada juga laki-laki yang memberikan dukungannya dengan cara aksi seperti yang dilakukan di New York tahu 1911 dan Queen’s Road, England tahun 1972, laki-laki turun aksi untuk mendukung pemenuhan hak-hak perempuan. Lalu yang menarik dari topik pembahasan feminis laki-laki adalah tentang term Femmeninism yang dianggap Gadis juga cukup kontroversial. Beberapa pertanyaan juga muncul untuk mengonfirmasi apakah mungkin laki-laki menjadi feminis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah, 1) Suara siapa? 2) Imajinasi siapa yang dipakai? Bagaimana laki-laki bisa merasakan pengalaman perempuan? 4) Apakah ada kesan ahistoris? 5) Apakah posisinya “in” atau “near” feminisme? 6)Membaca dalam kegelapan? 7) A double life? Pertanyaan-pertanyaan tersebut jugalah yang didiskusikan oleh peserta dalam kelas Kaffe 7 ini. Argumen-argumen yang muncul dari hasil diskusi peserta Kaffe beragam, yaitu ada pendapat bahwa laki-laki tidak bisa menjadi feminis tapi hanya dapat menjadi profeminis karena tidak memiliki pengalaman kebertubuhan perempuan, kemudian yang kedua adalah bahwa laki-laki bisa menjad feminis karena laki-laki dan perempuan hanyalah konstruksi sosial dari kepentingan kelompok-kelompok tertentu maka feminisme adalah suara tentang semua. Kedua argumen tersebut menurut Gadis memang selalu menjadi perdebatan, bahkan menurut Gadis ada argumen yang lebih maju lagi yaitu bahwa pertanyaan tentang laki-laki feminis adalah juga konstruksi karena tidak relevan jika diterapkan pada gender ketiga, maka soal biologis adalah konstruksi sosial. Maka menurut Gadis menjadi feminis tidaklah cukup karena keterpesonaan pada perempuan, apalagi hanya untuk glorifikasi. Gadis menjelaskan bahwa Luce Irigaray juga mengungkapkan bahwa menjadi seorang laki-laki feminis bukan di dalam alasan-alasan karena keterpesonaan, atau hanya untuk mengikuti trend, menurut Luce Irigaray argumentasi tersebut dianggap tidak dapat menjadikan laki-laki menjadi laki-laki feminis. Menurutnya harus ada framework, harus ada logika dan analisisnya agar bisa konsisten dan konsekuen untuk menjadi feminis laki-laki, karena menjadi femnis adalah melakukan perubahan di tingkat yang paling praktikal bukan hanya pada tataran pemikiran. (Andi Misbahul Pratiwi) Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) dan Komnas Perempuan menggelar Konferensi Pers tentang komitmen Indonesia menghapus diskriminasi terhadap perempuan pada 24 Juli 2017, bertepatan dengan 33 tahun Indonesia meratifikasi CEDAW (The Convention on Elimination of all Forms of Discrimination Against Women). Dalam konferensi Pers ini Rita Kolibonso, koordinator GPPI menuturkan bahwa ratifikasi CEDAW adalah sebuah komitmen negara jangka panjang untuk melindungi hak-hak asasi perempuan dan mengupayakan pencegahan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Hingga saat ini sudah ada 7 laporan Indonesia kepada komite dan sejumlah rekomendasi telah diberikan, namun Rita mengungkapkan bahwa hingga tahun 2017 ini pemerintah Indonesia belum menyampaikan laporan kedelapannya pada batas waktu yang telah ditentukan yakni Juli 2016. Hal ini sangat disayangkan karena menurut Rita laporan pelaksanaan CEDAW dari negara Indonesia ke Komite CEDAW adalah penting guna melihat situasi dan mendapatkan evaluasi terkait pemenuhan hak-hak asasi perempuan. Lebih jauh Rita menyebutan kesimpulan dan rekomendasi penting dari Komite CEDAW dalam dialog konstruktif pada 11 Juli 2012, yaitu setelah pengumpulan laporan pelaksanaan CEDAW. Ada 3 hal penting yang disarankan untuk ditangani secara serius, 1) Peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan baik di level nasional maupun daerah, 2) Praktik sunat perempuan, 3) Perkawinan anak. Selain itu Komite CEDAW juga meminta agar pemerintah Indonesia dalam waktu dua tahun memberikan informasi tentang langkah-langkah yang akan diambil untuk pelaksanaan rekomendasi tersebut. Rita menyayangkan bahwa Indonesia belum mengirimkan laporannya kepada Komite CEDAW, dan mempertanyakan komitmen dan tanggung jawab negara untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Azriana Manalu, Ketua Komnas Perempuan turut menyampaikan pernyataan dan catatan Komnas Perempuan terkait pelaksanaan CEDAW di Indonesia. “Hingga saat ini belum ada satu pun perda diskriminatif yang dicabut oleh pemerintah, jadi memang belum ada langkah maju”, ungkap Azriana. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan disebutkan bahwa isu yang berkembang terkait diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan masif namun daya respons negara dalam menanganinya masih rendah. “Kekerasan semakin lintas batas namun konvensi ini saat dijadikan undang-undang malah terjadi penyempitan ruang perlindungan”, tutur Azriana. Lebih jauh ia menyebutkan bahwa kasus kekerasan yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan mencapai angka 649 kasus untuk periode Januari hingga Juni 2017, dan 90% adalah kasus kekerasan berbasis gender. Ia mengungkapkan bahwa pelaporan pada umumnya dilakukan karena korban menemui kemadekan dalam upaya penanganan kasus dan korban tidak mendapatkan respons yang semestinya. “Komnas Perempuan mendesak negara untuk segera merevisi UU Perkawinan terkait batas usia minimun menikah dan tentang poligami, mencabut tanpa penundaan seluruh perda diskriminatif dan melakukan pemulihan korban HAM masa lalu”, ungkap Azriana. Pada konferensi pers ini G.K.R Hemas juga memberikan pernyataannya, menurutnya Indonesia belum mengadopsi secara penuh dan menganggap penting substansi CEDAW. Ia menyebutkan bahwa banyaknya perda diskriminatif di berbagai daerah, gagalnya Judicial Review UU Perkawinan dan lemahnya penanganan kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) membuat situasi pemenuhan hak-hak asasi perempuan di Indonesia belum melangkah maju. Ketua Kaukus Perempuan Parlemen ini juga mengakui bahwa minimnya anggaran yang sampai pada P2TP2A dan pemahaman untuk menangani kasus kekerasan menjadi faktor utama mengapa lembaga negara tersebut menjadi tidak efektif menangani kekerasan pada perempuan dan anak. Menurutnya masih banyak persoalan-persoalan lain seperti angka kematian ibu, HIV/Aids pada Ibu Rumah Tangga, pendidikan rendah bagi anak perempuan yang juga harus menjadi kepentingan semua pihak. “Kebijakan bukan hanya ditandatangani tapi diimplementasikan”, ungkap G.K.R Hemas. Setelah pernyataan dari G.K.R Hemas, selanjutnya ialah pernyataan dari Sylvana Apituley, Deputi 5 Kantor Staff Presiden yang fokus pada bidang politik, hukum, pertahanan, keamanan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sylvana mengungkapkan bahwa isu perlindungan anak dan perempuan berada di bawah kedeputian 5, yaitu di bawah isu HAM. Ia mengakui bahwa revisi atas UU Perkawinan No. 1 Tahun 1972 masih jauh dari harapan, meskipun demikian Sylvana mengungkapkan bahwa di tingkat daerah komitmen pemerintah sudah cukup tinggi, salah satunya adalah dengan terus melakukan penguatan infrastruktur dan kapasitas pada P2TP2A yang merupakan bentuk negara hadir di tingkat yang paling rendah. Perihal kekerasan terhadap perempuan, Sylvana juga mengungkapkan bahwa sudah ada perhatian yang serius dan khusus dari pemerintah terkait isu ini, pada beberapa rapat terbatas kabinet menurutnya isu kekerasan seksual kerap kali dibahas. Sylvana meminta seluruh masyarakat sipil bersama-sama dengan pemangku kebijakan mengupayakan terwujudnya kesetaran dan keadilan gender di Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |