Witriyatul Jauhariyah (Mahasiswa Program Studi Islam dan Kajian Gender, FIIS, UIN Sunan Kalijaga) [email protected] ![]() Judul : GENDER TROUBLE (FEMINISM AND THE SUBVERSION OF IDENTITY) Penulis : Judith P. Butler Penerbit : Routledge Tahun terbit : 1990 Tempat terbit : New York, United States of America Jumlah halaman: xii & 272 Judith P. Butler adalah filsuf post-strukturalis Amerika. Ia lahir di Cleveland, Ohio, Amerika Serikat, 24 Februari 1956, Judy–sapaan akrabnya--adalah guru besar di Jurusan Rhetoric and Comparative Literature, Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Dengan teori queer-nya, Butler memiliki kontribusi besar terhadap studi filsafat feminis, filsafat politik, dan etika. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah buku Gender Trouble (1990). Karya ini mendapatkan perhatian luas karena memperkenalkan teori performativitas untuk mengulas gender dan seksualitas. Bagi Butler, tidak ada identitas gender yang asli, semuanya dibentuk melalui ekspresi dan pertunjukan yang berulang-ulang hingga terbentuk identitas gender.
Buku ini juga menjadi referensi utama bagi pengembangan Queer Studies, yaitu kajian tentang keberagaman ekspresi gender dan seksualitas. Hal ini dilatar belakangi oleh kegelisahan Butler sendiri atas nasib pamannya yang harus terusir dari rumah karena seksualitasnya yang dianggap menyimpang. Selain itu, ia juga kerap menyaksikan ketidakadilan yang dialami para transgender yang mengalami kekerasan, seperti ditolak bekerja ataupun celaan stereotip. Maklum, selain sebagai akademisi ia juga aktif di kegiatan sosial, pergumulannya dengan kaum homoseksual dan heteroseksual banyak mengundang tanda tanya bagi dirinya. Gender Trouble adalah karya yang lahir dari sepuluh tahun perenungan dan bagian dari kehidupannya serta pergaulannya dengan komunitas-komunitas lesbian dan gay di Pantai Rehoboth, Amerika Serikat. Dalam bukunya, Gender Trouble, Butler menjelajahi bagaimana gender dan seksualitas dibakukan oleh angan-angan teori sosial. Ia terinspirasi sekaligus mendekonstruksi teori Foucault, Lacan, Freud, dan Simon de Beauvoir tentang seksualitas. Proyek kajiannya bertujuan menganalisis secara genealogis batas diskursus gender, seks, seksualitas, dan tubuh. Sebagai filsuf post-strukturalis sejati, Butler menerapkan konsep-konsep post-strukturalisme—tidak ada sesuatu di luar bahasa—secara konsisten. Strategi yang dilakukan Butler sangat unik, yakni mendekonstruksi “kosa gerakan” (the vocabularies of movement) yang telah menjadi pembatas manifestasi kemanusiaan, misalnya gender, seks dan tubuh. Fenomena sosial berkembang begitu cepat, sementara “kosa gerakan” berjalan di tempat sehingga kosa itu tumpul untuk memahami pergerakan realitas. Bagian pertama buku ini menyuguhkan “subject of sex/ gender/ desire”. Gender, bahkan seks, bagi Butler adalah “pertunjukan”, bukan esensi, atau ekspansi seks yang ada pada tubuh. Baginya, gender adalah drag, atau seperti drag, yaitu pertunjukan waria untuk menguji dan membuktikan mereka telah menghasilkan femininitas yang sebenarnya. Dalam pertunjukan itu, para juri telah menguji dan mengesahkan kehalusan kulit, kegemulaian gerak, kelembutan suara. Gender (kita) adalah “pertunjukan” atau hasil pertunjukan. Para jurinya adalah teman kita, orang tua kita, media dan sebagainya (1990: ix). Bagian kedua buku ini menyuguhkan tema “prohibition, psychoanalysis, and the production of heterosexual matrix”. Disini Butler mengungkapkan Masalah ‘ketidak normalan’ ini dapat lebih jelas dilihat apabila kita menggunakan salah satu kritikan Judith Butler tentang hubungan antara jenis kelamin dan gender yang disebut Butler sebagai Heterosexual Matrix. Menurut Butler, heterosexual matrix adalah :
Menurut Butler, dalam kerangka heterosexual matrix, jenis kelamin kita sudah ditentukan secara biologis. Dengan kata lain, jenis kelamin kita baik perempuan atau laki-laki berdasarkan konvensi budaya dan bahasa yaitu feminin dan maskulin. Jadi, yang menentukan apakah seseorang itu feminin atau maskulin adalah konstruksi sosial dan budaya berdasarkan jenis kelamin kita pada saat kita dilahirkan (1990: 35). Kepada Lacan, Butler mempertanyakan konsep psikoanalisis, terutama tentang “yang simbolik” (the symbolic) dan “yang nyata” (the real). Laki-laki adalah “yang nyata”, sedangkan perempuan adalah “yang simbolik”. Butler menyerang mengapa ada yang nyata dan ada yang tidak nyata. Bukankah ini bertentangan dengan konsep dasar orde simbolik: saya menyadari ada setelah menyadari saya yang ada dalam cermin (1990: 43). Bagian terakhir dalam buku ini menyuguhkan referensi tentang heteroseksualitas yang diciptakan melalui dialog dekonstruktif dengan karya-karya filsafat seperti Strauss, Irigaray, Foucault, dan de Beauvoir (1990: x). Salah satu filsuf yang diajak berdialog adalah Michel Foucault tentang kisah hidup Herculine Barbin. Barbin hidup pada 1838-1868, dia adalah seorang interseks yang diperlakukan sebagai perempuan setelah kelahirannya dan orang tuanya memberinya nama Alexina. Memoarnya mengungkapkan bahwa Alexina menganggap dirinya kurang atraktif dan sering menginap di rumah temannya, oleh karena itu sering dihukum. Tapi, Alexina anak pintar, pada 1858 dia melanjutkan pendidikan ke sekolah guru bergengsi Le Chateau. Di sana dia jatuh cinta kepada seorang guru bernama Sara. Walaupun sudah puber, Alexina belum menstruasi, dadanya juga masih rata. Dia sering mencukur kumis dan godeknya, tapi apa yang dilakukannya itu hanya membuat kumisnya lebih lebat. Kisah cinta Alexina dan Sara segera menyebar di sekolah. Karena mencintai sesama perempuan maka sekolah menghukumnya. Barbin mengaku dosa ke pendeta Jean-François-Anne Landriot di La Rochelle. Karena mendengar pengakuan Alexina terus-menerus, pendeta yang juga seorang perempuan menyarankan agar Alexina ke dokter untuk memeriksakan dan menemukan jenis kelaminnya yang sejati. Dokter yang memeriksa adalah Dr. Chestnet pada 1860. Dalam memoar tidak disebutkan hasil pemeriksaan itu, tapi dalam rekam medis disebutkan bahwa Alexina mempunyai penis yang sangat kecil, klitoris yang besar dalam vagina yang kecil, testikel dan tubuh laki-laki. Melihat klitoris yang besar, seseorang pasti mengharapkan vagina yang besar pula akan tetapi yang ada adalah cul-de-sac. Setelah kedokteran, Alexina berhadapan dengan pengadilan ketika hasil analisis dokter itu harus ditetapkan dalam hukum. Keputusan hukum menyebutkan bahwa Alexina adalah seorang laki-laki dan harus berpakaian laki-laki. Alexina berganti nama menjadi Abel Barbin. Abel Barbin meninggalkan pekerjaannya dan kekasihnya dan pergi ke Paris, dimana dia hidup dalam kemiskinan dan menulis memoar sebagai bagian dari terapi. Barbin akhirnya tewas bunuh diri dengan menghirup kompor gas. Foucault mempertanyakan dorongan pendeta, vonis dokter, dan keputusan hukum yang mengubah segalanya dan akhirnya menjadi penyebab kematian Barbin: “Bukankah secara komparatif, hermaprodit diperbolehkan dalam abad-abad sebelumnya?” Semasa Abad Pertengahan, setelah mencapai dewasa seorang hermafrodit diperbolehkan memilih mau menjadi laki-laki atau perempuan. Sedangkan dalam kasus Alexina, ilmu kedokteran memutuskan bahwa ia adalah seorang laki-laki dan aturan itu harus diikuti. Dianggap suatu penyelewengan bila identitas laki-laki tapi tidak menampilkan peran dan citra laki-laki (1990: 96). Memoar Alexina berisi dua hal utama perlawanannya terhadap strategi regulatif untuk kategorisasi seksualitas dan romantisasi masa sebelum dia divonis menjadi laki-laki. Alexina sangat menikmati sebelum ketetapan hukum ini sebagai the happy limbo of non-identity, fase ketika dirinya melampaui kategori seks dan identitas, kenikmatan dalam sistem sosial tanpa seks yang univocal. Ungkapaanya dalam bab terakhir : “Di satu sisi Foucault ingin mengatakan bahwa tidak ada jenis kelamin yang berdiri sendiri, yang tidak dihasilkan interaksi diskursus dan kuasa, tapi di sisi lain Foucault juga berpandangan ada sebuah keserbaragaman kenikmatan yang berdiri sendiri dan bukan efek dari pertukaran kuasa/diskursus. Dengan kata lain, Foucault mengakui adanya multiplisitas libidinal pradiskursif yang secara efektif mengasumsikan seksualitas di depan hukum, dan seksualitas menunggu emansipasi dari hambatan seks. Di sisi lain, Foucault secara resmi menyatakan bahwa seksualitas dan kuasa itu koekstensif seperti saudara kembar, dan kita tidak bisa berpikir bahwa dengan mengatakan “ya” kepada seks, “tidak” kepada kuasa. Dalam mode antiyuridis dan antiemansipatoris, Foucault yang “resmi” berargumentasi bahwa seksualitas selalu berada dalam matriks kekuasaan, yaitu selalu diproduksi dan dikonstruksi dalam praktik kesejarahan tertentu, diskursif dan institutional” (1990: 123). Menurut Butler, ada dualisme pemikiran Foucault. Di sinilah masalahnya menurut Butler. Disatu sisi Foucault, mengakui ada kenikmatan di luar konstruksi sosial. Namun disisi lain menurutnya segala sesuatu terbentuk oleh relasi kuasa (dibentuk oleh kostruksi sosial). Dalam pandangan Butler, memoar Alexina menawarkan kesempatan untuk membaca Foucault against himself karena mengungkapkan penderitaan, tekanan, tipuan, kerinduan dan kekecewaan yang mendalam. Alexina tidak pernah menyebut keadaan anatominya, tapi dia sering mengaitkan kelaminnya itu sebagai “kesalahan alami, kegelandanganan metafisis, nafsu yang tidak pernah puas” yang ditransformasikan dalam kemarahan kepada laki-laki dan berikutnya kepada dunia secara keseluruhan menjelang bunuh dirinya. Satu yang disenanginya adalah ketika berada di atas kuburan ayahnya: karena memberi pengertian dia bisa menginjak-injak tulang, dan dia membayangkan dokter yang telah memvonisnya sebagai laki-laki itu seratus meter terkubur di dalam. Ditulis dalam nada yang sentimental dan melodramatik, kemudian itu menginformasikan semacam krisis tidak kunjung usai yang diakhiri dalam tindakan bunuh diri. Inti dari pemikiran Butler adalah tidak adanya kondisi alamiah bagi manusia selain penampakan tubuhnya. Seks, gender, maupun orientasi seksual adalah konstruksi sosial. Hal ini dapat dicontohkan melalui fenomena transseksual. Seorang yang telah melakukan transseksual, yang diasumsikan telah ‘merubah’ kondisi alamiahnya. Misalnya seorang pria yang merasa beridentitas feminin, mengubah jenis seksnya menjadi tubuh perempuan. Maka secara otomatis, setelah seks sebagai fakta biologis tersebut diubah menjadi yang sebaliknya, akan berdampak terhadap perubahan yang menentukan keabsahan dari individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan ketentuan the fixed rules atas seks, gender, dan orientasi seksual. Kesimpulan yang dapat diambil dari sini adalah baik seks, gender, maupun orientasi seksual adalah sesuatu yang sifatnya cair (fluid), tidak alamiah, dan berubah-ubah, (serta dikonstruksi oleh kondisi sosial). Maka jika ditinjau dari pemikiran Judith Butler, transgender dan homoseksual bukanlah suatu penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas manusia yang didasarkan pada tindakan performatif (1990: 96). Salah satu teori yang juga dikemukan Judith Butler dalam buku ini adalah teori performativitas. Dalam teorinya ini Butler menolak prinsip identitas yang memilki awal dan akhir. Dari sinilah dapat dimengerti bahwa pandangan Butler seseorang dapat memilki identitas maskulin dan feminin dalam waktu yang bersamaan atau feminin dan maskulin di waktu yang berbeda. Demikian pula dengan male feminine atau female maskulin. Hal ini tentu berpengaruh pula pada persoalan orientasi seksual. Jika identitas seksual seseorang tidak final, tidak stabil, seharusnya tidak ada keharusan seorang perempuan menyukai pria dan sebaliknya. Namun masyarakat tentu tidak menghendaki yang demikian. Seperti yang juga telah disebutkan di atas, subjek dibentuk oleh culture dan diskursus, dimana ada suatu aturan yang disebarkan melalui repetisi. Aturan ini membuat suatu fenomena seolah-olah heteroseksual merupakan hubungan yang normatif antara seks, gender, dan orientasi sesksual. Seorang dengan tubuh male, harus berprilaku maskulin dan menyukai female sebagai lawan jenisnya, dan sebaliknya. Aturan ini sudah terpasung dari awal, yang dikutip Butler dari Melancolia Frued bahwa bayi telah menolak incest dan homoseksual. Sehingga apa yang berbeda dari kewajiban alamiah tersebut dianggap menyimpang dan tidak sesuai dengan norma (1990: 57). Dalam paradigma heteroseksualitas, gender sangat menentukan tindakan-tindakan manusia. Sedangkan dalam pemikiran Butler, gender atau identitas seksual hadir setelah individu melakukan tindakan performatif. Inti pemikirannya adalah tidak adanya kondisi alamiah bagi manusia kecuali penampakan tubuhnya. Dengan kata lain, seks, gender, maupun orientasi seksual adalah konstruksi sosial. Fakta ini dapat dilihat pada fenomena transseksual, misalnya seorang pria yang merasa beridentitas feminin, mengubah jenis seksnya menjadi tubuh perempuan. Maka, dia harus bertindak sesuai dengan ketentuan (the fixed rules) atas seks, gender,dan orientasi seksual (1990: 66). Teori performativitas gender memperlihatkan bagaimana diskursus maupun tindakan yang terus dilakukan oleh masyarakat secara berulang-ulang menghasilkan pengertian tentang seks dan gender baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Proses materialisasi gender yang selama ini dilakukan berada dalam sistem hegemoni heteroseksual, sehingga jika gender seseorang keluar dari norma sosial yang berlaku, dikatakan menyimpang. Inilah kekerasan gender dari hasil konsepsi performativitas yang tunduk pada hegemoni tertentu. Untuk itu dibutuhkan proses negosiasi terhadap norma-norma sehingga menghasilkan performativitas gender yang lebih terbuka dan tanpa kekerasan. Teori performativitas gender memperlihatkan bahwa gender terjadi karena proses materialisasi dan konstruksi. Maka disinilah letak kajian gender yang bersentuhan dengan pemikiran Judith Butler yang membongkar paradigma gender khususnya yang telah dilakukan oleh para feminis, yang secara tajam melakukan pemilahan antara seks (sebagai kodrat) dan gender (sebagai konstruksi). Dalam pemilahan tersebut, yang dipahami sebagai seks sebenar-benarnya adalah gender itu sendiri, sebab jika seks laki-laki dan perempuan dikatakan kodrat dengan segala kriteria yang mengikutinya, bukankah kriteria tersebut juga adalah konstruksi, sebagaimana gender juga dipahami konstruksi. Teori performativitas gender memperlihatkan bagaimana diskursus maupun tindakan yang terus dilakukan oleh masyarakat secara berulang-ulang menghasilkan pengertian tentang seks dan gender baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Proses materialisasi gender yang selama ini dilakukan berada dalam sistem hegemoni heteroseksual, sehingga jika gender seseorang keluar dari norma sosial yang berlaku, dikatakan menyimpang. Inilah kekerasan gender dari hasil konsepsi performativitas yang tunduk pada hegemoni tertentu. Untuk itu dibutuhkan proses negosiasi terhadap norma-norma sehingga menghasilkan performativitas gender yang lebih terbuka dan tanpa kekerasan. Akhiriyati Sundari (Mahasiswi Islam dan Kajian Gender Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga) [email protected] ![]() Judul : Penghancuran Gerakan Perempuan (Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI) Penulis : Saskia E. Wieringa Penerbit : Galang Press Tahun terbit : 2010 Tempat terbit : Yogyakarta Tebal buku : 542 halaman kami bukan lagi
bunga pajangan yang layu dalam jambangan cantik dalam menurut indah dalam menyerah molek tidak menentang ke neraka mesti mengikut ke sorga hanya menumpang kami bukan juga bunga tercampak dalam hidup terinjak-injak penjual keringat murah buruh separuh harga tiada perlindungan tiada persamaan sarat dimuati beban kami telah berseru dari balik dinding pingitan dari dendam pemaduan dari perdagangan di lorong malam dari kesumat kawin paksaan “kami manusia!” (Sugiarti, Lekra 1962:65) Sepintas, puisi di atas menggambarkan sesosok perempuan yang mewakili kaumnya, memberontak terhadap aneka pandangan berikut fakta yang melingkupi mereka dalam hidup sehari-hari. Perempuan adalah sosok mandiri dalam kesejatian sebagai manusia. Seutuhnya. Tidak tergantung pada entitas lain dalam hal ini laki-laki, dimana akidah mengatupkan kelopak kebebasannya, jika si laki-laki atau suami ke surga maka perempuan hanya follower, sementara jika suami ke neraka maka perempuan pun turut ikut. Puisi adalah sisi terdalam pikiran manusia yang ditumpahkan melalui bahasa. Akan tetapi, jika saja, ya jika saja puisi separuh pamflet sebagaimana puisi Widji Thukul—apa adanya, membatasi hanya sedikit metafora—yang menggambarkan perjuangan yang menyalak—dalam baris terakhir, “kami manusia”—tidak dibungkam oleh sejarah paling hitam di Indonesia, peristiwa 1965, adalah niscaya sejarah menorehkan tinta kemilau bagi nasib perempuan. Adalah Saskia Eleonora Wieringa, seorang profesor Universiteit van Amsterdam di Belanda dan baru-baru ini menjadi Ketua IPT 1965 (International people’s Tribunal 1965) yang menggelar sidang pengadilan rakyat internasional tersebut pada pertengahan November 2015 lalu di Belanda, menuliskan apa yang selama ini disebut “sejarah yang disembunyikan” dari gerakan perempuan paling progresif dan revolusioner di Indonesia, Gerwani, dalam buku bertajuk Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca kejatuhan PKI. Buku ini dilarang beredar dan bahkan penulisnya dicekal untuk masuk ke Indonesia di zaman rezim orde baru Suharto. Pada malam 1 Oktober 1965 itu beberapa perempuan Gerwani melakukan penyiksaan sadis terhadap enam Jenderal Angkatan Darat dan seorang perwira yang diculik dan disekap di kawasan Lubang Buaya sebelum kemudian mayat para jenderal itu dimasukkan ke dalam sumur. Dikabarkan bahwa mereka mencungkil mata, menyilet-nyilet penis para jenderal hingga berdarah-darah, memegang dan menggosok-gosokkan penis itu ke vagina mereka sendiri, lalu merangkumnya dalam pesta seks berlatar tarian “Harum Bunga”. Bugil, liar dan nakal. Diiringi lagu Genjer-Genjer, lagu daerah Banyuwangi yang telah direproduksi maknanya sedemikian rupa sebagai magis-mistis dan subversif. Demikian cuplikan film Pengkhianatan G30S/PKI yang populer di tahun 1980-an hingga sebelum 1998 lantaran sebagai film wajib tonton saban tahun di TVRI dan ungkapan nan populer, “Darah itu merah, Jenderal!” kerap didengung-dengungkan. Sekelumit narasi juga dipropagandakan secara masif dalam berita-berita yang ditulis oleh koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Dua harian yang hidup dan diperbolehkan hidup pada saat itu untuk membungkam media-media lain dari ‘situasi panas’ karena peristiwa malam 30 September/ dini hari 1 Oktober 1965. Seikat dengan narasi itu dikobarkan berita yang berapi-api bahwa perempuan-perempuan Gerwani adalah perempuan tak bermoral, bejat, dan terminologi sundal lainnya. Lebih jauh, narasi itu dikemas dan ‘disejarahkan’ sebagai monumen ingatan dalam relief museum Lubang Buaya. Kini, 50 tahun telah terlipat waktu. Suara-suara yang selama ini disenyapkan membuka diri. Dokter yang mengautopsi jenazah para jenderal kala itu pun menyangkal narasi itu dengan mengatakan bahwa tak ada temuan sedikitpun bahwa penis para jenderal ada bekas sayatan silet maupun mata yang tercungkil. Sempurna sudah fitnah terhadap Gerwani, demikian simpulan usai membaca buku ini. Gerwani: Organisasi Perempuan Militan Sejarah berdirinya gerwani diwarnai proses panjang dalam kurun waktu 4 hingga 5 tahun sejak organisasi Gerwis pertama kali berdiri sebelum kemudian bermetamorfosis menjadi Gerwani. Pada tanggal 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul di Semarang, sebuah kota yang secara historis memiliki ‘nilai’ lantaran PKI didirikan di kota ini. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk membuat organisasi perempuan bersama yang dinamakan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Enam organisasi yang mendirikan Gerwis adalah Rukun Putri Indonesia (Rupindo, Semarang), Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Isteri Sedar (Bandung), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruhan). Para pendiri Gerwis ini berasal dari latar belakang sosial berbeda, bahkan banyak di antaranya dari keturunan priayi rendah. Terdapat pula beberapa orang yang pernah ambil bagian dalam gerakan bawah tanah dengan ilham komunisme, misal Umi Sardjono (hlm. 214-215). Semua pendiri ini adalah para perempuan yang terjun dalam gerakan nasional, bahkan banyak diantaranya yang menjadi anggota pasukan bersenjata. Dalam pertemuan tersebut disepakati ketua pertama Gerwis adalah Tris Metty yang pernah menjadi anggota Laskar Wanita Jawa Tengah. Konstitusi yang dirumuskan Gerwis adalah menegaskan diri sebagai organisasi non politik dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Namun, secara tak langsung PKI memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam proses pembentukan hingga arah politik Gerwis. Sebagaimana yang dijelaskan Ny. Chalisah, salah satu pendiri Gerwis, bahwa ‘partai meminta saya untuk membangun organisasi perempuan komunis di dalam partai’ (hlm. 218). Tetapi, keinginan para pemimpin PKI ini bukanlah satu-satunya faktor penyebab berdirinya Gerwis. Lebih besar dari itu, hasrat bersama untuk tercapainya kemerdekaan nasional dan berakhirnya praktik feodalisme adalah faktor terbesar berdirinya Gerwis (hlm. 219). Kongres pertama Gerwis berada dalam masa yang sulit mengingat beberapa anggotanya masih berada dalam penjara. Dalam kesempatan ini, komponen komunis dan feminis bercampur dalam satu organisasi, lalu beberapa langkah diambil untuk mengucilkan sayap feminis sebagaimana direpresentasikan oleh S.K. Trimurti (istri dari Sayuti Melik, tokoh penting dalam Proklamasi Kemerdekaan 1845, yaitu pengetik naskah Proklamasi). Trimurti mengundurkan diri dari pencalonan, 1957 ia menarik diri dari jajaran pimpinan, 1965 ia keluar dari keanggotaan (hlm. 225). Pengalaman perdana bulan-bulan awal dibentuknya Gerwis adalah berada di garda depan perang kemerdakaan, turut aktif dalam menentang Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia. Gerwis juga menentang perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) yang mereka anggap hanya akan mengembalikan modal asing ke Indonesia. Sepanjang kongres pertama dan kedua, Gerwis aktif dalam tiga front: pertama, dalam bidang politik mereka berjuang terhadap ‘elemen reaksioner’, yakni peristiwa 17 Oktober di mana sejumlah komandan Angkatan Darat (AD) melakukan pembangkangan terhadap pemerintah yang hendak mengurangi kekuasaan militer. Kedua, dalam tataran feminisme mereka menentang PP 19 yang mengatur masalah perkawinan yang diskriminatif. ketiga, mendukung perjuangan umum bagi Undang-Undang Perkawinan Demokratis serta dengan lunak menghindari konfontrasi langsung dengan Presiden Soekarno. Selain itu, di tingkat lokal, Gerwis ikut serta dalam kampanye BTI (Barisan Tani Indonesia) melawan tindakan pemerintah yang berusaha mengusir kaum tani dari bekas perkebunan yang telah mereka duduki (hlm. 227-228). Tidak tanggung-tanggung, mereka berani ‘pasang badan’ terhadap traktor maut yang hendak merebut tanah itu. Kongres kedua Gerwis pada tahun 1954 mengubah dirinya menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan memilih Umi Sarjono–yang juga merupakan anggota PKI−sebagai ketuanya. Perkembangan pesat tampak mencolok. Di Surabaya, Gerwis memiliki 40 cabang dengan 6.000 anggota dan pada tahun 1954, anggotanya telah meliputi 80.000 orang. Pada aras ini ada arah yang berubah dari Gerwani, yakni dari organisasi kader menjadi organisasi massa. Tawaran dilakukan kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin tanpa memandang latar belakang sosial. Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) misalnya, para pemimpinnya berasal dari keluarga Pamong Praja, atau memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Strategi ini berhasil merekrut banyak kader, karena perempuan yang bergabung menilai Gerwani sebagai satu-satunya pihak yang sudi membantu memecahkan persoalan mereka sehari-hari. Selain itu, Gerwani juga dinilai sebagai organisasi alternatif di luar organisasi perempuan yang sudah ada dan menawarkan solusi konkret atas permasalahan yang terjadi sehari-hari. Lalu pada saat kongres ketiga, Gerwani mulai menampakkan diri dengan condong kepada isu perpolitikan nasional. Pergeseran ini tampak pada isu yang disuarakan, dari semula persoalan-persoalan feminis seperti masalah perkawinan, menjadi masalah ‘sosial’ yakni kenaikan kebutuhan harga bahan pokok makanan. Gerwani ingin mengubah dirinya betul-betul menjadi organisasi massa dengan skala nasional lebih luas. Untuk itu Gerwani memfokuskan diri pada bagaimana memimpin gerakan yang lebih luas, membangun gerakan massa—sebagaimana garis PKI dalam emansipasi perempuan yang merumuskan bahwa sosialisme harus dicapai lebih dulu sebelum bicara masalah spesifik tentang urusan perempuan. Gerwani juga merambah partisipasi dalam politik nasional seperti terlibat dalam Trikora, perang memperebutkan Irian Barat dan menyerukan agar gerakan perempuan bersatu untuk itu. Dari sini mulai ditemukan titik jelas bahwa Gerwani sebagai organisasi pergerakan perempuan yang memiliki militansi kuat di antara pengikutnya. Hal tersebut juga tak bisa dilepaskan dari ideologi yang mewarnai garisnya. Feminisme, sosialisme, dan nasionalisme, dalam Tujuan dan Kewajiban Gerwani (1954), Gerwani membuat rumusan bagaimana kondisi perempuan kala itu yang “setengah kolonial setengah feodal” sesungguhnya adalah gerakan perempuan yang independen tidak berafiliasi atau menjadi underbouw partai politik manapun (hlm. 234-235). Bahkan, periode antara kongres pertama dan kedua itulah Gerwani dapat dikatakan paling menampakkan ideologi feminisnya. Sementara pada ranah Sosialis jelas sekali bagaimana Gerwani mampu kerjasama dan mengorganisir dirinya dengan BTI dan SOBSI untuk menuntaskan kasus-kasus upah rendah di kalangan buruh perempuan. Pada pandangan politik secara umum—berbingkai nasionalisme. Gerwani mengadakan perayaan Hari Perempuan Internasional (HPI) 1955 dengan aksi perdamaian dan protes terhadap percobaan persenjataan nuklir serta pendudukan Belanda atas Irian Barat. Kemudian pada Januari 1957 melakukan penuntutan atas melambungnya harga bahan pokok. Ide Gerwani terkait sosialisme bisa ditengarai dari kedekatan mereka dengan PKI. Pergulatannya menjadi menantang. Kaitannya dengan sosialisme dus marxisme, Gerwani bergulat dengan sejumlah problem teoritis, yakni pertama, perjuangan perempuan harus ditempatkan sebagai bagian dari perjuangan kelas. Ketika komunisme ditegakan, maka perempuan sebagai subordinasi keluarga akan lenyap dan ‘keluarga proletar bahagia’ akan menggantikannya (hlm 83). Tentu saja perspektif ini bermasalah, sebagaimana dikemukakan Wieringa, pandangan Engels tentang keluarga yang ditulisnya dalam The Origin of the Family (1884) dianggap ahistoris, terutama tentang masyarakat suku. Kedua, karena perempuan berada dalam rumah tangga, maka teori marxis hanya memiliki sedikit pengertian terhadap peran perempuan di tengah masyarakat. Ketiga, karena eksploitasi perempuan dalam keluarga dipandang sebagai penemuan kapitalis, maka pemecahannya dicari di luar rumah tangga, yakni perempuan harus memasuki produksi masyarakat, pekerjaan rumah tangga harus disosialisasi. Dan lalu, lantaran penindasan seksual dihubungkan dengan kapitalisme, sosialisme akan memberikan jalan keluar dan oleh karena itu tidak perlu adanya perjuangan perempuan secara sadar guna memperbaiki perilaku laki-laki maupun mengubah hubungan antar-pribadi. Gerwani dan Pergerakan Perempuan Lokal hingga Global Panggung Gerwani yang dirumuskan secara pasti membangun sebuah gerakan massa, menjadikan Gerwani merangkul dan mencoba memengaruhi gerakan perempuan Indonesia. Garis sosialisme mesti dicapai terlebih dahulu baru kemudian perjuangan feminis bisa didapatkan, demikian ujaran yang didapat dari PKI. Sebagaimana ‘tidak ada tindakan revolusioner/sosialis tanpa melibatkan perempuan’. Gerwani berhubungan baik dengan Perwari dan di tingkat lokal Gerwani ‘bergandengan’ dengan BTI mengorganisir buruh tani dan terlibat beberapa pelaksanaan land reform agraria. Akan tetapi, Gerwani sempat ‘dijauhi’ organisasi-organisasi perempuan yang lain karena bersikap pasif terhadap perkawinan Sukarno dengan Hartini dalam sistem poligami. Garis ‘halus’ yang digunakan Gerwani dianggap sebagai apologetik belaka. Di sini tampak sikap yang mendua, memperjuangkan sosialisme namun kembali ‘tunduk’ pada feodalisme. Di tingkat global, Gerwani memperluas kancahnya dengan menjadi anggota dari WIDF (Women’s International Democratic Federation), Gerwani turut berpartisipasi dalam Congress of Women di Paris. Adapun tujuan WIDF secara garis besar adalah memperjuangkan hak kaum perempuan sebagai ibu, pekerja dan warga negara, memperjuangkan hak anak-anak untuk hidup, kesejahteraan dan pendidikan, mendukung kemerdekaan nasional, penghapusan apartheid, diskriminasi rasial dan dan fasisme. Kendati hubungan diantara Gerwani dan WIDF awalnya sangat harmonis dan saling mendukung, sejak tahun 1960 mulai tegang dan puncaknya terjadi pada kongres WIDF 1963. Meningkatnya militansi Gerwani dan makin dekatnya Gerwani dengan Tiongkok menjadi salah satu penyebabnya. Gerwani yang ikut memobilisasikan kadernya dalam perjuangan pembebasan Irian Barat--dirasa tidak sesuai dengan asas WIDF yaitu perdamaian—menjadi penyebab yang lain. Pada tahun 1963, hubungan Gerwani dengan WIDF semakin memburuk. Dalam kongres bulan Juni, timbul pertentangan karena mayoritas anggota hendak membawa organisasi ke arah ‘feminis dan pasifis’. Bagi Gerwani, tidak akan ada perdamaian selama imperialisme masih ada di dunia. Meskipun WIDF masih bisa memahami apa yang dilakukan Gerwani dalam memperjuangkan pembebasan Irian Barat adalah dalam rangka perjuangan nasional dan kemerdekaan 100 persen, tetapi dalam isu konfrontasi dengan Malaysia, WIDF sama sekali tidak mendukungnya karena dinilai tidak memiliki alasan yang kuat. Sementara ranah persinggungan sedari awal yang juga berbuntut ‘panas’ adalah sikap Gerwani yang terlalu frontal terhadap Undang-Undang Perkawinan Demokratis, di mana Gerwani menolak poligami, sementara organisasi perempuan Islam sebaliknya. Bila menilik ke belakang, dikeluarkannya Tris Metty dari keanggotaan juga lantaran dipandang memberi warna legal pada lesbianisme, sesuatu yang kala itu menjadi paradoks perjuangan ‘perempuan timur yang bermoral’. Fitnah Gerwani: PKI, Sukarno, dan Peristiwa Lubang Buaya Dari 1954 hingga 1965, Gerwani menyatakan diri sebagai organisasi yang tidak berpihak pada partai politik. Baru kemudian ketika pemerintah menginstruksikan kepada organisasi massa untuk memilih pasangan partai politik dalam kerangka Nasakom, maka Gerwani dipaksa berafiliasi dengan PKI. Aspirasi ideologis Gerwani dalam hal ini adalah berdasarkan tokoh Srikandi, yang menyematkan perjuangan di area politik. Langkah Gerwani misalnya dalam memberikan ‘kursus-kursus’ penyadaran politik di tingkat daerah menjadi kontroversi besar-besaran di desa-desa dengan reaksi konservatif yang keras. Gelombang progresivitas Gerwani juga diluapkan dalam majalah Gerwani yakni Api Kartini, agar menyulut kesadaran perjuangan perempuan. Wacana ‘feminisme’ dan ‘sosialisme’ dalam tubuh Gerwani menjadi ‘kabur’ pada saat itu, lantaran perjuangan politik yang lebih populis sangat diutamakan. Kedekatan secara pribadi anggota Gerwani dengan orang-orang PKI tak ayal memberi warna pula dalam tubuh organisasi. Tak jarang ditemukan ketika si suami anggota PKI, si ibu anggota Gerwani sekaligus BTI sekaligus SOBSI, lalu sang anak anggota Pemuda Rakyat. Dialektika demikian membantu pembacaan akan ‘warna merah’ dalam Gerwani. Kurun Demokrasi Terpimpin Sukarno, Gerwani pun tak kalah ‘intim’ dekat dengan Sukarno. Tercatat begitu berapi-apinya Sukarno hadir dan memberikan sambutan dalam Kongres Gerwani keempat--terakhir sebelum meletus peristiwa G30S. Sukarno kian membakar api semangat anggota Gerwani dengan pemikiran Sukarno yang kala itu cenderung ke kiri. Nama Clara Zetkin, pemimpin perempuan sosialis dan partai sosialis terbesar dari Jerman berulang-ulang diucapkan sebagai role type perempuan sosialis pejuang. Maka tak mengherankan kala itu, anggota Gerwani terbiasa melek dengan bacaan-bacaan sosialis-marxis. Gerwani tampil menjadi organisasi perempuan ‘radikal’ yang berjuang di garda depan politik Nasakom Sukarno. Pengiriman delegasi pada pelatihan fisik demi menghadapi Trikora di Irian Barat dan Dwikora dalam pengganyangan Malaysia, kian memampatkan dugaan kemesraan Gerwani dengan arah politik Sukarno. Pada akhirnya, meletusnya malam 30 September 1965 menjadi penutup rangkaian panjang 15 tahun Gerwani hidup di Indonesia. Sebuah gerakan kup terhadap pemerintahan resmi Sukarno yang diwarnai banjir darah para jenderal AD, membuat si kambing PKI berikut organisasi-organisasi underbouw-nya, simpatisannya, sekaligus siapa saja yang pernah dekat dengannya tak terkecuali Gerwani turut terseret dalam bumi hangus yang dilakukan oleh Suharto. Pencidukan paksa, penghilangan nyawa, pemenjaraan, penyiksaan, penghilangan paksa, pemutusan mata rantai hidup kemanusiaan orang-orang di sekelilingnya dilakukan pada periode panjang sepanjang Suharto berkuasa secara ‘ganjil’, yakni dengan selembar surat perintah yang kontroversial bernama Supersemar itu. Tuduhan sadis dan keji diawali dari Gerwani dianggap sebagai sayap perempuan PKI. Kemudian berlanjut pada Gerwani adalah organisasi bejat tidak bermoral, ateis yang terlibat dalam pembunuhan sadis para jenderal di Lubang Buaya yang di kemudian hari dinamai Pahlawan Revolusi. Kesimpulan Dibumihanguskannya Gerwani hingga ‘ke akar-akarnya’, tak pelak menandai babak baru lenyapnya organisasi perempuan yang begitu penting bagi bangunan keindonesiaan pasca kolonial. Orde baru menanam benih hibrida dengan pembungkaman perempuan dalam fungsi ‘kodrati’ dalam rumusan mereka. Para perempuan ditalikan kuat dalam satu ideologi ibuisme melalui organisasi-organisasi bentukan negara dari tingkat pusat hingga keluarga. Tak ada yang tak berada dalam kontrol orde baru. Perempuan ditarik total dalam misi ‘domestik’ dalam naungan ideologi patriarki. Gemilangnya hasil-hasil pemikiran dan gerakan progresif-revolusioner Gerwani pada bangunan Indonesia dilenyapkan dari panggung sejarah. ![]() “If it’s right for men to fight their freedom, then it’s right for women to fight theirs”, Maud Watts. Suffragette mengambil latar belakang Inggris tahun 1912 ketika masyarakat Inggris berubah menjadi masyarakat kapitalis. Film ini bermula dari Maud Watts (Carey Mulligan), perempuan Inggris kebanyakan di zamannya. Perempuan menikah dengan satu anak yang bekerja di sebuah industri laundry. Maud tidak sendirian, tapi banyak perempuan Inggris saat itu yang seperti dirinya. Awalnya hidupnya biasa saja, tidak ada yang istimewa dengan rumah tangganya. Namun cerita berubah ketika dia mulai terlibat sebuah gerakan perempuan yang sebagian anggotanya adalah buruh. Gerakan perempuan ini banyak mendapat pengaruh dari Emmeline Pankhurst (Meryl Streep)—pendiri Women’s Social and Political Union. Suffragette sendiri adalah gerakan yang menuntut hak suara bagi perempuan yang muncul pada dekade kedua abad XX di Inggris. Maud awalnya tidak terlalu tertarik dengan gerakan ini, dia hanya ingin menjadi perempuan Inggris pada umumnya yang fokus pada kehidupan rumah tangganya. Namun perkenalannya dengan rekan kerjanya, Violet Miller (Anne-Marie Duff) mengubah cara pandangnya. Violet berhasil memprovokasi Maud untuk terlibat dalam gerakan ini. Sampai kemudian dia memberikan testimoni di depan dewan kota London. Sebenarnya dia tidak sedang bertestimoni, namun mengisahkan hidupnya. Umur 4 tahun Maud diajak bekerja sambil dibopong ibunya. Ya, ibu Maud adalah perempuan yang sama dengan dirinya yang bekerja di laundry. Menginjak usia 12 tahun ia sudah bekerja secara paruh waktu dan diumur 14 bekerja secara penuh. Maud menceritakan sistem upah kerja yang tidak berkeadilan gender, dimana perempuan dituntut bekerja lebih lama namun menerima upah jauh lebih rendah dari laki-laki. Tanpa diduga kejujurannya dalam menceritakan pengalaman hidupnya semakin membuatnya terlibat jauh dalam Suffragette. Maud merasa lingkungannya harus berubah! Hidup Maud semakin rumit karena suaminya tidak mendukungnya terlibat dalam gerakan suffragette–kebanyakan pria saat itu memang tidak mendukung gerakan perempuan. Sajian Suffragette bak visualisasi karya Sylvia Walby Theorizing Patriarchy sekaligus Sexual Politic-nya Kate Millet. Menurut Sylvia Walby meskipun masyarakat Inggris telah berubah sejak Revolusi Inggris di medio abad 17, namun patriarki masih bercokol dengan kuat. Kapitalisme dan negara menjadi instrumen baru yang mengokohkan dominasi patriarki. Tesis Sylvia menyatakan dalam masyarakat kapitalis Inggris yang terjadi adalah pergeseran dari patriarki privat ke patriarki publik. Terjadi perluasan wilayah opresi terhadap perempuan yang terjadi di luar rumah secara kolektif. Maud hanya salah satu contoh dari kehidupan perempuan Inggris yang masyarakatnya menjadi kapitalis. Kapitalisme dan patriarki berkolaborasi menindas perempuan dengan dalih buruh murah. Walby menjelaskan salah satu dari enam struktur patriarki adalah relasi upah kerja—dalam teori Walby enam sistem patriarki adalah relasi patriarki-upah kerja, relasi patriarki-produksi rumah tangga, relasi patriarki-budaya, relasi patriarki-seksualitas, relasi petriarki-kekerasan, relasi patriarki-negara—yang membuat Maud harus menerima perlakuan tidak adil dalam sistem upah. Disini Maud dan banyak buruh perempuan Inggris saat itu mengalami eksploitasi. Tidak hanya itu relasi patriarki-kekerasan juga berlangsung dalam lingkungan kerja. Maud menyaksikan kekerasan seksual di lingkungan kerjanya yang dilakukan atasannya yang laki-laki—dia pun pernah mengalaminya dimasa mudanya. Suffragette secara tidak langsung membawa penonton memahami karya Kate Millet Sexual Politic, terutama pada penjelasannya tentang fase pertama revolusi seksual. Tujuan dari revolusi seksual adalah menghancurkan institusi patriarki. Millet pun melihat masyarakat Inggris yang sejak 1830 mengalami perubahan, yakni tumbuhnya kelas menengah—fase revolusi seksual menurut Kate adalah tahun 1830-1930, sementara 1930-1960 terjadi kontra revolusi. Kapitalisme di Inggris tumbuh seiring industrialisasi yang masif. Perempuan mulai keluar dari wilayah domestiknya dan menjamah ruang publik. Salah satu ciri awal fase revolusi politik adalah mengubah struktur patriarki melalui politik, pendidikan dan sistem kerja. Suffragette atau hak suara yang menjadi isu utama dalam film ini diperoleh di Inggris tahun 1918. Hak-hak politik perempuan Inggris terus mengalami kemajuan sampai tahun 1930-an, tahun 1925 hak asuh anak diberikan kepada perempuan, di tahun yang sama hak perempuan sepenuhnya diberikan sama dengan hak laki-laki. Kemudian dalam pembabakan Millet setelah tahun 1930-1960 adalah kontra revolusi. Tesis yang diajukan adalah rezim fasis Jerman dan sosialis Soviet. Bagi Nazi perempuan hanya berfungsi sebagai pelayan negara dan keluarga, tidak lebih mengurus anak dan suami. Sebagaimana ungkapan “The German girl is state subject and only becomes a State Citizen when she marries”. Film ini tidak banyak didukung aktris atau aktor dengan nama besar. Sebagai film yang bernuansa feminis, tokoh laki-laki dalam film ini tidak begitu ditonjolkan. Meryl Streep yang berperan sebagai Pankhrust tidak terlalu dimaksimalkan. Dia hanya tampil beberapa scene, namun tidak cukup berdampak. Bisa jadi karena fokus cerita ini adalah Maud Watts sebagai salah satu perempuan Suffragette. Untungnya Carey Mulligan cukup bagus membawakannya, meskipun belum sempurna. Nama besar lainnya yang tampil dalam film ini adalah Helena Bonham Carter–aktris pendukung terbaik BAFTA 2011 lewat King’s Speech--sebagai Edith Ellyn, seorang terpelajar yang membuka toko obat dan menjadi mentor bagi Maud. Kemunculan Edith dalam film ini memberikan nuansa perjuangan feminis gelombang pertama di Inggris semakin kental. Secara keseluruhan penggarapan film yang dibesut sutradara perempuan Inggris Sarah Gavron–karya menonjolnya Brick Line (2007) yang masuk nominasi sutradara terbaik BAFTA 2007—tidak memberikan plot yang rumit. Salah satu plot utamanya adalah konflik yang dialami Maud. Dilema Maud setelah tergabung dalam gerakan perempuan adalah kehidupan rumah tangganya menjadi pertaruhan. Sutradara tidak hanya memberi ruang eksplorasi pada Maud, namun masing-masing feminis dalam film ini. Violet harus bernegosiasi dengan kondisinya sebagai orang tua tunggal. Edith Ellyn, sang dokter meskipun mendapat dukungan penuh suaminnya namun juga harus keluar masuk penjara. Masing-masing feminis dalam film ini ditonjolkan kehidupan pribadinya untuk memperkuat nilai perjuangan feminis. Namun demikian kalau film ini didedikasikan untuk perjuangan suffragette kurang begitu dramatis. Harusnya sutradara bisa lebih melakukan eksplorasi adegan dalam menggambarkan perjuangan feminis gelombang pertama. Misalnya ketika Maud dan feminis yang lain mendapat represi, mulai dari pemukulan dan pemenjaraan bisa lebih menghasilan efek dramatis. Jadi perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak politik sebagaimana saat ini harus ditempuh dengan keringat darah. Adegan terakhir yang seolah menunjukan klimaks dari perjuangan suffragette hanya dibiarkan begitu saja. Namun setidaknya Suffragette adalah visualisasi gerakan feminis gelombang pertama. Sedikit dari film yang mengeksplorasi sejarah feminisme! Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] ![]() Di dalam suatu rumah tangga dapat terjadi ketidakharmonisan yang diakibatkan oleh faktor sosial, ekonomi, budaya ataupun lingkungan. Ketidakharmonisan tersebut dapat menciptakan tindakan kekerasan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dijelaskan bahwa: 1) Kekerasan fisik adalah adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 2) Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 3) Kekerasan seksual meliputi pertama, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kedua, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 4) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga masih saja bak gunung es yang terlihat hanya permukaannya saja padahal tumpukan-tumpukan itu ada tapi tertutup air dimana ketakutan akan aib keluarga menjadi salah satu penghalang memerdekakan dan membebaskan diri dari adanya kekerasan yang biasanya dilakukan oleh suami. Berdasarkan catatan laporan yang masuk sepanjang bulan Januari hingga Oktober 2015 ada 369 kasus terhadap perempuan dan paling tinggi pada kasus KDRT.[1] Saya mengkhawatirkan ibu-ibu rumah tangga tidak dapat membebaskan dirinya dari kekerasan hingga mengakibatkan dampak kesehatan yang berat apabila korban tidak melaporkan sebagai akibat “kepasrahan” dan tidak mendapat pemulihan.[2] Ditambah lagi luka psikis yang membelit pikiran korban seperti insomnia, rasa cemas, stres yang tentunya akan menganggu aktivitas korban. Dibutuhkan sebuah keberanian untuk membebaskan diri dari belenggu dominasi maskulin di ranah domestik (keluarga). Lalu muncul pertanyaaan di benak kita apa yang sebenarnya melatarbelakangi perempuan sebagai korban dari kekerasan laki-laki? Hal itu bersumber pada konstruksi sosial dan budaya yang memberikan sifat (ciri) kepada kaum perempuan dan laki-laki. Penyifatan itu sendiri tentu saja tidak netral dan sangat sarat dengan kepentingan. Konsep ibu sebagai penjaga rumah, perempuan yang lemah lembut merupakan contoh dari konstruksi sosial dan budaya. Konstruksi ini membuat perempuan dalam relasi pernikahan seringkali diposisikan sebagai “pelayan” laki-laki.[3] Kaum the survival of the fittest—yang dari zaman dulu dilihat dari kuatnya fisik—dimapankan dan dilegitimasi oleh budaya bahkan undang-undang yang patriarki. Budaya hukum patriarki bersemai secara mapan, terbukti dengan adanya Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang membedakan dengan tegas peran dan kedudukan antara suami dan istri. Pasal 31 ayat 3 “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Pasal 34 ayat 1 dan 2 ditetapkan: “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” dan “Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Terlihat secara jelas bahwa undang-undang tersebut menempatkan istri secara ekonomi menjadi sangat tergantung kepada suami.[4] Sehingga tidak mengherankan bila hukum yang dimunculkan adalah yang tidak memberi keadilan kepada perempuan. Dalam hal ini budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang, dan hukum melegitimasinya.[5] Maka, suatu hari hukum perkawinan harus diperbaiki.[6] Dengan lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) ini maka diharapkan dapat menyadarkan korban bahwa kekerasan dalam rumah tangga harus dilaporkan untuk melindungi korban. Setidaknya kekerasan tersebut harus dihentikan. Maka perlu dukungan dari keluarga, saudara, lembaga-lembaga hukum ataupun LSM untuk berani bertindak dan membebaskan diri dari keterpurukan dan penindasan. Dengan dasar bahwa Indonesia adalah negara hukum maka perlu merealisasikan tujuan hukum, menurut Baharuddin Lopa, “Pada dasarnya tujuan hukum ialah menegakkan keadilan, sehingga ketertiban dan ketentraman masyarakat dapat diwujudkan.” (Baharuddin Lopa, 1996: 126). Karena pembungkaman yang dilakukan mengakibatkan martabat manusia masih berada dalam ketertindasan. Idealisme hukum yang menjunjung keadilan masih belum berlaku dalam realita akibat dari kuatnya kemapanan yang terus dilegitimasi melalui sosial budaya bahkan undang-undang sendiri. Bukan lagi saatnya perempuan menjadi objek, dikalahkan dan disubordinatkan menuju tataran (status) yang amat inferior.[7] Bukannya manusia adalah subjek maka kita harus mempertahankan diri kita sebagai subjek dan tidak akan menggantungkan diri kita dengan mereka yang saat ini masih mendominasi diberbagai aspek kehidupan. Haruslah perempuan itu independen! Catatan Belakang: [1] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/23/nzthuw336-lbh-apik-kasus-kdrt-dominasi-kekerasan-perempuan (diakses pada 17 Februari 2016). [2] https://intanghina.wordpress.com/2008/06/03/pemulihan-sebagai-hak-istri-korban/ (diakses pada 17 Februari 2016). [3] Budi Wahyuni. 1997. Terpuruk Ketimpangan Gender. Lapera Pustaka Utama: Yogyakarta. Hal 3. [4] Mohammad Taufik Makarao dkk. 2013. Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Rineka Cipta: Jakarta. Hal 201. [5] Sulistyowati Irianto. 2006. Perempuan & Hukum Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan Dan Keadilan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Hal 314. [6] Ayu Utami. 2013. Pengakuan Eks Parasit Lajang. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta. hal 292. [7] Abdul Wahid dkk. 2011. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. Refika Aditama: Bandung. Hal 102. ![]() Dalam banyak kasus yang disuguhkan media kepada publik, berisi adanya kesenjangan hubungan sosial antara kaum laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa betapa besar jurang pemisah untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam kacamata sosiologi konflik percaya bahwa masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan dalam menilai masalah ini, sehingga pola hubungan dan perubahan yang dilihat adalah konflik antar dua kepentingan. Namun di lain pihak terdapat konflik lain yang terselubung antara konflik laki-laki dan perempuan yaitu femininitas laki-laki yang hampir pada setiap sendi kehidupan ingin dihancurkan oleh maskulinitas yang superior. Diskursus antara laki-laki dan perempuan memang sudah berlangsung sejak lama, dan hingga kini masih terjadi proses panjang untuk mencapai suatu kesetaraan. Dan kemudian muncul sebuah diskursus dimana terjadi proses negara (Indonesia) tidak mengakui adanya gender lain selain laki-laki dan perempuan. Diskursus yang sebenarnya terjadi sudah lama ini bak api dalam sekam, yang seolah-olah tidak menjadi perhatian masyarakat luas. Pada konsep heteroseksual laki-laki dan perempuan dinarasikan sebagai maskulin dan feminin. The heterosexualization of desire requires and institutes the production of discrete and asymmetrical oppositions between “feminine” and “masculine,” where these are understood as expressive attributes of “male” and “female.” (Butler, 1990). Tetapi tidak dapat dinampikkan bahwa narasi feminin dan maskulin ini bisa saja bertukar antara laki-laki dan perempuan; feminin (laki-laki) dan maskulin (perempuan). Suatu femininitas laki-laki dalam kehidupan sehari-hari sangat sering kita jumpai. Tak jarang kita bertemu dengan seseorang yang bertubuh laki-laki namun berkelakuan seperti perempuan. Di negara kita seringkali mereka mendapatkan penolakan-penolakan sadis dengan tuduhan “tidak normal”, “sakit jiwa” dan lain sebagainya. Padahal mereka adalah manusia biasa yang eksistensinya suda ada sejak lama. Karl Heinrich Ulrichs merupakan ahli medis perintis pertama pada tahun 1825 yang berpegang teguh demi keadilan dan kemanusiaan terhadap homoseksual, menemukan bahwa pada awal pertumbuhannya semua embrio adalah identik, dan selanjutnya terbagi menjadi tiga kategori yaitu jantan, betina dan urning. Pada kelompok urning ini memiliki karakter fisik salah satu gender beserta satu insting seksual yang tidak terkait dengan organ-organ seksualnya, dengan demikian mereka memang alamiah (Spencer, 2004). Namun, banyak orang yang kemudian masih menutup telinga terhadap penemuan-penemuan atas keragaman gender dan seksualitas. Sangatlah tidak layak jika mereka dikatakan “tidak normal”, “sakit jiwa” atau lain sebagainya. Tidak jarang kelompok yang memberikan stigma ini berasal dari berbagai kalangan, seperti agamawan, akademisi, bahkan pemerintah (penyelenggara negara) yang kemudian ingin menghancurkan narasi selain daripada narasi bahwa “laki-laki harus maskulin.” Kemudian stigma negatif dari berbagai kalangan agamawan yang membentuk kebencian dan kejijikan atas feministas laki-laki di masyarakat luas.femininitas Sering terdengar ucapan dari kaum agamawan, bahkan kaum terpelajar atau intelek: “laki-laki kok kemayu”, “laki-laki kok ngondek”, segala jenis pernyataan itu ditujukan untuk penghancuran dan pengebirian terhadap femininitas laki-laki. Segala bentuk penghancuran atas narasi femininitas laki-laki ini sering terdengar dalam ceramah-ceramah, khotbah, seminar akademisi atau melalui media-media yang dikonstruksi oleh negara. Femininitas laki-laki erat kaitannya dengan homoseksualitas, walau tidak semua laki-laki feminin memiliki orientasi seksual sebagai homoseks, bisa saja biseksual atau yang lainnya. Patut digali lebih jauh mengapa negara gencar untuk menghancurkan femininitas laki-laki dengan tangan-tangan maskulin? Dalam konteks negara, kemudian lahir berbagai aturan hukum dalam undang-undang atau peraturan, atau apalah itu namanya, yang pasti aturan tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap truth (kebenaran) yang nyata adanya. Bahwasannya pandangan mengenaifemininitas laki-laki yang merupakan ketidakwajaran harus segera didekonstruksi. Pembungkaman hak dasar seorang warga negara ini merupakan sebuah kejahatan negara, yang mana sangat sedikit orang menyadari hal ini. Adanya berbagai bentuk ketidakadilan yang terjadi merupakan sebuah konstruksi dari negara. Sebut saja di negara Nigeria yang mengesahkan Undang-Undang Anti Homoseksualitas pada empat tahun yang lalu. Adanya UU yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia ini merupakan bentuk penistaan negara terhadap hak-hak dasar warga negaranya. Di Indonesia sendiri pembungkaman negara terhadap femininitas laki-laki terjadi melalui UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, disebutkan bahwa lesbian dan homoseksual dianggap sebagai persenggamaan yang menyimpang. Hal ini terdapat dalam penjelasan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘persenggamaan yang menyimpang’ antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian dan homoseksual.” Meski tidak secara gamblang UU ini menyatakan bahwa aktivitas homoseksual dilarang, namun secara tersirat UU ini mendeklarasikan bahwa “Semua warga negara harus heteroseksual.” Konstruksi maskulinitas oleh negara ini kemudian menimbulkan pengecapan masyarakat terhadap femininitas laki-laki, bahwasannya mereka adalah menyimpang. Bukankah ini juga merupakan bentuk penistaan negara terhadap hak asasi seseorang? Daftar Pustaka: Butler, Judith. 1990. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge. Spencer, Colin. 2004. Sejarah Homoseksualitas. Bantul: Kreasi Wacana. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. ![]() Persebaran HIV dan AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) sudah sering kita dengar, baik dalam dunia medis maupun dalam lingkungan sosial masyarakat. Banyak penelitian yang dilakukan untuk menemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini, namun hasilnya belum tampak melegakan. Terlepas dari dunia medis, sebenarnya terdapat kajian yang menarik dalam konteks sosial yang dapat dilakukan untuk menganalisis penyebaran virus dan penyakit ini. Sebagaimana kita tahu bahwa HIV/AIDS yang menyebar pada saat ini pada dasarnya beriringan dengan pola perilaku masyarakat yang mengalami perubahan di lingkungan sosialnya. Perubahan perilaku masyarakat yang dimaksud ialah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tampak semakin “ekstrem” yang mengarah pada tindakan lebih berisiko bagi terjadinya penyebaran HIV/AIDS dengan cepat. Perlu juga diketahui pertama kalinya HIV/AIDS ini ditemukan, seperti dilansir oleh ListVerse, virus HIV/AIDS, ditemukan pada seekor simpanse, yang dahulunya disebut menderita virus HIV-1. Kemudian, virus yang sama ditemukan pada seekor monyet namun diberi nama HIV-2. Tidak diketahui secara pasti kapan virus HIV pertama kali menjangkiti manusia akan tetapi diperkirakan, virus HIV pertama menyerang manusia pada tahun 1931. Kasus HIV AIDS pertama kali dilaporkan terjadi di Knishasha, di Kongo tahun 1959, yang kemudian tersebar hingga ke Atlantika (www.medis.web.id). Di Indonesia sendiri seperti dikutip dari (tempo.co.id) bahwa pada tanggal 15 April 1987 pertama kali AIDS di Indonesia ditemukan, pada seorang wisatawan asal Belanda berusia 44 tahun, yang meninggal di rumah sakit Sanglah, Bali. Kematian wisatawan asing tersebut disebabkan AIDS. Hingga akhir 1987 ada enam orang yang didiagnosis HIV positif, dua diantaranya mengidap AIDS. Berdasarkan laporan LP2y Indonesia pada Ditjen PP dan PL RI tahun 2014 mengenai perkembangan HIV/AIDS. Dari bulan Juli sampai dengan September 2014 jumlah infeksi HIV yang baru dilaporkan sebanyak 7.335 kasus. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,1%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (17,2%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (5,5%). Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan September 2014, HIV/AIDS tersebar di 381 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV/AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan yang terakhir melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011. Ancaman HIV-AIDS Pada Ibu Dan Anak Hingga kini penyebaran virus tersebut semakin luas, setiap orang berpotensi tertular penyakit ini, mulai bayi hingga dewasa sangat berisiko menjadi penderita HIV/AIDS. Pada dasarnya penyebaran HIV sangat mudah dicegah karena proses penularannya tidak melalui udara ataupun sentuhan kulit luar secara langsung akan tetapi penyebarannya melalui sel darah merah, penggunaan jarum suntik yang berulang-ulang, air mani dan air liur. Karena itu HIV/AIDS cukup sulit tersebar apabila masyarakat mampu menghindari perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS. Sayangnya masih banyak masyarakat yang enggan melakukan tindakan-tindakan preventif (pencegahan) terhadap penularan penyakit ini, terutama dalam kehidupan keluarga. Masih sedikit yang memahami bahwa penularan HIV/AIDS dalam hubungan suami-istri akan menjadi jauh lebih berisiko dibanding aktivitas-aktivitas berisiko lainnya. Pengetahuan dan pemahaman anggota keluarga terhadap penyebaran HIV/AIDS dalam lingkungan rumah tangga masih sangat minim, terutama bagi para istri. Banyak dari mereka yang memiliki pemahaman hanya sebatas bahwa penyebaran HIV/AIDS disebabkan oleh seks bebas atau penggunaan jarum suntik yang berkali-kali. Sehingga mereka yang menganggap dirinya tidak melakukan aktivitas berisiko tersebut merasa aman dan terhindar dari HIV/AIDS. Akan tetapi pemikiran-pemikiran tersebut justru akan semakin membuat mereka lebih berisiko karena lengah dalam melakukan tindakan protektif pada diri atau anggota keluarganya. Sehingga mereka akan mengabaikan risiko penularan yang akan didapatkan dari anggota keluarga terdekat mereka sendiri, terutama yang ditularkan oleh suami. Menurut laporan perkembangan HIV/AIDS di Indonesia Triwulan III Tahun 2014, yang diterima dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI secara kumulatif kasus HIV & AIDS 1 Januari 1987 s.d. 30 September 2014, memperlihatkan bahwa jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 150.296 orang sedangkan AIDS sebanyak 55.799 orang. Pola penularan HIV selama 7 tahun terakhir masih banyak terjadi pada kelompok laki-laki dibanding perempuan begitu juga persentase kasus AIDS pada laki-laki lebih tinggi yakni 54% dibanding perempuan yakni 29%. Sementara itu 17% tidak melaporkan jenis kelamin. Akan tetapi dalam jenis pekerjaan justru jumlah AIDS tertinggi adalah pada ibu rumah tangga (6.539), diikuti wiraswasta (6.203), tenaga non-profesional/karyawan (5.638), petani/peternak/nelayan (2.324), buruh kasar (2.169), penjaja seks (2.052), pegawai negeri sipil (1.658), dan anak sekolah/ mahasiswa (1.295) ( Ditjen PP dan PL Kemenkes RI tahun 2014). Kasus AIDS tertinggi yang terjadi pada ibu rumah tangga berdasarkan laporan tersebut menunjukkan bahwa penularan virus HIV terjadi secara laten dari sang suami yang sering melakukan aktivitas berisiko HIV/AIDS di luar rumah yang tidak diketahui oleh istri maupun anak-anak. Sehingga istri merasa selalu aman berhubungan dengan suami yang ternyata dapat mencengkeram kehidupan mereka. Berbeda dengan para pekerja seks komersial (PSK) atau gay dan lesbian yang melakukan seks bebas. Mereka lebih tahu melakukan pencegahan dini dengan menggunakan kontrasepsi ketika berhubungan intim. Sehingga risiko mereka akan lebih kecil dibanding istri yang tidak menggunakan kontrasepsi saat berhubungan dengan suami mereka yang sudah terjangkit virus HIV. Istri merasa aman dengan perilaku mereka sendiri yang tidak melakukan aktivitas berisiko HIV/AIDS, namun mereka kurang memikirkan perilaku suami mereka di luar rumah. Permasalahan tingginya tingkat risiko istri yang tertular HIV/AIDS dari suami bukan hanya karena ketidaktahuan sang istri saja terhadap perilaku suami, akan tetapi dapat juga dikarenakan “kesengajaan” sang suami. Suami yang sering melakukan aktivitas berisiko HIV/AIDS tidak akan dan merasa malu memberitahu istri mereka atas perilaku-perilakunya di luar rumah dan lebih parahnya lagi para suami juga enggan menggunakan kontrasepsi ketika berhubungan dengan istri. Akan lebih memprihatinkan apabila sang suami yang HIV/AIDS positif tetap menyembunyikan penyakit tersebut kepada sang istri namun mereka tetap melakukan hubungan suami istri tanpa menggunakan kontrasepsi. Maka dengan demikian istri menjadi sasaran empuk tertular virus ini, bukan hanya kepada istri akan tetapi apabila sang istri hamil maka anak sangat berisiko ikut tertular. Cukup jarang kasus ibu yang HIV positif anaknya negatif, meskipun dapat ditemukan kasus anak yang tidak tertular meski ibunya dinyatakan HIV. Seperti kasus yang dialami oleh seorang guru yang mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Papua. Seperti di kutip dari www.tribunenews.com, ibu ini terjangkit virus HIV dari sang suami dan baru diketahui setelah suaminya dinyatakan HIV positif dan kemudian meninggal. Tidak hanya itu, guru agama ini juga kehilangan buah hati pertamanya yang diduga juga disebabkan oleh penyakit yang sama. Ini hanya satu kasus dari sekian banyak kasus HIV/AIDS yang merenggut kebahagian ibu dan anak di Indonesia karena disebabkan oleh aktivitas berisiko suami mereka sendiri. Dalam kasus seperti ini, suami ibarat kotak pandora yang ketika dibuka siap membubuhkan racun pada istri dan juga anak. Sehingga suami secara tidak langsung menyeret keluarga mereka dalam penderitaan yang disebabkan oleh perilaku diri mereka pribadi. Hal ini yang kemudian harus diantisipasi oleh para istri, meskipun sulit bagi istri untuk bertindak preventif terhadap perilaku suami mereka diluar, akan tetapi istri setidaknya memahami terlebih dahalu proses maupun hal-hal yang berisiko bagi tertularnya HIV/AIDS dan juga melakukan pengecekan secara berkala baik istri maupun suami serta anggota keluarga lainnya agar mengetahui apakah mereka tertular atau tidak. Istri harus lebih berani bersikap protektif pada diri mereka sendiri apabila tidak mampu mencegah suaminya dan kemudian memberikan pemahaman kepada suami akan bahaya penyakit tersebut yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri tapi juga dapat menghancurkan kehidupan keluarga mereka. Referensi: ______. 2014. Situasi dan Analisis HIV AIDS. Jakarta: Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Medis.web.id. 2013. Inila Sejarah 'Asal Muasal' Penyakit HIV AIDS. Diakses 15 Januari 2016 jam 15.36 WIB dari: http://www.medis.web.id/2013/06/inila-sejarah-asak-muasal-penyakit-hiv.html?=1Tempo interaktif. 2004.HIV/AIDS. Diakses 14 Januari 2016 jam 09.14 dari: http://tempo.co.id/hg/narasi/2004/03/26/nrs,20040326-06,id.html Tribunenews.com. 2015. Kisah Ratna, Guru Penderita HIV yang Tetap Disayang Anaknya. Diakses pada 15 Januari 2016 jam 15.24 WIB dari: http://www.tribunnews.com/regional/2015/12/01/kisah-ratna-guru-penderita-hiv-yang-tetap-disayang-anaknya ![]() Ruangan bioskop itu cukup sepi, hanya saya dan beberapa orang yang jumlahnya bisa dihitung jari. Kami adalah kerumunan jika merujuk pada Le Bon dalam bukunya The Crowd: A study of the Popular Mind (1985), kami adalah sekumpulan orang yang tidak sengaja bertemu dalam satu lokasi yang sama, ruang bioskop. Diantara bangku merah yang disusun panjang berderet, dalam suasana gelap gulita, suara musik keluar dari pengeras suara yang ditempel pada dinding-dinding. Ine Febrianti sebagai “Nayla Kiran” muncul dua dimensi di layar datar, berperan menjadi seorang akrtis baru yang baru saja mengambil hasil pemeriksaan laboratorium masuk ke mobil mini cooper berwarna oranye atau kuning, saya nyaris lupa karena setting latar waktu dalam sinema tersebut adalah malam hari. Nayla menghela nafas, berdialog sebentar dengan bangku kosong disebelahnya, berpura-pura bahwa ibunya ada disebelahnya. Kemudian menyalakan mobil, perjalanannya dimulai, seiring dengan dimulainya cerita dalam sinema ini. Nayla hamil, sebelas minggu, oleh pacarnya Ben (Paul Agusta). Menyetir mobil menyusuri jalan-jalan Jakarta seorang diri, memikirkan nasib kandungannya, nasib dirinya, dan nasib orang-orang disekitarnya. Sebelum memutuskan apa yang hendak ia lakukan dengan kandungannya. Sinema tersebut hanya berdurasi kurang lebih 80 menit tapi menggambarkan realita yang dihadapi perempuan. Bukan hanya di Indoneesia, tetapi mungkin juga di seluruh penjuru dunia. Tentang dirinya, nasibnya, tubuhnya, dan keputusannya. “Mengapa perempuan hamil harus menikah?” kalimat itu keluar dari mulut Rengganis si Cantik, tokoh fiksi dalam Novel Eka Kurniawan berjudul Cantik Itu Luka. Rengganis si Cantik meraung karena dipingit oleh keluarganya yang begitu tahu bahwa gadis ini, perempuan tercantik di Halimun, hamil karena diperkosa oleh seekor anjing. Perempuan, entah diberkahi atau dikutuk memiliki tabung kehidupan dalam dirinya. Persoalan tubuh perempuan milik siapa, tidak kunjung habis dalam diskursus feminisme, persoalan itulah yang kita hadapi setiap harinya. Dan isu aborsi, isu yang selalu menjadi buah simalakama bagi perempuan yang dipecah menjadi kubu pro-choice dan pro-life. Carol Gilligan dalam In Different Voice memaparkan tahapan perkembangan moral perempuan yang dianggapnya tidak bisa disamakan dengan laki-laki. Teori ini mengkritik teori gurunya, Lawrance Kohlberg, yang menyatakan bahwa perkembangan moral anak laki-laki membuat anak laki-laki lebih dewasa daripada anak perempuan. Hal ini ditentang oleh Gilligan yang dalam penelitiannya menggunakan sample dari perempuan yang hendak melakukan aborsi dan bagaimana tahapan-tahapan moral yang dilaluinya hingga menghasilkan keputusan final. Penelitian tersebut menghasilkan beda antara etika kepedulian (ethics of care) dengan etika keadilan (ethics of justice). Etika kepedulian milik perempuan, memperlihatkan bahwa dalam mengambil sebuah keputusan, laki-laki akan mengevaluasi dan memilih apa yang dianggap “benar”, sedangkan perempuan akan berada dalam dilema, “keputusan yang tidak menyakiti siapapun”. Saya rasa etika kepedulian dalam teori feminis yang hendak dipaparkan Djenar Maesa Ayu sebagai sutradara dan produser film ini, dimana Nay, dalam mobilnya, mencoba membuat keputusan-keputusan moral yang tidak dilandaskan pada apa yang “benar” saja. Moral yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari adalah moral laki-laki, sedangkan moral perempuan, berusaha dicari sepanjang perjalanan yang dilalui Nay, untuk menentukan apa yang harus dilakukan dengan masa depannya, tanpa melukai siapapun, bayinya, kariernya, teman-temannya, pacarnya, pria lain yang suka padanya, dan terakhir dirinya sendiri. Tidak hanya etika kepedulian yang bisa kita temukan dalam cerita di sinema tersebut, sinema itu juga memaparkan bagaimana perempuan. Selalu dilihat dalam dua kelompok, perempuan baik-baik dan bukan perempuan baik-baik. Gilanya, hal tersebut diungkapkan bukan oleh laki-laki, melainkan oleh perempuan, pada cerita dalam sinema ini diberikan peran dari Ibu dari Ben, pacar Nay yang telah menghamilinya, dalam dialog di telpon. Kehidupan akrtis, perempuan mandiri, dan perempuan yang tidak perawan bukan perempuan baik-baik, tidak peduli apakah dia tidak perawan karena diperkosa atau memang perempuan penggoda. “Perempuan yang sudah ‘rusak’ itu bersikap sok manis dan berpura-pura menjadi korban, padahal ia hanya mengincar pria mapan untuk bertanggung jawab”, begitu kiranya dialog yang diungkapkan Ibu Ben ketika Nay meminta pertanggungjawaban Ben atas kehamilannya. Perempuan yang terjebak dalam dikotomi Bitch dan Angel selalu serba salah dalam menghadapi kekerasan seksual. Ketika mengalami perkosaan atau pelecehan, sebagai korban, ia selalu disalahkan hingga dua kali diperkosa. Diperkosa oleh pelaku, dan diperkosa oleh masyarakat. Dan seringkali perkosaan yang dilakukan masyarakat yang justru membuat perempuan hancur dan merasa dia tidak ada harganya lagi. Hal ini bukan sekedar teori, kasus bunuh diri seorang gadis di Aceh karena tidak tahan difitnah sebagai pelacur (http://lakilakibaru.or.id/2012/10/surat-maaf-untuk-putri/). Perkosaan juga menjadi kasus yang serba salah. Dalam cerita di sinema ini, Nay adalah korban perkosaan yang dilakukan oleh pacar ibunya, tetapi ibunya enggan melaporkan kasus ini ke polisi karena memikirkan masa depan Nay yang nantinya akan memperoleh cemoohan dari masyarakat apabila mengetahui bahwa Nay adalah korban perkosaan. Sekelumit permasalahan perempuan berusaha diungkapkan dalam sinema ini. Saya sengaja mengesampingkan hal-hal yang berbau sinematografi karena jelas itu bukan bidang saya. Seperti yang dipilih Djenar, fokus dengan seni sebagai bidangnya berupaya memberikan suara, pengalaman perempuan, kaumnya, dalam media film. Feminisme hadir guna menjadikan pengalaman perempuan sebagai Ilmu. Akhirnya dalam Nay, saya rasakan bahwa Djenar berusaha mengungkapkan pengalaman perempuan ditengah nilai patriarkis. Ethics of care yang selalu dianggap sebagai pengambilan keputusan yang emosional dan jauh dari rasional. Dikotomi bitch dan angel, perkosaan yang seperti gunung es. Nasib perempuan dalam negara hukum yang menganut hukum yang seksis diharapkan melalui film ini, semoga bisa menjadi baik. ![]() Ibu. Dia adalah seorang perempuan, darimana pun asalnya dan dari kalangan apa pun, dia tetap adalah seorang yang memiliki rahim dan vagina untuk melahirkan, serta memiliki payudara untuk menyusui anak-anaknya. Candraningrum (2015) mengungkapkan bahwa narasi ASI merupakan narasi agung negara yang digunakan sebagai alat kampanye besar-besaran untuk melepaskan tanggung jawab negara atas peri kehidupan bayi sampai dengan berumur dua tahun. Lalu apa makna seorang Ibu itu? Yang tak lebih hanya dipandang oleh negara sebagai “yang melahirkan dan menyusui”, bahkan persepsi kebanyakan orang membenarkan itu. Tidak terkecuali terminologi agama yang menegaskan bahwa ibu (perempuan) harus tunduk pada kodrat keperempuanannya—melahirkan, menyusui, tunduk pada suami (laki-laki), mengurus anak dan masih banyak lagi baju yang dipasangkan kepada perempuan atas dasar pembenaran. Terminologi negara dan bahkan terminologi teologis kemudian menyudutkan posisi perempuan sebagai manusia yang tidak merdeka, manusia yang tidak memiliki kebebasan atas diri dan tubuhnya sendiri. Dan legitimasi produk hukum turut mendukung atas hal ini. Lalu apa arti penghargaan atas “hari ibu” yang menggaung dari pikuk perkotaan hingga senyap pedesaan? Jika pada kenyataannya kemerdekaan atas “ibu” sendiri masih belum terjamah oleh negara. Masih dipahami secara umum dan bukan atas penegakan hak-hak yang seharusnya mereka miliki sama dengan warga negara lainnya (laki-laki). Indonesia adalah satu-satunya negara yang memperingati hari ibu pada 22 Desember melalui Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938 dan dengan adanya Dekrit Presiden Soekarno No. 316 tahun 1959 yang menetapkan bahwa 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional. Berbeda dengan beberapa negara seperi Amerika, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura dan banyak negara lainnya yang merayakan Mother’s Day pada hari Mingggu di pekan kedua bulan Mei. Momentum ini dijadikan sebagai penghargaan kepada Ibu (perempuan) yang telah berjasa dalam banyak hal. Hanya dengan satu hari saja, 22 Desember saja, penghargaan untuk Ibu, setelah itu selesai. Hebat! Perayaan hari ibu sukses dilaksanakan, hanya sebagai sebuah seremonial semata. Bukan momentum yang kemudian membebaskan Ibu dari belenggu ketidakadilan. Setelah itu, toh, perempuan masih saja diperlakukan tidak adil, masih banyak buruh perempuan yang tidak berdaya, banyak petani perempuan yang hidup dalam kemiskinan, banyak perempuan berperan menjadi tulang punggung keluarga, dan tidak bisa kita menampik bahwasanya banyak kasus perempuan yang menjadi korban human trafficking, korban kekerasan seksual, bahkan dalam banyak kultur anak perempuan menjadi sajen dalam ikatan perkawinan. Ibu bagi negara hanyalah salah satu dari senjata yang dipakai secara etimologis, semantik dan pragmatik untuk membajui dirinya sendiri atas state grand narrative (narasi agung negara) (Candraningrum, 2015). Justru negara meminjam istilah “ibu pertiwi” untuk merepresentasikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan berlimpah. Dan dengan sangat mudah para elit membelenggu ibu pertiwi yang berkalungkan emas, bermahkotakan berlian, bergelangkan batu bara dan semua itu adalah kekayaan yang digerogoti segelintir elit. Mencuri dan menghamburkan uang untuk kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan rakyat dan Ibu yang adalah bagian dari rakyat itu sendiri. Kasus demi kasus terus berselancar untuk menemukan titik hukum untuk mencari perlindungan, namun malah produk hukum itu sendiri yang kemudian menjerat kaum Ibu menjadi kaum yang murah dan tidak ramah hukum. Tidak sedikit kasus anak-anak yang kemudian menikah di usia belia, mempunyai anak, menjadi seorang Ibu dan mereka dihargai pada musim Hari Ibu, mereka diapresiasi dan mereka bangga menjadi Ibu. Ya, negara yang memiliki produk apresiasi itu sendiri. Sehingga tak ada yang salah. Sehingga perempuan dibonsai, dipangkas, dikerdilkan, direduksi, pada arena domestik—sebagai istri, sebagai ibu, sebagai pendidik dan penanggung jawab terhadap anak dan penyokong negara! Pembonsaian perempuan-perempuan ini tidak hanya berada dalam irisan budaya, tetapi politik, sosial, ekonomi dan kenegaraan (Candraningrum, 2015). Lalu, dimana letak pembebasan itu? Pembebasan yang diletakkan atas dasar “Hari Ibu”? Tidak nyata dan abstrak, pemahaman tentang perempuan tetap pada perspektif yang sama—berkutat pada sisi domestik. Bagi saya sudah tidak penting lagi, karena saya sudah tua. Dari kecil saya tidak bersekolah dan anak sayapun hanya mampu tamat SD saja, anak saya yang paling tua tidak tamat SD karena dia perempuan dan harus cepat makan gaji (bekerja). Tapi itu sangat penting untuk cucu-cucu saya. Jangan sampai mereka seperti saya. Begitulah jawaban seorang ibu yang memiliki dua orang anak yang saya wawancarai ketika menyelesaikan karya ilmiah saya setahun lalu. Pertanyaan saya simpel, “Penting kah pendidikan bagi anda?”, saya menanyakan ini dengan bahasa daerah karena hampir sebagian orang (terutama kaum Ibu) di kampung itu tidak dapat berbahasa Indonesia. Informan saya ini seorang janda yang hidup sendirian di kampungnya, dan dia buta huruf alias tidak bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung) sementara kedua anaknya bekerja di kota Pontianak, mencari penghidupan layak. Bulan lalu saya mendapatkan kabar bahwa beliau meninggal dunia dan seumur hidupnya ia tidak pernah mengenal huruf a,b,c, atau huruf 1,2,3, dan lainnya. Kenyataan ini masih mendarah daging bagi kaum ibu di daerah pedesaan, yang mengalami pemutusan kesempatan belajar pada era Orde Lama atau Orde Baru. Pendidikan layak bagi kaum Ibu di pedesaan sungguh sulit dipahami secara akademis atau ilmiah, sebab kultur lebih mengikat erat mereka secara turun-temurun. Perempuan di pedesaan kemudian memilih bertani, dan tidak bersekolah karena kemiskinan (Niko, 2015). Hal ini karena kesempatan yang tidak diberikan kepada mereka untuk memperoleh pendidikan. Program pemerintah untuk memberantas buta huruf belum sempat menyentuh daerah-daerah yang memang sulit dijangkau. Kemudian Sasono (1987) mengatakan bahwa proses penghancuran kesempatan itu telah berlangsung sejak zaman feodalisme kerajaan-kerajaan (Hindu maupun Islam), zaman kolonialisme dan akhirnya ketergantungan sekarang ini. Bagaimana dapat dikatakan bahwa kaum Ibu memiliki kebebasan dan keleluasaan memiliki banyak pilihan untuk melakukan apa saja yang ia suka? Bagaimana dapat disimpulkan bahwa Hari Ibu kemudian akan membawa suatu perubahan persepsi atas kaum perempuan? Kepalsuan itu dikemas rapi oleh negara untuk membohongi publik. Narasi Ibu dijual dengan sangat murah, cukup diberi hari: Hari Ibu dan diberi label “agung dan mulia” tanpa harus kerja-keras melahirkan kebijakan dan menegakkan kebijakan yang adil atas pengasuhan anak (Candraningrum, 2015). Pada kenyataannya hak-hak kaum Ibu masih diabaikan, masih menjadi angan untuk penegakan secara adil. Daftar pustaka: Dewi Candraningrum. 2015. “Negara, Seksualitas dan Pembajakan Narasi Ibu”. Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015. (http://fkai.org) diakses tanggal 20 Oktober 2015. Nikodemus Niko. 2015. “Pengembangan Model Pembelajaran Keaksaraan Fungsional Dengan Menggunakan Pendekatan Akret Berbasis Life Skill Pada Perempuan Pedesaan”. CISOC Vol. 1, Nomor 2, Desember: hal. 19-26. Sasono, A. 1987. Masalah Kemiskinan dan Fatalisme. Jakarta: UI-Press. ![]() Siapa yang tak ingat dengan momen tanggal 22 Desember, momen yang bisa saja bersejarah untuk para anak agar tidak dicap sebagai “anak durhaka” jika tak mengingatnya. Ya, serentak kita akan mengatakan itu adalah hari ibu, ibu kita, ibu anda, ibu kita semua. Tak perlu khawatir melupakan momen ini, karena jika anda membuka timeline social media seperti facebook, path, instagram, twitter, dan lain lain, maka hampir bisa dipastikan akan banjir postingan baik berupa foto maupun kata-kata puitis mengenai ibu. Terlepas apakah mereka benar-benar mengatakannya kepada ibu, atau hanya “nampang” di social media tanpa tersampaikan langsung. Jika ditanya tentang makna ibu, sudah bisa dipastikan semua akan memberikan kata-kata terbaiknya demi menggambarkan seorang ibu. Misalnya “she is my everything”, “i love you to the moon and back”, “ibu adalah malaikat di dunia”, dan banyak lagi ungkapan yang mencerminkan makna ibu bagi kehidupan seseorang. Tapi pernahkah kita berpikir tentang siapakah yang disebut ibu? Apakah dia yang melahirkan? Ataukah dia yang merawat? Atau dia yang memberi ASI eksklusif selama 6 bulan? Ataukah semua perempuan bisa disebut sebagai ibu? Dalam pemahaman umum, seseorang disebut sebagai ibu adalah wanita yang melahirkan seseorang (KBBI). Dalam perkembangannya, kata “ibu” juga mengalami perluasan makna. Ibu tidak hanya digunakan untuk sapaan orang yang melahirkan kita, tetapi juga menjadi sapaan umum kepada perempuan yang usianya lebih tua dan telah memiliki suami. Status ibu menjadi paradoks dalam perkembangannya, terlebih dalam budaya patriarkal yang masih melekat kuat. Di satu sisi ibu menjadi status yang begitu mulia, karena ia adalah yang merawat, menyusui dan mengajarkan banyak hal. Terlebih lagi ibu menjadi “significant other” bagi anak-anak, dimana warna-warna dalam kepribadian anak di usia-usia 0-5 tahun dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, terutama ibu. Saking sakralnya, tidak banyak kata yang bisa diungkapkan mengenai makna seorang “ibu”, no words needed. Kemuliaan seorang ibu juga diafirmasi oleh lembaga agama, bahwa orang yang harus dihormati adalah ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu. Tiga posisi yang diduduki ibu sebagai orang yang harus dihormati menegaskan kemuliaan seorang ibu, tidak hanya secara sosio-kultural, tetapi juga secara agama. Di sisi lain, status ibu justru menjadi ajang penaklukan bagi perempuan dengan cara yang lebih subtil dan terkesan “alamiah” dengan berbagai tuntutan yang harus dipenuhi agar seorang perempuan bisa disebut sebagai “ibu” seutuhnya. Media sosial kini memang menjadi lahan ampuh untuk mereproduksi fenomena secara masif dan efektif. Konsep tentang ibu juga terus direproduksi melalui media dengan berbagai justifikasi secara sosial, agama dan kesehatan. Tidak jarang, masing-masing mendaku diri sebagai ibu yang “seutuhnya” karena telah menjalankan peran perawatan dan rumah tangga dengan baik. Banyak muncul status war dalam media sosial seperti ASI eksklusif versus susu formula, melahirkan secara normal versus cesar, ibu rumah tangga versus wanita karier dan lain-lain. Keduanya tidak lagi seimbang ketika yang satu dianggap lebih baik dari yang lain. Yang satu dianggap menjadi “ibu yang baik” dibanding yang lain. Perdebatan tersebut memiliki justifikasi masing-masing sehingga serasa semua ingin menjadi yang terbaik. Akhir-akhir ini sangat masif terdengar kampanye pemberian ASI Eksklusif bagi bayi berusia 0-6 bulan dengan justifikasi kesempurnaan perkembangan bayi secara fisik dan mental. Di sisi lain, ada juga ibu yang memilih tidak memberikan ASI eksklusif, namun dibantu ataupun sepenuhnya memberi susu formula bagi bayi mereka. Pada akhirnya muncul judgement sebagai ibu yang egois, tanpa memerhatikan alasan lain kenapa dia tidak memberikan ASI untuk anaknya. Perkembangan fisik dan mental anak pun sepenuhnya dibebankan kepada perempuan melalui wacana “ASI eksklusif”, dimana perempuan akan menjadi ibu yang baik ketika mau memberikan ASI eksklusif. Sejalan dengan hal tersebut, perdebatan mengenai status ibu juga terjadi dalam ranah pekerjaan, ibu yang bekerja di luar rumah (wanita karier) dan ibu yang tinggal di rumah (secara umum disebut ibu rumah tangga). Perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga mendapat banyak “dukungan” kaum agamis dan motivator parenting, dengan alasan perempuan adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak, sehingga harus menyediakan seluruh waktunya untuk keluarga (full time mommy). Sedangkan ibu yang memilih bekerja di luar rumah mendapat “dukungan” dari para feminis, dimana bekerja menjadi salah satu tempat pengungkapan eksistensi perempuan, tempat mengembangkan bakat, serta tempat bersosialisasi. Keduanya memiliki justifikasi masing-masing, lebih sering justifikasi tersebut menjadi alasan untuk mendefinisikan diri sebagai “ibu yang seutuhnya” dan mendefinisikan pihak lain sebagai “ibu durhaka” karena memilih bekerja daripada merawat dan mendidik anak di rumah. Apabila perdebatan seperti ini terus berlangsung, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya menjadi ibu yang baik dalam kacamata sosial dan agama. Pada akhirnya status ibu yang mulia dan diidam-idamkan banyak perempuan menjadi ajang penaklukan terhadap perempuan secara lebih subtil dan alamiah. Ketika semua perempuan berlomba-lomba menjadi ibu yang baik, dan mendurhakakan ibu yang lain, maka saat itu pula penaklukan itu sedang bekerja. Seperti yang diungkapkan oleh Foucault tentang kekuasaan yang menyebar dimana-mana, termasuk dalam wacana kemuliaan seorang ibu. Wacana menjadi alat ampuh untuk mereproduksi dan menyebarkan metode baru penaklukan terhadap perempuan melalui status sebagai ibu. Siapa yang tidak ingin menjadi ibu dengan “bayang-bayang” surga di telapak kaki, dengan “status” perempuan seutuhnya ketika sudah menjadi ibu, dan dengan segala preferensi yang diperoleh dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Penaklukan perempuan melalui status “ibu yang baik” berkaitan dengan posisi perempuan yang lebih sering muncul bukan sebagai subjek melainkan dilekatkan dengan peran yang diberikan oleh orang-orang sekitarnya. Perempuan adalah ibu bila menjalankan perannya dalam melahirkan, menyusui, mengasuh, serta mendidik (Jurnal Perempuan edisi 76 hal 47). Pendefinisian dan dikte terhadap perempuan pun kini dilakukan melalui image ibu, mengingat status ibu adalah kemuliaan bagi perempuan sehingga penaklukan terkesan alamiah dan tidak disadari. Melalui image ibu yang baik, perempuan harus memberikan ASI eksklusif bahkan telah diatur dalam PP No 33 tahun 2012. Demi mengikuti wacana yang dibangun, perempuan seperti tidak memiliki pilihan bagaimana ia bisa menjadi ibu yang baik bagi anaknya. Karena satu-satunya jalan menjadi ibu yang baik adalah melalui pemberian ASI eksklusif, terlepas dari faktor lain seperti kondisi fisik, minimnya fasilitas pendukung terutama bagi ibu yang bekerja dan kelas menengah ke bawah. Penaklukan yang terkesan alamiah juga terjadi pada status ibu yang memilih bekerja di luar. Pada awalnya, kesempatan perempuan untuk berkarya di ranah publik memang sudah terbuka dan menjadi kewajaran. Tetapi kesempatan ini seperti menemui jalan buntu ketika perempuan telah menikah dan memiliki anak. Perempuan tidak lagi bebas berkarya di luar rumah, karena mendapat tanggung jawab merawat dan mendidik anak. Perempuan seakan-akan telah dibebaskan memilih untuk berkarya di ruang publik, namun di saat yang sama juga dituntut untuk tidak melupakan “kodratnya” sebagai istri dan ibu. Kondisi dominasi dan penaklukan terhadap perempuan, terutama ibu tidak akan terlepas dari “langgengnya” budaya patriarkal yang hingga saat ini masih tumbuh subur. Pada masa sekarang ini, peng-liyan-an perempuan (ibu) tidak lagi terjebak pada konteks domestik publik, justru kini status menjadi ibu seakan-akan sudah “dibebaskan” untuk berkecimpung di dunia publik untuk memilih bekerja di luar rumah. Tetapi celakanya, justru pada masa inilah perempuan didominasi melalui cara-cara yang lebih halus dan tidak disadari. Dalam konteks Indonesia, penaklukan terhadap perempuan melalui status ibu (dan istri) mencapai puncaknya pada masa Orde Baru, dengan legitimasi kuat dari negara. Melalui ideologi ibuisme negara (state ibuism), perempuan tidak diakui karena diri mereka sendiri, tetapi selalu berkaitan dengan seseorang atau sesuatu. Perempuan juga diasingkan dari proses pembangunan baik dalam kebijakan maupun praktik yang tercermin dalam program khusus perempuan. Ideologi ibuisme negara ini merupakan proses penjinakan yang seluruhnya sejalan dengan tujuan “ketertiban”, “pembinaan”, dan “stabilitas” negara (Julia Suryakusuma, 2012: 181). Program yang menjadi alat legitimasi penaklukan status perempuan sebagai ibu dan istri adalah PKK dan Dharma Wanita, dimana organisasi tersebut seakan-akan dibuat untuk ajang pengembangan eksistensi ibu, namun program yang dilaksanakan tetap berkaitan dengan domestifikasi seperti menyulam, demo masak, menjahit, program imunisasi dan KMS dan lain-lain. Di samping itu, program PKK dan Dharma Wanita ini juga mendefinisikan kemampuan perempuan bukan berdasarkan dirinya sebagai perempuan (subjek), namun perempuan didefinisikan berdasarkan tugasnya sebagai istri dan ibu, meskipun berada dalam ranah publik. Rezim Orde Baru sudah runtuh 17 tahun silam, namun ideologi ibuisme negara masih lestari hingga sekarang, bahkan dikuatkan dengan wacana-wacana baru yang terkesan lebih alamiah. Seperti yang telah disebutkan di awal pembahasan, mengenai wacana tuntutan ASI eksklusif bagi bayi berusia 0-6 bulan yang juga diatur oleh PP No 33 Tahun 2012, tanpa didukung adanya perbaikan fasilitas dan kemudahan akses bagi ibu yang bekerja di luar rumah untuk tetap menyediakan ASI bagi anak-anak mereka, terutama dirasakan oleh pekerja perempuan kelas bawah. Penaklukan perempuan melalui status kemuliaan seorang “ibu yang baik” muncul dalam rangka pembentukan dominasi yang melampaui apa yang perempuan, bahkan masyarakat secara umum bayangkan. Ketika kesetaraan gender sudah dianggap bisa dicapai pada abad ke-21 ini, penaklukan baru dilakukan melalui justifikasi bidang sosial, budaya, agama, bahkan kesehatan yang lebih subtil. Dengan segala apa-apa yang ada dalam tubuh perempuan, maka perempuan dituntut untuk merawat dan mendidik anak dan keluarga mereka, menyusui hingga usia bayi 6 bulan, terlepas dari kondisi kemampuan ibu (fisik, mental dan ekonomi) dan fasilitas pendukung seperti ruang laktasi di berbagai tempat kerja. Penaklukan perempuan tersebut diwujudkan dalam “beban” yang akan ditanggung perempuan sebagai ibu, jika mereka tidak mampu memberikan ASI Eksklusif kepada anak dan akan bertanggungjawab penuh terhadap kemungkinan keterlambatan perkembangan anak baik secara fisik maupun kognitif karena tidak bisa memberikan ASI. “Beban” tersebut juga dilimpahkan pada status ibu yang bekerja di luar rumah, karena tidak bisa menyediakan waktu sepenuhnya untuk perkembangan anak, terutama untuk merawat dan mendidik, serta memilih mencari baby sitter atau menitipkan pada daycare. Perempuan sebagai ibu tetap diberi kebebasan untuk bisa bekerja di luar rumah, tapi di saat yang sama mereka juga tetap bertanggung jawab sepenuhnya terhadap peran mendidik dan merawat anak. Sehingga ketika terjadi “kesalahan” pada anak, maka orang pertama yang akan disalahkan adalah ibu karena dianggap tidak mampu merawat anak, bahkan secara sosial akan mendapat sebutan “ibu yang tidak baik”. Kemuliaan menjadi seorang “ibu” seharusnya tidak direduksi hanya dalam istilah “ibu yang baik” dan “ibu yang tidak baik” melalui berbagai tuntutan-tuntutan yang semakin me-liyan-kan kaum perempuan. Reduksi terhadap identitas perempuan juga semakin marak, dimana perempuan dikatakakan sempurna jika telah memiliki suami dan anak. Perempuan, baik ia berdiri sebagai perempuan atau sebagai seorang ibu belum menjadi subjek yang utuh. Identitas dan keberadaan keduanya hanya akan dianggap ada ketika telah dilekatkan dengan subjek atau peran terhadap subjek lain (terutama laki-laki). Hari ini dan entah sampai kapan, kemuliaan menjadi seorang ibu, bukan diidentifikasikan karena perempuan tersebut memang memiliki sifat feminin yang mengasihi, melayani, dan merawat, tentunya dengan cara dan kemampuan individu. Sebaliknya, perempuan akan bisa mendaku diri dalam kelompok “status ibu yang mulia”, ketika dia sudah menjalankan peran yang diwajibkan kepada mereka sebagai istri dan ibu dengan standar yang dibangun dalam logika patriarkal dan menggunakan standar kebahagiaan laki-laki. Maka dari itu, pendefinisian “ibu yang baik” kiranya perlu ditinjau kembali. Menjadi seorang ibu, bukan didasarkan pada tuntutan apakah dia harus memberikan ASI Eksklusif, harus tinggal di rumah untuk merawat anak-anak seharian penuh, harus merasakan melahirkan secara normal, ataukah harus mengandung dan melahirkan sendiri anak-anak yang mereka cintai. Menjadi seorang ibu, lambat laun terus menjadi peran yang mungkin dihindari banyak perempuan, mengingat “syarat” menjadi ibu sungguh kompleks dengan berbagai perkembangan wacana tersebut. Ketika wacana “ibu yang baik” terus berkembang, maka perempuan telah menjadi objek yang dengan senang hati bersedia didominasi, dengan justifikasi alamiah berupa pemberian pelayanan terbaik bagi anak-anak mereka. Sebutan ibu juga milik mereka yang memilih menitipkan anak di daycare, yang memilih memberikan susu formula untuk bayi mereka, ataupun yang memilih tidak melahirkan sendiri anak-anak mereka. Makna ibu jauh lebih mulia daripada sekadar perdebatan tentang full time mommy maupun yang memilih bekerja di luar rumah, jauh dari sekadar memilih memberikan ASI atau susu formula. Karena ialah ibu yang selalu mengasihi, melayani, dan merawat. Karena ialah ibu, bahkan ketika tidak mengandung, melahirkan, dan menyusui bayi-bayi mereka. Cinta kasih dan keikhlasannya terlalu kuat menjadikan perempuan sebagai ibu, tanpa harus terkungkung dalam wacana “tuntutan sebagai ibu yang baik”. Setiap ibu adalah baik bagi bayi-bayi kecil mereka, karena ia seperti bumi yang terus mengalirkan kehidupan dan menjamah melalui sentuhan kasihnya. Setiap mata yang memancar keteduhan adalah ibu, setiap bibir yang melayangkan senyum adalah ibu, setiap tangan yang menebarkan kasih sayang adalah ibu, setiap hati yang penuh cinta adalah ibu. Selamat Hari Ibu! ![]() Jejak perempuan dalam dunia seni rupa di Bali bisa diibaratkan sebagai oase di tengah gurun pasir. Jika bukan karena minimnya arsip yang mencatat perjalanan kesenimanannya, kurangnya partisipasi perempuan dalam event seni rupa pun semakin menjauhkannya dalam jangkauan radar/perhatian publik seni. Entah karena perempuan perupa Bali luput dari perhatian atau dalam segi karya dan intelektualitas masih dinilai tidak representatif tampil dalam ruang pameran. Salah satu ruang yang pernah berkembang untuk mewadahi perempuan pelukis di Bali adalah Seniwati (1991-2012), berlokasi di daerah Ubud dan diketuai oleh Mary Northmore, seorang aktivis sosial berkebangsaan Australia. Kelompok Seniwati terbentuk diawali dari keinginan Mary mencari perempuan pelukis di Bali yang pada masa itu jarang ditemukan karya-karya perempuan di ruang museum dan galeri. Seniwati telah berhasil memberikan akses bagi perempuan pelukis dengan mengadakan pameran lukisan dalam intensitas yang bahkan mampu membawa nama kelompok ini hingga ke kancah internasional. Selain itu Seniwati memiliki ruang galeri sendiri, sehingga karya-karya mereka tetap bisa dilihat dan dinikmati. Namun dalam perkembangannya, Seniwati tetap membawa risiko akan kecenderungan karya dengan visual yang sama. Jumlah pelukis tradisi yang mendominasi kelompok ini belum siap secara mental mengikuti arus perkembangan seni. Meskipun seorang pelukis tradisi telah meraih pencapaian teknisnya namun tema-tema dalam lukisan sifatnya repetitive, (melulu) mengenai alam, ritual dan kehidupan sosial. Karya-karya semacam ini ternyata mengalami kesulitan untuk menyesuaikan dengan paradigma seni yang selalu membutuhkan suatu pembaruan baik dari segi estetika dan isu-isu kekinian. Tema-tema dalam lukisan tradisi kerap dianggap delusif dan berbeda semangat zamannya. Hingga kemunculan IGAK Murniasih yang menjadi anomali diantara perempuan pelukis lainnya di dalam kelompok Seniwati. Perjalanan Murniasih sebagai pelukis sesungguhnya diluar dugaan dalam konstelasi seni rupa Indonesia mengingat latar belakang akademisnya yang nonseni. Lahir pada 4 Juli 1966 dan meninggal pada 11 Januari 2006, keberaniannya mengangkat tema-tema di seputar tubuh perempuan yang kerap dianggap tabu ternyata justru menarik minat intelektual untuk melakukan kajian terhadap karyanya. Setelah kematiannya, nasib karya-karyanya nyaris tidak terdengar bahkan kondisi studionya di daerah Nyuh Kuning, Ubud telah dirobohkan karena habis masa kontrak. Untuk memperingati 10 tahun kematiannya, sebuah komunitas yang berbasis di daerah Batubulan yaitu Ketemu Project Space menginisiasi sebuah program bertajuk “Merayakan Murni” dengan fokus utamanya yaitu mendukung perkembangan Yayasan Murni melalui pengarsipan karya-karya dan data tulisan mengenai Murni. Kemudian mengajak segenap seniman baik di Bali maupun di luar Bali untuk merespons tema-tema yang diangkat Murni ke dalam karya mereka yang rencananya akan direalisasikan tahun depan melalui sejumlah pameran. Pada peluncuran program ini (8/12), Budi Agung Kuswara selaku salah satu pendiri Ketemu Project Space memaparkan awal mula program ini bisa mulai diwujudkan. Gagasan untuk menghidupkan kembali Murni, selain dari segi karya-karyanya yang masih relevan dengan persoalan konsep tubuh dan seksualitas pun didukung oleh suaminya, Mondo -laki-laki berdarah Itali yang sangat memuja pemikiran dan karya-karya Murni. Murni merupakan seorang anak dari sebuah keluarga petani miskin di Bali, yang kemudian bertransmigrasi ke Sulawesi. Ia menjadi pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga etnis Tionghoa di Ujung Pandang. Keluarga inilah yang menyekolahkan Murni sampai kelas dua SMP sebelum kemudian mereka pindah ke Jakarta. Tahun 1987 Murni kembali ke Bali dan bekerja sebagai pembuat perhiasan perak di Celuk-Gianyar. Ia kemudian menikah, tapi karena tidak dikaruniai anak dan suaminya ingin menikah lagi, Murni menuntut cerai dari suaminya. Sejak tahun 1995 Murni belajar melukis pada Dewa Putu Mokoh dan debutnya sebagai perempuan pelukis di Bali semakin berkembang ketika bergabung dengan grup Seniwati. Begitulah catatan biografis singkat Murni yang secara garis besar dihubungkan dengan karya lukisnya dan terindikasi dalam aspek struktur naratif dimana banyak menampilkan imaji pertentangan antara laki-laki dan perempuan (oposisi biner). Mengenai sudut pandang oposisi biner ini kerap tampak pada karya perempuan perupa di Indonesia yaitu Arahmaiani dalam karya performanceHis-Story. Dalam performance ini tampak seorang laki-laki menuliskan kalimat berbahasa Inggris dan Jepang yang kurang lebih mengenai sejarah yang ditulis dengan darah, di sisi lain Arahmaiani hadir sebagai seorang perempuan yang memerhatikannya. Secara intrinsik performance tersebut telah menyatakan bahwa sejarah bersifat maskulin atau dengan kata lain realitas dikonstruksi oleh yang superior. Dalam hal pertentangannya dengan laki-laki dan ideologi patriarki seperti dalam karyanya tersebut, Arahmaiani menggunakan tubuhnya sebagai aktor sedangkan jika dibandingkan dengan Murni, ia memindahkan tubuhnya ke dalam kanvas dengan lebih tematis. Tubuh perempuan yang tematis dalam karya Murni hadir bukan sebagai tubuh realis atau yang mirip dengan realitasnya. Hal ini ditegaskan oleh Acep Iwan Saidi (2008: 213) mengenai konsep tubuh Murni yang hadir sebagai tubuh yang mengalami proses semiosis sehingga ia cenderung lebih bersifat simbolik. Maka yang menjadi fokus dalam lukisan Murni bukan kehadiran tubuh secara visual, melainkan bagaimana tubuh tersebut bisa menjadi tanda untuk mengomunikasikan gagasan yang disampaikan. Hadir dengan teknik Pengosekan dengan warna-warna cerah nan dramatis serta garis outline pada figur lukisannya, membaca dan mengamati karya-karya lukis Murni maka akan muncul dua kata kunci yang menjadi gagasannya dalam berkarya. Yang pertama adalah seksualitas jika ditinjau dari kencenderungan konten visualnya yang hampir sebagian besar menampilkan imaji phallus, vagina, narasi dan interaksi seksual yang kerap dianggap tabu. Kecenderungan Murni menampilkan konten semacam itu terkesan sangat berani, apalagi posisinya sebagai perempuan yang lazimnya merasa malu untuk mengumbar bagian tubuhnya. Selain itu, interaksi seksual yang banyak ditampilkan oleh Murni adalah hubungan-hubungan yang ganjil, liar dan imajinatif. Misalnya saja dalam karya “Bikin Pleasure” yang menampilkan tubuh perempuan yang disenggamai oleh senjata tajam (arit) dalam dominasi warna merah dalam latar belakangnya yang cukup mengintervensi objek visual di dalamnya. Arit yang merupakan alat pemotong rumput telah beralih fungsi menjadi pemberi sensasi terhadap tubuh. Karya tersebut tentu hadir sebagai paradoks dalam interaksi seksual. Rasa sakit telah dimaknai sebagai sumber kenikmatan tentu hal ini juga mengindikasikan adanya kecenderungan sadomasokisme dalam beberapa karya Murni yang lain. Kemudian yang kedua adalah feminisme jika dicermati dari konteks Murni dalam berkarya dengan menampilkan visual tubuh dan dirinya sebagai representasi dari permasalahan yang dihadapi oleh banyak perempuan dalam lingkungan sosial dan kultural. Dalam konteks sosial hidupnya, Murni adalah seorang perempuan berdarah Bali yang juga hidup dalam norma-norma dan adat yang berkembang di sana. Dalam struktur masyarakat adat Bali, perempuan memiliki posisi yang lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki. Sehingga dalam berbagai hal perempuan memiliki berbagai keterbatasan untuk mengungkapkan gagasannya secara politik maupun kebebasan dalam mengekspresikan dirinya. Perempuan dalam struktur adat Bali dibelenggu oleh norma dan konstruksi sosial lainnya. Bahkan mungkin tidak hanya di Bali, hal ini bisa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam konteks inilah kehadiran karya Murni dapat dimaknai sebagai pendobrak nilai dan norma yang selama ini direkatkan pada diri perempuan. Melalui program “Merayakan Murni” kita akan melihat bagaimana relevansi dari jejak dan pemikiran Murni dalam konteks sosial hari ini. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |