![]() Tenaga Kerja Wanita (TKW) menjadi salah satu penyumbang terbesar devisa negara Indonesia. Perempuan yang bekerja di luar negeri sudah tidak tabu lagi untuk dibicarakan, tuntutan ekonomi dan berbagai faktor lainnya menjadikan profesi sebagai TKW di luar negeri dianggap hal yang lumrah saat ini. Kebutuhan hidup yang semakin menjerat, lapangan kerja di dalam negeri yang tidak memberi ruang membuat banyak perempuan Indonesia menangkap peluang lain yakni menjadi TKW, yang dianggap lebih menjanjikan. Nilai tukar mata uang luar negeri yang lebih menggiurkan menjadi salah satu faktor penarik tingginya minat perempuan bekerja di luar negeri. Banyak negara yang menjadi tujuan TKW Indonesia, seperti Arab Saudi, Taiwan, Hongkong, Singapura, dan tak ketinggalan negara jiran, Malaysia. Pusat Pengembangan dan Informasi (Puslitfo) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat, sepanjang tahun 2014 dari jumlah penempatan TKI sebanyak 429.872 orang di 25 negara, tertinggi adalah Malaysia 127.827 orang, Taiwan 82.665, Arab Saudi 44.325, Hong Kong 35.050, Singapura 31.680, Oman 19.141, Uni Emirat Arab (UEA) 17.962, Korea Selatan 11.848, Brunei Darussalam 11.616, Amerika Serikat 9.233, Qatar 7.862, Bahrain 5.472, Jepang 2.428, Kuwait 1.714, Itali 1.295, Turki 1.246, Cina 915, Kepulauan Fiji 902, Spanyol 889, Mauritius 838, Kanada 830, Belanda 796, Thailand 717, Australia 644, dan Afrika Selatan 587. Sedangkan sisanya sebanyak 11.390 TKI tersebar di berbagai negara penempatan lainnya. Malaysia Digemari TKW Salah satu alasan negara Malaysia banyak diminati TKW Indonesia karena terkait masalah bahasa, seperti dikutip dari http://tempo.co, kesamaan bahasa Malaysia dan Indonesia ini menjadi daya tarik tersendiri bagi TKI asal Indonesia untuk bekerja di sana. Ini terkait dengan lebih mudahnya syarat yang diperlukan bagi calon TKI karena tidak perlu repot belajar bahasa asing seperti misalnya jika negara tujuannya adalah Taiwan, Singapura, atau Jepang. Perempuan yang menjadi TKI lebih banyak dibanding laki-laki, BNP2TKI mencatat bahwa pada tahun 2011-2014, selama empat tahun terakhir tersebut persentase penempatan TKW selalu melebihi laki-laki. Penempatan TKI tahun 2011 sebanyak 586.802 orang, terdiri dari 376.686 TKI perempuan (64 persen) dan 210.116 TKI laki-laki (36 persen). Tahun 2012 sebanyak 494.609 TKI, terdiri dari 279.784 TKI perempuan (57 persen) dan 214.825 TKI laki-laki (43 persen). Tahun 2013 sebanyak 512.168 TKI, terdiri dari 276.998 TKI perempuan (54 persen) dan 235.170 TKI laki-laki (46 persen). Tahun 2014 sebanyak 429.872 TKI, terdiri dari 243.629 TKI perempuan (57 persen) dan 186.243 TKI laki-laki (43 persen), dan di tahun 2015 hanya dalam periode Januari-Februari jumlah TKI yang diberangkatkan telah mencapai 47,957 orang, 29.890 orang perempuan dan 18.067 laki-laki dan sebagian besar diantaranya bekerja pada sektor domestik (domestic worker) yakni berjumlah 11.954 pekerja. Jumlah tersebut hanya berdasarkan data yang tercatat atau yang dapat dihimpun oleh BNP2TKI, namun pada kenyataannya masih begitu banyak penempatan TKI tanpa melalui penyalur tenaga kerja resmi. Dengan kata lain jumlah TKI atau TKW jauh lebih banyak dibanding data yang tercatat. Terutama di negara Malaysia yang paling berpotensi untuk menampung TKW/TKI ilegal. Jumlah TKW yang bekerja di Malaysia setiap tahunnya mengalami peningkatan, Malaysia memiliki daya tarik yang kuat bagi TKW Indonesia begitu juga sebaliknya, TKW asal Indonesia banyak dicari oleh warga Malaysia terutama untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang tanpa memerlukan pendidikan dan keterampilan khusus. Meningkatnya jumlah TKW yang datang ke negara Malaysia beriringan dengan tingginya risiko terjadinya tindak kekerasan maupun permasalahan yang akan dialami TKW, apalagi bagi para TKW ilegal. Mereka tidak memiliki pengetahuan terhadap pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan, karena tidak adanya pembekalan dari agen penyalur. Prosesnya juga tidak legal, hanya berdasarkan ucapan dari agen yang menyalurkan mereka, sehingga ketika sampai di rumah majikan terkadang pekerjaan yang harus dilakukan berbeda dengan apa yang dijanjikan oleh agen ilegal tersebut. Hal ini yang kemudian berisiko pada terjadinya permasalahan-permasalahan dan tindak kekerasan terhadap TKW. Permasalahan yang terjadi pada TKW ilegal akan lebih sulit untuk diselesaikan karena mereka tidak terdata sebagai tenaga kerja oleh negara. Sedangkan agen tidak resmi yang memberangkatkan para TKW akan lepas tangan dan para TKW menjadi satu-satunya pihak yang harus menanggung seluruh risiko tersebut. Singkatnya TKW berisiko mengalami tindakan-tindakan yang dapat mengancam keselamatan mereka. Kasus-kasus yang dialami para TKW di Malaysia Banyak kasus yang telah dialami TKW Indonesia yang bekerja di Malaysia, seperti penyiksaan oleh majikan, pelecehan maupun trafficking. Dikutip dari Merdeka.com, bahwa hingga November 2015, data menunjukkan sudah lebih dari 200 tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia terancam hukuman mati. Meskipun pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk mengatasi permasalahan tersebut namun tidak semuanya berhasil diselesaikan, apalagi jika mereka terlibat dalam tindak pidana pembunuhan maka para TKW/TKI akan sulit untuk mendapatkan keringanan hukuman. Salah satu kasus kekerasan dialami oleh Ance Novita Mowilos (26), warga BTN Minasa Upa, Kelurahan Rappocini, Makassar yang menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Johor, Malaysia sejak November 2014. Seperti dikutip dari media online Merdeka.com, bahwa selama dua bulan terakhir jerih payah Ance tidak dibayarkan. Harusnya selama dua bulan tersebut dia mendapatkan upah 2.400 ringgit Malaysia, sesuai perjanjian dengan penyalur. Tidak hanya itu, bahkan Ance sering mendapat penganiayaan dari majikannya. Selama bekerja di sana, berdasarkan keterangan Ance dia kerap mendapat perlakuan kasar dan majikannya pernah menyampaikan bahwa jika dia masih ingin bekerja silakan dilanjutkan tetapi jika tidak mau menurut maka akan dipekerjakan sebagai pelacur. Tak tahan dengan kondisi itu, Ance berusaha kabur meninggalkan Malaysia. Dia pun akhirnya melaporkan penyalur tenaga kerjanya Rosmini (40) ke Polsek Mandai, Kabupaten Maros. Sementara keberadaan Rosmini saat ini belum jelas. Seperti yang telah penulis ungkapkan sebelumnya akan sulit bagi TKW untuk mendapatkan penyelesaian ketika mereka disalurkan oleh penyalur tenaga yang tidak jelas atau ilegal. Khusus sebagai pekerja rumah tangga para TKW akan cenderung berisiko ditempatkan pada majikan-majikan yang kasar dan memperlakukan mereka semena-mena karena uang yang majikan keluarkan untuk pekerja rumah tangga yang dibayarkan ke agen ilegal cukup besar dan sebagai gantinya banyak yang diperas tenaganya. Lain halnya pada september 2014 lalu, seperti yang diberitakan http://sindonews.com. Tiga orang TKI asal Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, diduga menjadi korban perbudakan di sebuah pabrik mie, di Serawak, Malaysia. Ketiganya disekap di kawasan pabrik selama berhari-hari. Salah seorang dari Ketiga TKI tersebut ialah wanita berinisial A (23) dan dua orang pria masing-masing EG (19), serta ID (23). Dari laporan sementara, mereka mengalami penyekapan oleh majikannya di dalam pabrik mie. Kasus perbudakan TKI ini terungkap berdasarkan pengaduan salah satu keluarga korban kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Sukabumi. Selain kasus Ance dan kasus ketiga warga Sukabumi, terjadi kasus yang lebih mengerikan yang menimpa TKW seperti yang dihimpun dari pemberitaan bulan Desember tahun 2014 melalui media online http://news.okezone.com. Terjadi kasus pembunuhan TKW di Malaysia yang bernama Sri Panuti berusia 43 tahun, asal Batang, Jawa Tengah. Jasad ibu empat anak ini ditemukan dalam kondisi dimutilasi dan dimasukkan dalam karung di kebun sawit di Kampung Majuh, Ipoh, Perak, Jumat (28/11). Laporan kematian Sri diterima pihak KBRI Malaysia atas laporan keluarga korban di kampung halamannya di Batang, Jawa Tengah. Kasus-kasus diatas hanya sebagian kecil gambaran kasus yang terjadi dan dapat diungkap, rata-rata yang menjadi korban ialah perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan mendapatkan perlakuan tindak kekerasan bahkan hingga pembunuhan. Akan tetapi masih banyak perempuan yang tetap menyandarkan hidupnya dengan bekerja sebagai TKW di luar negeri, khususnya di Malaysia. Seperti buah simalakama, mereka berjuang untuk mengais ringgit demi memperbaiki ekonomi keluarga namun di sisi lain mereka juga berisiko mendapatkan kekerasan, pelecehan, ancaman prostitusi dan tindakan semena-mena lainnya. Ringgit menjadi sangat menggiurkan namun sangat mengancam dan dapat menjerat para TKW. Hal ini menjadi sangat ironis ketika bekerja menjadi sumber ancaman kehidupan yang sangat mengerikan. Hingga saat ini pemerintah mengaku telah mengupayakan peningkatan keamanan dan perlindungan bagi TKI/TKW. Namun dalam kenyataannya keamanan sesungguhnya masih menjadi tanggung jawab TKI/TKW itu sendiri. Daftar Pustaka Data Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2015 (Periode 1 Januari s.d. 28 Februari) Tempo.co. 2015. “Jumlah TKI Ilegal Tinggi ke Malaysia Ini Alasannya”. Diakses pada November 2015, dari http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/09/058698913/jumlah-tki-ilegal-ke-malaysia-tinggi-ini-alasannya Merdeka.com. 2015. “Peristiwa Kerja Tanpa Gaji Disiksa di Malaysia TKW Polisikan Penyalurnya”. Diakses pada November 2015, dari http://www.merdeka.com/peristiwa/kerja-tanpa-gaji-disiksa-di-malaysia-tkw-polisikan-penyalurnya.html bnp2tki.go.id. 2014. “Sepanjang 2014 BNP2TKI-Mencatat Penempatan TKI-429.872 Orang”. Diakses pada November 2015 dari http://www.bnp2tki.go.id/readfull/9801/Sepanjang-2014-BNP2TKI-Mencatat-Penempatan-TKI-429.872-Orang5 Okezone.com. 2014. “Kasus TKI Dimutilasi Baru Sekali Terjadi di Malaysia”. Di akses pada Desember 2015 dari http://news.okezone.com/read/2014/12/10/340/1077539/kasus-tki-dimutilasi-baru-sekali-terjadi-di-malaysia Kamajaya, T. 2014. “3 TKI Asal Sukabumi Disekap Dalam Pabrik di Malaysia”. Diakses pada Desember 2015 dari http://daerah.sindonews.com/read/898500/21/3-tki-asal-sukabumi-disekap-dalam-pabrik-di-malaysia-1409887646 ![]() Bangun pagi dengan segala rutinitas yang kita jalani, entah pergi ke kantor, ke kampus, atau sekadar menikmati kebisingan ibu kota yang semakin hari semakin menggila. Mungkin juga kita menghabiskan waktu dengan membaca surat kabar langganan ditemani secangkir kopi panas, dengan tajuk ancaman teror dari kelompok ektremis, atau laporan khusus yang menyajikan berita terkini dari daerah konflik di Timur Tengah atau dari daerah rawan konflik seperti Papua. Pernahkah terlintas dalam pikiran kita, bagaimana jika kita terlempar di daerah konflik seperti negara-negara Timur Tengah atau di daerah ujung timur Indonesia, dengan desingan peluru, granat tangan yang siap diledakkan, jet tempur yang beterbangan di atas kepala kita dan ancaman dari penembak jitu yang selalu mengintai setiap target sasarannya. Ketika represi sebuah negara diwakili oleh laki-laki berbaju loreng dengan sepucuk laras panjang AK yang dikalungkan dileher maka banyak sekali perempuan dan anak-anak merasa ketakutan, bahkan menimbulkan suatu trauma yang mendalam karena sudah terlalu banyak jelaga hitam atau bahkan cap yang bertinta darah menempel di memori mereka. Tak hanya itu, bahkan terdapat strategi jitu untuk menanamkan politik dominasi walaupun itu suatu cara yang keji. Seolah-olah itu tindakan yang legal jika berada dalam situasi konflik. Suatu strategi untuk menanamkan otoritas atau kekuatan yang menunjukkan bahwa hegemoni legal tetap berkuasa. Ketika jalur diplomasi dan jalur senjata dianggap tidak lagi bisa membendung hasrat legitimasi politik terhadap suatu institusi. biasanya cara kotor ini akan segera diluncurkan., Tindakan yang bertujuan untuk memenuhi hasrat simbol kekuasaan yang diboncengi dengan hasrat seksual yang membabi buta, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi bagian dari situasi konflik seperti ini. Laporan The Human Rights Information Network, pada tanggal 8 Juli 1998 menyatakan bahwa pada tahun 1990-1997, tercatat lebih dari 600 perempuan diperkosa di Aceh yang kebanyakan dilakukan oleh personel militer Indonesia (Jurnal Perempuan, 2011). Begitu juga di Papua, pemerkosaan terjadi secara sistematis yang kebanyakan belum terdokumentasi. Menurut analisis saya, pemerkosaan telah dijadikan senjata untuk melaksanakan teror mental agar hegemoni tetap tegak berdiri. Kasus-kasus semacam ini kurang menjadi sorotan publik internasional ketika melihat konflik yang sedang berkecamuk di suatu negara. Luput dari sorotan mata kamera, karena lebih tergiur dengan desingan-desingan rudal dan terpana pada bom yang meluluhlantakkan kota, atau melaporkan jumlah korban tewas, padahal kasus seperti ini dapat menjadi luka yang tak kan sembuh walaupun kondisi keamaan sudah kondusif. Jika dilihat melalui kacamata Michael Foucault, dalam karyanya Histoire De La Sexualite (1978), ia membedakan dua kekuasaan, yakni kekuasaan yang besar yang diwakili oleh institusi dan aparatus dan kekuasaan yang bermain (play of power). Dalam konteks kasus seperti ini dua bentuk kekuasaan tersebut tumbuh bak jamur di musim penghujan, menjadi pelengkap dari upaya perusakan sebuah peradaban. Pemerkosaan dalam konteks seperti ini adalah tindakan pemaksaan dan perampasaan hak seseorang atas nama suatu kepentingan besar yang berupa narasi hegemoni. Pemerkosaan bukan sekadar pelecehan seksual semata, namun menjadi strategi politik , sebuah doktrin yang melambangkan kekuasaan yang disisipkan dengan menghilangkan kehormataan perempuan pihak lawan. Karena pelaku merasa memilki wewenang dan derajat yang lebih tinggi yang kemudian menjadi pendorong untuk melakukan tindakan tersebut. Hal inilah yang menguatkan asumsi saya bahwa pemerkosaan adalah suatu tindakan perendahan derajat oleh kaum penguasa terhadap kaum yang dikuasai dan masalah dominasi. Pemerkosaan dalam situasi konflik seperti ini memiliki efek destruktif yang melukai psikis dan mengganggu kesehatan mental, seperti teror psikologis yang sangat mematikan. Memang dalam kondisi seperti ini terdapat semacam free will dari pemerkosa yang seolah-olah disahkan oleh penguasa. Terdapat suatu putusan eksistensialis ketika memilih untuk memerkosa atau tidak, namun kebanyakan dari pemerkosa melihat ini sebagai salah satu kesempatan emas untuk menunjukkan hegemoninya.Jika dalam posisi seperti ini, bagaimana kita melihat bentuk pelanggran HAM yang berlindung di balik tembok kekuasaan untuk dimintai pertanggungjawaban? Apakah kita tetap diam seribu bahasa? Seolah-olah kita merasa tuli, bisu dan buta ketika mengetahui permasalahan seperti ini? Apakah kita bisa menjamin bahwa jika kasus seperti ini dibawa ke ranah hukum dapat adil dalam penyelesaiannya dan tidak terjadi bias dalam putusan peradilannya karena menyangkut tahta kekuasaan? Para korban seperti perempuan Papua, Aceh dan perempuan di berbagai negara yang mengalami konflik menuntut keadilan, lalu pada siapa mereka akan menuntut, apakah hukum berpihak kepada korban-korban seperti mereka? Mungkin benar perkataan dosen saya, Rocky Gerung yang mengatakan bahwa dalam diskursus feminisme yang dibutuhkan adalah kecerdasan etis bukan kecerdasaan akademis. Bagi saya hal ini dapat dimanfaatkan sebagai pijakan dalam menyelesaikan kasus-kasus seperti ini. Seharusnya perangkat hukum dan sistem peradilan mulai memikirkan gagasan Rocky Gerung sebagai terobosan untuk menghasilkan alat hukum yang lebih berpihak kepada mereka yang termarginalisasi, karena sebagian perangkat hukum belum berpihak kepada mereka yang tertindas. Daftar Pustaka Foucault, Michael. 1978. Histoire De La Sexualite. New York: Vintage Books, A Division of Random House, Inc. Jurnal Perempuan edisi 71. 2011. Perkosaan dan Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. ![]() Pelacuran—Aku Memiliki Hak Penuh Atas Tubuhku Pelacuran, begitu banyak orang menyebut nama tempat dimana banyak orang melakukan transaksi jual beli—tidak hanya tubuh, melainkan juga obat-obatan terlarang seperti narkotika. Tentu banyak yang mengenal tempat pelacuran seperti Dolly di Kota Surabaya. Tidak hanya Dolly, ternyata ada pula Sarkem di Kota Budaya (Yogyakarta), atau Saritem di Kota Kembang (Bandung). Setiap kota memiliki nuansa dan nama yang berbeda, seperti di ibu kota Jakarta yang memiliki banyak area untuk dapat melakukan transaksi yang dimaksud, bahkan beberapa bulan lalu yang terbongkar, salah satu apartemen mewah menjadi kawasan paling ramah bagi mereka untuk beraksi. Secara umum pelacuran merupakan praktik hubungan seksual yang dilakukan sesaat dan dengan siapa saja untuk imbalan berupa uang. Menurut Purnomo dan Siregar (dalam Suyanto, 2013) yang dimaksud dengan pelacuran adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada banyak lelaki dengan imbalan pembayaran guna disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan diluar pernikahan. Demikian pula di kota yang memiliki julukan Kota Khatulistiwa (Pontianak), memiliki tempat pelacuran yang tidak terlihat secara kasat mata. Memang sih, semua kawasan terlihat sama saja jika kita tidak menyelami lebih dalam kawasan tersebut. Misalnya kawasan Alun-Alun Kapuas atau masyarakat Pontianak mengenalnya sebagai “Korem”. Sejatinya kawasan ini merupakan kawasan yang menawarkan arena belanja (pasar malam), bermain dan bersantai. Namun di sisi lain Korem juga merupakan kawasan pelacuran berbagai kalangan, dari orang muda hingga orang tua, baik pelacur perempuan, waria juga laki-laki. Kawasan padat pengunjung ini menyediakan arena bersantai yang cocok dan menarik. Selain di tepian sungai kapuas, juga berada strategis di kawasan perhotelan. Ber-jaja, Bukan Serta-Merta Dunia Menjadi Suram Penulis ingin menghubungkan jenis pelacuran yang ada di Kota Pontianak dengan pendapat Noeleen Heyzer yang membedakan tiga tipe pelacur menurut hubungannya dengan pihak pengelola bisnis pelacuran (Suyanto, 2013). Pertama, pelacur yang bekerja sendiri tanpa calo atau majikan. Sering kali mereka beroperasi di pinggir jalan atau masuk dari satu bar ke bar yang lain. Di Kota Pontianak tipe pelacur ini, mereka ber-jaja (bertransaksi jual beli tubuh mereka secara langsung) di sekitar kawasan Korem (Alun-alun kota Pontianak). Mereka duduk santai menunggu pelanggan di warung-warung dengan sedikit pencahayaan. Secara kasat mata mereka terlihat berdandan dengan warna yang terang seperti gincu merah menyala, alis tebal, dan celak terang. Sebagian untuk pelacur dari kalangan waria ber-jaja (menjual tubuh-red) di kawasan jalan Sui Jawi Pontianak, mereka nongkrong di pinggir jalan untuk menunggu pelanggan yang akan menggunakan jasa mereka. Namun sedikit terdeteksi pelacur dari kalangan gay, mereka kerap ber-jaja di kawasan yang sedikit lebih elit, seperti di kawasan Cafe dan Bistro yang notabene berdekatan dengan hotel. Kalangan gay biasanya ngucing (sebutan aktivitas untuk pelacur laki-laki) di kawasan tak terduga dan jarang pengunjung. Namun tidak menutup kemungkinan juga mereka ada di kawasan padat pengunjung seperti di Korem. Kedua, pelacur yang memiliki calo atau beberapa calo yang saling terkait secara hierarkis. Biasanya si pelacur hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan oleh kliennya. Fenomena pelacur di kota besar bersifat “sudah menjadi rahasia umum”, dalam artian tidak mengherankan lagi jika mereka bekerja sebagai penyedia jasa atau pelaku jasa. Di Kota Pontianak tipe pelacur kedua ini jarang ditemukan karena kebanyakan mereka bekerja secara mandiri atau tanpa mucikari. Namun tidak dapat dipungkiri, mereka ada di beberapa titik di Pontianak. Beberapa salon, tempat karaoke, bar atau warnet biasanya menjadi tempat mereka berkedok, tapi tidak semua warnet atau salon berkedok penyedia jasa. Mereka yang bernaung di bawah pengawasan “mami” ini beroperasi di atas jam sepuluh malam. Ketiga, pelacur yang dibawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan. Fenomena pelacur high class di Pontianak sangat tepat tergolong dalam tipe pelacur yang ini. Pelacur yang bekerja di bawah naungan seperti panti pijat dan hotel sangat jarang terlihat secara terang-terangan. Jam operasi mereka pun tidak akan terbatas pada jam tertentu, dalam artian unlimited. Melacur Tak Berarti Menjual Harga Diri Saptari menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang menjadi pelacur (Suyanto, 2013). Pertama, karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan rumah tangga perempuan pelacur. Terkait fenomena pelacur di Kota Pontianak, faktor ekonomi merupakan faktor utama penyebab mereka menjadi pelacur. Hampir semua dari pelacur di Kota Pontianak berasal dari berbagai daerah kabupaten, bahkan ada yang berasal dari pulau Jawa dan Batam. Mereka rata-rata berasal dari kampung/desa. Awalnya mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) sebelum menjadi pelacur, karena merasa gaji yang didapat tidak sesuai dengan kerja keras yang mereka lakukan, mereka kemudian tidak memiliki pilihan lain untuk mendapatkan penghasilan sehingga mereka memilih menjadi pelacur. Di sisi lain ada pula diantara mereka yang memang memilih menjadi pelacur dari awal (tanpa menjadi PRT), mereka ini berasal dari kalangan muda. Setelah tamat sekolah menengah pertama (SMP) mereka memilih menjadi pelacur karena himpitan ekonomi keluarga yang tidak mampu lagi membiayai untuk sekolah. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan untuk mereka. Faktor kedua ini juga terjadi pada fenomena pelacur di Kota Pontianak. Mereka yang bekerja di bar dan tempat karaoke yang menyediakan jasa “plus-plus” (++), atau hotel yang menyediakan jasa pelacur. Mereka yang melacur bukan lagi karena masalah himpitan ekonomi atau dalam artian mereka berasal dari kalangan orang miskin—tidak. Melainkan mereka sudah hidup cukup, namun mereka lebih mementingkan life style sebagai hal utama. Mereka ini bisa saja berasal dari kalangan mahasiswa/i, atau pegawai kantoran. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan. Faktor ketiga ini sangat erat kaitannya dengan faktor pertama. Mereka yang menjadi pelacur dipaksa melacur karena terhimpit utang piutang, bahkan tidak segan si germo memaksa dengan kekerasan. Hal ini berarti mereka menjadi pelacur untuk membayar utang. Atau contoh lain yaitu mereka yang menjadi korban human trafficking dan masih anak-anak atau berada di bawah umur (<18 tahun). Mereka dipaksa untuk menjadi pelacur untuk melayani manusia-manusia yang haus akan nafsu birahi (seks). Sejauh ini fenomena pelacur di Kota Pontianak masih belum terlihat adanya faktor ketiga ini. Namun tidak menutup kemungkinan mereka ada, hanya saja mereka tidak akan mau mengakui hal itu terjadi dalam diri mereka. Pelacur Bukan Seorang Tunasusila Pelacuran merupakan suatu realitas sosial yang kemudian (dilihat) menjadi masalah bagi lingkungan sosial masyarakat. Masalah sosial adalah suatu fenomena yang mempunyai berbagai dimensi yang terkandung didalamnya. Menurut Weinberg (Soetomo, 2010) masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, dimana mereka sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Di Kota Pontianak titik-titik hotspot bagi perempuan pekerja seks boleh dikatakan “aman”. Dalam artian adalah para pekerja seks sudah mendapatkan perlindungan secara internal oleh pengelola tempat (hotel, indekos, penginapan, wisma, dll). Realitas pekerja seks tidak bisa serta merta dilihat dari satu perspektif saja. Apabila perspektif agama yang digunakan dalam melihat pekerja seksual, tentu hal itu jelas salah karena tidak ada satu agama pun di Indonesia yang menghalalkan kegiatan prostitusi. Kemudian dari sisi sosialnya kegiatan seksual dikatakan sebagai suatu masalah sosial. Namun di sisi lain orang lain tidak bisa meng-judge bahwa pekerja seks (pelacur) adalah seorang tunasusila. Tunasusila dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan adat istiadat di lingkungan tertentu. Kajian Julia O’Connel Davidson tentang anak perempuan yang diperdagangkan di Cina (Suyanto, 2013) menyebutkan bahwa di Cina permintaan akan seks komersial sangatlah besar karena industri seks ini menawarkan peluang memperoleh penghasilan yang lebih besar, baik kepada para pelacur maupun mucikari. Jadi, pekerja seks yang kemudian terjun dalam dunia tersebut tidak bisa disebut sebagai suatu tindakan yang amoral, karena permintaan dalam industri tersebut sangat tinggi. Tidak menutup kemungkinan hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Bagi perempuan yang memiliki pendidikan buruk, tidak memiliki soft skill yang memadai serta termarginalisasikan secara sosial ekonomi, peluang kerja yang ditawarkan industri seksual ini cenderung sangat menggoda.Penulis melihat bahwa kasus yang terjadi di Cina, tidak jauh berbeda dengan kasus yang terjadi di Kota Pontianak maupun di kota besar lainnya. Bahwasanya mereka yang bekerja di kawasan industri seksual bukan serta-merta tidak memiliki moral dan harga diri, justru sebaliknya mereka bekerja untuk kelangsungan hidup anak-anak dan anggota keluarga mereka. Daftar Pustaka: Soetomo. 2010. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suyanto, Bagong. 2013. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] ![]() "Gender is not something we are born with, and not something we have, but something we do (West and Zimmerman: 1987) – something we perform" (Butler: 1990). Sejak sepuluh tahun terakhir kata ‘gender’ telah memasuki perbendaharaan di setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan di dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir di semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu? Berbicara mengenai konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperi rahim dan saluran untuk melahirkan, memiliki sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai payudara.[1] Gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian Sedangkang gender adalah konstruksi sosial. Jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin,maskulin, ataupun keduanya, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak dari bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Sehingga muncul seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini–mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya–secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.[2] Sifat-sifat biologis melahirkan perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan sesungguhnya terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural. Melalui proses panjang, sosialisasi gender akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah kembali, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.[3]
Kaum perempuan melakukan hal-hal dalam ranah domestik seperti mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. “one is not born, but rather becomes a woman” dalam pemikiran Simone De Beauvoir, seorang feminis eksistensialis abad ke-20 apa yang dinamakan sebagai perempuan adalah sebuah “menjadi”, dikonstruksi secara sosial. “Gender is not something we are born with, and not something we have, but something we do” (West and Zimmerman: 1987) – “something we perform” (Butler: 1990). Hal demikian dibolak balikkan oleh budaya, ketika bayi perempuan dikonstruksi menjadi perempuan coba kita lihat di lingkungan sekitar bahwa ketika bayi perempuan lahir maka ia akan dibungkus pakaian berwarna merah muda dan diberi boneka hingga ia dewasa menjadi seorang insinyur dapat saja ditertawakan karena tidak sesuai dengan diri perempuannya padahal dapat saja ia menjadi insinyur bahkan dapat menjadi insinyur seperti laki-laki yang lain, pemikiran yang memandang ketidaknormalan hal tersebut sungguh tidak relevan bila dihubungkan dengan gender maka peran gender sangat penting ketika aktivis perempuan dengan lantang menyuarakan perlunya kesetaraan bagi perempuan. Perempuan dapat juga layak bergerak dalam bidang politik, hukum, budaya, dan sosial. Hal-hal yang selama ini berbau perempuan seperti mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai “kodrat perempuan” padahal itulah yang dalam sejarah ini dikonstruksi secara sosial atas dominasi-dominasi kekuataan dan kekuasaan maskulin. Karena urusan mendidik anak anak, merawat kebersihan rumah tangga dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Jenis pekerjaan tersebut bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal.[5] Bahkan dalam perkembangan zaman di Jerman terdapat houseman dimana seorang ayah berperan juga dalam merawat anak dan rumah tangga untuk keseimbangan peran antara ayah dan ibu sehingga ibu tidak terus menerus bergulat dalam domestic area. Bahkan dalam sebuah kartu pos anti hak pilih “The Suffragette Madonna” tertulis “Poor man, thinking that nurturing a child is a sign of weakness or inferiority.” Karena selama ini produk sejarah melahirkan bahwa yang kuat kemudian diagungkan, “prehistoric times when physical force was very important, those who are strongest had all the right and power” (Simone de Beauvoir, The Second Sex). Yang demikian adalah proses pembentukan citra baku yang dimulai sejak beratus abad yang lalu di saat peradaban manusia ditegakkan berdasarkan prinsip the survival of the fittest.[6] Prinsip ini lebih banyak mempertimbangkan proses fisik sebagai pra-syarat penguasaan struktural sosial. Sebagai akbatnya, perempuan secara fisik tidak setegar laki-laki, menjadi termarginalisasi dari sektor “persaingan budaya”. Dalam proses sosialisasi di kemudian hari, hampir seluruh aspek kehidupan sosial lebih banyak merefleksikan “kelaki-lakian” (masculine) atau apa yang kemudian disebut dengan sistem “patriarki”.[7] Pembicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan dengan kesetaraan dengan kaum pria. Dalam sejarah telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang, menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Perjalanan peradaban manusia banyak didominasi oleh kaum laki-laki dalam urusan bermasyarakat. Jadi sejak awal sebenarnya sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada wilayah marginal. Peran-peran yang dimainkan perempuan hanya berputar di ranah domestik, seperti dalam kosa kata Jawa “dapur, sumur, kasur”, sementara kaum laki-laki menguasai peran-peran penting didalam masyarakat. Dari sanalah muncul yang disebut dengan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan dari ranah, publik hingga privat, dari urusan domestik hingga persoalan reproduksi. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi termarginalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa disebut sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki.[8] Dalam pembahasan gender, gender dapat menentukan berbagai pengalaman hidup, menentukan akses terhadap pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan ketrampilan. Gender dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan bergerak. Gender akan menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan untuk membuat keputusan dan bertindak secara autonom. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk kita akan menjadi apa nantinya.[9] Catatan Belakang: [1] Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 7 [2] Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 2 [3] Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 9 [4] Nina Rosenstand, 2002, “The Human Condition an Introduction to Philosophy of Human Nature”, New York: Mc-Graw Hill, p. 187 in a thesis from Ukaulor, Chidimma Stella, 2012, “Feminism In The Philosophy Of Simone De Beauvoir: A Critical Analysis”, Awka : Nnamdi Azikiwe University, p. 18 [5] Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 11 [6] Herbert Spencer, the Origin of Sosiology, (Oxford, 1976) dalam buku Bainar, 1998, “Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan”, Yogyakarta : PT Cidesindo, hal 12 [7] Christ Weedon, Feminist Practices and Post Structuralist Theory (London : Blackwell, 1989) dalam Ibid. [8] Sri Yuliani, “Pengembangan Karir Perempuan Di Birokrasi Publik; Tinjuan dari Perspektif Gender” (Surakarta: Jurnal Pust Studi Pengembangan Gender UNS Wanodya No. 16 Tahun XIV Tahun 2004) [9] Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 5. Daftar Pustaka : Bainar, 1998, “Wacana Perempuan dalam keindonesian dan Kemodernan”, Jakarta: Pustaka CIDESINDO David Graddol, Joan Swann, 2003, “Gender Voices”, Pasuruan: Penerbit Pedati Eckert, Penelope and McConnell-Ginet, “An Introduction To Gender”, New York : Cambridge University Press Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ukaulor, Chidimma Stella, 2012, “Feminism In The Philosophy Of Simone De Beauvoir: A Critical Analysis”, Awka: Nnamdi Azikiwe University ![]() Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki catatan kelam mengenai tingginya angka pernikahan anak. Sebenarnya jika ditilik lebih dalam, pernikahan anak dapat menimbulkan berbagai dampak yang serius bagi anak itu sendiri maupun bagi hubungan sosial. Apakah rahim seorang anak sudah siap untuk melakukan reproduksi? Bukankah masih rentan dan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit. Sebenarnya apakah gadis di bawah umur itu sudah siap secara mental? Bukankah di usia antara 14 tahun sampai 18 tahun seorang remaja masih ingin mencari jati diri yang sesungguhnya, emosi yang masih labil akan berpengaruh terhadap pola asuh yang mereka tanamkan pada anak-anak hasil pernikahan ini. Tuntutan sosial yang tinggi mungkin akan mengeruhkan problem ini, masyarakat berkespektasi bahwa seseorang jika sudah menikah berarti memiliki tingkat kedewasaan secara pemikiran untuk menjalani kehidupan, apakah semua itu terbukti? Tidak. Banyak pasangan muda yang stres kemudian menelantarkan bayi mereka, meningkatnya kasus KDRT dll. Kita semua tahu bahwa menikah muda bagi sebagian masyarakat Indonesia bukan merupakan suatu hal yang tabu. Jika wanita sudah menstruasi, kemudian sudah bisa melakukan pekerjaan domestik, dan sudah dirasa mampu untuk menjadi seorang ibu, usia seakan bukan sebagai masalah untuk menjalin suatu kontrak sosial ini. Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030 mendatang. Pernikahan anak dapat mengambil hak pendidikan dan hak kesehatan reproduksi perempuan. Pernikahan anak juga berdampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia dan memunculkan masalah kependudukan. Ini merupakan suatu temuan yang sangat mencengangkan. Apakah kita sebagai masyarakat yang peduli terhadap bangsa ini hanya akan berpangku tangan? Ini bukan sebuah prestasi namun sebuah ironi. Dimana letak keseriusan pemerintah dalam mengatasi problem ini? Dengan angka sebesar itu, bagaimana nasib pendidikan mereka? Bukankah relitasnya akan sangat sulit bagi mereka untuk melanjutkan pendidikanya, mereka akan sibuk untuk mengurus rumah tangga, mengurus urusan domestik dll. Walaupun ada opsi untuk melanjutkan pendidikan dengan program kejar paket A, B atau C, Itu seakan menjadi suatu harapan yang utopis. Menurut saya yang mendorong tingginya angka pernikahan anak di usia dini adalah faktor ekonomi, kebanyakan mereka berasal dari latar belakang keluarga dengan tingkat perekonomian yang rendah, mereka berasumsi jika seorang anak perempuan sudah menikah setidaknya beban keluarga akan semakin berkurang karena akan ditanggung oleh suami mereka. Namun pada kenyataannya apakah seperti itu, malah bisa jadi menambah permasalahan baru ketika pasangan muda ini belum mapan secara ekonomi dan akhirnya dapat mengakibatkan berbagai konflik baru muncul. Jika direnungi lebih mendalam, hal ini disebabkan ketika subordinasi perempuan ditopang melalui hegemoni maskulinitas yang beroperasi di tataran keluarga sebagai unit ekonomi. Sedangkan dalam kasus pernikahan anak peran keluarga sangat dominan, represi dari kepala keluarga--yang biasanya adalah kaum laki-laki--sebagai penentu kebijakan dalam skala rumah tangga sangat kuat--dalam pengambilan keputusan untuk menikahkan anaknya di usia yang masih belia, dengan harapan supaya cepat meringankan beban ekonomi keluarga. Bahkan realitasnya di berbagai daerah hal ini bisa ditentukan oleh suatu otoritas yang berupa aturan aturan adat atau sabda dari kepala suku yang menganjurkan untuk segera menikah. Jadi segalanya tidak dapat dilepaskan dari adanya kontrol otoritas baik berupa power dari pihak yang memiliki kuasa maupun karena faktor ekonomi. Hal ini menjadi faktor penentu atau struktur kunci yang menentukan posisi perempuan bersifat sosio-ekonomi, dikarenakan adanya semacam stigma bahwa perempuan merupakan individu yang selalu bergantung terhadap laki-laki. Tidak hanya itu, persepsi bahwa rumah itu identik dengan perempuan dan dunia tempat bekerja itu identik dengan laki-laki, hal ini semakin mendukung tesis awal saya, jika seorang wanita sudah bisa menjalankan fungsi domestiknya maka sudah layak untuk menikah walaupun usianya belum memadai. Bila kita analogikan menggunakan pemikiran Michael Foucault, ini semua tidak bisa lepas dari kontrol otoritas yang berupa uang. Ketika relasi kekuasaan ini berasal dari ekonomi, kemudian akan menjalar kepada relasi kekuasaan yang menyetuh ranah tubuh, dan dibumbui akan hubungan seksual yang terjalin. Jika kita hubungkan dengan seks bisa diartikan sebagai hubungan ekonomi, karena sudah memberi nafkah lahir, maka timbal baliknya suatu kewajiban untuk memberikan nafkah batin berupa seks. Ketika hubungan seks sudah masuk dalam tataran ekonomi seperti diatas, dapat kita analogikan bahwa satu-satunya yang dapat dipertukarkan hanya tubuh itu sendiri, tubuh perempuan dijadikan sebagai komoditi, atau benda, bahkan sebagai mesin; mesin reproduksi, mesin hasrat yang identik dengan pekerja, sedangkan laki-laki sebagai pasar, atau permintaan, dan perempuan sebagai penyedia. Nah, problem pernikahan anak ini tidak bisa kita lepaskan dari problem power berupa ekonomi kemudian berimbas juga terhadap status kepemilikan tubuh perempuan itu sendiri. Mungkin bisa saja analogi ini berlaku pada mereka yang menjadi aktor dalam pernikahan anak. Kita harus menguatkan genggaman untuk bersatu memperjuangkan permasalahan ini, karena ini bukan sekadar permasalahan hukum, namun ini sebuah permasalahan kemanusiaan yang dibentengi oleh sosial, ekonomi dan kultural. Dibutuhkan usaha ekstra untuk merobohkan hegemoni besar yang telah menempel kuat pada masyarakat Indonesia, sehingga angka pernikahan anak di indonesia dapat menurun. Daftar Pustaka: http://print.kompas.com/baca/2015/06/20/Pernikahan-Dini-Memicu-Masalah (Diakses pada Senin, 16 November 2015, pukul 14:37) Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] ![]() "Prehistoric times when physical force was very important. Those who’re the strongest had all the rights and power." (The Second Sex, Simone de Beauvoir) Makna Gender Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin dan maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak dari bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini–mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya–secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.[1] Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah, peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran itu juga amat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia dan latar belakang etnis. Di Inggris abad ke sembilan belas, ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah. Tetapi pandangan yang lebih kemudian menunjukkan bahwa anggapan ini hanya berlaku bagi perempuan kelas menengah dan kelas atas. Kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai pembantu (servants) bagi kaum perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri. Kini keadaan serupa juga terdapat di beberapa bagian negara berkembang. Di Bangladesh misalnya, banyak perempuan muslim menganggap tidak pantas untuk terlibat dalam lapangan pekerjaan yang dibayar. Namun ada banyak perempuan muslim lainnya terpaksa bekerja–seringkali sebagai pembantu rumah tangga–sebagai upaya pertahanan ekonomi. Dengan kata lain, kelas (class) nyaris selalu berkaitan dengan urusan memutuskan peran gender yang pantas karena memiliki jenis kelamin (sex) biologis tertentu.[2] Pembicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan dengan kesetaraan dengan kaum pria. Dalam sejarah telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang, menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Perjalanan peradaban manusia banyak didominasi oleh kaum laki-laki dalam urusan bermasyarakat. Jadi sejak awal sebenarnya sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada wilayah marginal. Peran-peran yang dimainkan perempuan hanya berputar di ranah domestik, seperti dalam kosa kata Jawa “dapur, sumur, kasur”, sementara kaum laki-laki menguasai peran-peran penting didalam masyarakat. Dari situlah muncul ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan dari ranah, publik hingga privat, dari urusan domestik hingga persoalan reproduksi. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi termarginalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa disebut sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki.[3] Salah satu akibat ketidaksetaraan gender adalah marginalisasi, terutama terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah, lembut, halus. Sensitif dan sifat feminim lainnya membuatnya tidak memiliki kesempatan sama dengan laki-laki. Hak-haknya untuk diperlakukan sama dengan laki-laki dipinggirkan, bahkan tergusur dan tidak menjunjung rasa kemanusiaan. Perempuan dianggap warga kelas dua. Seperti yang dituliskan oleh Simone De Beauvoir, The Second Sex, dimana perempuan yang termarginalkan oleh kontruksi sosial menjadikan mereka hanya bergerak di ranah privat dan bahkan sosio-kultural Indonesia saat ini menunjukkan ketidakadilannya dengan hanya memberikan kuota 30% perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, hal itu diatur dalam UU Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD. Mengingat apa yang diperjuangkan oleh feminis bahwa perempuan juga berhak bergerak dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Kehidupan perempuan yang hanya berada di rumah dan keluarga, menjadikannya makhluk yang pasif dan tidak bergerak di ranah public, hal tersebut bukan karena perempuan tidak mampu tetapi lebih karena tidak adanya alternatif lain. Maka perjuangan feminis harus terus didengungkan terutama dengan ikut terlibat dalam bidang politik dan hukum. Karena perempuan juga mampu terjun dalam kehidupan publik layaknya laki-laki, seperti berkontribusi dalam bidang politik dan sosial. Perkembangan kesetaraan gender di negara Jerman bahkan dikenal dengan adanya housema, dengan begitu maka gerak-gerak kepentingan keluarga tidak akan dilingkari pada ibu saja namun juga pada ayah, demikian juga dengan gerak-gerak di ranah publik perempuan dan laki-laki sama-sama dapat dipantaskan. Pengantar Teori Feminis Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada perempuan. Teori ini terpusat pada perempuan dalam tiga hal. Pertama, sasaran utama studinya, titik tolak seluruh penelitiannya, adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat. Kedua, dalam proses penelitiannya, perempuan menjadi “sasaran” sentral; artinya, mencoba melihat dunia dengan sudut pandang perempuan. Ketiga, teori feminis dikembangkan oleh pemikir kritis dan aktivis atau pejuang demi kepentingan perempuan, yang mencoba menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk perempuan–dan dengan demikian, menurut mereka, untuk kemanusiaan.[4] Feminist Legal Theory (FLT) atau Feminist Jurisprudence telah berpengaruh pada pemikiran hukum selama beberapa dekade terakhir. Hal ini tampak dari selalu diselipkannya pembahasan yang berkaitan dengan FLT dalam sebuah buku, seminar atau diskusi yang membahas tentang teori hukum. Pemikiran awal dari FLT itu sendiri muncul mengikuti gelombang-gelombang pemikiran feminis, khususnya gelombang kedua dari feminis Amerika yang merefleksikan ketertarikan feminis pada bidang hukum, tepatnya pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an. Hal ini antara lain disebabkan meningkatnya perempuan Amerika yang memilih bidang studi hukum pada masa itu dan dimulainya kritik-kritik mereka pada teori-teori hukum yang tidak memiliki kontribusi pada permasalahan hukum yang ada, yang berkaitan dengan perempuan.[5] Mereka mempertanyakan mengapa kurikulum Fakultas Hukum tidak berisikan materi-materi yang membahas adanya kesenjangan dalam pembayaran upah buruh perempuan, tentang perkosaan, kekerasan terhadap perempuan, aborsi, dan lain-lain. Kenyataannya kemunculan FLT di dunia Barat (Amerika khususnya) memang bersamaan dengan bangkitnya reaksi feminist legilator terhadap masalah-masalah hukum, khusus yang berkaitan dengan perempuan. FLT yang memunculkan suatu metode analisis khas feminis dalam hukum, banyak digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang sangat luas dalam bidang hukum. Pengkajiannya antara lain dengan mengkritisi hukum dari sudut feminis sebagai suatu kajian yang utama. Pembongkaran atau kritik yang diajukan dapat menggunakan antara lain teori dekonstruksi[6] yang mencoba menguraikan atau menginterpretasikan makna hukum dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang feminis. Teori Hukum Feminis Berbicara mengeni ilmu hukum, kita akan berhadapan dengan suatu ilmu dengan sasaran objek yang nyaris tak bertepi. Objek yang bernama hukum itu menjadi begitu luas karena ia bersentuhan dengan sejumlah besar aspek kehidupan manusia, sebut saja: manusia sendiri, masyarakat, negara politik, sosial ekonomi, sejarah, psikologi, filsafat dan aspek-aspek hidup yang lain. Teori Hukum Feminis atau Feminist Legal Theory (FLT) muncul pertama kali pada tahun 1970-an, bersamaan dengan berkembangnya gerakan Critical Legal Studies (CLS) di Amerika. Sebagai sebuah pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum, arus utama teori hukum feminis dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan CLS. Karena itu dalam beberapa pembahasan tentang Jurisprudence, teori hukum feminis dimasukkan sebagai salah satu bab di dalam pembahasan CLS.[7] Pihak yang mengemukakan Feminist Legal Theory menyatakan bahwa bahkan CLS sekalipun menyoroti keberlakuan hukum semata dari sudut pandang laki-laki, demikian pula pemikiran-pemikiran Jurisprudence lainnya. Dikatakan bahwa hukum dan legal teori adalah lahan laki-laki, adalah laki-laki yang menyusun hukum dan teori tentang hukum.[8] Selanjutnya, hukum dan hasil putusannya merefleksikan nilai-nilai laki-laki atau nilai-nilai maskulin. Laki-laki yang membangun dunia hukum itulah yang kemudian berdampak kepada kelompok lain yang tidak terwakili dalam nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai itu pun sudah sedemikian melekatnya sehingga dianggap nilai yang umum dan absolut dengan meniadakan adanya nilai yang lain.[9] Dalam kaitannya dengan hukum studi feminis lahir untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang tertindas, dan studi hukum seharusnya bukan hanya menerapkan asas kepastian tetapi amat terlebih asas keadilan. Bagaimana mencapai tujuan bersama ini, merupakan upaya dan langkah-langkah yang diuji coba puluhan tahun di mancanegara, yang telah memunculkan berbagai aliran. Namun satu hal yang dihadapi bersama adalah kemapanan studi hukum yang telah berusia berabad-abad dan yang sebenarnya juga telah melahirkan berbagai teori dan aliran, sedangkan studi feminis baru muncul dibilang setengah abad lalu.[10] Biasanya para ahli feminisme pada peminatnya untuk belajar berpikir dengan cara feminis, atau yang disebut dengan think like a feminist. Walaupun diantara para pakarnya tidak ada keseragaman metode, namun pada dasarnya mereka mencoba menempatkan perempuan sebagai fokus kajian dan bukan terpinggirkan oleh pengkajian hukum tertentu. Dalam positivisme hukum, kepastian hukum hanya akan terwujud bila hukum dianggap sebagai sistem yang tertutup dan otonom dari berbagai persoalan moral, agama, filsafat, politik, sejarah dan semacamnya. Pertanyaan tentang adil, tapi selama dia masih berlaku, maka hukum itu tetap harus dipatuhi. Bagi para penganut positivisme hukum, kepastian hukum akan tercapai bukan hanya karena hukum dibentuk oleh lembaga yang berwenang dengan mengikuti sistem perundang-undangan yang berlaku, tapi juga bila hukum bisa bekerja sama–dalam kerangka ilmiah–dengan berbagai sains positif (ilmu alam dan ilmu sosial yang cara kerjanya didasarkan pada metode ilmu alam) untuk melegitimasi berbagai perilaku yang ada di masyarakat. Margot Stubbs mencatat bahwa positivisme hukum sebenarnya berangkat dari pengandaian liberalisme klasik tentang masyarakat sebagai kumpulan individu yang otonom dan memiliki hak-hak yang sama. Lalu untuk mewujudkan kepentingan bersama, para individu tersebut secara bebas mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara dan hukum. Konsekuensinya, negara dan hukum harus netral, objektif, dan tidak berpihak pada individu manapun:
Penganut teori Positivisme Hukum menganggap hukum sebagai potret dari realitas sosial atau bahkan realitas sosial itu sendiri. Sehingga untuk mengetahui bentuk pembagian kerja secara seksual (pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara pria dan perempuan) pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara pria dan perempuan) yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia, seseorang dianggap cukup membaca misalnya KUHPerdata, UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974, dan KUHPidana. Berbeda dengan para pemikir hukum feminis bahwa hal demikian dianggap peraturan hukum yang memarginalkan perempuan. Penilaian seperti ini hanya mungkin dilakukan karena para feminis melihat kaitan antara hukum dengan relasi kuasa yang tak setara antara perempuan dan pria. Bagi para feminis, hukum yang diyakini netral dan objektif oleh teori Positivisme Hukum sebenarnya tidak mungkin ada. Sebab disadari atau tidak–berbagai hukum tersebut dibuat dalam perspektif patriarki dan dengan demikian lebih melindungi pria daripada perempuan. Bahkan hukum-hukum seperti itu justru membenarkan ketidak-setaraan pria dan perempuan, termasuk berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan itu sendiri. Misalnya, walaupun pasal 139 KUHperdata memungkinkan suami istri mengadakan perjanjian kawin[12] dan dengan demikian memungkinkan istri mandiri secara ekonomi dari suaminya, namun kemandirian ini segera disangkal oleh pasal 140 KUHperdata yang menyatakan “perjanjian kawin” tersebut tidak boleh mengurangi segala hal yang disandarkan kepada suami sebagai suami. Barang tentu yang dimaksud oleh Pasal 140 Kuhperdata dengan “hak yang disandarkan kepada suami sebagai suami” adalah pasal 105 KUHPerdata yang menyatakan “suami adalah kepala persatuan suami istri” dan dengan demikian “suami wajib menjadi wali istrinya untuk mengahadap ke hakim (melakukan perbuatan hukum)”. Selain itu juga dinyatakan, bahwa “suami wajib mengemudikan harta kekayaan milik pribadi istrinya (kecuali dinyatakan lain dalam perjanjian kawin) tapi setiap bentuk pemindahan tangan harta tersebut harus mendapat persetujuan istrinya”. Bahkan suami boleh menjual atau memindah-tangankan persetujuan istrinya. Bahkan suami boleh menjual atau memindah-tangankan harta persatuan (harta yang diperoleh bersama selama perkawinan) tanpa persetujuan istri (pasal 124 KUHperdata) Para feminis mengkritik KUHPidana. Seperti di negara patriarki lainnya, KUHPidana di Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh seksualitas belaka. Hal ini nampak misalnya pada sejumlah pasal dalam KUHPidana. Salah satunya adalah tentang perkosaan (pasal 285) yang mengisyaratkan korban harus bukan isteri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk “hubungan seksual” yang keputusan Hooge Raad (Mahkamah Agung Hindia Belanda) tanggal 5 Februari diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”.[13] Dengan mengutip feminis Catherine MacKinnon, Nursyahbani Katjasungkana menganggap perumusan tersebut sebenarnya didasarkan pada cara pandang pria “heteroseksual” tentang hubungan seks, karena mensyaratkan terjadinya “penetrasi penis ke vagina”.[14] Dengan kata lain, kekerasan seksual terhapad perempuan yang tidak dalam bentuk “penetrasi penis ke vagina” tidak akan dianggap sebagai kejahatan terhadap HAM perempuan, mungkin hanya dianggap sebagai kejahatan biasa.[15] Para feminis yakin bahwa sejarah ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan perempuan dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah buatan laki-laki tersebut telah menciptakan konsep-konsep tentang keberadaan manusia, potensi gender dan rekayasa sosial yang menghasilkan bahasa, logika dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut pandang laki-laki.[16] Maka begitulah, bagaimana perkosaan dirumuskan dari perspektif pelaku (pria). Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari perspektif korban (perempuan), misalnya dengan melihat apakah harga diri atau HAM perempuan sudah tercabik-cabik? Hal ini terjadi karena ilmu hukum (yang ditulis dalam perspektif teori Positivisme Hukum) memang tidak mampu dan tidak mau menafsirkan diskriminasi gender–suatu tafsir yang mau mengungkap relasi kuasa yang tidak setara antara perempuan dan pria–yang terjadi di masyarakat.[17] Teori hukum feminis memberi sumbangannya dengan mengidentifikasi nilai-nilai dasar tersebut dalam implementasi hukum. Tove Stang Dahl, yang menekankan pentingnya women-centered-policy-consideration atau pertimbangan kebijakan yang berpusat pada perempuan, menyebut dua nilai dasar ini diidentifikasin sebagai nilai-nilai dasar yang utama yaitu equality (persamaan/kesetaraan), harkat martabat, integritas, self-determination (menentukan sendiri), dan self-realization. Tove Stang Dahl juga berpendapat bahwa pertimbangan kebijakan yang berpusat pada perempuan memberikan panduan untuk pengorganisasian bahan hukum, untuk mengevaluasi dan mengadakan perubahan hukum, dan penerapan hukum, bersama-sama dengan pertimbangan kebijakan lainnya, yang semua merupakan dan diakui sebagai sumber hukum. Secara politis, nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah mendasari visi dan prioritas, dan dengan demikian strategi untuk memajukan kepentingan perempuan. Jadi menerapkan perspektif perempuan terhadap ketentuan hukum berarti menelaah ketentuan hukum sambil mengingat pengalaman dan kepentingan perempuan. Tujuan penelaahan ketentuan hukum adalah untuk memahaminya secara total. Memahami atau verstehen dalam bahasa Jerman, merupakan metodologi dalam Humaniora. Memahami ketentuan hukum yang menyebabkan dan mengakibatkan perempuan mengalami ketiadadilan dan diskriminasi, memerlukan studi terhadap hukum dan pengalaman perempuan yang menyeluruh. Artinya kita harus mencari dan mengidentifikasi hubungan-hubungan dalam sistem hukum yang berlaku, dalam sistem sosial yang berlaku, dalam berbagai bidang seperti latar belakang sejarahnya, ekonomi, agama, politik, budaya, psikogi, maupun biologi dan sebagainya.[18] Catatan Belakang: [1] Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 2 [2] Ibid [3] Sri Yuliani, “Pengembangan Karir Perempuan Di Birokrasi Publik; Tinjuan dari Perspektif Gender” (Surakarta: Jurnal Pust Studi Pengembangan Gender UNS Wanodya No. 16 Tahun XIV Tahun 2004) [4] George Ritzer – Douglas J Goodman, 2005, “Teori Sosiologi Modern”, Jakarta : Prenada Media, hal 404 [5] D. Kelly Weisberg, “Feminist Legal Theory”, Temple University Press, Phildelphia, 1993. [6] Teori Dekonstruksi menurut Gayatri Chakravorty Spivak adalah adanya upaya pembongkaran pemikiran, pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan dan upaya untuk memperlihatkan adanya ketidak-koherensian dan ketidakajegan (Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Femini, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003). [7] Niken Savitri, 2008, ”HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP”, Jakarta : Refika Aditama, hlm. 27 [8] Margareth Davies, hlm,. 167 [9] Niken Savitri, 2008, “HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP”, Jakarta : Refika Aditama, hlm. 27 [10] Gandhi Lapian, 2012, “Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender”, Jakarta : Pustaka Obor [11] Margot tubbs, 1993, “Feminism and Legal Positivsm” dalam D. Krlly Weisberg (ed), Feminism Legal Theory, Phildelphia, Temple University Press, hlm 455-456 [12] Perjanjian kawin adalah suatu oerjanjian yang memungkinkan suami istri secara individual mengelola harta kekayaan masing-masing [13] Harkristutu Harkrisnowo, “Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap perempuan” dalam Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tidak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta, Kelompok Kerja Convention Watch dan Pusat Kajian Wanita dan Jender UI, 2000, hlm. 85 [14] Nursyahbani Katjasungkana, 2001, “Aspek Hukum Kekerasan Terhapap Perempuan” dalam Potret Perempuan: Tinjuan Politik, Ekonomi, Hukum di Zaman Orde Baru, Yogyakarta, PSW Umy dan Pustaka Pelajar, hlm 92-93. [15] Sulityowati Irianto, 2006, “Perempuan & Hukum Menuju Hukum yang berperspektif Kesetaraan dan Keadilan”, Yayasan Obor Indonesia, hlm. 9 [16] Niken Savitri, 2008, “HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP”, Jakarta : Refika Aditama, hlm. 27 [17] Ibid [18] Gandhi Lapian, 2012, “Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender”. Jakarta : Pustaka Obor Indonesia. Hlm 230 Daftar Pustaka: Gandhi Lapian, 2012, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia George Ritzer – Douglas J Goodman, 2005, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prenada Media Julia Cleves Mosse, 2003, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Jakarta : Refika Aditama Ristina Yudhanti, 2014, Perempuan dalam Pusaran Hukum, Yogyakarta : Thafa Media Sulisyowati Irianto, 2006, Perempuan & Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia ![]() Ketika perempuan dikungkung dalam mitos-mitos yang diciptakan oleh laki-laki, semua konsep mengenai hakikat perempuan dibentuk dalam budaya yang didominasi oleh laki-laki. Perempuan, di era posmodern sekarang harus beranjak untuk mengendalikan tubuhnya sendiri, mereka harus mempunyai kesadaran untuk menciptakan perspektif baru untuk lepas dari bayang-bayang hitam maskulinitas. Kebanyakan dari perempuan secara tidak sadar, dituntut untuk berpenampilan menarik oleh pasangannya, atau bahkan perempuan itu berpenampilan menarik untuk pasangannya. Dari contoh sederhana ini saja dapat terlihat bahwa kecantikan pun dikontruksi oleh laki-laki, padahal semestinya setiap perempuan dapat menentukan seperti apa dirinya. Mereka tak kuasa jika berhadapan dengan dominasi semu maskulinitas yang menggerogoti kehidupan mereka. Saat hegemoni budaya maskulinitas tetap tertancap, maka perempuan masih tersandera dalam sebuah masa yang dapat digambarkan seperti abad kegelapan di benua Eropa. Perempuan harus membangun sebuah armada tangguh untuk menggempur tembok maskulinitas yang kokoh dan sempurna itu dengan gerakan kesadaran. Jika perempuan tidak dapat keluar dari penjara maskulinitas, ia bahkan dapat menjadi agen pendukung sistem patriarkat. Fakta bahwa maskulinitas telah memberangus otonomi femininitas dapat dianalogikan seperti sistem kapitalis yang menguasai struktur ekonomi. Kita pun kadang merasa acuh terhadap fenomena bahwasanya taring maskulinitas pun sudah tertancap diseluruh lini kehidupan kita. Tak terkecuali dengan karya sastra. Jika kita membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, kita akan merasakan taste yang berbeda, karena dalam karyanya Pramoedya cenderung menonjolkan kekuatan sebuah tembok maskulinitas era kolonialisme. Hal ini sangat terlihat dalam novelnya yang berjudul Gadis Pantai, yang bercerita tentang seorang perempuan yang tidak bisa lepas dari dinamika masyarakat feodal kala itu, terlebih ketika unsur patriarkal sangat menonjol. Wanita dalam masyarakat Jawa hanya memiliki peran yang terbatas yaitu tiga M (manak, masak, macak) atau dalam bahasa Indonesia peran wanita hanya melahirkan anak, memasak di dapur dan berdandan. Seharusnya karya satra sekarang harus mulai memikirkan suatu inovasi yang baru untuk mencoba melawan tembok maskulinitas yang sangat kokoh di negeri ini, mungkin dengan melakukan gerakan sastra yang baru dan berdampak positif bagi kesetaraan gender. Sehingga rekayasa mindsite mengenai budaya patriarkal yang disokong oleh maskulinitas akan luluh dan masyarakat akan menerima konsep yang diusung yaitu kesataraan dalam segala bidang. Ketika suatu gagasan mengenai pandangan dan posisi politis yang menuntut pengakuan kesataraan itu dapat diterima oleh masyarakat, setidaknya hal ini menjadi sebuah pencapaian yang sangat menggembirakan karena dapat membangun armada yang mampu menggempur kekuatan yang kokoh dengan berawal dari titik kesadaran. Saat sebuah jalur yang sebenarnya bisa menjadi sarana alternatif untuk menyuarakan pembaharuan sudah dikuasai, lantas akankah kita tetap diam seolah tak terjadi apapun? Disaat kondisi seperti ini, kaum perempuan menginginkan munculnya sosok yang berhasil membuat perubahan yang mendasar, sosok perempuan yang mampu mengatakan dengan lugas, “Ketika pena ada di tangan, saya ingin tubuh saya berbicara, saya ingin pikiran saya menunjukkan otot-otot ketangguhan namun tetap dalam nuansa kelembutan”. Mungkin jika kondisi seperti itu dapat tercapai, maka bukan hal yang mustahil upaya untuk menyuarakan kesetaraan akan diterima dengan penuh kesadaran oleh masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, saya akan meminjam terminologi dari Michael Foucault untuk menggambarkan betapa dominannya kontrol maskulinitas terhadap femininitas, Foucault menggunakan istilah “politik ketubuhan”, memang jika kita berpikir lebih dalam, kondisi seperti ini sangat terkait dengan kedudukan politis suatu identitas. Ketika maskulinitas yang dikonstruksi secara kultural ditopang oleh semua atribut hasil konvensi sekelompok manusia, maka peran perempuan direduksi secara halus oleh kultur yang mereka anut ketika kebebasan yang seharusnya mereka dapatkan tersandera oleh diri mereka sendiri. Kondisi ini kurang disadari oleh banyak perempuan di negeri ini. Mereka belum bisa menjadi subjek dalam relasinya dengan pasangannya. Pada umumnya relasi antara laki-laki dan perempuan masih berkutat pada level subjek-objek. Kebanyakan perempuan masih menjadi objek dalam relasi tersebut. Mengenai relasi dengan subjek lain, seorang filsuf eksistensialis yaitu Martin Buber menggunakan konsep relasi untuk menggali hubungan yang setara antar subjek. Jika hubungan antara laki-laki dan perempuan masih bersifat subjek-objek, maka mereka masih dalam taraf I-it. Relasi yang ideal adalah jika hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah mencapai relasi subjek-subjek, karena dalam relasi ini dimungkinkan terdapat dialog yang setara, tidak terdapat upaya untuk mengobjekkan perempuan. Jika seorang laki-laki dan perempuan sudah dapat menjalin relasi yang berbentuk subjek-subjek, maka oleh Martin Buber relasi ini dinamakan I-thou. Pada taraf ini akan terjadi sebuah relasi yang penuh, dan mereka akan mencapai tahap eksistensinya karena akan memahami sang liyan yang pada kasus ini baik laki-laki maupun perempuan secara whole being. Perlahan namun pasti perempuan Indonesia harus beranjak dari penjara patriarkat yang disokong kekuatan maskulinitas. Sudah saatnya perempuan berada dalam posisi subjek-subjek ketika membangun relasi dengan laki-laki. Seperti yang dicita-citakan R.A Kartini, wanita Indonesia harus memiliki kesadaran untuk menyadarkan sesamanya, bukan malah menjadi agen pemberangus kesadaran itu sendiri. Perempuan harus menjadi makhluk yang memiliki peran ganda yaitu produksi dan reproduksi. Produksi dalam artian penggalian ide-ide baru mengenai gagasan menyadarkan kaumnya, sekaligus reproduksi dalam artian meengevaluasi gerakan-gerakan yang sudah ada agar tetap relevan dengan kondisi sekarang. ![]() “Throughout the world, more than 51 million girls below the age of 18 are currently married, even though it is outlawed in many developing countries and international agreements forbid the practice. The harmful traditional practice of child marriage spans continents, language, religion and caste.”[i] Pada tahun 2011, saya sempat membaca majalah National Geographic Indonesia yang membahas tentang pernikahan anak. Ketika saya mencoba mencari artikel tersebut secara online, saya menemukan artikel yang sama pada laman website National Geographic dan sebuah link yang merujuk pada sinema pendek yang rupanya membahas mengenai pernikahan anak pula. Video yang dibuat oleh Stephanie Sinclair, seorang fotografer dokumenter, tersebut berjudul Too Young To Wed: The Secret World of Child Brides. Video ini berisi testimoni dari perempuan-perempuan yang dinikahkan pada usia muda (8-14 tahun) di berbagai negara berkembang seperti India, Etiopia, Afganistan, dan lainnya. Ada dua fokus dalam video tersebut yang sekiranya sama dengan fokus yang ingin saya bahas di dalam tulisan ini yaitu anak perempuan sebagai korban terbesar dari pernikahan anak dan korelasi antara pernikahan anak dengan “tradisi” serta pendidikan. Pertama-tama, mengapa perempuan disebutkan sebagai korban terbesar dari pernikahan anak? Ada beberapa akibat dari pernikahan anak terhadap perempuan. Pertama, ketika perempuan dinikahkan saat masih berusia belasan tahun, organ reproduksi perempuan belum sepenuhnya siap berfungsi. Hal ini kemudian bisa berakibat pada kematian Ibu. Kedua, pernikahan anak mengancam ketertinggalan pendidikan bagi perempuan. Biasanya perempuan yang menikah di usia dini harus meninggalkan sekolah karena berbagai alasan (hamil, rasa malu, keterikatan pada rumah tangga, dan sebagainya). Ketiga, dalam pernikahan anak, anak perempuan rentan menjadi korban kekerasan. Keempat, kesehatan psikologis baik anak perempuan ataupun anak laki-laki menjadi rentan karena ketidaksiapan mereka dalam membina rumah tangga, seksualitas, dan lainnya. Pada pertengahan tahun 2015 ini, Mahkamah Konstitusi menolak untuk mengabulkan tuntutan revisi usia layak nikah. Seperti tertera dalam Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974, usia minimum bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun dan 19 tahun bagi laki-laki. Ketentuan ini telah dibiarkan sedemikian rupa selama hampir 41 tahun tanpa terusik meski banyak negara tetangga yang justru sibuk membahas mengenai usia layak nikah selama tahun-tahun tersebut. Ambillah India sebagai contohnya. Setidaknya, pada tahun 1978, India mengamandemen Child Marriage Restraint Act, 1929. Peraturan yang dirumuskan pada tahun 1929 ini pada awalnya mengatur usia pernikahan 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Setelah diamandemen pada tahun 1978, secara spesifik disebutkan di dalam peraturan ini bahwa definisi dari anak adalah laki-laki yang belum berumur 21 tahun dan perempuan yang belum berumur 18 tahun (peraturan ini kemudian diperbaharui dan dilengkapi pada tahun 2006 dengan nama Prohibition of Child Marriage). Oleh karenanya pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang yang belum mencapai ketentuan umur tersebut merupakan sebuah pelanggaran hukum. Meskipun demikian memang kita tak dapat menutup mata pada fakta bahwa angka pernikahan anak di India sebenarnya masih tinggi. Sekitar 47% anak perempuan yang berada di India menikah sebelum genap berumur 18 tahun. Walaupun begitu, bukan berarti kondisi Indonesia dapat dikatakan sudah baik dan dengan begitu sebuah payung hukum untuk melarang pernikahan anak tidak lagi diperlukan. Pada dasarnya pernikahan anak memang masih menjadi salah satu perjuangan di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India. Ada beberapa sebab dari sulitnya memerangi pernikahan anak seperti tidak adanya larangan yang jelas mengenai pernikahan anak dalam beberapa agama, pendidikan (kesehatan reproduksi, gender, dan pendidikan secara umumnya) yang belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat, dan juga kentalnya tradisi. Kembali pada Indonesia, pada masa kolonial pernikahan anak adalah suatu hal yang dianggap biasa dan terjadi di hampir semua lapisan sosial masyarakat Hindia Belanda. Ruang lingkupnya pun tidak terbatas di Jawa tetapi juga terjadi di pulau lainnya. Alasan di balik pernikahan anak bermacam-macam misalnya, orang tua ingin agar anak-anak mereka dapat membentuk keluarga secepatnya demi terjaminnya hari tua, orang tua pihak mempelai laki-laki berpikir bahwa menantu perempuan akan lebih mudah “dibentuk” menjadi sosok menantu dan istri yang ideal menurut keluarga mempelai laki-laki jika dinikahkan sedari muda, orang tua takut jika anak-anak perempuan mereka tidak segera dinikahkan maka anak perempuan mereka akan dipandang “terlalu tua” dan pada akhirnya tidak akan mendapatkan pasangan, dan banyak alasan lainnya. Suara-suara pertama yang menentang pernikahan anak muncul pada awal abad ke-20 dan berasal dari kaum terpelajar perempuan. Para perempuan, mayoritas dari kalangan priyayi, yang sudah mengenyam pendidikan Barat ini melihat kenyataan pahit dari pernikahan anak. Anak-anak perempuan berusia 12-14 tahun diberhentikan dari sekolah untuk dinikahkan. Di zaman yang lebih modern, ketika semakin banyak masyarakat yang sudah mampu mengakses pendidikan dibandingkan pada masa kolonial, tingkat pernikahan anak di daerah urban mulai mengalami penurunan. Tetapi cerita tidak sama di daerah-daerah pedesaan di seluruh Indonesia. Salah satu contoh adalah desa-desa di Sumba, Nusa Tenggara Timur yang masih menerapkan tradisi dan adat istiadat yang kental dengan patrilineal dan masih bersifat feodal dengan adanya stratifikasi sosial. Dalam bukunya yang berjudul Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Jacqueline A.C. Vel seorang antropolog, menyinggung mengenai suatu “tradisi” penculikan yang terjadi di Sumba bagian Barat. Ia menceritakan bahwa pasar adalah salah satu tempat bersosialisasi bagi masyarakat Sumba, khususnya bagi kaum muda mudi. Selain sebagai tempat bersosialisasi, pasar juga menjadi lokasi strategis bagi aksi penculikan. Aksi ini dilakukan oleh pemuda yang lamarannya ditolak atau mungkin tidak dapat membayar mahar namun tetap berniat untuk menikahi perempuan yang diinginkannya. Korban dari penculikan ini biasanya adalah perempuan muda yang bahkan banyak yang belum memasuki usia layak menikah. Masyarakat di sana mengetahui kebiasaan tersebut namun tidak melakukan apa-apa dan keluarga yang memiliki anak perempuan hanya bisa berharap anak mereka kembali dengan selamat dari pasar. Di berbagai suku tradisi penculikan terkadang menjadi bagian dari upacara pernikahan berdasarkan adat suku mereka tetapi tentu tradisi semacam ini (yang sudah disetujui oleh orang tua kedua mempelai) berbeda dengan praktik penculikan yang dimaksud di atas. Pendidikan sedianya merupakan salah satu solusi untuk menumpas penikahan anak. Pendidikan yang dimaksudkan tentu tidak terbatas dalam lingkup pendidikan formal tetapi juga pendidikan non-formal dan soft-skill. Penting bagi anak perempuan, remaja perempuan, maupun para ibu untuk mendapatkan bekal pendidikan yang baik karena melalui pendidikanlah mereka dapat memutus rantai tradisi pernikahan anak yang dipaksakan pada mereka. Entah kemudian pendidikan itu dapat digunakan untuk memutuskan masa depannya sendiri atau digunakan untuk memberikan pendidikan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya untuk menghentikan pernikahan anak, yang jelas pendidikan dapat menjadi gerbang bagi perempuan untuk menjadi agen sosial yang melawan pernikahan anak. Sebagai contoh, pada survei kinerja Kabinet Kerja 2015, salah satu menteri perempuan yaitu Susi Pudjiastuti menjadi menteri yang mendapat persentase kepuasan tertinggi yaitu sebesar 71,9%. Kemungkinan hampir semua warga negara Indonesia tahu bahwa dari segi pendidikan formal, Susi Pudjiastuti hanya memegang ijazah SMP namun tidak ada yang dapat memungkiri bahwa kemampuannya dalam mengembangkan bisnis dan pengetahuannya mengenai kelautan dapat mendukung kinerjanya sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan dalam Kabinet Kerja. Susi Pudjiastuti adalah satu contoh nyata dari bagaimana pendidikan, apapun bentuknya, bernilai penting bagi anak perempuan dan juga bagi kemajuan masyarakat luas karena pada dasarnya potensi yang dimiliki anak perempuan dan anak laki-laki sama besarnya dalam hampir segala aspek. Susi Pudjiastuti hanyalah satu contoh dari sekian banyak perempuan yang memiliki prestasi dalam bidang mereka masing-masing. Masih di tahun ini, UNICEF Indonesia mengumumkan bahwa satu dari enam perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun yang berarti ada 340.000 perempuan di bawah umur yang menikah tiap tahunnya dan bahkan 50.000 dari jumlah tersebut menikah sebelum berumur 15 tahun. Mereka yang menikah pada usia muda ini hampir semuanya terpaksa berhenti dari sekolah. Sungguh jumlah yang besar dan sangat patut disesalkan karena sesungguhnya negara ini kehilangan calon-calon tokoh besar yang dapat membawa kemajuan bagi Indonesia namun terhalang aksesnya pada pendidikan dikarenakan masa mudanya terenggut akibat pernikahan anak. Pada akhirnya, dirumuskannya sebuah peraturan atau undang-undang memang tidak dapat menjadi jaminan bahwa suatu tindakan kriminal akan hilang dalam sekejap. Child Marriage Restraint Act, 1929 yang nyatanya diberlakukan pula di Bangladesh ternyata belum berhasil memberi dampak berarti pada tingginya angka pernikahan anak di sana. Namun, adanya sebuah peraturan seperti undang-undang yang mengatur usia layak nikah dengan benar adalah langkah awal dari upaya menghapuskan pernikahan anak. Peraturan dibuat agar warga negara memiliki payung hukum yang melindungi mereka serta menjamin agar mereka mendapatkan pertanggungjawaban jika hak-hak mereka dilanggar. Di sisi lain, peraturan pun seharusnya membuat oknum-oknum dengan niatan untuk berbuat kriminal berpikir dua kali dan menyadari bahwa ada sanksi atau konsekuensi dari perbuatan kriminal. Tetapi tidak berhenti pada digolkannya sebuah peraturan, pendekatan dan penyebaran informasi yang tepat perlu dilakukan pada semua lapisan masyarakat (khususnya pada setiap warga dari suku yang masih mengizinkan pernikahan anak). Upaya-upaya ini tentu membutuhkan tenaga, waktu, dan materi yang tidak sedikit. Oleh karenanya sudah seharusnya upaya menghentikan pernikahan anak tidak hanya menjadi tugas LSM, aktivis, atau masyarakat saja tetapi juga menjadi tugas bagi Mahkamah Konstitusi dan pemerintah untuk lebih memperhatikan isu ini dan bukannya menjadi promotor dari pernikahan anak. Catatan Belakang: [i] http://pulitzercenter.org/projects/child-brides-child-marriage-too-young-to-wed Daftar Pustaka Blackburn, Susan dan Sharon Bessell. 1997. Marriageable Age: Political Debates on Early Marriage in Twentieth-Century Indonesia. Indonesia, No. 63 (April 1997). Southeast Asia Program Publications at Cornell University. A.C. Vel, Jacqueline. 2008. Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986-2006. Leiden: KITLV Press http://pulitzercenter.org/projects/child-brides-child-marriage-too-young-to-wed http://unicefindonesia.blogspot.co.id/2015/08/child-marriage-takes-centre-stage-at.html http://wcd.nic.in/cmr1929.htm http://www.theguardian.com/global-development/2015/may/27/india-child-marriage-annulment-brides-go-to-court http://www.girlsnotbrides.org/child-marriage/bangladesh http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/08/078707824/survei-menteri-susi-paling-memuaskan-menteri-puan ![]() Anak-anak adalah bagian dari kehidupan manusia. Manusia sendiri pernah mengalami fase menjadi seorang anak. Anak sesungguhnya menjadi bagian dari diri manusia itu sendiri. Namun, kenyataannya, anak sering menjadi sosok yang dianggap benda semata. Daya tangkap dan pengelolaan emosinya yang masih dianggap labil sering menjadi alasan para orang dewasa untuk mengekang anak dalam sebuah kerangka teori mereka sendiri. Itulah budaya yang terjadi di Indonesia. Adanya sistem patriarkal yang cukup kuat mewarnai bangsa ini juga memberi dampak pada anak. Anak menjadi kelas ketiga, diabaikan bahkan dilupakan. Apalagi anak perempuan, posisi mereka sering dianggap rendah. Tidak dilibatkan dalam kehidupannya sendiri. Ia lebih diatur oleh orangtuanya. Hal ini juga yang tergambar dari perjalanan iman Kekristenan, yang terungkap dalam beberapa teks-teks di dalam Alkitab. Tidak banyak teks-teks di dalam Alkitab melibatkan sosok anak sebagai pemeran utama. Contohnya dalam kisah Yesus memberkati anak-anak di dalam Matius 19:13-15. Anak-anak yang penuh dengan kegembiraan diajak oleh orang tuanya hendak menemui Yesus. Seakan-akan Yesus adalah sosok ayah bagi mereka. Namun, di tengah kegembiraan itu, murid-murid Yesus malah menghalangi anak-anak itu untuk berjumpa dengan Yesus. Latar belakang kisah itu diwarnai oleh budaya Yahudi yang sangat kental pada masa itu. Salah satu budaya yang sangat terlihat adalah posisi laki-laki yang berada di atas perempuan. Yesus yang dibasuh kakinya oleh seorang perempuan pada masa itu dianggap sebagai sebuah penghinaan. Begitu pula dengan anak-anak yang datang hendak berjumpa, atau mungkin hendak memeluk Yesus pula. Tindakan mereka dianggap tidak sopan dan menghina budaya yang ada. Namun, apa yang Yesus lakukan? Ia justru menghardik para murid-Nya dan berkata, “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaku.” Bukankah ini kebalikan dari budaya yang berkembang pada masa dan tempat itu? Seorang anak kecil diizinkan menjumpai dan memeluk Yesus? Apakah Yesus gila? Apakah Yesus tidak menghargai budaya yang ada? Atau apa alasan Yesus melakukan hal itu? Dalam pandangan Patrick S. Cheng, Allah, dalam sosok Yesus, menyatakan cinta-Nya kepada manusia secara radikal dan holistik. Ia datang bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menyatakan cinta yang telah lama dilupakan manusia. Dalam diri Yesus adalah cinta, dan cinta ini yang menjadi landasan dari setiap Ia bertindak dan berkata-kata.[1] Saya rasa Ia menyadari bahwa budaya saat itu sangatlah ketat dan ada sanksi tersendiri bagi yang melanggarnya. Namun, apa yang Ia lakukan? Ia memilih untuk menyatakan cinta-Nya kepada anak-anak itu dengan membiarkan diri-Nya dijumpai, dipeluk, atau bahkan mungkin diajak bermain oleh mereka. Rasa cinta Yesus kepada anak-anak adalah murni. Ia seakan-akan melupakan siapa diri-Nya, menolak ucapan para murid-Nya, dan memberi diri bagi anak-anak itu sebagai sahabat. Adakah saat ini orang yang memiliki cinta seperti itu? Ada, tetapi hukum di Indonesia sangatlah sepihak dan mengikat. Undang-Undang Perlindungan Anak hanya dianggap sebagai kata-kata dalam barisan buku Undang-Undang negara dan bukan menjadi pedoman hidup. Ketika Undang-Undang tersebut menjadi pedoman hidup, maka sewajarnya adalah menegakkan keadilan bagi anak. Lalu, dimanakah penegak hukum dan keadilan? Adanya Undang-Undang perkawinan anak di bawah umur bukanlah hal yang dapat dianggap mudah. Memaksa anak untuk kawin adalah sebuah tindakan yang menolak adanya keadilan. Mengapa? Karena anak-anak bukanlah barang dan boneka, yang dengan memakai akal orang dewasa dan secara sadar diatur umur perkawinan mereka. Jika perdebatan selanjutnya merujuk pada budaya di beberapa suku yang mewajibkan perkawinan anak, bagaimana dengan masa kini? Apakah budaya adalah hal yang statis, kaku, dan tidak mengalami pergeseran waktu? Apakah budaya seperti itu masih relevan? Apakah seorang anak tidak dapat mengalami proses pendewasaan diri dan memilih apakah mereka mau kawin atau tidak?
Kerajaan Allah di dalam Injil Matius sering diibaratkan sebagai sebuah kemuliaan. Kerajaan Allah adalah sebuah konsep yang Yesus gunakan untuk menunjukkan adanya kedamaian dan keadilan di dalam kehidupan kelak. Kerajaan Allah adalah sebuah suasana yang di dalamnya terdapat sukacita, kedamaian, keadilan, dan kesetaraan. Dalam beberapa perikop di dalam Injil Matius, yang menjadi empu dari kerajaan Allah bukanlah mereka para ahli Alkitab atau para tetua adat. Namun, yang empunya kerajaan Allah adalah mereka yang merendahkan hatinya seperti seorang anak. Anak digambarkan sebagai sosok yang rendah hati dan tulus tanpa pamrih melakukan sesuatu.[2] Bukankah ini adalah kejadian yang janggal pada zaman itu? Mengapa Yesus justru mengatakan demikian? Yesus memberi pemahaman bagi penduduk saat itu bahwa seorang anak yang dianggap kecil, tidak mengerti apa-apa, dan kurang diberi peran justru adalah sosok yang patut dibanggakan. Anak adalah subjek. Seorang anak memberi makna bagi orang dewasa, karena kehidupan orang dewasa tidak akan ada jika ia tidak mengalami masa kanak-kanak. Kembali kita berkaca dengan keadaan saat ini di Indonesia. Hukum di Indonesia melegalkan adanya perkawinan anak. Pengajuan untuk menaikkan standar umur perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi pun gagal. Anak-anak dianggap telah siap untuk menjalani kehidupan perkawinan oleh negara, tetapi apakah negara menjamin kesejahteraan hidup mereka setelah melakukan perkawinan di bawah umur? Apakah negara menjamin para anak perempuan yang terpaksa kawin mendapatkan fasilitas kesehatan yang aman bagi proses persalinannya kelak? Apakah mereka dapat dipastikan telah siap secara holistik: tubuh, jiwa, dan mental? Negara lupa atau mungkin sengaja mengabaikan hal itu dengan berbagai alasan. Negara seakan mengabaikan pula kenaikan Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKIM) yang dialami oleh para anak perempuan di bawah umur. Negara melihat mereka hanya menjadi objek, entah objek seks, objek sosial, atau mungkin objek agama. Apalagi dengan berbagai lontaran ayat-ayat kitab suci yang membenarkan tindakan ini, apakah negara ingin AKIM terus meningkat? Dalam pandangan saya, persoalan ini adalah masalah yang sangat vital. Negara tidak bisa lagi menutup mata dan melihat semua kejadian dari adanya perkawinan anak sebagai sebuah fenomena. Ini semua telah menjadi nyata, menjadi sebuah realitas. Saya juga melihat gereja di Indonesia kurang berperan dan peduli dalam melihat persoalan ini. Masalah ini dianggap hanya sebagai masalah ‘dunia’, bukan gereja[3]. Banyak gereja yang belum menyadari persoalan ini sebagai persoalan vital. Jika perkawinan di bawah umur tetap terjadi, apakah gereja tetap diam dengan adanya AKIM yang meningkat dan penindasan kepada anak-anak yang ‘terpaksa’ kawin? Apakah suara gereja hanya untuk persoalan dosa, surga-neraka, dan kesucian? Apakah gereja telah lupa bahwa dirinya adalah bagian dari dunia, sehingga memiliki rasa tanggung jawab untuk memperjuangkan kedamaian dan keadilan? Catatan Belakang: [1] Cheng, Patrick S. 2011. The Radical Love. New York: Seabury Books [2] Guthrie, Donald. 2001. Teologi Perjanjian Baru 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia [3] Beberapa gereja beranggapan bahwa dunia itu berbeda dengan gereja. Gereja itu kudus, sedangkan dunia adalah jahat. Saya menganggap gereja dan dunia adalah satu bagian dan memiliki keterlibatannya masing-masing. ![]() Akhir-akhir ini para netizen di media sosial heboh dengan beredarnya video yang berlabel TV one dengan judul “Wisuda Abal-abal” melalui portal Viva.co.id. Video tersebut berisi pemberitaan tentang wisuda ilegal yang menampilkan prosesi wisuda di sebuah gedung besar di Pondok Cabe, Tangerang Selatan yang diikuti 1.300 wisudawan dan wisudawati. Tayangan tersebut juga menampilkan seorang wisudawati yang diwawancarai oleh wartawan seputar perkuliahan. Perempuan tersebut tampak bingung saat ditanya tentang IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) dan mata kuliah favoritnya saat kuliah, parahnya lagi perempuan tersebut lupa nama institusi tempat ia menempuh kuliah selama ini. Tentu hal ini menimbulkan banyak tanda tanya bagi para penonton video tersebut. Saya sendiri bertanya, kok ada kampus yang menghasilkan lulusan seperti itu? Video tersebut kemudian tersebar luas di jejaring media sosial facebook, tentu ini menjadi tontonan lucu bagi berbagai kalangan, entah itu kalangan elit, menengah maupun kalangan bawah. Tetapi tidak bagi saya, saya justru sedih dan kasihan kepada korban yang menjadi bahan tertawaan dan bullying massa. Jika pemberitaan dalam video tersebut untuk mengungkapkan kasus keabal-abalan kampus atau jual beli gelar/ijazah, tidak seharusnya kemudian mengorbankan pihak mana pun. Terlebih lagi sudah seharusnya wajah korban diburamkan atau disensor dalam video, bukan malah ditampilkan tanpa edit. Tidak sedikit netizen yang berkomentar tidak senonoh, mengata-ngatai si wisudawati pada kolom komentar. Sudahkah kita berkaca? Masalah utama yang disampaikan dalam pemberitaan video tersebut adalah ingin menampilkan betapa sistem pendidikan di tanah air ini bobrok, begitu mudahnya mendapatkan gelar dan ijazah dan lemahnya penegakan hukum yang mengikutinya. Akan tetapi fakta tentang kampus abal-abal yang menggelar wisuda ilegal justru tidak menjadi pesan yang ditangkap oleh sebagian penonton, melainkan terfokus pada si wisudawati, sungguh ironis. Saya ingin meminjam salah satu dimensi dari teori komunikasi dari Frank Dance tentang Normative Judgement. Salah satu definisi komunikasi menyebutkan bahwa: communication is the verbal interchange of a throught or idea (Pitoyo, 2013:16). Jelas bahwa komunikasi merupakan pertukaran verbal dari pemikiran dan gagasan. Dalam hal ini komunikasi cenderung bersifat transfer judgement terhadap apa yang dikomunikasikan. Dalam kasus si “wisudawati” ini terlihat jelas bahwa medialah yang mentransfer penilaian terhadap si “wisudawati”. Jadi menurut saya penilaian banyak netizen terhadap si “wisudawati”—yang adalah korban—itu merupakan transferan dari medianya yang menampilkan wajah korban secara gamblang. Kasihan si wisudawati itu, kasihan keluarganya, semula ia yang ingin membahagiakan orang tua dan keluarganya dengan wisuda, justru malah sebaliknya. Tidak menutup kemungkinan ia dan keluarganya akan dikucilkan dalam pergaulan sosial. Siapa yang akan bertanggung jawab? Media yang memberitakan dia sebagai wisudawati abal-abal itu kah? Tidak akan ada yang peduli efeknya. Kemudian yang patut dipertanyakan lagi yaitu mengapa harus seorang perempuan yang menjadi penetration central dari pemberitaan tersebut? Seolah-olah bahwa sarjana abal-abal yang mengikuti prosesi wisuda hanya perempuan saja. Saya menyebutnya sebagai gender-related violence, karena asumsi saya si “wisudawati” merupakan korban dari kekerasan media akibat dari bias gender. Jujur, saya juga tidak jauh berbeda dan tidak jauh lebih baik dari si “wisudawati” itu, saya juga akan menjawab hal yang sama yaitu tidak tahu mata kuliah favorit saya di kampus. Karena bagi saya semua mata kuliah sama saja, jadi tidak ada yang istimewa atau favorit. Saya bingung saat menonton video tersebut apakah harus bersedih (karena miris) atau tertawa (yang artinya saya menertawakan diri sendiri). Daftar Pustaka Pitoyo. 2013. The End of Saritem: Studi Komunikasi Politik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |