![]() Rabu (10/3/21), Chevening Indonesia & Timor Leste mengadakan webinar #BeALeader yang mengangkat topik “Mencapai Kesetaraan Gender Melalui Pendidikan. Kegiatan yang diadakan dalam rangka Hari Perempuan Internasional ini menghadirkan alumni program beasiswa Chevening yang berbagi pengalaman dan tantangan yang mereka hadapi terkait peran pendidikan yang berkontribusi pada kesetaraan gender. “Kekuatan pendidikan mampu mengubah kehidupan (the power education will transfer life)”, demikian disampaikan Miranda Thomas, Direktur Sekretariat Chevening di London. Hal tersebut juga diakui para narasumber yang bergerak di bidang yang selama ini masih didominasi laki-laki. “Seperti diketahui, bidang jurnalisme masih sangat male dominated, sarat stereotip terhadap perempuan dan masih sering ditemukan pandangan yang bias gender terhadap perempuan”, ujar Citra Dyah Prastuti, Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio 68 (KBR68). Citra alumni Chevening yang lulus dari School of Oriental Studies – University of London, mengungkapkan pengalamannya dalam mengelola stasiun berita di mana kepemimpinan perempuan masih sering diragukan, keputusannya dipertanyakan, dianggap emosional. Sementara itu, Livia Istania Iskandar, alumni Chevening yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berpendapat bahwa perempuan harus bekerja tiga kali lebih keras untuk berada dalam posisi strategis sebagai pemimpin. Menurutnya, ada kualitas-kualitas stereotip yang dilekatkan hanya terhadap perempuan, misalnya perempuan yang asertif cenderung dianggap agresif. Menurut Livia, pendidikan merupakan cara dalam menembus hambatan tersebut. Karenanya, menurut Livia, perempuan harus memiliki cita-cita dan mengetahui apa yang ingin dilakukan. Menurut Livia, sebagai pemimpin, perempuan bisa mengembangkan kebijakan yang pro-perempuan, yang dapat mendukung perempuan lain untuk terus berkarir. Ia menyebutkan contoh yang paling sederhana adalah penyediaan ruang laktasi atau ruang penitipan anak bagi perempuan berkeluarga yang juga bekerja. Narasumber lainnya adalah Sukma Violetta, seorang komisioner dari Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sukma menjelaskan bahwa meskipun ketentuan-ketentuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah menjamin kesetaraan, namun implementasinya masih belum sesuai dan masih terdapat banyak hambatan. Ia mencontohkan dalam ketentuan poligami, yang diketahui masyarakat secara umum adalah hanya memerlukan ijin istri pertama sebagai prasyarat. Namun menurutnya, yang tepat adalah butuh ijin pengadilan, dan hal ini sering diabaikan para pelaku poligami. Ketiga narasumber yang merupakan alumni Chevening ini menceritakan bahwa kesempatan untuk menikmati pendidikan tinggi telah memberikan bekal yang berguna mereka sebagai perempuan untuk berkembang di dalam berbagai bidang yang masih timpang gender, seperti hukum dan jurnalisme. (Dewi Komalasari) ![]() Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional (8/3), L’oreal Paris, Komnas Perempuan dan Hollaback Jakarta mengadakan konferensi publik dengan tema “Stand Up untuk Bersama Melawan Pelecehan Seksual Di Ruang Publik”. Manashi Guha, General Manager L’oreal Indonesia mengatakan bahwa dalam 50 tahun terakhir Loreal Indonesia mendorong berbagai tantangan yang menghambat kemajuan perempuan dengan seruan “Kita begitu berharga”, untuk mendorong penghargaan atas diri. Berdasarkan survei yang dilakukan Loreal Paris di Indonesia dengan IPOS terhadap 1500 responden, diketahui bahwa pelecehan seksual di ruang publik adalah isu utama yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia. Loreal Paris di Indonesia, Komnas Perempuan, dan Hollaback Jakarta bekerja sama melakukan kampanye untuk mendorong masyarakat untuk stand up (berdiri dan bertindak) mengintervensi pelecehan seksual di ruang publik. Risa Ariyani Kori - UNFPA Gender Spesialis, mengapresiasi kampanye yang dilakukan oleh L’oreal Paris, sebab kegiatan ini adalah juga bagian perjuangan UNFPA. Menurut Risa, di tahun 2016, UNFPA melakukan survei untuk melihat prevalensi kekerasan seksual dan menemukan 1 dari 3 perempuan pernah mengalami pelecehan seksual. Risa menjelaskan bahwa pelecehan seksual adalah bagian dari kekerasan basis gender (KBG). Melalui tema Hari Perempuan Internasional tahun 2021, Woman for Leadership, maka menjadi penting untuk memberdayakan perempuan agar mampu bangkit dan berbuat untuk merespons pelecehan seksual dan berbagai KBG lainnya. Andy Yentriyani - Ketua Komnas Perempuan (KP), pelecehan seksual adalah pengalaman sehari-hari perempuan dan hampir terjadi di semua lini kehidupannya. Berdasarkan data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang baru saja diluncurkan, ditemukan bahwa intensitas kekerasan seksual di masa pandemi meningkat, khususnya kekerasan yang terjadi di ranah online dan di ranah publik. Andy menuturkan bahwa kekerasan seksual di ruang publik adalah hal yang sangat menakutkan dan melanggar HAM perempuan. Namun ungkapnya, sangat memprihatinkan bahwa hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur persoalan tersebut. Padahal, menurut Andy, karena ketiadaan payung hukum ini korban menjadi enggan dan takut untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami. Inilah alasan mengapa RUU Pencegahan Kekerasan Seksual perlu segera diundangkan. Maria Adina - Brand General Manager L’oreal Indonesia, menyatakan bahwa Stand Up adalah tema kampanye dari Loreal Indonesia. Menurut dia target kegiatan ini adalah agar 1 juta orang di dunia dilatih untuk mampu melakukan perlawanan yang aman ketika berhadapan dengan kekerasan seksual. Berdasarkan survei yang dilakukan L’oreal Paris bersama IPOS diketahui bahwa 82% perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Sementara 51% saksi pelecehan seksual tidak melakukan intervensi saat melihat kekerasan terjadi karena merasa tidak memiliki informasi yang cukup tentang apa itu pelecehan seksual dan apa yang dapat dilakukan untuk meresponsnya (91% responden). Oleh sebab itu L’oreal Indonesia merasa penting untuk memberikan intervensi melalui edukasi dan pelatihan bagi masyarakat luas. Dalam program kampanye ini Loreal Paris berharap agar korban dan saksi dapat stand-up mengintervensi kekerasan seksual di ruang publik. Maria mengajak kita semua untuk mengikuti pelatihan melawan pelecehan di ruang publik di www.standup-indonesia.com Anindya Restuviani, Co-Directir Hollaback, menyambung paparan Maria menyatakan program pelatihan yang dilakukan oleh Loreal, Komnas Perempuan dan Hollaback Jakarta ini penting untuk menolak normalisasi pelecehan seksual di ruang publik. Menurut Andindya, isu ini masih sering dipandang sebagai persoalan yang remeh, padahal pelecehan seksual berdampak besar pada kesejahteraan hidup perempuan di Indonesia. Salah satu dampak normalisasi pelecehan seksual di ruang publik berkurangnya partisipasi perempuan di ruang publik. Dengan metode pelatihan 5D yang dapat ditemukan pada modul pelatihan mandiri yang tersedia laman www.standup-indonesia.com semua orang diharapkan mampu mengintervensi pelecehan seksual diruang publik. 5D adalah cara saksi membantu korban pelecehan di ruang publik yaitu dialihkan, dilaporkan, dokumentasikan, ditegur, dan ditenangkan. Bersamaan dengan peluncuran kampanye ini, L'Oréal Paris juga memperkenalkan Spokesperson barunya, Cinta Laura yang juga terpilih sebagai Duta Anti-Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Dalam kesempatan tersebut Cinta menyatakan bahwa payung hukum untuk merespons kekerasan seksual di ruang publik penting untuk memberikan aman dan nyaman bagi perempuan di ruang publik. Menurut Cinta, normalisasi pelecehan seksual di masyarakat terjadi karena korban dan saksi tidak mengetahui apa yang harus dilakukan saat mengalami atau melihat pelecehan seksual. Pelatihan dan edukasi terhadap masyarakat seperti yang dilakukan oleh L’oreal menjadi penting agar korban dan saksi tahu apa yang harus dilakukan untuk mengintervensi pelecehan seksual yang terjadi di hadapan kita. Bahkan menurut Cinta, edukasi dan pelatihan semacam ini juga perlu dilakukan di sekolah sejak dini agar pemahaman soal kekerasan seksual dapat terinternalisasi dengan baik. Melalui kegiatan kampanye ini Loreal Paris berharap agar kampanye melawan pelecehan seksual di ruang publik dapat diperkuat dan diperluas. Bekerja sama dengan Komnas Perempuan dan Hollaback Jakarta menarget 100.000 orang untuk mengikuti pelatihan intervensi pelecehan seksual di ruang publik. (Abby Gina) ![]() Jumat (5/3/21). Sebagai agenda rutin tahunan, menjelang perayaan Hari Perempuan Internasional 8 Maret, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU), sebuah laporan tahunan tentang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah di hampir semua provinsi di Indonesia. Acara peluncuran ini diadakan melalui medium Zoom dan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube. Mengangkat tajuk “Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19”, CATAHU 2021 memuat kompilasi data kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020, yang dilaporkan ke berbagai lembaga layanan bagi perempuan korban dan juga institusi penegak hukum. Penyusunan CATAHU telah dilakukan Komnas Perempuan sejak tahun 2001. Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, laporan ini tidak hanya menjadi rujukan naik turunnya angka kasus kekerasan terhadap perempuan, tetapi diharapkan dapat menjadi sebuah rujukan untuk mengembangkan pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan dan penanganan bagi korban untuk memperoleh hak-hak mereka atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. “Penting untuk dipahami bahwa data yang disajikan dalam CATAHU hingga saat ini masih berupa indikasi dari puncak gunung es persoalan kekerasan terhadap perempuan. Data yang terhimpun adalah terbatas pada kasus di mana korban melapor, dan juga pada jumlah dan daya lembaga yang turut serta di dalam upaya kompilasi ini. Maka ketika jumlah data meningkat bukan berarti jumlah kasus kekerasan pada tahun sebelumnya lebih sedikit, melainkan jumlah korban yang berani untuk melaporkan kasusnya menjadi lebih banyak dan akses mereka untuk melaporkan juga lebih luas”, demikian disampaikan Andy Yentriyani dalam sambutannya. CATAHU 2021 mencatat sejumlah 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2020. Jumlah kasus yang tercatat ini berkurang secara signifikan jika dibandingkan dengan CATAHU 2020 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Menurut Andy, menurunnya jumlah kasus dalam CATAHU 2021 lebih merefleksikan kapasitas pendokumentasian daripada kondisi nyata kekerasan yang terjadi. Menurut Andy, sekitar 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Jumlah pengaduan ke Komnas Perempuan pada tahun 2020 meningkat drastis sebesar 60%, yaitu dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020. Peningkatan jumlah pengaduan juga dimungkinkan karena bentuk penerimaan laporan secara online. Bertambahnya jumlah pengaduan ke Komnas Perempuan juga menunjukkan kerentanan terjadinya kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi Covid-19. Namun secara keseluruhan jumlah kasus dilaporkan berkurang karena kuesioner yang dikembalikan menurun hanya sekitar 50 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu, sebagian besar kuesioner yang dikembalikan berasal dari lembaga yang berlokasi di Pulau Jawa dengan dukungan infrastruktur yang relatif lebih memadai. Oleh karena itu, salah satu rekomendasi Komnas Perempuan kepada Presiden RI dalam CATAHU 2021 adalah mendorong penguatan kapasitas Kementerian/Lembaga dan organisasi layanan bagi perempuan korban dalam pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mengembangkan sistem big data untuk perencanaan pembangunan nasional. Selain itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan peningkatan alokasi dana APBN untuk layanan dan pemulihan korban, seperti operasional lembaga layanan, konseling psikologis, visum, bantuan hukum, tindakan medis lanjutan, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang berperspektif korban. Selain mencatat kompilasi jumlah kasus kekerasan, CATAHU 2021 juga mengungkapkan beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian seperti meningkatnya angka dispensasi kawin, sebagaimana yang terungkap dari rekap perkara yang diputus oleh Peradilan Agama seluruh Indonesia. Dispensasi kawin adalah pengecualian ijin kawin yang diberikan pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum berusia 19 (sembilan belas) tahun untuk melangsungkan perkawinan. Angka dispensasi kawin sepanjang tahun 2020 tercatat sebanyak 64.211, melesat tiga kali lipat dibandingkan tahun 2021 yaitu sebanyak 23.126. Angka ini bahkan melonjak 500% lebih banyak dibandingkan angka dispensasi kawin pada tahun 2018. Lonjakan perkara dispensasi kawin sepanjang tahun 2020 merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan, mengingat legalitas perkawinan anak telah dibatasi oleh UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Berbagai bentuk beserta data jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020 dalam CATAHU 2021 dapat diunduh melalui situs komnasperempuan.go.id. CATAHU 2021 juga memuat rekomendasi yang ditujukan kepada berbagai lembaga tinggi negara mulai dari DPR RI, Presiden RI, kementerian koordinator, berbagai kementerian Lain, lembaga penegakan hukum, lembaga nasional HAM, dan lembaga non struktural lainnya, lembaga internasional, lembaga donor, dan kelompok bisnis. (Dewi Komalasari) Jakarta (23/2), Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta meluncurkan hasil survei tentang Pendekatan Feminis dalam merespons Kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) Selama Pandemi Covid-19. Bersamaan dengan itu, pada kegiatan ini Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta juga meluncurkan website carilayanan.com. Sebuah platform yang dihadirkan sebagai upaya merespons tingginya laporan KBG di Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut Naila Rizqi Zakiah sebagai salah satu peneliti memaparkan bahwa Pandemi global COVID-19 yang terjadi di awal tahun 2020 ini telah memakan banyak korban kekerasan berbasis gender (KBG). KBG telah lama disebut sebagai fenomena shadow pandemic atau pandemi bayangan. Sekarang, setelah pandemi COVID-19 telah berlangsung selama lebih dari satu tahun, tren di seluruh dunia menunjukkan bahwa tingkat KBG, khususnya terhadap perempuan dan kelompok rentan, terus meningkat. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta merasa perlu adanya kajian tentang isu kebutuhan, tantangan, kendala, dan kesempatan yang berhubungan dengan pemberian informasi dan layanan terhadap penanganan kasus KBG selama pandemi COVID-19 di Indonesia. Maka dari itu, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta kemudian menjalankan penelitian dan menulis sebuah laporan (white paper) yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan advokasi pada pemerintah dan pihak terkait untuk dapat memberikan respons terhadap kasus kekerasan berbasis gender selama pandemi. Naila memaparkan bahwa berdasarkan data Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, sebelum terjadinya pandemi tingkat KBG terhadap perempuan sudah tinggi setiap tahunnya, tetapi dengan adanya pandemi kerentanan tersebut semakin meningkat. Berdasarkan survei yang diketahui bahwa hampir dari 2/3 korban menyatakan bahwa mereka mengalami kekerasan, bukan kekerasan yang pertama melainkan kekerasan berulang dan berlapis. Namun demikian, terdapat 22% responden korban yang mengatakan mereka terkena kekerasan untuk pertama kali pada saat pandemi. Naila menambahkan bahwa berdasarkan jenis-jenis kekerasan, kekerasan verbal adalah kekerasan yang paling banyak dihadapi oleh para korban selama masa pandemi. Jenis KBG yang dialami korban adalah 79% kekerasan verbal, 77% kekerasan psikis, 65% kekerasan seksual, 48% kekerasan online, 39% kekerasan fisik dan 14% kekerasan ekonomi. Mayoritas korban KBG mengalami kekerasan berlapis dan pelakunya adalah orang yang dikenali oleh korban. Temuan lain survei ini adalah bahwa mayoritas responden yang mengalami KBG adalah mereka yang berasal dari kelompok rendah yaitu SMP. Artinya tingkat pendidikan rendah meningkatkan kerentanan seseorang mengalami KBG. Selain itu survei ini mengungkapkan bahwa dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi, hanya sedikit korban yang melaporkan kekerasan yang dialami. Setelah acara peluncuran survei, Anindya Restuviani—Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta kemudian memperkenalkan website carilayanan.com sebagai salah satu upaya untuk merespons tingginya kasus KBG di Indonesia. Menurut Anindya, salah satu alasan rendahnya pelaporan kasus KBG adalah masih minimnya pengetahuan para korban soal lembaga pendamping di daerahnya. Untuk itu Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta menghadirkan website bernama carilayanan.com sebagai bentuk intervensi online yang diharapkan dapat merespons tingginya kasus KBG. Tujuan platrofm ini adalah menginformasikan kepada korban, layanan dampingan apa saja yang dapat mereka akses ketika mengalami KGB. Anindya menyatakan tujuan dibuatnya website ini adalah untuk mengurangi dan merespons kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia. Dalam sesi tanggapan, Zuma—LBH Apik, mengapresiasi hasil survei yang diluncurkan oleh kegiatan ini. Menurut Zuma, LBH Apik Jakarta sendiri seperti juga berbagai layanan lainnya mengalami kegagapan dalam memberikan layanan saat pandemi. Salah satu persoalan yang kita hadapi adalah banyaknya lembaga rumah aman dari negara di tutup, sehingga rumah aman yang hadir adalah yang berasal dari inisiatif masyarakat sipil/individu. LBH Apik sendiri merespons kondisi ini dengan menghadirkan layanan online. Meski demikian memberikan layanan online memiliki tantangannya tersendiri, misalnya bagaimana para pendamping rentan dikenakan pasal UU ITE karena menerima dan memberikan bukti KBG kepada institusi yang bersangkutan. Artinya ada sejumlah kerentanan yang dihadapi para pendamping dalam memberikan layanan pendampingan online. Mariana Amirudin—Komnas Perempuan, mengapresiasi kerja-kerja JFDG, menurut Mariana insiatif ini sangat penting dalam merespons persoalan KBG bagi para korban. Menurut Mariana penting agar sejumlah layanan (SDM) diberdayakan agar memiliki perspektif korban. Beberapa saluran lain yang perlu dikembangkan lagi oleh webiste ini adalah pemberian layanan hukum, layanan psikis dan layanan rumah aman. Tantangan kita adalah masih minimnya layanan yang menjawab kebutuhan rangkaian layanan yang dibutuhkan oleh korban. Menurut Mariana, penting agar kuantitas dan kualitas pengada layanan baik dari pemerintah dan dari masyarakat sipil terus ditingkatkan. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta menyimpulkan bahwa pandemi covid-19 memperparah kerentanan perempuan terhadap KBG, oleh sebab itu mereka merekomendasikan dua hal yaitu: pertama, pemerintah, lembaga layanan dan penegak hukum perlu melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai kekerasan berbasis gender untuk meningkatkan pengetahuan dan tingkat pelaporan. Kedua, Lembaga layanan dan penegak hukum perlu memberlakukan prosedur pelaporan yang lebih mudah. Ketiga, lembaga layanan dan penegak hukum perlu memahami keberagaman korban kekerasan. Dan terakhir, Pemerintah perlu memberikan dukungan secara keseluruhan kepada lembaga layanan pendampingan korban kekerasan (Abby Gina). SAMBUTAN YAYASAN KURAWAL
DARMAWAN TRIWIBOWO Selamat siang. Sebuah kehormatan bisa berada dalam forum ini untuk meluncurkan Jurnal Perempuan edisi 107: “Perempuan & Pandemi COVID-19” bersama dengan Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste. Sebuah kesempatan yang berharga pula untuk bisa mendengar langsung pesan solidaritas yang disampaikan oleh H.E. Cameron MacKay. Hal yang tidak boleh kita lupakan adalah, seperti yang pernah diungkapkan oleh mendiang Christopher Eric Hitchens, seorang jurnalis Inggris, “solidarity is an attitude of resistance”. Solidaritas ada untuk mendorong perlawanan. Perlawanan terhadap kebencian, keserakahan, diskriminasi, kebohongan, disinformasi, represi, maupun pengabaian yang kerap terlihat begitu telanjang di masa pendemi ini. Salah satu mitos yang sering kali didengungkan saat kita berbalah dengan wabah adalah bahwa kita mengarungi terpaan badai ini di dalam perahu yang sama. Itu adalah bualan yang paling menyesatkan yang digunakan negara dan para pemilik kuasa untuk meredam gugatan terhadap ketimpangan dan kesenjangan. Laporan CNN minggu lalu menunjukkan bahwa, di saat jutaan orang kehilangan pekerjaan dan kelompok minoritas terjerembab dalam kemiskinan, bilioner di Amerika Serikat secara kolektif telah meraup $1,1 triliun dan menjadi 40% lebih kaya semenjak pandemi. Tidak akan mengherankan jika fenomena yang sama telah terjadi di Indonesia. Tidak, tuan dan nyonya, kita tidak berada dalam perahu yang sama. Masing-masing dari kita mengarungi badai ini dengan rakit yang berlainan. Malangnya, mereka yang rentan dan terpinggirkan (pekerja informal, kelompok miskin kota, para korban pemutusan hubungan kerja, kaum minoritas) acap kali harus mengayuh dalam telatak yang paling repih. Jurnal Perempuan Edisi 107 ini menggarisbawahi ketimpangan tersebut dengan melewa lampu sorot pada salah satu dari mereka : perempuan. Perempuan membayar “ongkos” pandemi ini berlipat-kali dibandingkan laki-laki. Sri Mulyani, mengutip laporan awal dari ADB-UN Women’s High-Level Roundtable pada 2020, dalam acara UN Women Asia Pacific WEPs Awards Ceremony in Indonesia beberapa waktu lalu menjelaskan perempuan kehilangan 50 persen jam kerjanya, sedangkan laki-laki hanya kehilangan 35 persen sehingga terjadi implikasi yang asimetris dari Covid-19, khususnya di sektor-sektor formal di Asia. Tak hanya itu, tingkat pendapatan dari 740 juta pekerja perempuan di sektor informal secara global juga berkurang sebesar 60 persen dalam bulan pertama setelah terjadinya Covid-19. Sekitar 40 persen dari pekerja perempuan di seluruh dunia bekerja di sektor-sektor yang paling terdampak. Bahkan, 70 persen pekerja di sektor sosial dan layanan kesehatan merupakan perempuan sehingga mereka menjadi lebih rentan. Tidak, tuan dan nyonya, kita tidak berada dalam perahu yang sama. Namun, potongan-potongan pengetahuan yang disulam dalam Jurnal Perempuan Edisi 107 ini seharusnya hanya merupakan langkah awal untuk mengkonsolodasikan perlawanan serta mendorong perubahan. Pengetahuan dan kesadaran harus dianjurkan ke dalam pestaka perbantahan publik, dibawa ke lorong-lorong kekuasaan, disuntikkan dalam percakapan di koridor-koridor pengambilan keputusan politik kepemerintahan. Bahkan, jika perlu, diteriakkan di jalanan. Bagi kami, Yayasan Kurawal, itu adalah tantangan selanjutnya bagi Jurnal Perempuan, sekaligus manifestasi lanjutan dari solidaritas yang kita bicarakan siang ini. Sebagai penutup, pada hari Selasa, 26 Januari 2021, kasus COVID-19 di Indonesia telah melampaui 1 juta kasus. Catatan terburuk di Asia Tenggara. Menanggapi hal tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengajak semua pihak merenung. Merenung. ME-RE-NUNG? Satu juta kasus adalah saat kita marah dan melawan untuk mengubah keadaan. Ketidakjujuran, pengabaian dan ketidakbecusan punya harga, dan dalam masa pandemi itu dibayar dengan nyawa. Semoga pengetahuan yang kita himpun, percakapan yang kita lakukan, serta kesadaran yang kita peroleh hari ini terus bisa bergulir dan bergerak. Panjang umur perlawanan! Jakarta, 4 Februari 2021 ![]() Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste H.E. Bapak Cameron MacKay Good afternoon, bonjour, selamat siang! Senang sekali saya dapat bergabung dengan Anda semua dalam acara peluncuran resmi Jurnal Perempuan edisi 107, yang tentu saja berfokus pada ‘Perempuan dan Pandemi COVID19’. Setelah nyaris setahun pandemi ini berlangsung, jalan kita masih panjang. Sementara semua orang menghadapi tantangan, perempuanlah yang terkena dampak paling tidak proporsional dan menanggung beban dampak ekonomi dan sosial COVID-19. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau berkata: “Pandemi telah menyoroti dan memperdalam ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang ada bagi perempuan di dalam masyarakat kita. Kita tahu bahwa dibutuhkan kerja keras untuk memperbaiki kesenjangan ini, yang akan bertambah buruk tanpa tindakan tegas. Sekarang, lebih dari sebelumnya, kita perlu memastikan bahwa perempuan mendapatkan dukungan sehingga kita tidak kehilangan kemajuan yang telah dibuat dalam beberapa tahun terakhir.” Kita semua tahu beliau benar. Lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang kehilangan pekerjaannya akibat pandemi, dan perempuanlah yang dipaksa untuk menanggung beban rumah tangga yang meningkat di rumah. 58% perempuan di dalam sektor formal Indonesia, dan 71% di sektor informal, telah kehilangan pekerjaan mereka atau mengalami penurunan pendapatan. Kami melihat dampak yang sama di Kanada. Bahkan di antara anak-anak kita melihat kesenjangan gender yang makin melebar – perkiraan menunjukkan bahwa ada tambahan 11 juta anak perempuan yang kemungkinan besar meninggalkan sekolah pada akhir krisis COVID. Lembaga UN Women dan lainnya telah menunjukkan adanya “pandemi bayangan” berupa kekerasan yang meningkat terhadap perempuan di negara-negara di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, diperkirakan terjadi peningkatan 75% kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan selama pandemi. Dan situasinya serupa di negara saya. Jurnal Perempuan tahun ini menyoroti semua kisah ini - dan menunjukkan banyak sekali kesulitan yang dihadapi oleh jutaan wanita dan anak perempuan di seluruh Indonesia karena krisis COVID. Sayangnya, terlepas dari implikasi gender yang jelas dari pandemi, upaya tanggapan dan pemulihan di seluruh dunia masih belum cukup. Di Kanada, di Indonesia, dan di semua negara - Kita semua harus berbuat lebih baik. Melibatkan perempuan dan anak perempuan dalam pengambilan keputusan tentang tindakan respon pandemi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dan prioritas mereka baik di negara maju dan berkembang. Di Indonesia, Kanada bekerja sama dengan berbagai mitra untuk membantu mengurangi dampak pandemi ini pada mereka yang paling rentan dan miskin, terutama perempuan dan anak perempuan. Kanada memberi dukungan langsung sebesar 2,35 juta dollar kepada Indonesia untuk penanggulangan pandemi termasuk 850 ribu dollar kepada UNICEF dan Palang Merah Indonesia untuk memberikan bantuan darurat dalam menanggapi COVID-19, serta tambahan 1,5 juta dollar melalui Proyek BERANI kami – dalam kemitraan dengan UNFPA dan UNICEF – untuk membantu menyediakan layanan kesehatan reproduksi seksual yang memadai, dan membantu melindungi bidan, ibu, dan anak selama pandemi COVID-19. Melalui Canada Fund untuk Prakarsa Lokal, kami juga bekerja sama dengan mitra lokal untuk membantu perempuan korban kekerasan, dan melatih perempuan akar rumput agar dapat mengadvokasi anggaran untuk merespon COVID19 yang responsif gender di wilayah mereka. Kami juga telah memberikan 1,5 juta dollar kepada BBC Media Action untuk memerangi penyebaran informasi dan mis-informasi COVID-19 di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Proyek ini akan mendukung pembuatan konten media untuk mengatasi "infodemi", memperkuat kapasitas media lokal, dan mendukung komunikasi yang efektif dalam bantuan kemanusiaan secara keseluruhan. Kanada juga berkomitmen untuk mendukung akses global yang adil untuk vaksin COVID-19, dan telah memberikan dana yang cukup besar kepada Fasilitas COVAX dan Gavi, Aliansi Vaksin, untuk mendukungnya. Saya bangga bahwa Menteri Pembangunan Internasional kami, Karina Gould, baru-baru ini bergabung dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Menteri Kesehatan Ethiopia Lia Tadesse - semuanya perempuan - sebagai ketua bersama COVAX Advance Market Commitment Engagement Group. Grup ini akan mendukung partisipasi 92 negara berpenghasilan menengah ke bawah dan rendah di seluruh dunia dan memastikan akses mereka untuk vaksin COVID-19. Saya berharap penelitian yang sangat baik dalam Jurnal Perempuan tahun ini akan menjadi pengingat yang berguna untuk selalu menempatkan perempuan dan anak perempuan pada pusat upaya kita dalam upaya pemulihan dari pandemi COVID-19. Seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres: “Kesetaraan gender dan hak-hak perempuan sangat penting untuk melewati pandemi ini bersama, untuk pulih lebih cepat, dan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua orang.” Terima kasih dan selamat berdiskusi. Senin (4/1) Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) mengadakan Webinar yang mengangkat tema “Perempuan Berdaya Indonesia Maju, Refleksi Awal Tahun 2021: Quo Vadis Perempuan Indonesia”. Kegiatan ini bertujuan mendiskusikan kiprah perempuan dalam berbagai bidang dalam kaitannya dengan penanganan Pandemi Covid-19.
Dalam pidato pembukaan, Diah Pitaloka—Ketua Presidium KPP-RI memaparkan peran sentral perempuan dalam pemulihan di tengah krisis pandemi ini. Menurut Diah Pitaloka, perempuan masih dihadapkan pada persoalan diskriminasi dan ketidakadilan gender. Ia berharap diskusi ini dapat menilai apakah pendekatan yang lebih berperspektif feminis telah digunakan di tengah kebijakan new normal di Indonesia. Sri Mulyani, Menteri Keuangan saat ini, memaparkan dinamika yang muncul dalam pemulihan ekonomi perempuan dalam merespons Covid-19. Menurut Sri Mulyani, Covid-19 berdampak pada pelemahan ekonomi dalam jangka menengah dan jangka panjang. Hal-hal yang mengalami penurunan misalnya human capital, public investment, private investment dan produktivitas. Untuk merespons kondisi pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan khusus (extra ordinary policy), yaitu Perpu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diesease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19; Stimulus penanganan covid-19 dan melalui program Pemulihan Ekonomi—PEN), reopening policy (pemberian stimulus ekonomi) dan recovery & reform policy (akselerasi pemulihan ekonomi melalui keberlanjutan kebijakan pemuihan ekonomi dan mendorong transformasi). Menurut Sri Mulyani, akibat diskriminasi perempuan telah mengalami dampak tidak proporsional dalam menghadapi pandemi. Sebagai salah satu contoh, karena pembagian peran/ kerja gender banyak perempuan bekerja di sektor perawatan dan kesehatan. Akibatnya mereka memiliki risiko terpapar virus lebih tinggi. Persoalan lain yang dihadapi oleh perempuan di saat pandemi adalah persoalan beban ganda dan peningkatan KDRT. Dengan demikian, Sri Mulyani menjelaskan bahwa berbagai rancangan kebijakan saat ini bertujuan untuk memberikan benefit lebih besar bagi kelompok perempuan dan memastikan inklusifitas. “Seluruh program dukungan yang dilakukan oleh pemerintah secara langsung tidak langsung, targetnya adalah perempuan. PKH (Program Keluarga Harapan), Kartu Sembako, BLT (Bantuan Langsung Tunai) Dana Desa, Bantuan beras PKH, Bantuan tunai sembako non-PKH, diskon listrik dan lain sebagainya target penerima manfaat adalah perempuan. PKH yang diberikan pada 10 juta rumah tangga, lebih dari 90% diterima oleh perempuan kepala keluarga, begitu juga bantuan terhadap UMKM yang sebagain besar dilakukan oleh perempuan”, ungkap Sri Mulyani. Menurut Sri Mulyani perempuan memiliki peran penting dalam mendorong perekonomian Indonesia. Menurut dia bila gender equality membaik maka ekonomi rumah tangga dan ekonomi negara menjadi lebih baik. Dalam webinar ini, Retno Marsudi-Menteri Luar Negeri, menyatakan tahun 2020 sebagai tahun yang berat bagi Indonesia dan bagi dunia. Ia memperkirakan bahwa di tahun 2021 persoalan pandemi masih akan mendominasi isu baik di dalam negeri maupun internasional. Retno menyatakan , saat ini fokus Kementerian Luar Negeri selain pada diplomasi kesehatan, juga dalam isu pengarusutamaan gender. Kedua isu ini penting dalam politik luar negeri karena pandemi menimbulkan kerentanan baru bagi perdamaian yang berkelanjutan. Menurut Retno, World Food Programme, pada tahun 2020 telah mengestimasi lebih dari 270 juta manusia, termasuk perempuan dan anak perempuan akan mengalami kelaparan karena kombinasi antara konflik dan pandemi. Selain itu upaya menjaga perdamaian yang berkelanjutan juga terhambat dengan adanya kebijakan lock down yang diberlakukan disejumlah negara. Narasumber terakhir, Ida Fauziyah-Menteri Ketenagakerjaan, memaparkan persoalan yang dihadapi perempuan dalam bidang ketenagakerjaan. Menurut Ida Fauziah, data BPS menunjukkan terjadinya peningkatan pengangguran yang disebabkan oleh pandemi. Berdasarkan segregasi gender, tercatat 623.407 orang perempuan kehilangan pekerjaan dikarenakan pandemi (Kemenaker dan Jamsostek 2020). Menurut Ida Fauziah situasi ini sangat memprihatinkan, sebab tanpa pandemi pun TPAK (Tingkat Partisipasi Agkatan Kerja) perempuan di Indonesia masih jauh lebih rendah daripada laki-laki. Fauziah menambahkan, dalam kondisi pandemi, perempuan pekerja mengalami sejumlah kerentanan baru seperti: risiko kehilangan dan mengalami penurunan pendapatan, baik karena PHK atau dirumahkan, beban ganda terkait perawatan rumah tangga dan tambahan beban pengasuhan dan pendidikan anak yang diseababkan oleh kebijakan lock down, serta kerentanan mengalami KDRT. Ketiga menteri perempuan dalam webinar ini menekankan pentingnya pengarusutamaan gender untuk memastikan keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor pembangunan, terutama di dalam situasi pandemi. Sebab seperti dipaparkan oleh ketiganya, pandemi memberikan dampak pada setiap orang tetapi perempuan mengalami dampak yang tidak proporsional karena gendernya. Artinya, kebijakan-kebijakan yang ada perlu untuk memastikan hadirnya aspek perlindungan dan pemberdayaan perempuan. (Abby Gina) ![]() Jumat (18/12), INFID mengadakan webinar dengan topik “Women’s Rights are Human Rights: Meninjau Kembali Urgensi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual”. Webinar yang merupakan bagian dari Festival HAM 2020 ini menghadirkan Mariana Amiruddin (Wakil Ketua Komnas Perempuan), Tatat (INFID) dan Rika Rosvianti (pendiri perEMPUan). Salah seorang anggota DPR yang sedianya menjadi narasumber tidak kunjung hadir hingga acara usai. Pandemi yang tengah melanda saat ini bagai jebakan yang nyata-nyata meningkatkan kerentanan berlapis bagi perempuan. Penanganan pandemi yang mensyaratkan warga untuk tetap berada di rumah memerangkap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga bersama pelaku; berada di luar rumah pun tak mengurangi risiko menjadi korban karena kekerasan terhadap perempuan juga kerap terjadi di ruang publik; memindahkan aktivitas melalui daring pun berisiko menjadi korban kekerasan berbasis gender secara online (KBGO). Komnas Perempuan kembali menegaskan terjadinya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi. Mariana menyampaikan menurut data terkini sampai dengan Oktober 2020 telah terhimpun 1.458 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Dari jumlah tersebut, terdapat 378 kekerasan fisik dan 483 kasus kekerasan seksual. Di ranah komunitas, dari data yang terhimpun sebanyak 56,8% atau 405 kasus yang dilaporkan merupakan kasus kekerasan seksual. Sementara itu di ranah siber, sampai dengan Oktober 2020 telah terlapor sebanyak 659 aduan kasus kekerasan berbasis gender di ranah siber, yang meningkat 200% dibandingkan dengan jumlah aduan pada tahun sebelumnya (2019) sebanyak 281 kasus. “Sepanjang tahun 2016 hingga 2019, dari catahu yang dihimpun Komnas Perempuan, terdapat 55.273 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke lembaga layanan baik yang dikelola masyarakat, di bawah pemerintah maupun aduan ke kepolisian. Dari jumlah tersebut, sebanyak 21.841 merupakan kasus kekerasan seksual, dimana 8.964 merupakan kasus perkosaan. Dari jumlah laporan yang diadukan tersebut, kurang dari 30% kasus yang kemudian diproses secara hukum” ujar Mariana. Minimnya proses hukum untuk kasus kekerasan seksual, menurut Mariana, menunjukkan aspek substansi hukum yang ada tidak mengenal sejumlah tindak kekerasan seksual dan hanya mencakup definisi yang terbatas. “Aturan pembuktian yang membebani korban dan budaya menyalahkan korban serta terbatasnya daya dukung pemulihan korban juga menjadi kendala utama”, Mariana menambahkan. Sejalan dengan hal tersebut, Rika menyampaikan bahwa meskipun sudah terdapat seperangkat peraturan perundang-undangan yang selama ini menjadi rujukan untuk kasus kekerasan seksual seperti UU PKDRT, UU PTPPO dan UU Perlindungan Anak namun kesemuanya memiliki cakupan perlindungan yang terbatas. Perempuan dengan identitas berusia di atas 18 tahun yang tidak terikat dalam perkawinan tercatat dan / atau bukan korban tindak pidana perdagangan orang, yang menjadi korban kekerasan seksual masih belum terlindungi aturan hukum. KUHP yang ada menurut Rika mengandung kelemahan dan keterbatasan untuk penanganan kasus kekerasan seksual. Tidak mengherankan jika kemudian bermunculan korban yang menceritakan kasus kekerasan seksual yang dialaminya melalui media sosial sebagai upaya terakhir dalam mencari keadilan. Fenomena yang dikenal dengan istilah “spill-case call out” ini menurut Rika, bukan tanpa konsekuensi. “Spill case call out ini berpotensi menimbulkan kerentanan lain seperti misalnya korban bisa terkena ancaman UU ITE karena dianggap mencemarkan nama baik pelaku”, ujar Rika. Konsekuensi lain, ungkap Rika, adalah memunculkan apa yang disebut “online redemption” dimana pelaku memohon maaf atas perbuatannya tersebut. “Online redemption dianggap cukup sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku, padahal hal tersebut tidak membantu korban dan hanya sekedar memulihkan nama baik pelaku semata”, ungkap Rika. Lebih lanjut Mariana juga memaparkan bahwa ketiadaan dan tertundanya prioritas payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual adalah suatu tindakan pengabaian dan melanggar hak konstitusi perempuan sebagai warga negara yang dijamin Undang-undang. Apabila kelalaian, pengabaian, pelanggaran baik yang disengaja maupun tidak, terus dilakukan, maka negara dapat dikatakan telah bertindak inkonstitusional, tidak menjamin kemerdekaan bagi perempuan sebagai warga negara untuk jauh dari rasa takut dan diskriminasi. Di sisi lain, Rika menyesalkan bahwa kampanye mendorong pengesahan RUU PKS yang dilakukan selama ini melalui pendekatan humanis terbukti belum berhasil menggugah empati para pembuat kebijakan terhadap korban. Menurutnya, strategi lain dengan pendekatan perilaku rasional yang mengedepankan insentif dari adanya UU PKS barangkali akan lebih mengena di hati para pembuat kebijakan. “Mewujudkan UU PKS bukanlah hal yang sulit. Catahu yang diluncurkan setiap tahun merupakan bentuk peringatan tidak tertanganinya pemenuhan rasa keadilan, perlindungan dan pemulihan korban”, tegas Mariana. (Dewi Komalasari) Kajian Komnas Perempuan tentang Dampak Kebijakan PSBB terhadap Hak Konstitusional Perempuan11/12/2020
![]() Kamis, 10 Desember 2020, sebagai bagian dari rangkaian kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Komnas Perempuan meluncurkan hasil kajian mereka mengenai implementasi kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan dampaknya terhadap hak konstitusional perempuan. Dalam kata sambutannya, Andy Yentriyani - Ketua Komnas Perempuan bahwa diseminasi kajian ini merupakan bagian dari pemenuhan HAM Perempuan. Menurut Andy pandemi Covid-19 memberikan dampak tidak proporsional bagi perempuan dan kelompok marginal lainnya. Menurut Andy, kajian ini penting karena menjadikan pengalaman konkret perempuan sebagai basis rekomendasi Komnas Perempuan kepada pemerintah. Di dalam hasil kajian ini disajikan berbagai persoalan yang dihadapi perempuan selama pandemi, dan juga bentuk-bentuk resiliensi kelompok perempuan merespons situasi sulit. Di dalam acara peluncuran ini, Allaster Cox - Kuasa Usaha Kedutaan Besar Australia, turut memberikan pidato pembukaan. Cox menyatakan bahwa dampak Covid-19 tidak bersifat netral gender. Cox menjelaskan bahwa pandemi ini memberikan dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, misalnya perempuan menjadi lebih rentan tertular Covid-19 karena kerja-kerja mereka terkait perawatan; meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan semasa pandemi dalam kondisi PSBB. Dalam bidang sosial, ekonomi dan keamanan pun dampak Covid-19 dirasakan lebih buruk oleh perempuan dan anak perempuan. Sebelum Covid-19 terjadi, menurut Cox, ketidakadilan gender telah terjadi. Namun pandemi ini memperburuk ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat. Slamet Soedarsono - Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Bappenas, memberikan pidato kunci. Dalam pidatonya Soedarsono memberikan apresiasi terhadap kerja Komnas Perempuan untuk menghasilkan kajian ini. Menurut Soedarsono, paparan data dalam kajian ini penting untuk mendorong hadirnya kebijakan-kebijakan berbasis bukti dan pengalaman baik yang telah ada. Soedarsono menjelaskan bahwa pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan, protokol, dan layanan guna memastikan terpenuhinya HAM Perempuan dan Anak perempuan. Menurutnya, Pengarusutamaan Gender penting dan telah diaplikasikan untuk meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia. Dalam Peluncuran Hasil Kajian Implementasi Kebijakan PSBB tersebut, Maria Ulfah- Komisioner Komnas Perempuan, dan Dati Fatimah - Konsultan AIPJ2; memaparkan temuan-temuan kunci dari Kajian Implementasi Kebijakan PSBB serta Dampaknya Pada Hak Konstitusional Perempuan. Maria menyebutkan temuan praktik-praktik baik yang telah dilakukan oleh kementerian dan lembaga untuk perlindungan perempuan, kelompok rentan dan kelompok marginal. Namun ia menekankan pentingnya memastikan bahwa di masa mendatang seluruh kebijakan terkait Covid-19 akan menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional perempuan seperti: hak bebas dari diskriminasi dalam kaitannya terhadap kekerasan basis gender dan beban ganda; hak atas layanan kesehatan; hak atas pelayanan jaminan sosial; hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak; hak komunikasi; serta hak atas rasa aman. Maria menunjukkan sejumlah tantangan utama yang dihadapi perempuan semasa pandemi, baik di bidang ekonomi, hak kesehatan reproduksi, keamanan dan akses terhadap jaminan sosial. Dalam aspek ekonomi, guncangan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi berimplikasi pada kesempatan kerja perempuan, meningkatnya risiko PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) bagi perempuan, penurunan kesejahteraan pekerja perempuan, dan penurunan produktivitas kerja perempuan (yang disebabkan oleh beban ganda). Dalam kaitannya dengan hak reproduksi, menurut Maria, persoalan utama yang hadir di permukaan di antaranya adalah: sulitnya akses perempuan terhadap layanan kontrasepsi, kehamilan tidak dikehendaki, dan peningkatan perkawinan anak. Sedangkan dalam kaitannya dengan hak konstitusional mengenai akses jaminan sosial, kajian ini menemukan tantangan perempuan dan kelompok marginal, seperti trans-puan dan difabel, dalam mengakses program jaminan sosial. Dati Fatimah memaparkan sejumlah resiliensi perempuan di masa pandemi Covid-19, seperti aksi kolektif yang dilakukan perempuan di berbagai wilayah. Narasi resilensi menggarisbawahi 4 temuan resiliensi yaitu; aksi kolektif dari lembaga pengada layanan di masa pandemi di Palu dan Ambon yang berstrategi mengombinasikan layanan luring dan daring dalam menangani kasus korban kekerasan; ekonomi berbagi di masa pandemi yang dilakukan oleh kelompok EMPU, gerakan ini membangun bisnis berkeadilan (wira usaha sosial) yang memberdayakan komunitas pamong jamu dan komunitas fesyen; gerakan dapur umum yang memberikan makanan bagi kelompok informal sebagai kelompok yang sangat terdampak Covid-19; dan yang terakhir gerakan organisasi keagamaan dan lintas iman yang menumbuhkan dan mempraktikkan solidaritas tidak hanya bagi umat tetapi solidaritas bagi kemanusiaan. Peluncuran dan diseminasi hasil kajian Komnas Perempuan ini bermuara pada rekomendasi jangka pendek, menengah dan jangka panjang untuk merespons pandemi Covid-19 secara lebih holistik dan integratif. Rekomendasi jangka pendek kajian ini adalah desakan kepada negara untuk meredam dampak dengan skema afirmasi. Sedangkan untuk rekomendasi jangka menengah, Komnas Perempuan menghimbau negara untuk mengembangkan kapasitas adaptasi dalam transisi ke pemulihan pandemi yang menekankan sumber daya komunitas. Dalam tahapan transisi pemulihan ini perlu dipastikan bahwa perempuan dan kelompok marginal dapat mengakses berbagai kebijakan, program dan layanan publik. Terakhir, untuk rekomendasi jangka panjang, Komnas Perempuan meminta agar program pemulihan Covid-19, aspek-aspek transformasi yang berkeadilan terlaksana. Yaitu, upaya untuk mendorong perubahan relasi kuasa. (Abby Gina) Pandemi Covid-19 dapat dikatakan berdampak langsung pada sebagian besar orang. Namun dampak yang dirasakan oleh penyandang disabilitas berbeda dengan dampak yang dirasakan oleh non-disabilitas, sebagaimana temuan dalam “Laporan Asesmen Cepat Dampak Covid-19 kepada Penyandang Disabilitas di Seluruh Indonesia”--yang merupakan inisiatif dari Jaringan DPO Respons Covid-19 Inklusif. Asesmen yang dilakukan pada Mei 2020 melibatkan 1.638 responden menyimpulkan perbedaan dampak terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kesempatan dalam seluruh aspek kehidupan penyandang disabilitas, seperti belum tersedianya aksesibilitas dan akomodasi yang layak, yang menghambat banyak penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam masyarakat. Hal ini disampaikan Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas (HWDI) Maulani Rotinsulu dalam Diskusi Kelompok Terbatas bersama media (16/10).
Hasil asesmen cepat itu juga menunjukkan perempuan disabilitas lebih rentan terhadap dampak pandemi bila dibandingkan dengan laki-laki. Bagi perempuan dengan disabilitas, dampak pandemi menjadi berlipat ganda karena adanya faktor ketidaksetaraan gender yang telah mengakar dan cenderung membatasi ruang gerak perempuan pada ranah domestik. Situasi ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan disabilitas menjadikannya rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan berbasis gender (KBG). “Perempuan dengan disabilitas mengalami diskriminasi ganda, bukan hanya karena jenis kelaminnya, tetapi juga karena disabilitas mereka. Ketimpangan struktural yang sudah terjadi pada masa sebelum pandemi kini diperparah dengan berbagai dampak dari pandemi,” ujar Maulani. Kelompok ragam disabilitas yang paling rentan menurutnya adalah perempuan dengan spektrum autisme serta mereka yang memiliki gangguan pendengaran, penglihatan, psikososial, atau intelektual. Perempuan disabilitas mengalami berbagai bentuk Kekerasan Berbasis Gender (KBG) sepanjang siklus kehidupannya, sejak dari usia anak, remaja, hingga dewasa. “Kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan disabilitas bukan hanya isu baru-baru ini tetapi sudah dialami sedari dulu dan merupakan fenomena gunung es karena tidak semua korban mengadukan kasusnya,” ungkap Maulani. Menurut Maulani, banyak korban tidak berani mengadukan kekerasan yang dialaminya karena hampir sebagian besar pelaku adalah orang dekat dan mereka khawatir akan kembali mengalami kekerasan jika mengadu ke orang lain. Minimnya liputan media terhadap kasus-kasus yang dialami perempuan disabilitas semakin meredupkan harapan terhadap dukungan publik yang lebih luas untuk mendorong hadirnya kebijakan yang melindungi dan menjawab kebutuhan perempuan disabilitas. Selama ini penanganan terhadap kasus kekerasan yang dialami perempuan disabilitas sering terhambat dan tidak sedikit pula yang tak tuntas karena berbagai alasan mulai dari Aparat Penegak Hukum (APH) yang belum atau kurang memahami isu disabilitas, tidak cukup bukti, tidak tersedia akomodasi yang layak, layanan yang sulit diakses, dan peraturan/kebijakan yang belum berpihak bagi penyandang disabilitas. Untuk memastikan optimalisasi penanganan dan pendampingan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas korban KBG, HWDI mengajukan sejumlah rekomendasi kepada perwakilan rakyat di Parlemen, Pemerintah, serta institusi-institusi lain yang terkait. Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah melakukan harmonisasi kebijakan pada tingkat nasional dan daerah dengan memperhatikan prinsip kesetaraan-keadilan gender, inklusifitas, dan interseksionalitas isu yang berdasarkan keragaman kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat miskin, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya. Selain itu, HWDI juga merekomendasikan kepada pembuat kebijakan untuk segera merumuskan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bentuk komitmen untuk melindungi setiap orang dari tindak kekerasan berbasis gender, termasuk perempuan disabilitas yang merupakan salah satu kelompok rentan. (Dewi Komalasari) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
June 2024
Categories |