![]() Rabu, 31 Januari 2018, Jurnal Perempuan mengadakan Pendidikan Publik JP 95 dan Pemutaran film dokumenter Perempuan Nelayan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Acara yang berlangsung di ballroom lantai Mezzanine Hotel Aryaduta ini menghadirkan Dedi Supriadi Adhuri (Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Andi Misbahul Pratiwi (Redaksi Jurnal Perempuan), dan Susan Herawati Romica (Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) sebagai pembicara serta Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Pendidikan Publik dan pemutaran film dokumenter Perempuan Nelayan ini dibuka oleh Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Dr. Ir. Rina, M.Si sebagai perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam sambutannya Rina mengungkapkan bahwa isu perempuan nelayan sudah menjadi isu yang mendapat perhatian lebih di KKP. Hal ini sesuai dengan amanat Ibu Susi Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan dan Perikanan agar memajukan kesejahteraan perempuan nelayan terutama pada sektor pengolahan dan pengawetan hasil tangkapan laut. Rina kemudian menambahkan sebenarnya akses untuk mendapatkan kartu dan asuransi nelayan tidak terbatas hanya pada nelayan laki-laki saja, perempuan juga diperbolehkan untuk mendapatkan kartu dan asuransi nelayan. Namun, ia mengakui memang perempuan nelayan lebih sulit dalam mengakses haknya tersebut dibandingkan nelayan laki-laki. Selanjutnya Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro, M.Sc memberikan pidato kunci terkait diskusi yang membahas isu dan problem perempuan nelayan. “Dalam kebudayaan yang umum, profesi nelayan dianggap sebagai profesi khas yang hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Anggapan ini muncul karena adanya pandangan bahwa tidak ada perempuan yang pergi melaut atau perempuan tidak memiliki kemampuan untuk pergi melaut. Jika seorang perempuan atau istri pergi melaut, maka ia dianggap hanya menemani suami. Pengabaian terhadap peran perempuan nelayan juga terjadi pada proses pengolahan dan pemasaran ikan–yang banyak dilakukan oleh perempuan–yang dianggap bukan bagian dari profesi nelayan”, ujar Atnike. Hasil dari stereotyping yang bias gender pada masyarakat kita, pada akhirnya membuat peran perempuan nelayan dalam rantai produksi perikanan dari praproduksi, produksi, dan pascaproduksi menjadi tidak terhitung sebagai kegiatan ekonomi ataupun dianggap sebagai pekerjaan profesional layaknya nelayan laki-laki. Atnike juga menyoroti polemik Undang-Undang No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam yang hanya menempatkan perempuan dalam kategori ‘istri nelayan’ atau ‘keluarga nelayan’. Kombinasi antara pandangan budaya dan legislasi yang timpang ini berakibat pada pengabaian terhadap pengakuan, hak-hak, dan perlindungan bagi perempuan nelayan, seperti hak untuk dicantumkan profesinya sebagai nelayan dan hak untuk mendapatkan Kartu dan Asuransi Nelayan. Sementara seperti kita ketahui, perempuan nelayan juga memiliki risiko yang sama besarnya dengan nelayan laki-laki di dalam rantai produksi perikanan. Atnike juga menyoroti persoalan jumlah rumah tangga nelayan di Indonesia yang berkurang nyaris 50%. Hal ini diperkirakan karena kehidupan sebagai nelayan tidak lagi menjanjikan untuk keberlangsungan hidup sebab, ikan-ikan di laut Indonesia mulai habis. Menurut Atnike hal ini tentu berdampak pada ekonomi keluarga nelayan dalam kehidupan sehari-hari. Peran domestik perempuan dalam mengelola anggaran rumah tangga, menempatkan perempuan nelayan sebagai kelompok yang paling merasakan kemiskinan di dalam komunitas nelayan sehingga menyebabkan kemiskinan struktural pada mereka. Hal ini cukup disayangkan mengingat 2/3 wilayah Indonesia adalah perairan dan profesi nelayan dan perempuan nelayan khususnya, belum mendapat perhatian lebih dari negara. Menurut Atnike kerja sama yang sinergis antara pemerintah, masyarakat, dan dunia akademis perlu digalakkan untuk memajukan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak perempuan nelayan. “Perempuan nelayan mungkin bukanlah wonder woman, namun kontribusi mereka terhadap kehidupan keluarga bahkan juga perekonomian nasional tak boleh dilupakan. Sudah selayaknya pula, pemerintah, para pembuat kebijakan, dan dunia akademik memberikan perhatian lebih terhadap keberadaan perempuan nelayan. Karena mengabaikan keberadaan perempuan nelayan bukan hanya mengabaikan hak kewarganegaraan perempuan nelayan, tetapi juga mengabaikan problem kemiskinan yang masih dialami oleh negeri yang bercita-cita membangun poros maritim ini”, tutup Atnike dengan penuh harapan untuk keadilan perempuan nelayan. (Naufaludin Ismail) Peluncuran Laporan Tahunan Komnas Perempuan: Meneguhkan Penyikapan, Mendekatkan Hak Korban25/1/2018
![]() Pada hari Selasa, 23 Januari 2018, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Laporan Kerja Tahunan dalam Konsultasi Publik tahun 2018. Konsultasi Publik merupakan mekanisme yang dikembangkan dan dilakukan setiap tahunnya untuk menyampaikan perkembangan kerja-kerja, temuan, dan analisis Komnas perempuan terhadap situasi pemenuhan hak asasi perempuan, kemajuan, tantangan pencegahan, dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Sejumlah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dirangkum dalam kerangka tujuh isu kritis yang diperjuangkan Komnas Perempuan yakni, (1) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu, konflik, dan bencana; (2) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perkawinan, keluarga, dan relasi personal; (3) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pemiskinan perempuan; (4) Kekerasan seksual; (5) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks diskriminasi dan politisasi identitas; (6) Gerakan sosial dan perlindungan perempuan pembela HAM; (7) Penguatan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai bagian dari Lembaga Nasional HAM. Azriana, Ketua Komnas Perempuan, memaparkan kinerja dan capaian Komnas Perempuan selama satu tahun terakhir sejak Konsultasi Publik pada bulan Februari 2017 lalu. Ia menjelaskan bahwa selama satu tahun terakhir Komnas Perempuan telah melakukan kerja-kerja terkait mandat serta telah meraih beberapa pencapaian seperti: (1) Terciptanya forum-forum strategis yang mulai menyikapi persoalan kekerasan terhadap perempuan, terlaksananya pendekatkan kepada tokoh-tokoh agama untuk mengetahui realitas permasalahan yang terjadi di masyarakat dalam hal ini adalah para perempuan rentan diskriminasi; (2) Terwujudnya dua kajian tentang kerentanan perempuan dalam lingkar terorisme dan praktik female genital mutilation atau P2GP (Praktik Pelukaan/Pemotongan Genitalia Perempuan); (3) Meluasnya lingkar kampanye anti kekerasan terhadap perempuan meluas; (4) Adanya para public figure yang berpartisipasi dalam mengampanyekan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan. Pencapaian lain terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dari hasil kerja yang dilakukan oleh Komnas Perempuan ialah terbentuknya suatu kesepakatan dengan pemerintah tentang elemen kunci yang perlu dirumuskan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mendorong penundaan revisi UU PKDRT sampai terbentuknya sistem monitoring dan evaluasi yang komprehensif atas pelaksanaan UU PKDRT. Secara bergantian para Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan Periode 2015-2019 menyampaikan Laporan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2018 dalam bentuk presentasi yang dilanjutkan dengan tanggapan yang diberikan oleh perwakilan komunitas korban, Prahesti Pandanwangi (Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas), Diah Pitaloka (Anggota Komisi VIII DPR RI), dan Asfinawati (Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Acara dilanjutkan dengan diskusi paralel tematik terkait analisis kecenderungan atau tren isu kekerasan terhadap perempuan di tahun 2018 dalam konteks impunitas korban, politisasi identitas, dan penguatan kepemimpinan Komnas Perempuan sebagai mekanisme HAM. Diskusi paralel tematik yang dipimpin oleh para Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan dilakukan guna menampung aspirasi peserta acara, sehingga arah, strategi advokasi dan prioritas kerja Komnas Perempuan di tahun 2018 dapat diperkuat, dan juga sebagai strategi penguatan jaringan masyarakat sipil. Acara ini berlangsung di halaman kantor Komnas Perempuan dan dihadiri oleh para undangan yang merupakan mitra strategis Komnas Perempuan dari unsur pemerintah, perwakilan komunitas korban, organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, institusi agama, tokoh perempuan, lembaga nasional HAM, lembaga negara dan lembaga internasional. (Bella Sandiata) ![]() Rabu, 17 Januari 2018 pukul 12.00, bertempat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Yayasan Obor Indonesia bersama dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengadakan acara peluncuran dan bedah buku yang berjudul “Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia” dan “Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas” yang ditulis oleh Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan. Buku “Potret Muslim Progresif Indonesia” merupakan buku yang ditulis berdasarkan kegetiran penulis atas minimnya narasi pembaruan Islam. Kata progresif yang digunakan dalam judul buku tersebut menjadi kata yang mengungkap bahwa perempuan muslim banyak berkontribusi pada rancangan pembaruan ajaran Islam mengenai isu-isu besar hingga hal domestik. Sementara, buku “Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas” lebih mengarah kepada perjalanan spiritual penulis tentang status perempuan dalam Islam. Pasalnya banyak hambatan pada progresivitas perempuan muslim untuk memaknai identitas dirinya sendiri. Sehingga, melalui buku “Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas” Neng mencoba untuk kembali mendiskusikan status perempuan yang setara dengan laki-laki. Imam Nahe’i, Komisioner Komnas Perempuan, yang hadir sebagai pembicara menyatakan pemikirannya tentang ajaran Islam yang selama ini terlalu memojokkan perempuan. “Ulama zaman dahulu ada yang mengira-ngira, tidak semua pemikiran ulama berasal dari teks yang otoritatif. Hadirnya penulis perempuan bisa sedikit demi sedikit menggeser pemahaman ketidakadilan dan diperkokoh melalui tafsir kitab kuning dari akarnya,” tutur Imam. Septemmy Lakawa, Kepala Program Studi S-3 Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta yang juga hadir sebagai pembicara menyatakan bahwa patriarki bukan hanya masuk ke dalam ajaran Islam tetapi juga agama-agama lain. Itu mengapa penting bagi perempuan lintas agama untuk kembali mendiskusikan posisi dan status perempuan dalam agama. “Pada buku ini Neng memperlihatkan bahwa Islam adalah agama yang multidimensional, bukan agama yang singular. Neng juga menawarkan bahwa untuk memperoleh perubahan tidak harus menjadi antitesis dari Islam itu sendiri. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa Islam sejalan dengan ide kesetaraan juga perdamaian,” tutur Septemmy. Selama ini citra Islam memang kental dengan hal-hal yang anti terhadap kesetaraan. Beberapa ulama turut menjadi penghalang atas progresivitas perempuan muslim. Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyampaikan pemikiran terkait keberatannya atas argumen para ulama yang menolak kesetaraan dengan alasan bahwa dalam Islam perempuan sudah dimuliakan seperti yang tertera pada HR Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548 yang berbunyi :
Reportase yang Tidak Berimbang Berpotensi Sebabkan Viktimisasi terhadap Subjek Pemberitaan14/1/2018
Terorisme dan radikalisme kembali menjadi pusat perhatian setelah muncul gerakan yang disebut dengan ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria). Terjadi perdebatan yang cukup sengit dalam mendefinisikan ISIS sebagai ajaran Islam atau bukan. Tetapi, masalah ini tidak berhenti pada perdebatan definisi saja. Terorisme membawa kita pada peperangan faktual dan ideologi. Perang faktual mungkin hanya terjadi di daerah konflik, tetapi perang ideologi bisa terjadi dimana pun, bahkan di Indonesia. Perang ideologi bisa dikatakan sebagai alasan kuat dibalik banyaknya warga negara Indonesia yang secara sukarela melibatkan dirinya ke dalam perang faktual dengan tujuan yang berbeda-beda. Dengan demikian Indonesia tidak bisa melepaskan diri terhadap isu terorisme dan radikalisme yang berkaitan dengan ISIS.
Kepulangan para deportan dan returnee disambut dengan berbagai pandangan mulai dari mensyukuri hingga mengutuk kepulangan tersebut. Hal ini juga diikuti dengan banyaknya pemberitaan yang justru memperkeruh keadaan melalui promosi kebencian dan kejijikan proyektif. Stigma yang melekat pada deportan dan returnee menjadi masalah bagi mereka untuk memulai kehidupan kembali pasca kepulangannya. Deportan dan returnee sering kali merasa ditipu oleh wartawan yang tidak bertanggung jawab atas pemberitaan yang tidak utuh, tidak disamarkannya identitas dan tidak sesuai dengan konteks pembahasan sama sekali. Pemberitaan yang dilakukan oleh media terhadap isu terorisme dan radikalisme perlu menjadi perhatian serius mengingat dapat berpotensi membuat subjek pemberitaan menjadi korban (viktimisasi), hal ini juga sering terjadi pada isu pemerkosaan, pembunuhan dan masih banyak lagi. Rabu, 10 Januari 2018 pukul 14.00, bertempat di The Habibie Center, Kemang, Jakarta Selatan C-SAVE (Civil Society Against Violent Extremism) mengadakan acara berjudul “Liputan Kelompok Radikal: Reportase Berimbang?” yang membahas tentang liputan terorisme yang berujung pada viktimisasi keluarga teroris maupun pemberian label kepada deportan dan returnee. Acara ini diharapkan dapat membangun kesadaran pewarta untuk memberikan reportase berimbang dalam setiap liputan menyoal kelompok radikal, terorisme maupun isu-isu perempuan. Reportase berimbang memang sudah seharusnya dilakukan dengan memberi informasi berita yang berkeadilan dan berempati. Sehingga, pemberitaan yang muncul tidak menyumbangkan stigma baru yang mengancam identitas korban. Heru Effendy (Pakar Viktimologi dan Akademisi Universitas Indonesia) berusaha menyampaikan pendapatnya mengenai liputan kelompok radikal maupun teroris yang sering kali menyoroti keluarga pelaku, “Stigma yang tertanam pada keluarga teroris berakibat pada pengucilan di lingkungan tempat tinggal mereka”, tutur Heru. Media perlu memahami posisi keluarga teroris yang sering menjadi korban dalam reportase yang tidak berimbang. Stigma memang terkonstruksi secara sosial, namun diharapkan media tidak memperkeruh keadaan dengan informasi palsu tentang fakta yang terjadi. Mira Kusumarini (Direktur Eksekutif C-SAVE) turut menyayangkan viktimisasi pada deportan dan returnee yang bukan dijadikan pembelajaran tetapi hoax semata, “Adanya media yang tidak berpegang teguh pada kode etik membuat informasi pembelajaran menjadi kontraproduktif” tutur Mira. “Seorang wartawan memang tidak sempurna, tetapi perlu diingat bahwa dalam godaan membuat berita yang gurih, berita tersebut juga harus bergizi dan tidak mengandung racun” tutur Aristides Katoppo (Co-founder Koran Sinar Harapan dan Jurnalisme Damai) yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut. Dunia informasi memang sedang dijajah oleh perebutan kapital antara media yang satu dengan yang lainnya, penyebaran hoax pun ikut serta dalam derasnya arus informasi. Oleh karena itu, media wajib memberitakan fakta dengan tujuan memunculkan perdamaian. Reportase yang tidak berimbang hanyalah salah satu sebab dari sekian banyak hoax yang tersebar. Pasalnya audience atau netizen (Internet Citizen) ikut serta dalam menyebarkan dan memaknai ulang suatu berita. Selain itu media dianggap memiliki peran untuk terlibat dalam promosi perdamaian dan yang lebih penting adalah wartawan dan dewan pers sebaiknya bukan hanya mengerti kode etik tetapi menerapkannya pula. (Iqraa Runi) ![]() Rabu, tanggal 10 Januari 2018, bertempat di kantor Komisi Nasional Perempuan di daerah Menteng, Jakarta Selatan, Erwiana Sulistyaningsih menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada Komnas Perempuan yang menjadi pendukung setia atas kasus yang menimpanya. Buruh migran yang beberapa tahun lalu menjadi sorotan publik ini juga menyampaikan pengalaman perjuangan yang perlu dilakukan oleh buruh migran lainnya. Bagi Erwiana buruh migran harus berani berbicara dan melawan apabila terjadi ketidakadilan. Sehingga, kasus buruh migran tidak lagi dianggap sebagai kasus sepele. Kemenangan ini juga tentunya didukung oleh banyak pihak, baik dari dukungan lokal maupun internasional. Magdalena Sitorus (Komisioner Komnas Perempuan) yang hadir dalam rapat menyatakan beberapa aspirasinya untuk pemerintah agar memerhatikan perlindungan untuk buruh migran, “Pendampingan hukum di Indonesia sangatlah lemah, saya berharap kasus Erwiana menjadi kritik kepada pemerintah sekaligus menjadi inspirasi untuk yang lainnya”. Erwiana Sulistyaningsih yang ditemani sang ayah menceritakan ulang tentang pengalaman perjuangan dari tahun 2014 sampai 2017, “Tahun 2014 hak normatif saya dilanggar, seperti tidak digaji, tidak diberi makan, itulah yang membuat saya berusaha kabur. Tetapi PT mengembalikan saya kembali ke rumah majikan dengan penjagaan yang jauh lebih ketat”, tutur Erwiana. Perjuangan yang terus menerus dilakukan akhirnya membuahkan hasil, kedua majikannya dipenjara selama 6 tahun melalui putusan pengadilan yang terhitung mulai tahun 2015. Erwiana Sulistyaningsih tidak berhenti pada tuntutan pidana tetapi juga melayangkan tuntutan perdata mengingat cacat fisik yang dideritanya membutuhkan biaya. Kemudian, pada tanggal 21 Desember 2017 Erwiana memenangkan gugatan ganti rugi sebesar HKS 809.430 ($103.489). Tetapi perlu diingat bahwa kemenangan yang didapat barulah kemenangan di atas kertas, karena ada kekuasaan berlapis yang membutuhkan strategi. Dengan ini pula Erwiana Sulistyaningsih menegaskan “Kemenangan saya bukan hanya soal nominal tetapi juga untuk membangun semangat buruh migran yang Lain”, tutur Erwiana. Banyak kritik untuk UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) No. 18 Tahun 2017, terutama kritik tentang tanggungan kesehatan buruh migran yang diberikan kepada perusahaan asuransi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). BPJS tidak mampu membayar tanggungan biaya pemulihan psikis. Sehingga, kasus yang menimpa Erwiana tidak sepenuhnya diatur di dalam UU PPMI No. 18 Tahun 2017. Karsiwen, ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) turut menyampaikan beberapa aspirasi penting terkait dengan kasus Erwiana dan kekecewaannya terhadap kebijakan UU PPMI No. 18 Tahun 2017, “Tidak semua daerah menyediakan psikolog, sedangkan membayar psikolog itu tidak murah dan BPJS tidak mengcover itu”, tutur Karsiwen. Kemudian, Magdalena Sitorus kembali menjelaskan pentingnya organisasi untuk membantu buruh migran baik di dalam maupun luar negeri. Kasus Erwiana merupakan kasus pertama yang dapat dimenangkan di Hongkong. Pasalnya pengadilan Hongkong kerap kali tidak peduli dengan isu human trafficking. Kasus pemalsuan data yang dilakukan oleh PT maupun pihak terkait tidak dijadikan sebagai kejahatan, melainkan buruh migran tertuduh sebagai pelaku kejahatan. Sehingga, kasus Erwiana dapat dikatakan sebagai sebuah kemajuan atas kesadaran hak buruh migran. Komnas Perempuan ikut serta memberikan edukasi agar buruh migran dapat memberi laporan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perkembangan dan data terkini mengenai buruh migran. Oleh karena itu, keberhasilan Erwiana dalam memenangkan kasus sampai ke pengadilan merupakan awal dari banyak perjuangan buruh migran lainnya. Kemenangan ini juga membuktikan apabila sebuah kasus dikawal dengan serius, maka kita bisa memunculkan perubahan. (Iqraa Runi) ![]() Kamis, 7 Desember 2017, bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan keempat Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) ke-9 yang mengangkat tema “Berpikir Kritis” diselenggarakan. Topik pembahasan pada pertemuan keempat iniialah “Mendeteksi Logical Fallacy”. Rocky Gerung sebagai pembicara membuka kelas dengan menyatakan bahwa dalam berargumen konsep selalu menjadi mata uang yang sah dalam bertransaksi. “Dengan adanya konsep memungkinkan kita efisien dalam berargumentasi”, tutur Rocky. Dalam kuliah ini Rocky memberikan tiga contoh proposisi untuk membantu para peserta mengenal kedudukan konsep secara lebih dalam. Proposisi yang pertama berbunyi “segitiga selalu memiliki tiga sisi”, yang kedua berbunyi “Tuhan itu ateis” dan yang ketiga berbunyi “gunung agung meletus pertama kali pada 1964 yaitu dua tahun setelah kelahiran JP”. Proposisi pertama yang berbunyi “segitiga selalu memiliki tiga sisi” merupakan konsep yang logis karena bersifat tautologis. Konsep seperti ini bisa dikatakan sebagai konsep yang bisa mengefisienkan argumen seseorang karena segitiga selalu memiliki tiga sisi, maka tidak perlu menambah penjelasan pendukung. Proposisi “segitiga selalu memiliki tiga sisi” sebagai konsep adalah logis, namun konsep tersebut dianggap selesai dalam dirinya sendiri sebagai definisi. Kemudian, proposisi kedua yang berbunyi “Tuhan itu ateis” merupakan proposisi yang terdiri dari beberapa konsep antara lain, konsep Tuhan itu sendiri apakah sebagai yang eksis maupun tidak, konsep Tuhan yang esa, dan masih banyak lagi. Rocky menjelaskan bahwa untuk menghadirkan konsep Tuhan di kepala kita, pastinya ada fantasi yang bermain. Salah satunya adalah fantasi tentang Tuhan sebagai yang mutlak. Dengan fantasi yang demikian, maka kita dapat membawa konsep tersebut tertanam dalam pikiran bahwa tuhan sebagai penyelamat atau yang lainnya. Cara menguraikan konsep seperti ini yang disebut Rocky sebagai latihan dalam berpikir. Tentunya Rocky tidak berurusan dengan kepercayaan seseorang mengenai Tuhan. Tetapi, dalam memperdebatkan proposisi “Tuhan adalah ateis” Rocky menyatakan bahwa agar konsep Tuhan sebagai yang mutlak itu logis, maka Tuhan haruslah ateis. Proposisi kedua ini dianggap sebagai konsep yang dapat diuraikan secara logis tanpa konfirmasi faktual. Proposisi terakhir yang berbunyi “gunung agung meletus pertama kali pada 1964 yaitu dua tahun setelah kelahiran JP” merupakan satu-satunya dari ketiga proposisi di atas yang membutuhkan verifikasi faktual. Oleh karena itu, dalam menjelaskan kedudukan konsep Rocky membawa ketiga proposisi berbeda untuk memperlihatkan teorema dalam menjelaskan kedudukan konsep. Dengan memahami ketiga jenis konsep yang dijelaskan pada Kaffe 9 yaitu konsep yang selesai dalam dirinya sendiri sebagai definisi, konsep yang dapat diuraikan secara logis tanpa konfirmasi faktual dan yang terakhir adalah konsep yang membutuhkan verifikasi faktual kita diharapkan dapat berargumen secara efisien, tepat guna dan terhindar dari kesalahan berpikir atau yang disebut Logical Fallacy. (Iqraa Runi) ![]() Sektor energi seperti halnya sektor publik lainnya sering dipandang sebagai dunia laki-laki, sedang perempuan hanya sebagai pengguna atau penerima manfaat. Sementara sesungguhnya perempuan juga terlibat dan memberikan kontribusi besar di sektor ini. Nama-nama seperti Maritje Hutapea (Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM), Tri Mumpuni (Institute Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan/IBEKA), Prianti Utami (Dian Desa), dan Asclepias Rahmi (Indonesian Institute for Energy Economics/IIEE) adalah sebagian sosok perempuan yang selama ini telah bekerja dan berkontribusi terhadap akses energi yang inklusif. Pengalaman keempat perempuan tersebut memperlihatkan bahwa akses atas energi memberi dampak besar bagi kehidupan perempuan karena itu perspektif gender menjadi sangat penting dalam isu energi. Maritje mengungkapkan ketersediaan energi dapat mendorong kewirausahaan perempuan. Ia menceritakan pengalamannya di Pulau Rote, ketika listrik telah menjangkau wilayah tersebut ibu-ibu di sana yang biasa mengolah makanan tradisional (semacam dodol) dapat meningkatkan kualitas produknya sehingga bisa dipasarkan hingga ke luar daerah dengan harga yang lebih baik. Maritje menambahkan bahwa regulasi dan anggaran juga menjadi aspek penting agar listrik dapat menjangkau seluruh wilayah terutama daerah terpencil dan perbatasan. Sementara itu, Mumpuni yang telah puluhan tahun membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik di berbagai daerah yang belum terjangkau PLN (Perusahaan Listrik Negara) mengatakan keberadaan listrik dapat memangkas 98% pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan pada perempuan seperti mengangkut air dan mengumpulkan kayu bakar. Lebih lanjut Mumpuni mengatakan persoalan akses menjadi fokus perhatian karena hingga saat ini terdapat 900 juta orang yang belum mendapatkan akses yang cukup atas energi di kawasan Asia Pasifik. Tami yang sejak tahun 80-an bergabung dengan Yayasan Dian Desa yang salah satu fokus kerjanya adalah sektor energi terbarukan mengatakan bahwa tungku merupakan jantung bagi rumah tangga karena makanan yang diolah dengan tungku merupakan sumber energi bagi keluarga. Namun dari zaman batu hingga sekarang belum ada perubahan dalam penggunaan tungku biomassa yang menimbulkan polusi yang dapat mengganggu kesehatan. Meskipun sekarang sudah ada elpiji, tetapi di sejumlah wilayah penggunaan tungku kayu tetap berjalan. Untuk itu organisasinya mengembangkan tungku dengan pembakaran tertutup yang desainnya turut melibatkan masyarakat dampingan mereka. Pada tahun 2014 Dian Desa bekerja sama dengan Kementerian ESDM dan Bank Dunia mengembangkan program Tungku Sehat Hemat Energi. Sementara Rahmi bersama organisasinya mengolah data-data yang ada seperti data BPS (Badan Pusat Statistik) tentang potensi desa (Podes) terkait wilayah yang sudah dan belum teraliri listrik dengan menampilkannya secara visual sehingga data-data tersebut menjadi lebih mudah dipahami dan dapat menjadi acuan untuk memecahkan persoalan energi. Rahmi mengatakan informasi tersebut kemudian disebarkan pada pemerintah provinsi agar kepala daerah setempat dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk membuka akses atas energi. Lantas sejauhmana perspektif gender dalam program-program terkait sektor energi dapat mengubah relasi gender yang timpang? Mumpuni menjelaskan ketika akses energi masuk ke suatu daerah, pekerjaan-pekerjaan yang semula harus dilakukan oleh perempuan dan menguras waktu—seperti mengumpulkan air yang membutuhkan waktu tujuh jam seperti biasa dilakukan perempuan di Sumba misalnya—dapat dipangkas sehingga mereka memiliki waktu untuk melakukan hal-hal produktif lainnya. Ketika mereka menggunakan waktunya untuk menenun dan kemudian dapat menjadi sumber penghasilan, maka pada akhirnya akan membuat posisi perempuan menjadi lebih setara. Pendapat senada diungkapkan Maritje, menurutnya penghematan waktu akibat terbukanya akses terhadap energi dapat digunakan oleh para ibu-ibu untuk melakukan aktivitas produktif yang membuat mereka menjadi lebih berdaya. Demikian pula pendapat Rahmi yang menyatakan bahwa membuka akses terhadap energi tidak semata-mata hanya memperkenalkan energi kepada perempuan, tetapi juga aspek lain dalam hidup, seperti mendorong kewirausahaan yang dapat menumbuhkan self esteem perempuan. Keempat perempuan tersebut membagi pengalaman mereka selama menekuni sektor energi dalam forum Women & Energy Festival bertajuk “Perempuan Bicara Energi: Akses yang Setara” di Jakarta, Selasa (19/12). Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) selaku penyelenggara acara berharap kegiatan ini dapat menjadi inspirasi bagi perempuan dan anak muda untuk masuk dan bekerja di sektor energi sehingga sektor ini tidak lagi didominasi oleh laki-laki. (Anita Dhewy) ![]() Selasa, 12 November 2017 bertempat di Bakoel Koffe, Cikini Jakarta Pusat, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, Women on Web, Institute for Criminal Justice Reform, yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menggelar diskusi publik untuk membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengkriminalisasi perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi. Perihal aborsi memang sesuatu yang masih tabu untuk dibicarakan di Indonesia, sekalipun sebenarnya ada perangkat hukum di Indonesia yang memperbolehkan aborsi dengan aturan tertentu. Aborsi di dalam putusan Mahkamah Agung adalah hal yang ilegal dan bisa dikriminalisasikan baik kepada perempuan pelaku aborsi maupun tenaga medis yang membantu proses aborsi. Kasus kriminalisasi pada perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi pernah terjadi pada BL, akhir Juli 2017 lalu. Jaksa Penuntut Umum bahkan menuntut BL dengan ancaman pidana 8 tahun penjara, walaupun akhirnya Majelis Hakim memutuskan BL tetap bersalah namun hanya diberikan hukuman berupa pembinaan di Panti Sosial Mardi Putera (PSMP) Handayani milik Kementerian Sosial. Ada empat pasal yang dijadikan alasan untuk mengkriminalisasi tindakan aborsi dalam RKUHP yaitu pada bab XIV tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Keenam tentang Pengobatan yang dapat Mengakibatkan Gugurnya Kandungan (Pasal 501) dan Bab XIX tentang Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kedua tentang Pengguguran Kandungan (Pasal 589, 590, dan 592). Padahal, menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, PP No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dan Permenkes No. 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan memperbolehkan terjadinya tindakan aborsi. Jadi, undang-undang atau perangkat hukum di Indonesia yang mengatur aborsi sangat kontradiktif. Semua pihak yang terlibat dalam tindakan aborsi bisa dipidanakan baik perempuan pelaku aborsi dan tenaga medis yang membantu tindakan aborsi tersebut. Sepanjang tahun 2012-2016 sudah ada 5 kasus kriminalisasi aborsi. Tenaga medis yang membantu proses aborsi biasanya dikenakan pasal penyalahgunaan kewenangan profesi untuk dikriminalisasi dan perempuan yang melakukan aborsi biasanya dikenakan pasal pembunuhan. Secara historis, hukum Indonesia lebih banyak menempatkan tindakan sebagai sebuah tindakan kejahatan, bukan mengenai persoalan kesehatan reproduksi perempuan apalagi otoritas tubuh perempuan. Data menunjukkan setidaknya setiap tahun kurang lebih ada 4.000 korban perkosaan, sehingga kehamilan pada korban perkosaan adalah keniscayaan. Tetapi, hukum di Indonesia karena copy-paste hukum Belanda zaman kolonial, masih sangat bias gender dan tidak menempatkan perempuan sebagai subjek hukum. Aturan aborsi yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU Kesehatan memperbolehkan aborsi dengan alasan kedaruratan medis dan bagi perempuan korban pemerkosaan untuk usia kandungan maksimal 6 Minggu/40 hari. Padahal kenyataannya menunjukkan bahwa kerap kali perempuan korban perkosaan tidak berani menceritakan perkosaan yang ia alami dalam kurun waktu yang singkat setelah ia diperkosa. Sekalipun ternyata aborsi memang diperbolehkan melalui undang-undang, tetapi lucunya tidak ada satupun rumah sakit di Indonesia yang bisa dijadikan rujukan untuk melakukan tindakan aborsi, padahal undang-undang aborsi untuk alasan kedaruratan dan perempuan korban perkosaan sudah ada. YKP sendiri sebenarnya berusaha agar aturan maksimal usia kandungan yang boleh diaborsi menjadi 12 Minggu, tidak 40 hari seperti yang diperbolehkan oleh MUI. Perihal lain yang menyulitkan perempuan korban perkosaan bisa mendapatkan izin untuk melakukan aborsi adalah karena tes visum untuk kasus perkosaan masih berbayar dan dibebankan kepada korban perkosaan. Hal ini semakin menyulitkan perempuan korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi secara legal dan rentan bagi mereka untuk dikriminalisasi. Di dalam diskusi ini ada beberapa jalan keluar yang diajukan untuk persoalan kriminalisasi terhadap tindakan aborsi pada perempuan korban perkosaan. Pertama, Demoralisasi nilai-nilai yang dilekatkan pada tindakan aborsi, perempuan pelaku aborsi dan tenaga medis yang membantu proses aborsi. Aborsi perlu dilihat sebagai tindakan medis yang dibutuhkan perempuan karena menyangkut otoritas tubuhnya. Kedua, dekriminalisasi perempuan pelaku aborsi dan tenaga medis yang membantu aborsi melalui revisiRKUHP terutama pada Pasal 501 dan 589 . Ketiga, biaya aborsi (juga visum) harusnya gratis dan disediakan dananya oleh negara karena perihal tindakan aborsi ini sudah diatur melalui UU. Keempat, korban perkosaan sebenarnya bisa diberikan pil anti hamil untuk menghindari kehamilan. Namun, obat ini hanya bisa bekerja 72 jam setelah kejadian perkosaan terjadi dan obat ini sangat sulit didapatkan dan diakses oleh masyarakat. Sosialisasi mengenai pil anti hamil ini juga tidak meluas, hingga hanya sedikit orang yang tahu perihal obat anti hamil ini. Kelima, dibutuhkan konselor yang ramah terhadap perempuan korban perkosaan dan mengerti isu-isu feminisme sehingga tidak menjustifikasi aborsi sebagai perbuatan yang amoral. Dengan demikian, kita bisa menghapuskan RKUHP yang menyebabkan perempuan korban perkosaan dikriminalisasi. (Naufaludin Ismail) ![]() Rabu, 6 Desember 2017, Jurnal Perempuan menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan bekerjasama dengan Program Studi Magister Sosiologi Universitas Airlangga dan Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI) didukung oleh Ford Foundation. Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan yang diadakan di Gedung Adi Sukadana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga menghadirkan Prof. Dr. Emy Susanti, MA (Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga), Abby Gina (Redaksi Jurnal Perempuan), Erma Susanti (Wakil Direktur Women and Youth Development Institute of Indonesia) sebagai pembicara dan Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai Moderator . Pendidikan Publik ini dibuka oleh Dekan Fakultas Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Dr. Falih Suaedi. Dalam sambutannya Dr. Falih mengungkapkan bahwa isu perempuan belum terintegrasi dlm strategi pembangunan. Setelah sambutan dari Dekan FISIP Universitas Airlangga, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro, M.Sc memberikan pidato kunci terkait diskusi yang akan membahas status perempuan nelayan. "Dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan, namun lautan belum menjadi prioritas, tentu tidak aneh profesi nelayan hadir di seluruh Indonesia disamping petani. Secara budaya Indonesia telah lama mengklaim memiliki budaya maritim, hal tersebut ada dalam lagu-lagu, misalnya 'Nenek Moyang Ku Seorang Pelaut', tapi seberapa besar pengetahuan kita tentang laut dan manusia-manusia yang hidup dari dan bersama dengan laut?", tutur Atnike. Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan tersebut menjelaskan bahwa secara budaya masyarakat kerap kali menerima begitu saja pelabelan bahwa pekerjaan nelayan adalah pekerjaan laki-laki. Hal lain yang digaris bawahi oleh Atnike ialah soal kerja-kerja perempuan di sektor perikanan yang perlu diakui oleh negara seperti membersihkan, mengolah dan menjual hasil tangkapan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Jurnal Perempuan, Atnike menyebutkan bahwa perempuan nelayan memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian keluarga nelayan dan perekonomian bangsa. Hadirnya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia merupakan bukti bahwa perempuan mampu memimpin di institusi pemerintahan yang dianggap 'maskulin'. Namun menurut Atnike, tidak semua perempuan dapat mencapai hal tersebut, khususnya perempuan nelayan tradisional yang hidup dalam rantai kemiskinan struktural. Lebih jauh Atnike menjelaskan bahwa ada pembagian kerja yang bias dalam konteks rumah tangga maupun sosial, yaitu perempuan dilekatkan dengan identitas pekerjaan domestik dan laki-laki dengan pekerjaan publik. Dikotomi publik-domestik tersebut membuat kerja perempuan nelayan di ruang publik masih dianggap hanya 'membantu' suaminya saja. "Pandangan yang bias tentang kerja publik dan domestik, mengakibatkan pengabaian terhadap fakta bahwa ada perempuan nelayan yang melaut", tegas Atnike. Menurut Atnike, produk dan pelaksanaan kebijakan belum membawa dampak positif tergadap kehidupan perempuan nelayan, sehingga menurutnya pemerintah dan juga para akademisi perlu memberikan perhatian lebih terhadap kontribusi ekonomi perempuan nelayan dalam sektor perikanan. Tidak diakuinya perempuan nelayan sebagai nelayan berdampak pada minimnya akses kredit dan asuransi untuk perempuan nelayan. "Pengabaian eksistensi perempuan dalam sektor kelautan adalah akar ketimpangan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan", tegas Atnike. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Ketimpangan gender di sektor perikanan dipengaruhi oleh subkultur masyarakat pesisir yang menganut budaya patriarki yang mewujud dalam bentuk beban ganda, marginalisasi, subordinasi, stereotip dan kekerasan. Pernyataan ini diungkapkan Erma Susanti, Wakil Direktur Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII) saat menjadi pembicara dalam acara Pendidikan Publik yang diselenggarakan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Program Magister Sosiologi Universitas Airlangga dan Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI) di FISIP Unair. Lebih lanjut Erna menjelaskan perempuan nelayan—seperti halnya perempuan di sektor lain—tidak hanya berkecimpung dalam ranah produktif, namun juga ranah reproduktif dan sosial, sehingga jam kerja dan beban kerjanya lebih panjang daripada laki-laki. Hasil pengamatan dan riset menunjukkan bahwa jam kerja perempuan nelayan rata-rata mencapai 14 hingga 17 jam sehari. Perempuan terlibat dalam seluruh rantai perikanan mulai dari praproduksi, produksi hingga pascaproduksi. Banyaknya waktu yang harus dialokasikan perempuan nelayan dalam proses kerja-kerja tersebut mengakibatkan beban kerja yang tinggi yang pada akhirnya mengurangi kualitas hidup perempuan karena mereka tidak mempunyai waktu untuk mendapatkan akses atas peningkatan dan perbaikan kualitas hidup. Di sisi lain faktor budaya yang menganggap perempuan nelayan bukan sebagai profesi yang kemudian tercermin dalam undang-undang yang menempatkan perempuan nelayan hanya sebagai istri nelayan, pada akhirnya membuat mereka tidak bisa mendapatkan kartu nelayan. Dengan kata lain perempuan nelayan mengalami marginalisasi. Lebih jauh Erma menjelaskan pandangan yang menomorduakan perempuan juga terjadi di sektor perikanan, sehingga kepentingan dan persoalan perempuan nelayan dianggap tidak penting. Akibatnya program-program untuk mengatasi persoalan-persoalan perempuan harus menjadi program yang secara khusus menyasar perempuan. Selain itu stereotip atau pelabelan negatif pada perempuan nelayan yang menganggap perempuan tidak memiliki kemampuan melaut dan hanya bisa bekerja di sektor domestik mengakibatkan pembatasan perempuan nelayan. Menurut Erma, kekerasan terhadap perempuan di lingkungan nelayan lebih didominasi oleh perkawinan anak. Rata-rata setelah lulus SMA anak perempuan akan segera dinikahkan. Situasi ketimpangan gender tersebut menurut Erma mengakibatkan akses mereka terhadap kebijakan yang dijalankan pemerintah menjadi terbatas, kecuali program tersebut secara khusus ditujukan bagi perempuan atau program yang sasarannya umum namun mensyaratkan adanya keterlibatan perempuan. Sehingga dapat dikatakan keterlibatan perempuan menjadi semu. Dengan akses yang terbatas, maka partisipasi perempuan juga menjadi minim, terlebih ketika program yang ada masih menempatkan perempuan nelayan hanya sebatas sebagai objek kebijakan karena pengendali program masih dipegang oleh laki-laki. Ketika aksesnya terbatas dan partisipasinya semu, maka manfaat program bagi perempuan juga sulit dicapai. Terlebih ketika berbicara kontrol, selama perempuan tidak menjadi bagian dari pengendali program dan tidak masuk dalam kepengurusan yang mempunyai otoritas untuk menentukan, maka sulit bagi perempuan untuk memiliki kontrol. Erma juga menjelaskan beberapa persoalan di sektor perikanan. Menurutnya, meskipun nelayan berada pada garda depan ketahanan pangan dan perekonomian bangsa, namun masyarakat pesisir merupakan salah satu kantong kemiskinan yang cukup besar, yakni 25 persen dari total penduduk miskin. Maka menjadi ironis ketika kebutuhan protein kita disuplai oleh kelompok nelayan, tetapi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya kelompok nelayan justru belum terpenuhi. Sektor perikanan juga merupakan sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Ketika cuaca buruk, maka nelayan tidak bisa melakukan aktivitas penangkapan ikan dan tidak memiliki penghasilan. Dalam situasi semacam ini perempuan nelayan—seperti halnya perempuan di sektor lain—akan merasakan dampak yang lebih berat. Sementara itu, secara budaya perempuan dianggap bertanggung jawab untuk mencari jalan keluar. Oleh karena itu terkait persoalan perubahan iklim, perempuan menjadi kelompok yang lebih adaptif dalam mencari cara agar bisa mendapatkan nafkah ketika dalam situasi semacam ini. Kerentanan sektor perikanan juga terkait dengan isu energi. Ketika solar yang menjadi bahan bakar kapal mengalami kenaikan harga, akan berdampak langsung terhadap pemasukan nelayan. Sementara terkait proses regenerasi, terdapat kecenderungan memprioritaskan anak laki-laki untuk bersekolah dan membebaskan mereka dari tanggung jawab dalam proses produktif. Sedang anak perempuan diberi tanggung jawab untuk membantu kerja-kerja produktif dan reproduktif yang dilakukan para ibu. Hal ini dikarenakan profesi nelayan tidak lagi dipandang sebagai mata pencaharian yang bergengsi, sehingga anak-anak mereka tidak disiapkan untuk menggantikan orang tuanya. Untuk itu menurut Erma perlu ada evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Menteri No 28 tahun 2016 tentang Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di sektor perikanan untuk mengetahui efektivitas dari aturan tersebut. Selain itu dibutuhkan juga pemahaman dan kapasitas pengarusutamaan gender pada tenaga lapangan mengingat biasanya perspektif gendernya belum memadai. Dukungan aturan teknis juga menjadi penting terutama di tingkat lokal. Erma mencontohkan kebijakan soal dana desa, yang bisa diakses untuk pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti yang diterapkan di daerah Tulungagung misalnya. Aturan teknis pendukung ini akan memudahkan nelayan perempuan untuk mengakses dana desa atau program-program lain yang terkait dengan sektor perikanan. Monitoring dan evaluasi atas program juga menjadi penting selain juga perlu kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |