Ayom Mratita Purbandani (Mahasiswi S1 Filsafat, Universitas Gadjah Mada) “Tuhan melangkah keluar dari surga, menjelma, dan melakukan hal baru di antara orang-orang yang tertindas untuk mengubah seluruh dunia.” – Pamela R. Lightsey Pamela R. Lightsey menulis buku ringkas sepanjang 128 halaman berjudul Our Lives Matter: A Womanist Queer Theology (2015) yang terdiri atas tujuh bagian yang mengekplorasi penindasan yang terjadi pada kelompok LGBTQIA+ kulit hitam. Tak banyak buku yang membahas mengenai kelompok queer kulit hitam. Untuk alasan itulah, Lightsey membangun pemikirannya dalam buku ini. Dalam pengantar buku tersebut, kalimat pertama yang Lightsey tuliskan merupakan identifikasi atas identitas dirinya: “I am a black queer lesbian womanist scholar and Christian minister” (Lightsey, 2015: 6).
0 Comments
Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia
Hariman bingung saat pamannya, Lik Kung, mengatakan ia akan memberinya uang sebesar satu juta rupiah. Awalnya Hariman heran darimana Lik Kung mendapatkan uang karena setahu Hariman ia tidak punya uang dan yang lebih mengherankan lagi, bagaimana ia bersedia membagi uang yang ia dapatkan. Lik Kung terkenal sangat amat pelit bahkan untuk bersedekah dua ribu perak di masjid saja ia bisa membahasnya sampai tiga kali sholat Jumat. Mulut Hariman sudah ingin menanyakan tapi urung, entah kenapa ia merasa segan. Seakan gayung bersambut, Lik Kung membuka sendiri dari mana uang itu datang. Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia
Sabtu, genap dua minggu Ibu mengurung diri di rumah. Sepanjang empat belas hari itu tidak ada seulas senyum-pun di wajah Ibu. Makanan yang dimasak di meja hampir-hampir tak disentuhnya kecuali barang satu dua suapan saja. Beberapa temannya menelepon menanyakan kabarnya dan dari balik pintu kamarnya aku bisa mendengar suara jawaban Ibu, sedang kurang enak badan. Satu dua orang tetangga juga datang bertandang tetapi Ibu menolak menerima dan menyuruhku mengatakan bahwa Ibu sedang sakit. Esa Geniusa (Mahasiswi S1 Filsafat, Universitas Gadjah Mada) Seiring berjalannya zaman, saya mengamati bahwa terdapat berbagai bentuk pergerakan yang diinisiasi oleh masyarakat dunia, baik nasional maupun internasional. Secara pribadi saya menyadari bahwa kehidupan di dunia tidak dapat terlepas dari propaganda. Hidup dalam keluarga yang erat dengan isu-isu pergerakan menjadikan saya sebagai pribadi yang peduli pada bentuk pergerakan itu sendiri. Terjadinya pergerakan di Indonesia sering sekali dilandasi dengan dasar rasa persatuan dan kesetaraan yang dirasakan, hal ini salah satunya terbentuk pada model pergerakan perempuan. Bentuk dari pergerakan perempuan di Indonesia telah mengalami kemajuan. Pernyataan ini didukung dengan hadirnya berbagai pergerakan yang muncul, baik dari skala kecil maupun besar serta melalui platform media hingga orasi yang didengungkan. Berdasarkan hal ini tanpa disadari membuat saya ingin melihat lebih jauh bagaimana sejatinya bentuk dari pergerakan perempuan di Indonesia, serta bentuk perkembangan dan persoalan yang hadir di dalamnya. Nurma Yulia Lailatusyarifah (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Beranjak dewasa, saya belajar bahwa mengekspresikan amarah tidaklah mudah. Amarah adalah suatu bentuk emosi intens yang melambangkan ketidaknyamanan dan ketidaksenangan terhadap seseorang atau sesuatu yang dinilai salah. Akan tetapi, amarah sebagai emosi alamiah manusia kerap dilabeli sebagai emosi yang maskulin. Laki-laki dan amarah merupakan dua gagasan yang jika diposisikan berdampingan tidak perlu dipertanyakan kesesuaiannya. Berbeda halnya dengan perempuan. Sejak kecil, sebagian besar perempuan didukung untuk merawat karakter-karakter feminin, seperti kelemah lembutan, kepedulian, dan kepatuhan. Perempuan diwajibkan untuk mengendalikan dirinya dengan baik agar tidak menunjukkan emosi seperti amarah karena perempuan yang menunjukkan amarah dipandang sebagai perempuan yang tidak stabil, pembangkang, dan tidak feminin. Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia (Mantan Badan Pekerja Komnas Perempuan dan Pengembang Safe Circle, Komunitas Pemberdaya Jiwa untuk Perempuan dan Minoritas) Apakah seorang seperti aku diperbolehkan semesta untuk jatuh cinta? Apakah seorang pekerja seks seperti aku mampu mendapat kasih sayang alam untuk bisa bersama dengan orang yang aku cintai? Jika takdir bisa mempersatukan orang yang bahkan tidak saling cinta selama puluhan tahun, kenapa takdir tidak berkenan untuk menyatukan aku dan dia? Retno Daru Dewi G. S. Putri (Tim Redaksi Jurnal Perempuan) Tepat pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, saya dan seorang teman menonton film berjudul Smile. Film garapan Parker Finn tersebut bercerita tentang seorang psikolog, Rose, yang mengalami delusi setelah menyaksikan pasiennya bunuh diri dengan mengenaskan. Ia dihantui oleh berbagai macam sosok yang membuatnya juga ingin menghabisi nyawanya sendiri. Setelah dicari tahu, Rose menemukan bahwa delusi tersebut dialami secara berantai oleh orang-orang yang bunuh diri sebelumnya. Kadek Ayu Ariningsih (Mahasiswa Pascasarjana Filsafat, Universitas Gajah Mada) Sebagai perempuan asal Bali yang setahun terakhir menghabiskan lebih banyak waktu di pulau Jawa, tepatnya Yogyakarta, saya merasakan intensi keindahan budaya Jawa. Batik menjadi salah satu budaya Jawa yang menjadi favorit saya. Intensi saya terhadap batik dimulai ketika saya menonton Pagelaran Wayang Topeng Panji di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Batik sendiri sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi saya, toko-toko penjual Batik di Bali cukup mudah ditemukan. Saya sendiri memiliki sebuah atasan Batik yang sesekali saya gunakan dalam acara tertentu. Selama menyaksikan Pagelaran Wayang Topeng Panji, saya mengamati busana para penari yang berpadu padan dengan Batik. Saya melihat bahwa adanya situasi yang ‘agung’ selama pagelaran turut didukung oleh keberadaan Batik yang dikenakan oleh para penarinya. Relatif singkatnya waktu saya di Jogja dan interaksi saya yang minim dengan batik mengarahkan saya melakukan penelusuran literatur tentang Batik. Pembacaan literatur tersebut masih sangat terbatas, meski demikian, ini adalah upaya untuk memahami subjektifitas pribadi saya sendiri terhadap keindahan Batik. Penelusuran tersebut bukanlah suatu yang terkategori sebagai aktifitas ilmiah namun menjadi cukup menarik untuk sedikit menulis dan membagikannya. Wanda Roxanne Ratu Pricillia (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Gender, Universitas Indonesia) Tahun lalu, Penerbit Odise menerbitkan buku saya dengan judul “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”. Ada 20 artikel dalam buku saya, dan dua diantaranya membahas mengenai kelajangan, yaitu “Stigma, Penghalang Potensi Perempuan Lajang” dan “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”. Dengan judul itu, saya memberikan penekanan bahwa menjadi lajang memang bukan masalah, di tengah masyarakat yang mempermasalahkan kelajangan itu sendiri. Jadi, menjadi perempuan lajang itu masalah atau bukan? Saya pernah diundang untuk membahas buku ini. Dalam pembahasan itu, penanggap buku saya menyampaikan bahwa tidak masalah menjadi perempuan lajang asal melakukan hal-hal yang bermanfaat dan meyakini jika pada suatu saat akan menemukan pasangan yang tepat. Saya setuju, sekaligus tidak. Pada akhirnya, kehidupan ideal tentang pernikahan dalam masyarakat adalah norma dan normal bagi kita. Masyarakat tidak dapat menerima orang-orang yang melajang atau selibat (celibate) seumur hidupnya. “Kita mengondisikan anak-anak gadis kita untuk mencita-citakan pernikahan, tapi kita tidak mengondisikan anak laki-laki dengan cara yang sama, artinya sedari awal sudah ada ketidakseimbangan yang mengerikan. Gadis-gadis akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang sibuk memikirkan pernikahan. Anak laki-laki akan tumbuh menjadi pria yang santai saja soal pernikahan”, menurut Chimamanda Ngozi Adichie dalam buku “A Feminist Manifesto”. Kita dikondisikan untuk membentuk harga diri salah satunya melalui pernikahan atau status berpasangan. Sejak kecil kita diajarkan dan disosialisasikan di rumah, keluarga, sekolah, pemerintahan, dan semua tempat di Indonesia bahkan sejak kecil bahwa suatu saat kita pasti akan menikah. Sebagai perempuan, kita diajarkan sedini mungkin juga untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, bermain peran menjadi istri atau ibu, dan semua ekspektasi gender lainnya yang dilekatkan pada kita. Stigma dan Stereotip Pada Lajang Menjadi lajang seringkali dipermasalahkan dan status lajang itu sendiri memiliki stigma dan stereotip yang menyertai. beberapa penelitian (DePaulo & Morris, 2006; Morris, DePaulo, Hertel, & Taylor), pada penelitian pertama menunjukkan bahwa orang-orang yang sudah menikah dideskripsikan secara positif daripada orang-orang yang melajang seperti dianggap baik, penyayang, stabil, bahagia dan puas. Para lajang dideskripsikan dengan negatif seperti rasa tidak aman, kesepian, keras kepala dan jelek, dan deskripsi positifnya seperti lebih independent, mudah bergaul dan lebih seru (Pignotti dan Abell, 2009). Pada penelitian kedua, orang-orang yang menikah dianggap lebih mudah beradaptasi, matang secara sosial, lebih seru hidupnya. Sedangkan para lajang dianggap self-centered, iri hati, dan berorientasi pada karir. Penelitian-penelitian ini sesuai dengan hal-hal yang saya alami sendiri dan juga orang-orang di sekitar saya. Beberapa hari lalu saya bertanya pada teman-teman saya di Instagram mengenai stereotip pada orang-orang yang melajang atau jomblo. Mereka dianggap terlalu memilih, akan dianggap perawan tua, tidak laku, expired, tidak bahagia, kesepian, dianggap homoseksual, dibandingkan dengan yang sudah memiliki pasangan, dianggap aneh, tidak normal, dianggap tidak bisa bergaul, menyedihkan, dan akan dikasihani karena tidak segera menikah. Saya juga mengalami semua hal yang telah dikatakan teman-teman saya di atas. Banyak nasihat yang diberikan juga kepada saya seperti “jangan terlalu memilih”, padahal untuk membeli buah saja kita pasti memilih yang terbaik, apalagi dengan pasangan. Stigma bahwa perempuan akan menjadi perawan tua, tidak laku atau expired berhubungan langsung dengan penghargaan diri dan ekspektasi gender pada perempuan untuk menikah dan memiliki anak. Masyarakat dengan norma heteroseksual menganggap bahwa semua orang pasti ingin menikah dan ingin memiliki anak secara biologis. Sama seperti para lajang pada umumnya, sebagai perempuan di “usia menikah”, sebagian anggota keluarga saya juga mendorong saya untuk segera memiliki pasangan dan segera menikah. Salah satu dari mereka mengatakan, “Kalau kamu nikah usia 30, kamu akan tua saat anakmu sudah sekolah. Jaraknya terlalu jauh dan udah gak sekuat saat muda”. Mereka menganggap saya sudah pasti menginginkan anak secara biologis, sama seperti mereka dan semua keluarga saya. Kelajangan dan Kebahagiaan Tren global menunjukkan bahwa menjadi lajang adalah sebuah gaya hidup yang semakin lama semakin bertambah persentasenya. Di Amerika, Australia, dan Asia menunjukkan peningkatan jumlah orang-orang yang melajang dan pernikahan menjadi kurang diminati meski secara normatif masih diharapkan pada orang dewasa (Himawan dkk, 2017). Indonesia juga menunjukkan tren yang sama dengan global, meski proporsi melajang tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Hong Kong, Jepang, Taiwan dan Singapura, namun angka orang-orang yang melajang menjadi meningkat (Gull, 2002; Jones, 2010). Bersama dengan peningkatan jumlah orang-orang yang melajang, diikuti juga dengan peningkatan kualitas hidup diantara para lajang (Himawan dkk, 2007). Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam antara kebahagiaan orang-orang yang melajang dan yang menikah. Penelitian Myers (2000) menunjukkan bahwa orang yang menikah lebih bahagia daripada para lajang. Data Badan Pusat Statistik (2015) yang menunjukkan bahwa level kebahagiaan para lajang 68,77% dan level kebahagiaan yang sudah menikah 68,74% (Himawan dkk, 2017). Namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa para lajang lebih bahagia yaitu 65,31% dan yang menikah 64,99%. Seperti yang disampaikan teman-teman saya mengenai stereotip menjadi lajang, saya juga pernah dikasihani, dianggap kesepian dan dianggap tidak sempurna kebahagiaan saya karena melajang. Padahal kesepian adalah manusiawi serta manusia tidak bisa selalu bahagia setiap saat, saya memiliki banyak teman, banyak aktivitas yang bisa dilakukan para lajang selain pekerjaan atau sekolah, juga tentu saja dapat sepenuhnya bahagia sendirian. Teman-teman saya juga mengatakan bahwa melajang juga menyenangkan karena hidup mereka lebih bebas menentukan keinginan mereka, memiliki waktu untuk mengenal diri lebih banyak, memiliki kesempatan untuk memaksimalkan potensi diri, dan mencoba hal-hal baru. Ester Lianawati dalam bukunya “Ada Serigala betina dalam Diri Setiap Perempuan” mengatakan bahwa kehidupan lajang itu sendiri tidak membuat mereka tertekan, malah bisa jadi sangat memuaskan. Perempuan tidak tertekan oleh kelajangannya, ia tertekan oleh pandangan dan perlakuan orang-orang di sekitarnya terkait kelajangan mereka (Lianawati, 2020). Masyarakat masih tidak bisa menerima bahwa para lajang terutama perempuan, bisa sepenuhnya bahagia dengan status lajang mereka dan mereka masih menganggap bahwa pasangan terutama dalam pernikahan akan membuat hidup mereka lengkap atau sempurna. Seli Muna Ardiani (Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Enam tahun yang lalu, disebuah perbincangan, saya bersama beberapa rekan saling bertukar cerita mengenai pengalaman mendapatkan sexual harassment atau pelecehan seksual di masa remaja. Tentu penyebutan istilah ini kami sematkan setelah cukup mengetahui apa itu pelecehan seksual. Ingatan samar kami berisikan penilaian masa lalu terhadap tubuh yang tersakiti, kotor, menjijikkan, bahkan berdosa. Hampir keseluruhan dari kami menyimpan anggapan tersebut bertahun-tahun, tanpa sedikitpun pemahaman mengenai apa itu pelecehan dan kekerasan seksual. Kisah-kisah tersebut membuat kami menyimpulkan bahwa, sangat mungkin perempuan telah mengalami pelecehan tanpa tahu otonomi atas tubuhnya dilanggar. Melalui perbincangan inilah saya kemudian tertarik untuk mengetahui bagaimana awal mula istilah ‘sexual harassment’ dirumuskan. Sejarah Awal dan Diskusi yang Berkembang Sebelum periode 1970-an, istilah pelecehan seksual ternyata belum ditemui baik dalam naskah akademik, laporan, maupun surat kabar. Istilah tersebut baru dirumuskan oleh dua tokoh besar gerakan feminisme di Amerika, yakni Lin Farley dan Catharine A. MacKinnon. Reva B. Siegel dalam tulisannya A Short History of Sexual Harassment menyebut bahwa dua tokoh ini membawa pengaruh besar dalam sejarah perumusan dan implementasi konsep pelecehan seksual di dalam kebijakan Amerika pada saat itu. Meski secara istilah baru diformulasi pada periode 70-an, laporan pekerja buruh perempuan sudah mencatatkan pengalaman-pengalaman yang kemudian disebut sebagai pelecehan seksual. Catatan pertama tersebut dituliskan oleh Helen Campbell pada tahun 1887 yang berjudul “Women Wage Workers”. Dalam laporan ini, Campbell sudah mengidentifikasi bentuk-bentuk pemerasan seksual (sexual extortion) yang dialami perempuan pekerja pabrik dan industri garmen di Amerika. Berbekal dari pelbagai pengalaman buruh perempuan, Farley dalam sesi pengajarannya di Universitas Cornell tahun 1975 melakukan survey bersama Working Women United. Mereka menemukan suatu pola: kebanyakan para pekerja perempuan berhenti atau dipecat dari pekerjaan karena mereka dibuat tidak nyaman oleh perilaku laki-laki. Upaya perumusan juga dilakukan oleh MacKinnon dalam bukunya “Sexual Harassment of Working Women” (1979). Melalui karya inilah MacKinnon mempopulerkan istilah pelecehan seksual yang ia amati dalam lingkungan kerja. Ia medefiniskan pelecehan seksual sebagai “sexual harassment, most broadly defined, refers to the unwanted imposition of sexual requirements in the context of a relationship of unequal power”. Melalui definisi MacKinnon, pelecehan seksual mensyaratkan suatu kondisi tindakan yang tidak diinginkan dan dibawah ketimpangan kekuasaan. Pendefinisian inilah yang kemudian menjadi capaian gerakan feminisme Amerika, karena untuk pertama kalinya perlindungan terhadap pelecehan seksual mampu dimasukkan dalam Title VII atau Undang-Undang Hak Sipil di Amerika. Sebagai definisi, kategori situasi yang tidak diinginkan dan relasi kuasa adalah terobosan cemerlang dari MacKinnon. Namun dalam perkembangan intelektual feminisme, teori ini terus mengalami evaluasi. Salah satu gagasan yang mengoreksi pandangan MacKinnon datang dari Anita M. Superson. Ia tidak sependapat bahwa parameter tindakan pelecehan seksual dilihat dari situasi yang tidak diinginkan. Batasan ini dianggap bermasalah karena tidak cukup menggambarkan dampak buruk yang menimpa jenis kelas tertentu yakni perempuan. Bagi Superson, seorang korban tidak perlu lagi ditanyai apakah ia mengingankan atau tidak tindakan terhadapnya (Superson, 1993). Superson melalui definisi objektifnya mendapatkan dukungan dari beberapa pemikir seperti Jenna Tomasello dan Carol Hay. Sementara itu, diskusi yang lebih mutakhir seperti pandangan Vicki Schultz dan Margaret A. Crouch. Keduanya sama-sama mengoreksi pandangan MacKinnon yang dinilai heterosentris (Crouch, 2001). Schultz dan Crouch memahami bahwa pelecehan seksual dapat diterima siapa saja. Selain itu, hampir sama dengan gagasan Superson bahwa dengan melihat dampak buruk pelecehan seksual suatu tindakan juga berlaku sama terhadap suatu kelompok kelas. Melalui pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan juga berarti pelecehan terhadap seluruh kelompok perempuan. Silang pendapat konsep pelecehan seksual di dalam tubuh feminisme agaknya terus berkembang hingga saat ini. Bahkan Crouch sendiri dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada definisi tunggal mengenai pelecehan seksual. Perkembangan Konsep Pelecehan Seksual di Indonesia Dalam perkiraan kasar saya, publik Indonesia mulai mengakrabi istilah pelecehan seksual sejak periode tahun 90-an akhir dan awal 2000-an. Rentang waktu tersebut saya ketahui ketika mulai melacak kembali pelbagai laporan kekerasan terhadap perempuan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan). Tentu perkiraan ini bisa saja keliru, sebab saya hanya mengukurnya dengan parameter penggunaan istilah di dalam laporan akademik. Terlepas dari kemungkinan itu, laporan-laporan berikut ini menjadi catatan awal bagi publik untuk mengenali sejarah diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Pada bulan November tahun 1999, istilah pelecehan seksual dipakai dalam seri dokumen kunci Komnas Perempuan. Seri ini berisikan temuan tim gabungan pencari fakta peristiwa kerusuhan Mei 1998. Dalam cakupan yang lebih umum, pelecehan seksual hanyalah satu bagian dari beberapa kategori kekerasan seksual yang banyak menimpa perempuan etnis Tionghoa. Kejahatan seksual masal lainnya adalah perempuan korban peristiwa 1965. Kebanyakan dari mereka adalah istri tahanan politik serta yang dilabeli dengan Gerwani. Laporan yang terakhir ini diterbitkan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2007. Kemudian pada laporan tahun 2010, pelecehan seksual dimasukkan dalam 15 bentuk kekerasan seksual meliputi: Perkosaan; Intimidasi Seksual; Pelecehan Seksual; Eksploitasi Seksual; Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual; Prostitusi Paksa; Perbudakan Seksual; Pemaksaan Perkawinan; Pemaksaan Kehamilan; Pemaksaan Aborsi; Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi; Penyiksaan Seksual; Penghukuman Tidak Manusiawi yang Bernuansa Seksual; Praktik Tradisi Bernuansa Seksual yang Membahayakan dan Mendiskriminasi; serta Kontrol Seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moral dan agama. 15 bentuk kekerasan seksual inilah yang kemudian dirumuskan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2017. Melalui jalan terjal, RUU PKS yang diganti judul menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) berhasil disahkan menjadi UU TPKS pada 12 April 2022 dengan hanya mengakomodir 9 jenis kekerasan seksual. Antara Bahasa Hukum dan Perdebatan Akademik Bahasa hukum adalah bahasa kesepakatan, sementara bahasa akademik dipenuhi dengan perdebatan. Kendati konsep pelecehan seksual sudah masuk di dalam 9 jenis kekerasan seksual UU TPKS, perdebatan akademik mengenai konsep tersebut patut terus dikaji. Bukan hanya pada konsep pelecehan seksual saja yang telah dibahas oleh pemikir feminis selama ini, namun juga konsep kekerasan seksual secara umum. Di ruang akademik, perdebatan konsep pelecehan seksual jauh lebih sengit karena menghadapkan berbagai perspektif. Sebagaimana penjelasan saya di atas mengenai pendefinisian awal oleh MacKinnon, definisi pelecehan seksual terus diperiksa. Sementara istilah hukum lebih berupa bahasa objektif yang secara fungsional digunakan sebagai payung penegakan keadilan. Kebutuhannya didesak oleh nasib para korban di lapangan. Tentu perdebatan pendefinisian pelecehan seksual di dalam teori feminisme akan memengaruhi suatu kebijakan hukum. Namun saya melihatnya sebagai suatu proses berkelindan yang lagi-lagi terus mengevaluasi diri. Baik dalam segi pengembangan teori feminisme maupun konsep pelecehan seksual yang tersedia dalam bahasa hukum. Melalui pemahaman ini setidaknya kita menyadari bahwa pelecehan seksual bukanlah konsep final. Di ruang akademik, silang pendapat tentu tidak bisa dilepaskan dari landasan utama konseptualisasi ini. Yakni mengupayakan keadilan bagi korban pelecehan seksual. Spirit inilah yang kiranya akan melapangkan dada setiap pemerhati isu pelecehan seksual. Bahwa konsep ini akan terus dikaji ulang dan memungkinkan pengetahuan bagi semua individu. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
April 2024
Categories |